Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Tafsir Papua untuk Yansen



NUN jauh di Malinau, Kalimantan Utara, butiran gagasan tentang revolusi desa disebar ke mana-mana. Gagasan itu nampak sederhana, namun memiliki dampak yang luar biasa bagi banyak orang. Penggagasnya adalah Yansen TP, yang sejak lama berobsesi untuk memberikan kekuatan bagi desa-desa. Indonesia tidak dilihat dari pusat, Indonesia dilihat dari pinggiran terjauh. Tak disangka, gagasan itu memantul ke mana-mana. Di Raja Ampat, Papua Barat, gagasan Yansen ikut bergema, namun juga terselip beberapa catatan kritis yang patut disimak.

***

HARI itu, sebuah diskusi buku digelar di Jakarta. Buku berjudul Revolusi dari Desa itu menyentuh hati banyak orang. Yang dibahas adalah bagaimana memberikan kepercayaan dan tanggungjawab sepenuhnya kepada warga desa. Puluhan tahun Indonesia merdeka, titik berat pembangunan selalu ditekankan di kota-kota. Desa hanya menanti kemurahan hati orang-orang kota, tanpa menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Yansen memaparkan pengalamannya ketika membangun Malinau. Ia mengubah pandangan orang bahwa pembangunan bisa dimulai dari pinggiran. Ia selalu mengulang-ulang bahwa kepercayaan kepada rakyat adalah pilar utama bagi pembangunan. Pendekatannya revolusioner. Ia memberikan kepercayaan penuh kepada desa. Ia mendelegasikan wewenang hingga tanggungjawab kepada desa. Ia juga membagikan anggaran kepada desa, setelah itu membangun mekanisme untuk mengontrol penggunaan anggaran. Ia membuktikan obsesinya untuk membangun dari pinggiran. Ia tak memaparkan teori. Ia membawa bukti.

Pemikirannya mendahului zaman. Di saat pemerintahan baru menanam komitmen untuk memberikan otonom kepada desa, ia bergerak lebih dahulu untuk membumikannya. Sejatinya, pengalaman itu menyediakan butiran inspirasi untuk mengecek sejauh mana kelebihan sekaligus kekurangan konsep otonomi desa itu.

Bagi saya, gagasan itu menjadi menarik sebab dilakukan di tengah kebijakan pembangunan yang tak memberi ruang bagi desa. Selama ini, banyak orang terjebak pada pandangan bahwa desa hanyalah mata rantai paling bawah dari sistem birokrasi. Pemerintah pusat memegang wewenang tertinggi, lalu di bawahnya ada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, hingga pemerintahan desa.

saat Yansen mempresentasikan bukunya

Yansen membalik gagasan itu. Posisi masing-masing adalah sejajar dan saling bermitra. Pemerintah desa memiliki wewenang yang harus dipertanggungjawabkan ke hadapan warga. Desa punya kuasa untuk menentukan desain pembangunannya sendiri, sekaligus berdialog dan merumuskan solusi bersama pemerintah di atasnya.



***

BEBERAPA hari setelah diskusi itu, saya berkunjung ke Raja Ampat, Papua Barat. Disatu pulau indah, pada tempat yang disebut-sebut sebagai kepingan surga di bumi, saya bertemu beberapa kepala desa. Kami mendiskusikan banyak hal, termasuk gagasan Yansen tentang desa. Mereka paham intisari gagasan revolusi desa, seperti yang digemakan Yansen.

Sejak tahun 2001, kebijakan otonomi khusus Papua menjadikan desa-desa berlimpah materi. Papua telah melangkah lebih jauh. Hanya saja, ada sejumlah catatan menarik yang kemudian dititipkan. Ternyata, gagasan tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan lapangan. Adalah penting untuk mengungkap semua catatan itu agar menjadi pelajaran berharga yang membuat mata lebih terang untuk melihat banyak sisi lain.

Pertama, pemberian wewenang dan kuasa anggaran untuk menentukan desain pembangunan adalah hal yang positif. Akan tetapi, hal itu bakal sia-sia jika tak diiringi penguatan kapasitas dari manusia-manusia yang hidup di desa. “Biar banyak dana dan kewenangan, kalau desa tidak tau mau bikin apa, maka kebijakan apapun bisa sia-sia,” kata Frans, warga Waisai, Raja Ampat.

Sejak tahun 2002 hingga 2013, dana Otsus Papua yang dikeluarkan mencapai Rp 40 triliun rupiah. Namun, sampai saat ini, masyarakat Papua masih memprihatinkan. Warga Papua masih banyak yang kelaparan, mengalami gizi buruk, hingga meninggal. Mengapa bisa terjadi? Ada banyak faktor yang bisa diurai. Salah satunya adalah tidak siapnya sumber daya manusia, lemahnya pengelolaan, serta tingkat korupsi yang tinggi.

Makanya, kebijakan pemberian wewenang itu tidak harus dilihat sebagai salah satu solusi yang mengatasi semua masalah. Harusnya, ada tiga aspek yang harus diperhatikan. Yakni (1) perencanaan pembangunan, (2) implementasi anggaran, dan (3) aspek pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran. Ketiga aspek ini adalah tali-temali yang mengikat semua pihak, termasuk desa.

Kedua, banyaknya wewenang dan turunnya anggaran bisa menyebabkan terjadinya tumpang-tindih dalam pelaksanaan program. Bukan rahasia lagi kalau di kalangan pemerinta terjadi saling silang dan benturan saat terjadi di lapangan. Entah kenapa, kita belum juga bisa membangun satu pendekatan yang komprehensif dan menjadi bahasa bersama bagi semua pihak.

Benturan ini menyebabkan tidak bekerjanya sistem, yang kemudian bisa berdampak bagi masyarakat. Sungguh ironis jika mengingat bahwa desa-desa di Indonesia masih menjadi kantong kemiskinan, sehingga rawan terjadinya ketidakadilan sosial.

***

DI Papua Barat, saya mendiskusikan pendekatan yang ditempuh Yansen di Malinau. Pendekatan itu efektif untuk menghidupkan energi dan gairah pembangunan di daerah perbatasan. Pendekatan itu mengingatkan orang pada kalimat ilmuwan sosial Soedjatmoko bahwa pembangunan tidak selalu terkait ekonomi, namun terkait erat dengan manusia. Makanya, tujuan prmbangunan haruslah bisa menjadi pijakan untuk melejitkan pemenuhan potensi kemanusiaan.

