Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Seribu Tulisan di Malam Tahun Baru

TANGAN saya agak gemetar ketika membuat tulisan ini. Saya tak tahu hendak memulai dari mana. Ini adalah tulisan yang ke-1000 sejak saya pertama mendirikan blog ini empat tahun silam. Anda bisa saja mencibir bahwa angka seribu hanyalah suatu derajat kuantitatif atau angka-angka yang beku semata. Anda juga bisa mencemooh bahwa seribu tulisan di sini tak berguna sama sekali sebab hanya merekam ide yang berkelebatan agar tidak lepas dan lenyap begitu saja. Atau Anda hendak mencaci bahwa seribu tulisan di sini hanyalah sampah yang berserakan di dunia ide.


Memang, tulisan di sini bukanlah sebuah karya ilmiah yang taat asa dan aturan kepenulisan. Bukan juga sebuah diktat yang ketat dengan fakta dan data. Namun siapapun yang menggeluti riset kualitatif dalam ilmu sosial, pastilah akan menyadari betapa berharganya sebuah rekaman pengalaman yang dituliskan dengan jujur, dengan orisinil, serta penuh empati. Saya tak peduli apapun komentar negatif orang-orang tentang blog ini. Bagi saya sendiri, semua tulisan di sini adalah harta karun yang berharga. Tulisan di sini mengajak saya untuk bercermin, melihat ulang segala hal pada diri saya, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada diri. 

Saya membanggakan seribu tulisan di sini. Saya tahu persis bahwa seribu blog bisa lahir dalam sehari dan seribu tulisan bisa memenuhi langit dunia maya dalam hitungan jam. Tapi saya yakin tak banyak yang bisa menulis hingga seribu tulisan dalam sebuah blog. Tak semua orang menyadari bahwa yang paling penting dari sebuah blog bukanlah desain yang cantik serta tampilan yang mengesankan dan mewah. Jauh lebih banyak orang yang menjadikan blog sebagai arena untuk mengejar materi, tanpa melakukan pendalaman dan mengasah kedewasaan. Namun, tak semua orang menyadari bahwa yang paling penting adalah konsistensi serta kesediaan untuk menulis secara teratur, kesediaan untuk menulis dengan jujur, dengan segala kejernihan.

Bagi saya, seribu tulisan di sini bukanlah baris-baris kata yang tanpa makna. Seribu tulisan di sini adalah rekaman utuh dari sebuah perjalanan dan pengelanaan di langit-langit gagasan, mencipta sesuatu, hingga merajut untaian kata menjadi mantra yang berharga. Mungkin, kedengarannya agak pongah. Bukankah berpikir, merenung dan berefleksi adalah sebuah laku yang mengutak-atik konsep atau gagasan? Bukankah pada saat itu saya sedang berkelana di langit gagasan? Terlepas dari sebegitu dangkalnya pemikiran saya bagi sebagian orang, namun saya belajar untuk melahirkan orisinalitas, sesuatu yang amat gersang di kalangan para intelektual di negeri ini yang kebanyakan hanya bisa cuap-cuap di televisi. 


Saya belajar untuk tidak plagiat, sebuah penyakit yang tengah menjangkiti para akademisi kita di mana-mana. Tulisan di sini mengajari saya untuk bersikap jujur pada diri saya sendiri. Seribu tulisan di sini adalah catatan tentang sesuatu yang pernah memenuhi alam pemikiran saya, apakah itu tentang buku, sebuah film, atau kenyataan kecil di satu sudut bumi yang kemudian menggerakkan dan menjelma menjadi imaji yang memenuhi otak di kepala lalu dilepaskan ke dalam baris-baris kalimat. Saya pernah melihat, mendengar, merasakan, meraba, atau mengecap sesuatu yang lalu menjadi konsep di benak, menjadi keping inspirasi yang lalu bertransformasi menjadi kata yang memenuhi blog ini. Di sini saya tidak sekadar menulis, namun belajar utuh dari setiap pengalaman, dan menyadari bahwa pengetahuan saya hanyalah secuil dari samudera pengetahuan yang pernah hadir di semesta kita. Saya hanya sanggup menggapai tepi pasir dari dalamnya pengetahuan sebagaimana yang terangkum dalam ensiklopedi pengetahuan sebagai capaian terbesar dalam peradaban kita hari ini.

Mungkin saja pada suatu masa, saya menampilkan kebodohan secara terbuka di sini, atau tentang kedunguan saya ketika melihat dunia. Saya tak menampik bahwa pada satu titik yang pernah dilanda kepongahan, ataupun pernah menyombongkan diri hingga sebagian orang tersakiti. Bagi saya, semuanya adalah perkara yang sangat manusiawi. Tanpa pernah mengalami kebodohan, Anda tak akan pernah beranjak maju ke arah kecerdasan. Tanpa mengalami kegelapan, Anda tak akan tahu bagaimana nikmatnya dunia yang terang benderang. Maka jalan ilmu pengetahuan dan pendewasaan akan terus terbentang ketika semua orang bersedia belajar dari kesalahan serta mengoreksi segala kedunguan di masa silam.

Saya memang belum mencapai apapun dengan semua tulisan di sini. Tulisan ini ibarat perjalanan yang belum menemukan titik akhir. Tapi saya telah berupaya untuk menangkap kilatan-kilatan gagasan yang hadir dalam benak ketika bergumul dengan sebuah realitas, lalu menjerat gagasan tersebut dalam sebuah tulisan, sekaligus mengabadikannya dalam sejarah. Dan blog ini adalah sebuah dunia tempat saya bisa berkontemplasi, bisa terbang ke langit gagasan dan membawanya pulang dalam bentuk kata. Semoga seribu tulisan di sini menjemla menjadi mantra yang kian mendewasakan dan mengasah pengetahuan. Semoga.(*)



Jakarta, 31 Desember 2010
Saat merayakan seribu tulisan di blog ini


Misteri Janus dan Refleksi di Pergantian Tahun

Dewa Janus yang memiliki dua wajah

TAHUN baru akan segera menjemput. Aku sudah mulai merasakan atmosfer suasana yang baru. Jalan-jalan sudah ramai dengan para penjaja terompet. Di sini, bentuk terompetnya unik-unik. Tapi, substansinya sama saja dengan di tempat lain. Sering kutakpaham apa makna tahun baru. Konon, kata Januari mengacu pada nama Dewa Janus yang punya dua wajah. Satu wajah menghadap ke depan sebagai pertanda menghadapi zaman yang akan datang, dan satu wajah menghadap ke belakang sebagai tanda melihat masa silam.

Personifikasi Dewa Janus ini cukup memberikan penjelasan bahwa tahun baru adalah tahun yang merefleksi perjalanan selama setahun sebelumnya, sekaligus ada pengharapan serta doa yang dirapal untuk memasuki masa depan yang lebih cermerlang. Kita berefleksi sekaligus optimis atas masa depan. Namun, seberapa banyakkah orang yang reflektif dan optimis atas hari-hari yang akan segera datang menjemput? Seberapa banyak yang bersedia melakukan refleksi dan menatap cermin kehidupan dengan jujur, mengoreksi semua kesalahan masa silam, sekaligus berjanji dalam hati untuk lebih baik di masa mendatang? 

Aneh, manusia modern selalu saja membutuhkan ritual yang berfungsi sebagai penanda untuk memulai sesuatu yang baru. Dan di malam hari ketika tahun itu berganti, suara terompet akan membahana memenuhi angkasa. Semua bergembira dengan cara masing-masing. Dan seperti biasa, hotel-hotel di Jakarta akan dipenuhi pasangan yang merayakan pergantian tahun dengan pesta seks. Di pagi hari, karyawan hotel akan membersihkan sisa-sisa sprema di seprei kamar hotel.

Orang-orang menyebutnya sebagai awal suasana baru. Padahal, esok yang baru itu justru tak berbeda dengan hari sebelumnya. Apa yang disebut esok itu adalah saat-saat ketika matahari tetap bersinar sebagaimana biasa dan kehidupan terus bergerak maju. 

Makanya, aku lebih bahagia dengan memilih momentum refleksi di malam tahun baru. Aku bahagia dengan semua yang sudah berlalu. Meskipun tahun 2010 adalah salah satu tahun terbaik yang penuh dengan berita bahagia, namun aku akan memosisikannya sama dengan tahun-tahun lainnya. Semua tahun –seperti apapun pengalaman pahit di situ—telah memberi sumbangan yang signifikan untuk menguatkan identitas, memberi nyawa bagi perjalanan hidup, serta punya kontribusi atas bangunan karakter dan setiap inchi jalanan kehidupan yang telah dilalui. Setiap tahun telah menyimpan catatan-catatan utuh tentang diri kita, tentang segala pencapaian dan kegagalan, serta pengharapan yang pernah dilepas ke langit, yang kemudian turun ke bumi sebagai pelangi pengharapan.

Selamat tahun baru 2011. Selamat berefleksi!


Imagine There's No Heaven

This Christmas colorized by intimidation. The Jakarta Post says about member of church congregation who gathering in Taman Yasmin, Bogor. They face verbal intimidation from a group of citizens in the area for conducting a Christmas prayer.

christmas in jakarta
The citizens, who claim to represent the interest of local Muslims, demand the prayer to stop or move elsewhere as they considered the activity to be illegal due to the absence of legal permit of the church. The prayer is being held inside of the church, which is still under construction, and also outside where a small congregation gathers around a Christmas tree.

When i read this news, i remember John Lennon from The Beatles, the most influential music group from in mid of 1960s. John Lennon writes a lyric about the irony in a religious relation. He says, "Imagine there's no heaven// imagine there's no country//... Imagine all the people// living as the one.."

Although Lennon emphasized his lyrics to world war, but his opinion is still contextual today. We hear the news about conflict between religious prayers in everyday. Like Lennon, sometimes I want to ask, if there is no concept about heaven, will we fight for each other? Maybe this is sounds strange. Without religion, maybe we will live as the unity of human being. Religion makes us different and separate. Religion creates a wall and putting us into one community, so that why we identified another group as something different to us. 

I hope there are no religions in Indonesia. And peace will down to the earth.

Why Christians are not create a new myth for Indonesian situation?

In the western, Christians identified Christmas with snow and cold climate. They stay in home and celebrate with family. Because living in colder clime, they wish for snow to make their Christmas as a white one. But in Indonesia, snow and colder clime is a myth. From the day when the world was created, the snow was never falling down here. And the sun never stopped to send its light here. That’s why Indonesian Christians are only sharing imagination about snow and cold. 

When I wasting my time in the department store, I’m really surprise when I see the Christmas property is snow and the statue of Santa Claus who ride a magic chart from the north pole. It’s strange for me that snow and cold still identified as Christmas in tropical country like Indonesia. Why Christians are not create a new myth for Indonesian situation?

Many month ago, I wrote the same situation when Islamic holy day. I saw the Arabic symbol in every place like desert, a camel, or Masjidil Haram, the holy mosque in Mecca, as the symbol of Moslem. I ever asked why we not created the new symbol as holy day based on our own culture and what the philosopher Ludwig Wittgenstein called as religious experience?

For me, all of religion and believing must be  contextualize with local situation. They must be adapted with local context without losing their value or meaning. Snow, winter, and Santa Claus are an accessory in western situation like Moslem which identified as desert or a camel. Maybe these facts become a reason why Christian or Islam is far from us. I hope someday we will see Santa Clause who wearing our traditional costum. I hope we will see the christmas situation in forest at tropical island under sunlight and blue sky. I hope we see the same thing in Islamic celebration day.

May your days be merry and bright, and may all your Christmas be white. 


Facebook Ngadat!

SUDAH saatnya saya belajar hidup tanpa Facebook. Sudah beberapa hari ini saya uring-uringan setiap mendengar kata Facebook. Saya agak kesal karena modem Telkom Flash yang saya pakai lebih dari dua bulan ini kesulitan mengakses situs yang dikunjungi jutaan orang itu. Padahal, semua situs lain bisa ditembus. Mengapa harus Facebook yang ngadat?


Mungkin saya mulai terjangkit dengan teori ketergantungan atau the dependency theory yang dikemukakan Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur. Kata mereka, semakin kita tergantung pada media massa, maka media itu akan semakin penting buat kita. Pada titik yang paling ekstrem, media massa itu menjadi powerful atas diri kita. Kendali kita atas tubuh dan dunia sudah diambil oleh media massa. Kita tidak lebih dari pion catur yang digerakkan media.

Tanpa Facebook, saya mulai kesulitan mengembangkan kemampuan membaca dan menulis saya secara optimal. Saya juga begitu tergantung dengan informasi terbaru tentang dunia sosial, tentang apa yang dilakukan para sahabat di tempat-tempat yang jauh di sana. Facebook serupa kota tempat saya berinteraksi dengan siapapun, tanpa memandang jarak geografis. Di sini, saya adalah apa yang saya tuliskan sebagai status, tergantung pada foto saya yang di-tag oleh para sahabat, serta saya adalah apa yang didefinisikan oleh interaksi.

Tapi hidup tanpa facebook juga memberi makna positif. Setidaknya saya bisa memikirkan hal-hal lain yang belum tuntas. Saya bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terbengkalai dan mesti segera diselesaikan.(*)


Nikmatnya Liburan

MULAI hari ini saya libur belajar di LBI UI hingga 4 Januari mendatang. Saya seolah kehilangan rutinitas bangun subuh, mempersiapkan materi, membaca, lalu mandi dan ke kampus. Sekarang, saya bangun pagi dan hanya bisa bengong, tanpa tahu hendak ke mana. Kakak menyarankan untuk ke Yogyakarta. Dan saya tertarik ke sana.

ke mana anda liburan?
Tapi belakangan, saya merevisi tawaran itu. Saya ingin mengalokasikan waktu untuk menuntaskan beberapa pekerjaan yang tertunda. Salah satunya adalah rencana penerbitan buku Negeri Seribu Benteng yang sudah lama file-nya tertahan. Buku ini sudah terlampau lama tertunda. Saya terlalu banyak menghabiskan energi untuk mengurusi hal-hal lain, sehingga nyaris melupakan hal yang jauh lebih substansial. Dengan cara menuntaskan buku, maka liburan ini akan jadi jauh lebih produktif buat saya.

Nah, mumpung lagi membahas libur, saya baru paham ternyata liburan punya sejarah sendiri. Dalam sejarah kita, libur diawali bangsa Eropa yang membutuhkan rehat setelah seminggu bekerja penuh. Kita meniru, kemudian ikut memberikan makna. Konon, pengenalan hari Minggu sebagai hari libur dimulai dari kebiasaan orang-orang Eropa di Batavia yang pergi beribadah dan pada hari itu tidak bekerja seperti hari-hari biasa. Masyarakat Eropa itu juga menikmati hari Minggu dengan bepergian ke suatu tempat, pelesir.

Ternyata, sejak masa silam, konsep libur sudah ada. Kini, di masa modern, libur menjadi sesuatu yang esensial sebagai jeda dari kebisingan hari-hari. Libur ibarat charge atas baterai kehidupan kita yang sudah lowbat. Libur akan mengisi kekosongan hari-hari setelah menjalani rutinitas yang penuh tekanan. Bukankah demikian?

Saat Kehilangan Tontonan

SEJAK dua minggu ini, aku kehilangan salah satu ritual yang dulunya intens kulakukan yakni membeli DVD dan menonton film. Maklumlah, laptop yang kugunakan ini adalah Netbook berukuran praktis yang tidak dilengkapi DVD Room. Ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya adalah ukuran yang mungil, ringan di bawa-bawa serta kapasitas yang besar untuk menyimpan data. Kekurangannya adalah aku tak bisa menyaksikan film-film terbaru di sini.

Mungkin ada baiknya jika aku berhenti menonton film dan hanya fokus pada hal lain yang lebih penting. Masalahnya, film bukan sekadar tontonan. Film ibarat makanan jiwa sekaligus media pembelajaran yang paling efektif. Film adalah kebutuhan primer yang wajib dipenuhi demi memadamkan keingintahuan atas sesuatu. Melalui film, aku menemukan kepingan inspirasi serta setumpuk pelajaran berharga yang belum tentu bisa ditemukan dengan membaca tumpukan buku-buku.

But, what can i do? Dalam situasi seperti ini, aku hanya bisa pasrah dan menunggu ada seseorang yang bersedia meminjamkan DVD Room atau laptop untuk nonton film.(*)

Refleksi Usai Mencuci Baju

suatu hari di tepi gedung tua

Tanpa istri, saya kembali jadi mahasiswa malas. Padahal, mestinya kebiasaan malas ini sudah saya tinggalkan sejak lulus kuliah. Ternyata, saya masih harus kembali mengenakan kebiasaan tersebut. Tadi, saya baru saja mencuci baju. Setelah ditumpuk selama dua minggu, akhirnya semua baju itu saya tuntaskan. Badan ini tiba-tiba saja pegal dan pinggang seakan hendak lepas. Lama tak mencuci, badan ini jadi ikutan pegal ketika melakukannya.

Seorang istri memang begitu berharga. Seorang istri ibarat sayap-sayap yang membawa terbang seorang suami melanglangbuana ke jagad raya. Bukan saja meniupkan semangat untuk maju terus dan pantang mundur atas segala rintangan dan beban. Namun juga memberikan supporting untuk fokus melakukan hal-hal yang substansial. Seorang istri adalah arah dan mata kompas ke mana kehidupan ini akan digerakkan. Pada saat ini saya merasakan pentingnya kehadiran istri. Saya merindukan dirinya yang jauh di sana. Juga merindukan sosok ajaib yang sedang dipendamnya dan kelak akan ditetaskannya.(*)

Di Sana Dianggap Badai, Di Sini Dirindukan

salju yang serupa badai di Eropa

EROPA sedang dilanda badai salju. Media memberitakannya sebagai sebuah bencana. Orang Eropa benci salju. Mereka menyebutnya cuaca buruk, sehingga bagi mereka yang berpunya, lebih memilih meninggalkan negeri itu untuk piknik atau wisata di negeri beriklim tropis. Tapi di sini, di negeri yang tidak mengenal musim salju ini, salju seperti fantasi indah. Salju seperti mimpi atau khayalan. Di negeri yang penuh sinar matahari setiap tahun ini, salju adalah sesuatu yang dirindukan dan diimpikan. Banyak orang yang mengkhayalkan ada salju turun dan memenuhi langit.

Kemarin, saya singgah jalan-jalan ke Plaza Atrium di Senen. Di hall atau ruang terbuka di tengah-tengah mall, berdiri sebuah pohon raksasa yang menjulang tinggi. Di tepi pohon itu dibangun wahana bermain yang dasarnya dipenuhi benda mirip pasir putih. Sepintas mirip salju. Tema wahana ini adalah natal sebab saya melihat banyak boneka Santa Klaus berjaket merah di sudut. Di atas salju buatan itu, banyak anak-anak bermain-main sambil melempar-lempar serbuk putih itu. Ada beberapa permainan, termasuk papan luncur yang di bawahnya adalah "salju". Anak-anak dan orangtuanya sangat menggemari wahana ini.

Mungkin ini adalah paradoks. Mungkin juga kita tidak sedang mensyukuri alam indah terbentang bagai zamrud, hutan-hutan hijau, serta matahari yang tak henti menyinari. Kita merindukan sesuatu yang jauh, yang oleh warga setempat dianggap sebagai sebuah bencana. Kita merindukan sebuah bencana di tempat lain, dan di saat bersamaan mengabaikan keindahan alam dan karunia sinar matahari yang tak lekang. 

Tiba-tiba saja saya merindukan alam Pulau Buton yang dipayungi langit biru dan awan putih. Saya rindu dengan suasana ketika duduk di tepi pantai berpasir putih dan menyaksikan ombak-ombak biru bergulung, serta lumba-lumba yang riang di kejauhan sana....

Kuliner Makassar di Kelapa Gading, Jakarta

SEBERAPA rindukan Anda dengan kuliner Makassar? Seorang kawan menanyakan itu, beberapa hari lalu. Maklumlah, sejak tinggal di Jakarta beberapa tahun lalu, kawan tersebut belum pernah balik ke Makassar untuk melihat suasana dan mencicipi kuliner. Kecintaan kepada kuliner Makassar ibarat bara yang sukar hilang dalam dirinya. Namun, ia selalu memadamkan kerinduan itu dengan cara singgah ke beberapa warung makan yang menyajikan kuliner Makassar di kawasan kelapa Gading, Jakarta.

gerai kuliner Makassar di Kelapa Gading, Jakarta
Jakarta adalah kota yang bertabur etnik. Ini membuka begitu banyak peluang bisnis. Dalam dunia kuliner, banyaknya etnik ini menyebabkan Jakarta dipenuhi dengan aneka kuliner. Banyak pebisnis yang melihatnya sebagai kesempatan untuk mengeruk rupiah. Sosok seperti sahabat saya tidaklah satu orang. Ada begitu banyak manusia yang merindukan asal-muasal serta makanan kampungnya sendiri. Ke manapun kita jauh berkelana, namun lidah dan rasa tetaplah sama. Kita sama merindukan hal-hal yang bisa menautkan dengan tanah air, bumi tempat kita tumbuh dewasa, bumi tempat kita mengenali kebudayaan dan peradaban.

Beberapa bulan lalu, saya pernah bertemu pengamat kuliner Bondan Winarno. Menurutnya, kita sering terlalu khawatir dengan propaganda yang menyebutkan bahwa masuknya kuliner seperti McDonald atau Kentucky Fried Chicken (KFC) akan menenggelamkan kuliner tradisional kita. Malah, banyak juga yang mengkhawatirkan kopi Starbuck yang akan menenggelamkan kopi Toraja atau kopi Bali. Tapi, kata Bondan, pernahkah kita bertanya berapa jumlah gerai makanan impor tersebut? “Jumlah gerai McDonald justru makin menurun. Apalagi Starbuck. Kenapa demikian? Ngapai bayar seratus ribu rupiah untuk segelas kopi yang nikmatnya sama dengan di pinggir jalan. Masyarakat kita berpikir pragmatis. Mereka justru lebih menyenangi makanan tradisional kita sebab sesuai dengan rasa di lidah,” kata Bondan.

Saya sepakat dengan Bondan. Sepanjang Kelapa Gading, saya menyaksikan begitu banyak makanan tradisional khas berbagai daerah. Pengunjungnya membludak, sampai-sampai orang-orang rela antri. Apa yang disebut Bondan dengan rasa di lidah adalah perkara kebudayaan. Dan berbicara kebudayaan, tentu saja kita sedang berbicara tentang pola-pola yang tertanam dalam kepala kita yang kemudian menjadi cara pandang bagi kita dalam melihat dunia. Maka lahirnya konsep enak dan tidak enak adalah konstruksi kebudayaan yang kemudian menjadi semacam template dalam kepala kita. Dalam kasus sahabat saya, ia jauh lebih merindukan makanan Makassar sebab ia tumbuh dan besar serta mengenal konsep enak dan tidak enak melalui makanan tersebut. Ia tidak sekadar mencicipi makanan, namun ia sedang bernostalgia pada masa-masa ketika dirinya mulai mengenal makanan, bernostalgia pada hal-hal kecil yang menyumbang saham dan kontrbusi pada kedewasaan dan kematangannya.

Mungkin itulah yang hendak ditemukannya. Maka hari ini, saya dengan ikhlas –tentu saja dengan senang—bersedia mengantarnya ke Kelapa Gading. Saya senang saja bisa ditraktir makan ikan bolu (bandeng), sop konro, hingga es pisang ijo. Kami sam-sama bernostalgia dengan peluh mengucur usai menyantap ikan bakar. Mau?


Jakarta, 16 Desember 2010

Merindukan Husain

TADI siang hingga sore, saya mengikuti perayaan Asyura di Balai Samudra, Jakarta. Acaranya adalah pembacaan maktal, catatan terperinci tentang kejadian memilukan ketika cucu rasulullah, Al Husain, tewas terbunuh oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Ini memang peristiwa kejam beberapa abad silam. Petristiwa pembunuhan tersadis ketika seorang keluarga Rasul dibunuh, tangannya dipreteli, lalu tubuhnya dicincang. Saya tak sanggup mengisahkan detailnya yang menyedihkan. Saya bisa merasakan kesedihan mereka yang mengenang Husain.


Di ruangan besar itu, suasananya sangat khusyuk. Semua orang bersedih. Semua orang bertangisan dan memukuli badannya. Malah, yang saya dengar, di beberapa negara seperti Iran dan irak, orang-orang justru melukai dirinya dengan pisau. Darah mengucur sehingga mereka bisa memahami bagaimana kesedihan Husain. Dengan cara menghadirkan rasa sakit itu, orang-orang bisa merasakan bagaimana perasaan Husain, bagaimana detik-detik terakhir kehidupannya saat meregang nyawa, atau saat ketika seluruh tubuhnya dipreteli dan dinistakan dengan penuh tawa.

Saya ikut bersedih saat mendengar langsung pembacaan maktal itu. Saya tak banyak mendengar peristiwa sesedih ini. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana kejamnya peperangan pada masa silam, orang-orang saling menghabisi, tanpa etiket. Tewasnya Husain bukan saja tewasnya sebuah keadilan dan bangkitnya kepongahan serta keserakahan. Namun tewasnya Husain bisa pula dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kebenaran hingga titik darah penghabisan.

Husain mewariskan semngat besar untuk tetap menjaga garis Rasulullah, sekaligus pertanda bahwa panggung kehidupan akan selalu dipenuhi kisah tentang bagaimana kebajikan akan selalu ditentang kemungkaran sebagaimana lakon Kurusetra, dan bagaimana kemungkaran sesaat mengalahkan keadilan. Meskipun saat itu, keadilan tidak benar-benar kalah. Keadilan akan menunggu dan kelak akan mengayunkan palu godam pada kemungkaran.

Tewasnya Husain bukanlah tewasnya kebenaran. Justru, tewasnya Husain kian menjadikan kebenaran sebagai sesuatu yang amat mahal harganya. Dengan cara menjalankan perintah Tuhan bukan berarti akan hidup bahagia selamanya. Tuhan akan menurunkan cobaan sekadar untuk mengetahui sejauh mana kualitas dan kemilau iman dalam dirimu. Ia ingin mengetahui apakah dirimu kukuh memgang kebenaran, ataukah dirimu adalah sebangsa pecundang yang lari terbirit-birit.

Mungkin ini yang diinginkan Husain dengan syahidnya. Ia mewariskan semangat memegang teguh kebenaran.

Susahnya Bersikap Adil

SERING saya menemukan ketidakadilan di depan mata. Entah, apakah saya terlalu peka, tapi saya sering keberatan kalau diperlakukan dengan tidak adil. Salah satu contoh sederhana yang bisa saya angkat adalah ketika kualifikasi saya dan beberapa teman hendak dinilai. Di saat kualifikasi saya dipertanyakan, sementara orang lain justru disambut dengan penuh senyuman, maka saya aka merasa cemburu dan menganggap ada ketidakadilan di depan mata. Jika segala yang saya miliki justru lebih di atas teman saya tersebut, maka saya akan meminta perlakuan yang sama. Lantas, mengapa pula ada perbedaan perlakuan?

Dalam ranah sosiologi kita menyebutnya sebagai konsep diri. Setiap manusia memiliki subyektivitas tertentu sehingga sering mengistimewakan orang lain yang dianggapnya sesuai dengan garis berpikir atau ideologi yang dianutnya. Ketika terdapat perbedaan gelombang pemikiran dengan seseorang, maka risikonya adalah tidak akan terjadi pertemuan. pastilah akan terjadi perpisahan sebab masing-masing akan memakai standar masing-masing. Namun, selagi kita sanggup melakukannya, maka pertahankanlah sikap berlaku adil tersebut. Jika saya dalam posisi di atas, saya akan belajar berlaku adil kepada siapapun, tanpa hendak pilih kasih. Sebab saya pernah merasakan berada pada posisi di bawah dan diperlakukan berbeda. 

