Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Nikmat Lebaran Bersama Ara


DUA minggu yang lalu, saya agak kesal saat mengurus visa di Kedutaan Amerika Serikat (AS). Saat itu, saya mendapatkan lembar kuning (yellow notice) sehingga batal berangkat pada tanggal 21 Agustus. Saat itu saya gelisah dan dipenuhi rasa jengkel karena telah mengalami diskriminasi. Mestinya saya sudah ikut orientasi perkuliahan di Ohio pada 25 Agustus lalu. Mestinya saya sudah mulai bejalar dalam iklim yang multikultur. Mestinya saya sudah mulai menjalani hari-hari sebagai mahasiswa internasional. Hari-hari saya adalah kekesalan.

Tapi kini, saya justru mensyukuri kegagalan itu. Kegagalan itu justru mendatangkan bahagia. Ternyata ada hikmah besar di balik kegagalan itu yakni saya bisa merayakan momen indah Lebaran itu bersama anak istri di kampung halaman. Meski hanya beberapa hari, saya masih bisa menyanyikan lagu pengantar tidur buat bayi yang baru berusia sebulan. Saya masih bisa bersama mantan kekasih, seorang istri yang ikhlas menambatkan nasibnya pada setiap langkah kaki ini.


Apa sih makna berkumpul bersama keluarga? Bagi saya, keluarga adalah tempat diri kembali dari kepenatan perjalanan menyusuri lorong kehidupan. Sebuah keluarga adalah oase yang memadamkan rasa haus akan kasih sayang pada satu perjalanan kehidupan. Saat bersama keluarga, saya diingatkan terus akan tanggungjawab serta peran sebagai seorang suami dan ayah. Sekaligus menjadi momen penemuan diri saya kembali.

Putri saya, Ara, kini berusia sebulan. Setiap melihat sosoknya, saya sedang melihat diri saya kembali di masa silam. Inilah diri saya sekitar tiga dekade silam, dan betapa hebatnya kerja-kerja orangtua yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan diri saya hingga mencapai titik ini. Kini, saya seolah memulai kembali siklus penciptaan manusia hingga membesarkannya dalam balutan cinta dan kasih sayang. Kesadaran saya diketuk bahwa hidup ini butuh oase demi membasuh sejenak hati yang penuh debu-debu perjalanan kehidupan. Saya mendapat kesadaran itu berkat hasil kurang bahagia saat mengurus visa.

Kini, saya sedang bersiap-siap untuk perjalanan yang baru. Visa studi ke Amerika Serikat sudah keluar. Saya mesti bersiap melakukan perjalanan internasional yang pertama ke negeri yang saat ini disebut-sebut sebagai negeri terkuat. Saya akan menempuh perjalanan sehari semalam setelah sebelumnya transit di Singapura dan Jepang. 


Ada rasa deg-degan mengingat situasi serba baru yang bakal dihadapi. Tapi ada rasa penasaran serta hasrat kuat untuk memenangkan tantangan baru yang akan dihadapi. Ada rasa gembira yang menyesak di dada kala membayangkan betapa lamanya saya memimpikan ini. Ada juga rasa haru saat menyadari inilah jawaban dari mimpi dan doa yang pernah saya dengungkan di malam hari, beberapa tahun silam. Untuk menjemput mimpi itu, dan demi keluarga tercinta, saya siap untuk menghadapi semua tantangan di depan mata. Semangat!

Tommy J Pisa Tetap Abadi di Tanah Bugis


DALAM perjalanan dengan mobil panther menuju Bone, Sulawesi Selatan, aku bertemu pria legam itu. Ia mengenakan pakaian berupa jaket kulit, celana jeans belel, serta kacamata hitam. Aku tak pernah bertanya apa profesiya, sebab ia sibuk bercerita. Aku memilih untuk menjadi pendengar yang baik.

Mulanya ia memperlihatkan ponsel terbaru bermerek Maxcom. Dengan percaya diri, ia mengatakan bahwa suara dari ponselnya bisa didengarkan melalui speaker. Saya tahu ini hal biasa. Tapi saya memilih untuk membiarkannya bercerita. Ia lalu menelepon seorang gadis. Dengan logat ala Jakarta, gadis itu menjawab. Suara gadis itu ikut kudengar. Setelah menutup telepon, ia melihat ke arahku, sembari berkata dalam logat Bugis yang kental, "Canggih khan?"

Aku mengiyakan. Ia kembali bersemangat.Setelah itu ia mulai mengambil DVD Portable dari dalam tasnya. Di Jakarta, aku sering melihat alat itu di lapak-lapak penjual DVD agar pembeli bisa mengetes apakah DVD yag dibeli bisa diputar ataukah tidak. Ia menjelaskan kecanggihan alat itu, yang disebutnya sama canggih dengan laptop. Katanya, dari layar kecil di alat itu akan muncul gambar penyanyi. Demi membuktikan padaku, ia lalu memutar lagu yang paling disukainya. Ia memutar lagu Tommy J Pisa yag berjudul Elissa. Salah satu syairnya, "Elissa.. O..Oh.. Elissa. Di jantungku tlah terukir namamu.."

Tuntas Elissa, ia bercerita dirinya adalah penggemar berat semua lagu Tommy J Pisa. Bahkan di tanah perantauan (ia tak menyebut merantau di mana), lagu Tommy J Pisa adalah lagu wajib yang selalu didengarnya. Aku ikut pula bercerita beberapa lagu Tommy J Pisa yang aku ingat. Aku menyebut lagu  Di Batas Kota, satu-satunya lagu yang memakai instrumen stom kapal. Pernah kubayangkan betapa sulitnya mementaskan lagu ini di sebuah panggung, sebab harus mendatangkan sebuah kapal demi memperdengarkan suara stom kedatangan.

Kuceritakan padanya. Beberapa tahun lalu, aku menjalani  program KKN di satu desa di tanah Bugis. Salah satu program kerjaku adalah lomba karaoke antar warga desa. Saat kukumpulkan para pemuda untuk bersama menetapkan lagu wajib, hampir semua pemuda meminta agar lagu wajibnya adalah lagu Di Batas Kota yag dinyanyikan Tommy J Pisa. Ini adalah tanda betapa populerya lagu Tommy J Pisa di desa tersebut. Padahal, di antara semua peserta KKN, nyaris tak ada yang mengingat lagu ini.

Pria itu makin bersemangat. Kemudian ia mencari lagu Di Batas Kota, lalu mengatur volume hingga titik maksimal. Penumpang terganggu. Tapi ia tak peduli. Masih kuingat bagian awal lagu yang diputarnya

Di batas kota ini
Kumenatap wajahmu
Perpisahan ini
membuat luka di hati
Ingin kuberlari, namun tak kuasa diriku
Engkau menangis dalam pelukanku

Aku masih ingat lagu ini. Kalau tak salah, setting klip lagu ini adalah di Pelabuhan Belawan, Medan. Lagu ini sempat menampilkan artis Dina Mariana di akhir lagu, yang kemudian menyanyikan balasan suara sang kekasih. Dalam tayangan TVRI, saat menyanyikan bagian ini, Dina Mariana tampil dengan wajah bersimbah air mata. Saat itu, aku ikut sedih melihatnya.

Mendengar lagu Tommy J Pisa, aku teringat awal tahun 1980-an. Lagu ini serupa mesin waktu yang melontarkan saya ke masa-masa tahun 1980-a, masa kejayaan Tommy J Pisa di jalur pop. Pada masa itu, popularitas Tommy J Pisa bisa disejajarkan dengan Peter Pan pada awal tahun 2000.

Tommy J Pisa adalah satu dari sedikit penyanyi yang memilih genre lagu-lagu sedih. Hampir semua lagunya adalah lagu sedih dan kebanyakan menampilkan klip berupa Tommy yang sedang berurai air mata. Kalau tak salah, ia beberapa kali mengangkat tema tentang merantau. Anehnya, pekerjaan di kota selalu sebagai kuli bangunan,

Saat merantau, Tommy kemudian meninggalkan kekasihya di kampung. Perjalanan itu seolah berat sekali, sebab tak bisa saling tanya kabar melalui SMS, sebagaimana zaman sekarang. Aku pernah berpikir, apakah pria masa itu sedemikian setia sehigga tak berpikir untuk selingkuh di kota besar? Salah satu lagu sedih yang sempat kuingat adalah lagu berjudul Suratan Dari-Nya. Salah satu baitnya adalah:

Ingin kumenangis,
saat kuterpaku, mengenangkan nasib, diri yang
tiada arti,
tak pernah kunikmati, megahnya dunia,
bahkan ku tak pernah tahu, cantiknya raut
wajahmu,
duhai kekasih.....dst

Lagu ini berkisah tentang seorang pria tuna netra yang tak pernah tahu seberapa cantik kekasihnya, hingga ia mempertanyakan keberadaannya. Pada bagian reff, ia seakan memberikan tuntutan:

Mengapa daku terlahir ke dunia ini
Hanya menanggung beban luka dan derita
Pernah kusesali amun itu tiada arti
Kini aku sadari
Semua itu Suratan dari-Nya

Lagu ini seolah menangisi hidup yang getir, namun entah kenapa, lagu ini beberapa kali tampil di acara musik di TVRI yakni Aneka Ria Safari. Pada masa itu, tampil di Aneka Ria Safari adalah barometer kepopuleran sebuah lagu baru. Sehebat apapun sebuah lagu, jika tak pernah tampil di acara tersebut, maka dijamin tidak akan populer. Lagu lain yang juga populer adalah Biarkan Aku Menangis. Sebagaimana lagu Suratan, lagu ini seakan menyesali hidup dan dinyayikan dengan berurai air mata. Perhatikan syairnya:

Kemarin kau masih bersamaku
Bercumbu dan merayu
Adakah hari esok untuk kita bercinta
Seperti yang telah kita lewati

Mengapa terlalu cepat kau pergi
Tinggalkan derita bersamaku
Kenyataan ini begitu memilukan
Ingin kurasa turut serta

Tiada guna aku hidup begini
Tanpa belaian kekasih yang amat kusayangi
Kepedihan yang kini kurasakan
Darimu yang mencintai aku

Biarlah kurelakan kau pergi
Tinggalkan batu nesan
Kudoakan kau bahagia di sisiNya
Sementara biarkan aku menangis..


Mengingat Tommy J Pisa adalah mengingat era 1980-a, ketika urbanisasi sedang marak di negeri ini. Pada masa itu, sektor pertaian mulai tidak bisa diandalkan sehingga berhamburanlah anak-anak muda ke perkotaan demi mencoba berbagai peruntungan, meskipun hanya sebagai pekerja kasar. Melalui lagu Tommy J Pisa terbuka lapis kenyataan tentang hidup yang mulai susah, kebijakan ekonomi yang makin tidak memihak rakyat banyak, sehingga kehidupan kian getir dan menjadi pilihan tema lagu yang laris di masyarakat.

Mengapa lagu ini tetap aktual di tanah Bugis? Mungkin karena di sini, perantauan masih menjadi satu-satuya harapan bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup. Jika diamati dengan seksama, lagu-lagu Bugis juga banyak yang getir tentang putus cinta, perkawinan yang dipaksakan, hingga tentang merantau ke tanah seberang. Ada semacam proksimitas tema, serta kesamaan situasi yag kemudian mendekatkan lagu Tommy J Pisa sehingga tetap abadi di Tanah Bugis.

Namun, ini hanya kesimpulan yang sifatya tentatif (sementara). Mungkin butuh riset mendalam untuk melihat pilihan tema pada lagu Tommy J Pisa dan dikorelasikan dengan situasi masa itu. Tapi setidaknya, pria yang kutemui di mobil pather itu telah membuka lapis-lapis kenangan di masa silam. Lapis kenangan tentang betapa populer dan abadinya lagu-lagu sedih, serta upaya untuk memahami kebudayaan dan peta sosial pada suatu masa melalui lagu Tommy J Pisa.(*)

Bertemu Penari Seksi Libanon

bersama Lyn, penari Libanon

KEMARIN saya bertemu rombongan penari dari Libanon. Mereka berjumlah 40 perempuan yang rencananya akan belajar menari tradisional Indonesia. Saat bertemu, mereka memegang bendera Libanon yang disampirkan di badan sehingga nampak serupa syal. Pertamakalinya saya bertemu gadis Libanon. Mereka cantik jelita. Seperti melihat gadis Eropa, namun memiliki eksotika timur.

Saya coba menyapa dalam bahasa Inggris. Ternyata mereka berkomunikasi dengan bahasa Arab. Makanya dialog jadi tidak nyambung. Untunglah ada di antara mereka yang mengerti bahasa Inggris. Makanya saya bisa berdialog dan bertanya banyak hal. Saya berkenalan dengan gadis bernama Lyn. Ia menjelaskan busana tradisional yang dikenakannya. Ia juga tersipu malu saat saya mengajaknya berfoto. Pipinya bersemu kemerahan.

Selama ngobrol, saya memperhatikan teman-temannya. Selain Lyn, saya hanya melihat dua gadis yang berbaju kain panjang. Itupun karena mereka akan menari. Sementara lainnya, justru mengenakan pakaian seksi dan bercelana pendek. Beberapa di antaranya memperlihatkan pusar. Mereka memang cantik-cantik. Pantas saja jika Miss USA adalah seorang gadis keturunan Libanon. Tapi saya tidak mengagumi kecantikan itu. Saya terheran-heran, mengapa gadis-gadis negara Arab justru tidak mengenakan busana yang Islami. Tak satupun saya melihat perempuan yang memakai jilbab di situ.




Selama ini saya menganggap penduduk Timur Tengah adalah penduduk Islami, setidaknya dalam hal pakaian. Bahkan saya beranggapan bahwa penduduknya selalu berpakaian panjang sesuai sunah rasul. Namun pemandangan bertemu Lyn kian menguatkan kesadaran saya bahwa sedang terjadi eropanisasi di mana-mana. Sebagai produk budaya, selera atas pakaian terus berubah mengikuti tuntutan zaman. Ketika hari ini warga Timur Tengah menjadi lebih Eropa, maka itulah tanda-tanda zaman yang sedang terjadi di sana. Tanda-tanda zaman yang menunjukkan bahwa mereka kian liberal dan permisif pada penampakan tubuh indah.

Saat itulah saya berpikir bahwa tesis cendekiawan Masdar F Mas'udi ada benarnya. Katanya, Islam sekarang sudah tidak tampak di negeri Timur Tengah. Kiblat keislaman akan nampak di Indonesia sebab bisa mengakomodasi keragaman berpikir dan keragaman horizon pandang atas nama Islam. Di sini ada kombinasi kuat antara tradisionalisme, liberalisme, serta penghormatas atas multikulturalisme. Di sini ada roh Islam yang bisa dilihat pada harmonisasi hubungan antar umat beragama, serta fakta demografis negeri ini yang tercatat sebagai umat Muslim terbanyak di dunia.

Namun, tesis ini masih harus diuji terus. Belakangan ini banyak muncul kelompok yang hendak memurnikan Islam. Banyak kelompok yang didompleng gerakan politik radikal di negeri Timur Tengah. Mereka menghardik umat lain dan menolak paham pluralisme. Mereka berada di belakang gerakan-gerakan terror yang melukai negeri ini. Mereka menjadi kerikil-kerikil dari gerak negeri ini untuk menjadi negara besar yang punya potensi menjadi sentrum peradaban.

Saya lalu memandang ke teman-teman dari Indonesia. Saya melihat banyak perempuan berjilbab. Saya kembali memandang Lyn. Saya membatin. Kalau saya menutup mata, maka gadis ini langsung saya tebak berasal dari Timur tengah karena ia berbahasa Arab. Tapi saat membuka mata, saya akan menebaknya sebagai gadis Eropa yang agak liberal dengan pakaian. Seperti inikah gadis Arab yang sesungguhnya?

Lyn lalu pamit. Bersama dua rekannya yang mengenakan busana tradisional, ia dipanggil MC acara untuk menampilkan tarian. Mereka menari dengan iringan lagu-lagu Arab. Perutnya bergoyang-goyang laksana para penari perut. Gerakannya lentur dengan seulas senyum yang tak lepas dari wajahnya. Saat perutnya bergoyang, teman di samping langsung berbisik, "Pantesan banyak agama diturunkan di Timur Tengah. Gadis-gadisnya bahenol dan tak malu-malu bergoyang erotik."

Nak! Sayangilah Ibumu

Anakku sayang..