Tentu saja, jalan ke arah itu cukup terjal untuk ditempuh. Tapi Yansen telah meletakkan satu landasan penting untuk membangun kepercayaan (trust) kepada rakyat. Entah, apakah Yansen pernah membaca tulisan Francis Fukuyama ataukah tidak. Sebab, beberapa tahun silam, Fukuyama juga mengurai pentingnya kepercayaan, solidaritas, dan institusi sebagai elemen utama modal sosial yang merekatkan semua anggota masyarakat.

Harus diakui kalau buku masih jauh dari sempurna. Ketika membacanya, saya serasa membaca tulisan ilmiah ataupun laporan-laporan pemerintah daerah. Gaya bahasanya agak kaku, monoton, dan kurang luwes sehingga beberapa kali terasa agak menjemukan. Mungkin saja ini disebabkan oleh materi disertasi yang lalu diolah menjadi buku. Harusnya, buku bisa dikemas lebih menarik sehingga selalu memikat siapapun

Meskipun buku ini bertajuk tentang membangun dari pinggiran, saya juga merasakan kalau pendekatan buku ini terkesan top-down. Itu terlihat dari paparan tentang rencana pemerintah daerah serta kebijakan Gerakan Desa Membangun (Gerdema). Posisi pemerintah kabupaten masih berada di atas yang kemudian mendesain wewenang apa saja yang dimiliki oleh desa.

saya dan para sahabat di Papua

Idealnya, jika memang insiatif pembangunan itu dari desa, harusnya paparan bergerak secara induktif. Akan lebih baik kalau suara-suara desa diungkap lebih dahulu, bisa dalam bentuk narasi, deskripsi, atau gagasan, kemudian bergerak ke atas ke aras pemerintah daerah, yang meresponnya dengan kebijakan. Yang ditekankan bukanlah prestasi dan kepedulian pemerintah daerah, namun pada inspirasi komunitas, suara-suara rakyat yang lama termarginalisasi, serta harapan besar yang tumbuh untuk melihat negeri ini lebih baik.

Terlepas dari beberapa catatan itu, buku ini sukses untuk membuka wawasan sekaligus menyentuh kesadaran bahwa ada banyak pelajaran di desa-desa dan daerah-daerah pinggiran. Bahwa kerja keras untuk menggapai cita-cita memang masih harus dikejar. Akan tetapi negeri ini bisa menggapai semua asa selagi ada keberanian untuk menyerap pelajaran dari banyak hal menarik di tubuh bangsa.

Di tanah Malinau, tepian tanah air kita, ada kisah sukses dan inspirasi tentang membangun negeri. Inspirasinya sederhana, namun justru punya kekuatan untuk menggerakkan dan mengubah hal yang nyaris mustahil. Inspirasinya terdapat pada kalimat yang tertera di sampul buku: “Saatnya dalam pembangunan percaya sepenuhnya kepada rakyat.”


Raja Ampat, Papua Barat, November 2014



Senyum Getir Nelayan Raja Ampat


 


BOCAH itu datang bermain ke pantai. Bersama rekan-rekannya, ia berlarian. Saya menyaksikan dari jauh. Ketika mereka lelah dan beristirahat, saya mendekat. Menyaksikan kamera yang saya bawa, bocah-bocah itu lalu merapat sembari berkata, “Om, foto kita dulu.”

Saya lalu memotret. Seorang anak perempuan paling bersemangat difoto. Saya pun menyenangi ekspresinya yang natural. Biasanya, seusai memotret, mereka ingin melihat hasilnya. Saat menemukan wajahnya di layar kamera, mereka langsung tersenyum dan berteriak kegirangan.

Mereka adalah anak para nelayan di pesisir Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat. Mereka bergembira atas banyaknya para turis yang berkunjung ke wilayahnya. Mereka riang karena wilayahnya ramai. Sayang, mereka tak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Mereka tak banyak bertanya pada ayah mereka, betapa kehidupan tidak menjadi sederhana seiring dengan kian banyaknya turis yang berdatangan.

Di tepi pesisir Pulau Waigeo, seorang nelayan nampak memandang laut. Di hadapannya, terdapat perahu jenis kole-kole yang sering digunakannya untuk ke laut. Ia sangat bersemangat ketika saya datang untuk mengajaknya berbincang. Ia bercerita tentang limpahan ikan di beberapa titik di laut sana. Saat diminta membandingkan pendapatan antara dahulu dan kini, ketika Raja Ampat jadi surga wisata, ia tiba-tiba saja terdiam.

Ia berkisah, dahulu Raja Ampat adalah surganya para nelayan yang setiap melempar kail, pasti akan mendapatkan ikan besar. Laut adalah semesta yang selalu menyediakan semua hal yang menunjang kehidupan. Lautan amatlah ramah sebab menyediakan apapun yang dibutuhkan para nelayan. Tak hanya itu, lautan adalah lanskap tempat para nelayan melukis hari-harinya. Laut adalah simbol eksistensi.

Seiring waktu, Raja Ampat menjadi destinasi wisata. Para turis dan peneliti berdatangan. Kampanye konservasi dimulai. Pada wilayah tertentu, para nelayan dilarang menangkap ikan. Jika dahulu ikan hanya difungsikan sebagai pangan, maka kini ikan menjadi penghias agar bawah laut tetap cantik.

Nelayan itu bercerita bahwa wacana konservasi justru menjauhkan nelayan dari laut. Area tangkapan menjadi terbatas. Para nelayan itu harus menangkap ikan di laut dalam. Sementara mereka justru tak punya banyak akses pada teknologi menangkap ikan di lautan dalam.

Di sisi lain, banyaknya nelayan asing yang datang dengan membawa teknologi penangkapan ikan yang canggih, kian menjauhkan para nelayan dari lautan. Mereka hanya mendapatkan remah-remah dan sisa-sisa yang justru tak banyak mendatangkan hasil bagi mereka. Kisah para nelayan hari ini adalah kisah getir di tenga wacana konservasi dan semakin populernya Raja Ampat sebagai destinasi wisata dunia.



