Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Kisah Bersama Sales Multi-Level



SEBAGAI orang yang awam dalam hal bisnis, saya selalu berhati-hati jika diajak bergabung ke bisnis multi-level marketing (MLM). Terkadang, saya tak bisa menolak ketika ‘dijebak’ seorang sahabat yang lalu mem-prospek saya agar bergabung sebagai sales multi-level. Belakangan, saya malah suka di-prospek. You know why?

***

DENGAN langkah tergesa-gesa, saya menuju Plaza Senayan, Jakarta. Perjalanan cukup jauh. Saya menumpang kereta dari Bogor ke Stasiun Gondangdia, selanjutnya, menumpang kendaraan umum menuju Plaza Senayan. Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Saya butuh empat jam. Tapi saya menjalaninya sebab tergoda oleh janji untuk diskusi mengenai masa depan.

Saya membayangkan barangkali ada pembicaraan tentang bagaimana iklim dan peluang usaha. Saya memang bukan pebisnis. Tapi saya suka diskusi dengan para sahabat pengusaha. Bersama mereka, saya menemukan spirit baru untuk mengatasi segala tantangan di masa depan. Para pebisnis adalah mereka yang melihat masa depan dnegan penuh optimisme. Mereka punya cara pandang yang selalu melihat sisi positif. Bahkan gagal pun tetap dilihat sebagai peluang untuk melesat maju.

Sungguh dengan beda dengan para ilmuwan sosial yang tema diskusinya agak monoton.

Seorang sahabat di Twitter selalu mengajak untuk ketemu. Ia membuat saya terkesima dengan rencana-rencananya. Saya tak mengenalnya sebelumnya. Tapi ia tiba-tiba saja ingin mengenalkan saya dengan ayah-ibunya. Katanya, mereka sedang membangun bisnis besar mengenai teknologi informasi di masa depan. Ia meyakini bahwa bisnis ini akan sangat booming. Saya penasaran.

Akhirnya, tibalah saya di tepat tujuan. Ayah dan ibu sahabat itu telah menyiapkan bahan presentasi. Ia memulai dengan beberapa pertanyaan tentang masa depan. Setelah itu, ia memperlihatkan gambar para raksasa di dunia IT yakni Mark Zuckerberg dan para pendiri Google. Selanjutnya ada pembicaraan tentang sebuah layanan berbasis IT yang memungkinkan kita untuk melaukan video-conference, video blogger, dan chatting secara gratis. “Semuanya bisa dilakukan tanpa buffering,” katanya. Saya mulai tertarik.

Berikutnya, pembicaraan tak lagi bahas IT. Barulah saya tahu kalau bergabung dalam apa yang disebutnya member dari pelayanan berbasis IT itu adalah bergabung dalam sebuah unit bisnis. Kita cukup mencari orang lain untuk gabung, dan setelah itu kita mendapatkan benefit. “Kalau anda bisa mengajak banyak orang gabung, maka uang akan menumpuk. Saatnya anda kaya,” katanya.

Pembicaraan mulai tak menarik. Bapak sahabat itu mulai mengambil banyak contoh tentang orang kaya baru di usia muda. Katanya, modal anak-anak muda itu sederhana. Mereka membangun jaringan pertemanan yang kemudian bergabung dalam satu wadah. bisnis, serta harapan agar ‘uang bekerja untuk kita.’ Ia menyebut Merry Riana, yang filmnya lagi tayang di bioskop. Ia juga menyebut beberapa nama yang baru saya kenal. Tak cukup dengan itu, ia juga memperlihatkan beberapa majalah dan video mengenai merka yang sukses. Resepnya satu yakni berbisnis multi-level.

Presentasi berikutnya semakin tak menarik di mata saya. Ia membahas tentang jabatan ketika sukses mengumpulkan ‘kaki-kaki’ di bawah. Nama posisi itu memakai nama batu mulia. Misalnya ada posisi Diamond, Silver, dan Gold. Semuanya bisa didapatkan kalau sukses mencari klien. Semakin banyak anggota, maka semakin kaya. “Kehidupan berikutnya menjadi indah. Kita bisa pensiun dini, bisa liburan, keliling dunia, serta merancang masa depan anak-anak yang cerah,” katanya.

Saya menyimak. Pikiran saya di tempat lain.

Ini bukan kali pertama saya di-prospek. Yang saya rasakan adalah multi-level itu serupa agama yang berbicara tentang masa depan. Ada iming-iming tentang hari depan, ada kitab-kitab berisikan motivasi yang salah satu nabinya adalah Robert Kiyosaki, penulis Rich Dad Poor Dad. Para penggiat multi-level juga memiliki kaset-kaset dan video motivasi, ada proyeksi dan peta penghasilan, seminar-seminar bisnis, hingga jalan-jalan gratis ke luar negeri.

Saya menghargai semua yang dikatakannya. Semua orang memang menginginkan hidup yang serba nyaman. Saya sendiri percaya bahwa uang hanyalah satu cara. Uang bukan segala-galanya. Yang jauh lebih penting adalah perasaan bahagia yang berdesir dalam hati ketika seseorang mengubah mindset tentang kehidupan. Bahagia adalah kondisi ketika seseorang menyukuri semua hal-hal kecil yang dirasakan sebagai keajaiban dalam hidup.

Yang saya sukai dari teman-teman MLM adalah semangat yang tak pernah padam untuk meyakinkan orang lain. Jujur, saya menikmati saat-saat diyakinkan tentang sesuatu. Saya menyenangi saat dipersuasi dan diberikan harapan tentang kehidupan yang menakjubkan dengan uang melimpah. Seseorang yang sukses di bisnis multi-level adalah seseorang yang sukses membangun jaringan lalu menggunakan jaringan itu untuk mendapatkan berbagai keuntungan bagi dirinya.

Jujur, mulanya saya tak suka diprospek. Belakangan saya merevisi pandangan itu. Saya mulai menyukai saat-saat di-prospek. Mengapa? Sebab kawan yang memprospek itu akan melakukan segala cara agar saya tertarik lalu memperhatikan presentasi. Saya menikmati saat-saat ketika saya berpura-pura paham, lalu mengangguk. Semangat teman itu langsung meluap-luap lalu menjelaskan banyak hal agar saya terkesima dan tertarik.