Lantas bagaimanakah cara bersikap adil? Mungkin jalan terbaik adalah memperlakukan semua orang dengan sama, tanpa memandang perbedaan. Mungkin ini tidak mudah tapi kita bisa mengatur gestur dan body language kita sedemikian rupa sehingga orang lain merasa nyaman dan tidak dibeda-bedakan. Kalau anda sukses melakukannya, maka yakinlah, siapapun yang bertemu anda akan merasa nyaman sehingga setiap orang merasa nyaman dan memiliki kebebasan untuk mengeluarkan semua potensinya.(*)

Nostalgia di Gedung DPR/ MPR

SEGALANYA terjadi begitu saja. Saya tak pernah merencanakan untuk singgah ke gedung DPR/ MPR RI. Namun ketika seorang kawan mengajak saya ke satu seminar di Hotel Santika, saya bertemu kawan-kawan Staf Ahli DPR RI. Mereka lalu mengajak saya ke gedung itu sembari mengenang episode pengalaman yang telah lewat. Maka bernostalgialah saya ke gedung yang menjadi sentrum tempat semua kebijakan tentang bangsa ini dilahirkan.

Di sini, saya pernah menjalani hari-hari. Baik sebagai jurnalis maupun sebagai staf ahli. Mulanya saya tidak terbiasa dengan penjagaan yang ketat, banyak lapis pintu yang dilewati hingga gedung Nusantara, tempat para wakil rakyat yang terhormat itu. Tapi lama kelamaan, saya mulai terbiasa. Pada setiap lapis pintu, selalu saja ada pemeriksaan kalau-kalau kita membawa sesuatu yang mencurigakan. Tas digeledah. Kita juga ditanyai hendak menemui siapa dan apa keperluan. Kalau Anda tak punya keperluan jelas, jangan harap para petugas itu akan memberi jalan. Tak hanya itu, pada setiap lantai yang menjadi tempat kerja pribadi anggota dewan, selalu saja ada satpam yang berjaga di situ. Anda akan ditanyai hendak bertemu siapa dan apa yang menjadi keperluan.

Sering saya berpikir bahwa dengan cara menjagai sesuatu secara ketat, maka anggota dewan yang terhormat itu sedang membangun jarak dengan mereka yang diwakilinya. Buat saya, gedung DPR/ MPR bukanlah rumah rakyat yang semestinya ramah dan terbuka kepada siapa saja –khususnya rakyat kecil-- untuk singgah dan berteduh. Gedung ini adalah milik mereka yang ketakutan dengan rakyatnya sendiri dan membangun tembok yang cukup lebar dan memeriksa siapapun yang singgah. Gedung ini adalah milik mereka yang paranoid! Mereka yang memakai kendaraan mewah dengan kaca riben yang tebal. Mereka yang terbiasa di ruang nyaman, ber-AC, dan mungkin kebal dengan jerit tangis mereka yang kelaparan di luaran sana.

Ah,… Saya hanya bisa menyaksikan di pinggiran. Tapi pengalaman saya berseliweran di gedung ini kian menyadarkan saya bahwa politik di Indonesia tidak lebih dari sebuah arena untuk saling menonjolkan diri. Politik adalah sesuatu yang dibangun di atas basis pencitraan yang lalu dijelmakan sebagai sesuatu yang meninabobokan. 

Politik adalah sebuah game yang melibatkan banyak kelompok, kekuatan sosial, sekaligus memenangkan sesuatu demi prestise. Mungkin saya agak pesimis. Tapi inilah buah dari perenungan dan catatan-catatan atas pengalaman berseliweran di tempat itu.(*)



(Saya ingin bercerita banyak. Tapi rasa lelah tiba-tiba menyergap. Maafkan jika saya mulai ngantuk dan ingin istirahat. Zzzz…zzz…..)

Demo Solo di Yogya

BARUSAN saya menyaksikan berita tentang Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, yang melakukan demonstrasi seorang diri. Ia mengibarkan bendera merah putih setengah tiang, lalu menghormat ke bendera itu dan membacakan puisi. Ia hendak menyampaikan aspirasinya agar Gubernur Yogyakarta tidak usah dipilih melalui pemilihan langsung. Ia ingin agar Sri Sultan Hamengkubuwono X ditetapkan secara langsung sebagai gubernur.

bersama Walikota Yogyakarta, Hery Zudianto

Saya cukup sedih saat melihat tayangan berita ini. Saya bisa merasakan bagaimana perasaan warga Yogyakarta yang sebenarnya lebih nyaman dengan situasi sebelumnya ketimbang mengikuti saran pemerintah. Namun, apakah mereka punya pilihan? Di saat banyak orang mulai mengabaikan sejarah dan tidak pernah peduli dengan catatan masa silam, pemerintah justru sama tidak pedulinya dengan sejarah dan hendak menginjak-injak kesepakatan masa silam.

Dalam stuasi ketika aspirasi tidak bisa disalurkan, seorang pemimpin hanya bisa menggelar demonstrasi solo (sendirian) sebagaimana yang dilakukan Hery. Saya yakin Hery ingin berbicara banyak. Namun dalam diam itu ia justru berhasil menyampaikan banyak hal. Ia ingin membahas keistimewaan dengan caranya sendiri. Dengan menunjukkan kesetiaan kepada sultan serta NKRI, ia ingin segera ditemukan satu solusi yang bijak atas titah pemerintah pusat yang menjadi simalakama bagi Yogyakarta. Yah, Yogyakarta memang bagian NKRI. Tapi bisakah ia tetap hadir sebagaimana warna pemerintahan di masa silam?

Saat Bertemu Tasaro

SEMALAM, saya menghadiri peluncuran novel fantasi Nibiru dan Ksatria Atlantis di Gramedia, Matraman, Jakarta. Acara ini menghadirkan penulis novel Tasaro yang namanya cukup kondang dan sebagai penulis produktif dan berkualitas dalam jagad penulisan sastra populer di Tanah Air. Saya mengenal Tasaro sejak pertama membaca karyanya Hui Sing yang mengisahkan tentang murid perempuan Cheng Ho yang berkelana di Tanah jawa. Selanjutnya saya membaca Galaksi Kinanthi, serta Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan.

Semalam, saya tiba Gramedia Matraman, beberapa menit sebelum acara dimulai. Suasananya dikemas seperti talkshow, namun ada pula presentasi lewat slide. Memasuki ruangan itu, saya melihat Tasaro yang dikerumuni para penggemar yang mengacungkan buku agar ditandatangani dan diberi pesan-pesan khusus. Saya yakin itu Tasaro sebab ia dikelilingi banyak orang yang kesemuanya meminta tandatangan di buku yang dibuatnya. Sayapun ikut menyodorkan buku untuk ditandatangani. Untungnya, ia langsung mengambil buku saya lalu bertanya nama apa yang hendak ditulis. Saya lalu menyebut nama dengan suara pelan.

Mendengar nama saya, Tasaro langsung memandang sambil berkata, "Yusran Darmawan yaa?" Saya mengiayakan. Seorang pria di sampingnya juga langsung menyalami saya dan berkata, “Hallo Mas Yusran. Apa kabar? Saya Bambang Trim.” Saya sangat familiar dengan Bambang Trim. Ia seorang blogger yang menjabat sebagai General Manager di penerbit Tiga Serangkai. Saya pernah membaca bukunya tentang teknis penyuntingan buku. Saya senang sekali karena bisa bertemu dua penulis sekaligus yakni Tasaro dan Bambang Trim.

Tasaro lalu berkata, "Akhirnya bisa ketemu Mas Yusran. Saya senang sekali." Mulanya saya keheranan. Kok bisa-bisanya seorang penulis seproduktif Tasaro mengenali saya. Mungkin ia hanya mengenal sekilas melalui tulisan blog atau semacamnya. Tapi tiba-tiba ia bertanya, "Kirain lagi di Makassar. Kok bisa di Jakarta yaa?" Ternyata ia cukup mengenal saya. Buktinya, ia tahu persis bahwa saya pernah berdiam di Makassar.

Pembicaraan selanjutnya mulai mengalir. Ia bercerita tentang lima serial Nibiru yang tengah digarapnya. “Rencananya, setiap tahun akan terbit satu novel Nibiru.” Lantas, setelah peluncuran novel ini, apa lagi yang akan dikeluarkannya? Ternyata ia akan mempublikasikan Muhammad: Lelaki Pengenggam Hujan 2. Menurutnya, novel ini akan jauh lebih tebal dari novel yang pertama. Saya kembali terkagum-kagum. Katanya, dalam sehari ia bisa menulis hingga 10 halaman. Nah, artinya dalam sebulan ia bisa sampai 300 halaman dengan spasi satu. Jika diterbitkan dalam format buku, maka dalam sebulan ia menulis hingga 400 halaman. Nah, betapa produktifnya seorang Tasaro dalam menulis.

Saya cukup menikmati perbincangan ini. Tiba-tiba saja, ia mengajukan pertanyaan yang cukup menohok. “Kapan Mas Yusran menulis fiksi? Saya sangat tunggu lho” katanya. Wah, ini pertanyaan yang sukar dijawab. Di tengah rutinitas seperti ini saya hanya sanggup penulis catatan tidak penting dalam blog. Tapi saya tetap menganggap pertanyaan itu sebagai tawaran sekaligus tantangan. Saya memaknainya secara positif, sambil bertanya dalam diri, "Kapan saya bisa menulis fiksi?”