Dahulu, Raja Ampat adalah surga bagi para nelayan. Kini, Raja Ampat tetap menjadi surga, namun bukan buat nelayan. Raja Ampat telah menjadi surga bagi para wisatawan dan turis asing yang melihat pulau-pulau itu dengan penuh kekaguman. Ketika pertama memasuki wilayah ini, saya banyak melihat tulisan “Raja Ampat: A Piece of Paradise.” Benar, tempat ini adalah kepingan surga yang jatuh ke bumi. Para turis itu melihat eksotisme. Mereka lalu tinggal, membeli resort, lalu mempromosikan tempat itu ke mana-mana, sekaligus melarang nelayan untuk mengambil ikan.

Para nelayan itu tak paham tentang wacana bahwa pulau itu adalah surga. Mereka juga tak banyak tahu apa itu konservasi. Mereka dipaksa menerima pesan kampanye bahwa konservasi kelak akan menjamin kesediaan ikan di wilayah itu. Tapi tetap saja ada suara getir yang bermunculan. “Bukankah area tangkapan yang menyempit hari ini telah memasung segala aktivitas dan daya jelajah nelayan di laut sama? Siapakah yang paling diuntungkan dengan wacana surga dan koservasi itu? Apakah nelayan ataukah para turis dan pengusaha resort sana?”

Saya tak bisa menjawab. Saya sedang memikirkan kultur dan tradisi yang dibawa para pendatang berlabel wisata itu. Barangkali ada benturan budaya di situ, di mana warga setempat akan melihat contoh tentang kemodernan, lalu memandang dirinya tradisional. Barangkali ada anggapan tentang standar-standar kemajuan melalui pariwisata, yang kemudian menjadi standar untuk dikejar.


Barangkali, para nelayan itu lalu berkeinginan agar anaknya sebagaimana para turis yang datang itu. Tak ada lagi yang menjaga lautan dan seisinya. Tak ada lagi yang hendak melanjutkan marwah nelayan, yang memiliki tradisi hebat yang terukir di ombak dan buih lautan. Kian tahun, jumlah nelayan akan semakin berkurang. Kelak, para nelayan tradisional itu hanya menjadi jejak yang dituturkan turun-temurun

Saya hanya bisa menatap anak-anak nelayan yang bermain dengan penuh riang gembira. Mereka masih terlampau muda untuk memahami betapa banyaknya hal yang berubah belakangan ini. Semoga saja keceriaan mereka adalah sesuatu yang terus bertahan, seiring dengan kian membaiknya kehidupan para nelayan. Semoga saja mereka bisa menghidupkan asa kita sebagai bangsa maritim.

Di saat membayangkan para nelayan itu, bocah perempuan yang tadi dipotret kembali datang. “Om, apa bisa foto saya sekali lagi? Saya ingin bikin foto yang paling cantik.”


Raja Ampat, 23 November 2014

Sensasi jadi Headline (25)

SELALU saja saya menikmati saat-saat ketika tulisan saya menjadi headline. Meskipun sudah puluhan kali, tetap saja saya senang. Berikut empat tulisan terbaru.

 Kisah Setahun Jadi Kompasianer of the Year

Fadli Zon di Mata Peneliti Jepang

 Pahlawan Belia di Kota Manado

 Senyum Getir Nelayan Raja Ampat



Menemukan Rahasia di RAJA AMPAT




“Jangan Mati Sebelum Menginjakkan Kaki di Raja Ampat’

TADINYA, aku menganggap kalimat itu hanyalah provokasi agar orang-orang datang berkunjung ke Raja Ampat. Namun setelah melihatnya langsung, aku sungguh terkesima. Raja Ampat jauh melebihi ekspektasi tentang pulau tropis yang pemandangannya lembut. Raja Ampat serupa kepingan surga yang jatuh di bumi Papua, bumi yang dihuni manusia Papua yang berkulit hitam dan berambut keriting. Ajaib, selama di sana, aku berhasil menemukan rahasia mengapa gugusan pulau ini sedemikian menakjubkan.

***

SUARA vokalis Edo Kondologit mengiringi perjalananku dari Sorong ke Raja Ampat. Di kapal cepat bernama Marina, lagu Edo menjadi lagu yang menemani perjalanan. Liriknya membuat nuraniku basah. Aku memang pernah mendengar lagu ini. Namun entah kenapa, saat berada di Papua, lagu ini terasa magis dan menjadi suara lirih nurani orang Papua.


Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan

Tanah papua tanah leluhur
Disana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut aku papua
Hitam kulit keriting rambut aku papua
Biar nanti langit terbelah aku papua

Oooh, Oooh,

Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan

Tanah papua tanah leluhur
Disana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut aku papua
Hitam kulit keriting rambut aku papua
Biar nanti langit terbelah aku papua


Liik itu menjadi gerbang untuk mengenali Papua. Sejak pertama menginjakkan kaki di bumi ini, batinku langsung tertawan. Di mataku, Papua tidak sekadar hutan-hutan luas dan flora yang padat, rimba raya yang menjadi surga bagi banyak kehidupan, yang di sela-sela pepohonan terdengar lirih suara burung cenderawasih dan kuskus yang melintasi pepohonan. Papua bukanlah sekadar semesta tempat 

Namun, Papua adalah dua keping surga yang jatuh ke bumi. Satu keping tersimpan di atas bumi, menjadi jamrud hijau yang memancar di sela pepohonan. Sedang satu keping lagi terbenam di dasar laut menjadi pertama biru yang menjernihkan laut, menghidupkan karang-karang, lalu menjadi rumah bagi ikan-ikan hias yang berseliweran.

Sejak pertama memasuki Raja Ampat, atmosfer pariwisata laut kental terasa. Di Pelabuhan Waisai, aku menyaksikan patung dua lumba-lumba sedang berenang. Tak jauh dari situ, terdapat tugu selamat datang yang disangga oleh berbagai binatang laut. Siapapun yang masuk akan menyadari bahwa Raja Ampat mendedikasikan dirinya sebagai kawasan wisata perairan.


Sebagai kabupaten, usia Raja Ampat masih amat muda. Usianya baru 12 tahun. Akan tetapi pembangunannya sangat pesat. Ibukota Raja Ampat di Waisai tertata dengan sangat rapi. Saat melintas, aku menemukan fakta bahwa jalan-jalan sedemikian lurus, lebar, dan panjang, yang mengingatkanku pada jalan-jalan di Amerika Serikat.

