demonstrasi yang dilakukan anggota HMI untuk menolak kenaikan BBM |
LABEL tersangka yang disematkan kepada
Anas Urbaningrum membuat semua orang dan semua media ikut-ikut menyebut nama
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Segala yang menyangkut Anas akan dikaitkan
dengan nama organisasi ini. Di berbagai jejaring sosial, banyak orang yang
memaki-maki nama HMI. Apakah Anas memang identik dengan HMI? Mengapa
orang-orang harus ikut-ikut memaki HMI? Apakah ada yang salah dengan organisasi
ini?
Memang, Anas adalah mantan Ketua PB HMI.
Tapi tak benar jika Anas menjadi representasi dari HMI itu sendiri. Di pihak
yang memberi label tersangka, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
terdapat pula alumni HMI. Dari lima pimpinan KPK, tiga di antaranya adalah
alumni HMI, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Busyro Muqoddas.
Lantas, mengapa dalam kasus Anas, label
HMI identik dengan dirinya? Mengapa orang-orang tak mengapresiasi HMI karena tiga
sosok penting KPK yang merupakan alumni HMI?
Baiklah. Kali ini, kita akan berdiskusi
tentang HMI. Meskipun karier saya di HMI tak sebenderang Anas, namun saya
merasakan betul bagaimana organisasi ini membentuk masa kemahasiswaan saya.
Tanpa ber-HMI, mungkin saya bakal nyasar sebagai mahasiswa baik-baik yang
setiap pagi ke kampus untuk kuliah, steelah itu kembali ke rumah demi
mengerjakan tugas yang diberikan dosen.
Saya mencatat beberapa salah kaprah
menyangkut penyebutan HMI di media massa, serta dari komentar para sahabat yang
mengutuk HMI di media sosial.
Pertama, sebagaimana tadi disebutkan, HMI
seolah identik dengan Anas. Padahal, ada banyak warna serta pilihan politik
alumni HMI. Harus diakui, HMI ibarat pabrik yang paling banyak menghasilkan
politisi di Indonesia. Mereka tersebar di semua partai politik dan menempati
banyak jabatan strategis. Tak semua memilih Partai Demokrat sebagaimana Anas.
Ada pula yang memilih Partai Golkar sebagaimana Jusuf Kalla, mantan wakil
presiden. Yang pasti, mereka menempati posisi strategis.
Kedua, tak semua alumni HMI memilih jalur
politik. Banyak di antaranya yang justru memilih jalur intelektual. Kita sama
tahu nama-nama besar seperti Nurcholish Madjid Dawam Rahardjo, Kuntowidjojo,
ataupun Djohan Effendi. Di zamannya, mereka adalah intelektual terkemuka yang
telah menorehkan tintas emas di negeri ini. Mereka yang lebih muda dan kini
jadi intelektual negeri ini adalah Anies Baswedan, Yudi Latief, ataupun Airlangga
Pribadi.
Banyak pula yang memilih jalur birokrat,
penguasa, ataupun menjadi warga biasa. Sebagai sebuah organisasi Muslim
terbesar di tanah air, anggotanya tersebar di seluruh Indonesia, dan banyak di
antaranya yang kemudian sukses menjadi sosok penting di institusinya.
Koordinasi di antara mereka juga terjalin rapi. Ini yang membedakannya dengan
organisasi kemahasiswaan lainnya.
