SEBUAH teror sedang menebar. Pusat imperium gereja Katolik di Kota Vatikan sedang diguncang kengerian. Di tengah duka akibat meninggalnya Paus, serta hingar hingar-bingar kesibukan acara conclave atau pemilihan Paus, sebuah bahan peledak bernama antimateri diketahui berada di Vatikan. Jika bahan itu tidak ditemukan, maka seluruh bangunan gereja Basilika Santo Petrus, akan hancur lebur sehingga jejak-jejak perjalanan sejarah Kekristenan akan ikut terkubur dan tersaput angin.
Empat orang kardinal terpilih atau preferiti tiba-tiba lenyap. Teror dan ancaman pembunuhan terhadap mereka yang disiapkan menjadi paus itu ditebar. Ancaman itu datang dari sebuah persaudaraan kuno bernama Iluminati yang diyakini sudah lama menjadi mitos dan legenda. Dendam lama terhadap sejarah kekristenan sedang dikobarkan. Ratusan tahun silam, Gereja Katolik membantai para ilmuwan (saintis) dengan sadis. Gereja membawa wahyu sebagai kebenaran absolut, dan para ilmuwan justru membawa ilmu pengetahuan sebagai kebenaran baru. Gereja terancam. Galileo sebagai ilmuwan terkemuka dibunuh. Kemudian, empat ilmuwan lainnya dibantai dalam ritus La Purga. Dada keempat ilmuwan itu dicap dengan besi panas berupa simbol-simbol iluminati yaitu empat unsur yang menyangga semesta yaitu air, api, tanah, dan udara. Kini, ritus purba itu sedang mengancam para kardinal terpilih.
Apakah yang terjadi ketika pusat imperium gereja katolik itu runtuh? Apakah dunia akan kehilangan para malaikat yang bersuara atas nama kebenaran? Ataukah telah runtuh sebuah aset tak ternilai pada bangunan dengan arsitektur maha dahsyat, lukisan-lukisan yang dibuat dalam balutan ketaatan religiustias? Ataukah pada tegaknya bangunan nilai yang sejak lama ditegakkan Yesus dan para rahib-rahib terpilih dan imam di seluruh dunia?
Itulah gambaran singkat yang hendak dikisahkan dalam film Angel and Demons yang dibintangi Tom Hanks. Film ini adalah adaptasi dari novel yang ditulis Dan Brown. Kemarin saya menyaksikan film ini dengan penuh ketegangan. Sejak awal film, ketegangan dan thriller itu sudah tercipta sehingga sebagai penonton, saya merasa ragu-ragu untuk beranjak. Padahal, di pertengahan film, saya tiba-tiba ingin kencing, namun saya tahan sedemikian rupa. Saya khawatir, ketika beranjak pergi ke toilet, akan ada adegan penting yang jika tidak saya tonton, maka saya akan kehilangan banyak makna penting dalam film.
Film ini dibuat dengan sangat megah. Gambar-gambarnya sangat memukau berupa gereja-gereja yang misterius, patung-patung malaikat dan para rahib, hingga lukisan-lukisan bernuansa spiritual. Kita serasa diajak berkelana melihat keindahan benda seni itu, kemudian menyibak misteri apa di balik benda tersebut.
Saya juga paling suka dengan tata suara film yang sesekali menampilkan paduan suara atau koor yang temponya meninggi. Serasa mendengar paduan suara dalam lagu Bohemian Rhapsody dari Queen, namun temponya lebih cepat. Ditambah visualisasi yang bergerak cepat, maka terciptalah ketegangan hingga membuat saya diliputi kepenasaranan sampai film berakhir.
Sepanjang film, saya serasa berkelana melintas ke Vatikan dan menyaksikan karya-karya seni dunia dipahat menghiasi kota itu. Saya terkagum-kagum menyaksikan the altars of science yaitu empat titik yang menjadi altar imu pengetahuan yaitu Kapel Chigi (Gereja Santa Maria del Popolo), Lapangan Santo Petrus, Patung St Teresa di Gereja Maria della Vittoria, hingga air mancur Piazza Navona. Saya langsung mencatat semua tempat itu sebagai tempat berlibur pada suatu saat.
