Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Gadis Nelayan di Wakatobi




Senyumnya mengembang saat berpose di depan ikan baronang raksasa di Desa Liya Bahari, Wakatobi. Dia begitu gembira menyaksikan anak-anak yang semuanya membawa gambar ikan baronang yang diacungkan.

Saya pun mendekat dan mengabadikan kembang senyum itu. Kami saling sapa. Dia bercerita tentang kegemarannya ke laut. Dia pun bercerita tentang bapaknya yang hari itu sangat gembira memanen ikan baronang.

Saya menyimak kisahnya. Saya teringat diskusi dengan senior dan sahabat Zulfikar yang kini menjadi Dirjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Katanya, dunia nelayan Indonesia sedang mengalami krisis nelayan muda. Banyak anak muda nelayan yang tidak tertarik jadi nelayan. Anak2 nelayan lebih banyak yang bercita-cita jadi aparatur sipil negara (ASN).

Saya belum lihat datanya. Tapi dugaan saya, krisis nelayan muda juga tengah melanda Wakatobi. Ketimbang meneruskan pekerjaan bapaknya, anak-anak nelayan lebih memilih untuk merantau dan melakoni profesi lain. Profesi nelayan dianggap tidak keren, kurang gaul, dan sedikit kampungan.

"Saya malah ingin jadi nelayan," gadis muda ini seakan paham apa yang saya pikirkan.
"Masak sih?"
"Iya. Buktinya, sekarang saya jadi mahasiswa Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan di Wakatobi."

Saya tersenyum. Sahabat Zulfikar pernah bercerita mengenai sekolah vokasi yang dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan di Wakatobi. kurikulum sekolah ini diharapkan lebih applied, lebih terapan. Tujuannya agar anak muda bisa langsung bekerja di sektor perikanan.

Saya rasa mindset masyarakat pun harus berubah. Profesi nelayan, dan juga petani, adalah sokoguru rumah kebangsaan kita. Mereka berkontribusi besar pada penyediaan pangan yang akan merawat generasi dan menentukan wajah suatu bangsa. Senyum nelayan hari ini adalah senuum generasi Indonesia masa mendatang.

Di era 4.0, profesi nelayan juga harus berkembang. bukan lagi hanya menggunakan jala dan kail, tapi sudah harus mengandalkan big data, memantau data satelit tentang arah ikan, memahami kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk penangkapan yang efektif dan ramah lingkungan. Nelayan harus memiliki spirit bisnis lalu mengelola sektor perikanan sebagai bisnis yang produktif dan bisa mensejahterakan.

"Kak, jangan lupa hadir di acara Hekomba, nanti malam. Saya mengundang kakak," katanya dengan mata berbinar. Dia langsung beranjak. Saya suka memandang rambutnya yang agak pirang.

Saya tidak tahu apa itu hekomba. Kata seorang kawan di desa Liya, tradisi hekomba adalah tradisi menikmati malam di terang bulan. Saat itu laki-laki akan bertemu perempuan pujaannya kemudian berkenalan lebih akrab. Keduanya memandang bulan bersama-sama. ini tradisi yang sangat romantis di masyarakat pesisir.

Dalam hati kecil, ada tunas tanya yang tumbuh, kok dia mengajak saya yaa.



BAHLIL LAHADALIA di Pulau Tomia


Bahlil di Pulau Tomia

Di antara banyak nama yang disebut Presiden Jokowi sebagai menteri, saya tertarik dengan satu nama yakni Bahlil Lahadalia, Kepala BKPM. Secara fisik, dia tampak berbeda. Dia kelihatan seperti wajah orang kebanyakan. Dia seperti wajah yang kita lihat di pelelangan, atau pasar ikan. Dia berwajah seperti orang sebelah rumah kita.

Bandingkan dengan Airlangga Hartarto yang wajahnya terlihat sebagai orang yang lahir dan besar di keluarga kaya. Lihat pula bedanya dengan Prabowo Subianto yang kelihatan gagah dengan kharisma dan aura terpancar. Jangan bandingkan dia dengan Erick Thohir.

Saya beberapa kali bertemu dan berbincang dengannya di markas Relawan Pengusaha Nasional untuk Jokowi-Amin (Repnas) yang dibentuk para pengurus HIPMI. Dia menjadi Ketua Dewan Pembina Repnas, sementara saya menjadi konsultan media sosial.

Di situlah saya mendengar suaranya yang sekeras debur ombak di lautan. Dia berbicara dengan logat timur Indonesia yang kental. Saat dia tahu saya orang Buton, dia langsung sumringah. Dia mengaku sebagai orang Buton. Orangtuanya berasal dari Pulau Tomia dan Binongko di Wakatobi, yang merantau ke Maluku Tengah, kemudian ke Fakfak, Papua. Daerah-daerah ini adalah kota-kota yang menjadi migrasi orang Buton di timur Nusantara.

Beberapa tahun lalu, sahabat saya Eka Sastra sudah bercerita banyak tentang Bahlil. Dia memulai semuanya dari bawah. Mereka yang sering ke timur pasti paham bahwa kebanyakan orang Buton sering menjadi pekerja kasar yang bekerja keras. Dia pun menjalani hidup yang cukup keras.

Di masa kecil, Bahlil sudah menjajakan kue di sekolah. Semasa belajar di SMK, bahkan dia menjadi kondektur dan sopir angkot. Saat kuliah, dia tak punya biaya untuk lanjut ke Jawa. Dia lalu banting stir kuliah di sekolah tinggi yang tidak terkenal di Jayapura. Dia pun bekerja serabutan sebagai sopir angkot untuk membiayai kuliahnya.

Tapi, dalam dirinya ada jiwa seorang aktivis. Dia bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga terakhir menjabat sebagai Bendahara Umum di PB HMI. Para aktivis HMI di Jakarta sering bercerita tentang Bahlil yang memulai kariernya dari tukang bikin kopi, lalu perlahan mulai sok akrab dengan para senior sehingga mendapat kepercayaan.

Saya melihat dia tipe pekerja keras yang mudah akrab dengan siapapun. Dia juga tipe yang hangat dan suka bercerita lepas. Ini menjadi modalnya ketika mengarungi rimba raya Jakarta. Dia menemukan passion-nya di dunia bisnis. Perlahan dia mulai menikmati kesuksesan, hingga akhirnya bisa membangun gedung bernama Cenderawasih Building di kawasan Mampang Prapatan.

Yang saya sukai, dia bukan tipe yang suka menutupi masa lalunya. Dia tak pernah malu bercerita dirinya di masa lalu yang bukan siapa-siapa. Dia ingin memotivasi adik-adiknya di HMI kalau semua orang bisa menggapai kesuksesan sepanjang berusaha dan punya semangat pantang menyerah.

Namanya mulai berkibar saat maju sebagai calon Ketua HIPMI. Dia melawan pengusaha yang merupakan putra dari satu grup besar taksi yang beroperasi skala nasional. Dia bisa memenangkan kontestasi itu. Bintangnya kian bersinar dan mulai sering tampil di layar televisi.

Saat perhelatan kampanye presiden 2019, dia langsung bergabung dengan Jokowi. Saya mendengar sendiri alasannya di kantor Repnas. Dia ingin melihat orang kampung seperti Jokowi bisa menjadi pemimpin. Dia menyebut dirinya dan Jokowi punya DNA yang sama yakni sama-sama dari kampung, sama-sama memulai dari nol. “Saya ingin lihat orang kampung menjadi presiden,” katanya.

saat Bahlil dipanggil Jokowi sebagai menteri

Di dunia pengusaha, Bahlil adalah mentor bagi banyak orang. Dia selalu mengajarkan kerja keras dan tekun belajar. Dia punya teori tentang para pengusaha yakni by nasab dan by nasib.

Yang dimaksudkannya by nasab adalah pengusaha yang mengelola usaha yang merupakan warisan keluarga. Pengusaha yang kaya karena sudah kaya dari sononya. Sedangkan by nasib adalah pengusaha yang memulai semuanya dari bawah, sebab harus bekerja demi hidup. “saya ini pengusaha by nasib karena harus mulai dari nol. Saya generasi pertama,” katanya sembari terkekeh.

“Yang kita butuhkan adalah pengusaha by desain. Karena segala hal harus dirancang sejak dini. Kompetisi makin ketat, makanya bisnis juga harus cerdas.’

Saat ditanya siapa sosok pengusaha yang paling menginspirasinya, dia langsung terdiam sesaat. Dia menyebut sumber inspirasinya adalah orang Buton bernama Lahadalia, bapaknya yang berprofesi sebagai buruh bangunan. Bapaknya adalah buruh bangunan yang bergaji 7.500 rupiah per hari, namun bisa menyekolahkan 8 anaknya hingga sarjana. Bapaknya tetap bekerja untuk anaknya, meskipun sedang sakit.

“Sayang, bapak saya meninggal tahun 2003, saat saya belum jadi apa-apa,” katanya parau.

Andai saja bapaknya melihat dirinya dipanggil presiden sebagai seorang menteri, pasti dia akan tersenyum bahagia.


Geliat Literasi di Wakatobi




Di Pulau Wanci, Wakatobi, saya kembali bertemu anak muda inspiratif ini. Dia dipanggil Muizt Bhojest. Hari-harinya tak lepas dari kamera. Dia fotografer, tapi belakangan ini mulai menekuni film dokumenter.

Lima tahun lalu, saya bertemu dengannya saat saya datang bersama peneliti IPB yang mengerjakan proyek dari Kementerian Desa. Saya memberikan coaching clinic terkait penulisan. Dia salah satu peserta paling aktif. Saat itu kami membuat buku berjudul Wakatobi: Catatan Para Penyaksi.

Hasrat belajarnya tak pernah surut. Ketika saya tinggalkan Wakatobi, dia terus perdalam kemampuannya menulis skenario. Dia menulis tentang seorang lelaki Suku Bajo yang mencari aksara.

Suku Bajo adalah suku penjelajah lautan yang kemudian menetap di beberapa pesisir laut. Mereka tak bisa jauh dari lautan. Di beberapa daerah, pemerintah hendak mendaratkan orang Bajo. Kebijakan ini jelas ditentang sama orang Bajo sendiri sebab menjauhkan mereka dari lautan.

Bojes memotret sekeping kenyataan tentang anak muda Bajo. Dia membuat cerita tentang lelaki Bajo yang hendak mencari aksara. Anak muda itu mencari guru yang bisa mengajarnya baca tulis. Kata Bojes, masih banyak orang Bajo yang belum bisa membaca dan menulis.

Mereka butuh kemampuan baca tulis agar bisa bernegosiasi dengan pemerintah, agar bisa terkoneksi dengan dunia luar. Saya teringat Butet Manurung yang memberikan keterampilan baca tulis bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi.

Bojes membuat film dokumenter tentang anak muda itu. Kisah Mustari Mencari Aksara itu mengangkat perjalanan seorang anak Bajo untuk mencari guru yang mengenalkannya pada aksara. Karyanya kemudian diikutkan lomba di tingkat nasional. Ketekunannya berbuah.

"Saya tidak menyangka, karya itu terpilih sebagai juara dua nasional," katanya saat saya temui di Wakatobi.

buku yang kami buat di Wakatobi

Bojes diundang ke Makassar untuk mendapatkan penghargaan atas karya filmnya. Dia memakai pakaian khas tokoh adat di Wakatobi. Dia bangga karena mengharumkan gugusan pulau indah itu ke pentas nasional. (silakan cek filmnya di Youtube)

Kini dia aktif berjuang untuk literasi. Dia ingin membuat buku mengenai cerita rakyat Wakatobi. Dia pun ingin membuat pameran foto hasil perjalanannya di wilayah yang disebut sebagai surga nyata bawah laut itu.

Saya tidak menyangka Rumah Kita, yang pernah saya dirikan di Wakatobi, kini terus berkembang. Anggotanya terus menuai prestasi di bidang-bidang kreatif. Selain Bojes, saya juga bertemu Guntur yang kini menjadi salah satu fotografer bawah laut terbaik yang pernah saya kenal.

Mereka adalah asa di gugusan pulau indah ini. Mereka punya andil untuk menggemakan Wakatobi ke pentas global sebagai destinasi wisata yang pantas dibanggakan. Sepuluh tahun lalu, Wakatobi belum sehebat ini.

Berkat kerja banyak orang, termasuk mereka dan penggiat sektor kreatif, kabar tentang pulau ini menggaung ke mana-mana.

“Sperma yang dulu kau tanam di sini sudah mulai besar. Sering-seringlah ke sini,” kata Guntur, sahabat Bojes. Yang dia maksudkan adalah Rumah Kita, di mana saya punya andil untuk mendirikan dan melatih mereka.

Saya tersenyum kecut. Saya tahu dia bermaksud menyindir saya yang pernah datang sebagai orang pusat membawa program di masyarakat lokal kemudian menghilang.

Saya lalu diam sambil memandang seorang nelayan yang baru saja pulang dari melaut. Hei, dia bersama anaknya yang cantik. Sesaat saya melupakan Bojes.


Jusuf Kalla yang Mendayung di Antara Dua Presiden




Di tengah sorak-sorai dan gegap-gempita di acara pelantikan, saya terkenang Jusuf Kalla. Ada semacam rongga yang kosong dalam diri saat mengenang sosok hebat ini. Sebagai wakil presiden, dia lebih banyak diam. Tapi mereka yang berada di lingkaran istana paham bahwa dia sosok yang sedang menjaga keseimbangan.

Pada Jusuf Kalla, kita melihat bagaimana gagasan-gagasan bisa dibumikan. Dia melengkapi sisi lain Jokowi yang selalu ingin cepat, tanpa memahami bagaimana birokrasi bekerja, serta berbagai aturan harus dibenahi.

Pada Jusuf Kalla, kita melihat sosok yang kenyang makan asam garam pemerintahan. Dia pun sering di-bully dan dicaci, khususnya televisi berwarna merah yang menjadikan ucapannya tentang Jokowi sebagai bulan-bulanan. Namun dia tetap memancarkan senyum di balik kumis tipis serta logat Bugisnya yang masih kental.

Saya melihat sosoknya bukan semata sebagai wakil presiden. Dia adalah representasi kawasan timur Indonesia, kawasan yang warganya tak lagi bermimpi jadi presiden selagi pemilihan masih mengandalkan popularitas, geopolitik, dan isu-isu kesukuan. Jusuf Kalla menerabas semua arus saat tampil sebagai tokoh penting republik ini.

Saya mengenal banyak orang di lingkarannya. Beberapa kali pun, saya menyempatkan waktu untuk bertandang ke Istana Wapres. Tak terhitung beberapa kali saya ditraktir sama orang dekat beliau, mulai dari jubir, hingga staf humas. Di Istana Wapres, saya menemukan suasana egaliter dalam canda dan tawa penuh persaudaraan.

BACA: Saat Jusuf Kalla Gertak Laskar Jihad

Sosok Jusuf Kalla meningatkan saya pada Hatta yang selalu ingin mencari rekonsiliasi. Hatta pernah menulis buku yang sangat menggetarkan yakni Mendayung di Antara Dua Karang demi menentukan pijakan ekonomi politik Indonesia di tengah percaturan global.

Kata Hatta, Indonesia tidak berpijak pada blok politik mana pun. Indonesia bebas dan aktif dalam perdamaian dunia. Dalam dunia ekonomi, orang-orang melihat posisi Hatta yang hendak keluar dari berbagai ideologi besar.

Pulihan tahun setelah Hatta menulis, Jusuf Kalla pun memilih posisi itu. Dia selalu memilih berada di tengah dari perseteruan anak bangsa yang suka mengotak-ngotakkan diri. Saat pemerintahan Jokowi cenderung ke satu kubu, Jusuf Kalla menjadi temali yang merekat banyak kubu.

Risikonya, dia sering dianggap berposisi di seberang kapal yang dikemudikan presiden. Dia akan dicaci dan dihina oleh mereka yang menjadi garis keras pemerintah. Dia pun akan sering diabaikan dalam urusan politik dan pemerintahan.

Tapi semua tahu, bahwa dalam sikap yang terkesan mendua itu, dia sedang menjaga rumah kebangsaan menjadi milik semua kalangan. Dia ingin mempertegas bahwa republik ini bukan milik satu kalangan. Semua kalangan punya saham terhadap republik ini, terlepas dari begitu banyaknya ketidaksepakatan kita dengannya.

Dia merangkul semua pihak, termasuk pihak yang sering dianggap “musuh” banyak kalangan. Dengan cara itu, dia bisa diterima semua kalangan. Bukan berarti dia selalu mendua, namun dia ingin menyatakan bahwa perbedaan pandangan politik tidak harus membuat kita saling benci dan menyingkirkan yang lain.

BACA: Jusuf Kalla, Quraish Shihab dan Kisah-Kisah Keluarga

Dalam dua kali menjabat sebagai wapres dari dua periode berbeda, tentunya Jusuf Kalla punya banyak cerita.

Di masa SBY, dia sering jadi tameng saat pemerintah hendak mengeluarkan kebijakan yang tidak populer. Dia yang mengumumkan kenaikan BBM, sehingga dicaci publik. Saat BBM diturunkan, Presiden SBY yang gantian mengumumkan. Jusuf Kalla tetap menjalankan tugasnya, meskipun sering menempatkan dirinya dalam posisi tidak menyenangkan.

Di era Jokowi, Istana Wapres selalu terbuka pada kelompok yang mengatasnamakan agama. Dia menerima semua kalangan lalu mengajaknya berdialog. Dia tahu bahwa mereka yang datang dengan api amarah pasti akan mendingin saat dihadapi dengan senyum dan diberi tetes kalimat lembut.

Jusuf Kalla menyimpan banyak hal, cerita, dan dinamika politik di antara dua presiden. Kita tak pernah mendengar kalimatnya yang merendahkan dua sosok yang pernah didampinginya. Di titik ini, dia seteguh Jenderal M Jusuf, sosok yang dikaguminya dan memberinya perintah untuk menyelesaikan Al Markaz Al Islami di Makassar.

BACA: Pesan Tersembunyi dalam Puisi Jusuf Kalla

Saya membayangkan hari-hari yang tak pasti dengan pergantian Jusuf Kalla. Kita semua akan kehilangan satu sosok di pemerintahan yang menjadi perekat semua kalangan dan kelompok. Kita bakal rindu dengan negosiator ulung, yang paham dinamika manusia, sehingga semua pihak merasa ditinggikan dalam konteks bernegara.

Pada diri Jusuf Kalla, kita melihat banyak sisi baik. Dia bukan saja pebisnis handal, ekonom hebat, pekerja keras, penanam kata damai, tapi dia juga sosok yang mempertemukan semua pihak. Dia berdiri di tengah anak bangsa yang merukunkan dan mendamaikan, sembari memberi terang ke mana bangsa ini bergerak.

Saya berharap, semangat perdamaian serta posisi politik yang memihak bangsa harus tetap dirawat dan ditumbuhkan. Semangat Jusuf Kalla harus dilestarikan dan diabadikan dalam gerak laju kebangsaan kita.

Jika Habibie membentuk Habibie Center, satu wadah yang menyebarkan inspirasi dan pemikiran Habibie, saya berharap ada semacam Jusuf Kalla Center yang bisa merawat perdamaian dan kerja keras di antara sesama anak bangsa.

Inspirasi dan teladan Jusuf Kalla ibarat benih yang harus disemai dan disebar ke mana-mana. Di masa depan, kita akan melihat ada banyak pohon perdamaian dan pohon kerja keras yang tumbuh kuat, dengan akar kebangsaan yang kokoh, lalu ranting dan daun-daun menjangkau mega-mega harapan. Kelak, pohon itu akan mengeluarkan buah manis untuk semua anak bangsa.

Terimakasih Daeng Ucu.

BACA: Husain Abdullah: Dari Jurnalis, Jubir Wapres Hingga Calon Walikota





Saat BARONANG Melintas di WAKATOBI


nelayan di Wakatobi

Di banyak tempat, alam menjadi obyek eksploitasi manusia demi keserakahan. Tapi di Liya, Wakatobi, para nelayan dan masyarakat lokal masih memelihara satu kearifan budaya yang mengagumkan.

Saat ikan baronang (rabbitfish) melintas dan melepas telur di wilayah itu, para nelayan bersukacita. Mereka mengadopsi ikan, menghormati ikan yang belum melepaskan telur, lalu berbagi dengan warga sekampung.

Mereka menggelar festival.

***

BAPAK nelayan itu menyiapkan perahu. Saat saya temui di pesisir Pulau Wanci di Wakatobi, dia sedang menata jaring atau perangkap ikan yang disebut ompo. Dia tersenyum sembari memandang lautan yang tengah ramai dengan para nelayan.

Hari itu, para nelayan Wakatobi sedang diliputi suasana penuh gembira. Mengacu pada kalender dan tradisi yang sudah berlangsung sekian tahun, ikan-ikan baronang akan bermigrasi dan melintas di perairan itu.

Di kalangan penyuka seafood, ikan baronang yang dalam bahasa setempat disebut borona, adalah ikan yang teramat lezat. Ikan ini selalu menjadi menu favorit di semua rumah makan. Namun, ikan ini tak selalu tersedia.

Di Wakatobi, ikan baronang malah rutin melintas dalam jumlah banyak. Ikan-ikan itu tak sekadar melintas. Mereka juga melepaskan telurnya di perairan itu, kemudian berpindah. Para nelayan telah lama memiliki kalender tentang kedatangan ikan itu.

Mereka sudah menyiapkan ompo untuk menangkap banyak ikan. Namun, mereka semua terikat pada aturan adat yakni hanya boleh menangkap ikan yang telah melepaskan telurnya. Ikan yang belum masih memiliki telur dibiarkan tetap bebas berkeliaran.

Musim migrasi besar-besaran ikan baronang berlangsung setiap tahun pada bulan September dan November tanggal 11-13 bulan hijriah. Semua nelayan telah lama menyiapkan perangkap ikan. Setiap tahun, mereka akan merayakan momen migrasi itu dengan riang gembira.

“Ikan baronang kayak berebut masuk ompo,” kata bapak nelayan itu dengan tersenyum.

Saya menyimak tuturannya. Alam semesta amat pemurah pada masyarakat Wakatobi. Setiap tahun alam semesta mengirimkan ribuan ikan untuk sekadar melintas agar bisa ditangkap para nelayan. Para nelayan pun membalas kemurahan alam semesta itu dengan cara hanya menangkap yang bisa ditangkap.

Faetival Migrasi Ikan Baronang


Para nelayan menjaga keseimbangan ekologi dengan cara menjaga kontinuitas dan regenerasi ikan baronang sehingga setiap tahun ikan-ikan akan tetap melintas dan panen berlimpah.

Demi menggenapi rasa gembira itu, masyarakat Liya bersama pemerintah Kabupaten Wakatobi dan sejumlah komunitas kreatif menggelar Festival Lalo’a Ikan Baronang. Dalam bahasa setempat, Lalo’a bermakna melintas. Tentu saja, yang melintas adalah ikan baronang, demi melepaskan telurnya di perairan itu.

Ketika mendengar festival ini, saya langsung tertarik. Ini festival yang unik. Biasanya festival selalu mengenai tradisi istana atau kerajaan, yang semuanya borjuis. Tapi ini adalah festival yang bernuansa ekologi.

Saya bisa merasakan ada penghormatan pada tradisi, ekologi, dan maritim. Saya membayangkan betapa arifnya para nelayan di Wakatobi sebab mencatat rapi migrasi ikan-ikan baronang, serta menghargai ikan yang melintas.

Acara festival Lalo’a akan dibuka dengan berbagai rangkaian kegiatan adat setempat, Mulai dari petuah dari ketua adat atau Meantu’u Liya, penampilan tari perang Honari Mosega, permainan Sepa Buloli mirip Sepak Raga, aksi Potamba atau saling lempar menggunakan gumpalan pasir dan lumpur.

bersama gadis Wakatobi berbaju adat


Pengunjung juga bisa ikut tradisi Hekomba atau menikmati malam terang bulan. Saya membayangkan acara ini pasti sangat romantis sebab memandang bulan purnama sembari menyaksikan pementasan drama Sampe’a.

Puncak acara adalah adopsi telur ikan baronang yang dilakukan dengan cara lelang ikan hasil lalo’a. Ikan yang ditangkap dan tidak memiliki telur lagi dalam perutnya, akan dilelang dengan harga tinggi. Sedangkan ikan yang masih memiliki telur tidak bisa dibeli.

Keunikan tradisi ini, ada pada proses lelang yang dilakukan melalui tradisi sampe’a atau pertunjukan drama kolosal. Sampe’a adalah semacam persaingan hasil panen antar kampung. Akan tetapi kampung yang paling banyak dibawakan hasil panen justru dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Artinya, kampung itu paling sedikit panen di musim itu.

*** 

“Ini ikan baronangnya. Silakan dinikmati” 

Suara itu mengejutkan saya yang sedang melamun di satu ruas jalan Pulau Wangi-Wangi atau Wanci. Sebagai orang yang besar di lingkungan pesisir, saya sejak dulu menjadi fans berat ikan baronang.

Setiap kali ada tugas di kawasan timur, saya selalu mencari ikan baronang di kedai kuliner milik warga. Saya punya banyak memori terkait ikan ini. Saya ingat nelayan di kampung-kampung yang tersenyum bahagia saat ikan itu dibeli dengan mahal.

Di atas meja di hadapan saya, ikan ini tampak nikmat seusai dibakar. Asapnya mengepul dengan aroma bercampur rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Di sebelah ikan, ada sepiring lalapan dengan tomat serta cabe merah yang akan segera berpadu dengan nikmatnya baronang.

Nyam... Nyam...

Kisah Nyata Tiga JOKER di Indonesia




SEUSAI membunuh, Joker tertawa terbahak-bahak. Dia merasa puas karena telah melampiaskan sesuatu. Publik tercekat. Dalam keterhimpitan ekonomi serta masyarakat yang tidak peduli, tindakan Joker dipandang masuk akal dan pantas dilakukan.

Di tanah air kita, ada beberapa orang yang seperti Joker. Ada banyak orang baik yang kemudian kecewa melihat situasi, lalu memilih jadi sosok antagonis. Ada penjahat yang setiap membunuh akan mengkhatamkan Al Quran, ada sosok yang dulunya pejuang kemerdekaan, hingga filsuf yang menulis puisi jelang hukuman mati. Mereka adalah Joker di alam nyata.

Siapakah mereka?

***

LELAKI itu Muksin Tamnge. Tapi ia lebih dikenal dengan nama Temmy. Banyak pula yang mengenalnya dengan nama Taufik. Lahir di Kei, Maluku, pada tahun 1938, namanya kondang di telinga para aparat pada masa Orde Baru. Ia keluar masuk penjara, dan memiliki rekor mengejutkan di dunia rampok. Ia tercatat merampok hingga 397 kali, mengorganisasi 63 preman dari berbagai etnik di berbagai kota.

Dirinya serupa Robin Hood. Ada saat di mana dirinya merampok miliaran, namun ada banyak saat dirinya membagikan rampokan itu ke banyak orang. Pernah, ia memberikan puluhan berlian kepada seseorang. Ia tak punya kriteria siapa yang hendak mendapatkan bantuannya. Selain rajin memberikan uang bagi orang sekitarnya, ia juga sering kedapatan memberikan bantuan bagi orang yang kecelakaan di jalan raya.

Kepribadiannya kompleks. Dari dalam penjara, ia pernah diwawancarai Prisma, jurnal ilmu sosial paling berpengaruh. Kepuasan tertinggi dalam batinnya adalah saat berhasil melahirkan senyum di bibir orang yang tengah dilanda kesusahan dan penderitaan.

Makanya, ia tak pernah menikmati sendirian hasil rampokan. Dihadiahkannya ke banyak orang, sebagai wujud dari aktualisasi mimpinya, untuk menghadirkan senyum di wajah orang lain. Mengapa dia harus menjadi perampok?

Kisahnya panjang. Masa kecilnya menyedihkan. Ayahnya sering mencambuknya, hingga beberapa kali lari dari rumah. Dia lalu belajar di madrasah, lalu lanjut sekolah menengah di Makassar.

Setelah studi lanjutan tentang pendidikan jasmani di Denpasar, ia disiapkan untuk menjadi sosok pelatih olahraga. Ia lalu dikirim ke Belgrado, Yugoslavia, demi mendapatkan pelatih olahraga handal. Apalagi, Indonesia akan menggelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang digadang-gadang akan menyaingi Olimpiade.

Sayang, nasibnya tak semulus itu. Ia diharuskan membayar sejumlah uang kepada pejabat Deplu. Tuntutan uang itu tak bisa dipenuhinya. Ia lalu kembali ke Denpasar, Bali. Kegagalan itu mengganggu tidurnya.

Ia berpikir kalau batas antara pejabat dan penjahat amatlah tipis. Seorang pejabat bisa saja jadi penjahat. Ia lalu kembali ke Jakarta, lalu menjadi preman di Pasar Senen. Di dunia hitam, ia menjadi Don yang ditakuti. Ia hanya mau merampok dua hal: (1) orang kaya yang memperkaya dirinya secara tidak wajar, (2) pegawai negeri yang memperkaya dirinya dengan fasilitas negara.

Yang mengejutkan, ia tahu kalau tindakannya jahat. Makanya, ia menutupinya dengan menamatkan Al Quran. Jika rekor merampoknya sebanyak 397 kali, maka ia berhasil menamatkan bacaan Al Quran hingga 548 kali. Dia bangga karena jumlah khataman Quran itu lebih banyak dari angka kejahatan yang dilakukannya.

Ah, biarlah Tuhan yang menilai.

***

DI ujung sel lain, terdapat seseorang bernama Kusni Kasdut. Dia berasal dari Blitar. Lelaki ini sama terkenalnya dengan Muksin. Ia spesialis perampok berlian. Dalam menjalankan aksinya, ia selalu membunuh polisi.  Ia dua kali divonis hukuman mati. Pertama karena membunuh polisi di sebuah perampokan berlian terbesar. Kedua, karena membunuh miliuner Arab yang kaya raya. Lelaki ini kian fenomenal karena beberapa kali lolos dari penjara.

Lahir pada tahun 1929, dirinya menjalani masa kecil sebagai penjual rokok dan kue. Di usia 16 tahun, ia mengetahui satu rahasia bahwa dirinya lahir dari hubungan gelap antara ibunya dengan seseorang, yang tak jelas. Ia kecewa berat.

BACA: Para Jagoan dan Penumpang Gelap Republik

Demi menutupi aib itu, ia mencari kegiatan lain. Di masa Jepang, ia bergabung dengan heiho, lalu menjadi pejuang. Ketika republik ini berdiri, ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia, dengan pangkat sersan. Tugasnya di BKR cukup unik. Ia diminta merampok, mencuri, membunuh, dan merampas harta orang kaya demi perjuangan republik. Semuanya untuk kemerdekaan Indonesia.

Ia memulai tugas sucinya demi republik dengan merampok orang Tionghoa kaya di Madiun. Hasil rampokan diserahkan ke komandannya. Beberapa kali ia terlibat dalam pertempuran bersenjata. Hingga akhirnya, Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menghentikan semua pertempuran itu. Kabinet Hatta melakukan rasionalisasi.

Ribuan tentara direkrut menjadi tentara republik, sisanya diarahkan menjadi pegawai negeri. Banyak pula yang tidak direkrut sebagai tentara ataupun pegawai, sesuatu yang memicu banyak pemberontakan.

Kusni sungguh sial. Namanya tak terdaftar dalam barisan tentara. Kembali, semua luka-luka hatinya kambuh. Ia seorang anak haram, ia seorang perampok bagi republik, ia menjadi ampas yang dibuang begitu saja. Mulailah dirinya menjadi sosok lain. Mulailah ia berkhianat pada republik yang dahulu dibelanya. Kusni menjadi sosok yang lain. Baginya, tak ada beda antara merampok orang Tionghoa kaya di Madiun, dengan merampok emas milik negara.

Tahun itu, tahun 1979, adalah tahun dimulainya Kabinet Pembangunan Kedua. Soeharto melancarkan hegemoni di semua lini. Mahasiswa dijinakkan sehingga kembali ke kampus. Kampus dibanjiri dana riset bagi dosen.

Dia melihat ekonomi yang hanya menguntungkan kelas atas. Pengangguran merebak. Para preman berkeliaran. Soeharto lalu mengeluarkan kebijakan agar aparat berhak menembak para preman di jalan-jalan. Mayatnya dibiarkan begitu saja.

Di tengah situasi itu, Kusni Kasdut melancarkan aksinya. Dia kecewa melihat tindakan negara yang sewenang-wenang pada warganya sendiri, yang telah berjuang susah payah demi kemerdekaan. Di puncak kekecewaannya, dia merampok dan membunuh aparat.

Sayang, dia tertangkap lalu divonis mati. Ia mengganti nama menjadi Ignatius Waluyo, lalu menjadi seorang Katolik yang taat. Hingga akhirnya, suatu hari di tahun 1980, peluru menembus jantungnya. Ia menjalani hukuman mati. Tamatlah riwayatnya.

Kisahnya menyentuh hati banyak kalangan. Grup musik rock, God Bless, membuat lagu yang terinspirasi dari kisahnya. Bahkan tidak lama lagi akan beredar film mengenai Kusni Kasut yang memilih jadi penjahat demi menyampaikan sikapnya pada republik ini.

***

SOSOK lain adalah Henky Tupanwel. Ia lahir di Ende, 17 Agustus 1932. Berbeda dengan Muksin dan Kusni Kasut yang berasal dari lapis menengah ke bawah, sosok Henky justru berbeda. Ia dibesarkan oleh seorang pendeta yang berumah di Bandung, dan bertugas di Angkatan Darat (AD). Ia menikmati hidup berkecukupan, serta sedikit lagi akan menjadi sarjana di Universitas Padjajaran.

Hanya saja, dirinya justru tidak nyaman. Ditempa disiplin yang ketat, serta keharusan belajar agama, Henky memutuskan untuk meninggalkan rumah. Mulailah ia bertransformasi menjadi seorang penjahat.

BACA: Kisah Soewardi yang Esainya Setajam Pedang

Pada usia 25 tahun, ia merampok bank di Bandung. Ia dipenjara, namun berhasil kabur. Beberapa kali mencuri dan ditahan, ia akhirnya ditahan di Nusa Kambangan. Hingga akhirnya berhasil lari, dan kembali merampok bank.

Ia serupa filsuf dalam tahanan. Ketika hakim memutuskan hukuman mati, ia bertanya, “Bagaimana cara Yang Mulia melaksanakan hukuman mati? Apa saya diperkenankan untuk memilih mati dengan cara disalib?” Terhadap seorang pendeta, ia menjelaskan, salib adalah simbol dari kepahlawanan. Yesus mati sebagai pahlawan. Makanya, dirinya pun ingin mati dengan cara demikian. Pada malam sebelum ditembak mati, ia menulis puisi:

Megah-megah dalam penjara
Hingga segalanya harus ditentang
Nyisih dari segala kegelapan
Akan pudar
Megah-megah dalam penjara
Hingga datang kemenangan jiwa
Aku bangga aku bangga
Karena kelelahan jerih payahku
Kan kuperuntukkan hanya bagi kemulyaan Tuhan
Di mana tanah tandus aku bercocok tanam.

Yang terasa dari puisi ini betapa Henky berbangga atas apa yang dilakukannya. Ia mungkin mengalami momen pertobatan, lalu menerima dengan ikhlas semua yang terjadi. Ia lalu melihat dirinya serupa martir yang mengorbankan diri demi Tuhan.

Dalam diri Henky, terdapat banyak pertanyaan tentang agama. Ia melihat para pendeta sibuk memenjarakan agama dalam pemenjaraan suci (holy confinement) untuk disentuh ajaran agama mana pun. Agama dilihatnya hanya sebagai kuasa yang dimiliki para pelakunya, yang kerap mengeluarkan tafsir sesuai dengan keyakinannya sendiri.

Hidup menjadi semakin paradoks bagi Henky. Ia berani menempuh hukuman mati, akan tetapi dengan cara seperti yang ditempuh oleh Yesus. Namun hakim tak bergeming. Pada tanggal 5 Januari 1980, dirinya ditembak oleh aparat. Dia tewas atas nama hukum yang ditegakkan negara.

***

TIGA kisah para penjahat ini saya temukan dalam buku Menerjang Badai Kekuasaan, yang ditulis Daniel Dhakidae, tahun 2015. Saya menemukan beberapa hikmah yang menarik dari hasil bacaan tentang mereka yang dituduh sebagai penjahat ini.

Pertama, di balik setiap penjahat, terdapat kisah-kisah yang menarik untuk ditelusuri. Selalu ada “the turning point” atau titik balik yang mengubah haluan hidup seseorang. Selalu ada proses dan pengalaman personal yang kemudian membuat seseorang memilih untuk berada pada posisi politik tertentu.



Setiap manusia akan selalu mempertanyakan pilihan-pilihannya, sembari melihat sekelilingnya. Saat ia menyaksikan paradoks, ataupun menemukan manusia lain yang serba ambigu, maka seseorang bisa memilih posisi yang abu-abu, dengan pertimbangan bahwa orang lain pun melakukannya.

Setiap manusia selalu menghujam banyak tanya, menyerap pengalaman, lalu memutuskan apa yang terbaik baginya. Di setiap pilihan itu terdapat sedemikian banyak konsekuensi.

Dalam hal Muksin, situasi yang dihadapinya adalah seorang pejabat yang hendak memeras dirinya. Ia mulai mempertanyakan batasan antara baik dan buruk, antara legal dan ilegal, antara kebenaran dan kesalahan. Kusni Kasdut pun demikian. Ia mempertanyakan batasan antara merampok seseorang untuk tujuan republik, serta sikap republik yang justru meminggirkannya.

Ia bertanya tentang apa makna nasionalisme, ketika jiwa dan raga diserahkan untuk negeri, tapi justru negeri tak peduli dengan dirinya. Demikian pula Henky Tupanwel. Ia mempertanyakan berbagai doktrin agama yang justru dilihatnya sebagai penjara. Nilai-nilai dan ajaran moral menjadi nisbi, dan seolah dihadirkan untuk dilanggar.

Kedua, selalu ada kaitan antara pilihan itu dengan kondisi sosial. Sehingga penting memahami konteks, setting, ataupun dinamika sosial yang menyebabkan seseorang memilih untuk di titik tertentu.

Yang terasa dari tiga kisah ini adalah betapa institusi negara hanya menguntungkan kelompok tertentu, betapa struktur negara tak bisa mewujudkan supremasi hukum dan bertindak adil pada sesamanya. Negara menjadi ajang persekongkolan massal yang semakin mengaburkan batasan antara moral baik dan buruk, antara benar dan salah, antara legal dan ilegal.

Saya teringat sosiolog C Wright Mills dalam buku Sociological Imagination yang menyebut tiga hal sebagai dasar untuk memahami satu masyarakat, yakni biografi, sejarah, dan struktur sosial. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat.

Mereka yang biografinya tercatat sebagai penjahat adalah mereka yang berada dalam posisi terpinggirkan di masyarakat. Mereka menjadi antagonis sebab masyarakat mengarahkan mereka ke sana. Mereka memilih jadi penjahat, sebab orang baik sekali pun ternyata bertindak seperti penjahat.

Sebagaimana halnya Joker, mereka tertawa-tawa melihat banyak orang jahat yang tampil dengan topeng kebaikan. Mereka menjadi dirinya sendiri yang tewas setelah bertanggung jawab atas semua pilihan-pilihannya.

Mereka menjadi Joker.


Refleksi Seusai Menonton BEBAS




Saat orang nonton Joker, saya malah nonton Bebas. Tak perlu antri dan berebut tiket. Perasaan saya seperti naik KRL menuju Bogor di pagi hari, saat semua orang bergegas dan menuju Jakarta.

Kisahnya bolak-balik antara masa sekarang dan masa tahun 1990-an ketika tokohnya menjalani masa sekolah. Suasana tahun 1990-an dapat banget. Mulai musik, pakaian, sampai properti yang digunakan. Saya sangat menikmati musik2 genre 1990-an yang memenuhi film ini.

Saya malah lebih suka Bebas dibandingkan film Sunny. Padahal, Bebas mengadaptasi Sunny. Barusan ada adaptasi Korea sebagus ini. Jauh lebih baik dari Miss Granny yag diadaptasi jadi film Sweet 20.

Saya membayangkan penonton film ini akan segera bernostalgia tentang masa-masa remaja, masa-masa tak ada gadget yang mengganggu interaksi, masa-masa memelihara mimpi setinggi langit, masa-masanya geng-geng pertemanan muncul, lalu bibit konflik bermunculan.

Saya pun bernostalgia. Saya ingat masa SMA di kampung yang tidak penuh warna-warni kayak mereka di film ini. Saya ingat masa SMA adalah masa yang cukup gelap. Pertama kali mencoba alkohol, lari dari rumah, serta hampir saja putus sekolah.

Saya membayangkan betapa banyaknya kejutan antara masa SMA dan masa sekarang. Orang hebat di masa SMA dulu, kehidupannya kini biasa saja sebagaimana kita yang tak pernah dapat spotlight. Sering, ada teman SMA yang malah tidak dianggap, malah tiba-tiba jadi lebih bersinar.

Belum lama ini, saya ketemu teman SD. Di masa lalu, dia dianggap tidak punya harapan dan masa depan. Dia jarang ke sekolah. Tiap hari hanya bernyanyi di dekker. Ketika barusan ketemu di Jakarta, dia berubah. Dia sudah jadi pengusaha sukses dengan harta miliaran.

Pelajarannya adalah sering kali ada keterputusan antara cara pandang dulu dan sekarang. Apa yang kita anggap hebat di masa lalu, belum tentu hebat di masa sekarang. Sebab semua orang terus bergerak, mengalami suka dan duka, mengalami jatuh bangun hingga akhirnya tiba pada satu titik di mana dirinya ingin bangkit.

Saya sedang membaca buku Barking Up the Wrong Trees yang ditulis Eric Baker. Saya temukan hal baru. Menurutnya, ajaran-ajaran di masa kecil dahulu tak selalu bisa membawa kita pada tangga kehebatan. Misalnya orang yang rajin belajar dan disiplin, hingga juara kelas, tidak selalu jadi orang hebat di masa depan.

Pemulis buku memantau riset tentang para juara kelas. Dia menemukan fakta, pendidikan hanya mengarahkan seseorang menjadi sosok yang patuh dan taat aturan, hanya membuat seseorang bisa bertahan dalam sistem.

Pendidikan bisa mengantarkan seseorang jadi karyawan hebat. Tapi untuk jadi seorang penuh inspirasi dan luar biasa, seseorang butuh sesuatu yang beda. Untuk mencapai level sebagaimana pebisnis hebat dan para penemu, seseorang mesti punya kemampuan melihat sesuatu yang melampaui orang lain. Itu hanya didapatkan dengan keberanian melawan arus sejak usia belia.

Saya sedikit banyak setuju dengan pandangan ini. Banyak orang biasa malah terbilang nakal di masa kecil ternyata kini melampaui semua rekannya dulu.

Untuk jadi luar biasa, Anda mesti berani melawan arus, melihat dari sisi lain, serta berpikir terbalik demi menemukan potensi terbaikmu. Untuk jadi pemimpin hebat, Anda mesti merasakan jatuh bangun dalam kehidupan.

Orang hebat akan sering mendapat hantaman hingga jatuh, tapi dia akan selalu bisa bangkit dan menemukan caranya untuk tetap eksis. Kata Eric, orang sinting itu jenius. Sebab cara berpikirnya tidak cocok dengan cara berpikir dalam sistem sehingga dirinya selalu dipandang tidak punya harapan.

Orang yang dianggap bodoh dan sinting itu seperti ikan laut yang disimpan di kolam sempit. Saat dia disimpan di laut, di arena yang maha luas dan tanpa batas, dia akan gesit dan lebih lincah dari rekannya di kolam sempit. Dia akan berenang lebih cepat.



Siasat Perlawanan: Dari SEKS Hingga Lipstick




Siapa bilang perubahan sosial hanya dipicu oleh hal-hal heroik seperti berdemonstrasi di jalan-jalan sembari berkelahi dengan aparat? Sejak kapan perubahan bisa terjadi hanya melalui provokasi dan nyinyir di medsos? Sejarah mengajarkan pada kita, banyak hal-hal besar yang dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana.

Mulai dari anak kecil usia 15 tahun, Greta Thunberg, yang menuding pemimpin dunia, aksi pesepakbola Didier Drogba yang mengharu-biru Ghana, mulut besar Muhammad Ali yang menggetarkan warga Amerika, perempuan Serbia yang berdandan seksi demi meruntuhkan rezim, hingga perempuan Sudan yang menolak seks demi menghentikan perang saudara.

*** 

Pesta demonstrasi itu seakan usai. Ketika anggota DPR RI dilantik, semuanya seolah berhenti. Tak ada lagi teriakan-teriakan penuh hasutan di media sosial. Tak ada lagi pernyataan dukungan secara terbuka pada mahasiswa disertai puisi-puisi dan kata-kata indah kepada mahasiswa. Semuanya diam, seakan-akan menyerahkan semua sengkarut persoalan pada anggota DPR yang baru.

Semua tuntutan mahasiswa dan masyarakat sipil tiba-tiba digantikan oleh berita legislator Lora Fadil yang tidur-tiduran di gedung dewan, setelah itu seakan meledek netizen dengan cara berpose bareng tiga istri cantiknya. Bahkan kisah heroik dan tewasnya beberapa mahasiswa sontak digantikan oleh berita mengenai milenial bernama Hilary Brigita Lasut yang penampilannya cetar di sidang dewan.

BACA: Orang Bugis, Bule Seksi, dan Senja Temaram di Gili Trawangan

Perlawanan memang harus tetap didengungkan. Napas pejuang demokrasi harus lebih panjang. Jika mahasiswa Indonesia berpikir bahwa perjuangan harus dilakukan dengan cara heroik melalui aksi-aksi jalanan, maka ini adalah salah kaprah.

Sejarah menunjukkan aksi-aksi perlawanan tak harus dilakukan melalui aksi heroik di jalan-jalan. Perubahan banyak dipicu oleh tindakan-tindakan kecil yang serupa rumput liar bisa merobohkan tembok kekuasaan

Mereka yang mengubah sejarah tak selalu para pahlawan, prajurit hebat, ataupun manusia dengan trah separuh dewa yang jatuh dari langit. Pemicunya adalah orang-orang biasa yang melakukan tindakan-tindakan kecil, yang lalu menggugah publik.

Di saat mahasiswa Indonesia sedang berdemonstrasi, seorang anak kecil berusia 15 tahun bernama Greta Thunberg berbicara di hadapan pemimpin dunia dengan kalimat yang menuding: "Kalian telah mencuri impian dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong kalian."

Dia tak perlu teriak di jalan-jalan sembari menghadapi desingan peluru dan kabut gas air mata. Sebab dia tahu cara paling efektif untuk mengetuk kesadaran orang demi memberi tahu ada sesuatu yang keliru. Dia pandai memanfaatkan semua channel komunikasi untuk menyebarkan semua pesan-pesan politiknya.

Tak perlu malu untuk belajar pada anak Swedia usia 15 tahun itu. Tak perlu pula bangga dengan anak STM kita yang datang berdemonstrasi setelah pulang sekolah tanpa tahu apa yang harus disuarakan.

Pelajaran yang bisa kita petik adalah banyak hal-hal kecil di sekitar kita yang bisa menjadi inspirasi untuk menyatakan sikap pada rezim. Saatnya melakukan hal-hal kecil yang penuh daya ledak dan bisa menggetarkan orang lain.

Lihatlah sekeliling, Aksi mencuci bendera bisa menggetarkan rakyat Peru, pesan tersembunyi pada desain mata uang bisa menggelisahkan rakyat Myanmar, permainan sepakbola Didier Drogba bisa mengharu-biru Pantai Gading, hingga kalimat petinju Muhammad Ali bisa menggetarkan warga Amerika untuk mempertanyakan ulang makna nasionalisme negara yang memaksa warganya untuk menempur warga belahan bumi lain.

Jangan terkejut kala mengetahui gerakan emansipasi hak sipil dimulai dari perempuan bernama Rosa Parks yang menolak memberikan kursinya di bus pada tiga orang lelaki kulit putih. Mari pula beri ruang pada Malala, perempuan berusia 25 tahun yang pidatonya menggetarkan rezim otoriter yang selalu menebar teror.

BACA: Mereka yang Menghadirkan Cahaya

Tak hanya itu, gosip-gosip bisa memukul rezim yang memulai perang di Darfur, Sudan Selatan. Jangan terkejut kalau menemukan fakta jatuhnya rezim Slobodan Milosevic dimulai dari aksi mengutak-atik foto melalui program photoshop, jatuhnya rezim Ferdinand Marcos berawal dari sejumlah perempuan yang menolak untuk mengubah suara pemilu.

Lihat pula, revolusi di dunia Arab, yang kerap disebut Arab Spring, dimulai dari aksi meneruskan pesan di twitter. Perempuan Serbia beraksi dengan dandanan seksi dan lipstick merona demi menghentikan perang. Lihat pula aksi menolak hubungan seks para perempuan Sudan bisa menghentikan perang saudara selama 20 tahun. Hah?

*** 

Saya membaca kisah-kisah menggetarkan itu pada buku Small Acts of Resistance: How Courage, Tenacity, and Ingenuity Can Change the World yang ditulis Steve Crawshaw dan John Jackson. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Roem Topatimasang, dan diterbitkan Insist dengan judul Tindakan-Tindakan kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia.

Membaca buku bagus ini membuat mata saya lebih jernih dalam melihat banyak hal. Batin saya beberapa kali tersentuh membaca 15 kisah perubahan sosial, yang semuanya dimulai dari tindakan-tindakan kecil.

Saya mengamini kalimat di awal buku: “Seseorang yang berjiwa bebas, dengan segenap ingatan dan juga ketakutannya, adalah sebatang tetumbuhan air yang rantingnya membelokkan arah deras arus sungai.”



Kutipan lain yang juga menyentuh saya adalah kutipan dari Bertolt Brecht. “Kata anak lelaki itu, ia belajar tentang bagaimana air yang lembut menitik, selama sekian tahun akan melubangi batu yang keras sekali pun. Dengan kata lain, kekerasan akan kalah juga akhirnya.”

Yang saya rasakan dari kutipan ini adalah perubahan selalu dimulai dari individu yang gelisah, lalu punya sedikit keberanian untuk menyatakan sikap. Keberanian itu serupa api kecil yang membakar ilalang kesadaran, yang terus membesar lalu menjadi gerakan sosial.

Dalam buku ini, saya membaca cerita tentang anak muda kulit hitam yang berani memasuki restoran dan duduk di kursi yang hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih. Di tengah iklim politik yang menindas kaum kulit hitam, tindakan itu akan berdampak pada penangkapan.

Anak muda itu memang ditangkap, tapi tindakannya menggugah orang lain, yang juga datang untuk duduk di kursi itu. Ratusan orang lalu bergantian duduk, hingga akhirnya memenuhi penjara. Aksi duduk itu lalu membakar kesadaran, memicu perlawanan, yang lalu berkembang jadi revolusi.

Buku ini bisa menjadi pegangan bagi semua praktisi gerakan sosial. Di dalamnya kita tak menemukan satu pun teori yang berat-berat, melainkan kisah-kisah inspirasi yang mengisahkan tentang banyaknya perubahan yang justru dimulai dari hal-hal sederhana. Beberapa kali nurani saya basah saat menemukan kegelisahan yang lalu dijelmakan dalam tindakan biasa, namun sukses menggugah banyak orang.

BACA: Pahlawan Belia di Kota MANADO

Saya suka kisah tentang perempuan Bosnia. Di tengah peperangan, mereka tetap berdandan modis, dengan lisptick merah merona. Di tahun 1993, warga Bosnia yang benci perang mengadakan kontes kecantikan. Para gadis-gadis cantik itu berpose di atas panggung , yang terdapat spanduk besar bertuliskan “Don’t let them kill us!” Pesan itu bergema ke mana-mana. Grup musik U2 lalu membuat lagu berjudul Miss Sarajevo, yang liriknya adalah:

 Is there a time for kohl and lipstick
Is there a tme for cutting hair
Is there a time for high street shopping
To find the right dress to wear

Apakah di sana ada waktu untuk maskara dan gincu
Apakah di sana ada waktu untuk memotong rambut
Apakah di sana ada waktu untuk belanja
Untuk mendapatkan busana yang pantas disandang

Bisa Anda bayangkan, sebuah lomba miss kecantikan yang diselenggarakan di tengah desingan peluru. Para perempuan Bosnia itu hendak menyatakan sikap benci pada perang yang berdampak luas. Siapa sangka, revolusi bisa dipicu oleh lipstick merah dari perempuan seksi.

Hal yang sama juga terjadi di Afghanistan ketika protes disuarakan melalui kontes Afghan Stars, lalu aksi protes warga Estonia atas rezim otoriter yang dilakukan dengan cara bernyanyi, hingga memicu The Singing Revolution.

Yang membuat saya terhenyak adalah revolusi bisa dimulai dari hal-hal yang mungkin dianggap sederhana oleh banyak orang. Di Sudan, Lubna Hussein divonis bersalah dan akan diberi hukuman cambuk hanya karena mengenakan celana panjang, yang dianggap tidak sopan.

Ia melalui proses di pengadilan, lalu menjelaskan argumentasinya tentang perempuan. Ia membaca banyak kitab, dan mengejutkan orang-orang dengan pertanyaan kritis, yang lalu mengubah pandangan orang-orang.

Hal-hal besar sering kali dimulai dari hal-hal kecil, hal biasa, hal terabaikan. Yang barangkali bisa dilakukan adalah senantiasa konsisten, tetap mengikuti jalan nurani dan kebenaran, serta menyatakan sikap di tengah ketidakadilan.

Bagi saya, ini bukan hal yang mudah, sebab sering kali pernyataan sikap bisa menggerahkan orang lain, yang lalu membuat hidup jadi tak nyaman.

Di buku ini, saya belajar pada Muhammad Ali. Di puncak kariernya, ia justru menolak wajib militer. Kalimatnya menghujam, “Mengapa pula saya disuruh memerangi Vietcong, sementara mereka tidak pernah mengatakan saya negro?”

Pernyataan itu membuat Ali disekap, dicabut gelarnya, dilarang mengikuti kejuaraan dunia. Selama tiga tahun, ia kehilangan hak untuk bertinju, justru di tengah-tengah masa keemasannya.

Aktor Richard Harris mengatakan,” Setiap petinju selalu berusaha dan bersedia menjual jiwanya demi gelar sebagai juara tinju. Apa yang Ali lakukan? Dia justru menemukan kembali jiwanya dengan melepaskan gelar juara dunia itu.”

Kisah lain yang juga mengejutkan adalah perempuan di Sudan Selatan. Perempuan bernama Samira Ahmed gelisah dengan perang saudara yang tak kunjung usai. Dua wilayah, yakni utara dan selatan, dibakar dendam berkepanjangan hingga memicu perang selama 20 tahun.

Samira ingin menghentikan perang. Dia muak dengan perang yang tak kunjung usai. Dia lalu mengorganisir perempuan di dua wilayah itu untuk bersatu. Mereka lalu membuat gebrakan melalui penolakan hubungan seks.

Aksi itu memang menggemparkan. Aksi itu adalah ‘penelantaran seksual’ (sexual abandoning) yang lalu membuat para lelaki sejenak berhenti berperang lalu memikirkan hal-hal lain yang lebih penting.

“Perempuan-perempuan itu sama berpikir bahwa dengan menolak hubungan seks dengan suami, mereka bisa menekan lelaki untuk mengusahakan perdamaian. Taktik itu berhasil,” kata Samira.

Di tahun 2009, taktik ini juga dilakukan oleh para perempuan Kenya. Aksi mogok seks itu bisa memaksa presiden dan perdana menteri untuk ikut berunding dengan para perempuan itu.

***

SAYA senang membaca banyak contoh-contoh dalam buku ini yang membuka mata kita semua. Saya teringat pada buku James Scott yang berjudul Weapon of the Weak. Bahwa perlawanan orang lemah bisa diartikulasikan dengan banyak cara.

Pelajaran bagi mahasiswa dan para aktivis kita adalah terdapat banyak cara dan strategi untuk mendorong perubahan sosial. Anda hanya perlu kreatif dan bisa memaksimalkan semua teknologi jaman now yang memudahkan semua orang untuk berkonsolidasi demi aksi.

Kata James Scott, perlawanan bisa disalurkan melalui simbol, gosip, hingga pesan yang lalu ditangkap oleh banyak kalangan. Perlawanan itu melalui cara-cara kultural yang pesannya lebih cepat tersebar dan memicu gerakan yang lebih besar.



Kita bisa melihat banyak contoh di negeri kita. Ada banyak orang hebat di sekitar kita yang perlu digali kisahnya demi menjadi nutrisi bagi anak-anak muda untuk melakukan perubahan.

Beberapa tahun lalu saya bertemu Maria Loretha, atau kerap dipanggil Mama Tata, yang menginspirasi warga untuk menanam sorgum di Pulau Adonara. Dengan cara itu, ia mengajarkan kemandirian pangan, serta sikap tidak tergantung pada pasokan beras, yang didatangkan dari Jawa.

Saya juga pernah bertemu dengan Ismail, anak muda di Berau yang mendirikan bank ikan lalu mengajak para nelayan berpartisipasi, serta tidak tergantung pada lintah darat.

Di sekitar kita ada banyak para champion atau juara yang bekerja dalam diam, menggugah kesadaran, lalu melakukan hal-hal luar biasa. Kita hanya butuh menajamkan semua rasa demi mengenali orang-orang hebat di sekitar kita.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital

Mereka tak suka dengan publisitas. Yang mereka kejar bukanlah kemasyhuran atau popularitas, lalu memajang wajah di berbagai baliho di banyak sudut kota. Orang-orang ini melakukan banyak hal-hal besar dengan langkah-langkah kecil demi membumikan pohon-pohon gagasannya agar tumbuh kokoh dan menginspirasi orang banyak.

Orang-orang ini bekerja untuk keabadian, berbuat untuk sesuatu yang jauh lebih bermakna. Meskipun mereka tak dicatat sejarah, nama mereka tergurat di hati banyak orang di sekitarnya. Mereka menggerakkan perubahan sosial.

Seusai membaca buku ini, sayup-sayup saya mendengar lantunan suara Bob Marley:


Emancipate yourself from mental slavery,
None but ourselves can free our minds.
Have no fear for atomic energy,
'Cause none of them can stop the time.
How long shall they kill our prophets,
While we stand aside and look?
Some say it's just a part of it,
We've got to fulfill the book.
Won't you help to sing
These songs of freedom?
'Cause all I ever have,
Redemption songs,
Redemption songs,
Redemption songs.