Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Setegar Karang VERONICA TAN




AIR MATA itu jatuh juga. Veronica Tan tak kuasa menanggung beban yang berat. Dia, istri seorang gubernur yang jarang menampilkan ekspresi apapun. Tatapannya sering terlihat datar. Wajah tanpa riasan itu nampak misterius. Dia jarang terlihat di kalangan sosialita dan selebritis. Dia lebih banyak diam di balik karakter suaminya yang meledak-ledak. Karakter keduanya terlihat kontras. Tapi dia adalah telaga yang mengembunkan banyak sisi suaminya.

Saya membayangkan betapa beratnya menjalani hari sebagai Vero, demikian dia disapa. Suami yang disayanginya setiap saat mendapat caci dan maki. Tak berbilang lagi berapa kali orang-orang mengeluarkan fatwa bunuh kepada suaminya. Hari-harinya adalah tuduhan penistaan dan tatapan sinis. Suaminya memasuki arena politik penuh sentimen. Penuh cibiran. Dan tak semua cibiran itu terkait suaminya. Banyak yang mencibir karena ras dan suku bangsa. Entah kenapa, dia harus menampung semua tudingan dan hal-hal yang tak dilakukannya.

Mungkinkah dia hendak bertanya, mengapa tindakan jahat orang lain sesuku harus dipikul bebannya oleh dirinya dan suami? Mungkinkah seseorang bisa memilih hendak lahir dari suku bangsa mana biar bisa menggapai mimpi-mimpi untuk melayani orang lain? Bisakah satu lisan, yang tak diniatkan menista dan berkali-kali dipohonkan maaf itu, menjadi satu-satunya alat ukur untuk menilai segala hal tentang seseorang hingga tak henti dibenci dan dicaci?

Vero menjadi penyaksi yang lebih banyak diam. Dalam hari-hari berat yang mendebarkan itu, dia tak pernah meninggalkan suaminya. Sebagai istri, dia memahami medan kehidupan yang sedang dijalaninya. Dalam senang dan susah, ekspresinya selalu datar. Dia tak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan. Dia pun tak menunjukkan cakap perlawanan. Padahal, jika saja saya dalam posisinya, mungkin saya akan menyusun perlawanan. Mungkin saya akan melawan semua amarah dengan kadar yang sama. Saya akan balik menuding, kalau perlu meladeni tantangan berkelahi.

Tapi, Vero dan suaminya justru menampilkan kekuatan. Dia tidak menerima nasib dengan sedu-sedan lalu balik menuding sana-sini. Dia menampilkan kekuatan hebat melalui kemampuan memaafkan. Manusia hebat bukanlah manusia yang bisa marah setinggi langit, melainkan manusia yang bisa memaafkan panah-panah yang terlanjur menembus tubuhnya. 

Permaafan jauh lebih mulia dari kemarahan. Permaafan hanya lahir dari jiwa besar, yang berani membuang semua kemarahan, lalu melepaskannya dalam telaga kedamaian. Permaafan hanya lahir dari jiwa-jiwa bening, yang memosisikan semua manusia dalam dimensinya yang bisa salah dan bisa benar, dan melalui kesalahan itu manusia akan terus menyempurna. Permaafan akan membasuh semua salah itu menjadi hikmah yang membebaskan.

Saat hari ini membacakan surat suaminya, air matanya menjebol banyak hal. Surat itu begitu perkasa. Salah satu bait surat itu mengatakan:

Tetapi saya telah belajar mengampuni dan menerima semua ini. Jika untuk kebaikan berbangsa dan bernegara, alangkah ruginya warga DKI dari sisi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat adanya unjuk rasa yang menganggu lalu lintas.
Tidaklah tepat saling unjuk rasa dan demo dalam proses yang saya alami saat ini. Saya khawatir banyak pihak yang akan menunggangi jika para relawan berunjuk rasa, apalagi benturan dengan pihak lawan yang tidak suka dengan perjuangan kita.Terima kasih telah melakukan unjuk rasa yang taat aturan dan menyalakan lilin perjuangan, konstitusi ditegakkan di NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Mari kita tunjukkan bahwa Tuhan tetap berdaulat dan memegang kendali sejarah setiap bangsa. Kita tunjukkan bahwa kita orang yang beriman kepada Tuhan Yang Masa Esa pasti mengasihi sesama manusia, pasti menegakkan kebenaran dan keadilan bagi sesama manusia.

Duhai Vero. Satu suara saya akan selalu jatuh untuk kalian. Mengapa kalian lebih mulia dari mereka yang mengklaim telah mengkapling sepetak tanah di surga sana?


Bogor, 24 Mei 2017




Kisah Tiga Tetangga Tionghoa



Tinggal di satu kompleks yang banyak dihuni warga keturunan Tionghoa menyebabkan interaksi saya dengan mereka menjadi lebih intens. Saya memiliki beberapa tetangga yang sering bertegur sapa. Kali ini saya akan berkisah tentang tiga tetangga yang cukup dekat.

Tetangga pertama adalah anak muda bernama Steven. Saya perkirakan usianya 30 tahun. Dari rumah yang saya tempati, bisa saya lihat rumahnya di seberang jogging track. Dia bekerja sebagai marketing di perumahan itu. Tubuhnya tinggi dan atletis sebab dirinya rajin ke fitness center.

Beberapa kali saya berinteraksi dengannya. Kesan saya, dia orangnya dingin. Tapi dia selalu menyapa orang yang dikenalnya. Interaksi kami hanya sebatas menyapa hallo saat bertemu. Dia tidak terlalu suka bercanda. Dia sangat ulet dalam bekerja. Kalau menyangkut uang, dia akan cepat merespon pembicaraan. Saat dia membuka usaha laundry, dia rajin mengirimi saya pesan-pesan promosi melalui aplikasi whatsapp.

Istri Pak Steven lebih dingin lagi. Berbeda dengan Steven yang cukup akrab dengan tetangga, istrinya terkesan menutup diri. Saya hanya melihatnya di pagi hari dan sore hari saat dia hendak ke kantor dan pulang ke rumah. Namun sejak dirinya hamil, dia tak pernah lagi masuk kantor. Dia memilih di rumah merawat anaknya yang kini berusia sekitar 2 tahun.

Tetangga kedua adalah Friska. Rumahnya berjarak dua rumah dari rumah kediaman saya. Usianya sekitar 20-an tahun. Entah kenapa dia suka sekali memakai celana pendek yang menampakkan kakinya yang putih. Rambutnya lurus panjang. Friska sangat menyukai anak kecil. Rupanya dia adalah pengajar sekolah minggu di satu gereja. Makanya, ia sering datang ke rumah kami untuk mengajak anak saya Ara bermain. Saya senang saja jika Ara punya teman.

Mulanya Ara diajak bermain di rumahnya. Selanjutnya, mereka mulai suka menjelajah. Friska mengajak Ara ke rumahnya yang ada di blok lain kompleks kami. Untungnya, Ara selalu meminta ijin kepada ibunya ke manapun dia pergi. Kalau ibunya menyetujui, maka dia akan pergi. Jika tidak, dia akan menolak pergi. Untungnya, Friska selalu mengabari kami jika hendak mengajak Ara bepergian ke manapun. Bahkan saat hendak mengajak Ara bermain dengan anjing, Friska menunggu respon saya dan ibunya Ara. Bagi saya, tak ada yang salah dengan aktivitas bermain dengan anjing. Saya hanya mengingatkan Ara agar tidak menyentuh lidah anjing.

Friska punya kekasih bernama Koh Irwan. Dia anak muda yang lengannya penuh tato. Sebagaimana Friska, Irwan juga suka anak kecil. Jarak rumah kami ke blok sebelah sekitar 200-an meter. Biasanya, Ara akan dipangku Irwan di kursi sopir. Ara akan memegang setir dan Irwan yang mengendalikan kopling dan gas. Lucu saja saat melihat fotonya. Ara dipangku lelaki kekar yang lengannya penuh tato.

Beberapa waktu lalu, Friska minta ijin ke rumah untuk mengajak Ara ke acara paskah di gereja. Saat Ara diberitahu tentang Paskah, dia menyebut kelinci dan telur-telur cantik. Ara tahu dari tayangan yang disaksikannya di kanal Youtube. Saya tak keberatan jika Ara ke gereja untuk bermain dengan kelinci. Toh, mereka hanya sekadar bermain, setelah itu pulang ke rumah.

Pada diri Friska, saya melihat banyak kasih terpancar. Saya selalu merasa aman jika dia datang ke rumah untuk menjemput Ara bermain. Malah, saya berharap dia ikut menjemput Ana, adiknya Ara yang masih baby. Lumayan, bisa menghemat biaya babysitter yang cukup mahal di Bogor. Hehehe.

Tetangga Tionghoa ketiga yang ingin saya ceritakan adalah seorang nenek di seblah rumah. Dia tinggal bersama anak lelakinya yang bernama Joni. Setiap pagi, saya akan melihat Oma menyiram bunga. Ia suka tanaman. Malah ia membagikan beberapa bibit tanaman ke istri saya. Kesan saya, Oma sangat suka ngobrol. Dia bisa lupa waktu saat membahas berbagai hal.

Sebetulnya saya tidak terlalu betah mendengar ceritanya. Tapi saya tidak ingin mengecewakannya. Saya pura-pura mendengar semua kisah-kisahnya. Ternyata, dia malah semakin bersemangat. Setia hari dia akan bercerita banyak hal. Dia bercerita  tentang Opa, almarhum suaminya yang telah meninggal. Dia bercerita bisnisnya yang cukup besar di Senen bersama Opa. Sering juga membahas anak-anaknya yang katanya hanya sibuk mengambil hartanya.

Ketika berbincang dengan Oma, saya membayangkan betapa sepinya menjalani hari tua. Mungkin kelak saya akan menjalani hal yang sama. Menjadi tua adalah memasuki kehidupan yang sepi. Anak yang dahulu kecil kini telah dewasa dan menjadi anak panah yang melesat meninggalkan busurnya. Kebahagiaan orang tua adalah saat didengarkan dan diapresiasi.

Sering saya lihat Oma bertengkar dengan anaknya yang datang berkunjung. Biasanya, setelah anaknya pergi, ia akan memanggil saya lalu menyampaikan kekesalannya. Katanya, anak-anaknya hanya mengincar harta, tanpa menyayanginya. Sejak saat itu, Oma mulai sakit-sakitan. Dikarenakan Joni sering keluar rumah, ia beberapa kali memanggil saya dan meminta dibelikan obat. Saya ikhlas melakukannya. Saya tahu dia lagi butuh bantuan.

Pada setiap bantuan, saya menolak menerima pemberian apapun dari Oma. Tapi dia cukup tahu diri. Jika saya melakukan sesuatu untuknya, dia akan membawakan sesuatu untuk saya. Pernah dia ke rumah membawa roti yang sangat enak. Ternyata salah satu anaknya punya usaha roti.

Hingga akhirnya, saya melihat Oma digotong dan dibawa dengan ambulans. Lebih dua pekan tak ada kabarnya. Suatu hari, Joni datang membawa berita Oma telah meninggal dunia. Jenazahnya telah diperabukan dan disimpan dalam guci. Ada juga abunya yang disebar di lautan, sesuai permintaan Oma. Mungkin dia punya obsesi menjadi bagian dari semesta lautan yang luas. Entahlah.

Sejak Oma pergi, rumahnya langsung kosong. Saya pun menjadi sunyi atas kepergiannya. Sering saya melihat ke rumahnya, berharap Oma masih di situ. Anehnya, Joni beberapa kali datang untuk menemui saya. Joni meminta saya untuk membeli rumah itu dengan harga berapapun. Joni berharap saya mengajukan penawaran. Jangan-jangan Joni mendapat wasiat dari Oma terkait rumah itu. Lagian, saya tak ada niat untuk memiliki rumah itu.

Demikianlah kisah tiga tetangga Tionghoa. Ada yang pekerja keras dan cepat merespon saat membahas uang. Ada yang suka bermain dengan anak kecil. Ada juga yang kesepian di masa tuanya, tanpa ada teman untuk berbicara. Ketiga sosok ini laksana mozaik yang saling melengkapi. Mereka berbeda karakter dan kebiasaan, tapi hidup sebagai tetangga yang rumahnya hanya sepelemparan batu.

Sekelumit kisah para tetangga menghangatkan hari-hari saya di kota hujan. Mereka mengingatkan saya pada teori yang menyatakan bahwa semua manusia itu unik. Semua manusia ingin dihargai dan didengarkan. Pada Pak Steven, saya belajar keuletan. Pada Friska, saya belajar kasih sayang. Pada Oma, saya belajar tentang perlunya empati dan sikap mendengarkan.

Saya menemukan kesamaan dengan mereka. Kami semua adalah kepingan kecil yang saling bertaut dengan dinamika masing-masing. Kami berasal dari latar berbeda, tapi dipertalikan oleh hubungan pertetanggaan. Jika kami saling mengenal, berarti ada satu rajutan interaksi yang setiap buhulnya ditenun bersama-sama. Dan kehidupan adalah upaya untuk selalu merajut benang merah yang menghubungkan kita dengan siapa saja, yang entah dengan cara bagaimana, kerap meninggalkan jejak di hati kita.

Entah kenapa, saya sering melihat siluet Oma di rumah sebelah.


Bogor, 20 Mei 2017



Empat Buku Thomas Friedman


buku-buku Thomas Friedman

SALAH satu nikmat memiliki memiliki sahabat yang kuliah di luar negeri adalah akses memiliki buku-buku berkualitas. Saat mereka ke tanah air, saya selalu menitip beberapa buku bagus. Barusan, sahabat Elizarni membawakan saya buku terbaru karya Thomas Friedman berjudul Thank You for Being Late: An Optimist’s Guide to Thriving in the Age of Accelerations.

Saya tidak secara rutin membaca tulisan para jurnalis-jurnalis hebat Amerika Serikat. Saya hanya membaca beberapa artikel lepas yang melintas di beberapa web. Di antara sedikit nama yang pernah saya baca, saya menyukai tulisan-tulisan Thomas Friedman dan Fareed Zakaria.

Saya penikmat tulisan-tulisan Thomas Friedman. Dia seorang jurnalis The New York Times. Dia tipe jurnalis intelektual yang bergelar PhD dari satu kampus berpengaruh di Amerika. Dia terkenal karena liputan-liputan mendalamnya di berbagai negara. Tak mengherankan jika liputan-liputan investgasi itu telah mengantarnya sebagai jurnalis penerima Pulitzer Prize sebanyak tiga kali. Bagi para jurnalis, Pulitzer serupa hadiah nobel bagi seorang ilmuwan.

Saya menyukai gaya menulisnya yang ringan, tapi penuh makna. Gaya menulis yang ringan ini juga saya temukan pada beberapa akademisi Amerika dan peraih nobel, di antaranya adalah Joseph Stiglitz, William Easterly, dan Daron Acemoglu. Mereka bisa menyederhanakan hal yang rumit, tapi tetap tidak kehilangan rasa intelektual. Sebagamana halnya para intelektual itu, Friedman bisa mendiskusikan hal-hal yang rumit seperti globalisasi, serenyah saat makan mie ramen di satu kedai. Ia mengakui bahwa seringkali ide-ide untuk bukunya lahir saat dirinya tengah bersantai di satu kafe atau warung kopi.

Pada dirinya terdapat dua tipe yang saling melengkapi. Dia seorang jurnalis, sekaligus seorang pembelajar. Dia mengumpulkan semua amatan, bacaan, dan pengalaman menjadi satu telaga yang tak habis-habis untuk dijelajahinya dengan menggunakan berbagai perspektif. Ia terus mengasah dirinya sehingga tulisannya selalu bernas, tapi tetap bisa dipahami siapapun. Buktinya, saya bisa memahami buku-bukunya dengan mudah, padahal saya juga sering mengalami kendala bahasa Inggris. Biasanya saya suka tertatih saat membaca buku berbahasa Inggirs. Tapi khusus buku-buku Friedman, saya lancar membacanya.

Tulisannya yang pertama saya baca membahas tentang Taiwan. Ia mengatakan jika terlahir kembali sebagai manusia dan diizinkan memilih hendak lahir di mana, ia akan memilih Taiwan. What? Bukankah negara itu hanyalah pulau karang yang tak punya sumberdaya alam hebat?

Jawabannya sederhana. Taiwan memang tidak punya tambang, tandus, dan tanpa sumber daya alam hebat. Tapi negara itu menjadikan 23 juta otak warganya sebagai tambang paling dahsyat. Taiwan memperkuat sumberdaya manusianya sehingga memaksimalkan talenta, energi, dan pemikiran lalu menjadi pusat teknologi. Taiwan bisa keluar dari ketergantungan pada sumberdaya alam, lalu mengubah talenta manusianya menjadi kekuatan besar dalam memasuki era ekonomi abad pengetahuan. Di bidang teknologi tinggi, Taiwan segaris dengan Korea dan Jepang.

Kata Friedman kepada orang Taiwan, “You’re the luckiest people in the world. How did you get so lucky? You have no oil, no iron ore, no forests, no diamonds, no gold, just a few small deposits of coal and natural gas — and because of that you developed the habits and culture of honing your people’s skills, which turns out to be the most valuable and only truly renewable resource in the world today. How did you get so lucky?”

Tulisan Thomas Friedman tentang Taiwan itu bisa dibaca DI SINI.

Sejak saat itu, saya mulai membaca tulisan Friedman. Buku pertamanya yang saya baca tuntas adalah The Lexus and the Olive Tree, yang ditulis tahun 1999. Saya membacanya tahun 2010, saat diobral melalui kindle seharga 1 dollar. Memang, saya agak terlambat membacanya, tapi tetap saja saya sangat terkesan. Dia menjelaskan tentang dunia saat ini yang di dalamnya terdapat dua pergolakan: (1) dorongan untuk menggapai kesejahteraan, yang disimbolkan dengan mobil mewah Lexus, (2) hasrat untuk mempertahankan tradisi dan identitas, sebagaimana disimbolkan dengan pohon Olive. Dia membahas bagaimana sejumlah negara Asia Timur dan Eropa berlomba menggapai kesejahteraan dan kekuayaan, di saat sebagian negara Timur Tengah sibuk berkonflik dan saling menghancurkan.

Buku ini menarik sebab mendiskusikan globalisasi melalui pengalamannya bertemu banyak orang di berbagai negara. Globalisasi bukanlah trend atau mode, tetapi merupakan sistem internasional. Seperti halnya Perang Dingin, globalisasi memiliki peraturan dan logika tersendiri. Hari ini secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi politik, lingkungan, geopolitik dan ekonomi hampir setiap negara di dunia.

Ide yang paling menggugah di buku ini terdapat di halaman 232, di mana Friedman menjelaskan "if you can't see the world, and you can't see the interactions that are shaping the world, you surely cannot strategize about the world. You need a strategy for how to choose prosperity for your country or company." Jika kamu tidak bisa memahami dunia, dan jika kamu tidak memahami interaksi yang membentuk dunia, kamu pasti tidak bisa menyusun strategi menghadapi dunia. Kamu butuh strategi bagaimana memilih kesejahteraan untuk negaramu dan perusahaanmu.

Buku Friedman selanjutnya yang saya baca adalah The World is Flat. Inilah buku Friedman yang paling berpengaruh. Buku ini menjadi semacam almanak atau panduan untuk memasuki abad ke-21. Dia membahas dunia yang kian terhubung oleh internet dan teknologi komunikasi. Ini membawa konsekuensi pada perubahan lanskap bisnis, politik, dan kebudayaan.

Ia mendiskusikan banyak isu penting bagi berbagai negara dan para pelaku perubahan. Spektrum pembahasannya cukup luas. Dia menjelaskan globalisasi sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world) yang kian nyata. Dunia dilihatnya semakin datar, tapi bukan datar sebagaimana pengertian kaum bumi datar yang percaya bumi ini seperti piring. Bagi Friedman, istilah datar dimaksudkan sebagai kian menghilangnya batas antar negara sehingga interaksi menjadi satu keniscayaan. itu membawa banyak konsekuensi pada ekonomi, politik, perubahan sosial, juga kebudayaan. Teknologi membuat batas sosial semakin runtuh. Ini harusnya direspon manusia dengan cara memahami cara kerjanya, lalu menyusun strategi untuk berselancar di era globalsiasi.

peta pikiran buku The World is Flat

Saat ini, menurut Friedman, telah terjadi globalisasi gelombang ketiga (Globalization 3.0). Globalisasi gelombang pertama (Globalization 1.0) terjadi mulai tahun 1492, ketika Columbus memulai pelayarannya keliling dunia, hingga tahun 1800. Pada masa ini, negara maupun pemerintah yang biasanya dipicu oleh agama, imperialisme atau gabungan keduanya mendobrak dinding dan menjalin dunia menjadi satu hingga terjadi penyatuan global.

Globalisasi kedua berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh Masa Depresi Besar dan Perang Dunia I dan II. Pelaku utama dalam proses penyatuan global ini adalah perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja yang dipelopori oleh Revolusi Industri.  

Globalisasi ketiga dimulai sekitar tahun 2000. Motor penggeraknya adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerja sama dan bersaing secara individual dalam kancah global. Proses penyatuan global masa ini memungkinkan, memberdayakan, dan melibatkan individu serta kelompok kecil untuk dengan mudah  dan mulus menjadi global dengan sebutan ‘tatanan dunia datar’ (flat-world platform).

Tatanan dunia datar adalah konvergensi (penyatuan) antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optik yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia dengan murah juga secara digital, serta work flow software(perangkat lunak alur kerja).

***

KINI, saya menimang buku terbaru Friedman berjudul Thank You for Being Late. Saya senang sekali karena seorang teman membawakan buku yang diterbitkan tahun 2016 lalu. Buku ini cukup tebal yakni 486 halaman. Biarpun belum ada waktu membacanya, saya cukup puas bisa membuka-buka lembaran buku ini.

Pekan silam, saya membeli buku Friedman lain, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yakni Hot, Flat, and Crowded. Di satu sudut Gramedia, saya menemukan buku ini diobral hanya seharga 20 ribu rupiah. Tanpa banyak menimbang, langsung saya bawa pulang. Saya melihat Friedman tetap konsisten dengan tema-tema mengenai globalsiasi, kesejahteraan, serta perlunya cara pandang baru dalam membawa negara bangsa menuju ke titik itu.

Di banyak tulisan, saya men-stabilo pandangan Friedman yang melihat perlunya menghadapi globalisasi dengan memahami akarnya lalu membuat strategi dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya manusianya. Jika Indonesia hendak menjadi bangsa unggul, dia harus membangun kualitas hebat manusianya, menghadirkan rasa lapar pada inovasi serta penemuan hal baru, juga memperkuat ekonomi bangsanya, dengan cara memanfaatkan semua keunggulannya demi memenangkan perdagangan gobal.

Saya ingin menulis lagi beberapa catatan mengenai Friedman. Saya membayangkan bagaimana perlombaan inovasi dan kemajuan antar negara. Namun sejenak saya singgah memantau media sosial. Di situ ada hasutan dan teriakan bunuh dan ganyang atas nama agama terhadap seseorang yang dituduh kafir. Sayup-sayup di layar kaca, saya mendengar komentar presiden tentang negeri lain sudah memasuki abad angkasa, kita di sini masih saling mengkafirkan.

Ah, saya tak ingin komentar. Rasanya, pandangan Friedman terlampau jauh ke depan. Rakyat negeri ini lebih suka jalan di tempat.


Bogor, 20 Mei 2017

BACA JUGA:










Nicholas Carr dan Era Bodoh di Internet




PERNAHKAH Anda merasakan ketagihan berlebihan pada internet sehingga banyak pekerjaan Anda jadi terbengkalai? Pernahkah Anda mengalami saat-saat bosan melakukan banyak hal, lalu Anda merasa lebih suka berselancar mengunjungi berbagai situs media sosial melalui handphone (HP) Anda hingga lupa waktu? Pernahkah Anda merasa belum lengkap aktivitas jika belum memandang layar HP, baik saat bangun tidur, maupun sebelum tidur?

Jika anda mengalami gejala yang saya sebutkan di atas, maka saatnya membaca buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains yang ditulis Nicholas Carr. Buku yang dinominasikan untuk meraih hadiah Pulitzer untuk kategori nonfiksi ini adalah buku provokatif yang menunjukkan betapa banyaknya hal buruk yang terjadi akibat ketergantungan pada internet. Penulisnya menggali argumentasi dari berbagai bidang ilmu demi menunjukkan bahwa internet telah membuat kita semakin bodoh.

Sepintas, buku ini agak pesimis dalam melihat internet, berbeda dengan buku Grown Up Digital karya Don Tapscott yang sangat optimis melihat internet. Tapi ada banyak pelajaran dan argumentasi yang bisa dipetik. Membaca buku The Shallows ini menyadarkan kita bahwa internet serupa candu yang membuat kita selalu ingin berselancar, membuat banyak pekerjaan kita tertunda, menyebabkan waktu kita terbuang percuma.

Saya bisa merasakan kegelisahan Nicholas Carr. Demi menyelesaikan The Shallows, Nicholas Carr harus menyepi dari kota besar. Dia pindah ke kota yang akses internetnya sangat terbatas. Di situlah ia bisa menemukan konsentrasi demi penyelesaian bukunya. Jika ia tetap di kota, pikirannya bisa kehilangan fokus. Sekali ia membuka internet, melihat email, lalu mengintip media sosial, maka ia bisa kehilangan mood. Niatnya untuk bekerja langsung hilang seketika saat membaca berbagai link dan berita.

Dahulu dia seorang yang gila baca. Ia adalah penyelam di lautan kata-kata. Tapi sejak mengenal internet, semua kebiasaan itu berubah. “Dulu, saya adalah penyelam di lautan kata–kata. Kini, saya bergerak cepat di permukaannya seperti orang yang mengendarai jet ski.” Internet menyebabkan fokusnya hilang, dan sibuk menjadi peselancar, tanpa kemampuan menyelam lagi. Internet menyebabkan manusia memasuki era ebodohan. Siapa sangka, struktur otak dan cara berpikir manusia bisa berubah gara-gara kecanduan pada internet.

Saya merasa terlambat membaca buku yang terbit sejak tahun 2011 ini. Ternyata buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kemudian diterbitkan Mizan. Pada mulanya, seorang akademisi di kampus IPB menyebut-nyebut buku ini demi menjelaskan betapa bedanya mahasiswa jaman kini dan jamannya. Sepintas, sang akademisi terkesan meromantisir zamannya. Tapi saya merenungi ada banyak hal yang benar dalam tuturannya. Salah satu kalimatnya yang mengena adalah di masa kini, orang tidak lagi punya tradisi membaca buku sampai tuntas, dan menyelami lautan kata per kata.

Saya merenungi diri saya, lalu melihat sekitar. Betapa HP telah menjadi benda wajib yang ditatap berpuluh kali dalam sehari. Betapa banyak orang yang memilih untuk memandang HP, lalu ikut dalam percakapan atau perdebatan di media sosial, ketimbang menyelesaikan banyak pekerjaan tertunda. Saya mengenal seorang kawan akademisi yang setiap bangun pagi atau sebelum tidur, pasti akan mencari HP lalu sibuk scroll dan melihat-lihat semua informasi di situ. Sesekali ia akan resah melihat banyak argumen yang nampak bodoh di matanya. Kadang pula ia tergelak saat saling meledek dengan kawan yang tinggal di pulau sana. Ia mengisi kebutuhan informasinya melalui Facebook, tanpa menghabiskan waktu untuk membaca secara mendalam media-media ataupun jurnal.

Memang, selalu ada harga dari ketergantungan pada rumah besar bernama internet. Harga paling mahal adalah hilangnya kemampuan kita untuk menyelami dalam lautan kata-kata. Manusia hari ini lebih suka scroll di HP, membaca informasi sekilas-sekilas, lalu berpindah ke fokus lain. Kita bisa bertanya pada diri kita, kapankah kita terakhir membaca buku tebal dan merenungi isinya?

Nicholas Carr menunjuk banyak riset neurosains, bahwa syaraf otak bersifat lentur dan dapat berubah atau menyesuaikan diri, bergantung pada apa yang dialami atau dipelajari. Ia berpendapat bahwa penggunaan internet dan ketergantungan kepadanya akan mengubah kemampuan syaraf otak, dan dapat mengarah pada berkurangnya kemampuan berpikir mendalam dan melakukan perenungan.

Selama ratusan tahun, manusia menggunakan buku untuk memperoleh pengetahuan. Buku bersifat linier, terfokus dan mendalam, sehingga pembaca memiliki kesempatan untuk merenung dan mengendapkan pengetahuan yang didapatnya. Hal ini selanjutnya mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh, pemikiran dan tulisan yang dihasilkan, yang tercermin dalam budaya.

Sebaliknya, pengetahuan atau informasi yang didapat dari internet berupa potongan-potongan, dan link-link yang ada dalam suatu artikel atau buku memecah fokus pembaca sehingga tulisan tersebut tidak dapat diserap dengan baik bahkan sulit diselesaikan. Hal ini karena selain link, terdapat SMS, email, RSS dan lain sebagainya yang setiap saat muncul untuk memecah perhatian seseorang saat membaca.  Semua ini menyebabkan mereka akhirnya hanya bersedia membaca sedikit-sedikit karena terus berpindah-pindah situs, sehingga informasi yang diperoleh bersifat permukaan. Internet mengubah manusia menjadi pembaca informasi singkat, yang jauh dari kata mendalam.

versi terjemahan buku The Shallows


Saya menyaksikan banyak diskusi di beberapa grup Whatsapp. Yang sering saya temukan adalah orang saling berbagi link-link yang merupakan hasil copy paste di banyak grup. Orang-orang suka membagikan berbagai informasi, tanpa menelaahnya secara kritis. Di situ, tak ada diskusi mendalam yang menggali informasi, tapi saling menebar kopian teks, yang tanpa ditelaah. Orang-orang kehilangan kemampuan menulis teks disebabkan kebiasaan mengambil sesuatu yang sudah jadi lalu menyebarkannya. Informasi menjadi overload, kita mendapatkan informasi abal-abal itu dari berbagai grup. Pikiran kita menjadi setumpul informasi itu, lalu kita menjadi generasi yang pasrah dan diombang-ambingkan berbagai informasi.

Kalau hanya pikiran tumpul, maka itu masih dirasa wajar. Namun bagaimana halnya jika pikiran tumpul itu malah menjauhkan kita dari peradaban ilmu dan kebijaksanaan? Bagaimana halnya pikiran tumpul itu saling berkoneksi, lalu tersebar menjadi wabah lalu melahirkan banyak pemimpin rasis, yang semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai keadaban? Bagamanakah jika pikiran tumpul itu terus disuburkan oleh desas-desus, berita bohong, serta siraman bensin kebencian yang terus direproduksi sistem sosial kita? Bisakah akhir zaman yang penuh dengan kemajuan dan kecintaan ilmu dalam situasi seperti itu?

Kata Nicholas Carr, syaraf otak bersifat lentur atau plastis. Kebiasaan di era internet akan mempengaruhi cara kerja otak kita dalam jangka panjang. Ada banyak hal yang akan hilang, yang selama ini dimiliki oleh otak karena cara kita belajar yang terfokus dan mendalam dengan buku-buku. Mesin-mesin internet, termasuk Google dan Facebook, akan menumpulkan persepsi halus, pemikiran dan emosi. 

Sepintas, dia seorang pesimis. Saya mengikuti beberapa wawancaranya di Youtube. Menurutnya, sejarah peradaban kita dipengaruhi oleh beberapa temuan, yang kemudian berlanjut pada diskusi dan pro-kontra. Terdapat pro-kontra saat jam, kompas, tulisan dan mesin cetak ditemukan, dan bagaimana hal itu kemudian mengubah kebudayaan dan sejarah, kemudian memperlebar jarak manusia dengan alam dan mengurangi beberapa kemampuan alaminya.  

Buku ini menyajikan alarm bagi kita untuk larut dalam internet. Memang, banyak argumentas dalam buku ini yang akan jadi perdebatan. Saya bisa menunjukkan catatan Don Tapscott yang menganalisis bagaimana generasi baru memiliki kebiasaan berbeda dalam berinteraksi dengan internet. Tak semua negatif.

Buku ini tetap penting sebab melihat persoalan dari sisi lain, yang mungkin tidak kita sepakati. Saya sendiri mengalami apa yang ditulis Nicholas Carr sebagai fenomena hilangnya fokus disebabkan tersesat dalam belantara informasi di media sosial. Sebagaimana dia, saya pun butuh mematikan semua internet demi menyelesaikan banyak pekerjaan penting. Bahkan demi menulis catatan ini, saya harus mencari coffee house yang tak punya koneksi internet.

Ah, semoga saja internet tidak menjebak kita semua dalam era kebodohan. Buku ini menyediakan banyak catatan penting yang harus segera distabilo dan ditandai di ruang-ruang nalar kita. Melalui catatan itu, kita menjemput masa depan yang lebih humanis. Bisakah?


Bogor, 7 Mei 2017

BACA JUGA: