Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sekeping Cinta di Buitenzorg


THOMAS Stanford Raffles tak hanya mewariskan buku The History of Java yang luar biasa fenomenal karena berisikan catatan penjelajahan ilmiah tentang pulau itu di masa silam, namun juga memahat jejak cintanya di tengah-tengah Kota Bogor. Ia mewariskan sebuah prasasti yang menjadi pahatan ingatan; bahwa pada suatu masa, ia pernah mencintai seorang wanita dengan begitu dahsyat.

Mulanya, saya membayangkan letnan gubernur asal Inggris ini adalah seorang playboy yang menikmati birahi dan kemolekan gadis pribumi di Nusantara. Mulanya saya membayangkan Raffles seperti Kapten Cook yang disuguhi hidangan pesta seks gadis-gadis Hawaii ketika menjelajah ke pulau indah itu, sebagaimana dicatat dalam penelitian antropolog Marshall Sahlins. Namun hari ini, saya harus mengubur semua gambaran tentang para penjelajah itu. Hari ini saya menyaksikan cinta Raffles seluas samudera yang dirangkum dalam prasasti cinta di tengah Kota Bogor --yang oleh orang Belanda, dulu disebut Buitenzorg.

Bersama mama dan adikku Atun, saya singgah berkunjung ke Kebun Raya Bogor (KRB) demi menghirup udara segar di tengah pekatnya polusi Kota Jakarta. Bogor saat ini menjadi kawasan yang paling banyak didiami mereka yang bekerja di Jakarta. Makanya, kereta rel listrik (KRL) menuju Bogor selalu padat sebab dipenuhi mereka yang hendak kembali ke rumahnya. Kami naik kereta ekonomi AC yang penuh dengan manusia. Bagiku, ini adalah hal yang biasa saja sebab menjadi rutinitasku selama tinggal di Depok. Namun tidak bagi mama dan Atun. Mereka terlihat excited dan menikmati pengalaman naik kereta ini sebagaimana anak kecil yang dapat mainan baru. Kulihat, mereka bahagia sebab akhirnya bisa juga menumpang kereta dalam rentang panjang pengalaman mereka.

Ketika memasuki kota ini, suasananya adalah hujan rintik-rintik dan kian menguatkan sebutan Bogor sebagai kota hujan. Saat berjalan memasuki kebun raya sejauh 100 meter, saya akhirnya menemukan prasasti ini. Prasasti itu berupa sebuah batu bertulis serta patung kecil. Prasasti itu disebut Lady Raffles Memorial. Di samping tugu tersebut, terdapat tulisan:

Selamat datang di Tugu Lady Raffles, sebuah bangunan unik yang mempunyai nilai sejarah. Di sini Sir Thomas Stanford Raffles, seorang letnan gubernur Inggris di Pulau Jawa (1811-1816) mendirikan monumen kenangan bagi istrinya Lady Olivia Marianne yang meninggal pada tahun 1814 di arena Kebun Raya Bogor.

Membaca tulisan ini saya tercenung sesaat. Ternyata, kebun ini bukan cuma sebuah wahana ilmiah bagi mereka yang menggemari dunia konservasi. Kebun yang didirikan sejak masa Belanda ini juga mewariskan satu keping kisah cinta dari seorang manusia di masa silam, yang jejaknya diupayakan agar bertahan hingga masa kini. Saya penasaran dengan lanjutan kisahnya. Mudah-mudahan kelak akan ada seorang novelis yang tertarik menelusuri kisah cinta itu dan dituliskan dalam novel. Pastilah ini akan menjadi sisi lain dari kisah Raffles yang masyhur sebagai penjelajah, saintis, maupun pendiri negeri Singapura.

Sayangnya, prasasti itu tidak bercerita banyak. Setelah kutipan di atas, selanjutnya yang muncul adalah tulisan singkat tentang istri Raffles tersebut. Tulisannya sungguh singkat untuk merangkum kenangan Raffles tersebut. Tulisan lanjutan itu berbunyi:

Lady Olivia Marianne lahir di India tahun 1771. Pada usianya yang ke-43, ia menderita sakit malaria, sehingga Raffles membawanya ke istana Buitenzorg untuk beristirahat. Hanya berselang enam bulan, Lady Raffles meninggal dan dimakamkan di pemakaman orang-orang Eropa, Taman Pemakaman Umum Kober, Tanah Abang, Jakarta.

Sebegitu cintakah Raffles pada Olivia hingga ia membangun monumen yang selalu menjaga kenangannya? Seperti apakah sosok Olivia? Apakah ia demikian cantik ataukah ia begitu menyayangi Raffles hingga dirinya layak menerima penghormatan dalam prasasti cinta itu? Berbagai pertanyaan memnuhi benakku. Saya teringat berbagai literatur tentang studi ingatan yang pernah saya baca. Sebuah kenangan kadang hadir dengan utuh, namun kadang pula hadir dengan penggalan-penggalan. Ketika manusia membangun monumen atau tugu peringatan, maka monumen itu bermakna sebagai jembatan yang menautkannya dengan masa silam, atau suatu peristiwa atau seseorang yang demikian penting bagi dirinya. Simbol itu menjadi technologies of memory (teknologi ingatan) yang menjaga kelangsungan ingatan dan mewariskannya dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.

Raffles adalah seorang pria humanis dan pencinta. Kota Bogor menjadi saksi sejarah tentang cinta yang bergemuruh di hari seorang pria pada periode akhir jelang runtuhnya kolonialisme Eropa di Nusantara. Seperti halnya Taj Mahal yang dibuat khusus Shah Jahan untuk mengenang istrinya Mumtaz Mahal (dalam bahasa Persia berarti “kecantikannya dipilih oleh surga”) maka Raffles juga membuat prasasti sebagai tanda cinta kepada istrinya Lady Olivia Marianne yang meninggal pada tahun 1814 tepat di tengah Kebun Raya Bogor. Di tengah kebun itu, berdiri megah Istana Bogor, yang menurut catatan sejarah, pernah didiami Raffles selama beberapa waktu.

Saya hanya bisa merasakan sebegitu besarnya cinta Raffles pada perempuan itu. Barangkali cinta memang butuh aktualitas atau jejak material. Barangkali cinta butuh monumen untuk kelak diawetkan dan tak lekang oleh waktu. Saya bisa memahami kenapa ia tak menuliskan secara detail tentang cintanya pada Olivia. Mungkin ia sengaja tidak menuliskan secara utuh sejauh mana gejolak cintanya. Kalaupun cinta dikisahkan, apa kata sanggup untuk merangkum dimensi rasa yang indah dalam diri seseorang?. Saya kira tidak. Kata-kata itu terlalu miskin untuk mengisahkan cinta. Pada titik ini, Raffles berpikir bahwa cinta sangat personal, hanya bisa dimaknai secara pribadi. Cinta hanya untuk dikenang. Bukan untuk dikisahkan.

Pantas saja prasasti itu demikian singkat pesannya. Bahkan kalimat akhir juga singkat dan tak ada kaitannya dengan Raffles. Kalimat akhir prasasti itu berbunyi “Pada 4 Januari 1970, tugu ini mengalami rusak berat akibat angin ribut. Rekonstruksi dilakukan pada bulan Agustus 1970. Konon, tempat tugu ini berdiri merupakan titik tengah Kota Bogor."

Bagian yang menurutku paling indah sekaligus misteri adalah sebuah pesan cinta dari Raffles dalam bahasa Inggris klasik. Mungkin inilah kunci yang menjelaskan apa kenangan yang coba dipertahankannya. Pesan itu sungguh indah. Baca dan resapi pesan cinta dari masa lebih dari seratus tahun yang silam:

Ou thou whom neer my constant heart
one moment wath forgot
tho fate severe hath bid us part
yet still forget me not

Luar biasa!! Ada cinta yang dikabarkan melalui angin dan melintasi waktu. Ada kenangan yang coba dipertahankan dari terjangan gelombang waktu. Ada keajaiban yang gemuruh dalam hati dan tak lekang oleh zaman. Saya pun ingin agar kelak bisa membuat pahatan ingatan seperti itu. Saya iri dengan Raffles.


Bogor, 29 Januari 2009

Tur Wisata Mamaku dan Atun

SEBENARNYA lebih enak menjadi orang daerah. Kita setiap saat bisa datang melancong ke Jakarta dengan murah dan berkunjung sebagaimana layaknya orang sedang berwisata. Menjadi orang daerah membuat kita bisa sesaat silau dan kemudian senang menyaksikan dengus modernisasi di kota seperti Jakarta.

Sementara orang Jakarta kehilangan rasa senang melihat kota-kota di daerah. Mereka hanya senang ketika melihat kota di luar negeri. Untuk itu sedemikian mahal biaya yang mereka keluarkan. Jadi, betapa senangnya menjadi orang daerah yang tiap saat bisa ke Jakarta dengan murah dan terkagum-kagum melihat panorama modern. Menjadi orang daerah membuat kita selalu senang dan kagum melihat Jakarta. Bukankah kesenangan itu sesuatu yang mahal?

Ini hari kedua sejak kedatangan mamaku dan Atun di kota ini. Sejak kami datang, mereka sangat senang menyaksikan suasana kota yang bising ini. Sepanjang perjalanan, mereka sibuk menyaksikan pemandangan sekeliling yang sangat berbeda dengan kota-kota yang pernah mereka jelajahi. “Kalau saya jalan sendirian di kota ini, pastilah saya akan hilang,“ kata mamaku. Kata “hilang“ di sini tidak bermakna lenyap, namun bermakna tersesat. Mamaku membayangkan Jakarta seperti sebuah hamparan luas pepohonan bangunan, yang gelap dan bisa membuat pendatang baru akan tersesat karna tak bisa mengenali sekeliling.

Sementara adikku Atun tak jauh berbeda. Setiap pemandangan aalah kejutan baginya. Ia seperti seorang peneliti yang pertama memasuki arena penelitian tertentu dan terkesima melihat semua kepingan kenyataan di satu tempat. Meski kunjungannya singkat, Atun sudah merencanakan dengan rapi hendak ke mana nantinya. Ia sudah punya jadwal yang rapi hendak ke mana saja dan melakukan apa. Saya hanya bisa membantu mewujudkan semua yang direncanakannya. Semoga mamaku dan Atun senang selama berada di Jakarta. Semoga…..

Dialog Antropologi dan Sejarah

SAYA ingin menuliskan isu teoritis yang membayang-bayangi penelitian saya tentang Ingatan Yang Menikam: Orang Buton Memaknai Tragedi PKI 1969. Isu teoritis yang dibahas dalam penelitian itu adalah adalah hubungan antara antara antropologi dan sejarah. Saat memulai penelitian, saya agak bingung bagaimana memposisikan pendekatan antropologi dan sejarah. Saat konsultasi dengan pembimbingku, saya selalu menemukan pertanyaan, “Ini karya antropologi ataulah sejarah?“ Tulisan ini adalah refleksi singkat saya setelah membaca literatur yang tidak terlalu banyak. Semoga refleksi ini ada gunanya dan bisa dikembangkan lagi.

