Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pemenangnya adalah Cinta



gambar yang diposting Presiden Barrack Obama

HAMPIR semua sahabat di Amerika Serikat (AS) tengah merayakan kegembiraan. Di semua negara bagian, pernikahan sesama jenis telah dibolehkan oleh hukum. Banyak sahabat yang memajang status ataupun foto yang menggambarkan kegembiraan itu. Ada pria yang memajang foto bersama pasangan prianya. Namun saya sangat tersentak saat melihat foto seorang perempuan bersama kekasihnya yang juga perempuan. Saya mengenal dekat perempuan itu.

***

PEREMPUAN itu bernama Joy Hsu. Ia berasal dari Taiwan. Sesuai namanya, hampir setiap hari ia bergembira. Perempuan yang nampak tomboy ini juga menebarkan gembira itu ke sekelilingnya. Saat itu, ia terdaftar sebagai mahasiswa pascasarjana bidang matematika di Ohio University.

Saya mengenalnya saat sedang menjajakan tiket konser Indonesia Night. Dari sedemikian banyak mahasiswa Indonesia, ia mendatangi saya untuk membeli tiket. Tak cukup dengan itu, ia mengajak saya berbincang-bincang. Ternyata, ia tengah memperdalam kemampuan bahasa Inggris. Baru datang dari Taiwan, ia masih kesulitan mengenali setiap kalimat dalam bahasa Inggris.

Saya pun masih berada dalam fase yang sama dengan dirinya. Kami lalu sepakat untuk menjadi conversation partners, semacam mitra untuk melatih kemampuan bercakap. Hampir setiap hari, kami bertemu dan berbincang dalam bahasa Inggris. Saya diundang masuk dalam kehidupannya. Pernah, ia mengajak saya ke satu bar demi mencoba beberapa gelas alkohol. Saat itu, saya hanya menemaninya, sembari berjaga-jaga kalau dirinya mabuk dan tak bisa pulang ke apartemennya.

Selain dengan dirinya, saya banyak mengenal mahasiswi Cina. Di antaranya adalah Shuyi Chen dan Ellen Yah. Tapi entah kenapa, saya malah akrab dengan Joy. Mungkin karena Joy sering datang menemui saya. Mungkin pula karena kami merasa akrab dan banyak melalui hari bersama-sama.

saya dan Joy di Donkey's Cafe

tulisan saat belajar bahasa Cina bersama Joy

Bersama Joy, saya melalui banyak hari di perpustakaan. Kami selalu memilih duduk di meja yang sama. Saya mengenalkannya dengan semua mahasiswa Indonesia. Ia mengajarkan saya apa yang menarik dari permainan basket. Ia memang seorang pemain basket yang handal. Ia kerap mewakili universitas, lalu mendapatkan beasiswa berkat permainannya.

Biasanya, saat dirinya hendak latihan presentasi, ia akan meminta saya menjadi pendengar. Kadang saya memberikan masukan, khususnya pada bagian-bagian ketika dirinya kesulitan melafalkan kata atau kalimat. Biasanya, sesuai latihan, ia akan mengajari saya kemampuan bahasa mandarin. Kami berdiskusi tentang film-film Hongkong. Kami juga membahas serial Meteor Garden, serial yang berasal dari negaranya. Ia mengenal Jerry Yan, sosok yang berperan sebagai Tau Ming Se dalam serial itu.

Pada masa itu, banyak yang menganggap kami pacaran. Jascene, seorang mahasiswi asal Jamaika, pernah beberapa kali meminta maaf hanya kaena mengajak kami berbincang-bincang saat sedang menunggu bis. Dipikirnya, tindakan itu mengganggu privasi kami yang sedang ingin berdua. Padahal, kami tak ada pembicaraan serius. Saya hanya mengantarnya pulang ke apartemennya.

Selama bersama Joy, saya selalu ingin bertanya, mengapa tak pernah ada gosip dirinya pacaran dengan seseorang. Selama dua tahun mengenalnya, ia tak pernah mengenalkan seorang pria kepada saya. Kami bersahabat dekat, tanpa pernah membahas privasi masing-masing.

Hingga suatu hari, saya akan meninggalkan Athens untuk ke Indonesia. Joy meminta saya untuk menamninya malam itu ke bar. Saya sedang mengemas beberapa barang. Tapi ia tak kunjung berhenti mengirim pesan agar menghabiskan malam terakhir bersamanya. Tak enak hati untuk menolak, saya memintanya untuk datang menjemput ke apartemen tempat saya tinggal. Ia datang menjemput saya.

Di bar itu, kami lama berbincang. Untuk pertama kalinya kami berbincang hal-hal yang sifatnya pribadi.

“Selama kita berteman, saya tak pernah mendengar gosip tentang pacarmu,” tanyaku.
“Saya tak menemukan seseorang yang sesuai dengan keriteria saya,” jawabnya.
“Tapi kamu pernah menyukai seseorang khan?”
“Entahlah. Suka itu abstrak. Saya tak tahu apa pernah menyukai seseorang,”
“Mengapa?”
“Semua lelaki itu sama. Mereka hanya memanfaatkan perempuan,”
“Kamu hanya melihat sedikit. Kamu tak melihat banyak lelaki baik lainnya,”
“Pengalaman saya mengajarkan itu,”

Kami lalu membahas hal lain. Kesan saya, ia agak berhati-hati saat membahas cinta. Barangkali ia menyembunyikan sesuatu. Kami lalu tak membahas topik itu, Setelah lama terdiam, ia lanjut bercerita tentang rencananya yang hendak melanjutkan sekolah ke Washington DC. Saya masih ingat persis pertanyaannya yang diulang beberapa kali, “Kapan kamu akan kembali ke sini?’

Saya tak tahu bagaimana menjawabnya. Kehidupan punya banyak misteri yang susah saya pahami. Masa depan adalah bagian dari misteri yang sukar dijelaskan. Saya hanya mengalir mengikuti ke mana air sungai kehidupan hendak membawa saya. Saat itu saya hanya menjawab singkat, “Joy, kita tak pernah tahu bagaimana misteri masa depan. Yang pasti, ketika ada kesempatan ke sini, saya akan sesegera mungkin menjemputnya.”

Itulah pertama kalinya saya melihat Joy meneteskan air mata.

***

DUA tahun berlalu sejak pertemuan terakhir dengannya. Warga Amerika Serikat banyak yang bergembira atas pernikahan sejenis yang dilegalkan pemerintah. Presiden Barrack Obama ikut memajang foto yang menampilkan rasa bahagia karena cinta telah mengalahkan semuanya.

