BAGI sebagian orang, bahasa Inggris itu
amat mudah dipelajari. Namun bagi warga kampung sepertiku, bahasa Inggris itu
sangatlah sulit. Sewaktu belajar di sekolah menengah, bahasa Inggris menjadi
momok bersama pelajaran matematika. Nah, ketika tiba-tiba disuruh untuk belajar
bahasa Inggris secara intensif, aku memasuki masa-masa yang berat. Ajaibnya, ketika bertemu dengan seorang pekerja seks di Jalan Jaksa Jakarta, aku tiba-tiba saja menemukan banyak kepingan pencerahan. Bagaimanakah ceritanya?
|
ilustrasi |
Beberapa tahun silam, seusai dinyatakan
sebagai penerima beasiswa, aku sadar bahwa kemampuan bahasa harus di-upgrade. Jika ingin tinggal dan belajar
di luar negeri, maka aku wajib menguasai bahasa ini. Minimal aku bisa
mendapatkan satu kunci untuk kemudian membuka pintu gerbang pendidikan. Tanpa
skor bahasa yang memadai, bisa-bisa aku tak diizinkan untuk berangkat. Lagian,
mana mungkin ada kampus yang mau menerima seorang calon mahasiswa yang memiliki
skor pas-pasan. Jika tak bisa bahasa Inggris, dengan cara apa belajar di
kampus?
Tak semua beasiswa mensyaratkan kemampuan
bahasa Inggris yang tinggi. Dulu aku hanya mendapat skor Toefl 470. Pihak
sponsor mensyaratkan semua yang menerima beasiswa untuk belajar bahasa Inggris
di kampus Universitas Indonesia (UI) selama enam bulan. Semua peserta
diharapkan untuk meningkatkan skor kemampuan berbahasa.
Di Lembaga Bahasa Internasional (LBI) UI,
kami belajar setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu. Jam belajar dimulai pukul
delapan pagi, dan berakhir jam tiga sore. Istirahat dan makan siang dari jam 12
sampai jam 1 siang. Pelatihan ini cukup berat bagi sebagian kawan. Maklumlah,
rata-rata penerima beasiswa ini adalah para penggiat kegiatan sosial di
masyarakat. Kami semua berasal dari kampung yang telah lama meninggalkan
kampus. Banyak di antara kami yang dahulu bukan mahasiswa terbaik. Hanya saja
rata-rata kami punya segudang aktivitas di masyarakat.
Dengan semangat yang kembang-kempis, aku menjalaninya.
Bersama teman-teman, aku kos di dekat kampus UI, tepatnya di Salemba. Sebulan
kemudian, kami kembali menjalani tes Toefl. Sialnya, skorku malah turun menjadi
450. Apakah gerangan yang harus kulakukan?
Aku lalu mengevaluasi metode pembelajaran
bahasa. Kesulitan utama dalam belajar bahasa adalah materinya diajarkan di
kelas sebagaimana anak sekolah. Pihak LBI tidak memberikan inovasi atau metode
berbeda bagi teman-teman, yang kebanyakan di antaranya sudah berusia di atas 25
tahun. Padahal, di dunia lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah berkembang
banyak metode yang kemudian diterapkan dalam pendidikan orang dewasa. Dengan metode
ala kelas, aku pasti akan kesulitan untuk mengejar ketertinggalan dalam hal
bahasa.
Aku memutuskan untuk belajar mandiri. Setiap
dua hari, aku membeli DVD film bajakan yang banyak dijual di Salemba. Setiba di
rumah, aku lalu mendengarkan dialog dalam film itu, setelah terlebih dahulu
menonaktifkan subtitle-nya. Meskipun kesulitan, aku berusaha untuk memahaminya.
Seringkali, dialog dalam film mudah
dipahami karena adanya gestur dan bahasa tubuh (body language). Aku berusaha untuk tidak menyaksikan gambar di
layar. Aku hanya fokus pada dialog-dialog dalam bahasa Inggris. Mulanya memang
berat, namun aku berusaha untuk memahami secara perlahan-lahan.
Inipun belum cukup. Aku mesti meningkatkan
kemampuan bahasa dengan cara bercakap langsung dengan bule yang banyak
bertebaran di Jakarta. Kupikir bahasa adalah kemampuan praktis. Tanpa latihan,
maka mustahil bisa bercakap dalam bahasa Inggris. Aku memetakan di mana saja
lokasi para bule sering ngumpul di Jakarta.
Seorang kawan memberitahu kalau kebanyakan
mereka sering nongkrong di Jalan Jaksa. Bule-bule yang nongkrong di situ sering
disebut bule kere karena banyak di antara mereka datang dengan sandal jepit,
serta dianggap punya standar hidup yang sama dengan kebanyakan warga Jakarta.
Setelah beberapa kali berkunjung, aku mulai menjadi pelanggan satu kafe di
situ. Aku mulai mendapat beberapa teman dari berbagai negara. Di sanalah aku
mendapat pengalaman unik.
Belajar dari Pekerja Seks
Kisahnya bermula ketika seorang kawan
berkebangsaan Inggris datang bersama seorang perempuan muda dengan lipstick
tipis. Mereka duduk tak jauh dari tempat saya biasa duduk bersama beberapa
teman. Bule Inggris itu tak henti-hentinya bercerita banyak hal sambil sesekali
tertawa. Perempuan di sebelahnya juga ikut nimbrung dan menimpali pembicaraan
dalam bahasa Inggris. Aku memperhatikan pelafalannya yang amat fasih, seolah
pernah lama tinggal di luar negeri.
Lelah mendengarkan dialog, aku lalu ke
kamar kecil. Ternyata, bule itu ikut pula ke kamar kecil. Kami lalu jalan
bersisian. Aku lalu memulai pembicaraan.
“Apakah
dia pacarmu?”
“No.
Saya baru pertama ketemu. Saya telepon mami Robert dan minta dicarikan teman
kencan. Duit saya pas-pasan. Ia lalu menunjuk wanita itu,”
Selanjutnya, semua berjalan seperti biasa.
Saya pun kembali ke meja. Perempuan itu lalu menyalakan rokok Marlboro.
Bibirnya ikut bersenandung, mengikuti penyanyi di atas panggung sana. Baru kuperhatikan
kalau wajah perempuan ini amat cantik. Ia mengingatkan pada artis Dewi Persik.
Dikarenakan posisi yang tak seberapa jauh dengannya, aku leluasa untuk
mengajaknya ngobrol.
“Bahasa
Inggrismu fasih. Pernah tinggal di luar negeri?”
“Boro-boro
ke luar negeri. Keluar Jakarta aja gak pernah,” katanya sambil tersenyum lalu menghembuskan asap
ke wajahku.
“Lantas,
belajar bahasa Inggris di mana? Sekolah yaa?”
“Sekolahku
hanya sampai kelas dua SMP. Mana sempat belajar bahasa. Saya belajar di jalan.
Belajar sama bule-bule bodoh kayak teman kamu itu,” katanya.
“Trus,
gimana cara belajarnya?”
“Gak
tahu. Saya hanya suka ngobrol. Trus pelan-pelan paham, dan selanjutnya bisa
deh,” katanya.
Aku terdiam. Aku sedang memikirkan sistem
belajar bahasa di sekolah-sekolah. Perempuan ini tak pernah belajar bahasa
secara formal. Tapi kemampuan komunikasinya amat luar biasa jika dibanding
mereka yang belajar di sekolah. Perempuan ini sefasih bule.
Barangkali, ada yang salah dengan metode
belajar di sekolah. Kita tak akan pernah menguasai bahasa jika memperlakukannya
sebagai rumus matematika yang dihapalkan, sebagaimana dipelajari di
sekolah-sekolah. Bahasa adalah sesuatu yang harus dipraktekkan, digunakan dalam
keseharian, dipakai untuk menjelaskan makna, lalu membuka ruang-ruang
komunikasi. Bahasa adalah sesuatu yang diasah melalui proses trial and error. Bahasa mesti
dikembalikan pada esensinya yakni sebagai cara untuk menyampaikan maksud. Dan
itu bisa dipelajari oleh siapapun, asalkan punya hasrat untuk tahu.
Perempuan ini telah menampar pandanganku
tentang lembaga pendidikan. Sungguh keliru jika meletakkan pendidikan sebagai faktor
penting untuk mengasah kemampuan. Buktinya, perempuan yang kukenal di Jalan
Jaksa itu jauh lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang mereka yang mengenyam
sekolah.
Institusi terbaik untuk belajar ada dalam
diri semua orang yakni keikhlasan untuk belajar, rasa ingin tahu yang amat
besar, serta keinginan untuk memahami sesuatu. Jika ditilik dengan
syarat-syarat ini, maka perempuan di hadapan ini adalah seorang pembelajar
hebat yang menguasai sesuatu melalui proses belajar dan interaksi.
Sayang, pertemuan dengan perempuan itu
sangat singkat. Malah, aku belum sempat mencatat nama dan nomor teleponnya.
Perempuan itu mengajarkanku sesuatu yang
melampaui apa yang dipelajari di sekolah-sekolah. Bahasa itu harus
dipraktikkan. Ia harus dipelajari dengan penuh keriangan serta dialami dalam
dialog dan percakapan sehari-hari. Pantas saja jika para linguis selalu
menekankan pada keberanian untuk bercakap, serta keikhlasan untuk belajar dari
segala kesalahan.
Sebulan setelah bertemu perempuan itu, aku
kembali menjalani tes Toefl. Saat itu, mulai ada perbaikan yang cukup
signifikan. Aku juga lebih percaya diri untuk bercakap di kelas berbahasa
Inggris. Aku sangat bahagia atas pencapaian itu. Pada satu hari, langkah kakiku
kembali ke kafe di Jalan Jaksa. Aku berharap agar bertemu perempuan itu dan
menyampaikan ucapan terimakasih.
Sayangnya, malam itu perempuan itu tak
tampak. Bahkan beberapa malam setelahnya. Hingga kini, aku masih menyimpan rasa
terimakasih yang seharusnya kusampaikan atas pencerahan yang dibisikkannya di
suatu malam.