Dalam karya Comaroff (1992) berjudul Ethnography and Historical Imagination, saya menemukan bagaimana hubungan antropologi dan sejarah. Comaroff mengatakan, antropologi dan sejarah laksana dua kembar (twins) yang saling berkaitan sejak masa silam. Sementara dalam karya sejarawan Peter Burke, disebutkan juga bahwa sejak dulu, antara antropolog dan sejarawan saling menginspirasi dan memberi warna pada pendekatan masing-masing. Jika dalam ilmu sejarah dikenal disiplin Sejarah Kebudayaan, maka di antropologi juga dikenal istilah Antropologi Sejarah.

Antropologi lazimnya mengkaji suatu komunitas dengan pendekatan sinkronik, yaitu seperti membuat pemotretan pada momentum tertentu mengenai berbagai bidang atau aspek kehidupan komunitas sebagai bagian dari suatu kesatuan atau sistem. Antropologi menjelaskan tentang lembaga, pranata dan sistem yang kesemuanya akan dapat diterangkan secara lebih jelas bila diungkapkan bahwa struktur itu adalah produk dari suatu perkembangan di masa lampau. Kesemua struktur itu adalah produk historis dan hanya dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak sejarah perkembangannya. Sementara sejarah didekati dengan pespektif diakronik yang melihat urutan kejadian sebagai rentetan sebab-akibat. Proses sinkronik diabaikan sehingga iteraksi antar unsur dalam satu sistem diabaikan. Ini tidak terjadi jika sejarah menggunakan perspektif antropologi dalam studinya (Kartodirdjo 1993). Artinya, baik antropologi dan sejarah bisa saling belajar dan memperkaya.

Sejarah bisa belajar dari antropologi tatkala menautkan sebuah peristiwa sejarah itu dalam dunia makna yang melibatkan interaksi antara subyek sejarah dan realitas yang dihadapinya. Peristiwa itu tidak cuma menjadi kejadian biasa saja, namun memiliki “nyawa“ yaitu bagaimana manusia menyaksikan dan mengalami peristiwa tersebut. Sementara antropologi bisa belajar dari sejarah dalam hal mengungkapkan genealogi atau asal muasal dari realitas sosial di masa kini. Antropologi bisa menelusuri dinamika hari ini bukan sebagai sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit, melainkan merupakan kontinuitas dari sebuah proses sejarah yang panjang hingga hari ini.

Salah seorang antropolog yang banyak membahas isu sejarah ini adalah Clifford Geertz (1990)i. Baginya, pendekatan antropologi kerap menantang pendekatan sejarah karena penekanannya pada hal yang “biasa-biasa” saja dalam pemahaman kebanyakan sejarawan. Pendekatan antropologi yang memandang hal-hal remeh-temeh (mundane), biasa-biasa, serta keseharian (everyday life) --misalnya sabung ayam (cockfight), uang mahar (dowry), pembantaian babi-- yang dianggap bergerak menjauh dari “isyu-isyu yang mengguncangkan dunia” sebagaimana sering dibahas para sejarawan yaitu para kaisar, raja, pemikir, ideologi, kelas, kasta, maupun revolusi. Masih kata Geertz, hubungan dua ranah ilmiah ini dulunya jarang akur. ii

Penjelasan Geertz ini hanya bisa dipahami ketika melihat situasi sebelum tahun 1970-an, tatkala masyarakat masih heterogen dan batasan ilmiah masih sedemikian ketat. Namun seiring gelombang post-modernisme yang menerabas tembok ilmiah, maka batasan tersebut perlahan mengabur. Para sejarawan mulai berpaling pada hal-hal yang bersifat mikro. Tidak semua sejarawan tertarik membahas hal-hal yang makro dan narasi besar. Kian memudarnya pandangan positivistik yang berhasrat untuk menjelaskan sesuatu secara umum, menyebabkan sejarawan mulai tertarik dengan hal yang kecil dan sudut pandang rakyat biasa dalam satu perubahan sejarah.iii

Batas antara the self dan the otheryang dalam pahaman sains positivistik dibedakan secara tegas-- perlahan mulai mengabur. Ketertarikan pada “the other” yang selama ini tidak dianggap penting oleh sejarah menyebabkan mereka mulai menggunakan berbagai pendekatan antropologi untuk mengamati peristiwa. Antara sejarah dan antropologi kemudian saling belajar dan mengispirasi sehingga banyak yang menilai kalau dua ilmu ini sesungguhnya bisa digabung menjadi satu.

Pendapat ini dikemukakan oleh Evans Pritchard (1963). Puluhan tahun silam, Pritchard mengeluarkan pernyataan yang provokatif tentang penggabungan antropologi dan sejarah. Pritchard mengatakan, “Anthropology must choose beetwen being history and being nothing. History must choose beetwen being social anthropology or being nothing“ (antropologi harus memilih antara menjadi sejarah dan tidak menjadi apa-apa. Sejarah juga harus memilih antara menjadi antropologi sosial, ataukah tidak menjadi apa-apa). Pernyataan ini dikemukakannya setelah melihat fakta adanya banyak konvergensi antara pendekatan antropologi dan sejarah. Kedua disiplin ini sama-sama membahas tentang hal-hal yang detail dari satu masyarakat. Baik antropologi maupun sejarah sama-sama membahas hal-hal yang unik dan ideografis dari suatu masyarakat. Ada dua isu penting yang hendak dikemukakan antropolog ini. Pertama, tidak ada satu tatanan sosial yang bisa dianalisis secara memadai tanpa melihat dinamika internal dari tatanan tersebut. Kedua, komunitas yang selama ini dikaji para antropolog telah mengalami pergeseran dan terintegrasi ke dalam masyarakat yang lebih luas dengan dinamika sejarah yang lebih kompleks. Meskipun Pritchard tidak menganalisis isu ini dengan memadai dalam etnografinya, namun ia sudah membawa satu diskusi teoritis tentang reunifikasi dari dua bidang ilmu yaitu sejarah dan antropologi.

Saya sepakat dengan pernyataan Pritchard tentang dinamika internal dari suatu masyarakat. Jika selama ini sejarah banyak fokus pada penceritaan kejadian atau peristiwa, maka antropologi justru banyak mengamati bagaimana peristiwa tersebut ditempatkan pada konteks sosial yang lebih luas, bagaimana suatu kejadian diletakkan dimaknai oleh subyek yang menyaksikan kejadian itu. Dinamika sosial dan interaksi antara aktor dan struktur ini adalah ranah kajian antropologi. Hanya saja, dinamika itu bisa dipahami tatkala kita menarik mundur ke belakang dan merunut ulang bagaimana asal muasal dari dinamika tersebut. Menarik mundur ke belakang ini adalah sumbangsih berharga dari disiplin ilmu sejarah. Ilmuwan sejarah memiliki metodologi yang cukup canggih untuk menganalisis semua fakta dan sumber sejarah. Mereka sanggup memilah-milah mana fakta dan sumber sejarah. Namun saya tidak bersepakat dengan Evan Pritchard mengenai pernyataan provokatifnya tentang penggabungan antropologi dan sejarah. Saya tetap memposisikan keduanya sebagai hal yang berbeda. Jika sejarah tetap menekankan bagaimana peristiwa serta kejadian di masa lalu, maka antropologi menjelaskan dua hal: (1) bagaimana masyarakat memahami dan mengkonstruksi sejarahnya. (2) Bagaimana pengkonstruksian tersebut bisa dipertahankan dalam kebudayaan. Jadi, tetap saja tidak ada isu metodologis tentang penggabungan tersebut.

Penelitian yang hendak saya dilakukan dengan perspektif antropologi, meskipun di sana-sini terdapat pengayaan data sejarah. Data sejarah itu digunakan untuk mendapatkan kedalaman historis atas gejala yang hendak saya saya amati. Tanpa kedalaman historis itu, maka saya akan kesulitan untuk menjelaskan apa yang menyebabkan para korban PKI itu mengalami trauma, serta ketakutan hingga kini. Konsep yang relevan dalam kajian ini adalah konsep kesejarahan. Kesejarahan adalah bagaimana warga lokal memaknai sejarahnya serta dinamika yang ada dalam stuktur internalnya.iv Saya memandang kesejarahan sebagai cara-cara bagaimana orang Buton memberi makna pada sejarahnya sendiri serta bagaimana mereka mempolakan pengetahuan itu secara kultural. Pemaknaan itu dilakukan berdasarkan ingatan-ingatan atas dinamika masa silam, baik ingatan yang bersifat pasif (diwariskan), maupun ingatan yang bersifat aktif atau ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa kini. Historisitas bukanlah sejarah. Saya melihatnya sebagai “rasa sejarah”, semacam pembalikan dari sejarah yang lebih banyak berisikan himpunan kejadian di masa silam yang dijerat dalam naskah baik naskah lokal, maupun naskah yang tersimpan di Universitas Leiden, Belanda. Kesejarahan adalah sesuatu yang hidup dalam benak seseorang dan pengetahuan itu menjadi landasan bagi pembentukan identitas, serta strategi pada berbagai situasi sosial.

Kartodirdjo (1993) mengatakan, kesejarahan melekat pada wawasan sejarah. Memandang sesuatu berdasarkan wawasan sejarah berarti menyorotinya bukan sebagai keberadaan (being) tetapi sebagai sesuatu dalam proses menjadi (becoming), sehingga disini akan ditonjolkan aspek kontinuitasnya. Asumsinya adalah ada kesinambungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Namun pandangan ini berbeda dengan pahaman sejarah dari Foucault yang selalu melihat diskontinuitas (patahan) dalam sejarah. Saya pun menemukan diskontinuitas ini tatkala orang Buton selalu mengingat peristiwa kejayaan, namun di saat bersamaan hendak melupakan episode yang paling terpuruk dalam sejarahnya sendiri.

Bagi saya, kesejarahan adalah semacam parodi dari sejarah, yang di dalamnya tak ada ketepatan dalam mencatat tanggal atau tahun-tahun kemudian mengurai suatu kejadian. Jika sejarah mencatat mereka yang sudah meninggal dan menjejaknya melalui teks, maka kesejarahan justru tersimpan pada benak mereka yang masih hidup (living people) dan bisa diurai dengan dialog serta pengamatan yang detail. Dinamika politik di tahun 1969 itu dimaknai sebagai bentuk kekalahan atas kontestasi dengan sejumlah kekuatan lain seperti militer, pergolakan internal, serta para pendatang selatan. Peristiwa itu dianggap sebagai satu rantai yang menjelaskan mengapa hari ini orang Buton seakan-akan tenggelam di pusaran sejarah. Mereka memaknai kejadian itu adalah awal dari masa kelam serta nestapa yang membangkitkan pengalaman traumatik bagi mereka hingga hari ini.

BELUM SELESAI

Filsafat Perang dalam Film Red Cliff 2


SAYA menempatkan film Red Cliff 2 karya sutradara John Woo sebagai salah satu film laga yang hebat. Meski film ini dipecah menjadi dua episode karena saking panjangnya, tetap saja tidak mengurangi antusiasku untuk menontonnya. Saat berada di Makassar, saya memutuskan untuk nonton karena penasaran dengan lanjutan kisahnya.

Film ini berlatar Cina kuno, pada periode konflik antara kekaisaran yang korup dengan para bangsawan yang mengepalai kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Cina. Ketika konflik kian membuncah, maka peperangan menjadi bahasa terakhir yang sama-sama dikumandangkan. Perang seolah menjadi jalan satu-satunya untuk menegakkan ego serta menunjukkan supremasi. Soal nyawa yang setiap saat melayang, seakan menjadi tidak penting lagi. Meskipun pasukan berpatahan dan gugur satu per satu, semuanya seakan tidak ada harganya

Cina adalah negeri yang terobsesi dengan persatuan. Apapun akan ditegakkan demi persatuan, meskipun harus dibayar dengan harga yang mahal yaitu peperangan di kalangan sesama saudara. Obsesi persatuan itu sudah ada sejak masa kekaisaran hingga kini. Makanya, ketika beberapa hari lalu saya membaca berita The Strait Times bahwa Cina masih tak rela lepasnya Taiwan, maka itu adalah refleksi dari obsesi persatuan yang berurat-akar dalam sejarah bangsa Cina sejak masa silam.

Nampaknya, film Red Cliff 2 hendak memotret kecamuk konflik dalam peperangan tersebut. Ketika persaudaraan tidak bisa bertaut dan diakomodasi dalam etika bernegara yaitu kesediaan menerima fakta bahwa hanya ada satu orang yang layak menjadi kaisar, maka peperangan menjadi jalan keluar. Masalah kian mencuat ketika tindakan seorang kaisar melanggar hak asasi orang lain. Tangan besi sang kaisar untuk menegakkan persatuan dan wibawa kekaisaran adalah ancaman bagi keluarga bangsawan lainnya dan menjadi sinyal yang memantik perang.

Film Red Cliff 2 adalah kisah tentang peperangan berlangsung laksana air bah yang menjebol sebuah bendungan. Ribuan pasukan saling berhadap-hadapan, mengatur siasat, serta taktik apa yang akan ditempuh demi mengalahkan yang lain. Dalam perang kolosal semacam itu, posisi individu menjadi angka-angka. Orang berbicara berapa banyak pasukan, berapa banyak korban, serta bagaimana menghadapi pasukan yang banyak itu. Manusia menjelma ke dalam angka statistik yang sesungguhnya tak adil.

Saya cukup menikmati film ini yang seakan hendak mengajarkan bahwa sebuah strategi ulung sangatlah penting untuk memenangkan perang. Fim ini bisa dipandang tafsir dramaturgi Erving Goffman; bahwa seperti halnya sebuah panggung, maka perang bersenjata adalah panggung depan saja. Di balik itu, ada siasat, serta sejumlah aktor dengan berbagai latar belakang yang saling berkontestasi. Kehebatan di arena perang hanyalah tampakan luar dari kecerdasan sejumlah aktor di balik layar yang menggerakkan pasukan laksana menggerakkan bidak catur.

Di balik arena peperangan itu, sesungguhnya ada ketenangan serta kejernihan memandang kekuatan sendiri, kekuatan lawan, hingga bagaimana mengubah keadaan terpojok menjadi kemenangan. Di situ juga ada sikap heroik seorang pemimpin yang selalu membakar semangat anggota pasukan sehingga semuanya seia-sekata dengan semangat melambung tinggi untuk menetak lawan dan membawa pulang kemenangan.

Ketenangan dan kejernihan itulah yang menjadi senjata paling pamungkas. Saya kira, ajaran ini dipengaruhi maestro strategi perang Sun Tzu yang menulis buku klasik The Art of War. Kehebatan Sun Tzu karena melihat perang bukan sebagai adu otot dan strategi. Perang adalah arena kontestasi strategi. Kemenangan hanyalah buah dari strategi yang matang dan terukur di medan laga.

Pandangan khas Sun Tzu ini tidak cuma diaplikasikan di medan pertempuran saja, namun merambah ke berbagai aspek dalam hidup, termasuk bisnis. Hidup adalah arena peperangan terus-menerus dengan yang lain sehingga pemenangnya adalah mereka yang bisa membaca dirinya dengan baik, membaca orang lain, serta membaca tanda-tanda semesta. Sun Tzu menyebut perang adalah seni kehidupan, bukannya sains. Makanya, sebagaimana lazimnya seni, hidup juga bukan soal memang-kalah, namun seberapa pandai kita dalam menyiasati dinamika serta pergolakan tantangan yang kita hadapi secara terus-menerus. Seberapa peka kita dalam membaca posisi kita di semesta raya.(*)


Makassar, 27 Januari 2008



Berangkat Wisuda

TANGGAL 29 Januari mendatang, saya akan berangkat wisuda ke Jakarta. Mama dan Atun akan ikut menemani saya di acara wisuda di Balairung Universitas Indonesia (UI). Setelah wisuda nanti, saya akan berhadapan dengan dilema yang sering dihadapi mereka yang baru lulus. Saya harus cari kerja biar bisa merencanakan kapan akan segera berumah tangga. Barangkali setelah itu, saya juga harus punya rencana dan target yang lebih realistis bagaimana menjalani hidup. Mungkin, saatnya menjalani hidup dengan jadwal yang diatur ketat.

Baliho Caleg yang Mengganggu Pemandangan

TAK adakah cara lain untuk memasarkan diri selain hanya melalui baliho? Pernahkah para caleg berpikir bahwa ribuan baliho di pinggir jalan telah mengganggu pandangan banyak orang termasuk saya? Saya tak berhenti menanyakan itu. Pertanyaan itu mencuat ketika menyaksikan ruang-ruang Kota Makassar yang dipenuhi baliho.

Tampaknya baliho menjadi satu-satunya strategi dalam memasarkan diri di arena politik. Politisi kita belum bisa merumuskan strategi lain untuk mengenalkan diri selain dari baliho, kalender, stiker, serta kartu nama. Perhatikan pula pesan-pesan yang ada di baiho itu. Nampaknya, semua pesannya bernada sama yaitu pesan yang itu-itu saja. Apakah tak ada pesan lain yang lebih unik?

Banyaknya baliho itu membuat saya bosan dan malas melihatnya. Malah, saya merasa pandanganku terganggu. Bukannya maskin cerdas dengan politik, namun saya jadi makin bosan karena baliho itu sudah terlalu banyak. Saya pernah membincangkan ini dengan mamaku. Dia bilang, jika terlalu banyak minum susu, maka biasanya kita jadi bosan atau eneg dengan susu tersebut. Demikian pula dengan baliho. Semakin banyak melihat baliho, kita bisa makin bosan. Kita bosan diberi janji untuk kesekian kalinya. Bosan diberi iming-iming. Bosan diberi harapan secara terus-menerus, serta bosan diberikan makanan yang itu-itu terus. Bosan deh...


Tak Ada Basis Massa Ril bagi Caleg

TAK ada satupun calon anggota legislatif (caleg) yang punya basis ril. Masyarakat saat ini kian pandai membangun strategi politik. Semua caleg yang datang, pasti akan diterima dan diberi pernyataan dukungan politik. Mereka nampak ramah dan memberi dukungan, namun di bilik suara, tak ada yang bisa memastikan siapa yang akan mereka dukung. Saat di bilik suara, mereka punya kemerdekaan untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki.

Masyarakat bisa saja mengecoh dan berpretensi seolah mendukung seorang caleg. Namun di belakang itu, mereka hanya mengincar duit sang caleg tersebut. Jika seorang caleg punya banyak strategi dalam memikat masyarakat, maka demikian pula dengan masyarakat. Mereka juga punya banyak strategi untuk memperdayai sang caleg. Mereka juga bisa membangun resistensi atau perlawanan secara kultural terhadap sang caleg dengan cara seolah mendukung, tetapi ternyata tidak mendukung. Masyarakat bukanlah obyek semata untuk dibodohi. Mereka juga sekaligus sebagai subyek yang berhak menentukan bagaimana dirinya ke depan serta bernegosiasi dengan seorang politisi.

Pandangan yang melihat bahwa masyarakat kerap dibodohi politisi ataupun pemerintah, tidak selamanya benar. Masyarakat adalah subyek yang punya tabiat perlawanan sendiri-sendiri. Ketika mereka memperdayai seorang caleg, mereka sedang menunjukkan pada sang caleg bahwa setiap orang mesti punya posisi tawar yang kuat kepada masyarakat sehingga populer dan kemudian dicoblos. Masyaratak punya kecerdasan yang sifatnya praktis dan kemudian memberikan pilihan-pilihan strategis bagi mereka untuk bertindak.

Ketika mereka sedang memperdayai caleg, maka itu adalah refleksi dari budaya politik instant yang didukung sang caleg. Mungkin, mereka hendak memberi pelajaran bahwa menjadi pahlawan kesiangan sungguh tidak enak. Menjadi pejuang rakyat adalah kesediaan untuk menemani dan mengawal dinamika masyarakat secara intens pada tiap saat, bukan hanya saat jelang kampanye.(*)



Kafe Tenda Ataukah Karaoke Tenda (Ekspedisi Kendari 6)

SAAT berkunjung ke Kendari Beach --sebuah kawasan yang dipenuhi pedagang kaki lima dengan panorama menghadap laut--, saya melihat banyak kafe tenda yang menjajakan minuman sarabba serta ubi goreng. Namun, di saat malam berkunjung ke situ, ternyata bukan cuma kafe tenda saja yang ada di situ, namun ada juga karaoke tenda. Seingatku, karaoke tenda seperti ini sudah pernah saya saksikan di kota lain yaitu Kota Ternate. Ternyata, di Kendari ada juga tempat usaha sejenis.

Mungkin banyak di antara anda yang bertanya, apakah gerangan karaoke tenda tersebut? Baiklah... Saya akan jelaskan secara singkat. Karaoke tenda itu adalah tempat untuk bernyanyi yang tempatnya berbentuk tenda kecil. Di dalam tenda itu, ada perangkat televisi, lampu remang-remang, serta bilik-bilik yang hanya ditutupi kain. Ini pemandangan yang menarik bagiku.

Di kota-kota seperti Jakarta, saya sering ke tempat karaoke, berupa kamar-kamar yang eksklusif, ada komputer di mana kita bisa memilih lagu yang secara otomatis berhubungan dengan televisi besar yang menayangkan lagu pilihan kita dan selanjutnya kita bernyanyi di ruang kedap suara.