Profesor Penulis Dongeng


BARUSAN saya nonton film The Chronicle of Narnia 3: The Voyage of Dawn Treader. Film ini diangkat dari kisah Narnia yang ditulis CS Lewis, seorang novelis kondang asal Inggris yang wafat pada tahun 1963. Lewis mulai menulis ketujuh serial Narnia pada umur 50 tahun. Imajinasinya membumbung tinggi, hingga menginspirasi banyak orang termasuk JK Rowling dalam serial Harry Potter.

Saat membaca biodata CS Lewis, saya agak terkejut. Ternyata beliau adalah seorang profesor bidang sastra Inggris di Oxford University. Saya membayangkan betapa hebatnya seorang profesor yang tiba-tiba menulis dongeng, mengajarkan kebajikan lewat naskah-naskah yang menginspirasi anak-anak. Saya membayangkan dunia profesor adalah dunia yang lekat dengan rumus, teori, dan paradigma. Seorang profesor seolah hidup di langit teori, lalu melihat kenyataan dengan cara pandang teori.

Di negeri ini, amat jarang menyaksikan profesor yang bersedia 'down to earth' dan menuliskan dongeng untuk anak-anak. CS Lewis meruntuhkan tembok-tembok keangkuhan saintifik bahwa seorang profesor pun sanggup menulis hal yang sederhana, dalam bahasa yang dipahami seorang awam, bahkan seorang anak kecil sekalipun. CS Lewis, sahabat dekat JR Toelkin, pengarang Lord of The Rings, adalah manusia-manusia inspiratif yang melintas batas dan tembok pengetahuan demi menuliskan dongeng. Dan kita di zaman ini harus banyak berhutang inspirasi pada penulis sekaliber CS Lewis.(*)


Dialog di Sore Hari


Sungguh! Aku mulai bosan di sini. Mulai jenuh mengejar sesuatu yang mulai seperti fatamorgana. Dirimu dan diriku serta dirinya yang tengah tumbuh adalah kesatuan yang melekat erat, tanpa kata pisah. Aku mulai rindu dengan hal-hal kecil saat bersamamu. Aku merindukan dialog di sore hari ketika lelah menjalani hari, sambil menyeruput teh panas dan semangkuk mangga manis. Aku mulai merindukan saat-saat kecil ketika kita sama-sama mentertawakan hari-hari yang berlalu. Bisakah kita mengaktualkan kerinduan ini?

Silakan Rubuhkan Sombaopu!!!

MAAFKAN. Saya bukan seorang Bugis-Makassar. Darah saya murni titisan darah para nelayan Buton yang menemukan kesempurnaannya dalam ritus menantang samudera. Namun, ketika mendengar bahwa situs sejarah Benteng Sombaopu hendak dicabik-cabik menjadi waterboom, darah saya seakan mendidih. Saya geram saat membayangkan Sombaopu bakal tenggelam oleh hiruk-pikuk warga kota yang buta sejarah dan berekreasi sambil tertawa-tawa riang di satu sudut restoran yang menyediakan anggur dan whisky di dekat Sombaopu, tepi benteng yang kembali menjadi saksi kebejatan manusia.

Last Day of Sombaopu (foto: Armin Hari)

Saya akan amat kesal melihat warga kota yang pongah dan melihat setiap jengkal tanah di situ sebagai investasi lalu menanam uang untuk kemudian memetik buahnya dan berfoya-foya di tempat sakral itu. Di negeri ini, investasi telah menjadi Tuhan baru yang meletakkan kebanggaan serta kecintaan identitas di atas altar persembahan dan kelak akan dikunyah-kunyah hingga habis tak bersisa. Saya tidak akan pernah rela jika di tempat itu ada gelak tawa orang-orang yang meluncur di waterboom, atau gajah yang setiap pijakannya kian menguburkan situs dan benda bersejarah di situ atau mendengar kicauan lirih burung yang dikerangkeng dalam kandang besi dan hidup merana sebagaimana nasib benteng tua itu.

Maafkan. Saya tidak akan pernah sepakat pada pernyataan bahwa Sombaopu adalah warisan berharga yang dimiliki generasi Bugis-Makassar hari ini. Bagi saya, Sombaopu adalah sebuah warisan sejarah yang dimiliki setiap anak negeri ini, khususnya mereka yang pernah membaca syair bahwa di situ pernah berlangsung sebuah perang kolosal yang tercatat sebagai perang terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Sombaopu adalah milik siapapun, dari suku apapun, dari bangsa apapun, yang hendak mengumpulkan kepingan-kepingan makna dan hikmah yang berceceran tentang suatu zaman ketika harga diri mesti dipertahankan dengan tegak, dengan risiko sebesar apapun. Sombaopu adalah milik siapapun yang setia dan mengikrarkan kesetiaan pada nilai-nilai, bukan milik mereka yang menggadaikannya dengan mengatasnamakan investasi, lalu merobek-robek benteng tua itu.

Maafkan. Emosi saya menggelegak ketika membayangkan bahwa rubuhnya Sombaopu bukan saja rubuhnya sebuah susun batu yang dahulu menjadi tempat perlindungan. Di sini memang pernah terjadi perang kolosal dengan bunga api dan ledakan yang memercik di mana-mana. Di sini pernah terjadi adu kesaktian di mana masing-masing pihak mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan prinsip. Memag, di sini memang hanya tersisa susunan batu yang kerap dilihat dengan sinis oleh manusia-manusia angkuh yang disebut Goethe sebagai manusia bebal yang hidup tanpa rasio dan mustahil belajar dari masa tiga ribu tahun. Namun di sini juga terdapat kisah keperkasaan dan keberanian mempertahankan prinsip meskipun risikonya adalah digulung samudera kehidupan.

Maka rubuhnya susuan batu bata itu seakan mengguratkan sebuah luka yang sukar disembuhkan dari sejarah kita. Rubuhnya Sombaopu adalah rubuhnya sebuah masa silam yang kian menunjukkan bebalnya generasi masa kini yang tak pernah bisa belajar dari masa yang telah lewat. Rubuhnya Sombaopu adalah potret ketidakmampuan generasi masa kini menjaga sebuah warisan sejarah, yang tidak sekadar berupa susunan batu yang merepresentasikan suatu masa, akan tetapi warisan tentang kisah-kisah yang abadi mengalirkan kebijaksanaan sebagaimana kisah manuskrip kuno, serta prasasti benteng sebagai saksi dari bergulirnya zaman.

Kisah besar yang terekam di balik lapisan batu Sombaopu adalah kisah tentang ketamakan manusia yang setinggi langit. Tamak atas materi, tamak atas perdagangan, tamak atas hasil bumi, dan tamak atas gila hormat dan memperbudak bangsa lain. Hari ini Sombaopu akan kembali mencatat episode ketamakan manusia modern, generasi terkini bangsa kita yang dahulu berjuang menegakkan kehormatan, namun di masa kini telah bertindak sebagai pencabut kehormatan.

Silakan jika Anda hendak merubuhkan Sombaopu! Namun, Anda tak akan pernah bisa merubuhkan catatan rapi yang tereakam abadi dalam sejarah bangunan itu. Sombaopu akan tetap mencatat satu episode penting masa kini, semacam catatan sejarah bahwa ketamakan dan kepomgahan adalah dua suku kata yang silih berganti hadir di bumi Sulawesi Selatan. Bahwa generasi masa silam melawan dengan mengucurkan darah, dan generasi masa kini hanya bisa sinis sembari berkata, “Maaf, zamannya berbeda. Dulu anda mempertaruhkan darah. Kini, kami akan memaksimalkan apa yang anda wariskan sebagai uang yang akan memperkaya di kami.”

foto: Armin Hari

Silakan jika Anda hendak mengkalim sebagai pemik benteng itu. Bagi saya, benteng itu adalah adalah milik semua bangsa, tempat menemukan identitas sekaligus bercermin bahwa masa silam tidak selalu kisah tentang kegemilangan dan kejayaan di atas penindasan bangsa lain. Masa silam adalah ruang tempat berkaca dan menemukan diri kita di masa kini. Baik masa silam dan masa mini hanya terpaut ruang dan waktu. Ketamakan dan keperkasaan menjadi dua kosa kata yang selalu berulang dalam berbagai bentuk. Dahulu, Cornelis Speelman mengincar Bandar Makassar. Kini, anak cucu Speelman kembali hadir atas nama investasi, yang lahir di tengah anak negeri. Jika dahulu Sultan Hasanuddin menjadi representasi keteguhan dan kesetiaan pada prinsip, kini kita sama ragu kalau-kalau semangat hasanuddin yang bikin merinding itu masih bisa ditemukan jejaknya pada pemimpin di masa kini?

Tatkala manusia modern hidup tanpa kehormatan dan menanam uang di mana-mana, maka Sombaopu kian menjadi prasasti sunyi yang tak lagi menggetarkan. Tatkala manusia modern, generasi Bugis-Makassar hari ini, menghancurkan batu terakhir Sombaopu, maka manusia tak akan pernah sanggup menghancurkan sebuah catatan rapi yang tersimpan di balik benteng itu, diawetkan dalam sejarah, diwariskan secara terus-menerus, dan menjadi gelora yang memberi isyarat tentang ketamakan itu hingga kapanpun.

