Dokter Ochie bersama pengungsi Rohingya |
SEBULAN lalu, hampir semua kanal media
sosial dipenuhi teriakan dukungan untuk Rohingya. Tak sekadar dukungan, banyak
pula yang memaki pemerintah. Banyak orang mengira bahwa umpatan di media sosial
adalah cara terbaik untuk membela mereka yang teraniaya di sana. Kini, nama
Rohingnya nyaris tak lagi ditemukan di media sosial. Yang muncul adalah
kekhawatiran atas bangkitnya satu partai politik yang terkubur di masa silam.
Saya teringat kalimat seorang sejarawan:
ingatan orang Indonesia itu pendek. Setiap peristiwa akan berlalu dalam
sekejap. Kita mudah tersulut dalam perdebatan atas sesuatu yang sedang
ngetrend. Begitu ada isu baru, perhatian kita segera berpindah. Hingar-bingar
perdebatan tentang Rohingya langsung pupus ketika isu komunis datang. Kita
seakan lupa penderitaan warga Rohingya, hanya karena ajakan nonton bareng yang
disampaikan Panglima TNI.
Tak ada lagi perdebatan dan desakan
kemanusiaan. Malah, seorang kawan beranggapan bahwa asalkan sudah menyumbang,
maka kewajibannya telah usai. Rohingya tak seramai dulu. Kini, isunya adalah
komunis. Semuanya seakan hilang tersaput angin. Rohingya seakan sudah selesai.
Dari banyaknya barisan mereka yang rajin
membahas Rohingya, terdapat segelintir orang yang justru lebih banyak diam,
tapi tak benar-benar diam. Mereka tak ikut dalam debat dan tengkar di medsos,
namun meringankan tangan dan kaki untuk berbuat sesuatu. Tanpa mengajukan
permintaan dana di jalan-jalan, atau sibuk menyalahkan orang lain hanya karena
opini tentang Rohingya, mereka berbuat sesuatu. Mereka tak hendak hanyut dalam
arus besar wacana.
Dari tanah Bangladesh, lokasi pengungsian
warga Rohingya, saya tersentuh saat membaca pesan dan foto seorang sahabat
bernama Dokter Rosita
Rivai. Rupanya, dia menjadi relawan kemanusiaan di sana. Ia datang bersama
rombongan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bekerjasama dengan Dompet Dhuafa.
Ochie, demikian ia disapa, menjadi dokter yang mengabdi di jalur kemanusiaan. Ia
melawan kemapanan khas kaum menengah perkotaan yang lebih suka di rmah sembari
bercuit di medsos. Ia datang ke lokasi konflik, mengobati mereka yang sakit,
menggendong anak kecil yang terkena gizi buruk, berdialog dengan banyak orang.
Saya mengenal Ochie sewaktu dirinya
menjadi mahasiswa Fakultas kedokteran, Universitas Hasanuddin di Makassar.
Tadinya, saya pikir dirinya seperti mahasiswa kedokteran lain, yang barangkali
hendak berniat menjemput kemapanan setelah lulus. Tapi Ochie berbeda. Ia
bergabung dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kerap terjun ke berbagai
arena konflik. Ia justru tak berada di rumah-rumah sakit mewah, melainkan
berhadapan dengan segala keterbatasan di daerah konfik, mengambil risiko setiap
saat bisa terpapar sakit saat di lapangan, berjibaku demi menghapus sedih di
wajah mereka yang terpinggirkan oleh bencana dan perang.
Kekaguman saya adalah pada saat dirinya
yang kini telah berkeluarga masih saja meluangkan waktu untuk terjun dengan
kondisi yang jauh dari zona nyaman ini. Pilihan yang luar biasa untuk seorang
istri. Saya yakin suaminya adalah seorang lelaki yang kuat dan sangat terbuka
dalam memahami pilihan itu.
Hari ini, Dokter Ochie berkisah tentang
pertemuannya dengan perempuan bernama Ara di Bangladesh. Di siang terik membakar,
ia berada di tenda kesehatan milik Indonesia Humanitarian Alliance. Pasiennya
adalah pengungsi Rohingya yang terbatuk-batuk sembari memegang perut, menahan
nyeri. Ochie bercerita:
Saya melihat antrian seorang ibu
menggendong anaknya. Bibi Ara (40), menggendong anak bungsunya, Asna Biba (2
bulan). Ibu tersebut terlihat kelimpungan dalam menenangkan si bayi yang terus
meraung-raung. Saya dan dr Muh Iqbal Mubarak dari Komite Penanggulangan Bencana
IDI dan Dompet Dhuafa menghampiri ibu tersebut. Terlihat Asna Biba yang
terisak. Kepala bayi itu terlihat membesar, perutnya membuncit, namun lingkar
lengannya mengecil. Dari pelukan ibunya, dia berpindah ke tanganku.