Tetapi di Kendari, karaoke bisa juga disajikan di tenda-tenda kecil. Peralatannya hanya televisi, sound system serta bilik-bilik dari kain. Saya membayangkan jika saya yang menyanyi di situ dengan suara yang cempreng ini, pastilah banyak yang tutup telinga. Malah, bisa jadi ada burung melintas yang langsung tewas ketika mendengar suaraku. Hehehe...

Sebagaimana lazimnya tempat karaoke, maka di depan Karaoke Tenda itu juga nangkring sejumlah gadis-gadis dengan dandanan menor. Artinya, seorang pelanggan tidak cuma menyanyi saja, namun bisa juga transaksi seks dengan sang gadis yang menunggu di depan tenda itu. Malah, bisa juga ketika menyanyi dalam tenda, ada juga aktivitas lainnya di situ. Semuanya tergantung pada sang pelanggan. Karaoke tenda itu hanya tampilan luar saja. Kita tak benar tahu apa yang terjadi di dalamnya. Mau coba? Takut ah....(*)


Gadis Cantik Kota Kendari



“Kak.... kakak harus mau menerima pemberianku,“ katanya kepadaku. Ia merajuk. Manja. Ia menggenggam tanganku, seakan-akan tak rela jika aku hendak pergi jauh. Kami dipisahkan oleh samudera selama beberapa purnama. Akhirnya, hari ini aku menemuinya di satu kafe di Balkon Square, dekat tempat billiard yang paling banyak ditongkrongi anak muda di Kota Kendari. Kafe ini tak jauh dari rumah sakit Provinsi Sultra, yang didepannya berdiri megah Mes Buton.

Lama nian tak melihat wajah manisnya. Lama nian tak melihat senyum lesung pipi di wajah itu. Kini, dalam kunjunganku yang singkat, aku akhirnya bertemu dengannya di situ. Hari ini ia berdandan dengan begitu berani. Punggungnya terbuka dan bukit kembar di dadanya hanya ditutupi sebuah kain mirip kemben yang diikat tali kain menggelung lehernya yang putih. Bahunya juga putih dan ada semacam bulu-bulu halus menutupi tengkuknya. 

Ia memakai rok merah selutut hingga menampakkan kakinya yang seksi. Ia sungguh cantik hari ini. Tubuh yang putih dan mungil itu ditutup kain yang tetap menampilkan keseksiannya. Saat kami memasuki kafe ini, semua pasang mata menyaksikan kami. Mereka menatapnya dengan tatapan bagai sedang menatap bidadari. Sementara kepadaku, banyak pria yang iri karena aku bisa menggandengnya, menggenggam jemarinya dengan erat seakan pernyataan terbuka bahwa gadis ini adalah milikku.


“Mengapa kamu mau kerja seperti ini?“ tanyaku saat duduk di kafe itu. Jujur saja, meski rentang perkenalan kami sudah terbilang lama, aku masih saja suka curi pandang melihat pakaiannya yang mini dan menampakkan keseksian tubuhnya.

“Apakah pekerjaan ini salah? Apakah ada harapan untuk kehidupan keluargaku di sana?“ tanyanya dengan mata mendelik. Aku terkesima melihat indah bibir dan matanya. Aku ingin mengecupnya, namun niat itu kuurungkan karena banyak yang akan menyaksikan kami di situ. Saat ini, aku hanya bisa terpaku. Aku tak tahu bagaimana menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam sesaat sambil memainkan jemarinya yang dingin di tanganku.

***

Bunga namanya. Lengkapnya Bungawali. Kami bertemu dalam satu perjumpaan yang tak terduga ketika aku singgah di satu tempat di Kabupaten Konawe Selatan, sebuah tempat yang berjarak puluhan kilometer dari kota Kendari. Sebagai peneliti lepas yang banyak mengamati fenomena kemiskinan, aku menyaksikan realitas hidup yang menggiriskan di daerah itu. 

Pertanian yang semestinya bisa menyangga kehidupan masyarakat, terjerembab dalam duka lara ketika harga pupuk meninggi dan masuknya beras dari negeri lain. Profesi petani di Konawe adalah profesi yang identik dengan kebodohan dan kemelaratan. Petani identik dengan kemiskinan sebab tak kuasa memasarkan berasnya dengan harga tinggi. Pertanian yang menghampar di Konawe Selatan, Konawe Utara hingga Lasusua di Kolaka Utara, tidak lagi menjadi cermin kesejahteraan.

Pertanian yang menghampar itu adalah cermin dari banyaknya kemelaratan yang menghadirkan sedih, nestapa dan duka karena sering mengelus dada ketika panen gagal atau berasnya tidak laku di pasaran.

Aku bisa merasakan sedih yang tak terungkapkan itu. Namun, sebuah keluarga petani yang tinggal di dekat bukit mengajarkanku bagaimana berdiri tegak di tengah sulitnya keadaan. Aku diajak makan di rumah petani yang begitu sederhana dan beratap rumbia serta dinding bambu. Kami makan dedaunan serta sedikit nasi. Sang petani memperkenalkanku pada anak perempuannya yang berusia belasan tahun. Anaknya sungguh manis, namun tatapnya sendu. 

Mungkin, anak itu tahu bahwa ia seorang anak petani yang tak boleh banyak berharap. Mungkin pula ia paham bagaimana kondisi keluarganya sehingga ia harus pasrah menerima keadaannya. Kata sang bapak, anak itu akan berangkat ke Kendari untuk bekerja di satu rumah makan.

Hingga beberapa bulan berikutnya, ketika sedang menyusun laporan penelitianku di Kendari, ponselku berdering dan ada suara perempuan yang menyapa. Perempuan yang menyebut namanya Bungawali dan mengajakku ketemu. Ternyata ia adalah anak petani itu. Saya tercengang karena dandanannya sangat beda dengan anak yang kukenal di Konawe. Mungkin suasana kota telah mengubahnya menjadi lebih kenal mode dan kecantikan. 

Ia berdandan layaknya remaja kota kelas atas, ada sapuan produk perawatan kecantikan di wajahnya. Kami jadi makin akrab. Bunga mengajakku untuk diperkenalkan dengan beberapa keluarganya di situ. Bunga tak risih jika berjalan sambil memegang tanganku dan sesekali memelukku. Entah apa yang ada di benaknya tentangku. Namun bagiku, ia tak lebih dari seorang adik saja. Tak lebih.

Ia tak pernah mau menyebut apa pekerjaannya. Suatu hari, aku singgah di satu bar di Tipulu, kawasan kota tua. Saat menuang bir, seorang pria menawarkan seorang gadis manis untuk menemani dan menghiburku. Seorang gadis yang bisa kubawa ke hotel untuk ditiduri. Di bawah pengaruh alkohol, aku menyetujuinya. Bukan untuk ditiduri, aku hanya butuh seorang teman bicara. Ketika gadis itu datang dan menyapaku dari belakang, aku tersentak, namun gadis itu lebih tersentak lagi. Gadis itu adalah Bungawali. 

Ia ingin berlari sekuat tenaga dan lenyap dari tempat itu. Namun tanganku lebih dulu memegangnya. Akhirnya ia hanya bisa pasrah dan bercerita tentang nasibnya yang sedu-sedan. Bapaknya yang meninggal dunia dan hanya mewariskan dua bidang tanah, dengan nilai yang kecil untuk mereka. Ibunya yang berdagang rokok di jalan poros Kolaka-Kendari dengan hasil pas-pasan. Hingga kenekadannya ke Kendari dan menjadi ladys night di satu bar. Aku sedih karena sadar bahwa ia tak punya banyak pilihan. Saat itu aku bersumpah untuk tetap menganggapnya sebagai adik, apapun yang terjadi. Pertemuan itu tak menggugurkan hubunganku dengannya.

***

Tiba-tiba, aku tersentak dari lamunan ketika seorang pelayan membawakan milo dingin ke mejaku. Tanganku masih mengenggam jemari Bunga yang seksi di sampingku. Setelah lama merantau ke Makassar dan Jakarta, kembali aku bisa menemuinya di sini. Meski jauh, aku tetap menjaga hubunganku dengannya. Sesekali kukirimkan uang ketika ia sedang susah. Ini adalah pertemuanku setelah pisah beberapa bulan. Ia tetap seksi dan cantik seperti dulu. 

Sayangnya, hari ini aku melihat rona sedih terpancar di matanya. Ia sedang berduka karena ibunya telah tiada. Ia butuh uang untuk ritual adat mendoakan arwah ibunya. Untungnya, aku bisa menyisihkan sedikit uang untuk membantunya. Melalui telepon, dia bilang tidak mau menerima sesuatu secara gratis. Dia ingin melakukan sesuatu sebagai balas atas apa yang kuberikan kepadanya. Namun apakah yang hendak dilakukannya? Aku penasaran dibuatnya. Pertemuan di kafe ini akan menjawab semuanya.

“Kakak harus mau menerima sesuatu dari saya. Kakak sudah banyak membantu. Saya harus memberi sesuatu. Sesuatu yang satu-satunya saya miliki,“ katanya.
“Saya tidak pernah mengharapkan imbalan. Bukankah kita sangat dekat?” kataku
“Tidak. Kakak harus mau terima balas jasa dari saya. Saya tak mau diganggu rasa tidak enak karena telah dibantu tanpa memberi sesuatu. Please... kak. Ini adalah satu-satunya yang bisa saya lakukan untuk kakak,“
“Baiklah. Saya akan menerima apa yang hendak kamu berikan pada saya. Tapi, tolong beritahu apa yang akan kamu kasih,“ kataku dengan penasaran

Bunga terdiam sesaat. Tangannya lalu memainkan rambutnya yang berwarna hitam dan agak pirang. Sambil menunduk, ia kemudian memegang tanganku dengan pelan. Ia mengelus jariku sambil menggumamkan sesuatu yang mirip bisikan.

“Saya ingin menemani kakak bermalam di hotel. Saya ingin membahagiakan kakak di situ,“ katanya pelan.
“Apa?..... Apa kamu yakin?“ tanyaku dengan terkejut.


Kendari, 19 Januari 2008



Berita Obama Terlampau Berlebihan

INDONESIA rindu pada sosok penyelamat. Politisi negeri ini tidak bisa jadi juru selamat atau jawaban dari rasa rindu masyarakat pada sosok penyelamat yang akan menebas semua kezaliman dan memutus segala duka. Buktinya, pelantikan Obama sebagai Presiden AS ke-44 menjadi isu utama di semua media massa. Saya capek mendengar kalimat bahwa Obama adalah anak Menteng, Obama adalah juru selamat, Obama akan membela Palestina, kemudian menguatkan Indonesia.

Saya bukan dalam posisi menentang semua berita itu. Saya paham bahwa isu itu penting. Saya paham bahwa isu Amerika adalah isu dunia yang membawa pengaruh ekonomi ke banyak negara. Cuma, pemberitaan itu sudah terlalu berlebihan bagiku. Seolah-olah Obama adalah anak Indonesia yang kemudian terpilih sebagai Presiden AS. Sementara Obama sendiri mungkin sudah lupa bahwa dia pernah tinggal di Indonesia. Buktinya, dalam biografinya, ia tak pernah menyebut Indonesia dan kenangannya selama tinggal di situ. Orang Indonesia suka sekali membesar-besarkan sesuatu.

Saya lelah dengan berita di media massa tentang pengaruh Obama pada hubungan Indonesia – Amerika Serikat (AS). Lebih heran lagi karena para pakar negeri ini seolah mengenali siapa saja politisi Amerika. Tadi pagi saya lihat dialog di TvOne. Pengamat komunikasi Effendy Gazali seolah mengerti betul siapa saja yang akan menjadi menteri di kabinet Obama. Dia membahas track record, serta bagaimana harapan pada menteri itu. Seolah dia sekampung dengan sepermainan dengan mereka, sehingga tahu saja apa yang menjadi kebijakan mereka kelak.

Banyak orang yang sesaat bahagia bahwa Obama akan membawa perubahan. Kemarin, saat saya di kapal dalam perjalanan dari Kendari ke Bau-Bau, saya mendengar pembicaraan beberapa orang yang sibuk membahas Obama yang katanya akan menyerang Israel. Masing-masing sibuk memberikan analisis seolah Obama itu Islam dan mendukung Palestina. Lantas, apa hubungannya itu semua dengan kita?

Bagiku, semuanya menjadi hal yang lucu. Banyak orang di negara ini yang seolah mengetahui apa saja isu di kampung orang lain, sementara di negara sendiri, mereka bingung dan tak tahu hendak bagaimana menjawabnya. Isu di negeri kita yang bejibun tiba-tiba saja tenggelam karena sibuk memantau kampung orang lain yang secara ekonomi jauh melesat bagai langit jika dibandingkan dengan kita. Kita sibuk membahas suatu negara yang kesejahteraannya belipat-lipat di atas kita. Sementara negeri kita masih bergelut dengan isu mendasar yaitu masih banyak orang yang mati kelaparan. Inilah ironi kita bersama.

Fenomena Obama adalah fenomena tokoh yang dibesarkan melalui media. Kita tak banyak tahu tentang Obama selain dari apa yang ditampilkan di media massa kita. Makanya, gambaran tentang sosok ini adalah gambaran yang dipengaruhi agenda setting serta citraan yang dibentuk media massa kita.

Selain itu, fenomena Obama adalah fenomena krisis tokoh di negeri ini. Nampaknya, bangsa ini kehilangan idola. Bangsa ini kehilangan tokoh yang bisa menjadi jawaban atas segala masalah yang dihadapi. Bangsa ini rindu dengan mereka yang mendedikasikan hidupnya bagi hidup banyak orang. Kira-kira demikian.(*)



Baliho sebagai Teropong Atas Kuasa dan Politik Dinasti di Sultra (Ekspedisi Kendari 4)

BALIHO menjadi pemandangan umum dan paling banyak ditemukan di seluruh kota-kota di Indonesia, termasuk Kendari. Jelang pemilu, baliho seakan menjadi satu-satunya cara untuk memperkenalkan diri serta kail untuk memancing simpati publik. Para politisi maupun calon politisi nampaknya menyadari betul bahwa di zaman ini popularitas adalah unsur yang paling penting demi memenangkan pemilu. Makanya, publik di negeri ini hanya dipertontonkan kedangkalan dan permukaan semata. Sementara kedalaman dan kejernihan adalah sesuatu yang harus dicari laksana mencari jarum di tengah jerami. Politisi ikut membodohi publik, tanpa mencerahkan. Dan baliho adalah instrumen untuk pembodohan.

Dalam perjalanan dari pelabuhan menuju rumah temanku di Kampus Unhalu, ribuan baliho bergambar calon anggota legislatif (caleg) bertebaran di pinggir jalan. Nampaknya, semua politisi negeri ini punya strategi yang sama: mengandalkan baliho, stiker, serta kalender sebagai satu-satunya cara bersosialisasi. Entah siapa yang memulai, namun baliho menjadi satu-satunya strategi kampanye dan memasarkan diri. Itu sudah jamak di kalangan para politisi maupun ilmuwan politik.

Namun, saat menyaksikan ribuan baliho itu, saya tiba-tiba berpikir lain. Barangkali, baliho bisa menjadi jendela untuk memahami bagaimana kebudayaan dan dinamika politik serta isu-isu yang mendominasi atmosfer politik di satu kawasan. Dengan amatan yang detail pada gambar maupun pesan di situ, maka kita serasa memandang melalui teropong dan melihat secara utuh bagaimana politik dan kebudayaan bekerja secara operasional di benak orang-orang. Baliho menyiratkan pesan dan gambar yang merupakan refleksi atas apa yang terjadi di suatu tempat sehingga direpresentasikan dalam baliho. Artinya, baliho adalah medium representasi dari suatu genangan isu budaya yang mempengaruhi dan dipengaruhi cara pikir masyarakat.

Apa yang tampak dalam baliho di Kendari? Secara sepintas, pemandangan di baliho itu tak jauh beda dengan kota lain. Hampir semuanya, menampilkan potret diri dalam beragam ekspresi dan atribut. Ada yang mengenakan peci, memperlihatkan janggut, hingga pesan-pesan politik. Namun, saya mencatat beberapa hal yang cukup menarik untuk didiskusikan. Saya Cuma bisa merangkum dua hal yang menjadi warna politik di Kendari.

Pertama, banyak baliho yang pesannya biasa saja, namun sang caleg memajang namanya besar-besar demi menampilkan dirinya sebagai bagian dari trah bangsawan Tolaki. Pada masa Orde Baru, isu etnis seperti Tolaki sudah lama punah, namun kembali mekar ketika tatanan politik digeser pada penguatan massa. Ini adalah isu primordialisme yang kian kuat mendominasi politik lokal. Beberapa nama trah atau dinasti yang sempat saya catat adalah Silondae, Abunawas, Porosi, Pedansi, Konggoasa, ataupun Tamburaka. Pada masa silam, dinasti tersebut dulunya mendominasi iklim politik. Nama-nama itu mengisyaratkan kekuatan masa lalu yang punya sejarah emas dan hendak dibangkitkan kembali. Mungkin, cara berpolitik orang Tolaki lebih ke arah oligarki. Mereka berpolitik dalam dinasti, kelompok, ataupun klan. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun melalui dinasti tersebut. Anggota dinasti itu merasa bahwa merekalah yang berhak menduduki posisi penting di politik. Seolah kekuasaan terlahir dan hanya berputar di kalangan mereka. Saya terkejut melihat bahwa anggota dinasti itu cukup banyak yang tampil ke panggung politik. Bahkan, mereka juga mengajak istri, anak, serta menantu, kemudian melekatkan namanya dengan nama dinasti besar tersebut. Namun, saya sendiri tidak terlalu yakin kalau mereka punya massa yang besar. Buktinya, Nur Alam yang tidak berasal dari trah bangsawan, bisa menjadi Gubernur Sultra. Pemilu yang kelak akan menjawabnya.

Kedua, Kendari adalah sebuah kota yang cair dan menjadi ajang kontestasi beragam etnis. Meskipun orang Tolaki adalah bangsa asli yang lahir di situ sejak ribuan tahun lalu, namun politik adalah arena yang membenturkan mereka dengan beragam kekuatan lainnya. Saat ini, peta politik Sultra terbagi dalam geopolitik yang membagi wilayah itu menjadi dua yaitu daratan dan kepulauan. Daratan adalah wilayah Kendari, Kolaka (yang notabene berada di daratan Pulau Sulawesi). Sedangkan kepulauan adalah mereka yang berdomisili di Buton, Muna, serta pulau-pulau lainnya. Gesekan di antara dua kekuatan ini selalu terjadi dan melibatkan begitu banyak kekuatan lainnya.

Fakta bahwa etnis Muna berjumlah sekitar 40 persen dari total penduduk Kendari adalah fakta yang mengejutkan. Ditunjang dengan etos kerja yang tinggi, etnis Muna menjadi kekuatan besar laksana air bah dan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dinamika kekuatan politik di wilayah itu. Apalagi jika digabung dengan Buton, maka orang kepulauan punya kekuatan besar untuk membalikkan situasi. Apalagi, sejarah kursi Gubernur Sultra lebih banyak dipegang oleh orang kepulauan ketimbang daratan.

Apa hal yang bisa dilihat di sini? Bagiku, etnis Tolaki berada dalam posisi terjepit di antara berbagai kekuatan lainnya, termasuk pendatang yaitu Bugis Makassar. Etnis Bugis-Makassar adalah pendatang yang sukses menguasai wilayah ekonomi di Sultra. Orang Tolaki atau orang Kendari dalam posisi terjepit. Ketika Bugis menguasai sektor ekonomi, Muna menguasai dunia politik, maka kontestasi politik di wilayah itu menjadi sukar diprediksi. Jika hari ini Nur Alam jadi gubernur dan orang daratan berkuasa, maka tentulah peta politik di masa depan tidak selalu demikian.(*)


Mudahnya Urus Paspor (Ekspedisi Kendari 3)

PIHAK Imigrasi Sulawesi Tenggara layak mendapatkan acungan jempol. Pengurusan paspor bisa dilakukan hanya sehari dengan biaya yang cukup murah yaitu Rp 400 ribu. Padahal, jika diurus di jakarta, maka waktunya bisa lebih lama dan biayanya sekitar Rp 750 ribu.

Waktu terlama adalah di kota Makassar. Temanku yang urus paspor imigrasi di makassar, bisa sampai dua minggu dengan biaya yang cukup mahal. Padahal, menurut seorang kawan, jika mengacu pada ketentuan resmi, maka biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 200 ribu. Sebagai konsumen, saya tak masalah jika membayar lebih. yang penting adalah ada kepuasan serta pelayanan yang maksimal. Itu saya dapatkan di imigrasi Kendari.(*)


Kampus Unhalu yang Semrawut (Ekspedisi Kendari 2)

SEBAGAIMANA lazimnya di kota lain, maka ada satu universitas negeri di kota ini yaitu Universitas Haluoleo (Unhalu). Kampus seluas 350 hektar menyandang status sebagai kampus terluas di Indonesia timur. bangunannya cukup megah. Namun setelah saya masuk ke kampus itu, saya rasa gelar mentereng kampus terluas itu tidaklah seindah yang dibayangkan. Kampus itu memang luas jika cuma dilihat arealnya. Namun saat masuk ke dalam, kampus itu ternyata tidak dirawat dengan baik. Saya tidak sedang memasuki kampus mentereng, namun memasuki sebuah kompeleks bangunan yang kusam dan membosankan.