Silakan jika Anda hendak merubuhkan Sombaopu. Tapi Sombaopu tetap akan abadi dalam sejarah. Sombaopu akan abadi dalam pemikiran kami, menjadi api yang membakar kesadaran kami hari ini.(*)

Bastion Buton dan Bastion Bone

SETIAP suku bangsa saling berinteraksi dan memberikan persembahan. Bangsa Perancis pernah menghadiahkan Patung Liberty sebagai tanda persahabatan kepada bangsa Amerika. Persembahan itu adalah jejak interaksi di masa silam. Mungkin untuk itulah kita sering memberikan nama kepada jalan-jalan atau bangunan dengan nama tertentu yang mengingatkan kita tentang suatu bangsa. Barangkali alasan ini pula yang menyebabkan mengapa nama bastion di Benteng Rotterdam di Makassar disesuaikan dengan nama bangsa-bangsa yang pernah berinteraksi dengan Kesultanan Gowa, serta VOC di sana. Inilah sebab mengapa bisa ditemukan nama Bastion Buton, Bastion Bone, dan Bastion Ternate di Benteng Rotterdam. Di balik pemberian nama itu, terdapat sejarah tentang interaksi bangsa-bangsa.

Bastion Buton

Bastion Bone


Ben Anderson dan Nasionalisme Bayangan

MESTINYA tadi sore saya ke kantor Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) untuk ikut diskusi dengan seorang Indonesianis bernama Benedict Anderson. Tapi tiba-tiba batal karena sesuatu hal. Tiba-tiba saja saya ingin tetap di rumah dan menyelesaikan sesuatu. Padahal, seorang kawan telah menyiapkan tempat di sana, serta memastikan bahwa saya bisa berbincang secara privat dengan Benedict Anderson. Mudah-mudahan masih ada kesempatan lain.

Setahu saya, Ben (demikian ia disapa) adalah salah satu ilmuwan asal Cornell University yang mendunia berkat kajian tentang Indonesia. Ia menulis sejarah dan antropologi dalam berbagai jurnal internasional. Salah satu karyanya yang paling banyak dikutip adalah penjelasan tentang nasionalisme dalam buku Imagined Communities. Ia menguraikan tentang nasionalisme sebagai sesuatu yang dibayang-bayangkan, yang kemudian menjelma menjadi satu rasa bersama.

Seperti apakah itu? Kata Ben, nasionalisme adalah sesuatu yang dibayangkan secara sadar oleh sebuah komunitas. Nasionalisme semacam konsep yang ada di benak kita, yang terbentuk oleh pengalaman sejarah serta penafsiran tentang titik-titik kesamaan yang menautkan kita dengan orang lain. Nasionalisme Indonesia mulai bertumbuh ketika masing-masing suku bangsa menemukan kesamaan pada diri mereka dengan sesamanya. Rasa kesamaan itu semakin kuat tatkala Belanda hadir (sebagai bangsa dengan fisik berbeda) yang kemudian melakukan penindasan. Di titik ini, nasionalisme adalah sesuatu yang sifatnya politik sebab dikonstruksi secara sadar sebagai mekanisme untuk melakukan perlawanan.

Nasionalisme adalah rasa senasib. Meskipun terdapat kesamaan secara fisik dan masih sekeluarga dalam hal suku bangsa, namun ketika nasib politik berbeda, maka nasionalisme tidak akan bertunas. Kita bisa melihat kenyataan ini pada kasus hubungan indonesia dan Malaysia. kedua negara ini berasal dari suku bangsa yang sama, namun memilih jalan politik yang berbeda sebab pengalaman sejarahnya juga beda. Malaysia pernah dijajah Inggris, sedangkan Indonesia pernah dijajah belanda. Malaysia mendapat kemerdekaan secara gratis, sementara Indonesia dengan penuh berdarah-darah, dan pertempuran yang berkobar-kobar selama ratusan.

Andaikan bertemu Ben, saya ingin bertanya bagaimanakah tafsiran nasionalismenya jika digunakan untuk membedah kegandrungan kita pafda tim nasional sepakbola? Ini hanya secuil kenyataan. Bagaimanakah ia akan menjelaskan pohon teori yang ditanamnya sehubungan dengan perkembangan aktual di mana pembicaraan tentang suku bangsa kian tidak penting. Apakah teori itu masih kokoh untuk menjelaskan banyak hal?

Sayang sekali, saya gagal bertemu Ben. Padahal saya juga ingin mengemukakan rumusan tentang nasionalisme. Nasionalisme adalah rasa yang menggenang dalam benak ketika melihat bendera merah putih dinaikkan ke atas, atau mendengarkan lagu kebangsaan dinyanyikan di tengah stadion dan semua orang berdiri memberi penghormatan. Sayang sekali karena saya gagal menyampaikan defenisi ini. Saya hanya mencatat defenisi dan kegelisahan itu di sini. Entah kapan menanyakannya secara langsung.(*)



Jakarta, 8 Desember 2010

Terimakasih Istriku ..... Terimakasih ya Allah.......

SAYA akan mencatat tahun 2010 ini sebagai tahun yang paling membahagiakan. Di tahun ini ada begitu banyak keajaiban dan rencana hidup yang tiba-tiba menjelma menjadi kenyataan. Betapa besarnya anugerah Allah yang tiada putus melimpahkan saya dengan bahagia yang bagai sungai terus mengalir di sela-sela bebatuan kehidupan dalam dunia kosmos yang saya jalani. 

bersama istri di Museum Nasional
Tahun ini saya mencatat ada begitu banyak kejadian luar biasa yang tak akan pernah lekang dalam memori, membersitkan rasa bahagia serta rasa syukur atas semua kenikmatan yang saya terima. Memang, tahun ini ada prahara berupa masalah yang sempat mendera, namun saya berhasil melewatinya dengan baik. Masalah itu serupa kabut hitam yang pekat. Setelah melewatinya, ternyata ada matahari yang bersinar di baliknya. Ada langit biru dan awan putih yang bergulung-gulung. 

Saya mulai menikmati berita bahagia satu per satu yang datang. Semuanya adalah anugrah yang tiada tara dari Yang Maha Pencipta. Tahun ini, saya menikah dengan wanita yang lama menjadi pujaan hati.Setelah menjalani masa pacaran selama lima tahun akhirnya saya bisa mewujudkan mimpi untuk hidup bersamanya. Saya bahagia karena semua jalan untuk bersamanya dimudahkan. Ada begitu banyak tangan dingin yang membukakan jalan, membantu menghamparkan karpet merah untuk saya jalani bersamanya. Saya berhutang budi pada banyak orang, khususnya keluarga saya.

Tahun ini saya juga mendapat pemberitahuan lulus pada sebuah program beasiswa yang sangat brgengsi. Saya bahagia bisa masuk dalam 50 orang terpilih dari seluruh Indonesia. Saya bahagia karena lolos dalam satu seleksi ketat yang diikuti 9.000 orang pencari beasiswa di tanah air, pada suatu program skema beasiswa yang paling diinginkan orang-orang. Saya bahagia atas keajaiban yang serasa jatuh dari langit.

Menggenapi semua kebahagiaan itu, minggu lalu saya kembali mendapat berita bahagia ketika istri saya hamil. Ini berita luar biasa yang yang sama sekali tidak saya sangka. Saya pikir ini akan butuh waktu lama. Malah saya dan istri sempat berpikir untuk menunda kehamilan. Ternyata Allah tak henti-henti melimpahkan anugrah. Saya bahagia karena istri akan segera mempersembahkan kebahagiaan berupa tawa kecil yang memenuhi rumah kelak. Memang, saya belum berkecukupan secara materi.masih amat jauh dari apa yang diidam-idamkan. 

Namun kehadiran seorang anak adalah harta berharga yang tak ternilai. Tiba-tiba saja, pencapaian materi menjadi hampa. Saya jadi tidak terlalu peduli dengan pelatihan bahasa Inggris yang saya jalani. Beasiswa ini jadi tidak penting ketimbang hidup bersama seorang istri dan seorang anak. Saya jadi tidak peduli hendak belajar di mana. Semua jadi tidak penting ketimbang suasana hati yang menggenag tatkala dirimu melihat kepingan dirimu yang tumbuh dan mencari identitas. Saya akan menyaksikan keajaiban Tuhan tentang penciptaan manusia dan menyaksikan setiap inchi pertumbuhan sosok manusia, sebagaimana dulu pernah disaksikan bapak dan ibu ketika saya tumbuh. Inilah siklus purba yang selalu dijalani manusia, namun tak kurang-kurang rasa bahagia yang menjalaninya.

Saya akan menyayangi mereka dengan kasih sayang terbaik yang bisa saya berikan. Saya akan mencintai mereka sebagaimana cintanya bapak kepada saya hingga saya bisa tumbuh dewasa dan menjalani hari sebagaimana sekarang. Saya akan belajar menjadi manusia yang lebih baik. Terimakasih istriku untuk kebahagiaan ini.

Terimakasih ya Allah atas semua anugrah-Mu.....

Mempertimbangkan Australia

SAYA sedang mempertimbangkan untuk belajar di Australia. Setelah lama merenungi kelebihan di berbagai negara, Australia masuk dalam salah satu pilihan saya. Apalagi pihak Ford memang mengizinkan pilihan ke Australia selain pilihan ke Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa seperti Inggris dan Belanda.


