PAGI ini, sahabatku Mitha mengirim SMS yang bernada panik. Hingga kini, ia belum menuntaskan tesisnya, sementara batas waktu deadline bagi angkatanku adalah semester ini. Bulan Mei ini, semua teman-teman wajib ujian, jika tidak ingin kena penalti drop out.
Mitha baru menuntaskan Bab I. Biasanya, tesis terdiri atas lima bab dan nampak tebal sekali, khususnya jika tesis itu menggarap hal-hal menyangkut deskripsi etnografis. Artinya, kerjaannya masih sangat panjang. Idealnya, ia sekarang sudah menuntaskan penulisan tesis, kemudian membaca ulang, dan mengoreksi bagian-bagian tertentu. Dia sudah harus siap menyongsong kapan ujian segera digelar dan menyiapkan dirinya sebaik-baiknya. Sayangnya, ia masih harus bekerja keras.
Saat membaca keluhannya melalui SMS, aku hanya bisa memberikan motivasi. Betapa tidak, masalahnya sama dengan semua teman-temanku yang saat ini berjibaku dengan penulisan tesis. Hingga saat ini, dari begitu banyak rekan-rekan seangkatan di Program Pascasarjana Antrop angkatan 2006 di Universitas Indonesia (UI), yang berhasil menuntaskan kuliah baru tiga orang yaitu Mbak Fikri, Mas Jaya, dan aku sendiri. Padahal, ini sudah tahun ketiga dari sejak kami masuk kuliah yaitu tahun 2006.
Mengapa harus demikian lambat? Mungkin ada beberapa sebab yang bisa diurai disini. Pertama, teman-temanku terjebak dengan rutinitas pekerjaan dan ikhtiar mencari sesuap nasi. Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing sehingga melupakan soalan yang sangat penting yaitu menyelesaikan studi. Aku mendengar keluhan ini dari beberapa orang. Yang membuat keningku berkerut adalah mengapa kemalasan itu harus mendera sekarang dan tidak muncul saat masih aktif kuliah? Bukankah saat-saat aktif kuliah adalah saat paling sibuk sebab harus hadir di kelas, kemudian menyelesaikan semua tugas-tugas di rumah, atau sibuk belajar menjelang ujian. Lantas, kenapa harus malas di masa kini? Jawabannya simple saja. Sebab saat kuliah, banyak teman yang bisa diajak tukar pikiran untuk menjawab soal-soal sulit, sementara saat sekarang, semuanya berpulang pada diri masing-masing. Tiba-tiba saja kita harus menjadi diri kita sendiri untuk meniti tangga-tangga menuju ujian.
Hal kedua yang menyebabkan keengganan adalah tiadanya bimbingan dari kampus tentang bagaimana menyelesaikan tesis atau riset yang baik. Sudah bukan rahasia lagi jika dosen-dosen UI sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka tidak bisa membaca dengan baik semua tesis sebab sibuk dengan berbagai hal, entah itu proyek, birokrasi kampus, atau macam-macam. Jadinya, mahasiswa harus mereka-reka sendiri atau belajar mandiri demi menemukan bagaimana alur metodologis tesis yang hendak disusun. Ia harus rajin bertanya pada banyak orang tentang bagaimana merencanakan sebuah riset hingga turun ke lapangan. Dosen tak banyak membantu. Bisanya hanya memaki-maki ketika tesis itu dianggap keluar dari pola penulisan yang disukainya.
Memang sih, tugas mahasiswa adalah belajar keras. Itu tak masalah bagi mereka yang sudah mendalami dunia Antropologi sejak lama. Namun, harus dicatat bahwa nyaris semua mahasiswa pascasarjana Antrop justru tidak punya latar belakang Antrop. Rata-rata baru mulai belajar dan melangkah tertatih-tatih di dunia antropologi yang sedemikian luas. Mereka baru belajar bagaimana berdiri tegak dan tidak jatuh, tiba-tiba saja kampus sudah membebani dengan tugas riset yang tidak mudah untuk dikerjakan.
Pengalamanku selama bimbingan adalah dosen tidak banyak memberikan masukan sebab intensitas pertemuan sangat jarang, kemudian waktu ketemu juga sangat singkat. Untungnya, aku punya sedikit rasa nekad dan ngotot ketika bimbingan. Jika tidak, mungkin aku akan bernasib sama dengan rekan-rekanku dan masih berjibaku dengan rutinitas perkuliahan. Sudah tidak dibantu dengan masukan, tiba-tiba saja aku dibikin grogi hingga dibantai saat ujian. Dosen mengata-ngatai sok pintar, tanpa memberikan inspirasi bagaimana mengerjakan sesuatu dengan benar. Itu tidak adil bagiku.
Ketiga, ada yang salah dengan sistem perkuliahan di Program Antrop UI. Mahasiswa tidak disiapkan dengan baik untuk memasuki ajang penulisan tesis. Beberapa dosen menggeneralisir mahasiswanya seolah semua sudah mumpuni di dunia riset. Makanya, mereka tidak terlalu menginspirasi. Kampus seolah membiarkan mahasiswanya seperti anak ayam kehilangan induk yang harus mencari tahu sendiri dan belajar memecahkan masalahnya.
Mungkin ini terjadi di semua jurusan di UI. Masalahnya, jurusan sosiologi UI justru lebih pandai membimbing mahasiswanya. Seorang mahasiswa Pasca Sosiologi UI justru disiapkan lebih baik, menjalani asistensi, hingga melalui ujian dalam asuhan seorang dosen pembimbing. Bahkan, sang dosen bersikap proaktif ketika memberikan informasi tentang peluang kerja atau beasiswa. Dosennya tidak pasif saja, namun membukakan jaringan dan peluang kepada mahasiswanya., bahkan saat mahasiswa itu sudah lulus kuliah. Sebenarnya, itu yang yang aku inginkan di Program Antrop UI. Makanya, ketika membaca pesan SMS dari Mitha, aku hanya bisa melapaskan napas panjang. Mungkin Mitha harus sedikit “berkelahi” untuk melalui semua proses ini.(*)