Hari ini usiamu genap 23 hari. Kata ibumu, kamu menyusu dengan lahap. Inilah sebab mengapa dirimu tumbuh dengan cepat. Di hari ini kamu masih tetap setia dengan rutinitasmu; tidur dan menyusui. Kamu dan ibumu berdialog dengan cara yang amat ajaib. Ibumu mulai mengerti dengan bahasamu. Secara perlahan ia mulai tahu keinginan dan kebutuhanmu. Lewat suaramu, ia tahu kalau dirimu telah pipis, buang air besar, dan sedang ingin dipangku.

Ibumu adalah manusia yang rela mendedikasikan seluruh hidupnya untukmu. Bukan hanya waktu dan hari-harinya yang ia persembahkan untukmu. Tapi satu-satunya jiwa yang dimilikinya. Ia mempersembahkan segalanya untukmu demi membangun sebuah rumah cinta, tempat di mana dirimu merasa aman dan damai. Telah kusaksikan dengan mata kepalaku bagaimana ibumu berjuang untuk menghadirkanmu. 

Pada hari itu, 23 hari silam, ibumu menderita sakit hebat demi menetaskan dirimu yang diperamnya selama sembilan bulan. Ia bertaruh nyawa demi menjaga buah cinta yang pernah kami tanam selama memadu kasih. Andaikan aku punya kuasa, ingin rasanya kuminta separuh rasa sakit itu. Ia menanggung seorang diri atas apa yang pernah kami lakukan bersama. Di rumah sakit itu, aku hanya bisa memandangi ibumu dengan hati yang tak karuan. Ia telah menjalani perannya sebagai perempuan dengan sempurna. Tinggallah diriku di sini yang sedang cemas dengan tanggung jawab atasmu.

Sepuluh hari kita bersama, aku harus meninggalkanmu demi sebuah tanggung jawab. Semuanya terasa berat sebab bersamamu, waktu seakan statis. Aku diliputi bahagia yang amat sangat saat mendengar detak jantungmu, merasakan hembusan napasmu, hingga saat menyaksikan tubuhmu bergerak. Namun, ada sesuatu yang mesti kulakukan demi melempangkan jalanmu di masa depan. Aku punya cita-cita untuk kehidupan yang lebih baik buat kita bertiga. Aku mesti menekan ego demi menanam sebuah benih yang kelak akan kita panen sama-sama. 

Perjalanan ini memang tidak mudah. Perjalanan melintasi lautan ini tidaklah sesederhana yang kupikirkan. Perjalanan ini adalah perjalanan yang akan mengharukan buatku yang baru saja mengenal dirimu. Perjalanan ini akan berurai sedih buat diriku yang baru menyadari betapa miripnya engkau denganku, berurai sepi buat diriku yang lama merindukanmu. Tapi aku mesti menekan ego untuk rumah impian kita bersama. Aku mesti mengenyam segala perasaan ini dan membiarkan engkau bersama ibumu, sosok yang selalu berusaha mendamaikan jiwamu.

Anakku sayang...
Kelak ketika engkau dewasa, aku tak memintamu untuk mengingatku. Aku hanya memintamu untuk selalu mencintai ibumu. Tahukah kamu, suatu hari Rasul pernah ditanya siapa manusia yang wajib kita cintai. Ia menyebut ibu hingga tiga kali sebelum akhrinya menyebut kata ayah. Makanya, sayangi, sayangi, dan sayangilah ibumu dengan segala energi yang kau miliki. Ibumu telah mengikhlaskan raganya untukmu. Kelak dirimu akan mengikhlaskan raga pula untuknya. 

Kelak diriku akan menyaksikan fragmen cinta kalian dengan berbinar-binar. Kita bertiga berbeda tubuh, namun satu jiwa. Kita bertiga dipisahkan oleh jarak geografis, namun tidak dengan hati kita. Sebab hati kita terlanjur bertaut, terlanjur membangun jembatan hati, terlanjur tumbuh laksana tiga kelopak mawar indah yang tunasnya adalah keping-keping cinta, yang disuburi sikap saling menyayangi, merindui, dan mengasihi.(*)

NB
Baca pula catatan ibumu untukmu DI SINI

Manusia Gerobak, Manusia Siput, Manusia Bebas

Poniman tidur di gerobak

SEBUT saja namanya Poniman. Usianya 70 tahun. Di tepi Jalan Kramat Sentiong, Jakarta, ia memarkir gerobaknya. Saya melihat di gerobak itu ada barang bekas, di antaranya gelas plastik, dan aneka botol. Usai memarkir gerobak, ia lalu menggelar kardus, kemudian berbaring di gerobak itu. Saya datang mendekat. Ternyata di gerobak itu ia membawa tas ransel kumal yang isinya adalah seluruh benda kepunyaannya. Ada pula kantong hitam yang isinya baju kumal dan handuk lusuh. Jangan terkejut. Poniman sama sekali tak punya rumah. Ia tinggal di gerobak itu dan setiap hari berkelana demi menghindari kejaran petugas yang menganggapnya seperti sampah di jalan raya.

Poniman laksana siput yang ke mana-mana membawa rumahnya. Ia adalah satu dari ratusan manusia gerobak yang berkeliaran di jalan-jalan Kota Jakarta. Mereka disebut manusia gerobak sebab tinggal di gerobak kayu yang didorong saban hari. Poniman berkelana seorang diri. Namun beberapa manusia gerobak lainnya justru adalah keluarga. Ayah, ibu, dan anak sama-sama tinggal di gerobak tua itu. Mereka hidup, mencari makan, dan istirahat di gerobak tersebut. Mereka meletakkan semua ‘harta’ dan hasil jerih payahnya di gerobak itu. Bagi mereka, kosa kata hidup adalah berpindah-pindah demi mengais-ngais rezeki di jalan-jalan kota Jakarta.

Mulanya Poniman tinggal di lapak kumuh di dekat pembuangan sampah. Namun, hidup di lapak itu sungguh tak nyaman baginya. Setiap saat ia harus siaga dan melarikan diri ketika aparat Satpol Pamong Praja datang untuk ‘menggaruknya.’ Poniman dianggap sampah yang mengotori jalan-jalan. Ia dianggap wajib dienyahkan. Keberadaannya mengotori wajah kota yang mestinya nampak kaya dan teratur sebagaimana kota-kota di Eropa. Maka berkelanalah Poniman. Ia hidup berpindah dan sesekali berkelahi dengan nasib yang seolah hendak menyingkirkannya dari kota. 

Ia sedang bertarung dengan nasib. Daripada selalu hidup was-was karena kejaran aparat, ia lalu membawa gerobak ke mana-mana. Ketika aparat datang, ia akan berpindah dengan cepat ke tempat aman. Dan ia adalah satu-satunya manusia bebas di Jakarta. Jika manusia lain selalu kembali di rumah yang ukurannya sekian kali sekian meter, Poniman bisa tidur di semua sudut jalan Jakarta. Ia bebas memilih hendak istirahat di manapun. Boleh jadi, ia pernah tidur di jalan raya depan hotel mewah yang pernah Anda tiduri. Boleh jadi ia pernah mengais sampah makanan yang pernah Anda buang di jalan raya. Ia adalah manusia bebas. Bebas tidur di manapun. Bebas makan apapun.

sekeluarga hidup di gerobak
Dengan cara apa ia bisa bertahan? Ternyata ia menghidupi dirinya dengan mengumpulkan barang bekas. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan penghasilan hingga sepuluh ribu rupiah, sebuah jumlah yang hanya cukup untuk makan. Selain aparat, musuhnya adalah cuaca. Ketika hujan, ia akan basah kuyup sebab terpal sobek di gerobaknya tak selalu sanggup menutupi seluruh tubuhnya. "Emang susah sih hidup di jalanan. Kalau hujan kedinginan, panas kepanasan," katanya. Sembari bercerita, lelaki tua ini sesekali menyeka tetesan air yang mampir di wajahnya dengan handuk kecil yang setia melingkar di lehernya. Jika hari panas handuk lusuh itu yang menghapus keringat ketika dia bekerja. 

Meski akrab dengan dingin angin malam, Poniman tak bisa memungkiri usianya kian senja. Kini ia kerap sakit. Walau sakit yang kerap mampir hanya flu biasa, dia tak mampu berobat ke dokter karena biayanya tak sebanding dengan pendapatannya. Poniman pun memilih melawan sakit dengan obat kelas warung yang harganya relatif terjangkau. 

Melihat Poniman, saya dicekam kesedihan. Setelah enam puluh enam tahun republik ini merdeka, namun pria seperti Poniman tetap saja menjamur di kota-kota. Telah beberapa kali presiden berganti, namun kemiskinan pria seperti Poniman menjadi realitas yang selalu hadir di mana-mana. Dan seperti biasa –sebagaimana dikatakan Anis Baswedan—setiap perayaan Proklamasi selalu saja diiringi permaafan pemerintah atas kemiskinan yang tak kunjung bisa dientaskan. Negeri ini tidak butuh permaafan. Jika cita-cita kemerdekaan adalah sebuah janji, maka janji itu seyogyanya ditepati dengan menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi sesama. Republik ini mesti bergegas. Mesti melakukan sesuatu yang bukan hanya permaafan, namun langkah-langkah konkrit untuk membantu mereka yang miskin dan papa sebagaimana Poniman.

ayah - anak hidup di gerobak (foto: dewantorobimo.wordpress.com)
Enam puluh enam tahun republik ini berdiri. Gedung pencakar langit berdiri di mana-mana. Tapi manusia seperti Poniman terus bertambah. Mereka adalah potret buram negeri yang para elite politiknya adalah mereka yang rela memakai dana negara demi memenangkan kursi ketua umum partai. Politisinya adalah para koruptor yang pandai berkongkalikong dengan sesamanya, menguras uang rakyat, lalu berpindah-pindah dengan kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kemudian tidur di atas kasur empuk di rumah-rumah yang serupa istana. 

Sementara Poniman hanya bisa menganyam impian dari gerobak tua itu. Ia adalah siput yang ke mana-mana membawa rumahnya. Ia hanya bisa menghitung hari demi hari yang berlalu dan usianya kian menua. Hari ini, ia berbaring di gerobaknya di tepi Jalan Kramat Sentiong. Ia sudah nyaris terlelap ketika tiba-tiba datang aparat yang menghardik dan berteriak mengusirnya. Ia kian meminggirkan gerobak itu. Ternyata ada mobil mewah berwarna hitam mengkilat sedang melintas. Samar-samar Poniman melihat Gubernur DKI Fauzi Bowo sedang melintas. Ia tahu diri dan segera lenyap dari tepi jalan itu.(*)

seorang manusia gerobak sedang memandang hari



Kisah Si Cantik Tina Toon


Tina Toon & Friends

Tina Toon perlahan menjadi magnet baru di dunia hiburan. Saat menghadiri ulang tahunnya, saya menyempatkan diri untuk memotret beberapa pose sosoknya kini. Dulunya, ia hanya seorang anak kecil yang chubby dan dikenal pandai menirukan gerak tari Inul Daratista. Dia juga dikenal karena goyangan leher yang khas. Tapi, anak kecil yang agak tambun itu sekarang sudah beralihrupa. Ia sudah menjadi gadis remaja yang jelita. Tubuhnya langsing, namun tetap seksi. 

memotong kue ultah

Ia mengaku banyak berkorban untuk tiba pada tubuh secantik itu. Hari-harinya adalah diet dan perawatan kulit. Hari-harinya adalah salon dan perawatan tubuh. Pantas saja jika ia menuai tubuh yang begitu aduhai, kulit yang bening licin, wajah yang serupa Dewi Kwan Im. Pantas saja jika ia kembali menjadi magnet di dunia entertainment. Dunia hiburan memang hanya memberi ruang bagi mereka yang cantik. Tina Toon hanya seorang yang merawat diri demi karier di dunia itu. 

Sayang sekali karena saya tak sempat bertanya apakah gerangan yang dipikirkannya? Tidakkah ia merasa jenuh dengan hidup yang terpola demi mendapatkan tubuh seindah itu? Tidak inginkah ia seperti remaja lain yang menghabiskan masa remajanya dengan bermain, bercanda, dan penuh aktivitas menyenangkan? Mungkin inilah jalan hidup yang dipilihnya. Kelak ia akan mengalami ‘krisis’ dan kemudian terbentur pada kesadaran bahwa hidup yang tertata hanya akan menghasilkan jiwa yang terpenjara. Kelak ia akan menyadari bahwa dalam pergaulan yang riang dengan sebayanya, ia akan belajar nilai-bilai persahabatan, petualangan, sekaligus pendewasaan karakter. Nilai-nilai itu susah didapatnya pada kehidupan yang tertata sebagaimana saat ini.(*)





Akustik Anak Muda


DI Atrium Senen, anak-anak muda itu unjuk kebolehan dengan bernyanyi. Massa menyemut, bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Kita memang selalu butuh hiburan. Kita butuh para penyanyi untuk membantu kita sejenak melepaskan beban berat di pundak. Kita butuh anak-anak muda itu untuk membantu kita mengenali hal-hal indah di sekitar kita.(*)



Nasi Kapau di Pasar Senen



ORANG Padang adalah orang yang paling kosmopolit. Mereka adalah bangsa yan paling rajin mengekspor kebudayaannya sehingga menjeadi kebudayaan nasional. Di tepi Pasar Senen, terdapat satu kompleks warung yang semuanya menjajakan masakan Padang. Yang khas di situ adalah nasi kapau dan bubur kampiun. Saya belum pernah mencobanya. Tapi saya yakin kalau rasanya lezat. Saya sudah mencoba aneka jenis masakan Padang yang langsung membuat ketagihan saking nikmatnya. Tidak inginkah Anda mencobanya?


Conversation with Obregon

DI luar negeri, semua staf pengajar rajin membuka email kemudian membalasnya. Mereka sangat terbuka pada teknologi sebab menyadari bahwa teknologi menjadi pintu untuk melihat dunia serta portal untuk berdiskusi dengan siapa saja. Terkait visa ke Amerika yang belum kelar, beberapa hari lalu saya mengontak advisor saya di Ohio, Prof Dr Rafael Obregon. 
Dear Dr. Rafael Obregon,
My name is Muhammad Yusran Darmawan.  I’m a researcher from Indonesia. My last research is about the collective memories of communist victims in Buton Island, Indonesia. Last year, I got a scholarship from Ford Foundation to continue my education in Communication and Development Program, Ohio University. It’s honor for me to join as one of your students in Ohio.  I’m very exciting to become a student in Ohio. This is one of my dreams to get good education and to emancipate my community in Buton island, Indonesia.

According to the schedule from Ford Foundation and Institute of International Education (IIE), I must arrive in Athens on August 23. But I have a little problem here. Last Monday, I was interviewed by US embassy to get a Visa. In the end of interview, I got a yellow notice. It’s mean that there is an administrative process in US embassy and I must wait for a while. In my country, sometimes many people only waiting for two weeks to get a Visa, but sometimes someone must wait until a month. I ever heard about someone who waiting until three month. It is depend on the administrative process in US embassy. I hope I get my Visa as soon as possible.

I send this email to get information about the academic season in Ohio. I read in my Letter of Acceptance (LoA) that I must register to OU on August 25. If I late to come to Athens, I will late to register as student in your program. Am I right? What can I do now?


Tak sampai beberapa jam, ia membalas email tersebut dengan kalimat yang sangat menguatkan. Saya tak menyangka kalau seorang pengajar yang amat sibuk, sempat-sempatnya membalas email dengan kalimat yang yang memahami problem yang saya hadapi. Ia juga memberikan tawaran yang cukup melegakan jika saya terlambat tiba di Ohio. Berikut email balasan dari Mr Rafael Obregon tersebut:

Dear Yusran:
Many thanks for your email and update re your visa application. I am sorry to hear that you are facing this situation. I hope that the U.S. Embassy will issue your visa as soon as possible. Please let us know if you hear from the Embassy by Tuesday next week. If you miss the orientation for international students, you will still be able to receive the necessary advice re registration, access to resources, etc. Let’s wait and see what happens over the next four or five days.

I am copying our colleagues at Ohio University’s International Student and Faculty Services who may be able to provide additional advice regarding these matter.

Best regards.

Rafael Obregon



Terimakasih Nazaruddin!

Kawan yang baik..
Tak usahlah banyak berharap pada si Nazaruddin itu. Tak usahlah melambungkan harapan yang begitu tinggi tentang pemberantasan korupsi yang menyeret tokoh-tokoh terkenal itu. Kita sama paham bahwa Nazaruddin tidaklah besar dari komunitas yang berpanas-panas di siang hari demi sebuah tuntutan. Kita tahu bahwa Nazaruddin tak pernah digarami samudera pergerakan yang menjebol bendungan angkara murka. Nazaruddin tidak pernah keluar dalam keadaan menyala-nyala setelah dipanggang dalam kawah candradimuka penderitaan rakyat.


Nazaruddin hanyalah seorang pemburu rente. Ia mengejar dan menimbun kekayaan dalam sebuah gunung kemewahan. Ia hanyalah sosok muda yang pragmatis. Hidungnya telah lama diasah untuk mengendus di mana uang bertebaran. Dan ke sanalah ia beserta komplotannya. Tak masalah jika saling sikut antar sesama teman. Yang penting keuntungan bisa direguk sama-sama, meskipun kelak sang kawan itu membiarkannya menjadi martir di medan pemberantasan korupsi. Nazaruddin hanyalah pengusaha karbitan yang mengandalkan proyek-proyek kerjasama dengan rezim berkuasa. Demi rezim yang dibelanya itu, ia adalah hamba yang setiap saat patuh mengabdi. 

Kawan yang baik..
Tak usahlah melambungkan asa pada pria yang hobinya adalah berpindah-pindah negeri dengan pesawat carteran itu. Di zaman seperti ini, sosok seperti Nazaruddin bertebaran di lembaga politik dan pemerintahan. Nazaruddin tidaklah sendirian. Ia bersama banyak orang yang membentuk jejaring, menjadi kerikil yang menghambat gerak perubahan sosial, bersama menjadi pemburu keuntungan yang selalu mengatasnamakan masyarakat banyak. Mereka telah mencatut nama kita. Mereka menyebar uang di ajang pemilu demi legitimasi nama kita semua. Setelah itu mereka mulai melupakan kita semua. Nama kita hanya disebut sebagai pemanis di balik setiap mega proyek raksasa. Mereka hidup berlimpah, dan di sini, kita dalam keadaan miskin kere. Mengapa pula drimu harus melambungkan harapan pada pria itu?

Jika hari ini si Nazar itu bagai kucing kepanasan, itu disebabkan dirinya sedang menghadapi persekongkolan tingkat tinggi sebagaimana yang pernah dilakoninya. Ini dunia mafia. Ketika anda di dalamnya, anda akan dilindungi oleh seluruh mafia lain dengan senjata terkokang. Ketika anda coba membongkar rahasia di dunia itu, maka semua senjata akan mengarah ke dirimu. Si Nazar itu manusia tak beretika yang hendak melempar bom bunuh diri buat meledakkan semuanya. Ia tak seperti mafia-mafia Sisilia yang rela ditembak mati demi menjaga sumpah persaudaraan Omerta. Nazaruddin hanyalah seorang pengincar peluang yang kemudian terjerat oleh satu konsporasi tingkat tinggi. Jika hari ini ia meradang, itu adalah pertanda kesendiriannya. Ia bermain dnegan api yang kemudian membakar dirinya.

Kawan yang baik..
Marilah kita melupakan pria koruptor itu. Kita hanya bisa mencatat isyarat alam bahwa di negeri ini kejahatan korupsi berlangsung secara struktural, dikelola dalam satu jejaring dalam kekuasaan, dikerjakan dengan amat canggih dan senantiasa menyebut-nyebut nama kita sebagai rakyat. Si Nazar itu telah membuka topeng yang selama ini dikenakan anak-anak muda yang selalu menyebut dirinya sebagai tonggak perubahan. Si Nazar itu telah membantu kita untuk memahami bahwa seorang politisi yang nampak santun dan sederhana, ternyata hanya sosok yang tergiur kuasa, memperkaya diri dengan barang-barang mewah, hingga menaiki tangga kuasa dengan cara menyuap. Si Nazar itu telah membuka sedikit demi sedikit permainan yang pernah dilakoninya hingga membakar dirinya perlahan-lahan.

Maka biarkanlah dia seperti kucung kepanasan. Biarkanlah dia panik dan berkirim surat kepada presiden. Biarkanlah ketakutannya perlahan membuka tabir kesalahannya. Biarkanlah ia bersimpuh di hadapan penguasa agar diri dan keluarganya selamat. Biarkanlah ia memainkan sandiwara demi sandiwara demi menyelamatkan dirinya.

Dan biarlah kita di sini memandangnya dari kejauhan. Biarlah kita di sini duduk diam, tanpa melambungkan harapan kepadanya. Biarlah kita menyaksikan aksara demi aksara politik yang kelak menguatkan satu proyek sandiwara kuasa yang menjemukan sebagaimana opera sabun. Biarlah kita duduk tenang di sini, di posisi pijak kita sebagai rakyat kecil di luar kelambu kuasa. Kita diam, tapi tidak benar-benar diam. Kita terus mencatat dan menyaksikan episode penghancuran cita-cita para pendiri negeri ini. kelak catatan itu akan menggugah, mengiris nurani masyarakat hingga bergerak bersama demi menumbangkan rezim keangkuhan itu.

Masihkah dirimu percaya pada si Nazar itu?


Polwan Cantik Versus Kowal Cantik

Briptu Deby

SATU-satunya hiburan saat menyaksikan upacara detik-detik Proklamasi di Istana Negara adalah para polisi wanita (polwan) yang cantik-cantik, serta para anggota Kowal (angkatan laut), Kowara (angkatan udara), serta Kowad (angkatan darat) yang cantik-cantik. Sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, paradigma perekrutan tentara perempuan sudah bergeser. Dulu, yang dicari adalah yang garang. Sekarang, yang dicari adalah yang cabtik-cantik. Mungkin karena fungsi mereka lebih banyak kerja pelayanan atau kerja di belakang meja, makanya dibutuhkan yang berpenampilan menarik.

Kemarin, mereka saling bertukar yel-yel. Sebelum upacara, masing-masing menampilkan tarian heboh dan saling berbalas-balas. Liriknya juga lucu-lucu, misalnya menyebut paling seksi dan yang lain jelek-jelek. Sebagai penonton, saya cukup terhibur. Bersama beberapa fotografer, beberapa di antaranya adalah fotografer asing, saya menyaksikan yel-yel itu dan sangat terhibur. Sayangnya, saya tak sempat memotret aksi Kowara dan Kowad. Tapi, menyaksikan Polwan dan Kowal sudah cukup memuaskan mata saya. Saya sangat terhibur. Berikut foto-foto mereka:







BACA JUGA:


Upacara Proklamasi, Lagu Presiden, dan Polwan Cantik



TADINYA saya menganggap bahwa upacara detik-detik proklamasi adalah milik semua rakyat Indonesia. Tadinya saya menganggap bahwa siapapun berhak untuk menyaksikan upacara ini, bisa melihat langsung presidennya, serta menyaksikan betapa sakralnya acara tersebut. Ternyata saya kecele. Upacara ini hanya milik para pejabat tinggi. Upacara ini hanya untuk kalangan tertentu. Sementara rakyat kecil, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Itupun tidak bisa melihat langsung sebab terhalangi panggung dadakan yang dibangun untuk para penyanyi aubade.

Kemarin, saya penasaran untuk menyaksikan langsung upacara ini.  Saya ingin menyalakan kembali nasionalisme yang selama skeian tahun mulai terkikis. Pukul 07.00 WIB, saya sudah menuju istana negara. Setiba di sana, penjagaannya sangat ketat. Setiap yang mendekat akan diawasi-awasi oleh polisi atau tentara. Bahkan di lokasi upacara, semua yang masuk harus melewati metal detector. Mungkin ini prosedur standar sebab mengingat yang hadir adalah presiden dan pejabat negara. Tapi prosedur itu menyebabkan saya dan rakyat lain yang sengaja datang tidak bisa mendekat. 



Terpaksa, saya hanya menyaksikan upacara itu dari kejauhan, dari lapangan Monas. Saya cukup beruntung karena sempat menyaksikan banyak prajurit yang stand by di tempat itu, sebelum akhirnya menuju halaman istana. Saya melihat prajurit dari tiga angkatan dan kepolisian. Sempat pula saya berpose di depan senjata-senjata berat seperti senapan serbu ataupun tank. Teman saya sangat antusias menyaksikan semua senjata itu. Ia menyempatkan diri untuk berfoto di depan meriam besar.

Di antara prajurit itu, saya senang menyaksikan para prajurit wanita baik itu polwan, kowad (angkatan darat), kowal (angkatan laut), serta kowari (angkatan udara). Mereka nampak cantik-cantik serta modis. Mungkin paradigm perekrutan prajurit perempuan sudah berubah. Dulu, yang direkrut adalah yang garang dan agak laki-laki, sekarang yang direkrut adalah yang cantik-cantik sehingga memberi kesan positif bagi militer.

Yang menarik, jelang memasuki halaman istana, anggota Kowal (angkatan laut) menyanyikan beberapa lagu serta meneriakkan yel-yel. Kalimatnya lucu-lucu. Misalnya yang paling seksi di sini adalah Kowal. Yang lain jelek-jelek. Mendengar teriakan itu, Polwan tak mau kalah. Mereka juga menyanyi sambil berjoged. Demikian pula dengan Kowara (angkatan udara), dan kowad (angkatan darat).  Rupanya, setiap tahun mereka kerap menampilkan yel-yel demi membuat suasana semarak.

Pukul 10.00 WIB, upacara dimulai. Saya menunggu di Monas untuk menyaksikan 17 dentuman meriam. Suaranya berdentum dan memekakkan telinga. Usai meriam berdentum, saya lalu ke depan istana. Di sana ada pengibaran bendera serta pembacaan naskah Proklamasi. Setelah itu aubade lalu menyanyikan beberapa lagu perjuangan. Suasananya sacral dan bikin merinding. Sayangnya, saat saya tiba di situ, tiba-tiba terdengar lagu ciptaan Presiden SBY dinyanyikan seorang anak yang diiringi paduan suara. Saya langsung kehilangan minat dan memutuskan untuk angkat kaki dari tempat itu. Jauh-jauh dari kampong, tiba-tiba diperdengarkan lagu ciptaan presiden. Apa gak ada lagu lain?

Saya lalu pulang dengan sedikit kesal. Saya membayangkan ceceran darah para pejuang yang menegakkan kalimat merdeka. Tiba-tiba para penerusnya hari inisempat-sempatnya memanfaatkan momen hari proklamasi demi memperdengarkan lagu ciptaan sendiri. Ini memang negeri yang aneh. Untunglah, saya sedikit terhibur berkat seulas senyum dari seorang polwan cantik yang sempat saya potret. Makasih mbak polwan!


Anak Muda Dulu, Anak Muda Sekarang!

para pemuda saat mengibarkan bendera merah putih tanggal 17 Agustus 1945


ENAM puluh enam tahun silam, negeri ini lepas dari belenggu penjajahan berkat anak-anak muda. Mereka memang masih ingusan. Tapi tidak dengan daya ledak serta semangat yang menyala-nyala. Anak-anak muda itu datang berbondong-bondong laksana air bah dan mendesak Soekarno untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Enam puluh enam tahun silam, tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda itu datang dengan kepala panas dan menantang Soekarno. ”Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata pemuda Chaerul Saleh demi meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ”Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ”Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan;  ”Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”

Soekarno langsung ikut naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ”Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”

Namun, para pemuda terus mendesak, ”Apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyata­kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. 

Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata, “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. 

Hari ini, enam puluh enam tahun setelahnya, para pemuda masih memainkan peran yang menjadi sorot media. Mereka tidak lagi memberondong pemimpin pergerakan dengan kalimat penuh idealisme serta khas anak muda; serba menghantam kiri kanan. Kini, anak-anak muda itu disorot media karena perkara korupsi dan memperkaya diri sendiri. Anak-anak muda itu masih belia, namun telah mengemban peran sebagai ketua partai politik. Di pundak mereka terselip peran sejarah yang besar. Sayang sekali karena mereka lebih memilih memperkaya diri hingga saling tuding dengan sesamanya.

anak muda di panggung politik: Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Anas Urbaningrum

Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Anak-anak muda telah lama bersalin rupa dengan gincu dan pakaian mahal. Anak muda telah lama kehilangan hulu ledak semangat pergerakan. Anak muda sibuk menghamba pada kekuasaan dan rela mengeluarkan miliaran dana negara demi memperkaya diri. Anak muda yang rela berkolusi dengan siapapun demi memenangkan kuasa di partai politik. Anak muda yang di masa muda telah mencemarkan mimpi-mimpi tentang kemerdekaan sebagai gerbang emas menuju kehidupan yang lebih baik. 

Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Anak muda yang tampil ke depan bukanlah mereka yang disebut Chairil Anwar sebagai mereka yang masuk menemui malam dan di siang hari berpanas-panas ria demi sebuah tuntutan. Anak muda yang tampil ke panggung sejarah adalah anak muda yang dahulu menjadi putri kecantikan dengan gincu dan pupur. Anak muda, seorang mantan putri Indonesia, yang hari ini telah mengemis-ngemis demi apel Washington dan segepok uang dollar.

Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Anak muda yang tampil adalah para broker politik. Mereka yang memperkaya diri melalui proyek-proyek besar hasil kongkalikong dengan penguasa. Anak muda yang bersinar adalah anak muda yang mengendarai mobil-mobil mewah, pandai menyelipkan segepok uang ke ketiak banyak orang, pandai bersalin-rupa demi mempertebal pundi-pundi. Dan kehilangan ksatria ketika memilih melarikan diri ketimbang menghadapi pengadilan sembari menyusun pleidoi ala Soekarno muda yang berjudul Indonesia Menggugat, sebuah pleidoi yang hingga kini tetap menggetarkan.

Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Masihkah tersisa kebanggaan pada anak-anak muda negeri ini?



Simbiosis Media dan Pemda

DULU, media massa khususnya koran dan majalah ramai-ramai mengincar perusahaan besar untuk diberitakan sekaligus diincar iklannya. Kini, media massa mulai mengincar pemerintah daerah (pemda). Mereka ramai menulis tentang prestasi pemda, dalam format liputan advertorial. Ada apa dengan media kita?

Sejatinya media-media bersikap kritis dan menarik jarak dengan pemerintah. Tapi di majalah kita, menarik jarak dan kritis itu adalah dalam rangka mengincar dana APBD, khususnya pos dana untuk promosi dan investasi, ataupun pos dana komunikasi. Maka, jangan heran ketika melihat liputan majalah kita. Pada satu hari mengkritik pemda, namun keesokan harinya bisa menurunkan liputan tentang prestasi pemda tersebut.

Sebulan lalu, saya membaca liputan tentang daerah-daerah yang terancam bangkrut. Hari ini, saya membaca liputan  tentang daerah-daerah yang berprestasi. Saya tak melihat secara teliti daerah mana saja. Namun insting saya sebagai mantan awak media segera bekerja. Liputan bulan lalu adalah liputan yang tujuannya menggoda pemda. Sementara liputan bulan ini adalah pemda-pemda yang bersedia untuk diiklankan dan tayang di media tersebut. Berapa tarifnya? Saya tak mau menebak. Tapi hitungan kasar saya, jumlahnya cukup besar sebab bisa mencapai angka puluhan juta rupiah.

Rata-rata majalah besar di ibukota melakukan jurnalisme advertorial ini. Baik Gatra maupun Tempo sama-sama bermain di lini yang sama. Tempo amat sering membuat penghargaan kepada daerah yang dianggapnya berprestasi. Malah, beberapa kepala daerah juga pernah dimuat iklannya. Hari ini saya membeli Tempo. Lagi-lagi, saya terkejut melihat banyaknya advertorial tentang profil daerah sekaligus profil bupatinya. Mungkin Tempo bisa berkilah bahwa sangat penting untuk mengangkat inspirasi yang positif bagi daerah untuk diinjeksikan di level nasional. Itu bahasa kerennya. Tapi dalam realitas, yang terjadi adalah upaya untuk memuji-muji pemerintah daerah demi mengalirkan dana APBD.

Mungkin ini adalah perkara yang wajar. Sebab media-media juga butuh ruang untuk hidup. Di tengah persaingan yang kian gencar, media mesti kreatif menyiasati keadaan agar tidak gulung tikar. Kesimpulan sementara saya adalah media-media memasuki fase baru dalam relasinya dengan pengiklan. Dulu, mereka mengincar perusahaan kakap. Sekarang mereka mengincar pemda yang notabene punya keuangan cukup kakap, layaknya perusahaan besar. Yang saya khawatirkan adalah kelak media-media akan tumpul daya kritisnya saat hendak mengkritisi mitra iklannya. Saya juga khawatir media kita seperti media era Orde Baru yang penuh berita keberhasilan pemerintah.(*)

Pernahkah Anda Mengalami Diskriminasi?



APAKAH Anda pernah mengalami diskriminasi? Saya telah mengalaminya secara langsung. Hanya karena nama yang bernuansa Arab, saya telah mengalami diskriminasi yang sungguh tak nyaman. Saya tiba-tiba saja dilihat sebagai sosok yang kelak akan membawa bencana, mempersulit ruang gerak orang-orang, hingga akan mendatangkan masalah. Atas alas an itu, saya tiba-tiba dicurigai, dan diamat-amati.

Mengapa ada diskriminasi? Awalnya adalah konsep ‘aku’ yang lebih superior atas orang lain. Ada diri yang merasa lebih entah itu lebih gagah, lebih layak, lebih hebat, atau lebih beradab. Selanjutnya ada konsep orang lain yang dilihat membawa masalah, membawa petaka bagi diri yang dianggap serba berkelebihan tersebut. Dalam proses interaksi sosial, diri yang lain itu dikhawatirkan akan mencemari diri yang sempurna itu. Maka si lebih yang punya kuasa itu lalu menetapkan aturan. Hukum dibuat untuk melindungi si lebih dan nenjauhkan si kurang. Mereka yang kurang itu harus dipelakukan khusus. Mereka harus didiskriminasi agar tidak menyebarkan sesuatu yang akan menganggu kemapanan. Diri yang serba kurang itu harus diperangi. Ia tidak boleh menginfeksi tananan peradaban yang dikontrol si lebih.

Maka tidak heran jika peradaban kita adalah peradaban yang dipenuhi peperangan. Masing-masing hendak menegaskan diri dan ego yang dijaga dengan segala daya upaya. Darah bersimbah demi penegasan diri yang superior itu. Darah pula bersimbah untuk menyatakan bahwa diri yang inferior tidaklah inferior. Semua menyebut Tuhan. Semua membawa-bawa nama kebenaran. Atas nama nilai kebenaran itu, konflik terus memecah hingga membawa bencana bagi semua pihak.

Kita sedang membangun satu peradaban yang maskulin, tanpa cinta kisah. Siapapun yang mengalami diskriminasi akan sadar betapa tak nyamannya diskriminasi itu. Susahnya adalah si pemberi diskriminasi justru merasa sedang menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi. Ia mengklaim tindakannya sah demi nilai-nilai tersebut, meskipun tindakan itu membawa diskriminasi atas orang lain. Mungkin yang paling kejam di sini adalah sudut pandang yang merasa diri selalu benar. Ada baiknya jika mendengar suara-suara yang didiskriminasi tersebut. Kebenaran mesti didialogkan biar tidak menindas.

Saya telah mengalami diskriminasi. Sungguh tak nyaman mengalami diskriminasi, tapi saya tidak punya kekuatan untuk mempengaruhi apa yang menjadi persepsi dan keyakinan orang lain atas diri saya. Yang bisa saya lakukan adalah menerima semua kenyataan dan merumuskan alternative lain atas segala kondisi. Mungkin sudah saatnya saya mencari kanalisasi dari ketidaknyamanan ini dan menemukan energy positif atas segala pengalaman ini. Saya kira inilah yang terbaik dan bisa saya lakukan; merenungi kejamnya diskriminasi dan berjanji untuk tidak melakukannya pada orang lain.(*)


MAHAVIDYA NEELA SARASVATY


Anakku sayang….
KU namakan engkau MAHAVIDYA NEELA SARASVATY . Ada sejumlah harapan agar kelak nama ini bisa membawa keberkahan atasmu. Dalam bahasa Sansekerta, Mahavidya bermakna the great wisdom atau kebijaksanaan agung. Neela adalah biru. Sejak dahulu ibumu adalah pencinta warna biru dan terobsesi dengan karakter putrid biru dalam fiksi penden yang dituliskannya. Sedangkan Sarasvaty adalah dewi ilmu pengetahuan yang memberikan inspirasi. 

Nama Sarasvaty sudah lama kupersiapkan untukmu.Pertama kutemukan karakter ini saat membaca buku tentang seroang anak yang tinggal di tepi hutan dan setiap hari berdoa agar Sarasvaty datang dan mengatasi kegelapan pengetahuan. Kisahnya inspiratif sebab imu pengetahuan dilihat serupa cahaya yang mengatasi kegelapan situasi. Kisahnya tertancap dalam benak hingga akhirnya kusiapkan nama itu untukmu.

Mahavidya Neela Sarasvaty bisa dimaknai secara sederhana sebagai “Si biru yang kelak punya pengetahuan dan kebijaksanaan serupa dewi-dewi.” Nama ini adalah doa yang semoga menjadi pelita dan menerangi jalan panjang ziarahmu di dunia fana ini. Nama ini adalah harapan dari kami orangtuamu agar kelak engkau memilki pengetahuan yang serupa obor untuk menerangi gelapnya sekitar manusia. Pengetahuanmu akan mejadi mercusuar yang kelak membawa dirimu agar tidak tersesat, menjadi api kecil di kejauhan yang kemudian memandu langkah dan memandu langkah orang banyak. Pengetahuanmu serupa bintang terang yang memandu gerak para pelaut agar tidak terombang-ambing di lautan lepas.

Anakku sayang….
Sebuah nama adalah sebuah harapan. Tahukah kamu seperti apa sebuah harapan itu? Kukisahkan engkau satu patah kisah dalam mitologi Yunani. Suatu hari, untuk menghukum umat manusia karena telah mencuri api dari Gunung Olimpus, Dewa Zeus menyuruh salah satu anaknya, Hephaestus dewa pandai besi, untuk membuat seorang manusia. Maka terciptalah manusia perempuan pertama di dunia. Setelah diciptakan, Athena mengajarinya menenun dan menjahit serta memberinya pakaian, Aphrodite memberinya kecantikan dan hasrat, para Kharis memakaikan padanya perhiasan, para Hoirai memberinya mahkota, Apollo mengajarinya bernyanyi dan bermain musik, Poseidon memberinya kalung mutiara, Hera memberinya rasa penasaran yang besar, Hermes memberinya kepandaian berbicara serta menamainya Pandora, bermakna "mendapat banyak hadiah".

Zeus lalu memberikan Pandora pada Epimetheus untuk dinikahi. Prometheus, saudara Epimetheus, berusaha memperingatkannya untuk tidak menerima Pandora tetapi Pandora begitu mempesona sampai-sampai Epimetheus mau menikahinya. Pada hari pernikahan mereka, para dewa memberi hadiah berupa sebuh kotak yang indah dan Pandora dilarang untuk membuka kotak tersebut.

Suatu hari, Pandora sangat penasaran dan kemudian membuka kotak tersebut. Setelah dibuka, tiba-tiba aroma yang menakutkan terasa di udara. Dari dalam kotak itu terdengar suara kerumunan sesuatu yang dengan cepat terbang ke luar. Pandora sadar bahwa dia telah melepaskan sesuatu yang mengerikan dan dengan segera menutupnya tapi terlambat. Pandora telah melepaskan teror ke dunia yang kelak akan menyiksa manusia karena akan mengalaminya. Masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, cemburu, kelaparan, dan berbagai malapetaka lainnya telah bebas. Semua keburukan itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. 

Anakku sayang…
Kisah ini belum berakhir. Pandora sangat terkejut dan menyesal atas apa yang telah dilakukannya. Dia kemudian melihat ke dalam kotak dan menyadari bahwa ternyata masih ada satu hal lagi yang tersisa di sana. Ia takut membukanya. Tapi ada suara-suara yang menyuruhnya untuk membuka kotak itu. Setelah dibuka, terbitlah kupu-kupu harapan. Manusia bisa mengalami sakit, kegilaan, penyakit, dan kemalangan, namun harapanlah yang kelak menjadi embun dan membasuh semua kemalangan tersebut. Setiap orang bisa saja bersedih dan merana, tapi harapan adalah cahaya kecil yang memandunya untuk keluar dari smeua kemalangan itu. Harapan menyediakan satu dunia yang indah, menjadi tempat melabuhkan seluruh penyakit, serta menguatkan kaki-kaki agar terus tegar menjalani hari.

Anakku sayang…
Kelak dirimu akan menjadi harapan tersebut. Dirimu adalah kupu-kupu yang hinggap ke manapun jiwa-jiwa yang resah dan membutuhkannya. Dirimu adalah kupu-kupu yang membersitkan bahagia, membiaskan keceriaan, dan mendatangkan tawa atas sedih yang sedang bertahta. Kehadiranmu bukan hanya kupu-kupu harapan bagiku dan ibumu, namun juga untuk sesuatu yang lebih besar. Jika harapan itu seluas samudera, kamu mengharapkan engkau agar menjadi milik umat manusia. Kami mengharapkan engkau bisa seperti dewi-dewi yang memiliki kebijaksanaan dan berbuat sesuatu bagi manusia. 


Demikianlah harapan yang kuletakkan atasmu. Mungkin harapan ini terlampau besar untuk kelak kamu pikul. Tapi bukankah harapan itu adalah doa yang kelak akan kita gapai dengan cara apapun? Tak masalah apakah dirimu menggapainya atau tidak. Cukuplah dirimu punya niat tulis ke arah itu, maka itu sudah menjadi kemajuan besar buatku sebagai ayahmu. Aku tak bermaksud untuk membentuk dirimu serupa tanah lempung. Dirimu tetap punya pilihan-pilihan bebas. Diriku dan ibumu adalah serupa busur yang akan melepaskan dirimu sebagai anak panah untuk menjangkau garis takdirmu sendiri.

Diriku dan ibumu adalah busur, dan kamu anak panah. Aku akan merentang dan melepas lesatanmu. Dan kamu akan menjangkau takdirmu. Bukankah kombinasi kita amat indah?


Selamat Datang di Dunia Fana Anakku Sayang!






MESTINYA hari ini aku mengucapkan selamat ulang tahun kepada Dwi, istri tercinta. Ini sudah menjadi rutinitasku sejak lebih lima tahun lalu, sejak pertama mengenal dirinya. Tapi hari ini dan hingga tahun-tahun mendatang, aku tak hanya mengucapkan selamat buat satu orang terkasih, melainkan dua orang sekaligus. Hari ini, buah cintaku bersama Dwiagustriani lahir dengan selamat melalui persalinan normal.

Setiap kali merenunginya, aku merasakan sebuah keajaiban. Betapa tidak, antara ibu dan anak memiliki tanggal lahir yang sama. Anakku adalah seorang perempuan yang memiliki tanggal lahir dan zodiak yang sama dengan ibunya. Meski aku tak begitu percaya pada astrologi, namun andaikan itu benar, betapa anak dan ibu akan memiliki sifat yang identik. Mungkin suatu saat mereka akan berebut baju yang sama, ingin makan di tempat yang sama, atau kompak untuk menjahili diriku dengan cara yang sama. Duh, betapa senangnya membayangkan saat-saat indah itu.

Hari ini, 2 Agustus 2011. Perasaanku campur aduk. Sehari sebelumnya, saat bangun pagi, tiba-tiba ada sebercak darah di celana Dwi. Awalnya, semuanya berjalan biasa-biasa. Kami masih sempat jalan-jalan ke satu mal. Tapi di sore hari, usai berkonsultasi dengan dokter ahli kandungan, Dwi langsung diminta dokter untuk segera masuk rumah sakit malamnya. Ia mesti siap-siap untuk sebuah proses persalinan. Ia mesti bertarung nyawa demi melahirkan buah hati yang telah sembilan bulan mendekam di balik perutnya yang buncit.

Aku mulai bersiap-siap. Istriku telah menyiapkan semua pakaian dan keperluan di rumah sakit ke dalam satu koper besar. Kebetulan pula, kakaknya –yang berprofesi sebagai dokter—datang berkunjung ke Makassar. Mereka kuminta ke rumah sakit dengan taksi. Aku sendiri pergi dengan motor karena aku yakin bahwa akan banyak hal yang mesti disiapkan sehingga keberadaan motor sangat penting untuk bergerak. Malam itu, Dwi masuk ruang persalinan.

Semalam berlalu. Tidurku hanya sekitar setengah jam di kursi tunggu pasien. Belum juga ada kemajuan. Di pagi hari, aku mendapat telepon dari lembaga pemberi beasiswa. Ia memintaku mengisi formulir pengurusan Visa ke Amerika Serikat (AS) serta mengirimkan foto standar untuk Visa. Aku mulai panik sebab semua dokumen yang dibutuhkan ada di rumah kami di Sudiang. Kembali aku memacu motor untuk ke Sudiang dan mengisi semua dokumen. Jarak lebih 20 kilometer kutempuh demi menyelesaikan urusan. Setelah itu kembali ke rumah sakit. Saat menemani istri, modem internet kuaktifkan demi mengirimkan semua data tersebut. Tak lebih sejam, datang telepon yang menyatakan bahwa foto untuk standar Visa memiliki ukuran tersendiri yang berlaku khusus untuk Amerika Serikat. Artinya, aku harus foto ulang.

Di siang terik itu, dalam keadaan berpuasa, aku kembali memacu motor dan menyusuri beberapa studio foto besar di Makassar. Tak ada satupun yang tahu standar foto untuk visa Amerika. Akhirnya balik lagi ke rumah sakit. Tiba-tiba saja ada seorang teman yang memberi alamat studio foto yang bisa memotret dengan ukuran demikian. Kembali aku bergerak ke situ.Saat hendak dipotret, aku menyentuh dagu dan kurasai ada jenggot yang cukup tebal. Terpaksa aku pontang-panting mencari pencukur jenggot, biar tidak dikira penganut paham tertentu. Tiba-tiba SMS Dwi datang. Ia mulai kesakitan.

Aku segera menyelesaikan urusan foto, lalu kembali ke rumah sakit. Anda bisa membayangkan betapa lelahnya diriku yang harus berpindah-pindah. Jam tiga sore, aku mulai duduk di samping ranjang di mana Dwi terbaring. Mulai saat itu, ia menolak jika diriku meninggalkannya. Aku harus duduk di tepi ranjang untuk menemaninya. Ia mulai kesakitan. Pukul 05.30 sore, sakitnya mulai bertambah. Beberapa kali ia merintih, namunlebih sering ditahannya. Diriku yang ada di situ menjadi sasaran pelampiasan sakitnya. Di saat sakitnya memuncak, ia mulai mencakar lenganku. Kubiarkan semuanya dengan harapan agar dirinya merasa plong. Pukul 07.30 malam, dokter mulai datang. Persalinan dimulai.

Aku di luar ruangan dan naik ke lantai tiga demi mengurus kamar VIP. Setelah kembali ke lantai dua, teman-teman Dwi sudah berdatangan. Mereka member selamat kepadaku yang akan memiliki seorang bayi. Kami melongok ke ruang bayi, dan ada satu bayi mungil yang dibawa dari ruang persalinan. Bayi itu dipasangi popok dan selimut yang sama persis dengan selimut yang kusiapkan untuk bayik kelak. Langsung aku masuk ruangan dan menanyakan apakah itu bayi yang dilahirkan Dwi. Susternya mengiyakan. Aku lalu mendekat dan hendak menggedongnya.

Rumah Sakit Pertiwi, tempat anakku lahir

Seperti mengenali, bayi itu menatapku lurus. Tak bisa kukisahkan betapa terharunya diriku. Aku sedang menyaksikan keajaiban penciptaan manusia. Tuhan bekerja dengan cara yang amat misterius. Lima tahun silam, cinta itu tumbuh. Kini, cinta itu telah bertunas. Lima tahun silam, hanya ada rasa yang tumbuh di hatiku dan hatinya. Kini, rasa itu telah berkecambah, beranakpinak, dan sebuah tunas baru telah muncul di sela-sela rindangnya pohon cinta. 

Hari ini, 2 Agustus 2011, dirimu hadir di muka bumi. Engkau memulai titik nol dalam hitungan harimu. Sementara hari ini ibumu genap berusia 25 tahun. Tak ada kenduri besar untuk menyambut hadirmu. Tak ada genderang dan pekik terompet. Tak ada pesta tujuh hari tujuh malam. Yang ada hanya seembun bahagia di hati kami yang menyaksikanmu. Yang ada hanya senyum bahagia, wajah-wajah yang penuh keceriaan, serta rasa riang yang lepas ke udara. Semua gembira. Dirikupun gembira dalam diam. Diriku tak banyak berkata-kata. Tapi hati ini telah melepas ribuan kupu-kupu pengharapan sebagai tanda terimakasih atas kehadiranmu. 


Selamat datang ke dunia fana Anakku sayang!