|
Dahlan Dahi, sosok di balik Tribunnews.com |
DUA pekan silam, Tribunnews.com menjadi situs nomor dua paling sering dikunjungi di Indonesia setelah Google.com menurut versi Alexa Rank. Bahkan Tribunnews mengalahkan situs mapan seperti media sosial Facebook. Di grup Kompas, Tribunnews pernah dilihat sebagai anak bawang yang dipandang sebelah mata. Kini, media itu adalah situs berita nomor satu di Indonesia, yang malah jauh meninggalkan Kompas.
Di balik melejitnya Tribunnews, ada satu sosok hebat yang selama ini menjadi aktor intelektual dan inspirasi bagi media ini. Dia adalah Dahlan Dahi, sosok yang tadinya hanya mengepalai koran daerah di Makassar, kini menjadi sosok paling penting dalam transformasi media di era disrupsi. Dahlan adalah sosok bertangan dingin yang bisa mengubah Tribun, dari media yang dipandang remeh, menjadi pemimpin pasar semua media di Indonesia.
***
SEPTEMBER 2003, saya datang ke showroom mobil Mercy di Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. Saya mengikuti wawancara kerja sebagai jurnalis di koran daerah di bawah bendera Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Hari itu, berita tentang koran baru ini sudah santer terdengar di seluruh penjuru Makassar.
Saya diwawancarai dua orang pria. Satu sudah berusia sekitar 50-an tahun, satunya lagi masih terbilang muda, mungkin sekitar 30-an tahun. Tak lama setelah wawancara, saya diterima sebagai jurnalis. Belakangan saya tahu kalau dua orang pewawancara itu adalah Uki M Kurdi (sering dipanggil Pak Uki), yang menjadi pemimpin redaksi, satunya lagi adalah Dahlan Dahi yang menempati posisi redaktur pelaksana. Media itu dinamakan Tribun Timur yang diharapkan bisa menjangkau banyak kota di kawasan timur Indonesia.
Saya pun akhirnya tahu kalau Dahlan berasal dari Wakatobi yang pada masa itu masih dalam wilayah Kabupaten Buton. Artinya, saya terbilang sekampung dengannya. Tapi kami membangun hubungan yang profesional. Kami tak pernah bahas kampung. Kami membahas kerja-kerja jurnalistik dengan ukuran yang sama bagi setiap orang.
Pak Uki dan Dahlan telah lama menjadi partner di bisnis media. Sebelumnya, mereka bekerja di harian Surya yang terbit di Surabaya, di bawah bendera PT Indopersda Prima Media, yang juga di bawah Kompas Gramedia. Selanjutnya, keduanya mengelola tabloid Bangkit pada masa reformasi. Isinya adalah berita-berita politik yang tengah hangat dan sengaja dibuat menghentak. Ketika reformasi usai dan iklim politik mulai stabil, tabloid itu ditutup.
Karier Dahlan bermula dari Identitas, media mahasiswa Universitas Hasanuddin. Semasa kuliah, ia mulai bekerja di Berita Kota, koran metro yang berpusat di Makassar, kemudian pindah ke harian Surya di Surabaya, lalu TV7, media di bawah jaringan Kompas Gramedia, di Jakarta. Sebagai jurnalis, Dahlan sempat bertugas untuk meliput Perang Teluk di Irak dan Kuwait. Dia mencapai mahkota yang didambakan para jurnalis yakni menjadi jurnalis perang. Pengalamannya meliput di bawah desingan peluru dan keharusan mengirimkan berita dalam waktu cepat di era ketika teknologi belum seperti sekarang menjadi kisah menarik yang dibagikannya kepada jurnalis muda saat pelatihan di Tribun.
Pelatihan yang difasilitasi Dahlan terbilang ketat. Dia mewajibkan semua calon jurnalis membuat catatan harian. Dia juga memberikan penugasan bagi jurnalis untuk turun lapangan. Setiap hari dia mendiskusikan liputan para jurnalis, memberikan catatan, serta beberapa perbaikan. Dia cukup sabar membimbing semua jurnalis muda. Dia menanamkan konsep-konsep Tribun sebagai media yang marketable dan diharapkan bisa diterima pasar. Dia membangun militansi bahwa kerja seorang jurnalis tak bisa dipandang sebelah mata. Dia mengajarkan independensi dan keberanian dalam memberita.
Bersama Uki M Kurdi, dia menjelaskan konsep-konsep berita yang mikro, people oriented, serta harus menarik mata (eye catching). Semua jurnalis Tribun yang ikut pelatihan menghafal konsep-konsep ini di luar kepala. Pada saat saya mengikuti pelatihan, beberapa pemateri dari Kompas juga dihadirkan. Di antaranya adalah Pepih Nugraha (Kepala Biro Kompas Indonesia Timur) dan Suryopratomo (Pemred Kompas).
Biarpun Tribun adalah anak perusahaan Kompas Gramedia, Pak Uki dan Dahlan tidak bermaksud meniru tampilan Kompas. Mereka paham bahwa media mesti punya positioning sendiri. Pembaca Tribun bukanlah pembaca Kompas yang pendidikannya tinggi. Tribun menyasar rakyat kebanyakan dan generasi X sehingga tampilannya pun dibuat lebih remaja, serta menarik untuk dipandang.
Isu-isu yang diangkat pun harus isu yang lagi hangat, namun dikemas dalam format edutainment, pesan-pesan edukasi disampaikan dengan cara menghibur (entertain). Pada masa awal, Tribun didesain untuk masyarakat kota. Liputannya adalah isu-isu kota, termasuk lifestyle, leisure, wisata, hingga trend terbaru. Tribun mengurangi porsi kriminal, yang masa itu adalah jualan utama semua media. Bahkan Dahlan melarang kriminal tampil di halaman satu. Alasannya, warga kota butuh inspirasi. “Kalau warga kota lihat gambar korban dan darah di pagi hari, maka dia bisa kehilangan semangat untuk bekerja,” katanya. Iya sih. Dia benar.
Dari sisi konsep, Tribun cukup matang. Kritikan disampaikan dalam bahasa santun yang tidak provokatif, dalam kemasan menghibur. Jika ingin mengkritisi pejabat yang mewah, tak perlu langsung tunjuk hidung. Cukup beritakan mobilnya yang mewah, rumah besar, dan barang-barang mahal yang dikoleksi.
Konsep lain yang dikembangkan adalah memahami kebutuhan masyarakat atas informasi. Kata Dahlan, ada tiga hal yang dibutuhkan masyarakat terkait informasi. Pertama, intellectual benefit. Orang ingin bertambah pengetahuannya ketika membaca media. Kedua, emotional benefit. Semua orang ingin mendapatkan aspek afektif mengenai wilayah yang didiaminya. Makanya media harus bisa menangkap nuansa emosi ini. Ketiga, practical benefit. Media harus memiliki manfaat yang sifatnya praktis bagi masyarakat. Media harus bisa mengedukasi masyarakat untuk memahami sesuatu dengan lebih jelas. Keempat, spiritual benefit. Semua orang ingin melihat peradaban lebih baik, visi yang lebih mendalam, dan ekosistem yang positif dan penuh spritualitas.
Salah satu pemateri yang berkesan buat saya adalah Valens Doy, mantan jurnalis Kompas yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Valens menjelaskan karakter dasar dalam pemberitaan Tribun, yang dikembangkan berdasarkan tiga aspek penting yakni (1) merangkum apa yang terjadi (what happened), (2) merekam makna dan membaginya kepada publik (what does it means), dan (3) memberikan informasi pada publik apa yang harus dilakukan (what should I do).
Kata Valens, jantung dari proses jurnalisme Tribun senantiasa menekankan pada makna. Sebuah pemberitaan dianggap berhasil menyentuh sasaran ketika terjadi resultan dua aspek yakni publik memahami makna dari setiap kejadian, dan publik paham apa yang harus dilakukan sebagai warga. Pada titik ini, Tribun senantiasa didorong untuk menemukan butir-butir makna di balik setiap kejadian, memberikan pencerahan kepada warga agar mereka bisa melihat persoalan dengan lebih terang, serta menggugah kesadaran publik untuk melakukan sesuatu.
Konsep-konsep ini ditanamkan ke benak semua calon jurnalis dan juga para redaktur. Jelang koran terbit, dia meminta saya menjadi litbang yang men-support koran dengan data dan fakta. Saya pun diberi akses ke Pusat Informasi Kompas yang memiliki koleksi semua arsip liputan sejak tahun 1960-an.
Hingga akhirnya koran itu pun terbit. Di situlah saya menyaksikan betapa sibuknya Dahlan setiap hari. Dia memegang tiga posisi sekaligus. Selain sebagai redaktur pelaksana, dia juga menjadi koordinator liputan yang menentukan topik-topik yang hendak ditulis, serta manajer produksi yang bertugas mengawal proses produksi berita hingga proses cetak.
Di mata saya, Dahlan bukan tipe seorang bos yang suka perintah-perintah, lalu duduk diam. Dia ikut bekerja keras bersama anak buahnya. Dia selalu tiba di kantor lebih awal dari semua redaktur. Dia pun yang paling larut meninggalkan kantor. Dia mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus. Dia tipe multi-tasking yang cepat belajar.
Bisa Anda bayangkan, dia mengorganisir liputan, ikut mengedit berita halaman satu, kemudian memantau kerja layouter. Dia pun ikut memeriksa semua halaman hasil layout yang diserahkan redaktur. Pada dirinya saya melihat kerja keras yang begitu tinggi.
Tak berhenti di situ, dia pun ikut mengawasi proses cetak. Dalam beberapa situasi, dia pernah memerintahkan mesin cetak berhenti beroperasi hanya karena mendapat informasi yang lebih gres untuk tampil di halaman satu. Koran dirombak. Prosesnya kembali mulai dari awal. Dia melakukannya tanpa mengeluh.
Saya sering bertanya-tanya, nih orang kok selalu sehat dan kuat? Pada masa itu, saya beberapa kali pura-pura sakit dan bolos liputan. Dia tak pernah melakukannya. Setiap saat ada di kantor dan memantau liputan. Energinya yang berlipat-lipat itu tak pernah hilang dalam benak saya kala mengingat sosoknya.
***
KELIRU jika hanya melihatnya sebagai sosok pekerja keras. Di dunia media, sekadar bekerja bisa membuat seseorang jadi hebat. Tapi seseorang akan jauh lebih hebat jika bisa menjadi pribadi pembelajar yang terus mengevaluasi semua capaian. Dahlan adalah tipe pembelajar yang terus mengasah dirinya. Tadinya saya agak under-estimate karena pendidikan S1-nya di Ilmu Politik Unhas tak kelar. Ternyata dia tipe yang selalu berkembang. Dia belajar jauh lebih banyak dari mereka yang di kampus.
Tahun 2004, buku Dan Gilmore berjudul We the Media diluncurkan. Buku itu sudah memprediksi bahwa dunia akan tiba di era di mana warga biasa menjadi pewarta. Makanya, tema-tema citizen journalism akan berkembang pesat. Banyak pekerja media yang melihat konsep ini sebagai musuh dari kerja jurnalis konvensional.
|
Dahlan Dahi saat meniup kue ultah Tribunnews, disaksikan Herman Darmo, Director Group of Regional Newspaper Kompas Gramedia |
Uniknya, Dahlan justru menyerap semangat yang dijelaskan Dan Gilmore itu dan membawanya ke Tribun. Saat musim haji, Tribun meminta warga biasa untuk melaporkan keadaan di Arab, kemudian memajang laporan itu beserta foto warga di koran. Kata Dahlan, dengan cara demikian, semua pihak akan untung. Tribun tak perlu memberangkatkan reporter untuk meliput sehingga hemat ongkos.
Sementara bagi warga, mereka justru melakukannya dengan senang hati. Dengan memberi laporan keadaan di sana, keluarganya akan tahu keadaannya baik-baik saja. Benar-benar simbiosis mutualisme.
Dahlan pun menerapkan konsep citizen journalist itu dalam liputan Tribun. Makanya, di halaman-halaman koran, kita akan sering menemukan warga biasa memberikan laporan. Pada saat itu, banyak media mainstream yang masih saja memelihara pagar api antara liputan jurnalis dan warga biasa. Seolah, liputan jurnalis selalu lebih baik dan lebih profesional dan satu-satunya yang pantas tampil di media. Dahlan mengubah pandangan itu. Di Tribun, seorang warga biasa bisa memberikan reportase yang setara dengan kerja jurnalistik.
Jika dilihat dari sisi marketing, langkah itu terbilang strategis. Sebab media memang harus mendekatkan diri dengan khalayaknya. Media harus memberikan ruang kepada warga untuk berbicara. Kini, berbagai media malah membangun semacam skema user generated content, di mana warga biasa bisa ikut meramaikan ekosistem jurnalistik. Media-media besar d luar negeri mulai menerapkan skema ini. Ruang bagi publik dibuka luas sehingga media tidak eksklusif. Semua orang bisa meramaikannya sepanjang gagasan itu sesuai dengan visi media.
Dalam liputan sehari-hari, konten lokal dikuatkan. Dahlan pandai benar mengelola emotional benefit untuk pasar pembaca. Dalam liputan politik misalnya. Porsi tokoh-tokoh lokal Sulsel diberikan lebih besar. Tak ada netralitas. Tribun memihak tokoh-tokoh lokal di pentas Jakarta. Nama-nama seperti Jusuf Kalla sering tampil sebab dirinya adalah bagian dari kekuatan emosional masyarakat.
Dalam hal olahraga, porsi PSM diberikan lebih besar sebab masyarakat Makassar memang suka sepakbola dan menjadikan klub itu sebagai kebanggaan. Tribun tampil estetis. Tampak cantik dengan kekuatan lokal. Tribun memberikan porsi besar bagi warga Makassar yang cantik-cantik untuk menjadi narasumber. Fotonya sering tampil di media itu dan mengabaikan model Jakarta. Ini adalah strategi brilian sebab model lokal adalah pasar dan pembaca. Mereka akan bangga tampil di media. Keluarganya akan mencari media itu. Bahkan dirinya semakin dikenal.
***
SETELAH dua tahun menjadi jurnalis, saya memilih keluar dan menekuni profesi lain. Dahlan diberi amanah yang jauh lebih besar. Ia tak lagi cuma mengurusi Tribun Timur, tapi juga ikut membidani lahirnya Tribun lain di banyak daerah. Di semua daerah itu, dia menjadi sosok penting yang meletakkan landasan kuat.
Ketika era digital semakin merambah dan perlahan menenggelamkan media cetak, Dahlan tak ikut meratap sebagaimana jurnalis senior lain. Dia tak ingin beromantisir dan membanggakan era cetak. Dia lalu menyiapkan Tribunnews sebagai kanal yang menjadi induk dari semua koran-koran daerah di lingkup Kompas Gramedia.
Yus, seorang web developer yang pernah bekerja bersama Dahlan, bercerita awal-awal membangun Tribunnews. Dahlan setiap hari akan mendatanginya di kantor untuk membenahi konsep perwajahan media. “Saya sering kewalahan untuk memenuhi keinginannya. Setiap hari dia akan datang dan mendiskusikan bagaimana konsep media itu,” katanya.
Teman lain, Hasanuddin Aco, juga bercerita hal yang sama. Dia menjelaskan bagaimana Dahlan bisa membaca trend dunia digital dan menerapkannya pada media online yang tengah dibangunnya. Semua jurnalis dituntutnya untuk selalu mengecek apa saja trending topic dan bagaimana mengemas berita dengan tepat sehingga disukai publik. Jurnalis dituntut untuk terus berkembang dan terus belajar.
|
Posisi Tribunnews adalah nomor dua di Alexa Rank |
Kelebihan Tribun adalah selalu memberikan ruang besar bagi inovasi baru dan kreasi secara terus-menerus. Dikarenakan media ini tengah mencari bentuk, banyak hal yang bisa dikembangkan. Inovasi adalah kata kunci untuk mengembangkan media di era yang disebut “jaman now” ini.
Saya melihat beberapa kekuatan Tribunnews.
Pertama, berita-berita dibuat marketable dengan judul-judul yang clickbait. Terlepas dari kritik bahwa clickbait itu tidak mencerdaskan, Tribun bisa melakukan inovasi sehingga orang akan selalu mengklik di medianya. Dalam dunia jurnalisme online, tolok ukur satu berita diterima publik adalah seberapa banyak jumlah klik. Di titik ini, Tribunnews pandai membuat orang penasaran untuk kemudian mengklik dan membaca media itu. Ditambah lagi, berita kadang dipecah menjadi tiga atau empat bagian sehingga lama orang berselancar di media ini juga semakin lama.
Kedua, terlihat benar kalau media ini selalu rajin memantau trending topic di semua media sosial. Terlihat benar kalau semua lini media ini rajin memantau apa yang tengah hangat di berbagai media sosial. Pantauan Google Trend menjadi semacam kompas ke mana desain liputan diarahkan. Ketika ada isu menarik, dengan cepat jurnalis menuliskannya dan segera tayang. Saya melihat format penulisan berita juga tidak kaku. Formatnya lebih fleksibel dan tidak harus mengikuti kaidah-kaidah jurnalis dasar.
Ketiga, Tribunnews tak terlalu mempersoalkan magnitude atau seberapa tokoh seseorang untuk menjadi narasumber. Bahkan komentar seorang netizen pun dianggap setara dengan komentar seorang politisi hebat. Tak cuma itu, kemampuan mengemas sisi-sisi lain dari setiap peristiwa juga menjadi kekuatan yang tak bisa serta-merta ditiru oleh media lain.
Saya melihat ini dipengaruhi oleh jam terbang pengelolanya ketika menggarap media-media daerah. Sebab mengelola media daerah jauh lebih sulit dibanding mengelola media nasional. Anda mesti meyakinkan orang-orang di daerah bahwa media ini punya banyak informasi yang dibutuhkan dan dicari oleh orang lain. Anda tak bisa sepede media nasional yang datang menawarkan info-info politisi dan artis Jakarta. Di daerah, Anda mesti bisa meyakinkan masyarakat bahwa media Anda punya banyak hal yang dibutuhkan.
Keempat, Tribunnews bisa memaksimalkan keberadaan media-media daerahnya dengan baik. Berita dari seorang jurnalis yang bekerja di koran Serambi Indonesia di Aceh bisa pula tayang di Tribunnews, selain di medianya. Demikian pula jurnalis di jaringan Tribun yang berada di Yogya, Kupang, Makassar, Manado, Medan, Pontianak, ataupun Banjarmasin. Semuanya berada pada posisi yang sejajar dalam hal memberikan reportase kepada Tribunnews dan medianya sendiri.
Memang, bukan grup Tribun yang menguasai daerah-daerah, melainkan Jawa Pos. Namun, saya tidak melihat ada upaya serius dari Jawa Pos untuk menguasai lini bisnis online melalui jejaring media-medianya.Penjelasannya sederhana. Sebab media cetak terlalu nyaman di lini cetak, dan bisa gagap ketika memasuki bisnis media online.
Kelima, Tribunnews tahu segmen pembaca yang hendak disasar. Beritanya tidak rumit. Beritanya sederhana dan langsung pada sasaran. Ini jelas berbeda dengan berita-berita yang tayang di Kompas. Dengan memahami segmen pembaca yang disasar, Tribun bisa leluasa mengemas informasi yang marketable dan lebih mudah diterima pembaca, ketimbang menyajikan mahakarya jurnalistik yang memenangi penghargaan.
Dari sisi kualitas, Tribun sama saja dengan media-media mapan lainnya. Standar jurnalistiknya tidak istimewa amat. Tapi kalau kita bicara soal siapa yang lebih disukai pasar, maka Tribun sudah mencapai level dewa yang tahu apa saja informasi yang dikejar pembaca. Tribunnews yang paling memahami pembaca dan bisa mengemas sesuatu yang disukai pembaca.
***
TENTU saja, kekuatan utama dari semua proses ini adalah keberadaan Dahlan sebagai pimpinan di Tribunnews. Kemampuan belajar dan menyerap informasi yang didapatnya dari pengalaman membuka banyak koran daerah memberinya kekuatan dan daya gedor pada media yang ditanganinya. Kemampuannya memahami anak muda “jaman now” dan keberaniannya menyusun media sesuai kebutuhan pembaca adalah awal dari kesuksesannya membawa Tribunnews sebesar sekarang.
Saya membayangkan Dahlan akan laris diburu oleh banyak grup media. Jika saja dia ingin gaji tinggi, maka mungkin saja pemilik grup besar akan memberikannya cek kosong yang bebas diisi berapa pun. Dia tipe dirigen yang bisa memimpin orkestra media dengan baik, mengendalikan tim, dan memotivasi orang untuk mengeluarkan energi terbaiknya. Siapa pun yang bekerja dengannya bisa merasakan semangat bekerjanya yang tinggi, juga visi dan kemampuannya menyerap hal baru.
Saya mendengar dia masih setia bertahan di Tribunnews. Tanggungjawabnya bertambah. Dia dipercaya mengepalai divisi online dari grup media Gramedia. Dia memimpin Grid.id, situs berita entertainment yang lagi marak. Dia pun menangani bolasport.com yang merupakan penggabungan dari Juara.net (kerjasama Kompas.com - Bola) dan superball (yang dikelola tribunnews.com). Dua portal ini juga sukses di tangannya.
Dahulu, Bola punya nama besar sebagai tabloid. Beberapa nama di dalamnya sangat tenar. Ketika Bola mulai turun pembacanya dan mulai menunjukkan tanda-tanda kolaps, maka itu pertanda media itu dikelola dengan cara lama yang mapan, tanpa melakukan inovasi. Kehadiran Dahlan sangat penting di situ.
Dua bulan lalu, tepatnya bulan Februari, saya bertemu Dahlan di Hotel Clarion, Makassar, saat ulang tahun Tribun Timur. Sempat saya tanyakan rahasia Tribunnews yang dicatat Alexa sebagai situs berita tertinggi. Dia menjawab singkat: "Yusran pasti pernah merasakan bagaimana pengalaman ketika dahulu membawa nama Tribun. Dulu, semua narasumber memandang Tribun sebelah mata. Kita hanya mengekor di balik media-media yang sudah mapan. Tapi sekarang, situasinya sangat terbalik. Justru kita yang ditunggu. Kita yang dicari. Kita sudah berada di depan media-media mapan itu.”
Saya bahagia mendengarnya. Bagaimanapun juga, saya paham bagaimana beratnya membesarkan media di tengah media mapan, di tengah cibiran dari media lain yang merasa tersaingi. Saya tahu bahwa di situ tak hanya butuh konsistensi dan keberanian untuk menjelajahi hal baru, tapi juga ada visi kuat serta kemampuan mengenali apa yang dibutuhkan pembaca dan mengemasnya dengan baik. Lebih penting dari itu, dia bisa mengubah media menjadi kuat, kakinya di mana-mana, serta bisa berpijak kokoh, tanpa harus menggadaikan idealismenya.
Saya membayangkan betapa besar pengaruh Dahlan saat ini. Jika media yang dikelolanya adalah media dengan jangkauan tertinggi di Indonesia, dirinya akan menjadi sosok yang diburu semua politisi, pejabat, bahkan presiden. Dirinya akan dikejar-kejar sebagai partner diskusi yang dianggap paham bagaimana selera publik, serta bagaimana mengemas informasi menjadi begitu viral. Terbukti, saat bertemu dengannya dan saling bercerita kesibukan masing-masing, pembicaraan kami terhenti karena ada menteri dan gubernur yang datang untuk berbincang dengannya. Bayangkan, menteri dan gubernur pun antri untuk ngobrol dengannya.
Biarpun sesaat bertemu dengannya, saya terkenang kata Joseph Pulitzer, seorang mahaguru dalam dunia jurnalisme. Katanya, jurnalisme bukan saja soal idealisme dan bagaimana melayani publik, tapi juga soal bagaimana sirkulasi yang tersebar ke mana-mana, serta soal uang. Sebab uang bisa menjamin kemerdekaan seorang jurnalis. Maksudnya, jika media Anda besar dan laku, maka kesejahteraan Anda terpenuhi, dan Anda punya independensi dari berbagai kepentingan.
If a newspaper is to be of real service to the public, it must have a big circulation: first, because its news and its comments must reach the largest possible number of people; second, because circulation means advertising, and advertising means money, and money means independence.