Ketiga, tak benar bahwa HMI hanya menjadi
organisasi yang menopang kekuasaan. Banyak aktivis HMI yag memilih untuk setia
dengan gerakan sosial, membangkitkan kesadaran kritis, serta bersama massa
rakyat. Salah satu sosok yang bisa disebut di sini adalah Munir (alm). Mantan
Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya ini adalah pejuang
keadilan yang menjadi monumen bagi semua aktivis. Ia ditahbiskan sebagai sosok
panutan, idola, serta menjadi contoh bagaimana dedikasi seorang intelektual
untuk membela ketertindasan.
orasi yang dilakukan mantan Ketua HMI Cabang Makassar Timur |
Keempat, meskipun di HMI ada hierarki,
namun tak benar jika mengatakan bahwa semakin tinggi level jabatan di
organisasi, maka akan semakin bersinar seseorang. Saya bersepakat dengan
pernyataan Airlangga Pribadi, alumnus HMI yang kini jadi intelektual di
Surabaya, bahwa basis reproduksi intelektual HMI adalah di
komisariat-komisariat atau di fakultas. Banyak yang setia membangun
kapasitasnya di level bawah, dan tidak tertarik untuk meneruskan karier di
level cabang atau level pengurus besar.
Saya setuju dengan pernyataan ini. Jika
ingin menemukan politisi HMI, carilah di level atas. Biasanya, mereka yang ke
level atas adalah meeka yang gagal membangun karakter berpikir yang kuat
sehingga membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan para politisi yang ingin
mencengkeram HMI.
Namun jika ingin menemukan intelektual
HMI, carilah di level terbawah. Di sana, ada banyak sosok yang secara diam-diam
mengasah intelektualnya, belajar untuk menguasai dan memahami segala hal dalam
dunia Islam, lalu mengembangkan nalarnya. Mungkin, sosok mereka nampak sekuler,
atheis, atau mungkin berpikir ‘nakal’, namun sejatinya, mereka sedang berusaha
untuk menemukan posisinya di tengah rimba-raya pemikiran manusia yang amat
luas, sekaligus memahat nama Islam sebagai semesta berpikir yang mencerahkan.
Yang pasti, sosok-sosok seperti mereka
amat penting untuk tetap menjaga nyala api gerakan mahasiswa. Tanpa anak muda
yang kritis, berani, serta siap melawan arus, maka kita tak akan pernah
mendengar kisah-kisah tentang perubahan negeri ini. Selagi HMI masih melahirkan
anak-anak muda demikian, maka kita semua bisa berharap banyak tentang negeri
ini di masa mendatang.
Terakhir, saya hendak mengatakan bahwa
Anas memang alumni HMI, tapi dia bukanlah satu-satunya. Ada demikian banyak
kader lain yang sedang mengasah dirinya secara diam-diam, yang tidak sedang
disoroti media, dan boleh jadi kelak akan menjadi salah satu pemimpin bangsa
ini. Ada banyak kader lain yang tidak sedang tersandung kasus korupsi dan
tengah meniti jalan bagi negeri untuk berubah.
Mereka yang memaki Anas lalu memaki HMI
adalah mereka yang berpikir keliru. Mereka sama halnya dengan sejumlah
mahasiswa Amerika yang sedang belajar tentang korupsi Soeharto lalu tiba-tiba
menganggap semua orang Indonesia koruptor. Atau mereka yang sedang belajar
tentang konflik etnis di Indonesia, lalu menuduh semua orang Indonesia suka
bunuh-bunuhan. Mereka yang memaki Anas lalu memaki HMI adalah mereka yang
berpikir sebagaimana sebagian warga Amerika yang menganggap bahwa semua orang
Islam punya prilaku suka membom hanya karena punya trauma dengan sosok Osama
bin Laden.
Munir, alumni HMI yang mendedikasikan dirinya di jalur aktivisme sosial |
Padahal, Anas hanyalah satu noktah kecil
di HMI yang sedang terkena tuduhan korupsi. Ia hanya satu dari jutaan alumni
lainnya yang sedang bekerja untuk bangsa ini dengan cara-cara yang lurus dan
benar. Jika kelak si Anas itu terbukti melakukan korupsi, maka biarlah sejarah
yang mencatat namanya sebagai salah seorang yang gagal meniti di jalan lurus,
jalan yang berseberangan dengan jalan Munir, alumni HMI yang telah mengorbankan
nyawanya untuk sesuatu yang lurus.(*)
Athens, Ohio, 27 Februari 2013