Saya akhirnya melihat foto Joy bersama seorang perempuan lain. Mereka memakai kaos yang bertuliskan “I Do”. Di situ tertera ucapan bahagia atas kebijakan pemerintah Amerika. Saya tiba-tiba kehilangan kata. Saya mengingat betapa banyaknya melalui hari-hari bersamanya. Ia kini menemukan tambatan hati, meskipun itu adalah sesama jenis. Biarlah orang lain mengutuk atas nama moralitas, tapi kalian berhak untuk merayakan bahagia atas cinta yang tumbuh dan bersemi.

Semoga ia terus berbahagia. Bagaimanapun, setiap orang berhak hendak mencintai siapapun. Joy telah memilih mendahulukan cinta di atas segala konvensi sosial dan sesuatu yang kerap dianggap sebagai kaidah moral. Ia berhak memilih hendak menjalin relasi dengan siapapun. Hari-hari terakhir adalah hari kemenangan cinta, sesuatu yang dirayakan Joy dengan penuh kegembiraan.

Saya bisa merasakan apa yang dirasakannya. Saya hanya bisa berucap lirih, “Congrats my dear Joy. Finally you find your happiness.”



Sehari Bersama Prananda Paloh



KONON, kampus Universitas Harvard menyiapkan ruang kelas yang berisikan calon pemimpin dunia. Mahasiswanya adalah putra dari semua presiden, pemimpin, ataupun tokoh politik di berbagai negara. Pihak Harvard meyakini bahwa pemimpin masa depan memiliki hubungan genealogis dengan pemimpin sebelumnya. Asumsinya adalah nilai-nilai kepemimpinan memang tak bisa diwariskan, akan tetapi bisa disebarkan secara kontinyu di dalam satu keluarga.

Nah, jika saja, pihak Universitas Harvard hendak membuat kelas serupa di Indonesia, siapakah gerangan wajah-wajah yang akan mengisi dunia politik tanah air kita di masa mendatang? Barangkali mereka adalah Yenny Wahid, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Anindya Bakrie, Solichin Kalla, dan Prananda Surya Paloh. Semuanya sedang mempersiapkan diri ke arah itu. Namun, Prananda Surya Paloh nampak berbeda dengan yang lain.

Apakah yang sedang dipersiapkan oleh anak muda usia 26 tahun ini?

***

RUANG kecil di sudut lantai 23 gedung DPR RI itu nampak lengang. Penghuninya hanya tiga orang saat aku singgah berkunjung. Sepintas, ruangan itu nampak sama dengan ruang kerja anggota DPR RI yang lain. Tapi setelah berada di dalam, ternyata atmosfernya nampak berbeda.

Atmosfer ruangan itu ditata sebagai ruangan khas seorang anak muda berusia 26 tahun. Di situ, aku melihat satu teropong besar yang bisa digunakan untuk melihat bintang. Aku melihat rak yang berisikan buku-buku mengenai politik dan kebudayaan. Yang menonjol di mataku adalah beberapa buku karya Tan Malaka yang disimpan dalam posisi mudah digapai dan dibaca.

Di ruangan itu, nampak pula layar televisi yang sedang menyajikan informasi tentang dinamika parlemen. Hari itu, layar televisi sedang menampilkan sikap dari beberapa anggota DPR yang menolak dikucurkannya dana aspirasi. Namun, banyak yang justru menerima penggunaan dana yang seyogyanya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih substansial.

Ruang kerja itu dihuni oleh Prananda Paloh, anggota Fraksi nasional Demokrat (Nasdem) di DPR RI. Kesan santai sengaja dibangun agar ruangan itu bisa menjadi tempat diskusi yang nyaman bagi siapapun yang berkunjung. Ini juga disesuaikan dengan jiwa muda Prananda. Di ruangan itu, aku bertemu dan banyak berdiskusi dengan tim-tim ahli yang menopang kegiatan Prananda.

Maka terbukalah beberapa lapis kabut pengetahuan tentang Prananda. Banyak pihak yang hanya mengenalnya sebagai putra Surya Paloh, tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang dlakukannya untuk bangsa. Selama ini kupikir beliau sebagaimana politisi lain yang hanya mengandalkan jejaring keluarga, serta menjadi ruang-ruang parlemen sebagai lahan untuk mencari nafkah. Melalui dialog-dialog singkat, kutemukan beberapa gagasannya untuk Indonesia yang lebih baik.

Selama beberapa bulan ini, informasi tentang dirinya beredar melalui dunia maya. Di kanal twitter, ia beberapa kali menjadi trending topic dunia. Dalam banyak isu, suaranya mengemuka dan disebar banyak orang di ranah media sosial. Beberapa isu yang mencuatkan namanya adalah penolakan hukuman mati, tanggapan atas penenggelaman kapal ikan, hingga yang terbaru adalah penolakan atas dana aspirasi sebesar 20 miliar rupiah. Melalui media sosial, suaranya bergema ke mana-mana.

Ia menjadi ikon dari generasi muda yang paling banyak dibicarakan. Tak hanya itu, fanpage-nya di facebook dikunjungi hingga ribuan orang. Ia menggelar kuis tentang Pancasila yang diikuti banyak kalangan. Website Prananda juga paling sering ter-update. Informasi lengkap disajikan, mulai dari kegiatan harian di ranah politik, hingga berbagai informasi yang isinya adalah pertanggungjawaban kepada publik atas kiprah selama beberapa waktu di gedung parlemen.

“Saya ingin menyajikan satu ruang politik yang terbuka. Saya ingin semua orang tahu kegiatan seorang politisi. Saya ingin memutus jarak, dan memilih satu ruang yang memungkinkan saya untuk bisa belajar dan menyerap informasi dari banyak orang,” kata Prananda pada suatu ketika.

Sepintas, pergerakan ini tak ada yang baru. Hampir semua politisi menggunakan kanal media sosial untuk menyapa semua konstituennya. Akan tetapi jelajah di ranah maya ini justru menarik dilakoni seorang Prananda. Betapa tidak, sebagai pemilik salah satu jaringan media paling besar ditanah air, ia bisa dengan mudahnya memanfaatkan jaringan media yang dimilikinya.

Ia justru memilih cara lain untuk menyampaikan ekspresi. Ia memilih dan memperkuat media sosial sebab meyakini bahwa interaksi di kanal ini bersifat langsung, di mana semua orang memiliki posisi yang setara saat berinteraksi. Dengan cara berinteraksi secara langsung, ia menjadi role model bagi politisi yang menggunakan semua suara-suara publik yang tersebar di berbagai kanal, lalu menggunakan kanal itu membumikan ide-ide besarnya.

Pada diri anak muda ini terletak kerja-kerja sistematis yang berpijak pada hari ini dan hari depan. Ia di-backup oleh tim analis media yang tangguh. Semua informasi didapatkan dari beberapa kanal, lalu dianalisis, dilihat seberapa besar urgensinya. Informasi itu kemudian diteruskan melalui berbagai kanal, baik itu kanal politik, maupun kanal yang lain. Sebagai politisi, ia memaksimalkan jejaring yang dibangunnya di ranah ini.

