poster serial Once Upon A Time |
PEREMPUAN
itu bernama Emma. Ia datang ke kota kecil Storybrook di Boston, Massacussets
demi mengantarkan anak kandungnya. Kota kecil itu nampak biasa saja,
sebagaimana kota-kota kecil lainnya. Namun siapa sangka, penduduk kota kecil
itu adalah mereka yang hidup di negeri dongeng, yang kemudian mendapatkan
kutukan yakni terlempar ke masa kini, dan melupakan siapa dirinya.
Emma
tak menyadari kalau dirinya adalah putri dari karakter dongeng Putri Salju
(Snow White), yang kemudian jadi sahabatnya. Di tempat itu, ayahnya Prince
Charming, juga sedang berusaha untuk mendekati Snow. Namun, apa daya, ibu ratu
penyihir, yang menjadi walikota, berusaha untuk menggagalkan semua jalinan
cinta. Jadilah kota itu sebagai kota yang hampa dengan karakter-karakter yang
melupakan dirinya.
Aku sedang
menyaksikan serial berjudul Once Upon A Time yang sedang ditayangkan stasiun televisi
ABC. Kisah ini memang berdasarkan berbagai dongeng, namun diberikan nuansa baru
sehingga jadi lebih segar dan adaptif dengan perkembangan. Kisah-kisahnya lalu
ditulis ulang, dipertautkan dengan banyak kisah dongeng lainnya, sehingga
memunculkan kisah baru yang berbeda dengan sebelmnya. Jadilah sebuah kisah
dongeng modern yang dahsyat dengan karakter dongeng klasik.
Bagiku,
kisah ini biasa saja. Tak begitu istimewa, sebagaimana serial Merlin yang
diputar di BBC. Tapi, kisah ini sukses untuk mengawinkan dua masa yakni masa
dinging dan masa kini, lalu meleburkan batas keduanya. Sehingga mereka yang
hidup di masa dongeng bisa menyeberang ke masa kini (melalui kutukan penyihir),
dan mereka yang di masa kini bisa lenyap ke masa dongeng. Melalui dua dunia
itu, terbentanglah kisah-kisah yang belum tuntas, dan hendak ditemukan.
Aku
cukup menikmati kisah dalam serial ini. Tema-tema seperti Putri Salju, Ciderella,
atau Pinokio adalah kisah-kisah masa kecil pernah mewarnai hari-hariku. Saat
belajar antropologi, kian kusadari kalau semua kisah dongeng ibarat kuas yang
kemudian melukis karakter manusia. Pantas saja jika karakter suatu bangsa bisa
dideteksi melalui kisah-kisah dongeng yang beredar dan dihasilkan bangsa
tersebut.
tokoh-tokoh dalam Once Upon A Time |
Jelang
akhir serial ini, aku tiba-tiba saja dicegat dengan beberapa pertanyaan tentang
nasib dongeng-dongeng Nusantara. Aku membayangkan ribuan –bahkan
jutaan—khasanah dongeng yang sedang terancam kepunahan. Ternyata, Putri Salju
tak cuma berhasil mengalahkan penyihir, namun juga sukses menenggelamkan Malin
Kundang, Cindelaras, serta ribuan kisah dongeng lainnya.
Namun
tepatkah jika kita semata menyalahkan Putri Salju, atau menyalahkan globalisasi,
sebagaimana mahasiswa yang katanya anti-globalisasi, namun sering kedapatan
mengisap Marlboro atau suka minum Coca-Cola?
Bagiku,
tak pernah ada sebab tunggal. Boleh jadi, kita sebagai anak bangsa sering tak
menemukan satu formula atau racikan segar untuk mem-preservasi semua kekayaan
bangsa kita. Boleh jadi, kita ikut membiarkan smeua kisah-kisah dongeng itu
mengalami kepunahan. Kita tak peduli. Kita tak menganggapnya penting. Kita
sering abai pada khasanah yang dimiliki. Kita hanya peduli, ketika ada bangsa
lain yang hendak mengklaim kekayaan tersebut. Nah, bisakah kita membangkitkan
kepedulian tanpa diawali pengklaiman orang lain?
Mungkin
kita tak terlalu pandai mengelola kekayaan itu menjadi kisah segar di masa
kini. Kita membiarkan kisah itu hanya sebagai pengantar tidur, tanpa
mengayakannya di masa kini. Padahal, banyak riset sosial terbaru yang justru
mengolah dongeng sebagai bahan baku untuk mengenali suatu masyarakat.
Atau
mungkinkah kita meremehkan dongeng sebagai sesuatu yang tak berguna?
Aku
teringat Jules Verne, sang pengarang. Di masa hidupnya, ia produktif membuat
kisah-kisah imajinatif. Di masa ketika manusia masih menggunakan kuda sebagai
tunggangan, ia sudah menulis tentang kisah manusia yang bisa mencipta pesawat
demi menaklukan angkasa. Ia menulis tentang kenderaan yang bisa menyelam. Di
masanya, semua jadi olok-olok. Namun, di masa kini, imajinasinya menjadi hebat
sebab semua yang dituliskannya menjadi kenyataan.
Mungkin,
pada titik ini, aku membenarkan kalimat Einstein bahwa imajinasi lebih penting
dari ilmu pengetahuan. Tanpa imajinasi, sains kehilangan visi, kehilangan
tujuan, serta kehilangan energi besar untuk mendobrak kemapanan. Tanpa
imajinasi, sains serupa mesin jahit yang digerakkan dnegan tenaga manual, dan
kelak akan tersimpan di musem tua. Imajinasilah yang kemudian mengubah mesin
itu menjadi mesin digital, terhubung dengan komputer sehingga bisa mendesain
sesuatu secepat kilat, lalu menenunnya dengan amat mudah.
kisah dongeng Nusantara |
Hanoman dan Sugriwa |
Kisah-kisah
dalam dongeng Nusantara seyogyanya dilihat sebagai jalan terang untuk melihat
masa lalu sekaligus menaklukan masa depan. Kita mesti menyerap sukma dan raga
kisah itu sehingga menjadi sukma masa kini. Kita mesti mengolahnya dengan
sentuhan baru, tanpa harus mengabaikan moral dasar yang menyusunnya. Hanya
dnegan cara ini kita bisa menemukan jati diri dan karakter sebagai anak bangsa.
Namun,
apakah kita benar peduli pada dongeng-dongeng kita sendiri, tanpa harus minder
dengan kisah Putri Salju yang bercelana jeans? Entah. Kita sering mengidap
sikap inferirotas yang kian kompleks. Kita sering tak ingin menjadi diri
sendiri. Kita tak terlalu mau untuk mengolah kekuatan lokal kita untuk menjadi
tuan di negeri sendiri. Kelak, akan tiba saat di mana anak cucu kita akan
kehilangan jati diri. Mereka tak cuma kehilangan sejarah. Tapi juga kehilangan
kearifan sebab kisah Malin Kundang terlanjur lenyap di generasi sebelumnya.
Athens, Ohio, 30 Desember
2012