pangan lokal di Kupang |
ANDA penggemar ayam goreng ala McD dan KFC
dan berbagai makanan siap saji dari luar negeri? Beberapa waktu lalu, di
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), anak-anak muda justru menggelar kampanye
anti makanan impor seperti KFC dan McDonald. Mereka menggalakkan gerakan
kembali ke pangan lokal seperti ubi dan jagung. Tak disangka, keresahan mereka
adalah potret keresahan warga dunia atas ancaman terbesar di masa mendatang,
yakni ancaman kerawanan pangan.
***
DI dekat Biara Souverdi di Oebofu, Kupang,
anak-anak muda itu sedang menyiapkan beberapa bibit tanaman. Mereka menanam
bibit itu dalam batang pisang yang diletakkan secara melintang. Setelah
menanam, mereka lalu menemui seorang tamu yang datang. Mereka berbagi bibit
tanaman lokal seperti jejawud serta sorgum, dua tanaman khas Nusa Tenggata
Timur (NTT).
Ketika kutemui dua bulan silam, anak-anak
muda yang tergabung dalam Geng Motor Imut itu bercerita tentang kian langkanya
pangan lokal, serta semakin tergantungnya warga Kupang pada berbagai pangan
yang datang dari luar. Mereka juga berbicara tentang beberapa isu strategis
seperti kemiskinan, serta keterbelakangan, juga kelaparan yang semakin mewabah
ketika ketergantungan semakin meningkat. “Kita kehilangan kekuatan utama kita
yakni pangan lokal. Kita mengabaikan kemurahan alam serta kebaikan bumi yang
melimpahi kita dengan sumber makanan,” kata salah seorang dari mereka.
Anak muda itu membuatku tersentak. Di usia
semuda itu, mereka bisa berbicara tentang hal-hal substansial. Mereka memang
unik. Mereka sangat berbeda dengan beberapa remaja yang kutemui di Taman
Nostalgia, Kupang, beberapa waktu lalu. Beberapa remaja itu justru
tersenyum-senyum serta saling meirik ketika kuminta menyebutkan makanan lokal.
Bahkan mereka tertawa cekikikan ketika menyebut ubi, jagung, pisang, ubi kayu,
hingga berbagai jenis kacang tanah. Mereka merasa minder dengan pangan yang
tadi disebutnya.
Pangan lokal memang semakin terpinggirkan
di mana-mana. Di Kupang, pangan lokal mulai terabaikan oleh deru kota yang kian
berderap dan menjadi modern. Saat kutanyakan pada beberapa penduduk, mereka
justru tak tahu apa itu sorgum. Padahal tanaman itu dengan mudahnya ditemukan
di mana-mana. Buahnya sejenis padi, yang lebih banyak di makan oleh burung. Aku
teringat sahabat Maria Loretha di Adonara yang tekun berkampanye agar warga
kembali mengonsumsi sorgum dan tidak menunggu-nunggu beras dari pulau Jawa.
peserta kampanye |
Padahal, tanpa kecintaan pada pangan
lokal, mustahil kita berdiskusi tentang ketahanan dan kedaulatan pangan.
Logikanya, tak mungkin orang Kupang dipaksa membudidayakan sesuatu yang justru
berjarak dengan kultur dan geografis wilayahnya. Tak adil jika orang Kupang
diwajibkan makan beras, padahal wilayah itu tak cocok menjadi areal pertanian.
Melihat tanah tandus dan berbatu di situ, aku berpikir bahwa sejak dahulu,
ladang telah lama menjadi sandaran masyarakat untuk menggantungkan hidup.
Seharusnya, ladang kembali difungsikan, demi menjadi sumber pangan bagi warga.
Sayangnya, potret yang kusaksikan di
Kupang adalah keinginan kuat untuk segera memasuki gerbang modernisasi.
Kapitalisme mulai menari-nari di kota itu. Baru masuk Bandara El tari, aku
menyaksikan banyak restoran fast-food,
serta jajanan yang tidak sehat. Sebagaimana generasi lain di berbagai kota, warga
Kupang sedang gandrung-gandrungnya dengan makanan impor. Warga itu tak
menyadari bahwa di negeri-negeri barat yang dianggapnya hebat itu, pangan lokal
yang dimakannya begitu bernilai, sedangkan fast-food
yang dianggapya hebat itu justru sumber penyakit yang mendera masyaakat di
belahan bumi sana.
Barangkali, pangkal masalahnya terletak
pada citraan tentang apa yang dianggap hebat dan tidak hebat. Demi citraan
hebat serta anggapan lebih beradab itu, orang-orang melakukan banyak hal yang
seringkali justru mengabaikan khasanah yang dimilikinya. Beras dianggap sebagai
pangan kelas atas dan berpunya. Pemerintah pusat menganjurkan masyarakat
setempat untuk mengonsumsi beras. Bahkan, pemberian jatah pangan bagi para pegawai
negeri sipil (PNS) juga berwujud beras, sementara kita sama tahu bahwa PNS
dianggap sebagai lapis sosial tinggi di masyarakat. Ketika PNS diminta
mengonsumsi beras, maka beras dianggap memiliki citraan yang tinggi sebab
identik dengan gaya hidup kelas berpunya.
Walhasil, masyarakat bekerja untuk bisa
membeli beras, bukan lagi jagung atau umbi-umbian. Bahkan pangan lokal sudah
tidak dibudidayakan lagi di kebun-kebun petani. Kebijakan pemerintah yang
menyalurkan jatah beras miskin (raskin) semakin memperparah kondisi ini. Tiap
saat warga ramai-ramai mengantre pembagian beras itu. Mereka lupa bahwa masih
ada lahan yang bisa ditanami jagung atau umbi-umbian. Beras apapun jenis dan
kualitasnya telah menjadi indikator kemakmuran. Sementara itu, generasi sekarang
telah memandang rendah terhadap produk pangan lokal yang dijual di pasar-pasar
tradisional.
Namun beberapa anak muda kreatif di Geng
Motor Imut itu mengingatkanku pada kekhawatiran tentang dunia di masa
mendatang. Sebelum tahun 2050 mendatang, jumlah populasi dunia yang membutuhkan
pangan akan bertambah dua miliar. Bahkan di negara maju sekalipun, krisis pangan
mulai terjadi akibat tidak seimbangnya antara produksi makanan, serta laju
konsumsi yang semakin lama semakin cepat.
Anak-anak muda itu percaya bahwa krisis
pangan bisa dihindari ketika muncul gerakan bersama untuk mengembalikan pangan
lokal sebagai menu utama di meja makan. Pangan lokal harus digalakkan kembali
demi kehidupan yang ebih sehat dan lebih segar. Mengonsumsi pangan lokal juga
sama dengan menguatkan para peladang, petani setempat, serta pedagang lokal
yang justru menjadi urat nadi dari distribusi pangan lokal.
***
HARI itu, sebuah kampanye pangan lokal
digelar di Taman Nostalgia. Penyelenggaranya adalah Oxfam International bersama
sejumlah komunitas reatif di Kupang. Aku menyaksikan pangan lokal dikemas
secara menarik dan dihidangkan kepada semua orang yag hadir. Beberapa mahasiswa
membawa poster-poster yang isinya adalah ajakan untuk mencintai pangan lokal.
"plant locally, eat wisely, live happily" |
Aku teringat pada artikel pada majalah National Geographic terbaru. Melalui
riset yang dilakukan para antropolog dan ahli gizi, terungkap fakta menarik
bahwa bahan makanan yang dimakan manusia purba adalah makanan yang jauh lebih
sehat ketimbang yang dikonsumsi manusia modern hari ini. Mengapa? Sebab manusia
purba lebih banyak makan daging mentah, tidak memakan bahan yang sudah dimasak,
ataupun digoreng. Para ahli dengan mudahnya memperkirakan bahwa pada masa lalu
tak ada penyakit jantung, diabetes, serta kanker yang membunuh sebagian besar
manusia hari ini. Dahulu, orang-orang hidup selaras dan alami bersama semesta.
Tak pelu jauh bertandang ke masa silam.
Silakan bandingkan daya tahan tubuh kakek dan nenek kita yang hidup di
desa-desa. Mereka jauh lebih sehat dan lebih kuat. Dua orang nenekku hidup
hingga mencapai usia 120 tahun. Mereka tak banyak menyimpan rahasia. Mereka
hanya makan seperlunya yang ada di alam, tanpa banyak diolah, serta senantiasa
bekerja keras. Sayang, rahasia sederhana yang diterapkan nenek moyang itu susah
diterapkan di masa kini. Sebabnya sederhana. kita terlampau gengsi untuk
kembali ke pangan lokal. Hiks.