Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Negeri Seribu Pemandian (Ekspedisi Buton Utara 7)

berpose di pemandian E'e yi nunu (foto:Rajab Wandaka)

TANYALAH kepada warga setempat di mana tempat wisata di daerah ini, maka akan terdengar cerita banyaknya tempat pemandian yang alami dan sangat indah. Beberapa kali saya tanyakan hal ini kepada warga, jawaban yang saya dengar adalah tempat pemandian yang eksotis dan bertebaran di sepanjang Buton Utara. Berbagai pemandian dengan beragam karakteristik diceritakan warga yang saya tanyai. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa warga lokal punya konsepsi bahwa wisata identik dengan tempat pemandian. Dan Kulisusu adalah negeri dengan seribu tempat pemandian.

Tentang banyaknya tempat mandi ini menimbulkan keanehan di benakku. Bagiku, daerah ini sangat kecil, namun kenapa penduduknya justru sangat menyenangi wisata ke pemandian? Pertanyaan itu akan saya jawab nanti, seiring dengan kian serunya penjelajahanku di daerah ini.

Hari ketiga di Kulisusu, saya habiskan dengan mengitari beberapa tempat wisata tersebut. Setelah singgah di Masjid Agung Keraton Kulisusu, saya langsung jalan-jalan ke desa bernama Bone yang artinya pasir. Sebelum mencapai Bone, saya melewati sejumlah desa seperti Lipu, Linsowu, dan Rombo. Desa Bone dijangkau melalui perjalanan selama setengah jam dari Kulisusu. Desa ini berhadapan dengan laut dan sangat indah. Lanskap berupa pasir putih dan rumah-rumah warga terlihat rapat dan menarik disaksikan. Jalanannya tidak diaspal, namun sangat mulus ketika dijalani.

Bersama seorang kawan bernama Rajab, yang disapa Duude, saya melintas di desa ini dalam perjalanan menuju tempat pemandian yaitu E’e yi Ngkapala. Secara harfiah nama ini berarti Air yang di Dalam Kapal. Saya menyaksikan tempat ini dan berdecak kagum. Pemandian ini berupa telaga yang terletak di tengah karang. Bentuknya seperti kapal batu dan di dalamnya ada tempat pemandian. Airnya sangat jernih dan kita seakan bisa bercermin di situ. Air itu terletak di tengah gugusan batu, sehingga ketika berenang dan tidak hati-hati bisa menabrak batu karang. Kolam ini tidak begitu lebar, namun sangat nyaman. Dikelilingi batu besar dan pohon rindang, membuat kolam ini sangat menarik untuk dijadikan tempat wisata. Ada dua telaga besar yang berdekatan di pemandian ini, namun hanya satu yang menjadi tempat pemandian. Telaga yang dijadikan pemandian itu sangatlah indah. Saya sempat berfoto di situ. (tampan yaaa…?)








Menurut warga setempat, telaga yang satu lagi tidak aman karena ada buayanya. Setelah saya perhatikan, telaga yang satu tidak layak dijadikan pemndian karena airnya tidak begitu jernih. Batu karang menutup rapat pergerakan air sehingga tidak mengalir. Saya tidak begitu yakin ada buaya di telaga yang satu situ. Namun telaga itu posisinya tidak begitu aman dijadikan tempat mandi karena batu-batu curam mengelilinginya. Saya menduga, cerita buaya itu disebarkan penduduk agar anak kecil tidak mengambil resiko mandi di tempat yang tidak begitu aman tersebut.

Puas menyaksikan E’e yi Ngkapala, syaa pindah ke tempat pemandian yang terletak tidak jauh dari situ. Namanya E’e yi Nunu. Secara harfiah berarti Air yang di Dalam Beringin. Di beri nama demikian, sebab di sekitar air tersebut, terdapat pohon beringin yang sangat besar sehingga suasananya sangat teduh. Ada tangga kayu untuk turun mencebur ke kolam tersebut. Jika tidak hati-hati turun di situ, maka bisa tercebur di kolam yang dingin. Dengan penuh kehati-hatian, saya turun di tangga tersebut, kemudian berfoto. Pemandangan di sini harus saya abadikan supaya kelak menjadi catatan tersendiri bahwa saya pernah singgah ke tempat ini.

Setelah menyaksikan E’e yi Nunu, saya lalu pulang bersama temanku Duude. Kami berjalan memutar dan melewati kampung bernama Kampo Entaa. Secara harfiah bermakna Kampung Tinggi karena letaknya yang agak tinggi dari permukaan laut. Kehidupan penduduknya sangat miskin. Rata-rata rumahnya berbentuk panggung dan sangatlah sederhana. Pada beberapa rumah yang terbuka, saya bisa melihat bahwa tak ada satupun perabotan di situ, kecuali kasur yang sudah lapuk serta gambar kumal artis sinetron. 