Saya mulai berpaling ke Australia dengan beberapa alasan. Pertama, Australia adalah negara yang sangat terbuka kepada mahasiswa yang hendak membawa keluarga. Mereka tidak pernah mempersulit VISA. Tidak pernah menahan-nahan seseorang yang hendak masuk ke negaranya. Bahkan untuk para pencari suaka sekalipun, Australia adalah pilihan tepat. Dengan negara seluas itu, mereka butuh penduduk. Rasanya mustahil untuk memaksa penduduk punya banyak anak agar laju pertumbuhan penduduk meninggi. Jalan terbaik adalah menerima para imigran. 

Alasan ini yang paling masuk dalam pikiran saya. Saya tidak bisa membayangkan harus belajar dalam situasi ketika istri terpisah jauh. Saya ingin dekat bersama istri serta anak. Saya tidak punya banyak ambisi akademik dengan beasiswa ini. Bersama keluarga kecil, saya hanya ingin memaksimalkannya untuk belajar dalam satu lingkup pergaulan internasional. Tentu saja, saya ingin anak saya bisa tumbuh dalam lingkungan yang jauh lebih baik dari yang pernah saya jalani. Kepadanya saya titipkan harapan untuk jadi lebih baik.

Kedua, siapapun yang pernah ke Australia pasti bercerita tentang mudahnya mendapat pekerjaan di sana. Ini wajar saja. Sebab daratan di negeri itu amat luas dan populasi penduduknya sangat sedikit. Penduduknya hanya sekitar 20-an juta, setara penduduk Jakarta. Padahal mereka mendiami daratan yang sangat luas, kira-kira sebesar gabungan Jawa, Kalimantan, dan Papua. Dengan jumlah penduduk yang sedikit, mereka berhasil mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi. Negerinya kaya-raya. Makanya, tidak banyak orang yang bersedia melakukan pekerjaan janitor seperti mencuci piring atau membersihkan.

University of Queensland
Ketiga, beberapa kampus di Australia masuk dalam jajaran perguruan tinggi top dunia. Kampus terbesar di sana: Australian National University (ANU) masuk dalam rangking 20 dunia, sementara University of Melbourne, University of Queensland juga masuk dalam peringkat 30-an dunia. Tentu saja, peringkat dunia ini menjadi catatan penting betapa mereka sangat menjaga kualitas, kualifikasi pengajar, serta ketersediaan buku-buku di perpustakaan. 

Keempat, jarak Australia dan Indonesia tidak seberapa jauh. Biayanya juga tidak seberapa mahal. Seseorang hanya perlu mengeluarkan uang hingga tujuh juta rupiah untuk tiket pesawat terbang dari Brisbane ke Denpasar. Nah, kata teman-teman yang pernah ke sana, biaya tiket pesawat itu hanya setara dengan waktu bekerja selama sebulan di sana. Bukankah itu jumlah yang mudah didapatkan?

Setelah mempelajari beberapa hal ini, saya jadi tertarik untuk ke Australia. Saya akan memasukkannya dalam satu pilihan, bersama-sama dengan dua kampus di Amerika Serikat. Saya kira ini adalah pilihan terbaik.(*)

Hidup Tanpa Selembar Kartu ATM

KESIALAN datang tanpa mengenal waktu. Jumat lalu saya kehilangan kartu ATM. Saya sangat yakin kalau kartu itu lenyap saat saya gunakan di Pasar Johar Baru, di dekat tempat kos. Tapi, saya sadar nanti dua hari berikutnya, saat saya hendak menarik duit di Mal Atrium. Tahu bagaimana perasaan saya? Stres dan bingung hendak ngapain. Betapa tidak, kartu itu menyimpan sisa-sisa uang terakhir. Tanpa kartu itu, saya tidak bisa melakukan transaksi, sementara persediaan uang semakin lama semakin menipis.

Sebenarnya, saya masih bisa bertransaksi melalui buku tabungan. Tapi, apalah daya karena buku itu sengaja saya simpan di Bau-Bau, untuk menjaga kalau-kalau kartu ATM lenyap. Hal maksimal yang bisa saya lakukan adalah menanti buku tabungan tersebut dikirimkan lalu membuka tabungan baru. Mungkin inilah jalan terbaik. Saat merenungi kesialan ini, saya tiba-tiba bertanya pada diri, bisakah di zaman secanggih ini kita hidup tanpa selembar kartu ATM?

Nibiru dan Ksatria Atlantis

SALAH satu penulis favorit Tasaro GK akan segera merilis novel baru berjudul Nibiru dan Ksatria Atlantis. Mendengar berita ini, saya tiba-tiba dihinggapi rasa iri dalam pengertian positif. Di saat saya hanya bisa mengkhayalkan tentang kapan melahirkan fiksi, Tasaro telah melahirkan karya-karya yang beranak-pinak. Sejauh ini, saya menempatkan Tasaro bersama Dewi Lestari, dan ES Ito sebagai para penulis yang karyanya wajib saya miliki.


Membaca tulisan mereka, saya serasa tidak sedang membaca novel fiksi. Saya seolah sedang menikmati sebuah gemuruh samudera yang sesekali mengganas, melontarkan ke sana ke mari, menggulung, namun pada beberapa bagian amat lembut di semilir angin sepoi-sepoi. Dan di situlah saya terhanyut-hanyut. Kekuatan mereka adalah pada kata-kata yang menjadi pedang dan menebas ke sana ke mari, namun bisa pula menjadi air jernih yang mengalir di sela bebatuan.

Bagi saya, Tasaro adalah salah satu penulis yang amat produktif. Ia bisa merambah di berbagai genre kepenulisan. Saya sudah memiliki beberapa novelnya. Mulai dari genre romantic seperti Galaksi Kinanthi (saya pernah menuliskan resensinya DI SINI), novel epos sejarah Muhammad: Lelaki Pengenggam Hujan (saya juga pernah meresensinya DI SINI dan DI SINI), hingga novel silat Samitha: Tragedi Murid Cheng Ho. Ini adalah karya Tasaro yang pernah saya koleksi. Di luar ini, masih ada beberapa novel karyanya seperti serta beberapa buku anak-anak.

Kali ini, ia menulis tentang kisah fantasi tentang petulangan di Atlantis. Saya belum baca bukunya sebab launching-nya akan diadakan di Gramedia Matraman, Sabtu nanti. Tapi dari synopsis yang saya baca DI SINI, saya membayangkan karya ini serupa Avatar: The Last Airbender atau serupa Harry Potter. Ini adalah kisah pengalaman seorang anak dan sahabat-sahabatnya pada sebuah dunia yang penuh sihir dan petualangan yang mendebarkan. Dunia yang mengajarkan nilai kepahlawanan, keberanian, serta belajar dari berbagai kesalahan yang manusiawi. Lewat proses belajar tersebut, seseorang akan menemukan dirinya sendiri.

Maafkan karena saya belum membaca buku ini. Tapi mendengar berita tentang karya fiksi Tasaro ini, saya luar biasa cemburu pada kemampuannya menulis dalam beragam genre. Ibarat seorang koki, Tasaro adalah koki yang piawai untuk mencoba berbagai menu dan resep masakan. Ia tidak mau berpuas diri hanya pada satu jenis resep tertentu. Padahal --sebagaimana pernah dikatakan penulis Dewi Lestari--, kutukan bagi seorang penulis tatkala tidak berani keluar dari zona mapan.

Kutukan bagi seorang penulis adalah tatkala hanya sanggup berkutat pada satu gaya kepenulisan, tanpa melakukan eksplorasi, pengayaan makna, ataupun penguatan gagasan. Tipe penulis seperti ini akan tenggelam di lipatan sejarah. Ketika menulis satu karya yang monumental, selanjutnya ia akan terpental dan lenyap, tanpa melahirkan satu karya yang orisinil. Kalaupun lahir sebuah karya, biasanya karya itu hanya mengekor atau menjiplak alur karya sebelumnya, tanpa eksplorasi. Saya bisa mengambil banyak contoh tentang ini. Salah satunya adalah novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazi yang hanya mengekor pada Ayat-Ayat Cinta serta Ketika Cinta Bertasbih. Saya pernah menuliskannya DI SINI.

Tapi Tasaro justru bisa keluar dari zona nyaman itu. Ia melahirkan karya dengan berates-ratus halaman yang menunjukkan kepiawaiannya di dunia kepenulisan. Yang luar biasa, ia sanggup menulis dengan kualitas yang terjaga. Ia mengalirkan gagasan secara lepas, dengan gaya menulis yang meliuk-liuk namun indah, serta tidak kehilangan sebuah magis yang membuat kita terhanyut. Bagi saya, keberhasilan sebuah karya adalah ketika sanggup membuat kita terkenang-kenang, menorehkan jejak dalam batin kita, serta menjadi sesuatu yang menginspirasi ataupun menggerakkan. Bisa menjadi telaga yang menyejukkan dan menjadi mata air inspirasi.

Inilah yang selalu saya selalu saya harapkan dalam karya beberapa penulis termasuk Tasaro. Saya mengharapkan telaga yang menjadi mata air inspirasi.(*)


Kisah Rapunzel dan Punahnya Dongeng Nusantara

adegan film Rapunzel

PUTRI itu disekap di sebuah menara. Seorang penyihir menculiknya dari istana, kemudian menyekapnya dalam sebuah menara yang dikunjunginya hanya saat tertentu. Penyihir jahat itu menginginkan tuah rambut sang putri. Rambut yang panjang itu bisa bersinar dan memberikan kekuatan sihir sehingga sang penyihir jahat bisa tetap awet muda. Namun apakah sang putri punya pilihan untuk lepas?

Selama 18 tahun, Rapunzel, nama putri itu, tersekap dalam kesunyian. Ia mengisi hari-harinya dengan membaca, menulis, dan melukis. Ia memang tinggal di sebuah menara yang sunyi. Namun, pikirannya berkelana ke mana-mana. Dan setiap malam ulang tahunnya, ia akan menyaksikan lentera-lentera cahaya yang memenuhi angkasa di kota kerajaan yang jauh di sana.

Ia memang telah tumbuh sebagai gadis muda yang rupawan. Ia mengisi hari-harinya dengan melukis, dan menganyam mimpinya tentang kerajaan yang jauh di sana, tentang lentera cahaya yang memenuhi langit pada malam tertentu, serta tentang dunia luar yang penuh petualangan. Mimpi untuk melihat dunia luar itu demikian menggebu-gebu hingga menguatkan karakternya, menghadirkan setetes keberanian, serta semangat untuk mencoba petualangan baru dan bertemu manusia lain. Dan lentera cahaya itu menjadi pemandunya untuk melihat dunia luar. Petualangan Rapunzel berujung pada penemuan diri putri yang pernah diculik. Ia menemukan demikian banyak hal berharga dalam petulangannya menerabas belukar, menggapai lentera cahaya di ujung jauh di sana.


Kemarin, saya menyaksikan kisah tentang Rapuzel di bioskop Metropole Jakarta. Film animasi terbaru yang dibuat Disney ini berpusar pada tema besar bahwa motivasi dan hasrat yang kuat akan sanggup menjebol apapun. Ketika seseorang memiliki impian, maka impian itu akan memiliki kaki-kaki untuk bergerak. Tak masalah sebesar apapun impianmu, bahkan setinggi bintang di langit sekalipun. Sebab impian itu akan serupa cahaya kecil di kegelapan yang menggerakkan tubuhmu untuk mengikuti arahnya. Impian itu adalah kompas pemandu, menunjukkan arah, dan memberitahu dirimu kalau-kalau sudah terlampau jauh menyimpang dari garis edar impian. Sebagaimana tuturan Paolo Coelho, “Bermimpilah setinggi langit, sebab Tuhan akan memeluk semua impianmu.”

Film ini memang tentang dongeng seorang putri. Kisahnya sangat inspiratif sebab mengajarkan agar setiap orang –seperti apapun orang tersebut-- tetap memiliki impian. Namun, tidak semua orang bersedia berpayah-payah untuk menggapai impian tersebut. Banyak orang yang terbentur dengan karang-karang kehidupan, kemudian menangisi hidup yang gagal. Banyak orang yang hanya bisa pasrah diseret-seret samudera persoalan, tanpa memiliki kapal dan arah yang tegas hendak dituju. Film ini mengajarkan bahwa ketika kita memiliki impian, kita serupa menemukan lentera cahaya yang memastikan arah, mengarahkan agar tidak tersesat, serta menemukan jalan terang sesungguhnya.

Film ini memang diangkat dari kumpulan dongeng Childrens and Household Tales yang disusun Grimm Brothers pada tahun 1812. Kemudian kisah ini muncul dalam beragam versi, namun kesemuanya tetap dalam bingkai tema yang sama, tentang seorang putri berambut panjang yang disekap di menara oleh seorang penyihir yang sesekali menengok putrid itu dengan cara memanjat melalui rambut panjang itu. Salah satu kalimat yang popular dan hingga kini sering ditampilkan dalam beragam versi adalah kalimat, “Rapunzel.. Rapuzel.. Let down your hair.”


Menurut Wikipedia, Grimm mengadaptasi kisah ini dari dongeng Persia atau Iran kuno yang pernah diterbitkan di Peranis pada tahun 1698. Di Iran, kisah ini disebut Rudaba, yang dimuat dalam koleksi dongeng Shahnameh, yang ditulis Ferdwsi sekitar tahun 1000. Bayangkan, betapa lamanya dongeng ini bertahan. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa isahini diambil dari legenda Saint Barbara, yang pernah dikunci dalam sebuah menara oleh ayahnya sendiri. Entah mana yang benar, yang jelas, kisah ini sangat popular di Jerman. Itu bisa dilihat dari nama penyihir “Mother Gothel” adalah nama yang cukup popular di Jerman, dan menggambarkan seorang ibu yang overprotective pada anaknya sehingga menjadi negatif.

Nasib Dongeng Nusantara

Bagi saya, kelebihan film ini karena diangkat dari khasanah dongeng yang kemudian dikemas sedemikian rupa menjadi lebih menyegarkan dan mengasyikkan untuk ditonton. Kelebihan perusahaan film sekelas Disney adalah mereka punya kemampuan untuk mengangkat khasanah dongeng menjadi kisah yang mengharukan. Meskipun Amerika Serikat (AS) disebut sebagai negeri yang tak banyak menyimpan dongng, sebab penduduknya adalah imigran Inggris pada masa silam, namun mereka bisa menjelajah dunia dan mengolah sejumlah dongeng tersebut dalam kemasan ala Amerika, kemudian melempar ulang ke pasaran global menjadi tontontan yang bernilai jutaan dollar.

Sebelum kisah Rapunzel, Disney sudah lebih dahulu mengangkat kisah Putri Salju dan Tujuh Kurcaci (Snow White and The Seven Dwarf), Putri Tidur (Sleeping Beauty), Cinderella, Putri Duyung (Little Mermaid), Si Cantik dan Si Buruk Rupa (Beauty and The Beast), dan banyak lagi. Semua kisah tersebut adal dongeng yang awalnya menjadi pengantar tidur di sebuah negara, yang kemudian dikemas ulang, diberi sentuhan music, dan laksana sihir, kisah itu langsung menjadi kisah yang tampil dalam sinema dan menghasilkan pundi-pundi bagi pembuatnya.

Seperti apakah kekuatan dongeng? Dalam satu wawancara dengan Newsweek, JK Rowling –penulis Harry Potter—pernah ditanya, mengapa ia bisa menghasilkan karya yang demikian brilian. Rowling menjawab, “Saya beruntung bisa lahir dan besar di Inggris, sebuah negeri yang punya ribuan dongeng. Semua dongeng itu lalu menjadi kekuatan yang mempengaruhi imajinasi hingga saya bisa melahirkan karya seperti Harry Potter.”

Saya sepakat dengan Rowling. Bahkan, saat menyaksikan kisah Rapunzel ini, saya tiba-tiba saja tergelitik dengan pertanyaan bagaimana nasib dongeng kita? Pernahkah kita berpikir bahwa kitapun memiliki khasanah kebudayaan budaya yang sedemikian kaya sebagaimana tercermin dari dongeng-dongeng tersebut? Tiba-tiba saja saya mengkhawatirkan punahnya dongeng tersebut di tengah gencarnya penetrasi dongeng Amerika lewat Disney, dongeng Jepang dalam komik, atau dongeng Korea yang masuk lewat drama seri Korea.

Snow White
Jangan-jangan kita adalah generasi yang sudah tidak peduli dengan dongeng sebagai warisan budaya kita sendiri. Saya pernah iseng mencatat, jika negeri ini punya ribuan suku bangsa, tentunya negeri ini juga memiliki jutaan bahkan miliaran dongeng-dongeng sebagaimana yang tercermin dari suku bangsa tersebut. Semua dongeng tersebut adalah kisah-kisah orisinil yang dihasilkan bangsa kita sejak masa silam, dan merupakan khasanah kekayaan yang tak ternilai. Dongeng tersebut telah mengasah imajinasi, menentukan watak, dan mengasah kepekaan seseorang pada dunia sekitarnya. Dongeng menyimpan kekuatan dalam kata serta nilai-nilai moral yang terselip dalam kisah-kisah sehingga seorang anak bisa mengenali mana kebenran dan mana yang bukan.

Dongeng-dongeng tersebut abadi dalam waktu dan selama sekian lama menjadi bentuk sosialisasi atau upaya pembelajaran yang menumbuhkan karakter bagi seorang anak. Saya pernah membaca sebuah publikasi jurnal yang menyebutkan bahwa jika seorang anak terbiasa diberi dongeng sejak kecil, maka nilai-nilai seperti kepahlawanan, moralitas baik-buruk akan tumbuh dalam dirinya sehingga membersitkan keinginan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik di masa mendatang.

Saya membayangkan ada sebuah pencatatan atas ribuan koleksi dongeng kita secara serius kemudian dikemas dalam bentuk yang menarik dan menyegarkan. Tentu saja, merawat dongeng tidak sekedar mendokumentasikannya, namun juga upaya untuk memberinya penafsiran baru, mengadaptasikannya dengan situasi zaman, sehingga dongeng tersebut bisa lebih bermakna dan memberian kekuatan bagi bangsa ini untuk melangkah maju ke depan. Saya membayangkan ada masa ketika anak negeri ini justru bisa mencibir pada Hollywood dan berkata, “Maaf, anda punya Rapunzel dan Putri Salju. Tapi saya juga punya Malin Kundang dan Sangkuriang.”




Jakarta, 4 Desember 2010
www.timurangin.blogspot.com