Ochie tak sedikitpun berniat mundur. Ia
mendekati ibu itu dan mengajak bercanda:
Sekalipun dalam hati terdalam saya
teriris, saya membayangkan jika anak itu adalah anakku. Mendekam dalam derita
malnutrisi. Selang beberapa lama, bayi itu berangsur tenang. Diam dalam
pelukanku, katanya.
Ibu itu tiba di kamp pengugsian sejak 15
hari yang lalu. Dia dan bayinya ini menempuh perjalanan selama tiga hari dari
negara bagian Rakhine menuju Cox’s Bazar. Bersama rombongan pengungsi, mereka
melewati hutan, jalan berbatu, juga trauma akan desingan peluru di kampungnya.
Dalam keterbatasan pangan mereka berjalan. Dalam keterbatasan tersebut,
kadangkala si Ibu memberikan nasi atau roti yang ditumbuk terlebih dahulu lalu
dilarutkan dengan air tadahan sungai di perjalanan mereka. Sebagiannya lagi
terpaksa berlapar. Wajar ketika diare dan kekurangan gizi mendera mereka.
Asna Biba dan Bibi Ara tidak sendiri.
Banyak pengungsi terkena penyakit tersebut. Hingga hari ini sejumlah 370 ribu
pengungsi tersebut yang juga diantaranya bayi dan anak-anak itu mengalami
penyakit infeksi saluran penapasan dan penyakit kulit beberapa lainnya lagi
diare disertai penyakit mata. Mayoritas pasien adalah anak-anak balita dengan
status gizi kurang.
Kami tim medis tersebut masih membutuhkan
obat-obatan dan bahan makanan untuk para pengungsi. Karena Asna Biba dan Bibi
Ara adalah manusia. Karena Pengungsi itu adalah saudara kita, sesama manusia, katanya.
Pesan dari Rohingya membuat saya
tercenung. Di tengah isu Rohingya yang mulai tenggelam, Ochie menyampaikan
pesan melalui media sosial. Ia berharap suaranya akan menembus relung-relung
hati orang lain untuk kembali membicarakan Rohingya lalu melakukan sesuatu. Di
luar sekat-sekat politik antar negara, di sana terdapat manusia yang menanti
bantuan dan uluran tangan. Ia mengetuk nurani semua orang untuk kembali fokus
pada tragedi kemanusiaan dan melakukan segala yang bisa dilakukan untuk
mengatasinya.
Saya bisa merasakan pesan-pesan Ochie yang
menghujam ke dalam dada. Suara-suara kemanusiaan harus selalu menjadi kompas
bagi orang-orang untuk bergerak, menjadi panduan dalam segala tindakan. Suara
kemanusiaan selalu melintasi sekat perbedaan dan keyakinan semua orang. Suara
kemanusiaan melampaui segala debat dan diskusi politik dan ideologi. Dalam
segala keterbatasan, suara-suara kemanusiaan harus disampaikan ke semua pihak
yang terketuk hatinya demi berbuat sesuatu bagi sesamanya.
Saya paham bahwa Ochie tak berniat
membangun sensasi. Di tengah para pengungsi yang penuh keterbatasan itu, ia
mengirimkan pesan yang mengaduk-aduk kemanusiaan kita semua. Ia hanya ingin
kembali meningatkan orang agar tetap fokus pada Rohingya, tetap setia dan fokus
pada tugas-tugas menegakkan kemanusiaan, tanpa harus terpengaruh oleh berbagai
situasi.
Semoga saja, suaranya menembus semua hati
manusia. Termasuk menembus hati mereka yang berdemontrasi hari ini demi menolak
komunisme yang telah lama dikubur sejarah. Jika di sini, banyak orang membahas
sesuatu yang entah ada ataukah tidak, suara parau Ochie tak lelah mengingatkan
semua orang untuk berbuat sesuatu terhadap saudara kita di sana.
Ah, betapa indahnya jika semua orang
memandang orang lain sebagai saudara. Tanpa melihat suku, agama, ras juga
pilihan keyakinan.
Catatan:
Jika anda ingin membantu Ochie, kirimkan
sumbangan melalui Dompet Dhuafa.