Pemandangannya tidak menarik sebagaimana yang saya saksikan pada kampus lain di Makassar atau Jakarta. Suasananya berantakan seperti kapal pecah, mulai dari posisi bangunan yang tidak jelas menghadap ke mana, hingga bangunan yang tidak dirawat. Nampaknya pihak pengelola kampus tidak mau mengeluarkan duit lebih untuk membenahi kampus. Atau mungkin, anggarannya ada, namun raib entah ke mana.

Antara gedung satu dan gedung yang lain dipenuhi rumput liar yang lebat dan meranggas. Pohon dan taman tidak tertata dan menjadi onggokan tumbuhan tanpa perawatan, selera serta cita rasa. Gedung-gedung dengan cat yang terkelupas, parkir yang semrawut hingga hutan yang kotor dengan sampah berserakan di mana-mana.

Saya rasa pendidikan terkait erat dengan etika serta estetika. Pendidikan mestinya melahirkan kebijaksanaan yang terefleksikan dalam tindakan yang bersih, rapi, serta atmosfer yang menunjang untuk belajar dan mengembangkan nalar. Dengan suasana yang seperti itu, saya tak terlalu yakin akan ada transformasi pengetahuan dan akal budi yang intens. Jika saya yang kuliah di situ, mungkin saya tidak betah, dan ingin cepat pulang. Saya tidak betah belajar dalam situasi yang semrawut dan berantakan. Saya merindu ketenangan dan kesejukan yang ditingkahi angin sepoi-sepoi dan udara bersih.

Mungkin pihak pengelola kampus perlu banyak melihat bagaimana pengelolaan kampus sseperti UGM, UI, dan ITB. kampus itu menawarkan atmosfer kenyamanan dan suasana yang kondusif bagi siapapun untuk belajar. Saya kira demikian.(*)


Kota Kendari yang Memanjang (Ekspedisi Kendari 1)


PERJALANAN dari Kota bau-Bau ke Kendari ditempuh sekitar enam jam. Saya menumpang kapal superjet KM Sagori (diambil dari nama pulau kecil di dekat Pulau Kabaena). Sewaktu saya masih kecil, Kendari sangalah jauh bagi kami yang tinggal di Buton. Saat itu, kami harus menumpang kapal kayu dan menempuh perjalanan sekitar sehari semalam. kini, jarak itu menjadi sangat singkat, cuma sekitar enam jam. Tanpa terasa.

Perjalanan itu saya lalui dengan penuh suka cita. Pemandangan sepanjang jalan sungguh indah. perjalanan melalui selat Buton dan diapit dua pulau yaitu Buton dan Muna. Pemandangannya masih sangat alami. Kiri kanan masih bisa disaksikan panorama hijau pepohonan serta belukar. Lautannya juga sangat indah; berwarna biru dan sesekali saya melihat ikan terbang yang melintas.

Kota Kendari adalah kota yang tidak terlalu besar. Meskipun menyandang status sebagai ibukota propinsi, kota ini tidaklah sebesar kota lain seperti Makassar ataupun manado. Secara fisik, kota ini dikitari oleh pebukitan sehingga warga membangun kota secara memanjang. Pebkitan tersebut menyebabkan pengembangan kota hanya satu arah yaitu ujung ke ujung. makanya, jalur mobil angkutan umum hanya satu yaitu dari ujung ke ujung, sebagaimana yang sebelumnya saya sebutkan. Seiring dengan pertumbuhan kota, yang disebut ujung itu terus merentang. Dulunya hanya sampai Mandonga, kemudian Pasar Baru. Kini, yang disebut ujung itu sudah sampai Puwatu, sekitar tiga kilo dari Pasar Baru.

Pendatang yang baru sampai kendari pastilah tak tersesat. Cukup naik satu mobil angkutan, maka anda akan bergerak ke ujung yang lain. jika tersesat, bolehlah bertanya pada sopir atau penumpang lain. Kota ini cukup ramah bagi pendatang.

Penduduk asli kota ini adalah Etnis Tolaki. Ciri khas etnis Tolaki adalah berkulit putih, serta wajah yang cantik seperti wajah khas orang Manado. Namun, jika diamati data statistik, nampaknya bangsa Tolaki perlahan tergencet oleh masuknya banyak etnis lain yang juga perlahan mendominasi Kota kendari yaitu etnis Muna dan etnis Bugis. jumlah mereka sungguh banyak sehingga mempengaruhi peta politik maupun ekonomi di situ. Etnis Tolaki tidak selalu menjadi tuan di negerinya sendiri, sebab terjepit oleh kehadiran etnis lain yang punya spirit atau etos kerja yang lebih tinggi ketimbang mereka.

Tetapi peta politik itu mulai berubah juga. naiknya Nur Alam, seorang pria asal Tolaki menjadi Gubernur Sulawesi tenggara, membangkitkan rasa percaya diri orang tolaki. Mereka mulai sadar hak-haknya dan menuntut kesempatan yang luas. Sayangnya, upaya menuntut kesempatan itu kian tidak rasional sebab mengabaikan aspek kompetensi serta mengabaikan hak-hak para pendatang yang juga datang ke tempat tersebut.

Selama menyusuri jalan-jalan utama kota ini, saya merasa tak banyak terkejut dengan perubahan yang terus tumbuh di kota ini. Di bandingkan sepuluh tahun yang lalu, kendari memang tumbuh, namun bagiku tak banyak berubah. Buktinya adalah saya masih menghafal semua rite perjalanan serta tempat-tempat yang hendak kukunjungi. Jalan-jalan di kota ini tak terlalu ramai dengan kenderaan. Malah, jumlah lampu merah di persimpangan, tidak terlalu banyak. Bagiku, sangatlah menyenangkan menyusuri kota ini dengan kenderaan bermotor sebab tak banyak kenderaan. kita bisa balap-balap semau kita, tanpa takut banyak kenderaan.

Kemarin, saat memasuki kota ini, saya singgah ke toko buku Gramedia. Saya melihat-lihat etalase buku yang tak terlalu banyak, namun cukup untuk memenuhi hasrat membaca masyarakat Kendari. Saya sempat melihat-lihat etalase novel. Sewaktu di Kota Makassar, orang-orang susah mendapatkan trilogi novel Twilight karya Stephenie Meyer. namun di Kendari, novel itu justru melimpah. Novel itu seakan sepi peminat. Kesimpulanku, warga Kendari tak terlalu banyak yang mengikuti trend perkembangan novel terbaru. Buktinya, karya Meyer yang di tempat lain laku keras, di situ justru tidak laku.

Di sini ada mal lainnya yaitu Mal Mandonga. Itupun konsepnya seperti pertokoan besar di mana di dalamnya banyak toko kecil. konsepnya seperti Makassar Trade Center (MTC) yaitu pasar besar yang dikelola mirip mal. Selain Mal Mandonga, hanya ada satu tempat yang juga disebut mal yaitu Rabam mal. Tetapi setelah saya ke situ, ternyata berbentuk seperti plaza atau kompelks ruko. Di situ ada Toko Buku Gramedia serta restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC). Tempat ini menjadi tempat favorit bagi mereka yang ingin merasakan cita rasa Amerika di kota ini.(*)



Tiba di kendari

SAAT menulis pesan ini, saya sedang berada di Kendari. Tadi siang saya tiba di kota ini setelah lelah naik kapal KM Sagori. Besok, saya harus segera menyelesaikan banyak urusan. semoga semuanya bisa lancar.

Semalam Bersama Haji Enal

SEMALAM saya bertemu rekanku sewaktu masih di harian Tribun Timur yaitu Zainal Dalle. Bagiku, Haji Enal --demikian ia disapa-- berbeda dengan sejumlah senior yang lainnya di harian itu.

Ia kebapakan dan mengayomi reporter sebagai saudaranya sendiri. Ia tidak sedang memapankan struktur hubungan kerja, namun sedang membangun hubungan emosional yang kukuh. Makanya, ia sangat memahami apa yang menjadi keinginan para bawahannya. Pribadinya hangat. Ia mudah akrab dengan siapa saja dengan gaya komunikasinya yang cair dan melebur dengan siapa saja. Saya bahagia pernah menjadi anak buahnya.

Enal adalah tipikal jurnalis dengan daya jelajah yang hebat. Ia punya daya tembus sumber yang mantap, serta kemampuan analisis yang sangat mumpuni. Pengetahuannya tentang isu-isu di balik layar politik adalah kelebihan yang jarang dimiliki oleh para jurnalis lainnya. Ketika mendengar ia keluar dari Tribun, saya termasuk orang yang paling menyayangkan kejadian itu. Koran itu sangat rugi melepaskan sosok seperti beliau yang punya insting serta penciuman berita yang handal hingga membuat koran itu melesat bak meteor dalam waku singkat.

Semalam saya bertemu dengannya dalam suasana yang menyenangkan. Kami bertemu di Kafe Cappo, bersama sahabatku Aswan, sesama mantan jurnalis Tribun. Kami saling tertawa ketika mengingat bagaimana kerasnya hidup di bawah deadline. Kami bernostalgia sekaligus saling membagi pengalaman masing-masing. Betapa menyenangkannya bertemu kawan-kawan yang melihat kita sebagai saudara. Tiba-tiba, kita merasa aman dan senang karena persamaan nasib dalam melawan waktu. Enal dan Aswan adalah dua orang terbaik yang pernah kutemui di Makassar.

Malam itu, saya diajak Enal dan Aswan keliling kota Makassar untuk melihat sudut-sudut kota yang menjadi sasaran kampanye para caleg. Kami banyak diskusi. Namun saya lebih banyak mendengarkan Enal. Saat menemani Enal bertemu anggota masyarakat, saya kembali kagum menyaksikannya. Ia kembali menunjukkan gaya khasnya yang menghargai siapapun yang diajaknya berbicara. Ia mengajak seorang supir yang tak bisa baca tulis sebagai sahabatnya di jalan. Sang sopir itu bekerja mati-matian membantunya, namun tetap tak kehilangan sense of humor ketika sesekali mencandai Enal. Di situlah saya melihat betapa luas dan tak bertepinya hati Haji Enal.(*)



Pengalaman Bertemu Ahmadinejad


SAYA merasa beruntung karena pernah menyentuh pipi Ahmadinejad kemudian menyentuh janggutnya. Saya hendak menciumnya, namun tak kuasa karena semua orang di sekitarku hendak menciumnya pula. Namun saya sungguh bahagia karena bisa menyentuh pipi pria yang --konon katanya-- adalah manusia yang paling dibenci Amerika Serikat.

