Calon Guru yang Berjalan Kaki

KEBAIKAN yang kita lakukan, tidak untuk dikisahkan sebab bisa mengurangi keikhlasan kita, bahkan mengurangi pahala. Namun, biarlah sesekali kulanggar pesan bijak tersebut. Tidak untuk mencari pujian dari orang-orang, namun sekedar kisah lepas saja dan alanglah baiknya jika ada hikmah yang dipetik.

Malam ini, aku mengendarai motor dari Pantai Kamali dan menyaksikan dua orang lelaki usia sekitar 20-an tahun, berjalan kaki di depan SMEA. Pukul 00.00 wita, Kota Bau-Bau sudah seperti kota mati yang senyap. Melihat pakaian jas yang mereka kenakan, kutebak mereka adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) yang baru saja selesai ujian meja di kampusnya yang terletak di dekat Pantai Kamali.

Artinya, saat kulihat melintas, mereka telah menempuh jarak sekitar empat kilometer. Jarak yang lumayan jauh. Nampaknya, mereka sengaja menunggu kedatanganku sebab dikiranya ojek yang beroperasi di malam hari. Ketika mendekat, mereka sadar bahwa aku bukan ojek, sebab aku sendiri sama sekali tidak singgah atau memperhatikan mereka, sebagaimana layaknya ojek yang melintas.

Aku berjalan terus. Akan tetapi, setelah menempuh jarak 100 meter, ada rasa bersalah yang menderaku, mengapa tadinya tidak singgah. Akhirnya aku berbalik dan menyinggahi mereka. Berpura-pura sebagai ojek, aku bertanya hendak ke mana. Mereka lalu menyebut Panti Asuhan Muslimin Bau-Bau, yang jaraknya lima kilometer. Keduanya kupersilahkan naik motorku. Berbonceng tiga, aku tancap gas menuju arah yang mereka tuju.

Sepanjang jalan kutanyai mengapa mereka harus berjalan kaki demikian jauh. Mereka bercerita tentang kampusnya yang ujian di malam hari, kemudian kampung mereka yang jauh, serta cita-citanya menjadi guru agama jika kelak pendidikannya usai. Aku tersentuh juga karena di zaman seperti ini, masih saja ada yang bercita-cita menjadi guru agama di kampung terpencil. Sungguh jauh dengan cita-cita anak kecil dalam iklan susu yang ingin jadi astronot atau ingin jadi dokter.

Saat tiba di tujuan, mereka segera merogoh kocek dan hendak memberiku uang. Namun, segera kutepis sambil mengatakan aku bukan ojek. Niatku hanya mau membantunya. Mereka ngotot untuk memberi, bahkan memasukkan uang ke kocekku. Aku juga ngotot menolak. Kukatakan bahwa niatku hanya untuk menolong. Mereka sesaat terdiam, kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda terimakasih. Tanpa menyebut nama, aku langsung tancap gas.

Ternyata, ada bahagia yang tak terucap saat kita melakukan kebaikan.

0 komentar:

Posting Komentar