Sayang, hingga saat ini saya belum tertarik bergabung. Apalagi saat teman di Plaza Senayan itu menyebut uang pendaftaran sebesar 10 juta rupiah, serta pulsa keanggotaan sebesar 400 ribu rupiah per bulan. Buat saya, dana itu cukup besar untuk sekadar menganyam mimpi dan membayangkan masa depan yang hebat, ketika ‘uang bisa bekerja untuk kita.’

Usai di-prospek, saya kembali ke stasiun. Saya kembali harus berdesak-desakkan dari kereta. Saya kembali harus merasakan ketidaknyamanan ketika menumpang kendaraan umum. Yah, mudah-mudahan bisa sesukses sahabat yang tadi meyakinkan saya agar berbisnis multi-level.

Sahabat itu memang kaya-raya. Tapi saya merasa lebih kaya. Saya tak perlu mengumpulkan banyak uang, sebagaimana dirinya, untuk menikmati hidup. Sebab saya menikmati hidup dalam keadaan apapun. Saya berbahagia dengan segala hal-hal kecil dan hal-hal besar yang saya alami. Saya adalah orang terkaya di dunia. Terserah, anda sepakat atau tidak.


Bogor, 29 Desember 2014

Belum Tertarik Nonton Film Pendekar Tongkat Emas




MUNGKIN anda menganggap saya tak nasionalis. Hingga detik ini, saya belum berkeinginan menyaksikan film Pendekar Tongkat Emas (PTE) yang sedang tayang di bioskop. Saya menyenangi akting beberapa orang yang bermain dalam film itu. Mereka adalah maestro seni peran. Akan tetapi saya tak nyaman dengan pakaian yang meniru-niru para pemain film Cina.

Saya juga tak suka melihat potongan adegan berkelahi yang mirip film kungfu. Daripada nonton film yang mirip film kungfu, jauh lebih baik saya menonton film kungfu yang memang asli dari daratan sana. Saya lebih baik menonton ulang beberapa film yang dibintangi Jet Li. Saya masih lebih memilih menonton lagi film Hero karya Zhang Yi Mou yang adegan perkelahian serta filosofinya menancap kuat di benak saya selama bertahun-tahun.

Konon, penata kelahi dalam PTE berasal dari daratan Cina, yang telah terbiasa menggarap film kungfu. Makanya, bagi generasi yang suka nonton film kungfu, adegan perkelahian dalam film PTE menjadi hambar. Para penonton tak akan menemui kejutan. Tak ada rasa penasaran atas hal-hal baru. Tak ada keunikan.

Film ini tak membuat saya penasaran, sebagaimana film The Raid 2. Dalam film The Raid 2, saya penasaran menyaksikan bagaimana silat harimau bisa dikemas dalam laga modern. Hasilnya memang mencengangkan. Silat bisa menjadi sangat mematikan. Teknik berkelahinya nampak sangat beda dengan seni berkelahi ala film Cina. Di situ ada elemen kejutan dan sekaligus memantik rasa penasaran pada seni berkelahi yang justru berasal dari tanah air sendiri. Saya menyukai setiap gerak dari pemain film The Raid 2 yakni Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan. Mereka menguasai beladiri silat, dan membawa keindahan gerak itu ke dalam film.

Mereka jelas beda dengan Reza Rahadian dan Nicholas Sapitra yang notabene tak mahir bela diri. Kalaupun mereka berlatih selama beberapa bulan, tetap saja mereka bukan jagoan martial arts. Pastilah refleks tangan dan kakinya akan beda dengan yang mahir. Entah, saya ragu kalau akan ada adegan berkelahi yang indah disaksikan dalam film ini.

Hanya satu yang membuat saya penasaran dengan PTE, yakni alam Sumba yang sangat indah. Saya ingin menyaksikan bagaimana padang sabana yang luas, yang di dalamnya ada banyak kuda yang berlarian. Saya penasaran dengan tenun ikat yang dikenakan para pemain dalam film. Namun, ketika mengingat para aktor itu berpaian mirip Cina, kembali saya jadi malas. Bagi saya, alam Sumba dan pakaian khas Sumba ibarat dua keping puzzle yang saling bertaut. Aneh saja melihat tenun ikat tiba-tiba saja jadi motif pakaian Cina.

Tak biasakah kita menyaksikan alam Sumba dengan latar budaya yang juga Sumba?



Doraemon, "Soft Power", dan Imajinasi




SETELAH menunggu lama, akhirnya saya bisa menonton film animasi Doraemon berjudul Stand by Me. Kisahnya sederhana, namun membuat saya terharu. Saya bernostalgia pada serial kanak-kanak yang tumbuh bersama jutaan anak di seluruh dunia ini. 

Film ini nampaknya tidak ditujukan untuk kanak-kanak. Buktinya, anak saya hanya terpaku sesaat, lalu setelah itu kembali bermain. Akan tetapi, ada banyak jejak yang membekas di hati ini.

Saya tiba-tiba saja mengingat kekuatan karakter Doraemon yang pernah dinobatkan Majalah Time sebagai Asian Heroes tahun 2002. Saya mengingat kemampuan kisah ini dalam membentuk imajinasi anak-anak Jepang untuk tumbuh sebagai bangsa yang unggul. 

Saya mengingat tulisan akademisi Shiraishi yang mengatakan bahwa kisah Doraemon adalah bagian dari soft power bangsa Jepang yang secara perlahan mencengkeram dunia.

***

PADA mulanya, Doraemon datang ke masa kini. Ia memiliki misi untuk menemani Nobita agar lebih sukses di sekolah. Ia hendak memperbaiki masa kini demi masa depan yang lebih gemilang. Selain itu, ia juga menakut-nakuti Nobita bahwa masa depannya kelam. Ia akan menikahi Jaiko, adik dari Jaian, musuh Nobita.

Nobita digambarkan sebagai seorang pelajar yang pemalas, selalu dikerjai oleh teman-temannya, dimarahi ibunya karena selalu mendapat nilai jelek dan selalu telat sekolah. Doraemon, kucing robot dari masa depan itu, datang membantu Nobita untuk mengatasi berbagai masalah.

Petualangan pun dimulai. Nobita mencoba baling-baling bambu yang bisa membawanya ke mana-mana. Ia memakai Pintu Ke Mana Saja agar tak terlambat ke sekolah. Ia juga meminta Doraemon mengeluarkan banyak alat dari kantung ajaibnya. 

Di situlah letak masalahnya. Ada banyak kelucuan serta skenario yang tak berjalan lancar. Atas semua kekonyolan itu, Nobita perlahan-lahan menemukan tekad untuk menjadi lebih baik.