Saya ingin mengisahkannya secara singkat. Suatu hari di tahun 2006, saya ditugaskan seorang redaktur di Palmerah untuk meliput kedatangan Presiden Iran itu di Jakarta. Agendanya cukup padat. Mulai dari menjadi pembicara seminar di UIN Syarif Hidayatullah, kunjungan ke Muhammadiyah, NU, hingga salat Jumat di Istiqlal. Saya tak bisa mengikuti semua acara itu. Saya hanya mencegatnya di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Saya membayangkan suasana keprotokoleran yang ketat seperti halnya ketika Presiden SBY atau Wapres Jusuf Kalla berkunjung. Ketika mereka melintas, maka barisan paspampres akan melindungi mereka dari segala sisi, seolah mereka adalah sosok yang harus steril dari manusia jelata di sekitarnya. Saat itu, saya juga membayangkan ketatnya orang di sekitar Ahmadinejad yang akan melindunginya seperti yang saya rasakan ketika meliput pembebasan Abu Bakar Ba'asyir di LP Salemba. Semua orang sekitar Ba'asyir melarang jurnalis mendekati sosok itu. Ketika sejumlah wartawan bule hendak wawancara, maka para santri yang mengelilingi Ba'asyir langsung berteriak, "Mister.. don't touch..." Dalam hati saya bergumam, siapa sih yang mau nyentuh?'

Makanya, saya agak ogah-ogahan disuruh meliput Ahmadinejad. Namun, semua bayangan itu sontak buyar ketika saya melihat langsung sosok pria itu. Sosok itu tidak seberapa tinggi. Pakaiannya cuma kemeja putih dengan jas lusuh. Ia berjalan diiringi sejumlah orang. Ada yang berpakaian ulama yaitu baju panjang dan penutup kepala seperti Ayatullah Ruhullah Khomeini yang menggetarkan itu. Sementara yang lain berpakaian seperti dirinya. Saya memperhatikan, ia hanya dikawal oleh dua orang muda berusia sekitar 35 tahun. Dua anak muda gagah itu berpakaian jas dan ketika semua orang salat Jumat, mereka tidak ikut salat, namun berdiri di sisi mihrab khatib, kemudian memandang lurus ke semua jamaah.

Bersama para jurnalis lainnya, saya berdiri di sisi kanan masjid. Saya menyiapkan kamera dan beberapa kali memotretnya ketika salat belum dimulai. Masjid Istiqlal luar biasa penuh dengan ribuan jamaah yang datang dari berbagai penjuru Jakarta. Masjid terbesar di Asia Tenggara itu jauh lebih padat di banding biasanya. Saya melihat ratusan anggota FPI ikut salat Jumat sambil mengenakan pakaian khas mereka yaitu baju putih-putih, kopiah putih, serta lambang FPI yang hijau itu. Saya juga melihat ratusan orang yang memakai baju dengan gambar Ahmadinejad atau Imam Khomeini. Malah, ada yang mengenakan baju dengan gambar Imam Husain yang tewas secara mengenaskan di Padang Karbala. Ahmadinejad adalah magnet bagi mereka.

Saya mengira ia akan salat dengan posisi tangan yang tidak bersedekap sebagaimana salat dalam mazhab ahlul bayt. Ternyata ia salat dengan posisi tangan tetap bersedekap sebagaimana para pengiringnya. Usai salat Jumat, saya mengamati bagaimana ia berdoa sembari sesunggukan. Di masjid yang besar itu, pria Persia --yang sebelumnya berprofesi sebagai dosen itu-- bermunajat diiringi bulir-bulir tangis yang lembut turun dari sela-sela matanya. Saya terharu.

Usai berdoa, ia lalu berdiri dan hendak beranjak. Namun ribuan jamaah di masjid itu tiba-tiba berteriak "Allaaaaaahhuuu Akbar....!!!! Allaaaahhhuu Akbar...!!!! Speech....!!! Semuanya histeris dan menyuruh Ahmadinejad berbicara. Masjid itu bergemuruh ketika ribuan suara di masjid itu berteriak menyebut namanya. Saya belum pernah melihat orang-orang histeris menyebut nama seseorang hingga histeris. Jika ini terjadi di Iran, mungkin wajar saja. Namun ini justru terjadi pada sebuah negara yang jaraknya ribuan kilometer dari kampung halaman. Negara yang belum pernah digemparkan oleh revolusi Islam, negara yang tidak merasakan langsung bagaimana para mullah memimpin negeri dengan fatwa yang menggetarkan. Negara yang masih mendambakan ada revolusi yang kemudian memutus sejarah kelam yang digoreskan beberapa rezim di situ.

Saat melihat antusiasme yang meluap-luap itu, Ahmadinejad lalu mengambil mike dan berbicara. Semuanya kembali gemuruh. Ia berpidato dalam bahasa Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sorot matanya tegas saat berpidato dengan sedikit berteriak. Saya tak bisa mendengarkan dengan baik apa kalimatnya. Setiap ia berbicara, masjid itu kembali gemuruh dengan teriakan histeris semua orang-orang yang mengelu-elukannya. Semuanya mengepalkan tangan ke udara sambil meneriakkan Allahu Akbar!!! Hari itu Ahmadinejad adalah bintang bersinar yang seolah menjadi jawab atas kerinduan semua orang tentang sosok sederhana yang mendedikasikan hidupnya hanya di jalan Tuhan demi menerabas kelaliman. Hari itu saya menyaksikan seorang pahlawan yang setiap kata-katanya adalah getar yang dirindukan dengan dahsyat di sanubari mereka yang terbiasa mengenyam nestapa, mereka yang dalam dirinya ada keinginan kuat yang menggebu untuk melihat agama dibumikan dalam semangat perlawanan pada angkara murka. Pria itu seolah suara masa silam yang berani dan menuding mereka di masa kini yang menyimpang dari jalan Tuhan.

Ia berpidato hanya sekitar sepuluh menit. Saya lalu bergerak bersama jamaah dan merangsak maju hendak menyentuhnya. Ia berhenti sesaat dan mengizinkan orang-orang mencium pipi dan menyentuh janggutnya. Ini momen luar biasa bagiku. Saya ikut merangsak hingga menyentuh pipinya. Saya menyentuh janggutnya yang basah karena menangis saat melihat semua orang mendekat. Saya ingin mencium pipinya. Tetapi semua orang di situ langsung memeluknya. 

Segera pengawalnya membawa pria itu keluar dari histeria massa. Ia lalu pergi sambil tak henti melambai. Saya terduduk sambil menciumi tanganku yang tadi menyentuhnya. Di saat Ahmadinejad menjauh, saya terngiang kalimatnya kepada Presiden Bush. Sebuah kalimat yang bergema hingga ke berbagai relung hati. “Tuan Presiden, Tuan mungkin tahu saya seorang guru. Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan [Amerika] dipertautkan dengan nilai-nilai…yang dibawakan Yesus Kristus, nabi perdamaian dan permaafan….” Pria ini bicara tentang ajaran cinta Kristus dan bagaimana ajaran itu seakan lenyap di masa kini. 

Kalimat pria itu menggoreskan sesuatu di hatiku. Ketika ia pergi, semua anggota FPI dan jamaah lainnya langsung berdemonstrasi di Kedubes Amerika. Saya hanya bisa memandangi mereka. Saat itu, saya rasakan ada sesuatu yang basah di pipiku. Ternyata, mataku ikut basah.(*)

Makassar, 11 Januari 2009

Andai Kita di Jalur Gaza

peluru yang sesekali menyalak
Bom atom yang kadang menghujam
mesiu memenuhi udara
ledakan-ledakan yang memberi kejutan
suara derap kendaraan lapis baja
suara-suara misterius bagai hantu yang datang menyapa
masihkah kau bertanya ada apakah gerangan?
ketika sebaris ketakutan menyelinap di terowongan
kengerian membayang di semua wajah
tangis menyayat-nyayat di setiap relung nasib
orang-orang sesunggukan
memandang manusia yang teronggok bagai bangkai
nun di sudut gang kecil di Jalur Gaza
seorang anak membaca doa sambil mengenggam ketapel
kemudian bergegas mengintip tank yang menyerbu..

(Makassar, 11 Januari 2009)

Dara...... Dara..........



Dara.... dara yang mencari di negeri rembulan
dara yang sendiri memandang sunyi
apa yang kau cari dara?
apakah kau mencari setetes cahaya di lautan gelap?
apakah kau mencari keabadian di setiap butir debu?
kenapa tidak kau bungkus semua janji-janjiku,
kemudian bersama kita bawa pulang
bukankah kita pernah berjanji
untuk sama-sama menebas pedang sejarah
menetak segala rintang di depan jalan kita
melepas semua kerikil yang menganggu di sepatu kita
mari kita buka tangan
mari kita langkahkan kaki
bersama kita leburkan
segala yang berdiri kukuh
bagai karang di depan jalan kita...

(disadur bebas dari puisi Chairil Anwar)

My President is Mahmoud Ahmadinejad


HANYA ada satu orang yang saya anggap sebagai presiden yaitu Mahmoud Ahmadinejad. Saya iri hati dengan kesederhanaannya menjalani hidup. Saya iri dengan keberaniannya yang bagai singa menantang Amerika Serikat. Saya iri dengan kecintaannya kepada Tuhan. Bayangkan, di saat iring-iringan kenderaan kepresidenan bergerak maju, ia menghentikannya dengan seketika. Ternyata, ia ingin salat di pinggir jalan karena azan telah memanggil-manggilnya. Duh.. adakah pemimpin seperti beliau di negeri ini?

Ingin Menulis Opini

HARI ini, Makassar seharian hujan terus. Hujannya cukup deras sehingga jika kita keluar rumah dan tak membawa payung, siap-siaplah untuk berbasah-basah ria. Sebenarnya, saya suka hujan, namun saya tak terlalu suka dengan hujan yang terlampau lama. Hujan yang lama membuat semua aktifitaskau jadi terhambat. Saya tak bisa ke mana-mana sebab tidak punya kendaraan sendiri. Saya hanya bisa berdiam di rumah sambil memeluk guling.

Untunglah, hari ini hujan sempat reda selama sejam. Waktu sesingkat itu, saya gunakan untuk segera keluar rumah dan menuju kampus Unhas. Saya aktifkan laptop kemudian mengintip sejumlah situs berita di internet. Saya juga intip imelku dan ternyata di situ ada beberapa imel yang harus dibaca, kemudian di balas. Setidaknya, selama hujan ini saya masih bisa melakukan aktivitas lain.

Melihat situs berita hari ini, tiba-tiba saya merasa tertarik untuk menulis opini. Sudah cukup lama saya tak mengirim opini ke sejumlah media massa. Mungkin inilah waktunya karena saya sudah tidak lagi terbebani dengan beragam rutinitas. Saya ingin menulis dengan beragam tema. Tidak cuma tema politik, namun juga tema budaya, sosial, agama, ataupun isu-isu seperti kekuasaan, jaringan sosial dan banyak lagi. Untuk itu, saya harus lebih sensiti terhadap berbagai isu yang sedang hangat di media massa kita.(*)

Miris di Negeri Baliho

SAYA tak terlalu suka dengan gambaran fisik Kota Makassar saat ini. Saat memasuki kota ini, saya berharap ada pemandangan yang berbeda dengan kota Jakarta atau Depok. Ternyata, semuanya sama saja. Terlampau banyak baliho bergambar wajah dan senyum yang memenuhi atmosfer kota. Negeri ini sudah jadi negeri baliho, negerinya orang-orang yang suka mengumbar janji. Semuanya untuk kekuasaan dan mempertebal pundi-pundi kantong pribadi.

Dalam kunjungan saya selama beberapa hari, ke manapun saya hadapkan wajahku, maka saya akan menemukan baliho bergambar caleg partai politik. Bagiku, semua baliho itu sama saja. Sama-sama mengumbar janji. Terus terang, saya mulai jenuh dengan janji-janji. Saya bosan dengan iming-iming. Di negeri ini, kita sebagai rakyat selalu saja dijanji di berbagai tingkatan. Mulai dari pilkada kabupaten/kota, pilkada provinsi, pemilu DPD, pemilu anggota DPRD kab/kota, hingga pemilu anggota DPRD Provinsi dan DPR RI. Pada semua lini itu, selalu saja ada janji yang diumbar. Selalu ada iming-iming. Selalu ada jual kecap dan teriakan agar orang-orang membeli kecap. Di negeri ini, ada tingkatan kebohongan kepada rakyat. Mulai dari lapis paling kecil hingga lapis yang paling besar.

Semua orang sibuk memasarkan diri, tanpa melakukan sesuatu yang lebih riil sehingga masyarakat mencatat namanya di barisan mereka yang konsisten mengawal idealisme kerakyatan. Semua sibuk dan kita sebagai rakyat haru selalu dibohongi untuk kesekian kalinya. Kita punya daya tahan terhadap aneka kebohongan di semua lini sosial. Ah...Mungkin saya terlalu pesimis, bagiku ajang pemilu adalah arena berbohong secara massal. Semuanya sibuk mengumbar janji dan teriak-teriak "Barang saya yang paling laku dan paling cespleng mengobati masalah sosial." Uppss..... sudahlah. Saya mulai lelah dengan semuanya.(*)


Saya yang Makin Sakit

SEPERTINYA ada penyakit yang bersarang di tubuhku. Saat ini saya tak bisa bekerja terlalu keras. Jika saya melakukan sesuatu dalam waktu lama, maka tubuhku lelah amat sangat. Saya juga tak bisa terlambat makan. Kalau terlambat, maka saya akan sakit kepala yang dahsyat. Saya tak tahu, apa yang bersarang di tubuh ini. Apakah penyakit, ataukah hanya tanda-tanda agar saya lebih fokus dan tidak boleh melalaikan semua kewajiban dari Allah. Mungkin saatnya saya menata ulang semua aktivitasku. Saya juga harus mulai menata ulang sembahyangku.

Ketika Kungfu Menantang Karate




FILM IP Man itu sungguh dahsyat adegan laganya. Dalam hal tata kelahi dan adegan bertarung, film ini lumayan bisa mengisi kekosongan film laga sejenis. Saya selalu suka dengan film-film kungfu seperti genre film Kungfu Master. Pertarungan antar pendekar dipenuhi filsafat dan tindak moral yang menunjukkan tingginya penghargaan pada etika. 

Seorang jago kungfu bukan cuma jago berkelahi, namun juga bijaksana dan cendekia. Inilah yang saya suka dari Kungfu Master. Film IP Man ini bisa mengisi celah kerinduan pada film sejenis. Saya juga selalu suka dengan film kungfu dengan setting tahun 1950-an, ketika Cina dijajah Jepang. 

Pada saat itu, tidak cuma invasi dan penjajahan, tetapi ada pula unjuk kekuatan bela diri, apakah bela diri Jepang yaitu karate dan berhadapan dengan bela diri Cina yaitu kungfu. Dalam genre film kungfu versus karate ini, saya mengenal ada dua film yang paling menonjol yaitu Fist of Fury (yang dibintangi Bruce Lee) dan Fist of Legend (Jet Lee). 

Menurut banyak info, kisahnya diambil dari kisah nyata di Shanghai. Kisahnya tentang pemuda bernama Chen Chen yang hendak balas dendam atas kematian gurunya Huo Yuan Jia. Dalam stau pertarungan yang curang, Huo Yuan Jia, sang jago kungfu tanpa tanding, dikalahkan oleh karateka Jepang bernama Ryuji Akutagawa. 

Chen Chen kemudian menantang orang Jepang yang meracun gurunya itu. Film IP Man tak jauh beda dengan itu. Ceritanya adalah ketika Jepang menjajah Cina dan mengklaim bahwa bela diri Jepang jauh lebih baik dari Cina. Dalam situasi itu, muncullah sejumlah pendekar kungfu yang adu ilmu dengan karateka Jepang. 

Sosok IP Man (diperankan Donnie Yen) adalah pendekar yang di bagian akhir film harus bertanding adu ilmu dengan karateka Jepang. Di sinilah letak serunya film. Adegan perkelahiannya sungguh menarik dan mengingatkan saya pada aksi Jet Lee dalam Fist of Legend. 

Pukulannya keras dan cepat, serta ada kombinasi dengan tinju gaya Jepang. Jika anda suka genre film kungfu, saya rekomendasikan agar nontonlah film ini.(*)

Singgah Karaoke di NAV

PENAT menjalani banyak aktivitas, seorang kawan mengajak saya singgah karaoke di Kelapa Gading. Jangan berpikir bahwa karaoke identik dengan tempat mabuk ditemani cewek dengan dandanan seksi dan belahan dada yang rendah. Tidak. Tempat yang kukunjungi ini adalah semacam rumah bernyanyi untuk keluarga.

Tempat yang kukunjungi cukup bonafid dikunjungi warga kelas atas yaitu NAV Karaoke. Desain interiornya cukup dinamis. Saat masuk ke dalam, sejumlah keluarga sedang antri dan kemudian dipersilakan masuk ke dalam. Setelah kami juga mendaftar dan antri, lima belas menit kemudian, kami dipersilakan naik.

Suasana di dalamnya cukup nyaman. Ada kursi sofa, komputer untuk pilih lagu di sudut ruangan, serta televisi layar datar. Anda tak perlu malu dengan kualitas vokal anda yang seperti kaleng rombeng. Ruangan itu kedap suara sehingga meskipun anda melengking dan berteriak-teriak, dijamin tak bakal ada orang lain yang mendengarnya. Tak akan ada orang terganggu dengan suara anda yang seperti pepesan kosong. Tempat karaoke seperti ini didesain sebagai tempat yang mengalirkan semua stres yang tertampung di benak warga Jakarta. Tempat seperti ini dirancang untuk memenuhi hasrat mereka yang hendak menghibur diri bagai penyanyi panggung, sekaligus melepaskan lelah.

Saya melihat banyak keluarga yang membawa serta anak-anaknya yang kecil. Artinya, tempat itu juga untuk bergembira bersama anggota keluarga yang lain. So, tempat itu bisa dimaknai sebagai tempat melepaskan stres, bisa pula sebagai tempat untuk bergembira bersama keluarga.(*)

Depok, 2 Januari 2009


Wuiihhh..... Plaza Senayan!!!

BUAT anda yang singgah ke Jakarta, sempatkanlah waktu untuk ke Plaza Senayan. Apakah gerangan perasaan anda ketika melihat parade kemewahan di depan mata? Apakah yang anda bayangkan ketika melihat betapa beruntungnya orang-orang yang melintas dan belanja di situ? Apakah anda stres dengan dunia anda yang dibekap kesulitan? Apakah anda hendak bertanya pada Tuhan mengapa harus ditakdirkan sebagai rakyat jelata?

Semua bisa punya kesan dan opini sendiri. Demikian pula dengan saya. Berupa-rupa hal melintas di benakku ketika hari ini saya diajak seorang kawan untuk singgah ke Plaza Senayan. Meski sudah sering ke tempat itu, namun pada setiap kedatanganku, saya selalu takjub dan terkesima. Mal ini tidak seberapa besar. Desain interiornya juga biasa saja dengan gaya gothik ala Eropa barat. Namun, jangan tanya berapa harga barang-barang di situ. Semuanya membumbung tinggi ke langit. Semuanya berkelas. Saya barusan melihat baju kaos seharga jutaan rupiah. Jam tangan Swiss seharga puluhan juta. Saya selalu tak habis pikir, mengapa ada saja orang yang rela antri demi produk semahal itu.

Jangan tanya pula bagaimana penampilan para pengunjungnya. Wuihh!!! Semuanya mencolok mata. Semuanya cantik-cantik dengan busana mahal dan berkelas. Banyak gadis yang menampakkan kakinya yang halus mulus dan wajah sempurna bagai dipahat. Pengunjung mal ini adalah para pesohor, selebriti, serta orang-orang kaya negeri ini yang menikmati kemewahan bagai surga. Mereka sempurna seperti dewa-dewi yang hidup di atas langit dan sesekali turun ke bumi dengan mengendarai Mercedes. Mereka adalah lapis paling puncak yang kaya raya dari piramida masyarakat Indonesia. Mereka adalah lapis beruntung dari sebegitu banyaknya rakyat negeri ini yang harus memelas dari emperen ke emperan untuk mencari sesuap nasi.

Puluhan juta rakyat Indonesia harus mengais rezeki dengan bersimbah peluh, mengencangkan ikat pinggang dan meratapi hari. Sementara mereka yang berkunjung di plaza ini adalah mereka yang menjalani nasib bagaikan surga. Mereka berjalan di mal ini dan menampilkan seluruh kemewahan. Berbelanja dengan tas yang penuh, kemudian mengendarai mobil dengan fasilitas mewah.

Saya hanya bisa terpaku. Menjadi rakyat kecil di negeri ini adalah menjadi bagian dari mereka yang hanya bisa menyaksikan dari pinggiran. Saya ingat cerita kakak saya dari Jepang, bahwa di negeri itu, gaji antara seorang pekerja keras dan bos tidak seperti bumi dan langit. Makanya, kemewahan bisa menjadi milik semua orang yang bekerja keras. Semua berhak menikmati fasilitas dan kesejahteraan. Tetapi di negeri ini, bekerja keras bukanlah satu-satunya jawaban untuk sejahtera. Banyak tukang sapu dan pemulung yang bekerja keras, membanting tulang, namun kehidupannya begitu-begitu saja. Di negeri ini, anda mesti melihat dulu seberapa bagus garis tangan anda, seberapa kaya orang tua dan nenek anda, serta seberapa pandai anda menjaga koneksi dengan banyak pihak. Jika semuanya ada pada diri anda, jangan-jangan anda termasuk mereka yang melenggang di Plaza Senayan.(*)

Depok, 1 Januari 2009