|
Patung Syaikh Abdul Wahid di Lapandewa, Buton Selatan |
Jika saja tak ada dirinya, maka Islam tidak sampai ke Tanah Buton. Syaikh Abdul Wahid adalah penyebar Islam yang datang dari jauh. Pria bernama lengkap Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani adalah legenda.
Dia membawa suluh Islam yang menerangi masyarakat Buton. Dia pun mengislamkan Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto yang bergelar Sultan Murhum. Dia juga mengubah haluan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan yang mengamalkan Islam.
Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara, kini wilayah Nusa Tenggara Timur.
Dia lalu hijrah ke Pulau Batu Atas pada tahun 933H/1526M yang termasuk dalam pemerintahan Buton. Di Pulau Batu Atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh).
BACA: Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton
Imam Pasai menganjurkan Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton untuk menyebarkan agama Islam.
Konon Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto terkenal dengan kesaktiannya dan bisa mengalahkan bajak laut. Karena, beberapa kali Kerajaan Buton coba ditaklukkan para bajak laut demi bisa menguasai perairan menuju Maluku Utara untuk mencari rempah-rempah.
Salah satu kesaktian Lakilaponto adalah kebal senjata tajam maupun peluru dan dia berhasil mengusir Labolontio, bajak laut bermata satu.
Namun kesaktian sang raja tidak seberapa dengan kesaktian Syaikh Abdul Wahid yang akhirnya menjadi gurunya.
Syaikh Abdul Wahid yang terkenal sakti berhasil menjadikan Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto menjadi muridnya. Sang Raja akhirnya masuk Islam yang bergelar Sultan Murhum atau Sultan Muhammad Kaimudin.
Sultan Murhum merupakan Raja Buton pertama yang menerima pengaruh Islam setelah berkuasa lebih kurang 20 tahun. Otoritas dan keteladanan raja memudahkan dijadikannya Islam sebagai agama resmi bagi orang Buton dan Muna.
Saat itu terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama. Sehingga Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis oleh Khalifah Ustmaniyah,
Ketika itu Khilafah Ustmaniyah di Istanbul Turki sebagai pusat pemerintaahan Islam mengakui kedaulatan Kesultanan Buton yang menjalankan secara penuh syariat islam dalam sistem pemerintahannya.
Sampai sekarang masih terdapat beberapa peninggalan Syaikh Abdul Wahid di Kesultanan Buton. Di antaranya adalah Benteng Keraton Buton, yaitu benteng pertahanan yang mengelilingi istana sultan dengan berbagai alat kelengkapannya.
Bermula dari Burangasi
Ada banyak kisah mengenai Syaikh Abdul Wahid saat pertama kali tiba di Burangasi, kini masuk wilayah Buton Selatan. Masyarakat memiliki banyak ingatan kolektif yang dituturkan turun-temurun mengenai ulama ini.
Dia mendarat pertama kali di tanah Burangasi, tepatnya di pantai Rampea. Sang Syaikh menyusuri pesisir pantai untuk mencari penghuni tempat yang baru disinggahinya.
Wali Allah ini berjalan ke arah utara menuju Matano Tai. Di sana, ia bertemu gurunya. Sang guru memberinya nasihat sebelum pergi dan menghilang di tengah deburan ombak.
Syaikh Abdul Wahid terkejut melihat gurunya yang menghilang begitu saja. Bersamaan dengan itu, Al Qur’an yang ia pegang lepas dalam genggaman dan jatuh ke dasar laut. Tempat jatuhnya Al Qur’an itu dikenal dengan nama Tanjung Pemali.
|
Satu sudut pemandangan di Burangasi, Buton Selatan |
Tiba waktu salat, Wali Allah ini segera mengumandangkan azan dengan suara merdu. Seluruh makhluk yang mendengarnya turut berzikir memuji kebesaran Ilahi. Lantunan azan itu didengar La Buntouno, masyarakat Burangasi yang berhari-hari tinggal di hutan karena sedang berburu rusa.
Ketika memasuki waktu-waktu salat, ia diam membisu, menyimak dengan teliti azan Syaikh Abdul Wahid. Sang Pemburu ini terkesima dengan syair-syair azan dan kemerduannya. Hingga suatu ketika, La Buntouno meninggalkan hutan menuju perkampungan warga.
Di tengah perkampungan Burangasi, pemburu itu segera menceritakan apa yang ia dengar.
“Kamaipo agori, ndau o pindongo suara mia bundo. Mia ia haleo baumelamo laguno. Nopilagu lima mpalinga a alo. Laguno wange, nongea labaru.. labaru.. labaru..”