Kisah Stand by Me ini disutradarai oleh Takashi Yamazaki dan Ryuichi. Mereka mengadaptasi serial yang dibuat oleh komikus terkenal, yakni Fujiko Fujio. Dari sisi kisah, film ini dibuat lebih dewasa. Beberapa adegan justru menampilkan sisi humanis, yang justru ditujukan untuk penonton dewasa.

Saya menduga, film ini ditujukan untuk para penggemar Doraemon yang sudah mulai dewasa. Film ini menjadi oase untuk bernostalgia sekaligus kembali merasakan indahnya masa kecil, ketika imajinasi bisa dikerek tinggi-tinggi. Film ini seakan memanggil para penggemar Doraemon untuk kembali mengingat ulang episode-episode mengharukan, lalu kembali menghangatkan cinta pada sosok ini.

Hangatnya cinta itu bisa kembali dirasakan saat menyaksikan beberapa adegan mengharukan ini. Di antaranya adalah saat Nobita bersama Shizuka di gua salju, saat Nobita hendak mengalahkan Jaian, saat ayah Shizuka memberi pesan bijak kepada anaknya tentang sisi humanis Nobita, hingga saat Nobita akhirnya bisa bertemu kembali dengan Doraemon setelah lama terpisah.

Yup, Nobita memang bukan seorang anak yang sempurna dan kuat. Alasan inilah yang menjadikan Doraemon tak begitu disukai anak Amerika, yang gandrung pada superhero. Tapi justru kelemahan Nobita itulah yang membuatnya sangat manusiawi dan digandrungi jutaan anak-anak Asia. 

Ada banyak anak yang merasa senasib dengan Nobita, yang kemudian menjalani hidup sebagai petualangan dan pembelajaran yang amat mengasyikkan.

Doraemon dan sahabat-sahabatnya

Yang bikin saya tersentak adalah imajinasi tentang masa depan yang begitu memukau. Di film ini, ada adegan ketika Nobita di masa depan, menyaksikan gedung-gedung tinggi yang menampilkan nama TOYOTA dan beberapa perusahaan Jepang secara mencolok. 

Ada pula gambaran tentang mobil terbang, monorail tergantung, teknologi canggih pemindai kesehatan, hingga rumah-rumah yang minimalis, hijau, dan tak padat sebagaimana masa kini. Saya suka melihat rumah Shizuka yang lantainya serupa kolam, bisa menimbulkan riak ketika dipijak.

Melihat brand perusahaan Jepang itu, saya teringat pada studi yang dilakukan akademisi Saya Sashaki Shiraishi dalam buku Network Power: Japan and Asia yang diedit oleh Peter J Katzenstein dan Takashi Shiraishi, yang diterbitkan Cornell University tahun 1997. 

Dalam tulisan berjudul Japan’s Soft Power: Doraemon Goes Overseas, Siraishi memaparkan analisis menarik tentang Doraemon sebagai bagian dari soft power Jepang. ia mengutip istilah soft power yang dipopulerkan Joseph Nye untuk menggambarkan bagaimana pengaruh budaya dalam dinamika politik.

Shiraishi menggambarkan persaingan antar negara di era pasca Perang Dunia kedua yang lebih mengarah pada persaingan ekonomi dan bisnis. Doraemon dan juga beberapa tokoh dalam komik seperti Astro Boy dan Dragon Ball telah menjadi bagian dari ikon Jepang saat melakukan penetrasi ke banyak negara. 

Melalui strategi budaya, yang diwakili sosok Doraemon, Jepang lalu membanjiri pasar dunia dengan berbagai produk Jepang. Inilah strategi budaya yang ampuh, efektif, dan terasa menyenangkan, namun secara perlahan diikuti oleh penetrasi ekonomi.

Tak heran kalau saat majalah Time menobatkan Doraemon sebagai Asian Heroes pada tahun 2002, penulis Pico Iyer menyebut karakter ini sebagai ‘pahlawan paling menggemaskan di Asia’. Ia mengingatkan setiap orang bakal terpesona saat menyaksikan kisah hebat ini. Saat hal yang luput dari pandangan Pico Iyer bahwa kisah Doraemon ini lebih dari sekadar kisah.

Kisah ini telah lama tumbuh dan mewarnai masa kanak-kanak yang penuh imajinasi. Kisah ini telah menguatkan karakter Jepang untuk menjadi penguasa di ranah sains dan teknologi. 

Sebagaimana dicatat Shiraishi, perilaku Nobita yang selalu membutuhkan alat itu adalah gambaran dari perilaku sebagai “konsumen kreatif” yang selalu haus dengan inovasi dalam teknologi. Seakan jadi formula baku, Nobita selalu menggunakan alat pemberian Doraemon di luar niatan awalnya.

Percobaan Nobita memang kerap berujung petaka. Tapi, keingintahuan dan rasa optimismenya yang meluap-luap tak akan pernah hilang. Shiraishi menyimpulkan, “Keingintahuan anak-anak, rasa bebas, dan pikiran jernih pada akhirnya akan menghasilkan beragam produk teknologi, sebagaimana alat yang dibawa Doraemon dari masa depan.” 

Inilah kunci serial Doraemon. Inilah kunci dari segala inovasi dan daya cipta serta kreasi anak-anak yang ketika tumbuh besar selalu ingin menggapai hal baru.





Kisah Doraemon mengingatkan saya pada kalimat fisikawan besar Albert Einstein bahwa “Imagination is more important than science.” 

Bahwa imajinasi jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Pantas saja, sekolah-sekolah dasar di luar negeri lebih menekankan pada kegembiraan, mengasah daya cipta lewat permainan, menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya kebebasan dan sikap tanggung jawab. 

Sebab hanya dengan kebebasan, kegembiraan, dan kebahagiaan, imajinasi bisa melesat jauh ke langit tinggi, dan kelak akan memungkinkan lahirnya penemuan hebat dalam sejarah manusia.

Seusai menyaksikan kisah Doraemon dalam Stand by Me, ada banyak tanya yang menghujam dalam benak saya. 

Mengapa industri kreatif bangsa kita tak kunjung bisa menghasilkan satu ikon dan karakter yang menggambarkan karakter kita sebagai bangsa yang perkasa dan punya solidaritas tinggi? Mengapa daya-daya inovasi dan imajinasi anak-anak kita harus terkungkung oleh prasangka negatif dan sikap nyinyir dari banyak orang di sekitar kita?

Biarlah pertanyaan ini dijawab oleh kita, manusia Indonesia. Tak perlu menunggu alat ajaib yang keluar dari perut Doraemon.


Bogor, 23 Desember 2014

BACA JUGA:




Tahun 2014, Media Jadi Anjing Herder


ilustrasi

BEBERAPA tahun silam, saya ikut menggagas program Media Literacy (melek media) bagi siswa sekolah menengah di Makassar, Sulawesi Selatan. Saat itu, saya beranggapan bahwa siswa sekolah menengah paling gampang dipermainkan berbagai informasi di media sosial. Mereka juga paling gampang ikut arus wacana, tanpa menyikapinya secara kritis. Mereka beda dengan kalangan berpendidikan tinggi yang selalu kritis.

Hari ini saya sadar bahwa gagasan itu keliru besar. Harusnya, pihak yang mendapatkan pelatihan media literacy adalah para doktor, intelektual, serta warga berpendidikan sarjana ke atas, yang justru paling mudah dipermainkan oleh arus wacana di media massa. Kelompok ini tetap saja tak bisa membedakan antara opini dan fakta, tak paham mana hoax dan bukan, tak tahu mana berita yang valid dan tidak, mana berita yang bersumber pada verifikasi dan mana yang tidak.

Kaum terdidik kita sedang terjebak pada arus besar yang tak mau tahu tentang bagaimana seharusnya media kita memberitakan sesuatu. Kita masih saja berada pada fase di mana media massa menjadi rasul-rasul baru yang menyebarkan kebenaran. Kita tak melihat secara kritis, bahwa di balik media, selalu saja ada relasi dengan aspek ekonomi politik, di mana para pemodal seolah memiliki kuasa untuk melakukan banyak hal.

Kita tak hendak mempertanyakan satu liputan; media apa yang memuatnya, apakah ada kutipan langsung atau tidak, apakah ada konfirmasi ataukah tidak, ataukah ada tidaknya bias dalam liputan itu. Kurangnya pengetahuan tentang standar kerja jurnalistik membuat kita dengan mudahnya menerima setiap informasi. Pikiran kita serupa tanah liat yang mudah dibengkokkan oleh semua pemilik media.

Barangkali, semuanya bersumber pada pilihan-pilihan politik. Pilihan kita telah membingkai pandangan kita tentang benar – salah. Benar kata Karl Marx bahwa kita selalu melihat apa yang memang ingin kita lihat. Kita membatasi pandangan hanya pada horizon yang sempit sebab dihinggapi keangkuhan bahwa tak ada kebenaran di luar diri kita. Kebenaran itu selalu di pihak kita. Pilihan membaca ataupun menonton media lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang sebelumnya kita yakini.

Saya mencatat tahun 2014 sebagai tahun yang buruk bagi perkembangan media tanah air. Momen politik, yang ditandai dengan masuknya para pemilik televisi dalam pusaran politik, telah memaksa media untuk menjadi ‘anjing herder’ yang setiap saat siap menyerang lawan. Media serupa prajurit sniper yang bekerja berdasarkan memo atau instruksi dari sang pemilik. Disiplin verifikasi dalam jurnalistik ditumbangkan oleh kuasa modal.

Yang menyedihkan adalah hilangnya daya kritis dan daya nalar dari lapis-lapis menengah kita, yang dengan mudahnya mempercayai apa yang tersaji di hadapan media. Di saat bersamaan, media sosial menjadi riuh dengan debat kusir tentang satu informasi.

Sekali lagi, kita butuh satu panduan media literacy. Saatnya menurunkan ilmu-ilmu tentang pinsip kerja media ke dalam modul-modu sederhana yang bisa dipahami kalangan terdidik. Saatnya mencerahkan kalangan menengah perkotaan agar tidak mau begitu saja dijewer oleh media massa. Saya membayangkan ada satu pelatihan yang mengasah kekritisan. Barangkali, cara kiritis membaca media mesti dilatihkan dengan cara memperbanyak diskusi tentang agenda setting, obyektivitas, keberimbangan (impartialitas), hingga framing media.

Saatnya mengampanyekan gerakan kembali ke nalar. Saatnya memproteksi pikiran kita dari segala angin negatif yang bisa masuk dari mana saja. Saatnya membuat refleksi diri, tentang apa yang benar dan tak benar, lalu mengubahnya menjadi visi hidup yang selalu melihat kebaikan di mana-mana.

Sekali lagi, ini hanya catatan lepas. Jika ada yang tertarik membuat pelatihan ini, dengan senang hati, saya siap bergabung.



Berkah Kristus di Tanah Sikka


 
patung Kristus Raja di Sikka


TEPAT 22 tahun silam, gelombang tsunami menerjang Maumere, Sikka. Hari itu, 12 Desember 1992, air laut tumpah ke darat. Rumah-rumah diterpa badai. Tak jauh dari laut, sebuah patung tetap berdiri tegak dan memberikan perlindungan bagi warga yang ditimpa musibah. Patung itu memberikan ketenangan dan keajaiban bagi warga. Hingga kini, patung itu tetap ajaib. Patung itu adalah patung Kristus Raja.

***

DI dekat laut kota Maumere, Sikka, saya mengenang tragedi tsunami. Sebelum Aceh diredam tsunami, tanah Maumere lebih dahulu diterjang. Saya membayangkan lautan yang teduh, tiba-tiba menjadi beringas. Dewa laut seakan murka dan mengirim bala tentara ke daratan dan mengamuk lalu menerjang apapun. Kini, keganasan sang dewa masih membekas di hati warga Maumere.

Maumere adalah ibukota Kabupaten Sikka, yang diapit Laut Flores dan Laut Sawu. Meskipun kegiatan ekonomi warga berpangkal pada perkebunan, namun lautan adalah halaman rumah sekaligus pusat aktivitas. Banyak yang bekerja di sektor kelautan. Posisi kota juga tepat di tepi lautan. Bisa dibayangkan, tsunami menjadi badai yang membangkitkan pengalaman traumatik bagi warga kota.