Mungkin karena usianya yang masih muda, Raja Ampat mudah ditata. Kata beberapa orang, sebelum pemekaran, Raja Ampat adalah pulau sepi yang dihuni hanya sedikit orang. Dahulu, gugusan pulau sekitar Raja Ampat tak pernah dilirik orang sehingga pulau ini tetap bersih dan menawan. Posisinya yang jauh dari pusat kekuasaan telah menyebabkan pulau ini juga steril dari tangan-tangan kotor para pembuat kebijakan yang barangkali hendak mencari keuntungan di pulau ini. Benar sekali slogan Bupati Raja Ampat, tentang “membangun dari tiada menjadi ada.”

Sejak mekar, perlahan-lahan, Raja Ampat mulai ditata. Berbagai lembaga internasional turun tangan untuk menata Raja Ampat menjadi destinasi wisata terbaik di dunia. Ruang kota dibenahi. Regulasi dibuat agar menjaga keanekaragaman hayati. Penduduk ikut dilibatkan untuk menjaga konservasi. Mereka sama-sama menanam tekad untuk mewariskan bumi Raja Ampat yang kaya kepada anak cucu.

Yang membuat kesan pertama amat kuat di ibukota ini adalah penataan ruang kotanya yang sejuk dengan banyak taman. Di banyak tempat terdapat taman kota, yang selalu menampilkan patung hewan laut seperti lumba-lumba, hiu, ataupun ikan pari. Nampaknya, ikan pari adalah maskot wilayah ini. Aku melihat banyak patung ikan pari. Bahkan di dekat Pantai WTC, yang merupakan singkatan dari Waisai Torang Cinta, terdapat satu balon besar berbentuk ikan pari. Saat datang dan memotret, ternyata ikan ini juga menjadi maskot dari lembaga Konservasi Internasional yang sejak lama telah mengadvokasi kebijakan agar ikan ini dilindungi undang-undang.



Sungguh beruntung, ada banyak sahabat yang menemaniku selama di Raja Ampat. Misi kedatanganku ke situ bukanlah untuk berwisata. Misiku adalah membentuk Komunitas Informasi Wisata (KiTA) yang nantinya akan menjadi wadah bagi warga Raja Ampat untuk mengumpulkan segala informasi tentang wilayahnya. Nantinya, informasi itu akan disebarkan melalui banyak saluran media. Semoga saja komunitas ini kelak bisa tetap bertahan dan bisa memberikan makna bagi para pelancong yang hendak menemukan pencerahan dan hikmah di sepanjang perjalanannya.

Rahasia Raja Ampat

Dalam berbagai brosur wisata, Raja Ampat mengandalkan keindahan bawah laut dan keanekaragaman hayatinya di wilayah seluas 9,6 juta are. Mereka yang datang disarankan untuk diving. Ada sekitar 537 spesies koral dan 699 spesies hewan lunak lainnya di bawah perairan Raja Ampat. Jika anda beruntung, anda juga bisa melihat ikan pari manta dan penyu di sekitar tempat ini. Anda tidak harus menyelam ke dalam untuk bisa menikmati keindahan bawah laut Raja Ampat, dari pesisir pun anda bisa menikmatinya. Cukup pakai snorkel dan anda bisa mulai berenang di pesisir pantai.

Formasi pulau ini juga sangat indah, dan ini merupakan salah satu daya tarik wisata bahari Raja Ampat. Jika anda tidak berani menyelam, anda tetap bisa menikmati keindahan pulau ini dari luar. Berbagai elemen menarik menyusun kepulauan ini, misalnya hutan yang lebat, spesies tumbuhan langka, gugusan batu kapur yang eksotis, dan sarang penyu di sekitar pantai. Saat musim kawin ribuan penyu bisa muncul di sekitar pantai untuk bertelur.

Ada 4 pulau utama yang menyusun kawasan Raja Ampat, yaitu Bantanta, Salawati, Waigeo, dan Misool. Sebenarnya masih ada banyak lagi pulau-pulau kecil yang terdapat di daerah ini. Langsung saja datang ke tempat ini jika ingin melihat keindahan wisata bahari Raja Ampat.

Seteah datang sendiri ke Raja Ampat, aku tiba-tiba saja menemukan RAHASIA mengapa Raja Ampat begitu menakjubkan. Rahasianya tidak terletak pada pantai-pantai indah itu, atau pada paus ataupun ikan hiu serta penyu yang selalu melintas dan berumah di situ, juga tidak terletak pada surga bawah laut eksotis yang tak ditemukan di manapun.



Rahasia mengapa Raja Ampat sedemikian eksotik justru terletak pada manusia-manusia yang menghuni wilayah ini, yang dengan kesederhanaannya justru menyimpan kearifan yang mencengangkan. Mereka yang mendiami Raja Ampat adalah orang-orang hebat yang punya kekuatan hati untuk menerima semua orang dengan tangan terbuka. Selama di sana, aku amat banyak dibantu orang-orang baru yang kemudian menjadi sahabat dekat. Aku bertemu para nelayan yang kemudian menjadi guru-guru konservasi. Mereka tak saja menjaga laut, tapi juga menegakkan marwah seluruh bangsa Indonesia tentang negeri maritim yang kaya dan seharusnya dijaga dengan seluruh energi terbaik. Mereka menghidupkan kawasan, menjadi jantung dari seluruh kegiatan wisata.

Mereka memberikan isyarat bahwa selalu ada keajaiban di Raja Ampat. Keajaiban itu terletak pada senyum tulus, hati yang hangat dan selalu membuka pintunya, serta pada kecintaan mereka pada bumi air Raja Ampat.


Waisai, Raja Ampat, 22 November 2014

Kisah Penakluk Media Sosial




TADINYA aku mengira media sosial seperti Facebook dan Twitter bekerja berdasarkan hukum-hukum sendiri yang tak bisa diintervensi. Belakangan, anggapan itu kurevisi. Seorang teman bisa mengubah twitter-ku tiba-tiba saja di-follow banyak orang. Yang mencengangkan, para follower itu adalah pemilik akun aktif dan tinggal di Indonesia. Hebat khan?