Kepala suku dan masyarakat setempat penasaran dengan cerita sang pemburu ini. Mereka mengutus La Buntouno dan beberapa warga setempat untuk menjemput orang baru yang melantunkan nyanyian merdu itu.
BACA: Kisah Raja Bugis di Pulau Buton
Di hadapan sang Syaikh, La Buntouno memohon agar dia ikut bersama mereka ke perkampungan Burangasi. Namun, Wali Allah ini tak menerima begitu saja. Kedekatannya dengan Allah Ta’ala membuat Syaikh Abdul Wahid tahu, kalau mereka belum tersentuh dengan kemuliaan Islam. Kehidupan masyarakatnya masih lekat dengan sesuatu yang diharamkan Sang Pencipta.
Syaikh Abdul Wahid memberi syarat kepada La Buntouno dan masyarakat lainnya –agar membersihkan kampung mereka dari segala jenis najis dan sesuatu yang diharamkan Sang Pencipta, seperti anjing dan babi.
Karakter masyarakat Burangasi yang mudah menerima hal-hal baru, patut diberi apresiasi. Pasalnya, syarat yang diajukan Syaikh Abdul Wahid dikerjakan dengan penuh kepatuhan. Warga yang memiliki kandang babi segera dirobohkan dan hewan peliharaannya dilepas begitu saja.
Perintah Sang Syaikh sudah dilakukan, La Buntouno diutus kembali untuk memberitahu hal itu. Syaikh Abdul Wahid bahagia dan terharu dengan karakter masyarakat Burangasi yang mudah menerima ajaran baru. Menurutnya, ini adalah awal yang baik untuk memperkenalkan risalah Islam pada mereka.
Beberapa saat kemudian, Wali Allah itu mengarahkan tangannya ke langit. Ia berdoa kepada Allah. Tongkatnya ditancapkan ke tanah. Ia meminta agar diturunkan hujan lebat demi membersihkan perkampungan dari segala bentuk najis yang dilarang oleh agama.
Mengingat, saat itu masyarakat Burangasi menganut kepercayaan agama lokal, maka tentu saja banyak tulang-tulang babi yang berserakan di tengah perkampungan. Beberapa saat kemudian, angin mendesau, petir menggelegar. Hujan turun dengan kekuatan penuh mengguyur perkampungan. Semua tulang-belulang terbawa arus hujan. Perkampungan Burangasi bersih dari tulang-tulang babi.
Sang Syaikh dengan perasaan senang menerima ajakan La Buntouno. Kedatangannya disambut dengan penuh sukacita oleh masyarakat Burangasi. Sosoknya yang berkharisma, tutur kata yang lembut dan budinya yang luhur, membuat Syaikh Abdul Wahid mudah diterima dan langsung berbaur dengan masyarakat setempat.
Setiap waktu salat tiba, Sang Syaikh selalu melantunkan azan dengan suara merdu dan mendirikan salat di atas sebuah batu. Orang-orang menyebutnya Koncu Labatu Puaro. Tentu saja, masyarakat setempat bingung dengan tingkahnya –dan mengira Syaikh Abdul Wahid sedang bersenandung. Anehnya, nyanyian berulang-ulang itu belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Syaikh Abdul Wahid memahami kebingungan masyarakat Burangasi. Tanpa menunggu pertanyaan, Wali Allah ini perlahan menjelaskan tentang ritual yang ia lakukan.
Yang dikira nyanyian itu adalah azan. Sementara gerakan berulang-ulang yang ia lakukan setelah azan adalah salat. Itulah beberapa ibadah yang diperintahkan dalam ajaran Islam.
Penduduk Burangasi takjub dengan penjelasan Syaikh Abdul Wahid. Mereka minta diajari. Dengan bahasa santun dan tutur kata yang lembut, Wali Allah ini menolaknya. Ia menegaskan, sebelum belajar tata cara ibadah dalam Islam, maka terlebih dahulu mereka harus bersyahadat; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Nabi dan utusan Allah.
Masyarakat Burangasi menyanggupi syarat itu. Mereka berbondong-bondong mengucapkan syahadat sesuai panduan Syaikh Abdul Wahid. Tak perlu waktu lama bagi Wali Allah ini untuk mengislamisasi masyarakat Burangasi. Sang Syaikh begitu gembira dan melantunkan syukur kehadirat Allah atas antusias masyarakat untuk mengenal Islam.
Masyarakat Burangasi begitu semangat dalam mempelajari Islam. Realitas itu membuat Sang Syaikh berpikir untuk membangun surau sebagai pusat belajar Islam.
Tak menunggu lama, ia pun memerintahkan masyarakat bergotong-royong membangun surau itu. Penduduk setempat menyanggupi seruannya. Semua sumber daya dikerahkan untuk mempercepat pembangunannya.
Kebahagiaan masyarakat membuncah dalam jiwa ketika menyaksikan bangunan penting, simbol masuknya Islam di tanah Burangasi berdiri kokoh dan gagah berani. Pada zaman dulu, masyarakat setempat menamai bangunan itu dengan ‘Langgara' dan sekarang kita kenal dengan sebutan 'Baruga I Liwu'.
Langgara menjadi tempat Syaikh Abdul Wahid untuk mengajarkan Islam. Karena al-Qur’an yang menjadi pegangannya jatuh di Tanjung Pemali, maka ia mengajarkan Qur'an dan pokok-pokok Islam secara lisan; dari mulut ke mulut. Proses pengajaran Islam secara lisan itu oleh masyarakat Burangasi menyebutnya Kawalimboba. Tak lupa, Syaikh Abdul Wahid juga melakukan sunatan massal untuk menyempurnakan keislaman mereka.
Waktu terus berjalan, matahari dan rembulan silih berganti menyapa semesta. Masyarakat Burangasi perlahan hidup dalam nuansa Islam. Ketika azan berkumandang, mereka berbondong-bondong mendirikan salat berjamaah.
Syaikh Abdul Wahid menganggap perlu ada benteng kokoh yang mengelilingi surau. Pemikiran itu segera diutarakan. Masyarakat setempat menerima usulnya. Tak berselang lama, pembangunan benteng dimulai. Sang Syaikh juga terlibat dalam rancangan dan pengerjaannya.
Saat itu, aktivitas masyarakat mulai terbagi. Di siang hari bekerja membangun benteng. Malam harinya berkumpul di Langgara untuk belajar ilmu agama. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan benteng itu. Setelah rampung, mereka memberinya nama Benteng Duria.
Ajaran Islam mulai mewarnai sendi kehidupan masyarakat Burangasi. Syaikh Abdul Wahid harus melanjutkan perjalanan, menyebarkan syiar Islam ke seluruh jazirah Pulau Buton. Saat itu ia hendak memenuhi undangan Raja Buton yang memintanya memperkenalkan Islam di kerajaannya.
Sebelum pergi, Sang Syaikh mengumpulkan masyarakat Burangasi di Langgara. Ia memberi nasihat dengan penuh hikmah. Semua yang hadir menyimak penuh takzim. Nuansa kesedihan tersaji di Baruga Liwu.
Sebentar lagi mereka kehilangan panutan dengan akhlak terpuji, sosok berilmu tinggi dan cahaya kelembutan yang selalu terpancar di raut wajahnya. Isak tangis mengiringi kepergian Syaikh Abdul Wahid di tanah Burangasi.
Sebenarnya, perasaan itu terbit juga di jiwa Sang Syaikh. Ia merasa, masih ada pokok ajaran Islam yang belum sempat diajarkan pada masyarakat setempat, yaitu hukum dan syarat pelaksanaan akikah.
Namun, utusan Raja Buton meminta Syaikh Abdul Wahid untuk menemui Raja dengan segera. Walhasil, Wali Allah ini menitip pesan pada pemuka adat dalam hal ini Sara Burangasi tentang uang sedekah kurban kambing.
Itulah sebabnya, sejak kepergian Syaikh Abdul Wahid hingga sekarang, masyarakat Burangasi selalu melakukan ritual mata’ano bembe atau akikah, yaitu penyembelihan kambing sebagai pernyataan syukur orangtua atas kelahiran anaknya.
Sebelum meninggalkan Tanah Burangasi, Syaikh Abdul Wahid juga menyerahkan sebilah pisau pada pemuka agama. Pisau itu akan difungsikan pada acara sunatan massal. Dan sampai sekarang, pisau peninggalan Sang Syaikh itu masih ada.
Selain yang disebut di atas, ada juga beberapa peninggalan Sykeh Abdul yang masih lestari hingga sekarang, seperti bendera merah dan putih yang berbeda tiang; keduanya memiliki tiang masing-masing. Dalam pelaksanaan sunatan massal, bendera itu dikibarkan saat melakukan Legoa.
Peninggalan lainnya adalah Sambahea Lohoro. Ritual ini dilakukan pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Para tokoh melakukannya di Ka’ana Nto’owa. Tentu bukan hanya itu, ajaran Kawalimboba yang diwariskan Sang Syaikh juga masih terjaga keasliannya. Meski tak bisa dimungkiri, dewasa ini makin sedikit generasi yang mau mempelajarinya.