PRIA itu memejamkan mata. Bibirnya merapal beberapa mantra dalam bahasa yang sukar diketahui. Tak lama kemudian ia menghembuskan air dari mulutnya ke kaki seorang remaja yang kemudian pingsan di tempat. Ia lalu membuka sebuah peti dan keluarlah ular sawah yang melata menuju remaja itu. Semua orang langsung ketakutan. Seroang perempuan histeris. Tapi pria yang mengenakan kopiah itu hanya tersenyum. Ia lalu mengambil ular itu lalu berbisik di telinga ular. Entah apa yang dibisikannya, yang jelas ular lalu patuh pada keinginan lelaki di tengah lingkaran tersebut. Pria itu seperti Harry Potter yang menguasai bahasa ular dan memerintahkan untuk masuk ke dalam kotak.
Saya tidak sedang bercerita tentang sirkus atau atraksi mengendalikan binatang. Bukan juga membahas Harry Potter yang heboh. Saya sedang berbicara tentang atraksi seorang penjual obat yang seolah membahami bahasa ular sebagaimana Harry Potter di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Saat ini, warga Makassar sedang demam penjual obat. Mungkin ini aneh sebab rumah sakit bertaraf internasional berdiri megah di mana-mana. Bahkan klinik asal negeri lain ikut-ikutan berdiri di kota ini. Tapi warganya tetap saja jauh lebih percaya pada penjual obat di pinggir jalan ketimbang klinik mahal itu.
Dalam sehari, saya bisa menyaksikan dua penjual obat di pinggir jalan. Pertama saya saksikan di depan ruko dekat Gedung Arsip, Tamalanrea. Kedua, saya saksikan di dekat Mal M-Tos. Pemandangannya sama. Masyarakat menyemut, membentuk lingkaran, dan di tengah lingkaran itu, sang penjual obat beraksi. Sang penjual obat ibarat seorang maestro yang menampilkan kehebatannya. Ia sadar betul bahwa lingkaran itu adalah panggung dan dirinya ibarat presiden yang menyihir penontonnya. Di situ doktrin tentang negara yang memberikan jaminan kesehatan bagi warga tidak berlaku. Ia punya kuasa untuk menentukan apa yang benar dan tidak benar, mana yang sakit dan mana yang sehat.
Kita mungkin menyebutnya pembual. Tapi di lingkaran itu ia seolah memaparkan sabda yang diamini semua penonton. Buktinya, penonton merogoh kocek dan mengeluarkan pundi-pundinya demi sang penjual obat. Ia memulai retorika tentang obat setelah sebelumnya mengeluarkan atraksi demi mengumpulkan massa. Ia sering menampilkan binatang seperti buaya atau ular. Kadang ia beratraksi seakan-akan hendak menyembelih asistennya. Ketika massa menyemut, mulailah ia mengeluarkan obatnya dan menjajakan kepada khalayak. Sungguh ajaib! Obat itu ludes terjual hanya dalam hitungan menit.
Ini fenomena apa? Kita bisa menyusun banyak hipotesis. Boleh jadi masyarakat suka dengan hiburan. Boleh jadi masyarakat kita suka dengan hal-hal mistik, misalnya kontak manusia dengan ular atau buaya. Kawasan dekat Sungai Tello, Makassar, adalah kawasan yang paling sering macet berjam-jam hanya karena berhembus isu kalau di situ ada buaya putih yang datang mencari saudaranya, manusia di sekitar sungai itu. Semua penasaran. Jalanan macet. Keesokan harinya, semua koran lokal akan menampilkan berita misteri buaya putih itu.
Masyarakat Makassar memang suka dengan hal-hal mistik, khususnya cerita tentang buaya yang bersaudara dengan manusia. Makanya, ketika penjual obat menampilkan buaya, maka masyarakat akan berkerumun. Apalagi kalau sang penjual obat mengisahkan hal-hal misterius tentang buaya itu. Ia paham tentang psikologi massa serta apa saja yang membetot perhatian publik.
Saya melihat penjual obat sebagaimana dukun. Mereka punya kemampuan tradisional seperti mantra dan sihir, namun dikemas dalam retorika yang hebat tentang satu obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit. Pada titik ini, mereka lebih dipercaya ketimbang dokter. Mungkin saja. Kata teman saya, ada perbedaan besar antara dokter dengan penjual obat. Jika dokter menyembuhkan satu penyakit dengan cara memberikan banyak obat, maka penjual obat berjanji untuk menyembuhkan banyak penyakit hanya dengan satu obat. Perbedaan lainnya, dokter mengobati pasien dengan ekspresi yang dingin dan tenang. Sementara penjual obat memberikan ilustrasi, deskripsi, serta retorika yang menguatkan.
Saya menyebut kata ‘menguatkan’ karena saya melihat penjual obat seperti halnya terapis yang memberikan harapan kepada penontonnya. Ia tidak hanya menghibur tapi juga menumbuhkan optimisme bahwa penyakit seberat apapun pasti bisa sembuh sepanjang kita yakin dengan khasiat apa yang kita minum. Malah, kemarin saya melihat seorang penjual obat yang beberapa kali membacakan ayat-ayat Al Quran demi membuka rezeki seorang tukang becak. Bagi saya ini jelas aneh. Jika sang penjual obat bisa membuka rezeki, mengapa ia tidak meminta langit untuk membuka pintu rezekinya sehingga ia tak perlu jual obat di pinggir jalan? Makanya, saya melihat itu sebagai strategi retorika. Masyarakat tersentuh dan tersugesti, dan di sisi lain, ia juga sukses sebagai penjual obat.
Komentar Pemerintah
Banyaknya penjual obat di seantero Makassar ditanggapi sinis oleh pemerintah. Seorang pejabat Sulsel dengan entengnya menyalahkan warga yang katanya tidak berpendidikan. Sang pejabat menyebut masyarakatnya yang bodoh. “Semua fasilitas kesehatan modern sudah disiapkan, ngapain mereka percaya sama penjual obat,” katanya dengan sedikit angkuh. Saya rasa ini pandangan yang keliru sebab menganggap segalanya berpangkal pada kebodohan masyarakat.
|
salah satu bagian di RS Wahidin, Makassar, yang dikhususkan bagi pasien kaya |
Sesat pikir juga melanda media massa. Kerap media menuding bahwa tingkat pendidikan yang rendah sebagai pemicu tingginya kepercayaan pada penjual obat dan para dukun. Apa sih kaitannya prilaku ke dukun dengan tingkat pendidikan rendah? Saya rasa tak ada kaitannya. Bahkan di negeri yang sudah maju seperti Amerika dan Cina sekalipun, masyarakat masih saja percaya dengan segala ramalan atau peruntungan. Orang Amerika punya ramalan tarot, sementara Cina punya hong shui, feng shui, hingga ramalan garis tangan. Bukankah semuanya sama-sama tak rasional dan tak berbeda dengan praktik perdukunan?
Dalam hal penjual obat, saya melihat mereka punya strategi retorik yang hebat untuk memikat khalayak. Selain itu, di saat bersamaan, ada realitas sosial budaya yang menyebabkan masyarakat begitu mudah percaya pada mereka. Ada kondisi-kondisi yang dialami masyarakat kita yang menyebabkan mereka begitu mudah percaya dengan penjual obat. Pada titik ini, tindakan menyalahkan mayarakat sangat tidak tepat sebab yang perlu dilakukan adalah menyadari situasi dan merefleksikan apa yang dialami masyarakat demi menemukan kesepahaman bersama.
Saya punya analisis sederhana. Banyaknya masyarakat yang menyemut adalah cermin dari mahalnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kian banyak yang miskin dan tidak sanggup untuk memasuki gedung-gedung mewah rumah sakit internasional. Di saat bersamaan, para penjual obat hadir dengan membawa sugesti, memberikan harapan kepada masyarakat untuk sembuh, dan memberikan motivasi kepada masyarakat luas.
|
RS bertaraf internasional di Makassar |
Tindakan ke penjual obat tak bisa dijustifikasi akibat kebodohan atau pendidikan rendah. Kepercayaan pada dukun dan penjual obat dibimbing pikiran rasional yakni keinginan untuk mendapatkan kenyamanan secara psikologis yang tidak membebani isi dompet. Saya pernah mewawancara seorang tukang ojek. “Setiap saya ke rumah sakit, saya harus membayar Rp 200 ribu untuk konsultasi dan obat. Itupun saya diberitahu kalau obatnya habis, maka saya harus balik lagi ke rumah sakit. Tiga kali ke situ, saya sudah bangkrut. Sementara penjual obat, saya hanya bayar Rp 20 ribu termasuk didoakan,” katanya.
Artinya, masyarakat punya alasan yang jauh lebih praktis, efisien, dan low cost dari sisi ekonomi. Masyarakat lebih merdeka dalam bertindak, ketimbang pemerintah yang bertindak karena dipandu sejumlah aturan pusat, konstitusi, udang-undang serta sesuatu yang disebutnya “amanah rakyat.” Sementara masyarakat terbebaskan dari berbagai keharusan itu. Mereka bebas menentukan hendak ke mana dan memilih jalur pengobatan seperti apa. Urusan ke penjual obat saja kok direpotin?
Ketimbang menyalahkan masyarakat, jauh lebih baik jika negara mengintrospeksi diri bagaimana pelayanan rumah sakit. Rumah sakit menjelma menjadi rumah sakit yang sebenarnya yaitu rumah yang kian menyakiti mereka yang datang berkunjung. Biaya yang mahal akibat serbuan produsen farmasi yang memberi iming-iming kepada para dokter telah lama menjauhkan rumah itu dari misi-misi idealis. Meskipun ada banyak program kesehatan, namun selalu saja tidak bisa memberikan kenyamanan bagi pasien.
Kita bisa mengatakan bahwa tindakan masyarakat yang lebih percaya penjual obat adalah potret dari terbatasnya akses ke sarana pengobatan. Sementara tindakan pemerintah yang mengatakan masyarakat bodoh adalah potret bekerjanya kuasa pengetahuan yang mendefinsikan yang lain dengan cara berbeda. Masyarakat punya pengetahuan sendiri, namun pemerintah juga punya kuasa pengetahuan untuk mendefinisikan mereka sebagai bodoh atau rendah pendidikan.
Kuasa pengetahuan itu bekerja dalam kesadaran dan diejawantahkan dalam praktik yang mendiskriminasikan orang lain. Kuasa pengetahuan itu seakan membatasi pandangan pemerintah agar melihat sesuatu dengan kacamata kuda yaitu hanya melihat satu sisi dan mengabaikan sejumlah nalar yang sangat penting dalam pembentukan kesadaran. Dan ketika rumah sakit tetap saja mahal dan tidak terjangkau masyarakat, maka pilihan untuk berobat ke pria seperti Harry Potter yang memahami bahasa ular akan menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh masyarakat. Bukankah demikian?
Makassar, 26 Juli 2011