Menurut Duude, warga Kampo Entaa dikenal masih percaya praktik perdukunan. Ada banyak cerita mistik yang sering dituturkan di daerah ini. Katanya, baru-baru ini kampung ini heboh karena ada warganya yang menikah dengan jin. Dalam bahsa setempat, jin itu disebut Ata Molai (budak yang lari). Saya menduga, ata molai itu semacam orang bunian atau bangsa yang menghilangkan dirinya karena tidak mampu membayar pajak kepada Belanda. Bapakku punya banyak cerita tentang mereka sebab punya pengalaman tinggal di dekat hutan waktu kerja di pabrik aspal di Pasarwajo, Buton. Menurut cerita bapakku, jumlah orang bunian cukup banyak dan memilih jadi jin atau siluman karena tak mau bayar pajak kepada Belanda. Namun, di hari-hari tertentu, mereka akan datang ke Pasar Bau-Bau untuk membeli garam. “Biasanya, mereka memakai baju merah dan hanya mau beli garam,” cerita bapakku.

Rajab membelakangi kamera

Sepulang dari E’e yi Nunu, saya hendak singgah ke E’e yingkineke. Secara harfiah E’e Yingkineke bermakna tempat yang digali. Menurut warga, pemandian ini terletak di dalam gua yang cukup besar dan gelap. Di dalam gua itu, terdapat tangga-tangga sehingga jika hendak ke telaga harus hati-hati agar tidak jatuh. Warga yang hendak mengambil air di situ, harus membawa obor agar bisa menerangi jalannya. Sayangnya, saat singgah ke situ saya tidak berani masuk ke dalam gua. Menurut warga, gua tersebut agak licin di musim hujan. Saya sih sebenarnya berani saj masuk ke situ. Namun, temanku Duude agak khawatir karena tempat itu banyak makan korban. Jangan sampai, kami jadi korban berikutnya. Hiii……..

Masih banyak tempat pemandian lainnya. Mulai dari membuku, moloku, dan satu tempat misterius yaitu Lantagi. Semuanya menantang untuk dijelajahi. Cukup sampai di sini saja yaaa….(*)


Ereke, Februari 2008




Sumur Umum sebagai Pusat Aktivitas (Eksp Buton Utara 6)

sumur umum di Linsowu, Buton Utara

DI banyak tempat di Buton Utara, sumur masih menjadi pusat aktivitas bagi warga. Tiadanya fasilitas air minum dari pemerintah, membuat semua warga masyarakat beraktivitas di sumur. Di sini, ada beberapa sumur tua yang diperkirakan sudah berumur lebih dari 100 tahun. Di antara sumur yang legendaris di situ yang paling populer adalah E’e Bula dan E’e Mataoleo. Masing-masing punya legenda dan riwayat tersendiri. Saya beruntung sebab bisa langsung menyaksikan E’e Bula dan memotretnya.

Sedangkan E’e Mataoleo masih menjadi legenda buat saya. Warga Kulisusu punya cerita yang selalu diceritakan turun-temurun tentang E’e Mataoleo ini. Menurut warga, di sini pernah ada cerita tentang tragedi La Nda’u. Tersebutlah kisah tentang seorang pemuda bernama La Nda’u. Pemuda ini hidup sezaman dengan nenek saya (andai masih hidup kira-kira umurnya sama dengan Soeharto yaitu 90 tahun). Di zaman itu, sumur Mataoleo sudah menjadi aktivitas semua warga setempat, termasuk gadis-gadis. Semua warga beraktivitas mandi, mencuci, memandikan ternak, hingga mengambil air minum di sumur itu. Nah, di tengah keramaian itu, La Nda’u kerap menunjukkan aksi-aksi heroik yang mendebarkan saat berada di sumur. Misalnya berjumpalitan di atas sumur, bergelantungan dengan hanya satu tangan, atau pura-pura jatuh di sumur, namun masih memegang pinggiran sumur.

Setiap kali La Nda’u salto, warga –khususnya gadis-gadis—langsung menjerit tertahan dan memanggil namanya. Namun, bukannya keder atau kapok, semua teriakan itu justru kian menambah nyali La Nda’u untuk mencoba berbagai aksi heorik. Ia semakin semangat melakukan aksi akrobatik. Tak dihiraukannya larangan dari banyak orang. Baginya, teriakan gadis-gadis adalah energi yang memompa semua pergerakannya. Teriakan gadis-gadis ibarat teriakan histeris suporter sepakbola atau suporter basket. La Nda’u serasa menemukan kebahagiaannya di tengah teriakan tersebut. Hingga suatu hari. Nahas seakan menyapanya hari itu ketika pegangannya terlepas. La Nda’u jatuh ke sumur yang sangat dalam itu. Ia langsung tewas setelah kepalanya hancur. Ternyata, teriakan histeris gadis-gadis bisa menjadi bencana baginya. Sejak kejadian itu, La Nda’u menjadi legenda yang diceritakan turun-temurun untuk siapapun yang sok aksi saat berada di sumur. Rupanya, larangan tersebut cukup efektif. Sebab semua anak-anak yang mendengar kisah La Nda’u langsung ketakutan.





Itu cerita tentang sumur Mataoleo. Tentang sumur E’e Bula, saya nelum tahu apa legendanya. Yang jelas, sumber air ini sangat populer. Sumur ini terletak di bawah benteng keraton. Saat menyaksikannya, ternyata sumur itu sangat dalam. Menurut warga, jika kita memasukkan timba yang cukup besar, maka saat tiba di dasar sumur akan kelihatan seperti sebuah titik kecil. Ternyata, pandangan itu benar juga. Saya menyaksikan langsung bagaimana dalamnya sumur itu. Pada saat saya singgah ke sumur ini, saya melihat banyak warga yang sedang menimba air ataupun mencuci di situ. Jumlah timba di sumur itu tidak begitu banyak, makanya mereka harus antri. Di saat antri tersebut, mereka lalu bercengkerama dan tertawa-tawa saat menceritakan sejumlah gosip di kampung itu. Sementara para pemuda menggunakan ajang itu untuk berkenalan dengan gadis yang ditaksirnya. Bagi anak-anak, moment menunggu antrian itu digunakan untuk bermain-main dengan sesamanya di sumur.

Intinya adalah sumur itu sangat penting sebab menjadi pusat aktivitas. Sumur menjadi unsur yang memediasi semua pertemuan warga. Sumur menjadi titik awal serta titik akhir dari semua aktivitas dalam sehari. Sumur juga menjadi pusat komunikasi di mana semua orang bisa bertemu dan membahas berbagai hal secara bersama-sama. Sumur menjadi tempat yang mengukuhkan solidaritas dan gotong-royong di kalangan warga. Pada saat bersamaan, sumur itu menjadi tempat merajut kembali benang-benang jaringan sosial serta menautkan banyak hubungan di kalangan warga lokal. 

Saya membayangkan, andaikan sumur itu kehilangan fungsi, dalam artian masyarakat mulai percaya pada sistem air modern seperti ledeng, pastilah solidaritas dan gotong-royong itu akan mengabur dengan sendirinya. Jika itu terjadi, warga akan mulai bersikap individual dan tidak lagi memperdulikan yang lain. Sebab mereka kehilangan sumur yang telah menautkan solidaritasnya.(*)



Dua Piring di Atas Kuburan (Ekspedisi Buton Utara 5)


BENTUK kuburan di Kulisusu (Buton Utara) tidak jauh berbeda dengan di tempat lain. Namun ada hal unik yang kutemukan saat mengamati banyak kuburan di sana. Ternyata, rata-rata ada dua buah piring di setiap kuburan di Buton Utara. Saya agak heran dan beberapa kali bertanya pada orang-orang sekitar, apa makna keberadaan dua buah piring di atas kuburan. Ternyata, piring tersebut menjadi tempat menaruh dupa saat berdoa.

Dupa yang diletakkan di situ bahannya adalah sabut kelapa yang kemudian dibakar hingga mengeluarkan asap tebal. Di tengah asap tebal tersebut, maka keluarga akan berdoa. Biasanya, doa yang dipanjatkan adalah zikir menyebut nama Laa Ilaaha Ilallah atau membaca surah Yasiin. Semuanya doa diambil dari khasanah Islam, namun tradisi memanjatkan doa tersebut bukanlah tradisi Islam. Artinya, ada semacam sintesis atau eklektisme di dunia ke-Islam-an Buton Utara.

Warga setempat masih yakin kalau dupa adalah elemen penting yang mempengaruhi apakah doa tersebut akan didengar oleh Allah ataukah tidak. Tradisi ini agak aneh bagiku. Islam tidak punya syariat yang merekomendasikan keberadaan dupa dengan asap mengepul sebagai prasyarat berdoa.

Namun, di Kulisusu, tradisi itu benar-benar dipegang teguh sehingga semua kuburan pasti punya dua buah piring di atasnya. Saya menduga, ini adalah pengaruh dari tradisi animisme lokal yang sebelumnya sudah lebih dulu ada dibandingkan Islam. Ternyata, kehadiran Islam di Kulisusu, tidak lantas menenggelamkan semua tradisi lokal. Islam mengalami sintesis (percampuran) dengan tradisi lokal sehingga dua-duanya hidup bersamaan.

Ikhwal tentang bagaimana proses membakar dupa di piring ini, akan saya ceritakan pada kesempatan yang lain.(*)


Lantagi, The Mysterious Village (Ekspedisi Buton Utara 4)

KULISUSU adalah daerah yang menyimpan banyak cerita mistik dan horor. Warga setempat masih percaya dengan semua cerita hantu sehingga punya banyak kosa kata untuk menyebut setan atau hantu. Mulai dari onicu, kandole, seetani, jini, onicu ngkowulu hingga popoka. Setan masih punya tempat tersendiri yang cukup menakutkan bagi warga setempat. Kekuatan mistik masih punya pengaruh besar di tempat ini.

Waktu kecil, saya sempat melihat buku agenda pamanku yang saat itu kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Ternyata, isi agendanya adalah berbagai mantra untuk menghadapi berbagai setan mulai dari mantra menghadapi onicu, kandole, dan banyak lagi. Pantas saja pamanku itu belum dapat kerja sampai sekarang. Ternyata benaknya penuh dengan cerita horor berbagai setan tersebut.

Terkait mistik ini, saya penasaran dengan cerita tentang sebuah kampung bernama Lantagi. Menurut beberapa warga Kulisusu, Lantagi adalah tempat paling misterius dan angker. Selain karena banyaknya setan, penduduk kampung tersebut juga sangat aneh dalam artian menutup diri dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Perkampungan ini agak jauh dari Kulisusu. Butuh perjalanan sekitar dua jam untuk menjangkau lokasi tersebut. Saat motor melintas di kampung ini, semua penduduk langsung menutup pintu rumah dan mengintip dari dalam. Apakah penduduknya pemalu? Mungkin. Menurut orang-orang, penduduknya agak malu bila melihat orang asing yang singgah ke kampungnya. Meski sudah memasuki milenium baru, namun Lantagi masih seperti di abad kuno. Penduduknya ketakutan bila melihat bunyi asing termasuk motor, makanya mereka mengisolasi diri. Menurut banyak warga, penduduk Lantagi belum lama pindah ke perkampungan. Sebelumnya mereka tinggal di dalam satu gua yang sangat besar dan sanggup menampung semua warga kampung itu.

Hal yang mencengangkanku adalah penduduk itu pindah ke perkampungan nanti tahun 2000. Artinya, selama ini mereka masih berdiam di gua dan menjalankan aktivitas di dalam gua tersebut. Letak gua tersebut, sampai kini masih menjadi misteri sebab warga Lantagi tidak mau menunjukkan di mana letak guanya dulu. Bahkan, pemerintah sudah berusaha dengan berbagai cara agar warga Lantagi menunjukkan guanya, namun mereka tetap tidak mau menunjukkannya. Mungkin warga setempat khawatir kalau banyak pihak yang tahu gua tersebut, maka akan berkunjung ke gua tersebut sehingga menghilangkan sakralnya tempat tersebut. Semua hal tersebut, membangkitkan rasa penasaran dalam diriku. Warga Kulisusu yang sempat kutanyai juga mengatakan warga Lantagi terkenal cantik dan berkulit putih. “Wanitanya putih mulus karena jarang melihat matahari. Sayangnya, mereka pemalu dan langsung menutup pintu bila ada motor yang datang,” kata temanku.

Barangkali, perlu semacam riset kualitatif dalam waktu lama untuk bermukim di kampung tersebut, kemudian mencari tahu di mana letak gua milik warga Lantagi tersebut. Butuh upaya live in atau masuk ke dalam pengalaman mereka sehingga nantinya akan ditunjukkan di mana posisi tempat yang paling misterius tersebut. Tantangan besar berada di pundak peneliti untuk menyingkap misteri Lantagi.(*)


Involusi Pedesaan (Ekspedisi Buton Utara 3)



TERAKHIR saya mengunjungi Kulisusu di Buton Utara sekitar lima belas tahun yang lalu, saat menghadiri pernikahan pamanku (kini anaknya sudah menginjak bangku kelas 3 SMP). Dalam imajinasiku, pasti ada perubahan yang cukup signifikan seiring dengan kemajuan pembangunan dari berbagai rezim pemerintahan yang ada di negeri ini. Apalagi, daerah ini sudah menjadi ibukota kabupaten yang belum lama terbentuk. Namun saat menyaksikannya langsung, ternyata anggapan itu sungguh jauh dari realitas. Kulisusu yang kusaksikan masih Kulisusu yang dulu. Tak ada perubahan sedikitpun.

Apakah kehidupan itu diam? Tidak. Namun di Kulisusu, waktu seakan statis. Tak terlihat adanya perubahan yang berarti, kecuali cat rumah yang sudah mulai terkelupas, jalanan yang kian rusak parah, listrik yang selalu padam, hingga anak kecil yang kian bertambah ramai. Di luar itu, tak ada sedikitpun perubahan terlihat hingga memaksa horison pandanganku untuk melihat pemandangan itu-itu terus. 

Jalanan di depan rumahku hingga pasar dan pusat kota (lebih cocok dibilang pusat desa) tetap saja rusak parah. Jalanan itu tersusun dari batu-batu karang yang pernah diratakan dengan buldoser. Tak ada aspal. Kini sudah berantakan lagi. Jalanan yang diaspal hanya dari pasar menyusuri pinggir laut. Itupun cuma sekitar 300 meter. Kadang-kadang saya meminjam motor dari pamanku dan mengajak ibuku jalan-jalan di jalan rusak tersebut. Namun, baru berjalan sekitar 10 menit, ibu sudah meringis dan mengatakan, “Mopii tongangku“ (Pinggangku sakit). Wah.... susah juga nih. Ternyata jalan ini bisa membuat tingkat stres meninggi. 

Sementara pasar Kulisusu justru semakin buruk dari yang pernah kusaksikan. Pasar yang dulunya berdiri kokoh, kini sudah rubuh karena terbakar. Kata warga setempat, beberapa bulan yang lalu, api mengamuk dan membakar pasar tersebut hingga rata dengan tanah. Puing-puing bangunan yang hangus masih terlihat berserakan. Kemudian di depan puing-puing itu, sudah berdiri pasar darurat yang kondisinya benar-benar darurat. Di atas tanah milik keluargaku –yang kemudian diserobot secara paksa tersebut—sudah didirikan bangunan dari kayu yang kemudian ditempati pedagang setempat. Situasinya sangat semrawut.

Hal yang juga kuperhatikan adalah fisik kota yang juga seakan tak ada perubahan. Mestinya, kota ini kian tumbuh seiring dengan kian membaiknya pendidikan masyarakatnya. Kian banyaknya warga kota ini yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat di daerah lain, mestinya bisa memberikan dampak bagi pemandangan dalam kota. Minimal, ada rumah atau bangunan baru yang bertebaran di sepanjang jalan-jalan protokol. Minimal ada pusat pertokoan baru atau pusat pertumbuhan ekonomi yang kemudian memicu pertumbuhan di dalam kota. Namun, semua anggapan tersebut laksana melukis di atas awan.

Saya menduga ini terkait dengan beberapa hal. Warga banyak merantau ke tempat lain yang secara ekonomi dianggap lebih menjanjikan. Mereka bersekolah kemudian berkarier di tempat lain, sehingga modal yang mereka miliki hanya beredar di kota lain, sementara kampungnya tetap merana. Mereka tidak membangun rumah di kampung sebab kampung hanya menjadi tempat persinggahan sewaktu-waktu di saat mereka hendak pulang kampung dan bernostalgia ke daerah asalnya. Saya banyak menyaksikan kenyataan ini. Begitu banyaknya warga Kulisusu yang berhasil atau sukses di Bau-Bau dan Kendari, tidak juga membawa pengaruh bagi perekonomian setempat. Sebab, kebanyakan warga hanya menjadikan kampungnya sebagai tempat transit di saat liburan. Mungkin, di masa depan perlu digalakkan semacam Gerakan Balik Kampung agar ada kesadaran di kalangan para perantau untuk kembali dan membangun kampungnya sendiri.

Asumsi kedua yang saya duga adalah banyaknya resource atau sumber daya setempat hanya dinikmati oleh orang luar. Dugaan ini muncul setelah saya melihat aktivitas ekonomi serta politik justru lebih banyak berada di tangan orang luar. Sumber daya terbaik di daerah ini pergi merantau sehingga yang tersisa adalah mereka yang tidak terlalu unggul dalam pendidikan. Akhirnya, persaingan yang ada seakan tidak seimbang dan selalu dimenangkan orang luar. Makanya, warga yang ada hanya menjadi penonton yang pasif dan tak berdaya. Baru-baru ini saya mendengar kalau di situ akan dibuka banyak areal pertambangan, namun setelah saya mencek siapa saja yang menjadi investor, lagi-lagi orang luar. Dalam bayanganku, ini akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Ketika warga lokal tidak diakomodasi, maka akan ada suatu saat di mana mereka akan meradang dan mengamuk. Bencana sosial ini bisa lebih parah jika di masa kini tidak dibuat satu desain atau perencanaan yang matang.






Asumsi lain yang saya duga adalah faktor tiadanya perhatian pemerintah atas daerah ini. Tingginya kontestasi politik di Kabupaten Muna, membuat daerah ini dipandang sebelah mata. Pemerintah kabupaten lebih berkosentrasi pada pengembangan kota kabupaten. Infrastruktur dasar di daerah ini tak pernah disentuh sehingga menimbulkan ketidakpuasan. Selama saya berada di Buton Utara, selalu saja saya mendengar komentar penduduk yang mengatakan bahwa di Sulawesi Tenggara, hanya kabupaten ini yang mekar melalu proses yang “berdarah-darah.“ Dimulai dari serangkaian demonstrasi di Kabupaten Muna, kemudian demonstrasi di Kendari, hingga desakan agar demonstrasi digelar di Jakarta. 

Untunglah kabupaten ini akhirnya berhasil mekar. Sebagai bentuk “pemberontakan“ atas Muna, warga memilih nama Buton Utara, bukannya Muna Timur sebagaimana yang diminta oleh Kabupaten Muna. Pelajaran berharga yang bisa diambil adalah prosedur demokrasi dan tata pemerintahan harus memperhatikan dinamika dan kontestasi lokal. Pengalaman di era sentralisasi, menyebabkan segala urusan selalu dilihat dari titik pandang pusat sehingga tidak merangkum cara pandang daerah. Ketika satu daerah sudah dibentuk, seakan-akan persoalan sudah selesai. Padahal, semestinya ada ruang kontestasi yang diciptakan, semacam arena yang bisa memastikan bahwa politik di tingkat lokal terus bergulir. Kekuatan politik di tingkat lokal mendapatkan posisi yang sama sehingga bisa menjadi kontrol yang efektif bagi jalannya pemerintahan.

Selama di sini, saya selalu teringat Clifford Geertz. Dia pernah melakukan riset di satu desa pertanian di Jawa. Ia melihat kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun hingga muncul pola yang selalu melingkar dan mengalami pengulangan secara terus-menerus. Dalam konteks berbeda, Kulisusu juga mengalami involusi atau gerak melingkar tersebut. Bukannya berkembang ke arah kemajuan, namun justru bergerak ke titik mundur. Makanya, selama 20 tahun seakan-akan tak ada perubahan yang terjadi.(*)


14 Januari 2008

Senyum Ceria Anak Laut


JIKA anak kecil di Kota Jakarta dibesarkan dalam iklim penuh kecemasan dari orang tuanya, maka tidak demikian dengan anak kecil di Desa Lowu-Lowu, Kota Bau-Bau, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Mereka diizinkan bermain di laut dan berenang sejauh mungkin, tanpa diawasi dengan ketat oleh orang tuanya. Semua anak kecil itu mencengangkanku sebab menjadi perenang ulung di usia yang masih sangat belia. Tak hanya menjadi perenang ulung, mereka juga sanggup menangkap ikan besar, satu kemampuan yang tak semua orang dewasa sanggup melakukannya.

Awalnya, saya sempat meragukan kemampuan renangnya. Namun, sebuah koin yang kulemparkan ke lautan di dermaga kecil kampung itu, langsung disambut anak-anak itu. Mereka langsung menyelam hingga sedalam 10 meter, kemudian naik ke atas dan memperlihatkan koin itu. Luar biasa!!! dalam usia semuda itu, mereka sudah sanggup menaklukan lautan sambil tertawa-tawa seolah lautan tak punya sesuatu yang sanggup membuat mereka meringis. Anak kecil itu begitu bahagia dengan dunianya. Mereka sedang menikmati hari, tanpa harus dijejali dengan segala ketakutan menatap masa depan. Sekali lagi, Luar Biasa!!!


Ritual Bongkaana Tao di Buton


23 Februari 2008

HARI ini, saya berkesempatan menyaksikan acara ritual Bongkaana Tao di Lowu-Lowu, satu desa kecil dalam wilayah Kota Bau-Bau. Perjalanan ke sama cukup jauh melelahkan sebab menyusuri pesisir pantai. Jika menggunakan kenderaan bermotor, maka ditempuh dengan waktu sekitar 40 menit. Bersama beberapa teman yaitu Dambo, Epri, Nas, dan Lulu, kami pergi ke sana untuk menyaksikan ritual budaya yang digelar setahun sekali tersebut.

Secara harfiah, Bongkaana Tao berarti membongkar tahun. Saya tak paham apa kaitannya dengan acara tersebut. Namun menurut seorang penduduk, acara tersebut merupakan pesta panen dan ritual menolak bala (bahaya). Menurut penduduk tersebut, akan ada upacara melabuhkan sesajen ke lautan sambil berdoa agar segala bencana bisa lenyap dan hilang di lautan lepas. Ada dua maksud digelarnya acara tersebut. Yang pertama adalah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang dicurahkan Allah kepada warga sekitar. Kedua adalah memanjatkan doa agar dijauhkan dari segala bahaya dan sial yang bisa datang sewaktu-waktu. Mendengar penjelasan ini, saya seakan bisa menghubungkan apa makna Bongkaana Tao. Barangkali maksudnya adalah menutup masa panen dengan penuh suka cita sambil berharap agar tahun berikutnya lebih mendatangkan rezeki dan pengharapan.

Awalnya, saya tak begitu tertarik. Namun, ketika mendengar penjelasan tersebut, saya langsung tertarik. Saya penasaran karena hal ini bukanlah merupakan tradisi Islam. Barangkali, ini adalah tradisi yang sudah hidup sejak masa pra-Islam di Buton. Kehadiran Islam, tidak lantas menenggelankan tradisi ini begitu saja. Namun justru tetap dilestarikan dengan sejumlah modifikasi di sana-sini. Misalnya bacaan mantra diganti dengan bacaan yang ada dalam kitab Al-Quran. Suatu sintesis antara Islam dengan tradisi lokal yang sudah berabad-abad lamanya bertahan.

Saat saya tiba di lapangan dekat pasar Lowu-Lowu, penduduk sudah mulai bersiap-siap menggelar pesta adat tersebut. Di tengah lapangan itu telah berdiri tenda dan di bawahnya dipasang karpet yang memanjang. Di atas karpet tersebut, sudah dipasang begitu banyak nampan yang ditutup dengan penutup berwarna merah. Dalam bahasa Buton, penutup tersebut bernama Panombo. Di atas nampan yang ditutup panombo tersebut, diletakkan berbagai jenis makanan mulai dari lapa-lapa (semacam ketupat, namun bentuknya memanjang), cucuru (kue cucur), serta lauk-pauk. Ada juga buah-buahan.

Hal paling menarik yang kusaksikan adalah semua nampan tersebut, ditunggui gadis-gadis dengan pakaian adat yang sangat indah. Dalam khasanah kebudayaan Buton, tradisi ini disebut pekande-kandea atau makan-makan. Biasanya, pekande-kandea dilakukan untuk menyambut tamu penting atau dilakukan saat pesta panen. Teknisnya adalah gadis cantik berpakaian adat tersebut, akan menyuap tamunya yang hendak mencicipi makanan di situ. Ritual ini tidak sekedar menyambut tamu, namun juga menjadi ajang di mana muda-mudi bisa bertemu dan saling melirik. Saya menduga, di masa lalu tidak banyak ajang untuk mempertemukan muda-mudi sebab sang pemudi harus menjalani pingitan (posuo). Ajang semacam pekande-kandea ini menjadi ajang show bagi pemudi untuk menunjukkan dirinya di tengah orang banyak. Orang tuanya seakan memperlihatkan kepada banyak orang bahwa putrinya sudah dewasa dan sudah layak dipersunting.

Kembali ke ritual Bongkaana Tao. Mulanya saya menyangka bentuk acara tersebut adalah pekande-kandea saja. Ternyata, anggapan saya keliru juga. Ritual pekande-kandea adalah penutup atau akhir dari ritual Bongkkana Tao. Awalnya adalah acara baca doa di atas sebuah sumur, kemudian menggotong sesajen ke laut untuk dilepas begitu saja.

Saya penasaran juga ingin menyaksikannya. Namun selama sejam saya tiba di situ, acara belum digelar. Kata penduduk setempat, mereka masih menunggu kedatangan Walikota Bau-Bau Drs Mz Amirul Tamim. Kata penduduk, dulunya acara tersebut harus dihadiri Sultan Buton, maka sebagai penggantinya adalah Walikota. Ternyata, pergeseran sistem pemerintahan dari kesultanan menjadi Republik Indonesia, membawa pengaruh juga pada dilaksanakannya ritual tersebut. Saat walikota datang, beliau diarak menuju sumur tua yang namanya sumur Maradadi. Di sumur itu, sejumlah moji atau pemimpin agama sudah menunggu sambil mengelilingi sesajen yang disimpan di atas sumur.

Sesajennya berbentuk perahu dan di haluan terdapat kayu berbentuk kepala buaya, sedangkan di bagian buritan atau belakang perahu sesajen tersebut, terdapat patung ekor buaya. Menurut hikayat, dahulu di dasar sumur itu berdiam seekor buaya yang sakti sehingga sumur itu dianggap keramat. Hingga satu saat, buaya tersebut lenyap kemudian ada warga yang seakan mendapatkan wangsit agar setiap tahun diadakan ritual di sumur tersebut agar membuang sial dan mendoakan semua warga agar selalu bahagia dan bertambah rezekinya. Warga yang mendapatkan wangsit itu, selanjutnya menjadi pemimpin doa. Hingga bertahun setelah dia meninggal, posisinya akan digantikan oleh keturunannya.

Saya sempat mengintip apa isi sesajen. Ternyata, di situ ada makanan berupa lapa-lapa, telur, dan lauk-pauk. Usai melihat isi sesajen itu, seorang moji datang membawa tempat dupa, kemudian acara itu dimulai. Mereka lalu membakar dupa di kemenyan lalu sama-sama berdoa. Doa disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa Indonesia. Saya mendengar beberapa kalimat yang diucapkan seperti jamaliyah, jalaliyah, yang kesemuanya adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan. Kata tersebut sering diucapkan mereka yang mendalami tasawuf dan tarekat. Saya berkesimpulan, tradisi ini ada kaitannya dengan tradisi sufistik yang banyak bertebaran di tanah Buton sejak abad ke-16.

Usai berdoa, mereka lalu mengusung sesajen tersebut, kemudian membawanya ke laut. Mereka lalu berjalan menuju ke dekat lapangan tempat pekande-kandea, lalu ke dekat laut dan melepaskan perahu sesajen tersebut secara bersama-sama. Pada saat itu, saya melihat anak-anak kecil yang mandi di laut itu, langsung mengejarnya. Mereka berlomba mendekati sesajen tersebut, kemudian memperebutkan isinya. Perahu kecil berisi sesajen tersebut langsung karam setelah terlebih dahulu isinya diperebutkan oleh anak-anak tersebut. Seluruh warga yang menyaksikannya langsung tertawa dan bertepuk tangan. Saya beruntung karena sempat merekam moment penting tersebut.

Selanjutnya, saya menuju lapangan tempat acara pekande-kandea. Seluruh warga duduk pada posisi yang berhadapan dengan nampan dan gadis-gadis yang menjaganya. Setelah selesai acara basa-basi seperti sambutan dari walikota (kok selalu ada acara ini sih?), selanjutnya adalah acara makan-makan. Saya langsung bergerak cepat. Ikan besar yang sudah dibakar sudah ada di atas piringku. Sambal dan lalapan juga kusambar, selanjutnya tinggal mengambil dua buah lapa-lapa. Kubayangkan makan ikan seperti ini di Jakarta, pasti harganya sangat mahal. Namun di sini, ikan laut menjadi menu sehari-hari yang umum ditemukan di mana-mana. Saya sudah tak sabar untuk makan ikan besar. Mmmmmhhhh... Nyam…Nyam……


Binar Bahagia di Wajah Anak Kecil Kakenauwe (Ekspedisi Buton Utara II)


14 Januari 2008


AKHIRNYA, berangkat juga saya bersama ibu ke Buton Utara. Empat hari berada di Kota Bau-Bau cukup melelahkan dan rindu dengan nuansa petualangan baru. Rasa kesal karena sehari sebelumnya gagal berangkat, langsung sirna dan berganti semangat. Kami naik mobil jenis kijang yang sesak dengan penumpang. Idealnya, jumlah penumpang hanya sekitar 10 orang, namun penumpang mobil ini mencapai sekitar 25 orang. Kelihatan betul, sang sopir ingin memaksimalkan jumlah keuntungan sehingga tempat tas di mobil, juga diisi penumpang.

Buton Utara merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Muna. Kabupaten ini terletak di sebelah utara Pulau Buton dengan wilayah yang cukup luas. Potensinya sangat beragam. Sayang, potensi itu tidak bisa dikelola dengan maksimal karena kebijakan Pemkab Muna yang agak diskriminatif terhadap mereka. Praktis, selama puluhan tahun berdiri, kabupaten ini seakan hanya berdiri di tempat dan tidak beranjak jauh. Pantas saja, jika masyarakatnya seakan berontak dan ingin segera membentuk kabupaten baru bernama Buton Utara.

Untuk sementara, ibu kota kabupaten baru ini berlokasi di Kulisusu, tempat kelahiranku. Jarak Bau-bau ke Kulisusu hanya sekitar 180 kilometer. Mestinya, perjalanan ke sana tidak begitu jauh dan melelahkan. Berhubung karena kondisi jalan yang rusak parah, maka perjalanan ini menjadi begitu berat. Perjalanan melewati sejumlah daerah seperti Bungi, Ngkaring-Ngkaring, Kapontori hingga beberapa desa di sepanjang perjalanan seperti Kakenauwe hingga Kambowa. Jalanan yang paling rusak parah kita temui setelah melewati Kakenauwe. Bahkan, pada satu ruas jalan yang rusak berat dan harus mendaki, sopir meminta agar penumpang pria untuk turun dan selanjutnya berjalan kaki hingga ke atas bukit. Kemudian, mobil itu berjalan pelan meniti jalan rusak parah tersebut.

Sebelum melintasi daerah yang rusak parah tersebut, sopir menghentikan kenderaan dan singgah di satu warung. Sebagian besar penumpang ikut turun dan singgah mengisi perut pada satu warung yang ada di situ. Saya dan ibu juga turun. Saat itu, saya melihat sejumlah anak Sekolah Dasar sedang melintas di depan sekolah dalam keadaan tidak mengenakan sepatu.

Saat melihatku yang hendak memotret, mereka langsung tersenyum. Beberapa di antaranya tunduk tersipu, sedang lainnya langsung berlarian. Menurutku, ini fenomena yang menarik. Di tengah parade kemewahan anak sekolah di perkotaan yang kadang menenteng handphone ke sekolah, masih banyak anak kecil yang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu. Di depan sekolah itu, saya juga melihat sejumlah anak kecil yang sedang bermain bola kasti. Mereka berlari dan saling mengejar dengan gesit. Mereka sangat riang gembira dan selalu bersorak-sorai. Mereka tertawa saat beberapa siswa terjatuh ketika sedang mengejar bola. Sementara anak yang jatuh, segera bangkit lagi kemudian tertawa-tawa. Mereka bermain dengan penuh kegemberiaan, tanpa ada rasa khawatir. Mereka juga sangat berani, tanpa memikirkan banyak resiko. Aku juga menyaksikan beberapa anak yang memanjat pohon tinggi tanpa rasa takut.

Dunia anak-anak di sini adalah dunia yang ceria. Mereka lepas dan bebas sebebas burung merpati, tanpa harus dicekam dengan persaingan atau ambisi orang tua yang menginginkan anaknya kelak memenangkan semua persaingan itu. Anak kecil di desa itu tidak dibebani dengan sejumlah les tambahan mulai dari bahasa Inggris hingga piano, yang kesemuanya hanya untuk memuaskan dahaga orang tua yang menginginkan anaknya kelak unggul dalam persaingan. Padahal, dunia anak adalah dunia ceria dan kebebasan. Dunia itu terpancar pada sorot mata anak kecil di satu desa di Kakenauwe, yang terletak nun jauh di pedalaman Pulau Buton.

Saat mengagumi anak tersebut, sopir memanggil semua penumpang. Saya dan ibu bergegas dan masuk ke dalam mobil yang bergerak lambat karena medan jalan yang rusak parah. Setelah sekitar satu setengah jam, mobil tiba di Kambowa. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menumpang speedboat dengan jarak tempuh sekitar satu setengah jam. Kami melewati beberapa kampung Bajo, yang semua rumah penduduknya didirikan di atas laut, demikian pula dengan sekolahnya. Saya sempat memotret beberapa rumah penduduk serta sekolah yang didirikan di kampung tersebut. Hingga akhirnya, saya tiba di Kulisusu dan selanjutnya dimulailah petualangan baru.(*)