Namun ia juga membentuk berbagai lembaga kemanusiaan dan yayasan yang tujuannya untuk memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkan. Satu saja catatan atas kerjanya, yakni hanya mencakup Sumatera Utara yang menjadi basis politiknya. Harusnya, ia bisa melebarkan sayap hingga ke banyak tempat di tanah air. Dengan cara demikian, ia bisa membangun branding sebagai tokoh nasional yang bisa melintasi sekat-sekat geografis dan perbedaan.

***

PADA diri Prananda Paloh, kita bisa belajar banyak tentang masa depan dunia politik kita. Hampir semua analis telah melihat bahwa politik Indonesia memiliki dinamika dan bandul yang kerap berulang. Banyak politisi hari ini adalah mereka yang justru memiliki kaitan erat dengan politisi masa silam. Barangkali haya Joko Widodo yang sukses menerabas tradisi yang kerap berulang ini.

Namun sejauh ini, penting sekali untuk melihat bagaimana generasi poltiik hari ini menyiapkan generasi mendatang. Kekuasaan memang tak bisa diwariskan, tapi semangat serta hasrat kuat untuk membumikan politik bisa disebarkan melalui sejumlah sosok yang memahami dengan baik urat nadi gagasan itu.

Dalam tuturan sosiolog anthony Giddens, setiap gagasan pasti lahir dari satu konteks sejarah tertentu. Setiap ide pasti memiliki ruang tempat persemaian serta pertumbuhan semua tunas-tunasnya. Penting untuk melihat satu sosok secara utuh, yang tidak hanya mencakup pemikiran, tapi juga bagaimana struktur sosial tempat tokoh tersebut lahir.

Beberapa waktu silam, aku pernah bertemu sejarawan William Frederick di kampus Ohio University. Ia menyaranan agar membangun analisis yang bisa membangun sintesis antara gagasan ideal seorang tokoh, serta pendidikan, jejaring sosial, serta apa yang dilakukannya pada masa silam. Dengan cara itu, kita bisa memiliki perspektif yang lebih menyeluruh atas satu sosok, bisa membaca bagaimana kecenderungan masa depan, serta bagaimana

Apa yang dibaca pada sosok Prananda. Setidaknya kita menyaksikan beberapa hal. Mislanya tentang bagaimana membangun nama besar dan reputasi politik dari hal sederhana, bagaimana seorang politisi merencanakan masa depan melalui langkah kecil di masa kini, serta bagaimana membangun jejaring dan struktur tim kerja yang adaptif terhadap berbagai gagasan besar. Mudah-mudahan ada ruang memadai untuk menjelaskan setiap detail dari apa yang dilakukannya.

Saat bertemu dengannya, ada satu pertanyaan yang menggelayut di benak. Siapakah gerangan sosok pemikir yang mendasari gerak dan langkahnya di jagad politik? Ia sempat terdiam, lalu mengambil dua buku di raknya, Ia menunjukkan buku Madilog dan Aksi Massa yang ditulis Tan Malaka, sosok pendiri republik yang dibisukan sejarah karena dianggap sebagai tokoh kiri. “Tan Malaka menunjukkan arah besar bangsa, serta bagaimana menjaga api idealisme di tengah segala keterbatasan,” tuturnya.


Bogor, 23 Juni 2015


Prasasti yang Menggetarkan Hati




DI Stasiun Tanah Abang, saya menyaksikan satu prasasti yang menggetarkan hati. Prasasti itu menampilkan tiga wajah para masinis kereta yang tewas saat kecelakaan kereta di perlintasan kereta Bintaro, 9 September 2013 silam. Mereka memilih berada di ruang masinis dan tewas terpanggang kobaran api.

Saya tergetar menyaksikan prasasti itu sebab tiba-tiba menyadari bahwa kepahlawanan adalah spirit yang bisa mendekam di hati siapa saja. Siapa pun bisa mengorbankan dirinya untuk banyak orang, mendedikasikan diri, lalu meletakkan kebahagiaan orang lain sebagai hal yang lebih penting ketimbang diri. 

Tak banyak yang mau memilih tindakan heroik itu. Jauh lebih banyak orang-orang egois yang memilih menyelamatkan diri sendiri.

Ketiga masinis itu adalah orang biasa, yang barangkali sering kita lihat lalu lalang di seitar. Mereka bukan mereka yang kaya-raya dan beredar di butik-butik mahal ibukota. Mereka bukan politisi yang saban hari suka mengatasnamakan rakyat jelata. 

Mereka bukan juga para prajurit yang ditempa dengan doktrin nasionalisme. Tapi ketiganya punya spirit yang luar biasa, jiwa yang bening, serta kekuatan hati yang menggerakkan dirinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa.

Ketiga masinis itu adalah karyawan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Ketiganya adalah Darman Prasetyo (masinis), Agus Suroto (asisten masinis), dan Sofyan Hadi (pegawai kontrak). Kisah paling mendebarkan dan sering dikisahkan adalah ketika Sofyan sempat keluar dari kabin masinis. 

Lelaki yang masih berstatus pegawai kontrak ini lalu ke gerbong penumpang dan memperingatkan semua orang bahwa kereta akan mengalami tabrakan. Ia meminta penumpang mundur ke gerbong belakang.

Ia bisa saja ikut mundur bersama penumpang lain. Tapi ia justru kembali ke kabin masinis untuk bergabung dengan dua rekan lainnya. Mereka lalu mengunci rapat pintu agar api tak menyembur ke penumpang. Sedetik kemudian kereta menabrak mobil tangki. Api menyembur ke angkasa. Tiga gerbong depan hangus. Tubuh ketiga masinis itu ikut menjadi arang.

Tapi mereka tak benar-benar menjadi arang. Semangat mereka tetap hidup dan menjadi nyala kecil yang terus menyala di hati mereka yang mendengar kisahnya. 

Mereka laksana Edward John Smith, nakhoda kapal Titanic yang memilih tenggelam bersama kapal. Mereka ibarat Kapten Rivai, nakhoda kapal Tampomas yang karam di Pulau Masalembo. Ketiga masinis itu adalah martir yang memilih untuk menyelamatkan orang banyak, lalu menyelamatkan dirinya sendiri.

Saya tersentuh karena perusahaan sebesar PT KAI adalah perusahaan yang sangat humanis dan menghargai dedikasi karyawannya, meskipun karyawan itu adalah karyawan biasa. Perusahaan ini membuatkan prasasti, serta menjadikan nama ketiga masinis itu sebagai nama lembaga pelatihan. 

Makna dan hikmah atas peristiwa itu tetap diserap demi menjadi semangat yang terus hidup di hati semua karyawannya. Yang saya renungi di prasasti itu adalah pertanyaan yang sering menohok mengenai siapakah gerangan pahlawan di zaman kini?

Dahulu, saya mengira bahwa kepahlawanan adalah kategori yang seolah sudah selesai. Kita sering alpa melihat pahlawan sebagai kualitas yang seyogyanya dimiliki untuk setiap orang pada zaman apapun. Belakangan, saya sadar bahwa kepahlawanan adalah potensi yang bisa melekat pada siapapun.

Belajar dari tiga masinis itu, para pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, mereka yang ikhlas mengorbankan apapun demi kepentingan yang lebih besar. Pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, tanpa mengharapkan gaji atau imbalan. Pahlawan adalah mereka yang mengabdikan dirinya untuk orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Pahlawan adalah para bapak dan ibu yang menyayangi anaknya sepenuh hati. Pahlawan adalah para guru yang mengabdi di ujung pelosok negeri ini. Pahlawan adalah para tukang sayur dan penjual ikan yang saban hari sudah memenuhi pasar demi sesamanya. 

Pahlawan adalah para masinis yang mengorbankan dirinya untuk orang lain. Pahlawan adalah mereka yang bahagia ketika membantu sesama, meskipun dirinya ibarat lilin yang memberi nyala terang, namun selanjutnya punah terbakar.

Mereka tersebar di masyarakat kita, dan bekerja dengan diam-diam, tanpa berharap untuk dikenal orang lain. Merekalah pahlawan zaman ini yang tak butuh popularitas, sebagaimana politisi kita hari ini. 

Anda pun bisa menjadi pahlawan yang mengabdikan diri pada sesama dengan berbekal tetes demi tetes cinta kasih pada sesama, hati yang bening, semangat dan kekihlasan berbagi, serta harapan kuat untuk memberikan kekuatan bagi orang lain. Inilah pahlawan zaman ini. Pahlawan kehidupan.

Ketiga masinis itu memilih untuk mengorbankan diri. Barangkali mereka sadar bahwa tindakan heorik itu kelak akan menjadi sesuatu yang bermakna. Mereka ibarat dewa-dewa yang memberi arah bagi tindakan heroik di masa depan. 

Sungguh tepat uraian di bawah prasasti ketiganya, “Kita bekerja untuk mengingat kemarin, memperbaiki hari ini, dan demi masa depan."


Tanah Abang, 24 Juni 2015

Membaca MARKETING, Mengingat ANTROPOLOGI


 
buku marketing yang dibuat Hermawan Kertajaya

DUA bulan terakhir ini, aku menjadi penggemar buku-buku bertemakan marketing (pemasaran). Pada buku-buku marketing, aku tidak saja menemukan style kepenulisan yang langsung pada sasaran dan sejernih mungkin memberikan pemahaman, tapi juga menemukan berbagai seni untuk menjual sesuatu. Di akhir bacaan itu, kutemukan beberapa rahasia ilmu pemasaran, yang sesungguhnya telah lama ditemukan para antropolog. Apakah gerangan?

***

PADA mulanya, aku iseng membaca buku Wow Selling yang ditulis Hermawan Kertajaya. Ternyata, para pelaku pemasaran menulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, tidak jlimet, penuh dengan contoh dan kiat-kiat praktis, serta mudah dipraktikkan. Para pemasar adalah penulis hebat yang membangun argumentasi dari bukti konkrit, yang digali dari fenomena keseharian.

Selanjutnya, aku ketagihan membaca buku-buku yang ditulis Hermawan. Kubaca buku Wow Selling, Building Wow Indonesia Tourism, Marketing 3.0, Wow Marketing, hingga yang terbaru adalah Indonesia Wow. Kesemua buku ini berlandaskan pada pendekatan Marketing 3.0 yang dikembangkan Hermawan Kertajaya yang menekankan pada upaya untuk membangun hubungan sedekat mungkin dengan para pelanggan.

Hermawan Kertajaya adalah salah seorang guru marketing yang karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bukunya Marketing 3.0 ditulis bersama Philip Kottler yang dikenal sebagai salah satu guru marketung dunia telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bisa dibayangkan seberara kuatnya pengaruh sosok ini pada berbagai lembaga. Ia disebut sebagai “One of 50 Gurus Who Shaped the Future of Marketing” bersama beberapa ikon marketing dunia.

Yang kulihat dari buku-buku Hermawan Kertajaya adalah argumentasi yang sangat kuat tentang karakter dari para konsumen yang cenderung terus berubah. Pendekatannya selaras dengan strategi perang dikemukakan Sun Tzu, “Kenali dirimu, dan kenali musuhmu, maka kamu akan memenangkan pertarungan.”

Hanya saja, dalam pendekatan Hermawan, musuh di sini diubah menjadi sahabat dekat yang harus dikenali sisi terdalamnya. Makanya, ia menekankan pendekatan yang humanis dan bersahabat. Seorang pemasar yang baik adalah seorang manusia yang baik, yang berusaha menjalin relasi dan pertemanan sebanyak-banyaknya, serta bersedia untuk memberikan informasi yang mencerahkan.

Seorang pemasar yang baik tidak seperti ‘pedagang obat’ yang memuji-muji dan membanggakan barang jualannya. Pemasar yang baik adalah sahabat semua orang yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan produk secara apa adanya. Dengan prinsip kejujuran serta niat mengedukasi orang lain, maka seseorang bisa menjadi pemasar top. Sebab orang lain akan merasa terbantu dnegan kehadirannya. Prinsip humanis inilah yang selalu ditekankan Hermawan.

Yang kusuka dari buku-buku karya Hermawan adalah kemampuan untuk selalu belajar dari berbagai cerita sukses yang lalu dirangkai menjadi satu. Pakar marketing ini selalu bisa menemukan pembelajaran dan hikmah, lalu menarik hal-hal yang sifatnya general (umum) untuk menjelaskan berbagai fenomena. Kalau ditemuka fenomena berbeda, maka penjelasan baru harus segera di temukan untuk memahami realitas yang terus bergerak.

Selain buku karya Hermawan, aku juga mulai mengoleksi buku-buku yang ditulis Rhenald Kasali. Mulanya, aku tertarik membaca buku Self Driving. Yang kurasakan buku ini menekankan pada perlunya mengubah mindset atau mentalitas seseorang hingga akhirnya menjadi pribadi unggul.

Beberapa buku Rhenald yang kukumpulkan adalah (1) Cracking Zone, Bagaimana Memetakan Perubahan Abad 21 dan Keluar dari Comfort Zone, (2) Camera Branding, Cameragenic vs Auragenic, (3) Cracking Values, (4) Self Driving, menjadi Driver atau Passenger, (5) Agility, Bukan Singa yang Mengembik. Buku-buku karya Rhenald selalu menekankan pada studi kasus, yang kemudian dibedah secara mendalam.

Pada buku Agility, Rhenald membedah rahasia kesuksesan PT Angkasa Pura melaukan transformasi diri. Di buku itu, kutemukan fakta menarik bahwa kesuksesan sebuah perusahaan melakukan perubahan selalu ada sejumlah pribadi hebat yang justru ingin berbuat sesuatu. Pribadi hebat ini tak ingin dikalahkan oleh keadaan, melainkan mengubah, membentuk, dan menata ulang satu lembaga hingga iklimnya menjadi lebih baik.

Senada dengan Hermawan, pendekatan Rhenald dalam memahami satu persoalan adalah menggunakan pendekatan studi kasus dalam ilmu sosial. Pendekatan ini selalu berpijak pada logika induktif, yakni memulai dari kenyataan-kenyataan sederhana, demi memahami sesuatu yang lebih besar. Makanya, dalam buku-buku karya Rhenald, kita tak menemukan berbagai khutbah atau ajaran yang penuh teori-teori sebagaimana kerap ditemukan di dunia kampus.

Yang kita temukan adalah bagaimana menyerap inspirasi dan pelajaran dari satu sosok atau satu lembaga yang melakukan perubahan untuk menata diri. Semakin banyak membaca buku Rhenald, yang kurasakan adalah untuk mengubah sesuatu, maka dibutuhkan sejumlah individu yang memiliki visi kuat, serta tahu cara-cara untuk membumikan berbagai gagasan besar.

Pendekatan Antropologi

DI saat membaca buku-buku marketing, yang selalu muncul di benakku adalah pendekatan yang diajarkan dalam ilmu antropologi. Mengapa? Sebab para pemasar berusaha untuk memahami para konsumennya, memahami minat-minat dan kesukaan atas produk tertentu, serta mempelajari bagaimana pengalaman konsumen bisa menjadi nilai lebih dari semua produk yang dijualnya. Lha, ini kan pendekatan antropologis?

Dalam realitas, dua hal ini sering sulit didamaikan. Para ahli marketing kerap menuding para antropolog sebagai mereka yang terperangkap pada eksotisme satu komunitas. Seolah para pengkaji budaya ini hanya bisa menjelaskan masyarakat terasing, dan gagap ketika menjelaskan masyarakat modern. Demikian pula sebaliknya. Para antropolog akan menuduh para ahli marketing sebagai barisan mausia pragmatis yang hanya berpikir uang, tanpa berpikir bagaimana memberdayakan dan menguatkan komunitas.

 
buku-buku karya Rhenad Kasali

Dalam dunia penelitian, dua disiplin ini sejatinya bertemu di satu persimpangan. Dalam ranah antropologi, beberapa rahasia pemasaran justru menjadi entry point dalam upaya menjelaskan masyarakat. Seorang antropolog hebat adalah seseorang yang bisa mengenali banyak sisi dari informannya, memahami peta-peta pemikiran serta budaya, lalu bisa membangun empati yang kuat dengan para informan tersebut. Seorang antropolog hebat bisa merekam dinamika manusia, memahami keinginan terdalam, serta bisa memahami situasi dan konteks sosial di mana seseorang tinggal.

Dalam berbagai kajian budaya, pengetahuan atas informan dan masyarakat ditemukan melalui riset-riset etnografis, di mana seorang peneliti menjadi bagian dari masyarakat yang ditelitinya. Pendekatannya adalah melakukan pengamatan (observation), serta melakukan wawancara mendalam (depth interview). Dengan cara melakukan pencatatan secara rapi, seorang antropolog memiliki banyak bahan untuk dianalisis, serta ditemukan pola-pola unik atas amatan lapangan.

Seorang antropolog akan berusaha sedekat mungkin dengan subyek yang hendak dipahaminya. Mustahil memahami seseorang jika tak ada kedekatan yang dibangun, mustahil membangun kedekatan jika tak ada tema-tema yang sama serta topik-topik tertentu yang hendak dibahas. Mustahil pula memahami kebudayaan seseorang jika hanya mengenalinya sejenak. Dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman mendalam untuk tahu banyak hal tentang seseorang ataupun satu masyarakat.

Dalam kadar tertentu, para ahli marketing juga melakukan hal ini. Jika antropolog menyebut masyarakat yang ditelitinya dengan istilah subyek, informan, ataupun responden, maka para ahli marketing menyebutnya sebagai konsumen, client, ataupun pasar. Tapi fokusnya sama yakni tentang subyek atau individu.

Barangkali, yang membedakan keduanya adalah aspek pragmatis. Para antropolog melakukan riset etnografis demi tujuan-tujuan idealisme yakni melindungi, membela, serta memahami semua informannya. Makanya, di ujung riset antropologis, seringkali mereka menjadi advokat atau pembela dari setiap komunitas yang didekatinya. Mereka menginginkan ada dialog yang seimbang, di mana tak ada komunitas yang dimarginalkan oleh keadaan. Semuanya berada dalam posisi yang sejajar dan saling menguatkan.Para antropolog berusaha untuk melindungi, memberikan ruang hidup yang memadai, serta menyerap kearifan dari siapapun yang ditemuinya.

Sedangkan para ahli marketing berusaha untuk memahami subyek demi menyasar mereka dengan berbagai produk yang bakal laku keras. Para pemasar seringkali mengukur keberhasilan dengan cara seberapa banyak uang yang bisa dipanen. Mereka menilai sukses tidaknya sesuatu dari seberapa adaptif satu lembaga menyesuaikan diri dnegan perubahan, lalu sukses menghidupi diri dan orang lain pada setiap periode perubahan. Kriteria keberhasilan seringkali dilihat dari cashflow keuangan. Itu nampak pada banyak contoh-contoh.

Akan tetapi, perkembangan terbaru di dunia marketing membuat pandanganku banyak berubah. Kunci para pemasar hebat bukanlah pada kemampuan menjual produk sebanyak mungkin, tapi kemampuan untuk menjalin relasi yang sangat baik dengan semua orang. Materi hanyalah konsekuensi dari kedekatan dan upaya untuk membangun jejaring sosial secara bermakna. Pada titik inilah para ahli marketing membutuhkan kajian antropologis.

Harusnya, riset antropologis harusnya bisa menjadi satu kekuatan dan daya gedor dalam marketing. Sebab pengenalan yang sangat baik pada seseorang bisa berujung pada disusunnya berbagai strategi untuk tetap menjaga jejaring yang sudah dibangun. Pendekatan etnografis harusnya bisa menjadi kekuatan utama untuk memahami dinamika konsumen serta bagaimana perubahan terus melanda masyarakat. Namun sekali lagi, seyogyanya pengetahuan itu tidak digunakan untuk menjual, tapi menggiring masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.

Yang pasti, buku-buku bertemakan marketing itu telah meluaskan wawasan, memperkaya pengetahuan tentang betapa banyaknya hal yang bisa diterapkan pada masyarakat. Aku membayangkan, pengenalan yang baik atas masyarakat, barangkali bisa menjadi kunci untuk menyalakan kesadaran di benak setiap masyarakat lalu menginspirasi perubahan besar yang membawa komunitas itu ke arah yang lebih baik.

Dalam satu bukunya Hermawan Kertajaya bercerita tentang Joe Girard, lelaki yang menjadi legenda karena menjadi pemasar mobil paling sukses di Amerika. Ketika dtanya rahasianya, Girard menjawab singkat, “Saya memahami dengan baik semua orang yang saya kenal. Saya kenali budaya mereka. Saya tahu apa yang mereka inginkan. Ini yang tidak diketahui oleh para marketeers lainnya.”

Nah, rahasia itu bisa ditemukan dengan riset antropologis.


Bogor, 21 Juni 2015


BACA JUGA:




Indahnya Tradisi Cucurak





DI banyak tempat di Bogor, orang-orang merayakan tradisi cucurak. Tradisi ini berupa makan bersama di satu tempat wisata atau tempat belanja bersama seluruh keluarga dan para sahabat untuk menyambut Ramadhan. Kemarin, semua tempat makan penuh. Orang-orang berkumpul, bersenda gurau, saling bermaaf-maafan, lalu mengucapkan selamat memasuki bulan puasa.

Aku merasakan betapa indahnya tradisi ini. Aku merasakan makna sosial yang sedemikian kuat. Yang nampak adalah makan bersama lalu bersenda-gurau, tapi sesungguhnya di situ terdapat tali silaturahmi yang dipererat, ikatan persahabatan yang terus diperkuat temalinya, pengharapan yang ditanam bersama, lalu saling mendoakan untuk hidup yang lebih baik.

Di kantor saya, semua karyawan berkumpul bersama. Ada pengharapan dari bos besar serta pesan-pesan untuk lebih bersiap untuk menghadapi ekonomi yang tak menentu. Selanjutnya doa bersama, lalu semua karyawan mengambil makanan di nampan. Kami makan bersama sembari mendoakan untuk bisa melalui ibadah dengan tenang. Kami sama-sama saling menguatkan harapan dan menyuburkan optimisme untuk tetap saling menjaga silaturahmi dan jaringan kerjasama.

Dari manakah asal tradisi? Dalam bahasa Inggris, tradisi berasal dari kata tradition. Kata ini berasal dari bahasa latin “tradere” yang bermakna “to transmit, or give something to another for safekeeping” yang berarti mengirimkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain untuk disimpan. Sosiolog Anthony Giddens menyebut bahwa tradisi merupakan sesuatu yang bersifat ritual dan dilakukan berulang-ulang. Tradisi adalah aset kelompok masyarakat yang mencirikan suatu kebudayaan dan tata perilaku yang berlaku dalam masyarakat.

Hanya saja, dalam konteks cucurak, kita bisa mengatakan bahwa ada dinamika dan dialektika yang terjadi secara terus-menerus. Bahkan, terjadi pula perbenturan penafsiran terkait tradisi. Dari sisi religi, mungkin saja ada banyak kalangan yang menganggap tradisi ini tidak bersesuaian atau barangkali menyimpang dari ajaran. Barangkali ada saja yang menilai bahwa tak ada tradisi seperti ini pada masa ketika agama mulai bertunas dan mekar.

Barangkali tradisi ini hanya satu dari sedemikian banyak tradisi lain. Barangkali, ada makna-makna lain yang bisa telusuri dalam sejarah tentang cucurak. Dugaan saya, cucurak hanyalah satu manifestasi dari penguatan relasi antar kelompok yang hendak memaknai datangnya Ramadhan. Pada titik ini, cucurak bisa ditafsir sebagai sebentuk penafsiran yang dilakukan oleh satu komunitas yang sejatinya hendak menguatkan satu makna tentang betapa pentingnya memelihara solidaritas. Tanpa solidaritas, maka ikatan dan keutuhan satu kelompok bisa tercerai-berai.

Pada titik ini, saya belajar tentang kekuatan tradisi. Demi memahami bagaimana jantung dan urat nadi masyarakat, tradisi bisa menjadi pintu masuk. Melalui tradisi, ada nilai-nilai bersama yang diwariskan secara terus-menerus, yang disebut oleh para sosiolog sebagai reproduksi sosial. Melalui tradisi ini, satu masyarakat bisa semakin memperkuat sendi-sendiri solidaritas, memperkuat keutuhan diri, serta menemukan sisi-sisi paling hangat dari satu komunitas. Inilah sisi-sisi yang paling membahagiakan.


Bogor, 18 Juni 2015

Sehari Bersama Dewi Lestari


MESKIPUN bukan penggemar berat pengarang Dewi Lestari, aku selalu saja menyukai pertemuan dengannya. Di Solo, Jawa Tengah, kembali aku melihatnya di satu pelatihan menulis. Ia bercerita tentang beberapa bacaan yang menginspirasi. Aku terkejut saat dirinya menyebut nama Natalie Goldberg yang buku-bukunya mengajarkan tentang menulis sebagai arena meditasi.

***

PEREMPUAN itu hendak memulai pelatihan menulis. Ia tidak tahu hendak memulai dari mana. Ia juga tak menyiapkan bahan-bahan untuk presentasi. Mulanya, ia mematung, dan selanjutnya mulai membuka percakapan. Setelah itu ia lalu mengambil kertas putih, memandanginya sesaat, kemudian berkata, “Saya tak tahu hendak mulai dari mana. Bagaimana kalau kita mulai dari pertanyaan?”

Perempuan itu adalah Dewi Lestari, yang kerap disapa Dee. Ia seorang penulis perempuan yang cukup produktif. Ia menulis beberapa seri Supernova, beberapa certita pendek, serta skenario film. Ia juga produktif menulis beberapa lirik lagu. Ia punya banyak penggemar setia, yang senantiasa membaca setiap goresan penanya.

bersama Dewi Lestari

Di forum itu ia menyilahkan semua penulis pemula untuk bertanya. Ada yang bertanya tentang berbagai hantu-hantu yang mengikat seseorang hingga tak bisa menulis. Ada pula yang bertanya tentang bagaimana memulai novel, bagaimana menyisipkan kisah cinta, konflik, hingga adegan romantis. Banyak juga yang bertanya tentang bagaimana mengemas ide yang berseliweran menjadi satu karya tulis yang renyah dibaca.

Ia mencatat semua pertanyaan, kemudian menjawab satu per satu. Ia lebih menekankan pada interaksi yang mengalir serta dialog-dialog untuk mengatasi masalah. Ternyata, ia memang tak punya satu rumusan tunggal tentang bagaimana memulai tulisan. Ia lebih menekankan pada bagaimana energi yang ada pada tubuh seseorang mengalir deras secara lepas. Tulisan hanyalah cara untuk melepaskan segenap energi itu dan memasuki relung hati semua orang yang membacanya. Siapakah yang menginspirasinya?

“Saya membaca buku yang ditulis Natalie Goldberg. Terasa seperti mercon yang meledak di kepala. Saya mulai menulis sebagai kegiatan yang mengasyikkan sebab bisa mengalirkan semua jati diri,” katanya.

Bersetuju dengan Dewi, semua orang punya banyak kisah menarik untuk dikisahkan kembali. Kisah itu bisa berangkat dari himpunan pengalaman, catatan perjalanan, atau barangkali sekelebat gagasan yang muncul pada banyak kesempatan. Tugas penulis adalah mengumpulkan ulang, menata, lalu mengalirkannya kembali pada teks-teks yang berjejalan di satu medium. Tugas penulis adalah mengumpulkan semua kepingan gagasan yang berserakan lalu menyajikannya ulang dnegan harapan agar orang lain bisa tergugah dan tergerak untuk ikut hanyut dalam samudera perasaan seorang pengarang.

“Sebagai penulis, kalian hanya mengalirkan sesuatu. Semua pengalaman kita tersimpan dalam satu celengan besar alam semesta. Setiap kali menulis, kita mengambil satu demi satu koin dari celengan besar yang berisi gagasan tersebut,” katanya.

Hmm. Aku tiba-tiba teringat Natalie Goldberg, sosok yang selalu disebut Dewi.

***

AKU membaca buku-buku karya Natalie Goldberg sejak beberapa tahun silam. Aku mengoleksi beberapa karyanya. Di antaranya adalah Writing Down the Bones, Wild Mind, dan terakhir adalah The True Secret of Writing.  Natalie sejak lama dikenal sebagai praktisi teknik menulis bebas atau free writing. Ia seorang penganut filosofi zen yang melihat menulis serupa meditasi untuk menstabilkan gelombang otak dari seseorang.

Di kelas yang diasuhnya, duduk menulis adalah upaya untuk menemukan suara-suara jernih dalam diri, kemudian dialirkan lewat jari-jemari yang menekan keyboard laptop. Mereka yang keluar dari pelatihannya akan merasakan lega serta bahagia karena berhasil melepaskan energi melalui tulisan.

Di mataku, buku-bukunya unik. Ia tak pernah menawarkan satu rumusan baku tentang kiat menulis, baik menyangkut cara, gaya, teknik, format ataupun style. Semua individu memiliki keunikan. Semua individu pasti memiliki cara pandang atau opini yang berbeda atas sesuatu. Dengan cara menuliskan sesuatu secara bebas, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat serta apa yang dirasakannya. Menulis hanyalah jembatan untuk membantu seseorang untuk mengekspresikan diri.

Nah, kebanyakan penulis pemula selalu takut untuk memulai sebuah tulisan. Ada banyak hantu-hantu di skeitar kita. Mulai dari takut dikira bodoh, takut dikira tolol, ataupun takut dianggap tidak berpengalaman. Di saat bersamaan, seringkali kita merasa diri kita hebat, pintar, sehingga seakan-akan kita telah memiliki satu standar tersendiri di dunia kepenulisan.

Kata Natalie, semua sikap-sikap itu adalah sebuah penjara bagi siapapun yang hendak menulis. Seseorang yang hendak menulis harus berani menyingkirkan semua perasaan itu. Menulis harus dilihat sebagai upaya untuk mengalirkan sesuatu yang sedang dipikirkan. Menulis adalah upaya untuk bercerita atau menyampaikan sesuatu, tanpa harus terpenjara oleh keinginan untuk dipuji, atau ketakutan kalau-kalau orang akan menganggap bodoh.

***

DI arena yang menghadirkan Dewi Lestari itu, aku mengingat Natalie Goldberg. Pantas saja jika Dewi tak memulai dnegan teknik atau kiat-kiat memulai tulisan. Pantas saja jika ia memilih untuk berdialog dan meminta orang-orang bercerita pengalaman masing-masing, yang kemudian sama-sama dielaborasi untuk menemukan cita rasa tulisan masing-masing.

Kita tak butuh banyak buku untuk menemukan cara menulis. Sebab yang paling penting adalah keberanan untuk melepaskan apa yang ada di pikiran kita secara bebas, tanpa harus terikat pada banyak konvensi atau aturan kepenulisan. Aturan-aturan dalam kepenulisan dan berbahasa hanya akan menjadi pemjara yang membuat kita tak akan pernah bisa menulis.

Yang harus dimiliki adalah keberanian. Lupakan semua aturan. Labrak semua konvensi tentang cara menulis. Kemudian mulailah menulis secara bebas. Tak usah peduli apa kata orang. Toh, kita menulis untuk diri kita sendiri yang didasari niat tulus untuk berbagi. Benamkan dirimu dalam energi menulis, sebagaimana kata Natalie:

“Let your whole body touch the river you are writing about,
so if you call it yellow or stupid or slow, all of you is feeling it.
There should be no separate you when you are deeply engaged.”

Pada akhirnya, apa yang disebut baik dan buruk dalam menulis selalu bersandar pada kriteria yang bisa diperdebatkan. Di mataku, tak ada kriteria baik dan buruk dalam menulis. Yang ada hanyalah satu bentuk kepenulisan yang lebih bisa diterima khalayak dan satu lagi belum diterima. Bukan berarti yang belum diterima itu buruk. Ini hanya soal waktu dan cara kita memandang tulisan itu.

Nah, kapan Anda mulai menulis?


Bogor, 16 Juni 2015

BACA JUGA:




Malu Aku Jadi Petani Indonesia




NEGERI kita negeri agraris. Yup, slogan itu ditanamkan sejak dulu. Kita amat berbangga dengan sawah-sawah yang membentang luas di berbagai pulau. Namun di balik keindahan sawah itu, terselip satu fakta menggiriskan tentang semakin kurangnya minat anak muda untuk menjadi petani. Tak ada lagi anak muda yang bangga berkata ingin menjadi petani. Mereka minder, lalu berkata, “Malu aku jadi petani.”

***

PAGI baru saja merekah di ufuk timur ketika Asep bersiap-siap hendak berangkat ke sekolah. Di depan rumah, ia menemui sang ayah yang juga tengah bersiap-siap ke sawah. Sang ayah memegang cangkul dan beberapa peralatan di sawah. Asep berpamitan lalu mencium tangan ayahnya. Sang ayah berkata, “Semoga jadi anak yang pandai dan berhasil. Jangan seperti ayahmu yang cuma petani.”

Aku tersentak ketika mendengar kalimat “Jangan seperti ayah yang cuma petani.” Kalimat ini mengesankan bahwa menjadi petani adalah pilihan yang paling buruk di tengah begitu banyak profesi. Ada rasa rendah diri serta rasa minder ketika menyadari diri sebagai petani, lalu tumbuh harapan agar kelak sang anak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Aku teringat ucapan Bung Karno, “Pertanian adalah soal maju mundurnya suatu bangsa!” Pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak, mulai dari petani hingga warga yang sangat tergantung pada hasil pertanian sebagai sumber pangan. Pertanian adalah urat nadi tumbuhnya masyarakat, menentukan corak budaya, mengukir peradaban.

Namun di balik wacana pertanian, terdapat sejumlah individu yang berjuang keras untuk menegakkan marwah kita sebagai negeri agraris. Pertanian menjadi tumpuan hidup bagi jutaan orang yang tinggal di pedesaan. Para petani-petani ini menjadi harapan bagi seluruh anak bangsa atas terpenuhinya kebutuhan pangan. Sungguh menyedihkan ketika nasib petani tak seindah bulir padi yang menguning di sawah-sawah.

Cerita tentang Asep dan ayahnya kusaksikan di pinggiran Cianjur, Jawa Barat. Dalam perjalanan ke beberapa desa di wilayah itu, kutemukan fakta yang sungguh menggiriskan. Desa-desa pertanian menjadi kantong-kantong kemiskinan. Beras yang diproduksi petani dijual dengan harga murah. Beras impor membanjiri pasar sehingga menyulitkan petani untuk menjual beras dengan harga pantas.

Fakta yang paling memiriskan adalah kekhawatiran akan punahnya generasi baru petani di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan trend menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Pada tahun 2011, tenaga kerja di sektor ini mencapai lebih dari 37 juta orang. Pemerintah memproyeksikan, jumlah tenaga kerja pertanian pada tahun 2019 akan turun hingga 34 juta orang. Jika dilihat dari kelompok umur, maka kebanyakan pekerja sektor pertanian kita berusia di atas 60 tahun. Dikhawatirkan, sektor pertanian kita semakin mundur karena kurangnya generasi yang lebih muda, yang bersedia masuk ke sektor ini.

“Kalau saya jadi petani, maka tak ada peningkatan di keluarga. Lagian, siapa sih, anak muda yang mau jadi petani? Tak ada yang mau hidup miskin dan tidak berpendidikan. Mending ke kota dan mencari kerja yang lebih layak,” kata Asep saat kutemui seusai sekolah.

Namun tak tepat jika hanya menyoroti Asep. Ada anggapan yang tumbuh di masyarakat bahwa pertanian tidak mendatangkan citra yang baik. Pertanian identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan para petani pun kerap menganggap pekerjaan sebagai petani kalah kelas dibandingkan pekerjaan lain. Di desa-desa Cianjur yang kususuri, tak satupun petani yang menginginkan anaknya meneruskan profesi ayahnya. Kebanyakan ingin agar anaknya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) ataupun menjadi karyawan perusahaan.

“Biarlah abah saja yang jadi petani. Asep harus jadi orang sukses. Dia harus berhasil,” kata Abah Rully, ayah Asep. Lantas, hendak dikemanakan sawah luas yang selama ini menjadi sandaran kehidupan? “Sawah itu akan dijual setiap saat kalau Asep butuh tambahan ongkos untuk sekolah.”

***

DI Jakarta, Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut tentang target lahan sejuta hektar serta terwujudnya swasembada pangan. Pemerintah menganggap kebutuhan pangan adalah hak dasar warga negara yang harus segera dipenuhi. Krisis pangan adalah bencana yang bisa memicu ambruknya tatanan sosial yang bisa menjungkalkan rezim.

Jika penduduk berjumlah 250 juta orang dan setiap hari warga mengonsumsi 0,1 kg pangan, maka kebutuhan pangan yang perlu disediakan per tahun adalah 90 juta ton. Nah, bisakah target ini dicapai ketika lahan pertanian semakin menyempit, dan tak banyak lagi pemuda yang bersedia menjadi petani demi menyuplai kebutuhan pangan nasional. Dalam kurun waktu lima tahun, ada 5 juta Rumah Tangga Pertanian (RTP) yang tidak lagi berprofesi sebagai petani dan lahan pertanian alih-fungsi.

lahan persawahan di Mamasa, Sulawesi Barat

Di hadapan kita tersaji fakta yang sangat menggiriskan ketika anak-anak muda justru menolak jadi petani dan memilih ke kota demi hidup yang lebih baik. Di saat bersamaan, kondisi petani kita sangat memprihatinkan. Petani tidak mendapatkan perhatian dan kepedulian yang serius, baik pada porsi anggaran maupun pada porsi kebijakan yang memberdayaan. Yang terjadi adalah: (1) Tidak tersedia SDM yang cukup, (2) Tidak tersedia jaminan akses modal, (3) Tidak tersedia jaminan akses pasar (4) Sarana infrastruktur yang kurang, (5) Tidak tersedia teknologi yang memadai. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan akan terjadi ancaman bagi kedaulatan pangan yang bisa melemahkan sendi-sendi kebangsaan kita.

Memang, di tanah air kita, kisah-kisah tentang pertanian adalah kisah tentang klaim dan nestapa. Di satu sisi pemerintah selalu mengklaim keberhasilan menggenjot sektor pertanian, keberhasilan menciptakan swasembada pangan, serta menanamkan slogan tentang pertanian sebagai sokoguru kehidupan masyarakat.

Tapi di sisi lain, pertanian menyisahkan kisah-kisah nestapa tentang nasib para petani yang tak bisa beranjak dari lembah kemiskinan. Profes identik dengan kemiskinan dan kebodohan. Banyak di antara petani yang memang tidak punya lahan. Mereka mengolah sawah milik orang lain dengan perjanjian untuk saling berbagi hasil, namun semua biaya produksi menjadi tanggungan petani.

***

ASEP hanyalah satu dari begitu banyak anak muda yang tak tertarik untuk kembali ke sektor pertanian. Pekerjaan besar yang mesti kita lakukan bersama adalah kembali menjadikan desa menjadi kekuatan utama dalam tananan kebangsaan kita. Itu bisa berarti bagaimana mengembalikan peran desa sebagai payung besar yang menaungi semua kalangan, termasuk kalangan generasi muda.

Ketika Asep enggan bekerja di sektor pertanian, maka itu pertanda tentang begitu banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mencapai swasembadapangan. Pada akhirnya, pembangunan bukan sekadar tolok ukur fisik dan material, namun lebih ke arah bagaimana terpenuhinya kebutuhan mendasar sebagai seorang warga negara. Pembangunan memiliki dimensi budaya yang mencakup tercukupinya kebutuhan sebagai manusia, dan tercapainya satu kondisi yang memanusiakan manusia. Tanpa itu, pembangunan pertanian hanya menjadi slogan yang hanya kencang diucapkan saat kampanye, namun minim realisasi.

Yah, seperti kata penyair Chairil Anwar, kerja memang belum selesai. Belum apa-apa!


BACA JUGA: