berpose di pemandian E'e yi nunu (foto:Rajab Wandaka) |
Rajab membelakangi kamera |
berpose di pemandian E'e yi nunu (foto:Rajab Wandaka) |
Rajab membelakangi kamera |
sumur umum di Linsowu, Buton Utara |
BENTUK kuburan di Kulisusu (Buton Utara) tidak jauh berbeda dengan di tempat lain. Namun ada hal unik yang kutemukan saat mengamati banyak kuburan di
Dupa yang diletakkan di situ bahannya adalah sabut kelapa yang kemudian dibakar hingga mengeluarkan asap tebal. Di tengah asap tebal tersebut, maka keluarga akan berdoa. Biasanya, doa yang dipanjatkan adalah zikir menyebut nama Laa Ilaaha Ilallah atau membaca surah Yasiin. Semuanya doa diambil dari khasanah Islam, namun tradisi memanjatkan doa tersebut bukanlah tradisi Islam. Artinya, ada semacam sintesis atau eklektisme di dunia ke-Islam-an Buton Utara.
Warga setempat masih yakin kalau dupa adalah elemen penting yang mempengaruhi apakah doa tersebut akan didengar oleh Allah ataukah tidak. Tradisi ini agak aneh bagiku. Islam tidak punya syariat yang merekomendasikan keberadaan dupa dengan asap mengepul sebagai prasyarat berdoa.
Namun, di Kulisusu, tradisi itu benar-benar dipegang teguh sehingga semua kuburan pasti punya dua buah piring di atasnya. Saya menduga, ini adalah pengaruh dari tradisi animisme lokal yang sebelumnya sudah lebih dulu ada dibandingkan Islam. Ternyata, kehadiran Islam di Kulisusu, tidak lantas menenggelamkan semua tradisi lokal. Islam mengalami sintesis (percampuran) dengan tradisi lokal sehingga dua-duanya hidup bersamaan.
Ikhwal tentang bagaimana proses membakar dupa di piring ini, akan saya ceritakan pada kesempatan yang lain.(*)
KULISUSU adalah daerah yang menyimpan banyak cerita mistik dan horor. Warga setempat masih percaya dengan semua cerita hantu sehingga punya banyak kosa kata untuk menyebut setan atau hantu. Mulai dari onicu, kandole, seetani, jini, onicu ngkowulu hingga popoka. Setan masih punya tempat tersendiri yang cukup menakutkan bagi warga setempat. Kekuatan mistik masih punya pengaruh besar di tempat ini.
Waktu kecil, saya sempat melihat buku agenda pamanku yang saat itu kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Ternyata, isi agendanya adalah berbagai mantra untuk menghadapi berbagai setan mulai dari mantra menghadapi onicu, kandole, dan banyak lagi. Pantas saja pamanku itu belum dapat kerja sampai sekarang. Ternyata benaknya penuh dengan cerita horor berbagai setan tersebut.
Terkait mistik ini, saya penasaran dengan cerita tentang sebuah kampung bernama Lantagi. Menurut beberapa warga Kulisusu, Lantagi adalah tempat paling misterius dan angker. Selain karena banyaknya setan, penduduk kampung tersebut juga sangat aneh dalam artian menutup diri dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Perkampungan ini agak jauh dari Kulisusu. Butuh perjalanan sekitar dua jam untuk menjangkau lokasi tersebut. Saat motor melintas di kampung ini, semua penduduk langsung menutup pintu rumah dan mengintip dari dalam. Apakah penduduknya pemalu? Mungkin. Menurut orang-orang, penduduknya agak malu bila melihat orang asing yang singgah ke kampungnya. Meski sudah memasuki milenium baru, namun Lantagi masih seperti di abad kuno. Penduduknya ketakutan bila melihat bunyi asing termasuk motor, makanya mereka mengisolasi diri. Menurut banyak warga, penduduk Lantagi belum lama pindah ke perkampungan. Sebelumnya mereka tinggal di dalam satu gua yang sangat besar dan sanggup menampung semua warga kampung itu.
Hal yang mencengangkanku adalah penduduk itu pindah ke perkampungan nanti tahun 2000. Artinya, selama ini mereka masih berdiam di gua dan menjalankan aktivitas di dalam gua tersebut. Letak gua tersebut, sampai kini masih menjadi misteri sebab warga Lantagi tidak mau menunjukkan di mana letak guanya dulu. Bahkan, pemerintah sudah berusaha dengan berbagai cara agar warga Lantagi menunjukkan guanya, namun mereka tetap tidak mau menunjukkannya. Mungkin warga setempat khawatir kalau banyak pihak yang tahu gua tersebut, maka akan berkunjung ke gua tersebut sehingga menghilangkan sakralnya tempat tersebut. Semua hal tersebut, membangkitkan rasa penasaran dalam diriku. Warga Kulisusu yang sempat kutanyai juga mengatakan warga Lantagi terkenal cantik dan berkulit putih. “Wanitanya putih mulus karena jarang melihat matahari. Sayangnya, mereka pemalu dan langsung menutup pintu bila ada motor yang datang,” kata temanku.
Barangkali, perlu semacam riset kualitatif dalam waktu lama untuk bermukim di kampung tersebut, kemudian mencari tahu di mana letak gua milik warga Lantagi tersebut. Butuh upaya live in atau masuk ke dalam pengalaman mereka sehingga nantinya akan ditunjukkan di mana posisi tempat yang paling misterius tersebut. Tantangan besar berada di pundak peneliti untuk menyingkap misteri Lantagi.(*)
JIKA anak kecil di Kota Jakarta dibesarkan dalam iklim penuh kecemasan dari orang tuanya, maka tidak demikian dengan anak kecil di Desa Lowu-Lowu, Kota Bau-Bau, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Mereka diizinkan bermain di laut dan berenang sejauh mungkin, tanpa diawasi dengan ketat oleh orang tuanya. Semua anak kecil itu mencengangkanku sebab menjadi perenang ulung di usia yang masih sangat belia. Tak hanya menjadi perenang ulung, mereka juga sanggup menangkap ikan besar, satu kemampuan yang tak semua orang dewasa sanggup melakukannya.
Awalnya, saya sempat meragukan kemampuan renangnya. Namun, sebuah koin yang kulemparkan ke lautan di dermaga kecil kampung itu, langsung disambut anak-anak itu. Mereka langsung menyelam hingga sedalam 10 meter, kemudian naik ke atas dan memperlihatkan koin itu. Luar biasa!!! dalam usia semuda itu, mereka sudah sanggup menaklukan lautan sambil tertawa-tawa seolah lautan tak punya sesuatu yang sanggup membuat mereka meringis. Anak kecil itu begitu bahagia dengan dunianya. Mereka sedang menikmati hari, tanpa harus dijejali dengan segala ketakutan menatap masa depan. Sekali lagi, Luar Biasa!!!
23 Februari 2008
HARI ini, saya berkesempatan menyaksikan acara ritual Bongkaana Tao di Lowu-Lowu, satu desa kecil dalam wilayah Kota Bau-Bau. Perjalanan ke sama cukup jauh melelahkan sebab menyusuri pesisir pantai. Jika menggunakan kenderaan bermotor, maka ditempuh dengan waktu sekitar 40 menit. Bersama beberapa teman yaitu Dambo, Epri, Nas, dan Lulu, kami pergi ke
Secara harfiah, Bongkaana Tao berarti membongkar tahun. Saya tak paham apa kaitannya dengan acara tersebut. Namun menurut seorang penduduk, acara tersebut merupakan pesta panen dan ritual menolak bala (bahaya). Menurut penduduk tersebut, akan ada upacara melabuhkan sesajen ke lautan sambil berdoa agar segala bencana bisa lenyap dan hilang di lautan lepas.
Awalnya, saya tak begitu tertarik. Namun, ketika mendengar penjelasan tersebut, saya langsung tertarik. Saya penasaran karena hal ini bukanlah merupakan tradisi Islam. Barangkali, ini adalah tradisi yang sudah hidup sejak masa pra-Islam di Buton. Kehadiran Islam, tidak lantas menenggelankan tradisi ini begitu saja. Namun justru tetap dilestarikan dengan sejumlah modifikasi di sana-sini. Misalnya bacaan mantra diganti dengan bacaan yang ada dalam kitab Al-Quran. Suatu sintesis antara Islam dengan tradisi lokal yang sudah berabad-abad lamanya bertahan.
Saat saya tiba di lapangan dekat pasar Lowu-Lowu, penduduk sudah mulai bersiap-siap menggelar pesta adat tersebut. Di tengah lapangan itu telah berdiri tenda dan di bawahnya dipasang karpet yang memanjang. Di atas karpet tersebut, sudah dipasang begitu banyak nampan yang ditutup dengan penutup berwarna merah. Dalam bahasa Buton, penutup tersebut bernama Panombo. Di atas nampan yang ditutup panombo tersebut, diletakkan berbagai jenis makanan mulai dari lapa-lapa (semacam ketupat, namun bentuknya memanjang), cucuru (kue cucur), serta lauk-pauk.
Hal paling menarik yang kusaksikan adalah semua nampan tersebut, ditunggui gadis-gadis dengan pakaian adat yang sangat indah. Dalam khasanah kebudayaan Buton, tradisi ini disebut pekande-kandea atau makan-makan. Biasanya, pekande-kandea dilakukan untuk menyambut tamu penting atau dilakukan saat pesta panen. Teknisnya adalah gadis cantik berpakaian adat tersebut, akan menyuap tamunya yang hendak mencicipi makanan di situ. Ritual ini tidak sekedar menyambut tamu, namun juga menjadi ajang di mana muda-mudi bisa bertemu dan saling melirik. Saya menduga, di masa lalu tidak banyak ajang untuk mempertemukan muda-mudi sebab sang pemudi harus menjalani pingitan (posuo). Ajang semacam pekande-kandea ini menjadi ajang show bagi pemudi untuk menunjukkan dirinya di tengah orang banyak. Orang tuanya seakan memperlihatkan kepada banyak orang bahwa putrinya sudah dewasa dan sudah layak dipersunting.
Kembali ke ritual Bongkaana Tao. Mulanya saya menyangka bentuk acara tersebut adalah pekande-kandea saja. Ternyata, anggapan saya keliru juga. Ritual pekande-kandea adalah penutup atau akhir dari ritual Bongkkana Tao. Awalnya adalah acara baca doa di atas sebuah sumur, kemudian menggotong sesajen ke laut untuk dilepas begitu saja.
Saya penasaran juga ingin menyaksikannya. Namun selama sejam saya tiba di situ, acara belum digelar. Kata penduduk setempat, mereka masih menunggu kedatangan Walikota Bau-Bau Drs Mz Amirul Tamim. Kata penduduk, dulunya acara tersebut harus dihadiri Sultan Buton, maka sebagai penggantinya adalah Walikota. Ternyata, pergeseran sistem pemerintahan dari kesultanan menjadi Republik
Sesajennya berbentuk perahu dan di haluan terdapat kayu berbentuk kepala buaya, sedangkan di bagian buritan atau belakang perahu sesajen tersebut, terdapat patung ekor buaya. Menurut hikayat, dahulu di dasar sumur itu berdiam seekor buaya yang sakti sehingga sumur itu dianggap keramat. Hingga satu saat, buaya tersebut lenyap kemudian ada warga yang seakan mendapatkan wangsit agar setiap tahun diadakan ritual di sumur tersebut agar membuang sial dan mendoakan semua warga agar selalu bahagia dan bertambah rezekinya. Warga yang mendapatkan wangsit itu, selanjutnya menjadi pemimpin doa. Hingga bertahun setelah dia meninggal, posisinya akan digantikan oleh keturunannya.
Saya sempat mengintip apa isi sesajen. Ternyata, di situ ada makanan berupa lapa-lapa, telur, dan lauk-pauk. Usai melihat isi sesajen itu, seorang moji datang membawa tempat dupa, kemudian acara itu dimulai. Mereka lalu membakar dupa di kemenyan lalu sama-sama berdoa. Doa disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa
Usai berdoa, mereka lalu mengusung sesajen tersebut, kemudian membawanya ke laut. Mereka lalu berjalan menuju ke dekat lapangan tempat pekande-kandea, lalu ke dekat laut dan melepaskan perahu sesajen tersebut secara bersama-sama. Pada saat itu, saya melihat anak-anak kecil yang mandi di laut itu, langsung mengejarnya. Mereka berlomba mendekati sesajen tersebut, kemudian memperebutkan isinya. Perahu kecil berisi sesajen tersebut langsung karam setelah terlebih dahulu isinya diperebutkan oleh anak-anak tersebut. Seluruh warga yang menyaksikannya langsung tertawa dan bertepuk tangan. Saya beruntung karena sempat merekam moment penting tersebut.
Selanjutnya, saya menuju lapangan tempat acara pekande-kandea. Seluruh warga duduk pada posisi yang berhadapan dengan nampan dan gadis-gadis yang menjaganya. Setelah selesai acara basa-basi seperti sambutan dari walikota (kok selalu ada acara ini sih?), selanjutnya adalah acara makan-makan. Saya langsung bergerak cepat. Ikan besar yang sudah dibakar sudah ada di atas piringku. Sambal dan lalapan juga kusambar, selanjutnya tinggal mengambil dua buah lapa-lapa. Kubayangkan makan ikan seperti ini di
14 Januari 2008
AKHIRNYA, berangkat juga saya bersama ibu ke Buton Utara. Empat hari berada di Kota Bau-Bau cukup melelahkan dan rindu dengan nuansa petualangan baru. Rasa kesal karena sehari sebelumnya gagal berangkat, langsung sirna dan berganti semangat. Kami naik mobil jenis kijang yang sesak dengan penumpang. Idealnya, jumlah penumpang hanya sekitar 10 orang, namun penumpang mobil ini mencapai sekitar 25 orang. Kelihatan betul, sang sopir ingin memaksimalkan jumlah keuntungan sehingga tempat tas di mobil, juga diisi penumpang.
Buton Utara merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Muna. Kabupaten ini terletak di sebelah utara Pulau Buton dengan wilayah yang cukup luas. Potensinya sangat beragam. Sayang, potensi itu tidak bisa dikelola dengan maksimal karena kebijakan Pemkab Muna yang agak diskriminatif terhadap mereka. Praktis, selama puluhan tahun berdiri, kabupaten ini seakan hanya berdiri di tempat dan tidak beranjak jauh. Pantas saja, jika masyarakatnya seakan berontak dan ingin segera membentuk kabupaten baru bernama Buton Utara.
Untuk sementara, ibu kota kabupaten baru ini berlokasi di Kulisusu, tempat kelahiranku. Jarak Bau-bau ke Kulisusu hanya sekitar 180 kilometer. Mestinya, perjalanan ke sana tidak begitu jauh dan melelahkan. Berhubung karena kondisi jalan yang rusak parah, maka perjalanan ini menjadi begitu berat. Perjalanan melewati sejumlah daerah seperti Bungi, Ngkaring-Ngkaring, Kapontori hingga beberapa desa di sepanjang perjalanan seperti Kakenauwe hingga Kambowa. Jalanan yang paling rusak parah kita temui setelah melewati Kakenauwe. Bahkan, pada satu ruas jalan yang rusak berat dan harus mendaki, sopir meminta agar penumpang pria untuk turun dan selanjutnya berjalan kaki hingga ke atas bukit. Kemudian, mobil itu berjalan pelan meniti jalan rusak parah tersebut.
Sebelum melintasi daerah yang rusak parah tersebut, sopir menghentikan kenderaan dan singgah di satu warung. Sebagian besar penumpang ikut turun dan singgah mengisi perut pada satu warung yang ada di situ. Saya dan ibu juga turun. Saat itu, saya melihat sejumlah anak Sekolah Dasar sedang melintas di depan sekolah dalam keadaan tidak mengenakan sepatu.
Saat melihatku yang hendak memotret, mereka langsung tersenyum. Beberapa di antaranya tunduk tersipu, sedang lainnya langsung berlarian. Menurutku, ini fenomena yang menarik. Di tengah parade kemewahan anak sekolah di perkotaan yang kadang menenteng handphone ke sekolah, masih banyak anak kecil yang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu. Di depan sekolah itu, saya juga melihat sejumlah anak kecil yang sedang bermain bola kasti. Mereka berlari dan saling mengejar dengan gesit. Mereka sangat riang gembira dan selalu bersorak-sorai. Mereka tertawa saat beberapa siswa terjatuh ketika sedang mengejar bola. Sementara anak yang jatuh, segera bangkit lagi kemudian tertawa-tawa. Mereka bermain dengan penuh kegemberiaan, tanpa ada rasa khawatir. Mereka juga sangat berani, tanpa memikirkan banyak resiko. Aku juga menyaksikan beberapa anak yang memanjat pohon tinggi tanpa rasa takut.
Dunia anak-anak di sini adalah dunia yang ceria. Mereka lepas dan bebas sebebas burung merpati, tanpa harus dicekam dengan persaingan atau ambisi orang tua yang menginginkan anaknya kelak memenangkan semua persaingan itu. Anak kecil di desa itu tidak dibebani dengan sejumlah les tambahan mulai dari bahasa Inggris hingga piano, yang kesemuanya hanya untuk memuaskan dahaga orang tua yang menginginkan anaknya kelak unggul dalam persaingan. Padahal, dunia anak adalah dunia ceria dan kebebasan. Dunia itu terpancar pada sorot mata anak kecil di satu desa di Kakenauwe, yang terletak nun jauh di pedalaman Pulau Buton.
Saat mengagumi anak tersebut, sopir memanggil semua penumpang. Saya dan ibu bergegas dan masuk ke dalam mobil yang bergerak lambat karena medan jalan yang rusak parah. Setelah sekitar satu setengah jam, mobil tiba di Kambowa. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menumpang speedboat dengan jarak tempuh sekitar satu setengah jam. Kami melewati beberapa kampung Bajo, yang semua rumah penduduknya didirikan di atas laut, demikian pula dengan sekolahnya. Saya sempat memotret beberapa rumah penduduk serta sekolah yang didirikan di kampung tersebut. Hingga akhirnya, saya tiba di Kulisusu dan selanjutnya dimulailah petualangan baru.(*)