Sayangnya, saya tak bisa termangu lama menyaksikan keindahan itu. Sebab film ini disusun dengan gaya thriller dan rangkaian misteri yang dijalin apik seperti keping puzzle raksasa sedang dibentangkan, dan tugas kita adalah menemani Prof Robert Langdon, ahli simbologi dari Harvard University, untuk menemukan jawaban atas semua misteri itu. Penampilan Tom Hank sebagai Langdon tak terlalu mengecewakan, meskipun tidak didukung penampilan memikat dari Ayalet Zurer sebagai Vittorio Vetra. Untunglah akting Ewan McGregor sebagai Camerlengo bisa menutupi kelemahan akting Ayalet.
Saya harus mengangkat jempol pada sutradara Ron Howard yang sukses mengangkat kisah ini. Dibandingkan dengan film Da Vinci Code, film ini jauh lebih berhasil dalam bertutur. Mungkin karena film Da Vinci Code terlampau setia dengan buku sehingga penggambaran banyak adegan terasa dipaksakan dengan dialog-dialog yang cepat. Bagi mereka yang tidak membaca bukunya, pasti akan kebingungan menyaksikan film Da Vinci Code. Namun Angel and Demons agak berbeda.
Mungkin karena belajar dari film sebelumnya, kali ini para sineas pembuat film itu lebih serius menyiapkan film ini. Mereka tak terlalu setia dengan adegan-adegan yang ada di buku, mereka justru mempersingkat bagian-bagian yang dirasa akan kian memperumit film ini. Makanya, siapapun yang belum membaca novel ini, tidak akan kesulitan menyaksikan filmnya. Sebab adegan-adegannya diatur dengan irama yang teratur dan tidak terlalu bikin pusing. Intinya, saya puas menyaksikan film ini.
Sebagai film thriller dan ada pesan filosofis, film ini jelas berhasil dalam menyampaikan sesuatu. Akan tetapi, saya sebagai penggemar karya Dan Brown merasa banyak hal yang tidak terlalu detail digambarkan dalam film. Seolah-olah film ini adalah kisah kriminalitas berupa penyanderaan empat kardinal jelang pemilihan paus, kemudian ada teka-teki di gereja mana letak pembantaian itu. Padahal, jika baca bukunya, tidaklah sesederhana itu.
Dalam pahaman saya, bukunya berisikan gugatan pada sejarah gereja Katolik yang kelam. Ternyata, sejarah Gereja Kristiani tidak berisikan lembaran emas tentang penaklukan dan kejayaan dari agama yang menawarkan cinta kasih sebagai jawaban atas segala keresahan manusia. Namun sejarah itu juga mencatat tragedi atas mereka yang berbeda keyakinan. Agama adalah kanvas yang berisikan kisah pembantaian yang ditegakkan atas nama Tuhan, atas nama sebuah kebenaran absolut, kemudian menyingkirkan kebenaran yang lainnya.
Aspek-aspek ini tidak terlalu jelas disampaikan dalam film. Padahal, aspek gugatan histroris ini sangat penting untuk diketahui bahwa pada satu masa, ilmuwan seperti Galileo Galilei harus rela menjadi martir untuk mempertahankan kebenaran yang selama ini dianutnya. Ada banyak detail yang tak nampak, namun saya anggap itu sangat wajar sebab bahasa visual jelas berbeda dengan teks buku. Namun, ada beberapa hal yang saya lihat cukup menganggu sebagai penonton.
