Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pesan Dokter Ochie yang Mengetuk Nurani


Dokter Ochie bersama pengungsi Rohingya

SEBULAN lalu, hampir semua kanal media sosial dipenuhi teriakan dukungan untuk Rohingya. Tak sekadar dukungan, banyak pula yang memaki pemerintah. Banyak orang mengira bahwa umpatan di media sosial adalah cara terbaik untuk membela mereka yang teraniaya di sana. Kini, nama Rohingnya nyaris tak lagi ditemukan di media sosial. Yang muncul adalah kekhawatiran atas bangkitnya satu partai politik yang terkubur di masa silam.

Saya teringat kalimat seorang sejarawan: ingatan orang Indonesia itu pendek. Setiap peristiwa akan berlalu dalam sekejap. Kita mudah tersulut dalam perdebatan atas sesuatu yang sedang ngetrend. Begitu ada isu baru, perhatian kita segera berpindah. Hingar-bingar perdebatan tentang Rohingya langsung pupus ketika isu komunis datang. Kita seakan lupa penderitaan warga Rohingya, hanya karena ajakan nonton bareng yang disampaikan Panglima TNI.

Tak ada lagi perdebatan dan desakan kemanusiaan. Malah, seorang kawan beranggapan bahwa asalkan sudah menyumbang, maka kewajibannya telah usai. Rohingya tak seramai dulu. Kini, isunya adalah komunis. Semuanya seakan hilang tersaput angin. Rohingya seakan sudah selesai.

Dari banyaknya barisan mereka yang rajin membahas Rohingya, terdapat segelintir orang yang justru lebih banyak diam, tapi tak benar-benar diam. Mereka tak ikut dalam debat dan tengkar di medsos, namun meringankan tangan dan kaki untuk berbuat sesuatu. Tanpa mengajukan permintaan dana di jalan-jalan, atau sibuk menyalahkan orang lain hanya karena opini tentang Rohingya, mereka berbuat sesuatu. Mereka tak hendak hanyut dalam arus besar wacana.

Dari tanah Bangladesh, lokasi pengungsian warga Rohingya, saya tersentuh saat membaca pesan dan foto seorang sahabat bernama Dokter Rosita Rivai. Rupanya, dia menjadi relawan kemanusiaan di sana. Ia datang bersama rombongan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bekerjasama dengan Dompet Dhuafa. Ochie, demikian ia disapa, menjadi dokter yang mengabdi di jalur kemanusiaan. Ia melawan kemapanan khas kaum menengah perkotaan yang lebih suka di rmah sembari bercuit di medsos. Ia datang ke lokasi konflik, mengobati mereka yang sakit, menggendong anak kecil yang terkena gizi buruk, berdialog dengan banyak orang.

Saya mengenal Ochie sewaktu dirinya menjadi mahasiswa Fakultas kedokteran, Universitas Hasanuddin di Makassar. Tadinya, saya pikir dirinya seperti mahasiswa kedokteran lain, yang barangkali hendak berniat menjemput kemapanan setelah lulus. Tapi Ochie berbeda. Ia bergabung dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kerap terjun ke berbagai arena konflik. Ia justru tak berada di rumah-rumah sakit mewah, melainkan berhadapan dengan segala keterbatasan di daerah konfik, mengambil risiko setiap saat bisa terpapar sakit saat di lapangan, berjibaku demi menghapus sedih di wajah mereka yang terpinggirkan oleh bencana dan perang.

Kekaguman saya adalah pada saat dirinya yang kini telah berkeluarga masih saja meluangkan waktu untuk terjun dengan kondisi yang jauh dari zona nyaman ini. Pilihan yang luar biasa untuk seorang istri. Saya yakin suaminya adalah seorang lelaki yang kuat dan sangat terbuka dalam memahami pilihan itu.

Hari ini, Dokter Ochie berkisah tentang pertemuannya dengan perempuan bernama Ara di Bangladesh. Di siang terik membakar, ia berada di tenda kesehatan milik Indonesia Humanitarian Alliance. Pasiennya adalah pengungsi Rohingya yang terbatuk-batuk sembari memegang perut, menahan nyeri. Ochie bercerita:

Saya melihat antrian seorang ibu menggendong anaknya. Bibi Ara (40), menggendong anak bungsunya, Asna Biba (2 bulan). Ibu tersebut terlihat kelimpungan dalam menenangkan si bayi yang terus meraung-raung. Saya dan dr Muh Iqbal Mubarak dari Komite Penanggulangan Bencana IDI dan Dompet Dhuafa menghampiri ibu tersebut. Terlihat Asna Biba yang terisak. Kepala bayi itu terlihat membesar, perutnya membuncit, namun lingkar lengannya mengecil. Dari pelukan ibunya, dia berpindah ke tanganku.

Ochie tak sedikitpun berniat mundur. Ia mendekati ibu itu dan mengajak bercanda:

Sekalipun dalam hati terdalam saya teriris, saya membayangkan jika anak itu adalah anakku. Mendekam dalam derita malnutrisi. Selang beberapa lama, bayi itu berangsur tenang. Diam dalam pelukanku, katanya.



Ibu itu tiba di kamp pengugsian sejak 15 hari yang lalu. Dia dan bayinya ini menempuh perjalanan selama tiga hari dari negara bagian Rakhine menuju Cox’s Bazar. Bersama rombongan pengungsi, mereka melewati hutan, jalan berbatu, juga trauma akan desingan peluru di kampungnya. Dalam keterbatasan pangan mereka berjalan. Dalam keterbatasan tersebut, kadangkala si Ibu memberikan nasi atau roti yang ditumbuk terlebih dahulu lalu dilarutkan dengan air tadahan sungai di perjalanan mereka. Sebagiannya lagi terpaksa berlapar. Wajar ketika diare dan kekurangan gizi mendera mereka.

Asna Biba dan Bibi Ara tidak sendiri. Banyak pengungsi terkena penyakit tersebut. Hingga hari ini sejumlah 370 ribu pengungsi tersebut yang juga diantaranya bayi dan anak-anak itu mengalami penyakit infeksi saluran penapasan dan penyakit kulit beberapa lainnya lagi diare disertai penyakit mata. Mayoritas pasien adalah anak-anak balita dengan status gizi kurang.

Kami tim medis tersebut masih membutuhkan obat-obatan dan bahan makanan untuk para pengungsi. Karena Asna Biba dan Bibi Ara adalah manusia. Karena Pengungsi itu adalah saudara kita, sesama manusia, katanya.

Pesan dari Rohingya membuat saya tercenung. Di tengah isu Rohingya yang mulai tenggelam, Ochie menyampaikan pesan melalui media sosial. Ia berharap suaranya akan menembus relung-relung hati orang lain untuk kembali membicarakan Rohingya lalu melakukan sesuatu. Di luar sekat-sekat politik antar negara, di sana terdapat manusia yang menanti bantuan dan uluran tangan. Ia mengetuk nurani semua orang untuk kembali fokus pada tragedi kemanusiaan dan melakukan segala yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Saya bisa merasakan pesan-pesan Ochie yang menghujam ke dalam dada. Suara-suara kemanusiaan harus selalu menjadi kompas bagi orang-orang untuk bergerak, menjadi panduan dalam segala tindakan. Suara kemanusiaan selalu melintasi sekat perbedaan dan keyakinan semua orang. Suara kemanusiaan melampaui segala debat dan diskusi politik dan ideologi. Dalam segala keterbatasan, suara-suara kemanusiaan harus disampaikan ke semua pihak yang terketuk hatinya demi berbuat sesuatu bagi sesamanya.

Saya paham bahwa Ochie tak berniat membangun sensasi. Di tengah para pengungsi yang penuh keterbatasan itu, ia mengirimkan pesan yang mengaduk-aduk kemanusiaan kita semua. Ia hanya ingin kembali meningatkan orang agar tetap fokus pada Rohingya, tetap setia dan fokus pada tugas-tugas menegakkan kemanusiaan, tanpa harus terpengaruh oleh berbagai situasi.



Semoga saja, suaranya menembus semua hati manusia. Termasuk menembus hati mereka yang berdemontrasi hari ini demi menolak komunisme yang telah lama dikubur sejarah. Jika di sini, banyak orang membahas sesuatu yang entah ada ataukah tidak, suara parau Ochie tak lelah mengingatkan semua orang untuk berbuat sesuatu terhadap saudara kita di sana.

Ah, betapa indahnya jika semua orang memandang orang lain sebagai saudara. Tanpa melihat suku, agama, ras juga pilihan keyakinan.

Catatan:

Jika anda ingin membantu Ochie, kirimkan sumbangan melalui Dompet Dhuafa.



Operasi Penyelamatan Setya Novanto

Setya Novanto bertemu Presiden Soeharto

FOTO itu akhirnya beredar juga. Setya Novanto terbaring di ranjang rumah sakit, disertai alat bantu yang menjaga detak jantungnya tetap normal. Mata Novanto terpejam. Ia nampak pucat seakan-akan kehilangan energi. Di sisinya, seorang perempuan berdiri demi menjaganya. Tidak jelas siapa yang pertama kali mengedarkan foto itu.

Sekilas, foto itu mengabarkan kondisi terakhir Novanto yang tengah kritis. Namun mereka yang jeli bisa segera melihat pesan di foto itu. Banyak netizen yang justru melihatnya negatif. Padahal pesan foto itu sederhana. Novanto hendak mengulur waktu pemeriksaan. Dengan mengulur waktu, ia punya kesempatan untuk mengeluarkan kartu demi kartu terakhir yang dimilikinya. Namun bisakah ia berkelit dalam waktu yang kian sempit?

Perumpamaan paling tepat bagi Novanto adalah telur di ujung tanduk. Ia berada di atas tebing yang amat curam. Tak ada pilihan baginya selain jatuh dan terguling ke bawah. Tapi foto itu mengisyaratan satu hal penting, yakni Novanto tak sedang diam. Foto itu dibuat untuk mengaburkan perhatian publik agar ikut dalam desas-desus panjang tentang polemik kesehatannya, dan di saat bersamaan, ia lebih leluasa untuk memainkan sejumlah tindakan di balik layar. Seberapa kritis Novanto? Mari kita lihat bersama.

Di internal Golkar, ia mulai digoyang. Yorrys Raweyai, atas nama Tim Kajian Elektabilitas bekerja sama dengan Koordinator Bidang Kajian Strategis dan Sumber Daya Manusia Partai Golkar, Letjen TNI (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus, telah memaparkan hasil survei tentang elektabilitas Partai Golkar yang menurun. Dalam paparan tersebut dijelaskan, elektabilitas partai menurun karena citra partai yang buruk. Permintaan mereka tegas. Novanto harus nonaktif.

Yorrys dikenal sebagai salah satu kader Golkar yang loyal kepada Novanto. Tindakan Yorrys tak bisa dibaca sebagai serangan pada Novanto. Ia hanya menjalankan satu skenario untuk membuat diskusi tentang Novanto ngambang. Bukan berarti partai abai pada ketua umumnya, tapi partai merespon suara-suara sumbang di luaran, termasuk dari sejumlah elite politik, yang ingin menyingkirkan Novanto. Suara berbeda penting untuk mengetahui siapa yang loyal dan siapa yang tidak loyal.

Gayung seakan bersambut. Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono membantah Yorrys. Agung juga membantah isu yang menyebutkan DPP meminta Novanto untuk mundur. Agung mengingatkan jajaran DPP Partai Golkar untuk lebih berhati-hati memberikan pernyataan terkait kondisi partai. Rekomendasi Tim Kajian Elektabilitas, kata dia, seolah-olah sudah menjadi keputusan DPP Partai Golkar.

Dari sumber internal partai berlambang beringin itu, berhembus kabar, Novanto masih memegang penuh kendali partai. Ia tak mungkin melepas kendali sebab “hidup-matinya” akan ditentukan oleh sejauh mana dukungan politik yang diterimanya. Kalau dirinya diturunkan dari posisi ketua umum, bisa kiamat baginya. Kalaupun skenario itu terjadi, maka dia harus bisa menaikkan seorang loyalisnya di posisi itu. Ini harga mati yang sedang dipegangnya.

Sebagai politisi senior, Novanto sudah banyak makan asam-garam dunia politik. Sebagai the man behind the gun, ia adalah master di belakang layar dan menjadi pengendali semua pergerakan. Tapi apa daya, hasrat untuk tampil di hadapan publik demi apa yang disebut Abraham Maslow sebagai aktualisasi telah membawanya untuk tampil ke depan. Ia lalu menjadi sorotan layar dan blitz kamera para jurnalis. Ia mesti siap menghadapi sejumlah orang yang menguntit langkahnya dan menebar paku dan duri di situ.

Sejarah hidupnya penuh lika-liku. Sejak masa Orde Baru, ia telah eksis dan menjadi panitia penulisan buku Manajemen Presiden Soeharto. Sejatinya, ia bukan tipe intelektual. Ia pebisnis tulen. Akan tetapi ia bisa saja memaksimalkan banyak sumberdaya manusia demi  merapat ke kekuasaan. Melalui buku, ia menembus lingkaran Soeharto dan mendapat tempat khusus yang kemudian melapangkan jalan bisnisnya.

Hingga berbagai rezim berganti, ia tetap eksis. Yang dilakukannya adalah memaksimalkan kerja-kerja jejaring untuk mencapai profit semaksimal mungkin. Dalam dunia politik, uang tak mengenal tuan. Kata seorang politisi, ia mudah menggelontorkan uang ke mana-mana, menjaga kekuatan jaringannya, lalu mengubah semua lawan menjadi sekutu yang akan melindunginya. Ia sukses di bidang bisnis, lalu menggunakan finansial sebagai benteng untuk membangun kekuatan.

Dalam situasi seperti saat ini, apakah gerangan kartu yang akan dimainkannya dalam ruang politik yang kian sempit? Jika kita menjadi Novanto, apakah operasi penyelamatan yang paling bisa dilakukan untuk keluar hidup-hidup dari persoalan berat yang tengah membelitnya?

Pertama, pastikan partai tetap dalam genggaman. Jika arus penonaktifan dirinya semakin deras, ia harus memastikan siapapun ketua umum Golkar harus loyalis dan setia pada dirinya. Ia harus membangun lingkar inti.

Dalam politik, lingkar inti sangat penting untuk menjadi benteng bagi seseorang sebagai tempat berlindung, sekaligus mengumpulkan amunisi lalu diterapkan dalam strategi menyerang lalu bertahan. Dirinya pasti akan mendapatkan banyak masukan dari sahabat-sahabatnya ahli hukum, serta para prajurit lapangan dan media massa yang akan melancarkan counter attack secara simultan dengan berbagai strategi.

Salah satu yang akan direkomendasikan dari lingkar inti itu adalah ia mesti mengenali sejumlah tokoh kunci yang bisa mempengaruhi bangunan politik. Ia tahu betul tentang kultur politik kita yang patron-client.

Kedua, beberapa politisi akan disiapkan untuk berperan sebagai counter attack sembari terus melakukan kampanye negatif terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di zaman SBY, peran-peran sebagai penggempur ini sukses dimainkan oleh Ruhut Sitompul. Di barisan Novanto, peran-peran itu akan diperankan oleh duet parlemen Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Kedua sosok ini akan mengamankan posisi Novanto di parlemen. Novanto dan Fadli adalah sesama orang dekat Donald Trump. Sedangkan Fahri Hamzah dibiarkan terus memainkan perannya untuk menggerogoti KPK secara wacana.

Duet Fadli Zon dan Fahri Hamzah sejauh ini sukses memorak-porandakan barisan para penggempur. Fadli bergerak di dalam parlemen, tampil di televisi, memaksimalkan lobi untuk mempertahankan Novanto, juga memastikan kelompok oposisi akan membiarkan langkah gerak Novanto. Sedangkan Fahri akan terus memainkan kartu serangan pada KPK, dengan backup dari panitia khusus angket KPK yang beberapa tokohnya adalah Misbakhun dan Masinton Pasaribu.

Novanto juga mesti menyiapkan backup dari sejumlah akademisi loyalisnya yang akan tampil di televisi demi mengeluarkan opini ‘seolah-olah cerdas dan bijak’, namun sesungguhnya telah dikendalikan semua arah pembicaraan. Lagi-lagi, yang diharapkan adalah dukungan publik yang akan terbelah dan memberikan dukungan. Tentu saja, semua media memiliki daftar para intelektual yang analisisnya bisa diisi dan dikendalikan.

Ketiga, kendalikan opini media. Sebagaimana dikatakan Hitler, kebenaran adalah kebohongan yang dikalikan seribu. Artinya, gunakan media massa untuk selalu menggemakan kebenaran versinya. Rebut perhatian netizen melalui foto, meme, tentang dirinya. Buat semua orang gelisah dan kasak-kusuk, memperdebatkan dirinya, dan di saat bersamaan ia bisa melancarkan operasi senyap untuk penyelamatan. Maksimalkan kerja-kerja spin doctors untuk mengemas informasi demi memenuhi kebutuhannya.




Yang juga diperlukan adalah tim analis media yang selalu memberikan report tentang kecenderungan diskursus liputan media. Ketika liputan itu selalu memojokkan, maka dicarilah newspeg atau cantolan isu yang menyanggahnya. Ia akan melakukan media monitoring demi melihat ke mana isu berhembus, sembari melakukan buying time atau mengulur waktu agar lobi bisa dimaksimalkan.

Keempat, bangkitkan cyber army untuk membalas semua komentar di media sosial. Sejauh ini, langkah Novanto cukup efektif saat Twitter justru bersih dari pembenci Novanto. Nyaris belum ada yang mengeluarkan kultwit tentangnya, yang menyebar luas. Lingkar inti akan menyuplai informasi ke sejumlah jenderal pasukan media sosial yang kemudian membuat postingan di berbagai kanal social media. Rekrut para pembuat meme, opinion leader di media sosial yang lalu mengeluarkan berbagai jurus postingan untuk menggempur semua warga media sosial yang kerap berkicau dengan status.

Kelima, gunakan operasi senyap untuk melobi sejumlah politisi. Langkah terakhir yang akan dilakukan setelah semua strategi itu ditempuh adalah membawa amunisi itu ke hadapan pemerintah, dalam hal ini presiden. Tawarkan konsesi yang menguntungkan. Kalau iming-iming tidak efektif, keluarkan senjata terakhir yakni dukungan penuh dari partai kuning. Ungkapkan bahwa partai kuning telah menjadi garda terdepan untuk mengawal pemerintah.

Tentunya, sosok paling penting yang harus ditemuinya adalah Presiden Joko Widodo. Hanya saja, sebelum menemui presiden, ia akan menyisir sejumlah pihak lain yang juga punya pengaruh. Ia akan roadshow ke Megawati, Surya Paloh, Prabowo Subianto, hingga tokoh-tokoh organisasi berbasis agama. Dalam politik, perselisihan hanya nampak di layar kaca dan para pendukung fanatik yang saling ejek. Di aras ril politik, semua kepentingan bertemu, dan selalu ada harga dari setiap negosiasi.

Sejak kasus “Papa Minta Saham”, nama Novanto telah lama menjadi garansi bagi pemerintah. Ada dugaan kalau kasusnya lama ter-pending karena dukungan dan backup yang diberikannya secara penuh kepada pemerintah. Novanto sukses mengubah haluan Golkar yang tadinya masuk dalam koalisi oposisi, menjadi pendukung setia semua kebijakan pemerintah. Proposalnya harus diisi dengan sederet prestasi, capaian, dan dukungan pada pemerintah. Kalau perlu, ia garansikan

Ia juga harus meyakinkan PDIP untuk mendukungnya. Dalam politik yang serba pragmatis, kepentingan Novanto dan PDIP bisa bertaut di banyak titik. Novanto butuh operasi penyelamatan, sementara PDIP juga butuh garansi dari banyak pihak agar agenda politiknya, termasuk memenangkan banyak pilkada, pemilu dan pilpres tetap mulus, sesuai rencana di atas kertas.

***

LAGI-lagi, ini hanya diskusi tentang apa yang akan dilakukan jika sekiranya saya dalam posisi Novanto. Ini hanya penghampiran. Politik kita tertutup kelambu sehingga dinamika dan pergumulan di dalamnya sepi dari pantauan publik. Yang dilihat publik adalah liputan media massa, yang sebenarnya telah mengalami sensor, pengaturan, serta telah dikendalikan demi menguasai opini dan persepsi.

Yang terjadi sesungguhnya adalah dihamparkannya adu strategi dan taktik yang senyap, tak banyak diketahui, serta melibatkan permainan politik tingkat tinggi yang hanya diketahui segelintir orang. Setya Novanto mengharuskan dirinya untuk membuat kompromi paling maksimal demi lolos dari persoalan yang wacananya kian membesar dan mulai menikamnya perlahan-lahan.

Sosok paling penting yang harus ditaklukannya adalah Presiden Joko Widodo. Sejauh ini, ia sukses menjadi abdi yang setia dan mengikuti semua kebijakan pmerintah. Menghadapi kasusnya yang makin menghimpit, ia tak punya jalan lain selalu bersimpuh di hadapan pemerintah dan menawarkan semua konsesi apapun demi satu kalimat dukungan.

Pada sisi lain, pemerintahan Joko Widodo tengah menghadapi sorot mata dan ujian publik. Jika dirinya menjalankan agenda pemberantasan korupsi, tak bisa tidak, pelampung Novanto harus dilepas. Novanto harus dibiarkan megap-megap dan menggapai-gapai bantuan lain. Namun jika pemerintahan ini ingin terus bertahan dan melenggang kangkung ke periode kedua, Novanto harus diselamatkan. Meskipun langkah itu akan menciderai KPK, bintang terang dalam pemberantasan korupsi.

Dalam segala dilema itu, pasukan pendukung Ketua DPR itu mengeluarkan foto Novanto yang tengah tergolek dengan masker serupa yang dikenakan seorang musuh dalam film Batman. Apakah ia bisa keluar dari situasi sulit ini? Jawabannya akan segera tersaji di hadapan publik. Namun sepertinya, bukan dalam waktu dekat. Kita lihat saja.





Matinya Para Ahli



PAGI ini saya teringat artikel Tom Nichols berjudul The Death of Expertise, yang kemudian dikembangkan jadi buku. Nichols membahas tentang kematian para ahli di era milenial ini. Banyak orang yang lebih suka bertahan dalam ketidaktahuannya, tanpa mau mendengar mereka yang benar-benar ahli dan menghabiskan hidupnya untuk mendalami satu topik. Para ahli ditinggalkan. Suara kelimuan dibuang jauh-jauh, hanya karena dianggap berbeda dengan sesuatu yang diyakini benar.

Barusan saya melihat poster nonton bareng dan dirangkaikan dengan kajian sejarah. Di poster itu tertera akan ada kajian sejarah yang akan diurai oleh seorang ustad bergelar insinyur dan master bidang agama. Ke mana para sejarawan atau orang yang benar-benar ahli dan belajar sejarah? Ke mana para peneliti sejarah? Ke mana orang-orang yang selama ini menulis dan rajin membahas hal itu dalam berbagai simposium sejarah?

Tiba-tiba saja saya terngiang kalimat Tom Nichols. Lihat artikelnya DI SINI.




Mengayuh di Ombak




SELALU menyenangkan punya banyak kawan penulis. Sering saya mendapatkan buku secara gratis sebagai hadiah. Entah kenapa, setiap kali menerima hadiah buku, apapun topiknya, ada banyak rasa girang terpancar. Saya membayangkan kerja-kerja intelektual yang tidak mudah. Seorang penulis melakukan riset, menyusun fakta demi fakta, menautkan setiap keping narasi demi menyusun patahan-patahan bab yang dirangkai menjadi buku.

Seorang penulis juga harus punya keberanian berlipat-lipat. Ia harus siap menerima penilaian publik, entah itu positif ataukah negatif. Keberanian ini tak selalu dimiliki oleh banyak orang, bahkan para intelektual sekalipun, yang lebih suka berkoar di media ataupun seminar, tapi tak punya karya. 

Penulis juga harus siap menghadapi kritik orang lain yang, entah kenapa, sangat suka menguliti atau mencari celah karya apapun. Di negeri ini, menjadi pengkritik atau pengamat sering dianggap lebih bergengsi dari para pembuat karya yang mengalami proses berdarah-darah demi melahirkan sesuatu.

Saya paham bahwa menulis itu tidak mudah. Anda bisa saja menguasai banyak pengetahuan, tapi saat anda tak mampu mengisi layar kosong dengan aksara, maka anda harus mengakui kalau pengetahuan anda masih sebatas kutipan-kutipan dari penulis yang menurut anda keren. Selagi anda tak pernah membagikan pengetahuan di atas layar ataupun lembaran, maka anda belum naik level ke arah reproduksi pengetahuan baru.

Hari ini saya menerima buku berjudul Mengayuh di Ombak: Potret Potensi dan Permasalahan Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil di Sulawesi Selatan. Buku ini ditulis sahabat saya Wahyu 'salik' Chandra di Makassar. Isinya sangat menarik sebab menyajikan perjalanan ke kampung-kampung nelayan, memuat kisah mereka yang mengayuh di atas ombak, juga potret persoalan yang dihadapi di sana. Saya familiar dengan topik-topik yang disajikan.

Beberapa waktu lalu, saya pernah bekerja sama dengan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) untuk menyusun buku serupa yang berjudul Membangun Indonesia dari Pinggiran: Kisah-Kisah Pendampingan Masyarakat di Pulau-Pulau Kecil. Isinya juga mendiskusikan bagaimana kisah mereka yang tinggal di pesisir laut.

Sebagai balas atas kebaikan Wahyu 'salik' Chandra yang mengirim bukunya, saya juga akan mengirimkan buku saya yang temanya seragam.