Seorang lelaki bernama Frans mengisahkan tragedi itu di tepi laut Maumere. Ia Lengannya yang kekar menunjukkan area yang terkena dampak tsunami. Ia berkisah tentang ratusan rumah yang terkena dampak tsunami, serta nestapa dan kesedihan yang memenuhi udara kota. Akan tetapi, saat menunjuk ke area sekitar pelabuhan, ia sempat terdiam. Ia bercerita tentang sesuatu yang ajaib. Ia menunjuk patung Kristus Raja yang saat itu tetap berdiri kokoh, di saat semua bangunan di sekitarnya hancur. Mengapa tetap kokoh?

“Saya tak tahu harus menjelaskan dari mana. Patung ini jadi saksi atas gempa tektonik dan tsunami. Banyak yang lihat kalau patung ini tiba-tiba saja merentangkan tangan dan menghalau tsunami. Andai tak ada berkat dari patung, barangkali hancur semua seisi kota,” katanya saat mengenang.

Saya merenung. Sejak dulu, saya percaya bahwa keajaiban bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan nalar. Keajaiban juga tak sesederhana ketika Aladin mengusap lampu wasiat yang lalu memunculkan jin sebagai pewujud atas semua keinginan. Keajaiban bisa hadir tatkala kita mempercayai dan meyakini sesuatu bisa hadir. Di tengah kota ini, keajaiban pernah hadir dan dikisahkan pada siapaun yang berkunjung.

Saya lalu berkunjung ke patung Kristus Raja. Patung berwarna keemasan itu terletak di Jalan Mgr Sugiyopranoto, tepat di depan Pelabuhan L Say. Sepintas, patung ini sama dengan beberapa patung bernuansa religius yang pernah saya saksikan. Namun di Maumere, patung memiliki nuansa magis. Di depan patung terdapat altar yang di atasnya terdapat banyak lilin. Nampaknya, banyak yang beribadah di sekitar patung.

Sebelumnya, saya pernah mengunjungi patung Bunda Maria di Bukit Nilo. Patung Bunda Maria ini didirikan oleh Biara Karmel yang selama beberapa waktu telah memukau para peziarah. Umat Katolik di Maumere percaya bahwa dirikannya patung itu merupakan berkat yang tak terhingga. Di tengah bebukitan yang dipenuhi pohon-pohon hijau, patung itu menjadi sentrum dari kegiatan ibadah.

Berbeda dengan patung Bunda Maria di Bukit Nilo, patung Kristus Raja justru terletak di tengah kota. Patung itu menghadirkan magis yang lalu menjadi identitas kota, simbol solidaritas serta simbol pemersatu dari berbagai kelompok. Itu terlihat dari sejarah pendirian patung tersebut. Patung ini dirikan pada masa pemerintahan Raja Sikka ke-15, Don Yosephus Ximenas da Silva, pada tahun 1926. Ia merelakan tanahnya untuk dibangun tempat ziarah. Patung itu lalu dibangun dengan dana yang dihimpun secara gotong-royong oleh warga Sikka.

Pada masa Perang Dunia ke-2, patung ini sempat dibombardir oleh tentara sekutu. Ajaibnya, patug ini justru tetap utuh. Selanjutnya, tentara Jepang lalu menghancurkannya hingga patah dan hancur. Pada tahun 1989, patung ini kembali dibangun warga, yang diresmikan secara langsung oleh Paus Yohannes Paulus, ketika memimpin misa agung di Maumere, 11 Oktober 1989 silam.

***

Saya beruntung karena bisa menyaksikan patung ini. Perjalanan ke Maumere, Sikka, semaki  menguatkan kesan saya tentang perjalanan spiritualitas di kota ini. Patung Kristus Raja melengkapi sejumlah situs religi di wilayah ini. Yang saya suka dari Sikka adalah banyaknya tempat ziarah spiritual bagi mereka yang hendak mencari makna di berbagai kota.

Saya memaknai spiritualitas bukanlah dalam pengertian agama, atau sebagaimana dicatat dalam kitab-kitab suci. Saya memaknainya sebagai upaya manusia untuk menemukan keping-keping inspirasi, yang lalu memperkaya batinnya, lalu memunculkan keinginan untuk berbuat yang lebih baik.

Saya teringat pada sebuah artikel di majalah asing. Bahwa tujuan wisata dan perjalanan bukanlah sekadar melihat-lihat dan berfoto selfie. Trend wisata telah mengalami pergeseran. Banyak di antara wisatawan justru berkelana untuk menemukan banyak inspirasi yang tak ditemukan di kampung halamannya. Mereka ingin menemukan diri. Mereka ingin menemukan vitamin bagi jiwa.


Dalam buku Building Wow: Indonesia Tourism and Creative Industry, saya menemukan banyak argumentasi tentang wisata religi, wisata pedesaan, dan wisata alam yang justru menjadi primadna di banyak negara. Yang hendak dicari aalah kedamaian dan penguatan hati agar sesaat setelah berkunjung ke satu tempat, maka seseorang bisa lebih bersemangat dan menjalan hidup dengan visi baru yang lebih terarah.

Mereka yang melakukan perjalanan adalah mereka yang hendak menemukan diri demi memperkaya kehidupannya. Itu terlihat pada sosok Elizabeth Gilbert yang mengunjungi tiga tempat yakni Italia, India dan Indonesia demi menemukan inspirasi pada banyak orang baik di berbagai tempat yang dikunjunginya. Melalui perjalanan dan ziarah, manusia bisa berrefleksi dan menemukan hikmah di banyak tempat, mengambilnya sebagai energi bagi pertumbuhan jiwa.

Di mata saya, Sikka serupa oase yang menjadi tempat untuk mereguk air jernih demi membasahi kerongkongan yang kering kerontang. Inilah surga makna dan tempat menemukan hikmah bagi mereka yang tak sekadar bepergian, namun juga memungut helai demi helai makna untuk memperkaya kehidupan.

“Semoga saja berkah Kristus selalu hadir di tanah Sikka,” kata Frans. Saya mengiyakan ucapannya. Semoga saja tanah ini selalu menjadi surga bagi para pejalan di jalan spiritual. Semoga saja tumbuhan penuh makna tetap rimbun, dan daun-daunnya bisa menjadi cenderamata berharga bagi siapapun yang datang ke tanah penuh berkah ini. Semoga. 




Rahasia Ilmu Marketing Ada di Sekitar Kita



DIDASARI keinginan untuk mencari bacaan alternatif, saya membaca buku bertemakan marketing (pemasaran). Buku pertama yang saya baca adalah Wow Selling, yang ditulis Hermawan Kertajaya. Ternyata, para pelaku pemasaran menulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, tidak jlimet, penuh dengan contoh dan kiat-kiat praktis, serta mudah dipraktikkan. Para pemasar adalah penulis hebat yang membangun argumentasi dari bukti konkrit, yang digali dari fenomena keseharian.

