Emha Versus Chappy Hakim


KEMARIN saya singgah ke Toko Buku Gramedia di Panakkukang Mal. Niat awalnya ingin membeli buku Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Sayangnya, buku itu belum juga ada di Gramedia. Akhirnya, saya beli buku Demokrasi Laa Rayba Fiyhi karya Emha Ainun Nadjib, dan buku Cat Rambut Orang Yahudi karya Chappy Hakim.

Dua buku ini sangat menarik sebab ringan dan mengalir. Mulanya saya ingin menuntaskan dulu buku karya Emha. Tetapi baru membaca dua tulisan, saya langsung berubah pikiran. Gaya menulis Emha sudah saya kenali dengan baik. Dalam keadaan tutup mata sekalipun, saya bisa kenali bahwa itu adalah tulisan Emha. Gayanya agak monoton dan nyaris sama dalam berbagai bukunya yang saya baca. Saya serasa tidak menemukan hal yang baru.

Ahirnya, saya putuskan untuk mulai dulu membaca karya Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Baru membaca dua paragraf, saya langsung terpingkal-pingkal saking lucunya. Pada tulisan awal ia bercerita tentang budaya Asal Bapak Senang (ABS). Ia mencontohkan pengalaman Jenderal Theo Syafei saat selalu ke kompi-kompi untuk menengok pasukan. Suatu hari, ia dihidangkan makanan berupa singkong rebus. Meski tak suka makanan itu, ia tetap makan dengan lahap demi menunjukkan sikap penghargannya sebagai pemimpin. Ternyata, setelah itu, setiap ia singgah ke kompi manapun, ia selalu dihidangkan makanan berupa singkong rebus. Usut punya usut, ternyata semua mendapat informasi dari komandan kompi yang pertama didatanginya.

Akhirnya Theo Syafei menyuruh ajudan untuk menyampaikan kalau dirinya tidak Cuma suka makan singkong. Ia juga suka makan ayam KFC. Lucu khan? Usai membaca cerita ini, saya senyum-senyum. Inilah susahnya kalau kebanyakan kita bersikap Asal bapak Senang (ABS). Kita selalu tergoda untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat bapak senang. Kita selalu ingin dipuji oleh bos.

Tulisan Cappy itu menarik karena ia sedang berbagi pengalamannya sendiri. Hal yang dikisahkannya adalah hal yang sepele-sepele menyangkut pengalamannya sendiri. Ia tidak berpretensi menulis hal-hal yang berat atau teoritik sebagaimana dilakukan para ilmuwan sosial kita. Ia menuliskan pengalamannya sendiri, bagaimana kesannya atas sesuatu, serta renungan-renungannya. Bagi saya, tulisan terbaik Chappy bukanlah tulisan tentang dunia dirgantara –yang menjadi spesialisasinya. Tulisan terbaiknya adalah tulisan-tulisan ringan dan menyangkut pengalamannya sehari-hari.

Tulisan Chappy mengingatkan saya pada tesis tentang citizen journalism. Ia tidak melaporkan sesuatu yang kemudian diolah menjadi berita. Ia adalah seorang warga biasa yang setiap harinya menemui masalah dan membagikan pengalamannya kepada warga yang lain. Melalui upaya membagikan pengalaman itu, ia membangun solidaritas banyak orang yang bersetuju dengan gagasan-gagasannya.

Membaca tulisan Chappy, kita sesekali diseret untuk masuk pada caranya berpikir dan melihat persoalan. Pada akhirnya, saya harus jujur mengakui bahwa selama dua hari membaca buku tersebut, Chappy sukses membuka wawasan saya untuk melihat sesuatu dengan simpel dan tidak perlu terburu-buru menjatuhkan vonis. Ia selalu melihat hikmah, mutiara yang terselip dari balik setiap kejadian. Rasanya, hampir semua yang dialaminya selalu bisa ditarik hikmah positif di baliknya.

Mungkin Chappy adalah satu dari sekian orang baik yang lahir di negeri ini. Orang baik yang kritis, namun selalu optimis melihat bangsa ini. Demikian kesan saya atas buku itu.(*)

0 komentar:

Posting Komentar