Teman itu menolak untuk menjelaskan caranya. Ia tak hanya menunjukkan bagaimana cara menambah akun dengan sangat cepat (hanya dalam sejam, ia bisa menggiring 3.000 follower baru), ia juga memintaku untuk mem-post sesuatu. Ia lalu mengatur agar postingan itu akan di-retweet sampai ribuan kali. Di tengah rasa keheranan itu, ia lalu berkata, “Kita bisa merancang perubahan. Kita bisa menciptakan banyak keajaiban dengan twitter.”

Kemampuan sahabat itu membuatku terhenyak. Ternyata, apa yang kita sebut media sosial tak bisa lepas dari rekyasa dan strategi. Selama ini aku hanya mengenali cara yang normal-normal saja. Seiring waktu, aku semakin belajar bahwa media sosial tidak bekerja dengan standar yang normal. Ia juga bisa diatur, bisa direkayasa, dan bisa diarahkan untuk mewujudkan apa yang dibayangkan. Artinya, perubahan pun bisa direkayasa dan digerakkan oleh gagasan yang dikendalikan oleh para penakluk media sosial.

Raja Ampat, 21 November 2014

Segelas Moke yang Mempersatukan



sebuah perahu di Teluk Maumere

SELAMA berkunjung ke banyak daerah di Indonesia timur, termasuk Maumere (Sikka), saya menemukan satu benang merah tradisi yang bisa ditemukan di mana-mana. Tradisi itu adalah meminum tuak secara bersama-sama. Melalui tuak, ikatan kekerabatan dikuatkan. Sekali anda minum tuak dengan seseorang, maka anda adalah saudara yang akan dibelanya sampai mati. Bahkan ketika anda salah sekalipun, ia tetap akan membela.

Jangan pernah sekalipun anda meragukan solidaritas yang dimiliki seseorang dari timur Indonesia. Uniknya, persaudaraan itu dirajut melalui banyak cara. Sekali anda berbuat baik, maka anda akan terus diingat. Jika tak punya kesempatan berbuat baik, cukup minum moke secara bersama. Dijamin, anda akan menjadi bagian dari rekan yang bersama minum moke.

Di penginapan tempat saya tinggal, acara minum moke hampir setiap malam dilakukan. Melalui acara itu, pemilik penginapan, pekerja, hingga tetangga sama-sama bergabung untuk meminum moke atau tuak. Tak hanya minum, mereka juga akan saling berceloteh hingga suasananya ribut. Biasanya, mereka akan saling mendengarkan. Jika ada yang lucu, mereka akan tertawa ngakak bersama-sama. Kadang, acara minum moke itu diselingi dengan musik dangdut yang suaranya membahana dari soundsystem berukuran jumbo.

Saya sempat nimbrung dan menyaksikan dari dekat. Dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan bahwa saat meminum moke, tak ada yang disebut hierarki sosial. Semuanya berada pada posisi sama, jenis minuman sama, gelas yang sama, hingga teler secara bersama pula. Seusai teler, biasanya ikatan mereka semakin kuat. Mereka akan mengidentifikasi diri sebagai satu kesatuan yang memiliki tugas berbeda.

Entah, apakah ada yang pernah melakukan riset tentang acara minum moke. Akan tetapi saya sangat yakin kalau acara ini berperan penting untuk memperkuat jaringan sosial. Moke tidak hanya sekedar minuman tetapi mempunyai nilai kultural, ekonomi dan sosial yang tinggi. Bagi sebagian orang, moke adalah simbol adat, persaudaraan dan pergaulan bagi masyarakat Flores.

Moke adalah minuman yang diolah dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon lontar maupun enau. Proses pembuatannya masih tradisional. Konon, proses pembuatan moke adalah warisan dari nenek moyang. Pembuatannya dilakukan di kebun-kebun masyarakat dengan menggunakan wadah-wadah tradisional seperti periuk tanah untuk memasaknya.

Pembuatan moke memerlukan keuletan, kesabaran dan keahlian khusus untuk menghasilkan minuman yang berkwalitas. Moke ada berbagai jenis mulai dari moke biasa, moke merah sampai moke dengan kandungan alkohol tertinggi. Khusus untuk moke yang kandungan alkoholnya tinggi masyarakat biasa menyebut ‘BM’ atau bakar menyala. Walaupun moke merupakan minuman yang beralkohol, untuk mendapatkannya sangat mudah, diberbagai sudut kota maupun di pelosok desa moke selalu tersedia.

Semalam, saat kembali dari pertemuan dengan seorang informan, kembali para karyawan penginapan menggelar pesta minum moke. Suara khas Rhoma Irama terdengar nyaring dan bercampur dengan gelak tawa. Saat melintas, sejumlah anak muda bertato itu menahan langkahku. Mereka meminta saya untuk bergabung. Saya sadar betul bahwa mereka ingin menjalin persaudaraan. Saya pun duduk di dekat mereka. Segelas moke diberikan.

Baru mencium baunya, saya lagsung merasa mual. Sungguh, saya bukan peminum yang perkasa. Saya pasti akan mudah tumbang dengan hanya meminum satu sloki. Dengan tidak bermaksud mengecewakan mereka, saya pura-pura mengambil moke. Saat di mulut, saya mencium bau alkoho yang kuat. Saya tak sanggup. Tapi persaudaaraan juga penting.

Inilah yang disebut dilema. Saya berada di tengah dua pilihan sulit. Apakah kami akan bersaudara berkat moke, ataukah melalui hal lain. Ah, izinkan saya memilih satu pilihan yang paling tepat. Hiks.


Maumere, 18 November 2014

Maumere, Keping Sejarah, dan Perjumpaan Pertama


bunga di Sikka

KETIKA pesawat yang saya tumpangi mendarat di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), udara terlihat sangat cerah. Langit nampak biru. Pesawat itu mendarat di Bandara Frans Seda (dulu bernama Bandara Wai Oti), pukul tiga sore. Bandara ini cukup besar untuk ukuran sebuah ibukota kabupaten. Bangunan utamanya dua lantai. Di sekitar bangunan, terdapat banyak bunga-bunga yang bermekaran. Saya memotret beberapa di antaranya untuk keperluan brosur wisata.

Saya menumpang pesawat jenis Wings Air dari Denpasar. Dalam sehari, ada dua pesawat yang singgah di sini. Selain wings, maskapai Nam Air juga dua kali singgah ke Sikka. Saya lalu menyewa sebuah mobil jenis Avanza. Warga Sikka menyebut mobil pribadi ini sebagai taksi. Saya lalu menuju Blue Ocean Cottages yang menjadi base camp selama tinggal di kota ini. Jalanan tidak terlalu ramai. Aspalnya mulus.

Sang sopir di sebelah saya bercerita sekilas tentang Maumere. Katanya 80 persen penduduk Maumere adalah Katolik. Makanya, di kota kecil itu banyak terdapat gereja katolik. Ia juga bercerita tentang beberapa bangunan yang menjadi landmark wilayah. Misalnya patung Kristus Raja, patung Bunda Maria, serta beberapa gereja-gereja tua.

“Dari sedemikian banyak kota yang mayoritas beragama katolik, hanya Maumere yang pernah dikunjungi langsung oleh Paus Yohannes Paulus,” kata sopir itu menambahkan. Nampaknya, kedatangan Paus cukup monumental di wilayah itu. Sampai-sampai, masih diingat dan dijadikan sebagai topik diskusi kepada seseorang yang baru menginjakkan kaki di wilayah itu.

pesawat Wings Air
bunga-bunga kuning

Saya akhirnya tiba di Blue Ocean Cottages. Saya bertemu beberapa anak muda yang tengah duduk bergerombol. Saya mencium bau alkohol yang pekat di situ. Seorang anak muda berambut gimbal menyambut saya. Namanya Ridho. Ia membawa saya ke satu pavilliun yang kosong. Sayang sekali, rekan Sofyan Sjaf dan fasilitator Kiki manis sedang tak berada di tempat. Mereka sedang berperahu ke Pulau Babi, yang jaraknya sekitar setengah jam perjalanan. Kata Ridho, mereka berencana untuk snorkeling di pulau itu. Huh, saya iri.

Sembari menunggu mereka, saya lalu berkeliling cottages. Tempat ini nampak sangat alami. Atapnya dibuat dari ijuk. Kamarnya dihiasi dekorasi ala Sikka. Pohon kelapa dan tanaman nampak rimbun di sekitar hotel. Kata Ridho, cottages ini cukup laris di kalangan wisatawan asing. “Hampir setiap hari ada tamu di sini,” katanya.

Ia juga menjelaskan beberapa obyek wisata di Sikka. Sayangnya, obyek wisata itu jaraknya cukup jauh. Menurutnya, untuk mencapai gereja tua Sikka, butuh waktu sekitar 45 menit. Saya melirik jam di tangan yang telah menunjukkan pukul 5.30 sore. Saya memilih untuk tidak ke mana-mana sambil menunggu Pak Sofyan dan Kiki. Saya lalu membaca beberapa informasi tentang Maumere.

Menurut satu informasi, Maumere adalah kota terbesar di Flores. Kota ini lebih besar dari Lauan Bajo. Kota ini pernah tercatat sebagai daerah wisata yang cukup populer di tanah air. Dahulu, kota ini terkenal dengan taman bawah lautnya. Tapi sejak ada tsunami yang menerjang Maumere pada tahun 1992, wisata bawah laut langsung tiarap. Tak ada lagi turis-turis yang datang. Tak banyak lagi hotel dan homstay. Kalaupun ada wisatawan yang singgah ke kota ini, maka biasanya wisatawan itu sedang transit dalam perjalanan ke Taman Nasional Komodo.

Keberadaan Maumere tidak lepas dari Keuskupan Larantuka. Sebelum datangnya kekuasaan Hindia Belanda, Maumere dikenal dengan nama Sikka Alok atau Sikka Kesik. Di sinilah pedagang Cina, Bugis, dan Makassar saling barter hasil bumi dengan penduduk setempat. Mereka hilir mudik dan menetap tak jauh dari pelabuhan air yang disebut Waidoko. Pemerintah Hindia Belanda kemudian yang membuka kantor pemerintahannya di Sikka dan memberi nama-nama baru seperti Maunori, Mautenda, Mauwaru, Maurole, Mauponggo, Maulo’o, dan terakhir Maumere yang merupakan daerah di Sikka.




Menurut Ridho, agama Katolik sendiri pertama kali hadir di Maumere dikenalkan dua orang pastor Dominikan tahun 1566, yaitu P. Joao Bautista da Fortalezza. Keduanya mengenalkan agama ini di Paga, sebuah kota kecil sekitar 45 km arah Barat Maumere. Ada juga pastor Simao da Madre de Deos yang menjadi juru agama di Sikka. Mereka berdua dikirim oleh P. Antonio da Cruz dari Larantuka, di Timur Flores. Larantuka sendiri merupakan kota yang ternama dengan ritual agamanya yang disebut Semana Santa, minggu yang khidmat sebelum Minggu Paskah.

Saya masih ingin mencatat banyak hal tentang Maumere. Namun di pesisir laut sana, saya melihat satu perahu telah sandar. Tak lama kemudian, turun Sofyan Sjaf dan Kiki dari situ. Saya lalu mendekat sembari memotret. Kiki menyapa. Ada yang berubah. Kulitnya agak gelap di banding sebelumnya. Tapi tetap manis.


Maumere, 17 November 2014

Mawar Cantik Kota Manado




DI sudut Score, Manado Town Square, gadis itu memandang kosong ke lantai dansa. Di sana, banyak pasangan tengah berdisko dengan berbagai gaya. Ia duduk sendirian. Aku tak melihat satupun gelas minuman di mejanya. Kuminta seorang waiter mengantar segelas Martini. Sang waiter lalu menunjuk ke arahku. Gadis itu tersenyum lalu mendekatiku. Kali ini, aku yang deg-degan. Ia serupa bidadari.

Ia mendekat. Matanya lurus ke arahku. Tak sengaja, aku melihat ke arah roknya yang mini. Kakinya bagus dan indah dipandang. Aku lalu memalingkan wajah ke arah lain. Ia mengangkat gelas berisi minuman lalu mendekatiku. Kali ini kami duduk berdekatan. Cahaya lampu menyorot ke rambutnya yang kemerahan. Cantik.

Kami coba berbincang. Aku lebih banyak diam. Aku tak punya bahan untuk dibahas. Ia selalu memulai pembicaraan. Selanjutnya aku bertanya tentang dirinya. Ia tak pelit informasi. Ia bercerita tentang dirinya yang datang dari satu desa yang jauh di utara Sulawesi demi sesuap nasi. Ia mengenali kalau aku baru pertama berkunjung ke bar itu. Batinku membatin, sepertinya gadis ini hampir tiap malam di situ. Tak lama kemudian, musik yang tadinya berdentam-dentam tiba-tiba melambat. Beberapa pasangan langsung berdansa. Ia lalu menyentuh lenganku sembari berbisik, “Kamu mau dansa khan?” Aku menggeleng. Ia kecewa.

***

Manado serupa kembang indah yang dikerubungi kumbang. Kota ini menjadi magnet dari banyak gadis-gadis muda yang lalu meramaikan dinamika hiburan malam. Baru singgah beberapa malam, seorang sahabatku mengajakku mengelilingi beberapa kawasan. Baru kutahu kalau sebutan bagi kupu-kupu malam adalah mawar. Sedangkan sebutan bagi lelaki pencari mawar adalah kumbang.

Saat melintas di Taman Kesatuan Bangsa (TKB), beberapa mawar mendekat. Aku menyaksikan seorag gadis muda yang wajahnya mengingatkan pada artis Nafa Urbach. Bajunya agak rendah di bagian dada. Aku tak ingin memandang ke arah itu. Tanpa basa-basi, ia mengajak untuk ke hotel terdekat. Dengan logat khas Manado, ia menyapa:

“Ayo kita ke hotel,” katanya
“Tidak ada doe” jawabku.
“Pasti ngana pura-pura,” katanya.

Aku hanya bisa tersenyum. Aku melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari TKB, di ujung Jalan Boulevard, beberapa Mawar bergerombol. Kembali mereka mendatangiku. Bersama teman, aku memlih untuk meninggalkan tempat itu. Bagiku, apa yang tampak ini adalah sekeping kenyataan dari kota Manado. Ini juga bisa menjadi gambaran tentang betapa banyaknya persoalan sosial yang harusnya bisa ditangani.

Tak semua orang mau menjadi Mawar. Banyak di antara mereka justru tak berdaya dan kalah oleh keadaan. Barangkali yang harus dikuatkan adalah basis pembangunan di desa-desa, kembali merevitalisasi ekonomi desa, membuka banyak peluang, segingga warga desa tidaklah merantau ke kota lalu memilih menjadi mawar demi mengatasi satu masalah hari ini.

***

“Ayo dansa. Musiknya lagi romantis,” kata gadis di sebelahku. Aku memandang sekeliling, Suasananya memang sengaja dibuat romantis. Banyak pasangan berpelukan. Sayup-sayup suara berat Luis Amstrong mengalun. Di ujung sana, kulihat ada pasangan yang sedang berciuman dengan hot.

Aku lalu menoleh pada gadis ini. Sebelumnya, ia bercerita tentang kehidupan keluarganya yang didera kemiskinan. Ia tak punya skill apapun untuk mendatangkan nafkah. Ia lalu bekerja sebagai ladys di satu bar terkenal kota ini. Ia mendapatkan tip dari apa yang dilakukannya.

Kembali, ia menarik lenganku untuk ke lantai dansa. Aku lalu memikirkan urbanisasi yang marak di kota-kota. Para petani telah lama kehilangan tanahnya karena dijual ke orang-orang kota. Ayah gadis di hadapanku ini adalah petani kecil yang tak punya apapun untuk menopang hidupnya. Gadis di hadapanku ini adalah pemberani yang menopang ekonomi keluarga. Sayang, ia tak pernah bangga dengan pekerjaannya.

“Kaka, ayo kita dansa,” kembali ia merajuk. Kali ini aku tak mau menolak. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berdansa dengan bidadari kota Manado. Tiba-tiba saja, ada gagasan melintas di kepalaku. Jangan-jangan, ia akan mengajakku ke satu hotel. Dansa hanyalah pintu masuk untuk pembicaraan serius. Ah, kali ini aku tak mau berspekulasi. Biarlah kunikmati dansa dengannya.
 

Manado, November 2014

Tak Fasih di Negeri Berbahasa Inggris




KALI ini saya ingin bercerita tentang bahasa Inggris. Di media sosial, banyak orang yang mencela kemampuan presiden kita berbahasa Inggris. Dugaan saya, para pencela itu tak pernah merasakan bagaimana tinggal di negara berbahasa Inggris.

Jika pernah, pastilah mereka akan sadar bahwa bahasa hanyalah satu medium untuk menyalurkan gagasan. Di luar bahasa, ada aspek yang jauh lebih penting yakni sedalam apa kita bisa menyelam di lautan gagasan, seberapa banyak mutiara pengetahuan yang kita kumpulkan, serta sejauh mana kita berenang di samudera ide-ide lalu menghamparkannya untuk menyampaikan maksud.

Tanpa bermaksud narsis, saya ingin berkata bahwa saya pun pernah kuliah di satu kampus di negara yang berbahasa Inggris. Dahulu, saya pernah merasa amat minder dengan kemampuan bahasa. Bahkan ketika pertama kuliah, saya sempat pesimis bahwa boleh jadi saya akan terusir dari kampus dikarenakan persoalan bahasa.

Saya masih bisa mengingat hari pertama kuliah. Hari itu, kuliah perdana di mulai. Saya belajar tentang Communication and Development yang diasuh Vilbert Cambridge. Kelas sudah ramai dengan mahasiswa dari berbagai bangsa. Dengan langkah gontai, saya menuju kelas. Di depan kelas, saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Afganistan, Latvia, dan Jerman. Mereka sedang berbincang-bincang dan bercanda. Bahasa Inggrisnya amat fasih. Saya minder.

Kelas dimulai. Cambridge bercerita tentang aspek penting dalam komunikasi dan pembangunan. Ia fasih membedah teori Wilbur Scramm hingga beberapa sosok seperti Paolo Freire dan Amartya Sen. Presentasinya menyihir. Semua terkesima. Saya tak paham secara detail apa saja yang dikemukakannya. Tapi saya paham gambaran-gambaran besar yang hendak disampaikannya. Saya paham ke mana arah pembicaraan, meskipun akan bingung ketika diminta menerjemahkannya kata demi kata.

Sesi diskusi dimulai. Mahasiswa Amerika dan Eropa amat suka berbicara. Mereka tak peduli idenya nyambung atau tidak, yang penting berbicara. Saya tak bisa menangkap kata-kata mereka. Saat kelas usai, saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Cina. Dengan kemampuan bahasa pas-pasan, kami saling curhat tentang kemampuan kami yang hanya bisa menangkap sekitar 20-an persen dari presentasi dosen. Baru saya tahu kalau ternyata ia pun agak minder di kelas dengan kemampuan bahasa rekan-rekan lain. Saya tak sendirian.

Minggu selanjutnya, jantung saya berdetak lebih kencang. Hari itu, Cambridge meminta kami bercerita tentang memori kolektif atas kolonialisme di negeri masing-masing. Saya deg-degan sebab seisi kelas mesti berbicara. Mau tak mau, saya pun harus berbicara. Saat itu, saya tak punya pilihan. Prinsip saya, apapun yang terjadi, terjadilah. Kalaupun ngawur, yang penting saya telah mencoba. Saya tak ingin lari dari masalah.

Seorang teman asal Colombia bercerita tentang bagaimana Spanyol mencengkeram negeri itu, serta hilangnya tradisi dan budaya. Saya mendapat inspirasi. Tadinya saya hanya mau cerita tentang tahapan penjajahan Belanda dan Jepang. Saya sudah menghafal tanggal dan tahun semalam suntuk. Kalimat sahabat tadi membuat saya tertegun. Ketika diminta bicara, saya memutuskan untuk tak menyampaikan bahan yang sudah saya hafalkan.

Saya memilih memaparkan ide tentang bagaimana kolonialisme di Nusantara justru dimulai dari berpijarnya api ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa menemukan peta ke dunia timur, yang lalu menjadi kompas bagi pelautnya untuk menggapai Nusantara. Penjajahan itu dimulai dari ekspedisi untuk menemukan sumberdaya alam demi menjadi energi bagi mesin kemajuan di negeri-negeri Eropa. Semua terdiam.

Saya tak tahu seberapa kuat gagasan itu. Saya berpikir yang penting bicara. Saya tak peduli apakah kalimat itu memenuhi kaidah bahasa Inggris yang baik ataukah tidak. Seusai berbicara, saya lalu menutup kalimat dengan mengatakan, “Mohon maaf atas bahasa Inggris yang buruk ini. Saya hanya coba berbicara yang saya ketahui, dengan kosa kata terbatas.”

Semua orang menampilkan wajah protes. Bahkan Cambridge langsung berteriak, “Apa kau bilang? Justru bahasa Inggrismu sangat bagus. Saya serasa mendengar siaran radio yang penyiarnya berbicara dengan fasih.” Hampir semua mahasiswa di kelas mengiyakan. Padahal saya yakin kalau kemampuan bahasa saya pas-pasan. Guru bahasa Inggris saya di Indonesia mengatakan bahwa saya perlu banyak mengasah diri. Aneh, di negeri yang warganya berbahasa Inggris itu, semua orang justru mengangguk ketika saya berbicara. Mereka paham. Saya terharu.

Kelas perdana itu mendatangkan banyak inspirasi. Saya mulai bersahabat. Bahkan seorang teman asal Afganistan yang bahasa Inggrisnya fasih itu mulai menjadi sahabat akrab. Kami banyak mengambil kelas yang sama. Pada setiap kelas, ia akan banyak berpendapat dan melontarkan ide. Sementara saya hanya sesekali.

Di kelas Media Theory, pengajarnya agak aneh. Setiap minggu, ia akan memberikan ujian tulis. Kami diminta menjawab soal yang diberikannya berdasarkan bahan bacaan. Hasilnya akan diketahui seminggu berikutnya. Ajaib, setiap minggu, nilai saya lebih tinggi dari sahabat itu. Padahal, saya menjawab soal dengan kemampuan menulis bahasa Inggris yang pas-pasan.

Ketika nilai-nilai mata kuliah lain diumumkan, saya kembali tercengang. Nilai-nilai saya lebih tinggi darinya. Bahkan ketika kami sama-sama lulus, nilai saya jauh melebihi dirinya. Saya lulus dengan nilai yang baik, sementara sahabat itu lulus dengan nilai pas-pasan. Padahal, ia sangat rajin, suka diskusi, dan tak pernah telat mengumpulkan tugas.

Lantas, apa rahasianya?

Seorang profesor di kelas filsafat membocorkan rahasianya. Dalam satu perbincangan di satu kafe saat kami sama-sama menghangatkan badan dari salju, ia bercerita tentang kebijakannya memberi nilai. “Saya tak pernah melihat kemampuan bahasa. Saya tidak sedang mengajar tata bahasa. Saya jauh lebih peduli pada substansi. Biarpun bahasanya ngawur, tapi jika yang disampaikan adalah substansi, saya akan memberikan apresiasi. Ide-ide jauh lebih bernilai dari sekadar kefasihan bahasa,” katanya.

Saya terkesima. Sungguh, betapa bedanya cara pandang kita dengan bangsa lain.  Kita seringkali lebih suka mengolok-olok kemampuan orang lain, tanpa mau melihat sisi-sisi positif dari orang tersebut. Kita lebih suka mencela, padahal boleh jadi kita pun berada di posisi yang sama dengan orang itu. Kita mencela kemampuan bahasa Inggris seseorang, di saat bersamaan kita pun tak sefasih orang yang dicela, atau jangan-jangan kita justru tak menemukan satu sisi positif dalam diri kita sehingga kita lalu mengalihkannya dengan mencela orang lain.

Banyak dari kita yang seringkali merasa lebih sempurna. Kita menghina sembari menyembunyikan betapa banyaknya kelemahan. Kita lebih suka bergunjing, mencela, atau menghina orang lain, tanpa mengaktifkan seluruh indra kita untuk menyerap hikmah dan kearifan. Kita selalu ingin melihat sesuatu sempurna, tanpa pernah mau menghargai proses setapak demi setapak menuju kesempurnaan itu. Pada titik ini, kita lebih suka nyinyir, tanpa pernah mau menunjukkan prestasi yang kita hasilkan. Tiba-tiba saya teringat kata-kata mutiara yang dituliskan seseorang.

Great People Talk about Ideas
Average People Talk about Things
Small People Talk about Other People.

Nah, di manakah posisi kita?


 Bogor, 10 November 2014