Yang bikin saya terkejut, ternyata rahasia dari ilmu pemasaran itu tidak terletak pada berbagai strategi yang dipelajari di kampus, namun justru ada di sekitar kita. Rahasianya telah ditanamkan oleh orangtua kita sejak kecil. Hah? Gimane ceritanye?

***

LELAKI itu, Joe Girard, dikenal sebagai sales mobil paling tangguh di Amerika Serikat. Tak ada satupun yang bisa melampaui apa yang dilakukannya. Ia bisa menjual hingga enam mobil dalam sehari. Bayangkan, dalam sebulan ia bisa menjual mobil hingga 180 mobil. Bayangkan pula, berapa komisi yang didapatkannya.

Joe Girard amat percaya diri ketika ditanya rahasianya. Ia mengatakan, sekali seseorang mmbeli mobil padanya, maka orang itu pasti akan datang kembali. Kalau tak datang lagi, maka ada dua kemungkinan, yakni (1) pindah dari Amerika Serikat, (2) pindah ke planet lain. “Sebab sekali orang tersebut transaksi dengan saya, pasti akan mencari saya kembali saat hendak membeli mobil,” katanya dengan yakin.

Kisah Girard saya temukan dalam buku Wow Selling, Salespeople are the real marketeers. Dalam buku ini diurai rahasia Girard. Ternyata, ia selalu berusaha mengenali siapapun konsmennya, menghapal nama mereka, lalu secara rutin merawat pertemanan. Ia secara rutin mengirimkan kartu ucapan kepada semua yang pernah dikenalnya. Saya tahu betul bahwa tradisi mengirimkan kartu sangat bermakna bagi orang Amerika.

Girard melakukan itu pada setiap orang yang dikenalnya sekali dalam sebulan. Tak hanya itu, ia juga tak sungkan-sungkan untuk menelepon dan menyampaikan selamat ulang tahun. Ia punya daftar lenkap tentang nama dan tanggal ulang tahun. Ia berusaha menghafal hal-hal kecil tentang pelanggannya. Mulai dari jumlah dan nama anak, alamat rumah, hingga nama anjing yang dipelihara pelanggan. Setiap bertemu, ia akan menjadikan semua informasi itu sebagai pintu masuk untuk berdialog. Hebat khan?

Tak hanya Girard, saya juga menemukan beberapa kisah menakjubkan. Di antaranya adalah kisah Joe Kamdani, pendiri Data Script, office supplier terbesar di Indonesia. Ia pernah berkunjung ke Mayo Clinic di Florida karena sakit jantung. Ketika hendak operasi, Joe sempat ragu dan ingin mendapatkan second opinion. Saat menyampaikan itu ke pihak klinik, ia lalu diberikan daftar rumah sakit, serta di mana saja ia bisa memeriksakan diri. Pihak klinik mengurus semuanya, dan tidak meminta tips. Joe terkesan sebab pihak klinik mengabaikan hukum persaingan. Pihak klinik lebih mengutamakan kenyamanannya.

Saat hendak operasi, Joe diberi daftar tiga orang dokter yang bisa diilihnya. Malah, ia bisa mewawancarai para dokter itu. Ia akhirnya memilih dokter yang dianggapnya ramah dan menyenangkan. Apalagi, dokter itu punya prestasi bagus dalam hal operasi. Seusai operasi yang sukses, Joe kemudian menjadi pemasar gratis atas klinik itu. Mengapa? Sebab ia merasa puas dengan kebaikan dan kenyamanan yang diberikan pihak klinik.

Hermawan Kertajaya menyebut tindakan klinik itu sebagai Wow Selling. Pihak klinik menolak bayaran untuk hal-hal yang tak perlu, semisal sekadar berkonsultasi. Makanya, semua konsumen yang datang selalu puas, dan akan merekomendasikannya kepada pihak lain. Inilah bentuk promosi yang paling ampuh.

Para pemasar modern tidak lagi seperti para penjual obat yang selalu bercerita tentang kehebatan obatnya yang tidak punya cacat. Pemasar modern justru bercerita segala kelemahan produknya di sela-sela promosi tentang kekuatan produk. Para pemasar saat ini lebih mengutamakan pelayanan, kenyamanan, serta merebut hati para calon konsumennya.

***

BUKU ini bercerita tentang pemasaran serta kondisi masyarakat. Saya belajar banyak hal. Di antaranya, konsumen hari ini adalah tipe konsumen yang selalu mencari informasi tetang satu produk sebelum membelinya. Mereka lebih mudah percaya pada saran dan rekomendasi dari orang lain, ketimbang bahasa para pengiklan.

Konsumen hari ini akan mencari informasi melalui google, sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Makanya, para pebisnis akan berusaha membuat semua konsumennya nyaman, senang, serta puas dengan pelayanan, sebab sang konsumen itu bisa menjadi pemasar yang baik. Ketika mereka tak puas, maka mereka bisa saja menyebarkan ketidakpuasan itu melalui media sosial.

Argumentasi di buku ini sangat kuat sebab didasari oleh proses trial and error di lapangan. Yang saya suka dari buku ini adalah banyaknya bukti-bukti yang disusun secara rapi sehingga menguatkan argumentasi. Cara berpikir penulis buku mengikuti logika induktif, memulai dari hal yang khusus, kemudian membangun beberapa konsep dan penjelasan. Saya sangat menikmati gaya menulis dan aliran argumentasi di buku ini.

Inti dari Wow Selling itu dirumuskan secara sederhana;

Satukan kata dengan perbuatan
Tambahkan kejutan bagi pelanggan
Ajari pelanggan untuk tumbuh
Rawat pertemanan

Yang saya rasakan, prinsip-prinsip ini bukanlah hal yang baru. Saya teringat pada ajaran orang tua dan masyarakat kita untuk selalu berkata jujur, tidak menyakiti orang lain, berusaha membahagiakan siapapun, serta menyayangi siapa saja. Inilah kaidah-kaidah moral yang diajarkan oleh masyarakat kita secara tradisional.

Kehebatan para marketeers adalah kemampuan menyerap semua nilai-nilai kebaikan itu ke dalam segala tindakan promosi. Maka para pemasar hebat adalah mereka yang memahami para pelanggannya dengan amat baik, membangun pertemanan yang saling menguatkan, lalu meletakkan nilai-nilai persahabatan itu di atas segala hal yang menyangkut materi.

Ternyata kunci menjadi marketeers hebat ada pada nilai-nilai tradisional kita, seperti selalu berkata jujur, menghormati semua orang, berusaha membahagiakan orang lain, ataupun menyayangi yang lebih tua. Di kampung saya, prinsip-prinsip untuk menghargai orang lain itu diajarkan pada semua anak. Prinsip solidaritas serta selalu ‘menyediakan bahu bagi siapapun yang galau’ adalah bagian dari nilai-nilai bersama yang tumbuh di masyarakat kita, bukan sesuatu yang harus dipelajari di kampus-kampus.

Tak disangka, kearifan kultural kita itu menjadi rahasia dari para pemasar hebat. Ternyata rahasia mereka bukan pada buku-buku teks tebal yang dipelajari di kampus, melainkan ada di sekitar kita. Rahasia untuk jadi pemasar hebat terletak pada kebaikan dan ketulusan hati, yang kemudian membuat orang lain selalu ingin bersama kita. Inilah bagian dari kecakapan yang tak dipelajari di kampus-kampus, namun ada di kearifan masyarakat kita yang selalu meletakkan harapan pada siapapun.

Rahasia itu justru ada pada setiap kalimat nenek kita yang selalu memandangi dengan penuh bahagia, atau pada setiap baris kasih sayang yang ditiupkan ibu kita di saat kita hendak terlelap. “Nak, jadilah orang baik agar kelak kamu berguna bagi orang lain.”



Warisan Bandung Bondowoso


 
Candi Prambanan yang dibangun Bandung Bondowoso

SEBULAN ini, intensitas pekerjaan menjadi sangat berat. Saya harus mengikhlaskan waktu istirahat menjadi berkurang. Saya harus mengerjakan banyak hal dalam waktu singkat. Saya juga harus siap berpindah-pindah tempat, berpindah fokus, dan berpindah pekerjaan. Saya tak ingin mengeluh. Saya tetap mengerjakan apa-apa yang bisa dikerjakan.

Dalam keadaan seperti ini, saya teringat kisah tentang Bandung Bondowoso. Dalam legenda, ia diminta oleh perempuan cantik Roro Jonggrang untuk membangun seribu candi dalam semalam. Ia menggerakkan semua bangsa jin untuk bekerja dalam waktu singkat. Ia sudah hampir berhasil. Candi Prambanan telah berdiri, sebelum akhirnya Roro Jonggrang secara licik menggagalkan semua upayanya yang udah nyari mencapai finish.

Hampir semua orang tahu kisah ini. Hampir semua orang menempatkan Bandung Bondowoso sebagai sosok antagonis. Marilah kita lihat sisi lain kisah ini. 

Pada dasarnya, Bandung Bondowoso adalah seorang tipe pengambil risiko (risk-taker). Ia berani menerima tantangan untuk membangun seribu candi. Ia tahu kalau ia sanggup menyelesaikannya. Kisah tentang kerjasama dengan jin adalah simbol dari penggunaan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan sesuatu. Bisa pula ditafsir bahwa Bandung Bondowoso bisa menggunakan pihak ketiga untuk mencapai apa yang diinginkannya. Ia seperti para pebisnis modern.

Yang menarik buat saya adalah kemampuan Bandung Bondowoso untuk mengerjakan banyak hal sekaligus. Ia mengkoordinir para jin, mengatur logistik para jin, menyediakan material, serta mengatur kerja para divisi dalam membangun candi. Ia seorang multi-tasker yang mengatur semuanya secara rapi.

Apa yang dilakukan nya ternyata juga dilakukan oleh generasi modern. Dalam buku Grown Up Digital, Don Tapscott menjelaskan karakter kerja generasi sekarang sebagai multi-tasker. Katanya, generasi hari ini kerap kali mengerjakan banyak hal secara bersamaan. Kita bisa menilainya tidak fokus. Tapi Tapscott menunjukkan lewat riset bahwa generasi hari ini justru melakukannya dengan baik. Mereka terbiasa dengan tekanan, terbiasa dengan target, dan terbiasa melaksanakan banyak hal sekaligus.

Saya memiirkan Bandung Bondowoso ketika memikirkan bebrapa pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk. Saya bukan dirinya yang bisa menyelesaikan sesuatu yang besar dalam waktu singkat. Saya hanya seorang biasa yang sedang berusaha untuk mengerjakan banyak hal sekaligus.

Saya memikirkan bahwa barangkali teori Don Tapscott itu tak tepat untuk menjelaskan bagaimana generasi tua dan generasi muda di tanah air kita. Saya membayangkan debat seru antara Tascott dan Muchtar Lubis, yang pernah menulis artikel provokatif tentang manusia Indonesia.

Kalimat Muchtar Lubis yang membekas di benak saya adalah kita cenderung selalu mencari jalan pintas untuk meraih sesuatu. Seringkali kita hanya fokus pada tujuan, bukan pada proses bagaimana menemukan tujuan itu. Kita tak sabar untuk menjalani detik demi detik demi menggapai hari. Pantas saja jika generasi hari ini banyak yang kemudian masuk penjara gara-gara mentalitas jalan pintas, yang kemudian permisif pada berbagai tindak korupsi.

Entahlah. Saya hanya bisa mencatat. Banyak di antara kita yang tak siap menjadi Bandung Bonodowoso, sang pekerja keras. Lebih banyak pula yang meniru Roro Jonggrang, yang tak siap melihat kerja keras orang lain akan segera berbuah prestasi.


Bogor, 20 Desember 2014

Kembalinya Kisah Samurai X


poster film Ruroini Kenshin 2: Kyoto Inferno

DIRINYA adalah seorang samurai tak terkalahkan yang kemudian mengundurkan diri dari hiruk-pikuk pertarungan. Dirinya memilih tinggal di sebuah desa dan menjadi pengasuh anak-anak. Demi sumpah untuk tak membunuh siapapun, ia menyandang pedang tumpul jenis sakabato, yang tepiannya tak bisa menembus tubuh. Tiba-tiba saja, panggilan suci untuk membela kemanusiaan datang menyapa. Sanggupkah ia kembali mengayunkan pedang?

Lelaki itu adalah Kenshin Himura. Kisahnya bisa disaksikan pada film Ruroini Kenshin 2: Tokyo Inferno. Sebelum difilmkan, kisahnya sangat populer pada versi kartun dan komik berjudul Samurai X yang ditulis Nobuhiro Watsuki. Saya adalah penggemar setia yang menyaksikan satu demi satu episode petualangan samurai berbaju merah, berambut panjang, serta ada tanda goresan X di pipinya.

Dahulu ia seorang batosai, samurai yang membantai para samurai pemberontak. Ia membela Kaisar Meiji yang menghapus hak-hak istimewa para samurai. Ketika para samurai mengangkat pedang dan melawan kaisar, Kenshin berdiri pada posisi paling depan. Ia menjadi pembantai. Ketika revolusi usai, ia lalu memilih menyepi di desa kecil dan mengasuh anak-anak.

Saya menyenangi kisahnya yang menyepi dari rimba persilatan. Ia tak mau berkelahi. Namun ke manapun ia menyepi, ia selalu dicari. Banyak yang ingin membunuhnya. Ada yang bermotif dendam, namun jauh lebih banyak yang ingin mendapat cap sebagai pendekar tak terkalahkan. Di antaranya adalah musuh Kenhsin yakni Aoshi Shinomori.

Sebagai penggemar berat serial komik Samurai X, film Ruroini Kenshin 2 ini cukup memuaskan. Setelah menontonnya, saya terkesima. Gambarannya sesuai dengan serial kartun. Seingat saya, dari sekian banyak episode Samurai X, kisah Kyoto Inferno ini adalah kisah paling berliku-liku dan mendebarkan. Sang musuh adalah Makoto Shishio, yang dahulu menjadi murid Kenshin. Dendam terlanjur membakar diri Shisio. Ia mengumpulkan para jagoan, lalu hendak membakar kota dan menggulingkan kaisar yang berkuasa.

Kenshin merasa terpanggil untuk mengalahkan Shisio. Apalagi, sepak-terjang anak buah Shishio amatlah mencekam. Mereka menghancurkan desa-desa, membunuh banyak orang, serta melenyapkan banyak pihak yang berseberangan. Kota Kyoto menjadi saksi kembalinya Kenshin sebagai pendekar yang menghadapi banyak jagoan-jagoan hebat.

Kenshin Himura dalam versi kartun

Sayang, film ini banyak menyederhanakan apa yang tersaji di kartun dan komiknya. Seingat saya, masing-masing anak buah Shishio memiliki keistimewaan tersendiri. Beberapa di antaranya membuat Kenshin kepayahan dan nyaris tewas. Namun pertarungan demi pertarungan itu justru kian mengasah Kenshin untuk selalu belajar dan lebih bijak dalam melihat persoalan. Ia menjadi lebih filosofis, dan melihat pertarungan hanya sebagai arena untuk mengadu gagasan, sembari bermain-main di antara satu argumentasi ke argumentasi lainnya.

Sepanjang film, ada dua adegan perkelahian yang saya sukai. Pertama adalah ketika Kenshin menghadapi Seta Sojiro. Gaya bertarung Sojiro amatlah aneh dan tidak lazim. Biasanya, Kenshin sangat memperhatikan mimik dan ekspresi seseorang. Ketika ada ketakutan, maka itu adalah pertanda kekalahan. Tapi lawan yang satu ini justru berbeda. Ekspresinya selalu penuh senyum. Wajahnya jenaka dan kekanak-kanakan. Ia menganggap berkelahi dengan pedang hanya sebagai arena bermain. Pada duel pertama, Kenshin kalah. Pedangnya patah.

Pertarungan kedua adalah saat Kenshin menghadapi pendekar yang memakai dua pedang samurai saat bersamaan. Pendekar itu sebelumnya menculik anak seorang pembuat pedang hebat. Dalam keadaan emosi terpancing, Kenshin memakai pedang hebat pemberian sang putra pembuat pedang yang anaknya diculik. ia mengeluarkan jurus andalannya Hiten Mitsurugi Ryu. Lawannya tersungkur. Ia tak tewas sebab pedang Kenshin adalah pedang jenis sakabato. Kembali, ada filosofi bahwa di abad modern, saatnya para samurai tak perlu memakai pedang tajam.

Apapun itu saya cukup puas dengan film Ruroini Kenshin 2: Tokyo Inferno. Sayang, kisahnya tak tuntas. Selain itu, sosok Kenshin justru agak dingin. Ia tidak sehangat dan sekonyol versi kartunnya. Saya juga kehilangan humor-humor ala Kenshin, serta sikap konyol sahabatnya, Kaoru dan Sagara Sanosuke. Tapi saya justru menyukai pilihan sutradara untuk membagi film menjadi dua. Sebab dalam kisah kartunnya, pertarungan melawan Makoto Shishio menjadi pertarungan puncak setelah sebelumnya Kenshin mengalahkan banyak jagoan yang bekerja di bawah kendali Shishio.

sosok-sosok yang muncul dalam film

Beberapa hal yang saya kagumi pada Kenshin. Pertama, pada titik tertentu, seorang berpengetahuan harus melebur di tengah masyarakat. Pengetahuannya tak perlu menjadi benteng yang membuat dirinya merasa hebat dan eksklusif. Seorang hebat adalah seseornag yang bisa bermain-main dengan siapapun, menjadi sasaran olok-olok dari anak kecil, serta menjadi warga biasa.

Kedua, seseorang hebat harus meletakkan kecintaan pada rakyat biasa sebagai sumbu utama kehidupannya. Ia harus menjadikan pengetahuannya sebagai setitik api yang bisa mengatasi kegelapan. Ia hadir membawa kebaikan, menghadirkan terang bagi rakyat kebanyakan, serta menjadi air yang menyuburkan lahan kehidupan. Seorang berpengetahuan harus memberikan harapan, sesuatu yang menjadikan seseorang hidup dengan lebih bersemangat, serta menemukan visi terang melihat masa depan.

Mungkin inilah tanggung jawab mereka yang berpengetahuan. Di masa modern, para samurai tak perlu membawa pedang. Barangkali mereka akan membawa pengetahuan sebagai senjata paling hebat. Mereka belajar sampai pada level tertinggi, lalu membumikan pengetahuannya sebagaimana kata Paolo Freire, education as a powerful weapon. Itulah para samurai di jaman kini.


Bogor, 14 Desember 2014


BACA JUGA: