Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Rental Bule di Kota Jakarta



ilustrasi

SATU organisasi pemuda berlabel Islam menggelar sebuah dialog internasional. Pesertanya adalah pemuda dari berbagai negara. Lokasinya bertempat di satu kota besar Tanah Air. Lembaga itu mengundang saya sebagai pemateri. Sayang, saya tak bisa hadir. Tapi saya menyaksikan sendiri publikasi media tentang betapa mewahnya acara itu. Ada baliho tersebar di banyak titik. Ada banyak bule berambut pirang yang menjadi peserta.

Beberapa minggu setelah acara, saya bertemu dengan seorang panitianya. Beliau adalah junior saya di satu kampus di Indonesia Timur. Saat membahas kegiatan itu, sang kawan langsung terkekeh. Ia bercerita tentang pengalamannya mendatangkan bule. Barulah saya tahu bahwa ada jaringan dari para bule yang bisa dihadirkan untuk meramaikan kegiatan berlabel internasional. “Pasti kamu gak tahu kalau banyak bule itu saya datangkan dari Jalan Jaksa,” katanya sembari tertawa. Hah?

Warga Jakarta tahu kalau Jalan Jaksa adalah tempat hangout bagi para bule yang punya kantong pas-pasan. Berbagai kafe di situ menyediakan bir dan minuman beralkohol dengan harga murah. Ada banyak sebutan untuk para bule di situ. Mulai dari bule kere hingga bule sandal jepit. Sebutan itu menggambarkan bahwa para bule di situ adalah mereka yang melakukan perjalanan dengan budget pas-pasan.

Kawan itu menjelaskan bahwa beberapa bule yang berseliweran di Jakarta bisa diorganisir untuk meramaikan satu acara berlabel internasional. Katanya, acara internasional selalu memiliki budget besar dari pemerintah atau perusahaan swasta. Ada semacam kebanggaan bagi banyak perusahaan ketika mensponsori acara yang dihadiri banyak bule. Mereka bersedia membayar lebih mahal untuk acara-acara itu. Di sisi lain, pemerintah dan sponsor tak pernah mau tahu siapa-siapa saja bule yang hadir. Cukup lihat banyak yang pirang, maka acara dianggap sukses.

Kawan itu bercerita tentang kegiatan dialog internasionalnya yang didanai oleh pemerintah. Anggaran yang disiapkan satu instansi pemerintah adalah 500 juta rupiah. Ternyata, banyak sponsor yang bersedia bergabung. Permintaan mereka cuma satu yakni ada logo perusahaan di setiap spanduk dialog internasional. Tujuannya untuk membentuk citra bahwa perusahaannya memiliki level dunia. Total biaya yang dihimpun panitia adalah miliaran rupiah. Padahal, hitungan saya, kegiatan seperti itu paling banyak menghabiskan biaya 50 juta rupiah.

Dari mana mengorganisir para bule? Mudah saja. Mengorganisir bule sama saja dengan mengorganisir massa bayaran untuk demonstrasi. Mereka punya simpul-simpul penghubung Banyak di antara mereka datang ke tanah air kita dengan modal pas-pasan. Mereka hanya bermodal sandal jepit, tiba-tiba saja dianggap hebat dan berkelas di tanah air. Gajinya pun memakai standar dollar. Padahal jika bicara kapasitas, mereka biasa saja.

Jangan pula menganggap mereka memiliki pendidikan tinggi. Banyak di antara bule itu justru tak punya sekolah memadai. Modalnya hanya rambut pirang, mata biru, penampilan serupa bintang film Hollywood, serta bersedia diajak foto selfie. Dengan modal itu, para bule laris untuk diajak berfoto. Mereka seolah penduduk langit yang turun ke bumi. Bangsa kita menganggapnya lebih hebat dan lebih berkelas.

Saya teringat liputan media tentang aksi sodomi yang dilakukan satu bule terhadap siswa di sebuah sekolah berlabel internasional. Tentu saja, pihak yang patut disalahkan adalah sekolah itu sendiri. Mengapa pula mereka mempekerjakan bule yang tak punya kecakapan memadai di bidang pendidikan? Sebabnya sederhana. Sekolah itu ingin mengesankan dirinya sebagai sekolah internasional. Makanya, kalau ada bule yang mengajar, maka kesannya keren. Ratingnya naik. Bayarannya lebih tinggi. Mereka tak mau tahu bahwa bule yang dipekerjakan adalah seorang penjahat.

Penuturan rekan itu membuat saya sesaat terhenyak. Saya sudah lama tahu tentang beberapa kegiatan yang tujuannya hanya untuk menyerap anggaran pemerintah, setelah sebelumnya menyerahkan fee 10 persen ke oknum di tubuh pemerintah. Saya juga lama tahu tentang beberapa teman yang pekerjaannya adalah menghadiri berbagai seminar demi mendapatkan lumpsum atau uang hadir sesuai kegiatan.

Tapi saya baru tahu bahwa terdapat motif yang sama di balik kegiatan berlabel internasional. Fakta ini semakin menguatkan kesan saya bahwa kosa kata ‘internasional’ masih menjadi label yang dianggap hebat. Ada semacam inferioritas budaya dalam diri kita sehingga memosisikan internasional sebagai sesuatu yang hebat dan harus diraih. Sementara di saat bersamaan, ada banyak lembaga yang memanfaatkan itu demi mendapatkan segepok materi.

Yah, pada akhirnya para bule itu sama saja dengan banyak di anyara kita. Mereka datang dengan modal pas-pasan disertai bahasa Inggris yang fasih. Yup, wajarlah, itu kan bahasa sehari-harinya. Namun di tengah bangsa yang menganggap bahasa Inggris segala-galanya maka mereka dianggap hebat. Padahal, kata teman saya, bayaran untuk kehadiran mereka di acara internasional bisa dibilang murah. “Saya kan ibarat menggunakan jasa rental. Mereka kan hanya diminta hadir dan sesekali bertanya pakai bahasa Inggris. Itu sudah cukup membuat pemerintah dan para sponsor terkagum-kagum, “ katanya.

Teman saya tertawa terbahak-bahak. Barangkali ia bahagia mengingat pundi-pundinya yang besar seusai kegiatan itu. Sayang, saat pertemuan itu, ia hanya mentraktir saya makan. Iseng, saya bertanya,

“Kawan, kita udah kenal lama. Bagilah sedikit rezeki dari kegiatan itu”
“Serius nih. Pengen dapat berapa?” tanyanya.

Kali ini saya tak  tahu hendak menyebut angka berapa.


Bogor, 21 Februari 2015


BACA JUGA:



IPB Rancang Drone untuk Desa



drone (ilustrasi)

DI luar negeri, drone atau pesawat tanpa awak dikembangkan menjadi senjata penghancur untuk memusnahkan basis kekuatan musuh. Di Indonesia, drone dikembangkan untuk banyak fungsi. Beberapa bulan terakhir, Institut Pertanian Bogor (IPB) telah merancang drone desa sebagai teknologi yang banyak membantu masyarakat desa. Hebatnya, biaya drone ini termurah di dunia, yakni hanya berbiaya sekitar 5 hingga 10 juta rupiah. Hah?

***

SUATU hari di bulan Agustus 2014. beberapa tim peneliti yang bergabung pada Pusat Studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor (IPB) bertandang ke Leuwliang, Bogor. Dipimpin oleh Sekretaris PSP3-IPB Dr Sofyan Sjaf, para peneliti sangat antusias ketika melakukan satu misi penting yakni uji coba drone untuk membantu masyarakat desa.

Beberapa masyarakat Desa Leuwliang ikut bergabung. Mereka mereka mempersiapkan drone yang akan diterbangkan selama sejam. Drone yang dipersiapkan adalah jenis quadcopter yang memiliki empat baling-baling. Pesawat ini digerakkan oleh baterai dan akan terbang mengikuti koordinat pada GPS yang sebelumnya telah ditentukan.

Saya deg-degan ketika mengikuti proses uji coba itu. Betapa tidak, selama ini drone hanya digunakan untuk keperluan militer. Ada pula yang menggunakan teknologi ini hanya untuk merekam gambar biasa. Namun di PSP3-IPB, drone diharapkan bisa menjadi milik warga desa, yang nantinya akan digunakan untuk membantu masyarakat desa.

Ternyata, uji coba itu sukses. Drone terbang selama lebih kurang sejam dan  menghasilkan banyak gambar kawasan perdesaan. Gambar-gambar itu lalu diolah secara digital sehingga menghasilkan peta desa yang sangat akurat. Sekretaris PSP3-IPB, Dr Sofyan Sjaf, menuturkan bahwa selama ini desa tidak memiliki peta. Yang ada di kantor-kantor desa maupun Badan Pusat Statistik (BPS) hanyalah sketsa desa, yang justru tidak menggambarkan apa-apa.

Di saat bersamaan, warga desa kesulitan untuk mengakses peta satelit. Mengapa? Sebab butuh biaya mahal untuk mendapatkan peta itu. Transaksinya memakai uang dollar. Selain itu, gambar dari satelit seringkali buram sebab hanya bisa mengambil gambar dengan skala 1 banding 50.000.

Sementara drone bisa lebih akurat. Drone bisa menghasilkan gambar dengan skala 1 banding 300. “Gambar yang dihasilkan drone ini akan sangat membantu warga desa untuk menyusun peta partisipatif yang bisa menggambarkan potensi dan kekuatan desa. Warga desa bisa menyusun perencanaan pembangunan, termasuk merancang swasembada pangan. Tak hanya itu, mereka bisa menjadikan drone sebagai alat perlawanan,” katanya.

Penjelasan Sofyan sangat menarik. Ia menjelaskan satu desa di Kalimantan. Tadinya, warga desa itu kebingungan karena sumber air tiba-tiba saja mengering. Mereka terpaksa menerima keadaan yang menyedihkan itu. Setelah diperkenalkan tentang teknologi drone, mereka akhirnya tahu bahwa di kawasan desa itu terdapat satu tambang bauksit yang telah lama beroperasi.

“Setelah dipotret oleh drone, mereka akhirnya punya fakta yang kuat untuk melakukan perlawanan,” katanya. Memang, selama ini warga desa tak punya akses yang kuat pada peta, sebab seringkali peta hanya dimiliki oleh warga kota serta pihak korporasi yang kemudian semakin memperparah konflik di tingkat desa.

peneliti IPB memperlihatkan drone buatannya

Selama beberapa bulan ini, tim yang dipimpin Sofyan berusaha untuk menyempurnakan teknologi ini. Saya melihat bahwa gagasan ini sangat brilian. Membawa teknologi ini ke desa bisa menjadi solusi atas kelangkaan data di level desa. Berbagai riset menunjukkan bahwa banyak konflik ekologis di level desa justru disebabkan oleh adanya tumpang-tindihnya klaim atas lahan, yang kemudian diperparah oleh ketiadaan peta dan data yang akurat.

Melalui drone, warga desa bisa membangun basis data peta kawasan yang kuat, kemudian membangun counter discourse atas klaim yang diberikan pihak luar atas tanah yang dimilikinya. Dengan demikian, wacana konflik ekologis bisa digiring ke ruang-ruang dialogis di mana masing-masing pihak sama-sama menguji klaim dengan bukti peta.

Tentu saja, manfaatnya bukan hanya untuk memetakan kawasan ekologi desa dan hutan adat, tapi juga bisa untuk membuat basis data yang kokoh, membuat dokumentasi dan batas desa, dan mengumpulkan bahan penting menyusun perencanaan partisipatif untuk pembangunan di level desa. Drone ini bisa pula digunakan untuk membuat video dokumenter tentang pariwisata desa. Tak hanya itu, drone juga bisa digunakan untuk memantau kondisi vegetasi tanaman.

Seiring dengan penerapan Undang-Undang No 6/ 2014 tentang Desa, maka kebutuhan untuk penguatan data demi penyusunan perencanaan di tingkat desa menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar. Maka gagasan Drone untuk Desa diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi pemanfaatan drone sebagai metode untuk penguatan kapasitas masyarakat desa, melalui penyediaan data akurat tentang wilayah, serta penguatan perencanaan, dan pemetaan berbasis komunitas.

Rencana PSP3-IPB

Drone bisa disederhanakan sebagai pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control dan menggunakan gelombang radio. Pada awalnya, drone hanya digunakan untuk keperluan intelijen dan memata-matai negara lain. Drone bisa membawa kamera dan peralatan perekam yang bisa merekam gambar dengan akurasi yang lebih tinggi daripada satelit.

Melalui media, kita sama tahu bahwa drone digunakan oleh tentara Amerika Serikat untuk memata-matai musuh di timur tengah. Bahkan drone juga dipemgkapi persenjataan sehingga bisa menyerang dan melumpuhkan lawan. Namun belakangan ini, teknologi bisa digunakan untuk berbagai hal yang positif. Selain bisa digunakan untuk menguatkan konsep pertaha-nan nasional serta penga-wasan illegal fishing dan illegal logging, fotografi, dan film dokumenter. Bahkan, para aktivis lingkungan juga mulai menggunakan drone untuk keperluan pemetaan wilayah dan memotret kerusakan ekologis.

Dr Sofyan Sjaf saat mempresentasikan drone

Selama ini, ada anggapan bahwa drone adalah teknologi yang mahal. Padahal, ada banyak inovasi-inovasi yang menungkinkan drone bisa diakses warga desa. Di Pontianak, lembaga Swandiri Insitute telah memublikasikan kemampuan mereka untuk membuat drone, yang akan digunakan untuk warga desa, dengan biaya tiga juta rupiah (Kaltim Pos 13/8).  Pihak PSP3-IPB juga tengah mengembangkan inovasi drone berbiaya sangat murah.

Ke depannya, PSP3 IPB memiliki obsesi agar setiap desa memiliki satu drone. Mengingat biaya murah, PSP3-IPB ingin menjalin relasi dengan beberapa SMK agar bisa memproduksi drone secara massal. Selain itu, ada pula rencana untuk mendirikan Sekolah Drone Desa (SDD) yang nantinya bisa melatih warga desa bagaimana mengoperasikan teknologi itu. Saat ini, PSP3 bekerja sama dengan beberapa lembaga, serta pemerintah daerah untuk menyusun basis data yang kuat melalui drone.

Tak hanya itu, pihak PSP3-IPB telah membentuk beberapa tim terkait drone. Mulai dari tim skuadron (beranggotakan peneliti dan warga desa yang mengoperasikan drone), tim digitasi (beranggotakan peneliti yang mengolah data-data drone menjadi peta tematik), serta tim riset sosial-ekonomi (diisi oleh peneliti yang memetakan kondisi sosial ekonomi satu kawasan perdesaan). Tim ini mulai teroranisir dan merancang tahapan untuk terjun ke masyarakat desa.

Wacana tentang drone ini mulai menjalar ke mana-mana. Selama beberapa bulan ini, PSP3 kebanjiran tamu dari pemerintah daerah dan beberapa lembaga asing yang ingin berguru mengenai drone dan pemanfaatannya. Ke depannya, terdapat banyak tantangan untuk berkreasi dengan teknologi ini. Bagi Dr Sofyan Sjaf, hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana bisa mengembalikan kiblat wacana ke level desa.

“Saatnya desa berdaulat. Saatnya desa mandiri dan bisa menggiring semua orang kota agar kembali ke desa,” kataya. Yup, semoga segala harapan dan impian untuk penguatan desa itu bisa segera diwujudkan. Amin.


Bogor, 18 Februari 2015

Kisah Para Pengendali Twitter





DI gedung DPR RI, saya bertemu sahabat itu. Ia bekerja pada ruang kecil, yang tak seberapa besar. Namun dari ruangan kecil itu, ia bisa mengatur seluruh wacana yang memenuhi benak bangsa Indonesia. Ia punya seorang rekan yang mengendalikan dunia maya. Mereka bisa mengatur agar satu kicauan di twitter bisa di-retweet hingga jutaan kali lalu menjadi trending topic dunia. Ia sungguh menakjubkan.

Tadinya saya menganggap bahwa dunia sosial adalah dunia yang netral. Tak ada yang bisa mengendalikan apa yang hendak diposting oleh orang-orang. Semua orang punya kebebasan untuk memposting hal-hal yang dianggapnya benar, atau hal-hal yang diyakininya. Tadinya saya menganggap bahwa kerja seorang komunikator politik hanya sebatas merancang pesan di twitter, lalu bekerja sama dnegan para buzzer yang langsung menyebarluaskan semua pesan politik secara luas dalam waktu singkat.

Namun ternyata saya keliru besar.

Dari ruangan kecil di gedung DPR RI itu, semuanya bermula. Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia adalah negeri yang paling ramai di dunia twitter. Jumlah pengguna aplikasi bergambar burung biru itu adalah jumlah terbesar di seluruh dunia. Makanya, setiap hiruk-pikuk di tanah air bisa menjadi trending topic atau wacana paling ramai dibahas di level dunia.

Kerja sahabat itu seupa intelijen yang bisa merancang strategi komunikasi untuk menyebar pesan secara cepat dan serupa virus merambah ke dunia maya. Virus yang ditebarnya lalu disebar ke mana-mana, lalu menjelma sebagai kehebohan di level dunia. Ia seorang lihai yang bersenjatakan teknologi demi menjajah pikiran orang-orang lalu mengisinya dengan satu isu politik untuk disebarkan.

Susahkah melakukannya? Sahabat itu hanya terkekeh. Ia menjelaskan beberapa wacana politik yang kemudian membesar justru bermula dari cuitan satu orang yang kemudian terus-menerus diulang oleh jutaan orang. Ia hanya menjawab dengan setengah bercanda kalau dirinya punya saham di twitter sehingga punya otoritas untuk menyebarkan pesan secara cepat.

Dulu, saya tak percaya. Tapi sahabat pengendali twitter itu pernah mengejutkan saya ketika berhasil menambah jumlah follower saya secara cepat. Ia menyuruh saya untuk membuat status di twitter. Ia lalu membuat status itu diteruskan oleh jutaan akun aktif yang sama sekali tidak saya kenal. Amazing! Politik menjadi arena untuk mengisi kepala jutaan orang dengan satu gagasan yang sama.


Saya tiba-tiba saja membayangkan apa yang terjadi di timur tengah. Saya teringat sahabat saya asal Qatar yang bernama Abdul. Suatu hari di Ohio, Amerika Serikat, ia pernah menjelaskan tentang risetnya bahwa apa yang disebut sebagai Arab Spring atau revolusi di dunia Arab itu bermula dari cuitan twitter. “Saya melacak melalui twitter bahwa sesungguhnya gagasan tentang revolusi itu dimulai dari beberapa orang, yang kemudian serupa virus telah membakar dunia.”

Saya juga teringat pada kisah tentang Wael Ghonim, seorang blogger yang pertama memicu revolusi di Mesir. Kiprahnya di internet telah menggerakkan jutaan orang untuk turun ke jalan dan menentang pemerintahan otoriter. Majalah Time menobatkan dirinya sebagai satu dari 100 orang terkemuka dunia sebab bisa menggerakkan revolusi yang berbasis teknologi informasi.

Jika pengguna twitter di Mesir bisa menggerakkan revolusi yang berbasis teknologi, mengapa hal yang sama tidak bisa dilakukan di Indonesia?

Saya memang memikirkan revolusi. Kerja-kerja seorang praktisi komunikasi politik memang selalu terkait dengan bagaimana ‘menggoreng’ isu sehingga menjadi wacana besar. Namun, penguasaan atas teknologi bisa membantu seseorang untuk menguasai ranah dunia maya secara cepat. Dan jika saja teknologi itu berada di tangan seorang baik yang di kepalanya penuh gagasan revolusioner, maka perubahan bisa berlangsung dengan cepat.

Saya juga memikirkan bahwa sekadar berkeluh-kesah di dunia maya tak ada guna. Yang jauh lebih penting adalah proses engagement ketika seseorang bisa memaksimalkan dunia maya untuk membentuk barisan pengikut yang memiliki visi dan ideologi yang sama, setelah itu membakar api perubahan di benak kesadaran orang-orang. Pada titik ini, sebuah gagasan akan memiliki kaki-kakinya sendiri untuk bergerak dan menjangkau banyak tempat.

Seusai berbincang dengan sahabat itu, saya memutuskan untuk pulang. Entah kenapa, ia menahan langkah saya, lalu membisikkan kalimat. “Kita bisa mengendalikan satu teknologi komunikasi. Mengapa kita tak bersama merancang satu perubahan besar yang menyentuh segala sendiri republik ini dengan bermodalkan kemampuan mengatur lalu-lintas isu? Saya butuh seorang pengatur strategi dan penguasa konten. Kamu mau membantu khan”

Saya terdiam dan tak tahu harus menjawab apa. Hingga kini, saya masih memikirkan kalimatnya.


Bogor, 17 Februari 2015

Jalan Terjal untuk Sekeping Impian






KAWAN yang baik. Kamu baru saja melalui satu peristiwa. Kamu sedang tidak beruntung. Tapi percayalah bahwa peristiwa ini memiliki banyak makna untukmu. Jika saja kamu menggapai mimpimu, maka hidupmu akan jadi sederhana. Kamu kehilangan tantangan. Hidup akan serupa film slow motion yang alurnya mudah ditebak. Kini, tantangan baru terhampar di hadapanmu. Ada skenario lain yang lebih hebat di hadapanmu.

Dahulu, aku juga sepertimu. Bedanya, sejak awal aku realistis bahwa diriku tak akan punya peluang di tempat itu. Ini bukan soal kualitas. Jika saja syaratnya adalah kualitas, maka namaku akan berada di daftar teratas. Semua orang tahu itu. Tapi soalnya adalah aku tak punya apa yang mereka inginkan. Masa-masaku adalah masa penuh pemberontakan. Aku bukan anak yang baik. Aku seorang penyendiri, yang menemui kebahagiaan di luaran sana.

Namun, sejak awal kuyakinkan diriku bahwa tak ada satupun yang bisa memvonis seperti apa masa depan. Bagiku, masa depan adalah wilayah yang penuh misteri. Kita hanya bisa menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Pemilik masa depan adalah pemilik tekad kuat. Di manapun posisi seseorang, pastilah ia akan menemukan jalannya ketika punya semangat sekuat baja.

Aku banting stir ke kampung halaman, lalu menghadapi banyak tantangan. Betapa tak mudahnya ketika impian tak tergapai. Tapi kukuatkan diriku untuk menjalani semuanya dengan penuh semangat. Kutantang hari-hari yang tak nyaman setelah mimpi gagal direnggut. Hingga akhirnya aku mendapat anugerah ketika bisa berguru pada banyak orang hebat di negeri lain.

Aku juga menjajal berbagai kompetisi. Tujuanku hanya satu. Aku tak mau dinilai dengan standar mereka. Bahwa ada wilayah netral di mana semua orang bisa bertarung dan menunjukkan kualitasnya. Ketika diriku sering menang, maka itu pertanda kalau diriku punya sesuatu. Ketika satu demi satu capaian tergapai, rasa percaya diriku berlipat-lipat.

Ternyata memang benar. Tak ada satupun yang bisa memvonis tentang masa depan. Sebuah rumah lain yang lebih besar membukakan peluang. Mereka memberi kesempatan yang lebih hebat, sekaligus tantangan besar untuk berkembang bersama mereka. Jika bukan karena sesuatu yang menyala dalam diri, tak akan pernah ada kesempatan itu.

Semalam, kita bersama-sama. Kembali kuucapkan kalimat yang dahulu sering kuucapkan pada diri sendiri. Bahwa seringkali kita harus berani memutar untuk menggapai impian kita. Masa depan tak selalu lurus dan lempang. Ada banyak kelokan dan tikungan yang harus dilalui. Sepanjang kita hati-hati, maka pastilah kita akan menggapai tujuan.

Yakinlah kalau jalan terbaik bukanlah apa yang kamu anggap sebagai impian. Jalan terbaik adalah sesuatu di luaran sana, sesuatu yang mungkin tak terpikirkan hari ini, namun ternyata menjadi jalan terbaik untukmu. Jika kamu punya semangat untuk mengejarnya, pastilah kelak kamu akan tertawa bahagia dan mengenang hari ini dengan catatan penuh kelucuan. Kita adalah prajurit kehidupan yang bertarung demi kebaikan. Kita bisa saja dikasari dan dilemahkan oleh orang lain, namun kita tak akan pernah lemah. Kita akan selalu bangkit dan menatap matahari dengan lebih perkasa.

Mereka boleh saja memenangkan masa kini. Tapi kita, sekali lagi kita, yang akan memenangkan hari esok. Bisakah kamu menanam semangat itu dalam hatimu?


Bogor, 12 Februari 2015


Suatu Hari Bersama Iwan Tjitradjaja


SETIAP kali ada orang baik yang berpulang, saya selalu merasa sangat kehilangan. Beberapa hari ini, saya kehabisan kata untuk menggambarkan rasa duka yang dalam. Batin saya dipenuhi ingatan tentang guru saya di Universitas Indonesia (UI), Iwan Tjitradjaja, yang berpulang ke haribaan Yang Maha Menggenggam. Di mata saya, ia lebih dari sekadar guru. Ia punya jejak yang amat dalam di hati ini.

***

SUATU hari di tahun 2006, saya datang ke kampus Universitas Indonesia (UI). Saya diterima sebagai mahasiswa program pascasarjana bidang antropologi. Saat itu, saya tak punya bayangan sedikitpun tentang disiplin ilmu ini. Keinginan saya adalah belajar di level pasca-sarjana. Di antara semua jurusan pada fakultas ilmu sosial di kampus UI, antropologi adalah disiplin yang tak banyak diminati. Biaya SPP-nya pun paling murah.

Saya datang ke kampus itu dengan membawa segenap keluguan sebagai seorang warga kampung yang belum lama menginjakkan ibukota. Hari pertama, saya bertemu lelaki itu. Ia menjadi moderator kuliah umum. Penampilannya seperti mahasiswa kebanyakan. Melihat sepintas, saya tahu kalau ada darah Tionghoa mengalir di tubuhnya. Penampilannya sederhana. Ia memakai sandal. Celananya jeans yang udah bulukan.

Saat sesi perkenalan, ternyata ia adalah ketua program pascasarjana. Ia menyebut namanya Iwan Tjitradjaja. Tutur katanya lembut. Pertama mengajar, ia lebih suka mendengarkan kami, para mahasiswa, yang lebih banyak sok tahu tentang bidang ilmu itu. Belakangan, saya tahu kalau Iwan adalah alumnus program doktoral di Amerika. Ia murid langsung Andrew Vayda, salah seorang pakar antropologi lingkungan.


Selama kuliah di UI, Iwan adalah mentor bagi semua teman seangkatan. Ia mengajar mata kuliah metodologi penelitian. Ia memberi tugas baca yang sangat banyak. Sungguh, saya kesulitan ketika harus beradaptasi dengan teks-teks berbahasa Inggris. Saya selalu deg-degan ketika masuk kelas. Ia akan bertanya sampai detail tentang sejauh mana kami memahami teks.

Di mata saya, Iwan ibarat gelas kaca yang isinya jelas terlihat. Terhadap mahasiswa yang membaca bahan ajar, ia akan memberikan apresiasi. Namun ia akan sangat murka ketika seorang mahasiswa sok tahu atas bahan bacaan, yang ketika ditanya lebih detail, sang mahasiswa itu ternyata tak membaca bahan kuliah. Kalimatnya bisa sangat menohok.

Pernah, saya menyaksikan Iwan marah-marah pada seorang mahasiswa program doktor saat ujian. Sang mahasiswa menyebut-nyebut Pierre Bourdieu. Iwan lalu meminta kepada staf program pasca untuk mengambil buku Outline of a Theory of Practice karya Bourdieu. Iwan lalu berkata, “Ini buku Bourdieu. Coba tunjukkan, pada bagian mana kalimat yang kamu kutip tadi.” Mahasiswa itu kehilangan kata.

Iwan mengajari kami bagaimana memahami metode penelitian. Ia serupa master kungfu yang melatih kami dengan disiplin ala murid Shaolin. Saya merasakan perubahan pikir setelah mengikuti kuliah-kuliahnya. Dahulu, saya amat menggandrungi semua filosof barat. Setiap kali berpendapat, saya merasa hebat ketika menyebut beberapa sosok seperti Marx, Nietzsche, ataupun Foucault. Bahkan ketika melakukan riset, saya akan memulai dari berbagai kutipan hebat dari para raksasa ilmu sosial itu.

Anehnya, Iwan justru membongkar cara berpikir itu. Pernah, ketika kami turun lapangan, kami lalu presentasi di hadapannya. Ketika menyebut banyak teoretisi itu, Iwan agak sinis. Ia tak terkesan. Dengan suara agak meninggi, ia meminta kami menanggalkan semua kebanggaan ketika menyebut nama para pemikir itu. Ia meminta kami menuliskan data lapangan secara detail dan runtut. Ia ingin kami berdisiplin dalam membuat catatan-catatan selama turun lapangan.

Makanya, ketika presentasi di kelasnya, saya menghindari penyebutan nama pemikir. Saya lebih suka mengutip seorang warga desa yang pernah saya temui. Ternyata, ia justru lebih suka dengan cara berpikir demikian. Ia amat menyukai cerita-cerita tentang pengalaman lapangan yang ditemui di lapangan. Iwan mengajak saya berpetualang pada ranah antropologi yang sedemikian mengapresiasi semua kebudayaan. Ia mengajarkan pesona dan indahnya penemuan pengetahuan, yang lalu dihamparkan dalam teks-teks etnografi.

Tidak berarti dirinya anti pada semua teori. Buktinya, kami diminta membaca semua pemikiran para raksasa ilmu sosial. Belakangan, saya sadar bahwa terlampau terpaku pada satu teks bisa membuat seorang peneliti kehilangan kepekaan. Yang kemudian muncul adalah pandangan yang suka menggeneralisir sesuatu. Semua dilihat berdasarkan kerangka teori. Padahal, kenyataan selalu lebih kompleks. Teori hanyalah satu upaya membekukan kenyataan, yang sejatinya terus bergerak, bahkan melampaui teori itu sendiri.

Barangkali, ia ingin membiasakan agar kami bisa membangun satu orisinalitas dalam berpikir. Ia ingin kami bisa lebih membumi dan belajar untuk memahami satu kenyataan melalui cara berpikir warga setempat. Iwan mengubah mindset saya untuk memperlakukan pemikir Karl Marx dan Emile Durkheim pada posisi yang sejajar dengan kakek saya, seorang nelayan di Pulau Buton, yang memahami navigasi perbintangan ketika melaut.

Di luar kelas, saya berusaha mengakrabkan diri dengannya. Ia serupa bapak yang selalu mendengarkan keluhan. Ia tahu kalau saya kesulitan keuangan saat belajar di kampus UI. Ia men-setting agar saya beberapa kali menjadi notulen saat ujian doktor. Sebab para notulen mendapatkan honor untuk kegiatan mencatat pertanyaan para profesor. Dengan cara itu pula saya belajar.

Menjelang lulus, ia pernah memanggil saya secara khusus. Ia berkata jika kelak saya berencana untuk lanjut program doktor, maka kapanpun saya bisa meminta rekomendasi darinya. Ia lalu menyarankan agar saya mengikuti program Asian Research Institute (ARI) di Singapura. Ia menulis rekomendasi yang membuat saya lulus program itu. Sayang, karena satu dan lain hal, saya batal berangkat ke Singapura.

Setahun setelah lulus, saya kembali mengontak dirinya. Saat itu, saya butuh rekomendasi untuk ikut program beasiswa Ford Foundation. Tanpa bertanya tentang program itu, ia menulis rekomendasi dalam bahasa Inggris. Kembali, rekomendasinya benar-benar manjur. Saya dinyatakan lulus program itu sehingga akhirnya berangkat studi ke Amerika Serikat, negara yang pernah ditinggalinya selama bertahun-tahun.

***

BEBERAPA hari lalu, saya mendengar dirinya telah berpulang. Dua bulan lalu, saya mendengar dirinya sakit keras. Wiwin, seorang staf program pasca Antropologi UI, pernah mengajak saya untuk menjenguk Iwan. Sayangnya, saat itu saya sedang didera kesibukan. Saya mengira bahwa Iwan akan kembali sehat seperti sedia kala sehingga saya bisa menemuinya ke kampus UI. Minimal, saya ingin berterimakasih atas segala bantuannya. 

Sungguh sedih, sebab yang bisa saya lakukan saat ini adalah mengenang hari-hari ketika bersamanya. Ia telah pergi, sebelum saya sempat menemuinya. Saya merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam diri saat mengingat sosoknya. Ia tak saja menjadi guru, pembimbing, pendebat, dan penguji selama saya belajar di UI. Ia juga pahlawan, penolong, serta peletak banyak konsep yang mengendap di kepala saya. Ia adalah guru kehidupan, yang dengan segala disiplin dan sikap sinisnya telah menempa semua muridnya untuk lebih tangguh menelusuri rimba raya pengetahuan yang di dalamnya penuh onak dan duri-duri.

Lewat berbagai rambu dan kehati-hatian metodologis, pencarian di rimba ilmu itu bisa berujung pada penemuan berlian pengetahuan yang mengesankan. Namun, sebagaimana kata Iwan, tak penting apa yang ditemukan di ujung petualangan. Yang jauh lebih penting adalah perjalanan untuk mencari berlian pengetahuan itu. Ah, saya mulai merindukan guru Iwan.

Jika bisa bertemu dengannya, saya ingin sekali berkata:

Pak Iwan. Terimakasih atas semua kebaikannya. Terimakasih atas peta dan petunjuk untuk mengenali ilmu antropologi yang sedemikian mempesona. Selamat jalan guruku.  


Bogor, Februari 2015 


Si Ceking di Balik KASKUS


DI balik satu unit bisnis besar, terdapat kisah tentang manusia-manusia yang juga besar. Kita seringkali alpa membahas kiprah dan dedikasi manusia di balik setiap usaha yang besar dan mendunia. Padahal, manusia-manusia inilah yang menanam gagasan, lalu menumbuhkannya dengan segala kesabaran.

Semalam, saya membaca biografi sosok di balik Kaskus, satu komunitas online terbesar di tanah air. Ternyata, di balik kisah terbentuknya komunitas online yang lalu menjadi unit bisnis besar itu, terdapat cerita tentang remaja pemalu yang acapkali kesulitan berkomunikasi. Hah?

***

BUKU itu berjudul Ken & Kaskus, Cerita Sukses di Usia Muda. Isinya adalah biografi Ken Dean Lawadinata, sosok muda yang menjadi Chief Executive Officer (CEO) dari Kaskus. Saya melihat buku itu di satu toko buku kecil di Depok. Nampaknya, buku itu adalah buku stok lama.

Dulu, saya tak tertarik membacanya. Entah ada dorongan apa, saya tiba-tiba penasaran dan membacanya hingga tuntas dalam perjalanan dengan kereta dari Depok ke Bogor. Isinya membuat saya terperangah. Kisahnya adalah kisah kesuksesan dari mereka yang merambah di dunia maya. Mereka meraup banyak dollar dari kegiatan berselancar di dunia internet.


Abad ini adalah abad internet. Perangkat internet menjadi barang wajib bagi banyak masyarakat urban. Di layar televisi, saya pernah menyaksikan seorang selebitis ditanya tentang apa yang dilakukan saat bangun pagi. Katanya, ia akan mengecek dulu akun social media seperti facebook, twitter, instagram, dan whatsapp. Ia tak sendirian. Ada banyak orang yang juga melakukan hal yang sama.

Ada begitu banyak orang yang saban hari berselancar di dunia maya. Selalu menarik untuk mengetahui kabar dari banyak sahabat yang meskipun terpisah oleh jarak, namun selalu terhubung di dunia maya. Konon, seseorang butuh minimal empat jam dalam sehari di dunia maya. Mereka ingin sukses. Yang menakjubkan, ada anak muda yang menjadikan hasrat eksis itu untuk mengembangkan satu komunitas yang kemudian menjadi ladang bisnis besar.

Anak muda itu adalah Andrew Darwis.

Memang, buku ini tak membahas tentang Andrew Darwis. Yang dibahas adalah Ken Dean Lawadinata, sang CEO. Jujur, saya tak banyak menemukan inspirasi dan pembelajaran pada sosok Ken. Bagi saya, kisahnya biasa saja. Kisahnya tentang anak orang kaya yang punya visi bisnis, lalu bertemu sosok kurus pemalu yang punya ayam bertelur emas, namun tak tahu bagaimana mengeluarkan telur emas itu. Ken lalu melobi ayahnya agar meminjamkan uang 5 miliar, yang kemudian ditanam di bisnis kepunyaan si kurus itu. That’s it!

Saya lebih tertarik pada kisah si kurus yang pemalu itu. Entah kenapa, kisah Andrew Darwis mengingatkan saya pada Mark Zuckerberg yang juga pemalu dan tak punya akses pada kalangan sosialita. Sikap pemalu itu kemudian menjadi energi berlipat-lipat untuk membuka satu portal di dunia maya yang mengumpulkan banyak orang. Si pemalu itu lalu menjadi admin yang cerewet, memperkenalkan banyak istilah baru, lalu membangun visi bisnis yang secara perlahan menjadi besar.

Pada diri Andrew Darwis, saya menangkap beberapa pelajaran berharga.

Pertama, selalu ada energi besar pada mereka yang merasa tersisih dan terabaikan. Andrew menjalani hidup yang tak mudah. Ekonomi keluarganya pas-pasan. Ia bukan siapa-siapa. Tapi ia melihat titik cerah ketika memaksimalkan energi dan seluruh potensinya. Kaskus yang awalnya dibuat sebagai pengalih dari ketersisihan dari dunia sosial, ternyata bisa berkembang begitu pesat.

Saya teringat pada filsuf Lao Tze yang pernah berujar, “When you hit the lowest point, you just open the great possibilites in your life.” Artinya, ketika kamu menyentuh titik paling rendah, titik ketika kamu merasa tak punya apa-apa, ketika kamu merasa tersisihkan, terabaikan tak bisa apa-apa, maka saat itu kamu sedang mencapai titik penting untuk menggapai perubahan. Kita sedang menanam tekad kuat untuk membalik keadaan menjadi sesuatu yang berbeda.

Kedua, tak ada sesuatu yang instant untuk meraih keberhasilan. Dalam keadaan pas-pasan, Andrew berjibaku untuk menghidupkan Kaskus. Ia pernah menyalakan semua komputer berinternet di kampusnya demi mengklik Kaskus, dengan harapan akan mendapat beberapa sen dari iklan Adsense dari Google. Ia menghabiskan lebih banyak waktunya untuk membenahi Kaskus, memoderatori semua debat, lalu merancang forum jual beli.

Ketiga, pemahaman kita tentang pekerjaan harusnya bergeser. Dahulu, bekerja adalah memiliki kantor dan berpakaian seragam. Kini, ada banyak anak muda seperti Andrew yang menemui keasyikan ketika bermain game dan internet, lalu menemukan jalan hidupnya di situ. Dunia kerja menjadi sangat mengasyikkan ketika hobi kita di situ. Jika hobi kita adalah online dan berselancar di dunia maya, mengapa pula kita tak mencari penghidupan di lapis itu?

Keempat, resep sukses ternyata tak rumit. Resepnya sederhana, yakni berani mencoba sesuau yang baru, konsisten untuk membenahi hal itu, serta membuka pikiran terhadap gagasan-gagasan baru.

Saya teringat ucapan Don Tapscott, model institusi bisnis yang hebat di masa mendatang adalah institusi yang bisa menerima semua keping inovasi, lalu menyusunnya menjadi satu bangunan.  Contoh yang bisa dikutip adalah Wikipedia, yang secara perlahan menjadi ensiklopedi terbesar, yang content-nya dibangun oleh publik dunia maya dari berbagai kalangan, dan tersebar di berbagai kota. Makanya, lembaga bisnis akan terus membesar dan kuat sebab senantiasa mengubah diri dan perlahan diperluas cakupannya oleh para konsumer sekaligus produsen.

Yup, ini hanya catatan singkat. Ada banyak pelajaran berharga lain dari mereka yang berselancar di dunia maya. Namun, ada satu kilatan pesan yang amat menohok diri saya. Tiba-tiba saja saya memikirkan bahwa saya pun menghabiskan waktu berjam-jam di dunia internet.

Saya suka mengklik berbagai info, membacanya, lalu terkadang menyebarkannya. Saya berpikir, mengapa tak menjadikan dunia maya sebagai ladang untuk menanam sesuatu yang kelak membawa makna bagi semesta dan dunia? Mengapa pula saya tak berpikir untuk mengubahnya menjadi kapital yang bisa menopang hidup di dunia nyata? Mengapa pula saya tak mengubah kesenangan berinteraksi itu menjadi sesuatu yang bisa menggerakkan orang lain?

Ah, saya punya banyak pertanyaan yang menghujam dalam diri. Seiring waktu, saya akan menemukan sendiri apa gerangan yang dicari di dunia maya. Mungkin saja kelak saya akan seperti Andrew Darwis, atau mungkin saya hanya sekadar menjadi satu dari miliaran manusia yang hanya bermain-main di ranah ini. Entahlah.



Bogor, 7 Februari 2014



Balada Tiga Sahabat asal Makassar


ilustrasi

LEBIH 10 tahun saya tinggal di Makassar. Saya tak pernah sedikitpun meragukan solidaritas dan rasa setia kawan para sahabat di sana. Sekali mengucap ikrar persahabatan, maka ikrar itu akan dijaga hingga napas penghabisan. Benar atau salah, urusan belakang. Sekali seorang sahabat tersakiti, pantang bagi sahabat lain untuk mendiamkannya.

Hanya di Makassar saya melihat rasa solidaritas sehebat itu. Orang Makassar memang punya sejarah hebat, yang ketika dituturkan bisa membuat bulu kuduk merinding. Sejarawan Anthony Reid pernah mencatat bahwa perang Makassar di tahun 1669 adalah perang paling dahsyat yang pernah dihadapi oleh VOC di Nusantara. Keberanian dan sikap ksatria orang Makassar benar-benar tak tertandingi. Hari ini, orang Makassar masih mewarisi sikap ksatria itu. Mereka adalah petarung yang siap membela saudaranya sampai mati.

Pernah, saya menemui seorang sahabat yang babak-belur ketika berkelahi di Jalan Bung, Makassar. Sahabat itu terdiam ketika saya tanyai motifnya berkelahi. Ia membela temannya yang sedang dikeroyok. Temannya meminjam uang pada seseorang, lalu tak mengembalikannya. Di satu sisi, wajar saja jika teman itu dikeroyok. Tapi di sisi lain, sahabat saya tak mau tahu. Ia membela temannya hingga akhirnya babak belur.

“Dia memang salah. Tapi dia sahabat saya. Saya akan membelanya, apapun yang terjadi,” katanya saat itu. Luar biasa. Saya terkesima. Selama tinggal di Makassar, saya selalu merasa aman. Sebab sekali dianggap sahabat, maka kita akan selalu dijaga dan dilindungi oleh mereka. Namun, sekali kita berbuat jahat atau menyakiti, maka mereka tak mengenal kata ampun. Mereka bisa kejam pada orang yang dianggap musuh.

Saya memahami satu hal penting yang selalu dijaga oleh orang Makassar. Hal penting itu adalah kehormatan, sebagai perhiasan paling berharga yang melekat pada diri seseorang. Kehormatan di sini punya dimensi luas. Tak hanya kehormatan diri, tapi juga kerabat, teman, dan komunitas. Kehormatan ibarat porselen mewah yang dibawa ke mana-mana. Sekali kehormatan itu retak dan pecah, maka seseorang bisa melakukan apapun, bahkan hal yang paling gila sekalipun.

***

BEBERAPA hari ini, saya tergelitik untuk merenungi makna persahabatan di tanah Makassar. Seorang pejabat tinggi kenegaraan sedang ‘diserang’ oleh dua rekan sekampungnya, sesama berasal dari Makassar. Pejabat yang mengklaim dirinya sebagai pendekar hukum, tiba-tiba harus berjumpalitan ketika diserang berbagai isu hukum yang bisa menggoyahkan integritasnya. Ia harusnya berdiri tegak, tapi dua temannya menyerang habis-habisan. Ia nampak limbung.

Saya teringat kata seorang bijak, musuh paling berbahaya adalah mantan sahabat kita. Mengapa? Sebab para sahabat tahu banyak sisi yang ada pada diri kita, dan tak diketahui orang lain. Para sahabat adalah mereka yang tahu apa yang kita pikirkan, sekaligus apa saja yang kita rencanakan, serta apa saja rahasia yang kita sembunyikan. Sekali sahabat itu menjadi musuh, kita jelas akan kerepotan mengarahkan bidak catur. Kedua belah pihak bisa saling mengunci.

Terlepas dari perseteruan itu, saya bertanya-tanya, mengapa sampai harus ada konflik dan saling tikam dari belakang? Saya tak habis pikir. Selama ini saya beranggapan bahwa di Makassar semua persoalan dibahas secara terbuka. Lihat saja pakaian adat lelaki Bugis dan Makassar yang justru menyimpan badik di posisi depan perut. Itu bermakna bahwa mereka tak menyembunyikan maksud. Mereka terbuka, lebih memilih berkelahi dan melepas amarah, lalu setelah itu mengucap kata damai dengan tanpa beban.

Tapi perseteruan itu nampaknya amatlah serius. Barangkali, ada nilai-nilai dan sesuau yang prinsipil di situ. Barangkali kedua belah pihak sama-sama punya ekspektasi dan pengharapan yang kemudian tak kesampaian. Barangkali ada hal substansif, sesuatu yang sesungguhnya besar namun hanya diketahui oleh segelintir orang yang berada di lingkaran kecil.

Susahnya, konflik di ruang politik kita laksana konfik dalam kelambu. Sebagai publik kita tak punya akses untuk tahu apa yang terjadi di dalam kelambu. Kita tahu bahwa ada kegaduhan di situ. Kita menyaksikan ada pergumulan yang membuat kelambu itu oleng ke kiri dan ke kanan. Tapi kita tak kuasa untuk mengetahui dan berempati pada mereka yang sedang berknflik itu. Kita hanya bisa merasakan, tanpa tahu apa yang sedang terjadi.

Beberapa hari silam, saya bertemu dengan satu pihak yang sedang berkonflik itu. Ia lebih banyak terpekur dan berdiam diri ketika ditanyai tentang konflik itu. Ia hanya mengeluarkan napas panjang, sebelum akhirnya berkata, “Saya agak kesal karena banyak masukanku yang tidak diturutinya. Dia sudah terlalu jauh. Saya pun tak kuasa untuk menahan-nahan banyak informasi. Maka biarlah kita saling membuka,” katanya.

Hmm. Saya belajar hal baru di situ. Saya mengamini kalimat seseorang tentang tiga hal. (1) bahwa pada akhirnya sahabat sejatimu itu adalah mereka yang berdiri di sisimu ketika kamu sedang membutuhkan sahabat. (2) bahwa sahabat sejati bukanlah seseorang yang meninggalkan sahabatnya ketika sedang berjaya dan menikmati kekuasaan. (3) sahabat sejati adalah mereka yang merawat pertemanannya hingga akhirnya berbuah manis dan memberikan kebahagiaan.

Yang pasti, waktu telah membuka satu rahasianya. Ia telah menyodorkan catatan buat kita tentang tiga sahabat yang ternyata bukan sahabat sejati.


Bogor, 5 Februari 2015