|
Ara dan ikan hiu |
KETIKA pesawat Cathay Pacific menyentuh
landasan bandara Soekarno Hatta International Airport, rasa bahagia sekaligus cemas
bersarang di benak saya. Rasa bahagia hadir saat saya menyadari bahwa akhirnya
saya akan bertemu dengan suasana keindonesiaan. Saya tak perlu lagi berbicara
dalam bahasa Inggris. Tak perlu memikirkan struktur kalimat, grammar, atau
seabrek aturan tata bahasa. Tak perlu menyapa semua orang dengan sapaan “Hi
Guys..”
Namun, rasa cemas langsung muncul ketika
melihat anak saya Ara. Setahun silam, ia berangkat ke Amerika ketika masih
merangkak dan belum mengenali apapun. Sekarang, ia sudah mulai berbicara beberapa
patah kata dalam bahasa Inggris, serta hanya mengenali kenyataan yang
disaksikannya di Amerika. Apakah ia akan menyesuaikan diri? Apakah ia tidak
akan kaget melihat segalanya yang berubah?
Ketika keluar dari Bandara Soekarno-Hatta,
bulir-bulir keringat membasahi wajahnya. Saya menyentuh bajunya yang basah
kuyup. Sewaktu meninggalkan Athens, suhu udara adalah enam derajat celcius.
Itulah sebab mengapa saya memakai dua lapis baju. Namun ketika tiba di Jakarta,
suhu udara adalah 32 derajat celcius. Pantesan dia mengeluarkan banyak keringat
hingga basah kuyup.
Kami tiba di Jakarta pada malam hari. Ketika
menuju hotel, jalanan sangat ramai. Di Amerika, seorang anak yang berkendara
harus duduk di car seat demi alasan
keamanan. Di Indonesia, aturan itu tak berlaku. Ketika Ara menangis di kursi
belakang taksi, saya –yang duduk di dekat
sopir—lalu memindahkannya ke depan untuk dipangku. Di Jakarta, hal itu
sah-sah saja.
Setiba di hotel, kami semua tak bisa
tidur. Kami mengalami jetlag.
Maklumlah, beda waktu antara Ohio dan Jakarta adalah 12 jam. Malam hari waktu
Ohio adalah siang hari waktu Jakarta. Ketika kami tiba di malam hari, perasaan
kami adalah siang hari. Makanya, kami tak bisa tidur di malam hari waktu
Jakarta. Keesokan harinya, kami justru tertidur pulas di siang hari. Kami tidur
sangat nyenyak, mulai jam tujuh pagi hingga azan magrib berkumandang.
Saya hanya butuh dua hari untuk
beradaptasi. Selanjutnya tubuh saya mulai mengenali siklus siang malam yang
berbeda. Tapi tidak dengan Ara. Beberapa hari di Jakarta, hingga akhirnya di
Kota Makassar, Ara tetap saja tak bisa tidur di malam hari. Parahnya, di saat
sedang bermain sendirian di malam hari, ia akan melakukan segala cara demi
membangunkan saya.
Ia akan naik ke kasur lalu menduduki wajah
saya, atau membuka mata saya. Biasanya, saya akan terbangun sambil mengomel
jika ada yang melakukannya. Pantang buat saya untuk diganggu saat tidur. Tapi
setelah melihat yang mengganggu saya adalah mahluk manis bernama Ara --yang dalam
tubuhnya mengalir darah saya--, langsung saya terdiam. Daripada menggerutu,
lebih baik jika saya mengikuti keinginannya. Jika tidak, ia akan melancarkan
jurus tangisan, yang sejauh ini sangat efektif untuk memaksa saya mengikuti
semua keinginannya.
|
Ara dan ikan |
|
Ara dan miaw... |
Sehari di Jakarta, saya membawa Ara keluar
hotel. Kami menempati hotel kecil di bilangan Kramat Sentiong, yang di depannya
terdapat jalan kecil dan dilalui berbagai kenderaan seperti mobil, truk, motor,
bemo, gerobak, serta pedagang yang berseliweran. Ketika Ara pertama tiba di
jalan raya, ia langsung tersentak. Ia sangat terkejut melihat kerumunan manusia
yang memenuhi jalan raya.
Ia termangu beberapa saat. Saat itu, ia
memperhatikan seekor kucing yang sedang akan di tepi jalan, tak jauh dari
warteg. Ia lalu memperhatikan kucing itu dalam waktu yang agak lama sambil
menunjuk. Saya lalu mengatakan kucing. Ia masih tak paham. Saya lalu menyebut
“Miaww..” Mulai saat itu, Ara selalu menyebut “Miaww..”
Di Athens, Ara tak pernah melihat kucing.
Ia hanya melihat anjing, kambing, domba, serta pernah sekali ia melihat jerapah
ketika rombongan kebun binatang Columbus datang ke Athens. Nah, ketika pertama melihat
kucing di pinggiran Jakarta, ia seperti melihat satu mahluk aneh yang misterius
namun ramah. Ia lalu mendekati kucing dan menyentuh kepalanya.
Sepertinya, kucing itu tahu kalau yang
menyentuhnya adalah seorang anak manis yang pertamakali bertemu mahluk
sebagaimana dirinya. Kucing membiarkan Ara untuk membelainya. Ketika ia menoleh
dan mengeong, Ara tersentak. Tubuhnya gemetaran. Saya lalu membelai si kucing
yang kemudian tenang. Saat kucing itu bergerak dan hendak pindah, Ara lalu berteriak,
“No...no...!” Kucing itu cuek. Ia tak
paham makna kata yang diucapkan Ara. Di sebelah sana, saya melihat pegawai
hotel yang terkejut dan memperhatikan Ara, khususnya saat menyebut kata “No.” Mungkin pegawai hotel itu
berpikir, “Kursus di mana yaa?” Entah.
Detik itu adalah detik pertama persentuhan
Ara dengan kucing. Saat kembali ke kamar hotel, ia selalu menangis sambil
berkata “Miaww..” Saya lebih sering
tak tega melihat air mata mengalir di pipinya. Biasanya, saya akan
menggendongnya lalu mencari kucing buduk yang biasa memakan nasi basi yang
dibuang warteg di tong sampah. Apa boleh buat. Saya harus berdamai dengan
ketidaknyamanan demi memuaskan hasrat Ara untuk bertemu kucing.
Di hotel itu pula, Ara pertama kalinya
melihat semut. Ia terheran-heran saat melihat barisan semut berbaris rapi demi
mendatangi remah-remah kue yang berceceran di lantai. Di Athens, ia tak pernah
melihat semut merah. Ia lalu menunjuk sambil berkata “What?” Saya lalu menyebut
kata semut dalam bahasa Indonesia. Wajahnya makin bingung.
Saat di Athens, Ara paling suka melihat
ikan di akuarium. Biasanya, saat kami ke restoran Cina, ia paling suka
mempehatikan ikan hingga lebih setengah jam. Saat saya datang menemaninya, ia
akan menunjuk ikan itu, lalu menoleh ke arah saya sambil berkata “Fish!”
Di Jakarta, saya memutuskan untuk membawanya
ke Sea World di Ancol. Ia tiba-tiba saja berada dalam akuarium besar yang
membuatnya bisa melihat semua jenis ikan. Ia berlarian sambil tertawa gembira.
Ia berpindah dari akuarium yang satu ke akuarium yang lain. Ia tidak mau
digendong. Ia ingin bebas dan menunjuk semua ikan.
Di tempat itu, ia melihat begitu banyak
ikan dan biota laut. Ara paling suka melihat ikan duyung. Tadinya saya tak suka
melihat ikan itu terpenjara dalam akuarium sempit. Namun saat pemandu
menjelaskan bahwa ikan duyung itu berasal dari Pulau Buton, tempat saya
dilahirkan, saya langsung tertarik. Saya ikut menemani Ara melihat ikan duyung.
|
berang-berang di Sea World |
Selanjutnya, Ara suka melihat taman
berang-berang. Ia akan histeris ketika penjaga taman itu melempar makanan ke
kolam, dan si berang-berang akan berenang di kolam kaca itu yang kemudian
disaksikan semua pengunjung. Ia bertepuk tangan sebagaimana anak-anak lain yang
menyaksikan atraksi itu. Ketika saya
mendekat dan bertanya “What is that?” Si Ara lalu menunjuk berang-berang itu
lalu berkata, “Miaww...!”
Ara benar. Ternyata berang-berang mirip
dengan kucing!
Dua hari di Makassar, ia akhirnya melihat
ayam. Ketika tidur di rumah yang kami tempati, ia terbangun karena suara ayam
berkokok. Ketika bingung, saya kehabisan akal untuk menjelaskan bahwa itu
adalah ayam. Pagi hari, saya membawanya berkenalan dengan ayam. Akhirnya ia
berkenalan dengan ayam. Saat di Ohio, ia hanya tahu bebek yang berenang di tepi
Hocking River. Biasanya saat melihat bebek, ia akan berkata “Duck.”
Hari ini ia melihat ayam. Ia terkejut
ketika ayam itu berkotek. Wajahnya menunjukkan ekspresi takut. Saya lalu datang
dan membelai si ayam. Ara tenang. Ketika saya bertanya padanya, “What is this?
Ia menunjuk ayam itu lalu berteriak dengan amat yakin “Duck!”
Yah, demikianlah nikmat menjadi anak
kecil. Kesalahan dalam belajar adalah hal biasa. Malah ia amat cerdas sebab
bisa membuat asosiasi atau melihat kemiripan. Secara tidak langsung, Ara selalu
mengajari saya untuk memahaminya dengan beragam cara. Ia juga mengajari saya
untuk menemukan cara-cara baru atau metode dalam memperkenalkan sesuatu. Ia
sangat antusias saat menemukan hal baru dan meminta saya untuk menjelaskan.
Ternyata, seorang anak adalah anugrah
terbesar sekaligus guru terbesar yang mengajarkan saya banyak hal. Mulai dari
antusiasme, rasa ingin tahu, serta pikiran yang selalu positif untuk melihat
sesuatu dengan pandangan simpel serta mencari sisi-sisi yang paling menarik.
Terimakasih Ara. Terimakasih telah
memilihku sebagai ayahmu.
Makassar, 23 Mei 2013