Pertama, film ini tidak mengupas lebih jauh posisi Leonardo Vetra, fisikawan yang dibunuh setelah temuannya antimateri raib. Leonardo seolah hanya bagian kecil di awal film, padahal di bukunya, Leonardo adalah tokoh penting yang menyingkap misteri penciptaan materi. Temuan Leonardo tentang antimateri adalah temuan yang diperkirakan akan menjadi titik temu antara agama dan ilmu pengetahuan. Makanya, fisikawan ini selalu menjalin kontak dengan Paus –yang memang cinta ilmu pengetahuan—dan sama-sama berharap agar ilmu dan agama tidak saling meniadakan. Meminjam kata Leonardo, “Fisika adalah upaya untuk mengenali hukum Tuhan yang berlaku di muka bumi.“
Kedua, posisi Camerlengo (kepala rumah tangga kepausan) tidak dibahas dengan tuntas. Padahal Camerlengo adalah mata rantai paling penting dalam kisah ini. Saya tidak menemukan life history atau penjelasan tentang bagaimana sejarah kehidupan Camerlengo serta hubungannya dengan paus terdahulu. Dalam film, seolah-olah Camerlengo adalah pria yang berambisi menjadi Paus, kemudian menjadi mastermind dari pembunuhan empat kardinal. Padahal, jika membaca bukunya, tidak sesederhana itu. Camerlengo merepresentasikan seorang penganut Katolik ortodoks yang berambisi menegakkan wibawa gereja katolik. Ia seperti pemuka gereja katolik yang hidup di abad pertengahan dan dirundung khawatir atas perkembangan ilmu pengetahuan.
Tatkala ilmu pengetahuan membawa banyak keajaiban baru, maka agama seolah menghadirkan tema-tema yang mulai usang seperti surga-neraka, atau pahala-dosa. Ia lalu merancang pembunuhan empat kardinal –yang sebutnya sebagai orang tua berambisi jadi paus agar disanjung-sanjung—kemudian merancang seolah dirinya mendapatkan wahyu untuk menegakkan kebenaran.
Bagian paling penting yang tak dibahas adalah ia sengaja membunuh paus sebelumnya karena paus dianggapnya telah berkhianat pada doktrin gereja. Ia benci karena paus pernah berterus-terang bahwa dirinya punya anak biologis. Ia menganggap paus telah menodai kesuciannya. Paus memang jatuh cinta dengan seorang biarawati dan menyadari bahwa masing-masing pernah diikat sumpah suci. Paus tak berdaya dengan keinginan dan hasrat besarnya untuk punya anak. Hingga suatu hari, Paus membaca jurnal ilmiah tentang inseminasi buatan, ia seolah menemukan harapan baru. Tanpa harus mengorbankan kesuciannya, ia bisa punya anak. Paus menemukan jalan pembebasan melalui kemajuan ilmu pengetahuan, sesuatu yang kemudian memperkukuh iman Kristianinya. Dan Camerlengo ternyata adalah anak biologis dari sang paus yang kemudian hari membunuh paus sendiri, membunuh para kardinal, dan nyaris menghancurkan pusat gereja katolik.
Namun, kita jangan buru-buru memvonis bahwa buku dan film ini adalah hujatan pada Katolik. Saya rasa tidaklah demikian. Dan Brown sendiri meniatkan novelnya sebagai bagian dari pertanyaan-pertanyaan yang tak berkesudahan mengenai agama. Ia ibarat pelajar yang terus mengkaji agama dan menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan. Dalam satu wawancara, ia sendiri mengatakan, “I consider myself a student of many religions. The more I learn, the more questions I have. For me, the spiritual quest will be a life-long work.” Brown memposisikan dirinya sebagai pengkaji yang tak pernah puas. Dalam film ini, ada satu kalimat yang sangat menyentuh dalam bagian akhir. Kalimat itu datang dari seorang kardinal senior jelang pelantikan paus. “Agama memang selalu sempurna. Tapi, manusianya yang tidak sempurna. Manusia sering gagal menyempurnakannya.“ Saya rasa, itulah kalimat yang menjadi inti dari film itu.(*)