TAHUN baru kembali hadir. Penanggalan disobek. Kalender diganti dengan yang baru. Jutaan orang sibuk menggelar berbagai pesta di pinggir jalan sambil berteriak histeris ketika kembang api meletup di udara dan menerangi langit Makassar. Begitu banyak keramaian yang digelar di sudut kota. Semua berteriak dan semangat baru tiba-tiba saja dilambungkan ke udara. Tepat pergantian tahun, saya sedang ngebut saat dibonceng Adi temanku. Setelah aku mengantar Dwi balik ke pondokannya, Adi menjemputku dan mengajak ke Elsim untuk membahas proyek penulisan skenario salah satu kandidat bupati di Enrekang, Sulsel. Sejujurnya, saya agak enggan, namun Adi memaksakan untuk ketemu. Yah, terpaksa kami naik motor ambil menembus banyak pesta kembang api di jalan-jalan kota.
Hampir setiap tahun saya dikepung rasa heran menyaksikan fenomena ini. Awalnya, saya adalah sekrup kecil dari arus besar yang merayakan hebohnya tahun baru. Namun, sekian lama, saya jadi terasing di tengah aliran massa itu. Memang, dalam kondisi penuh keramaian, saya suka terasing. I feel lonely....Saya suka bertanya-tanya pada diri saya, apakah maknanya semua acara ini? Apakah manusia memang selalu saja mencari momen tertentu untuk melepaskan ekspresi. Apakah manusia harus selalu menandai hari untuk sekedar menggelar sebuah pesta besar yang kemudian mementaskan berbagai ritual dan sejumlah persembahan?
Barangkali pada mulanya adalah hasrat yang menggelegak. Selanjutnya, lahirlah ritual yang dilabeli dengan berbagai bahasa indah-indah, apakah itu refleksi ataukah perenungan. Tapi intinya adalah ada sebuah histeria akan pesta-pesta atau ritual yang kemudian diekpresikan dalam berbagai saat. Tahun baru adalah satu momen perayaan itu.
Mungkin Victor Turner benar. Bahwa berbagai ritual yang dilakukan manusia hanyalah upaya untuk menemukan hakekat dan eksistensi diriya di tengah konstelasi kosmos (semesta). Manusia kemudian melakukan proses mimesis (peniruan) pada semua gejala semesta dan lewat proses ritual, mereka menemkan hakekat diri, posisi berpijak, serta tangung jawab manusia atas semesta. Ada proses pemaknaan (understanding) terhadap kosmos serta menentukan apa dan bagaimana manusia harus bersikap dan bertanggung jawab dalam sebuah dinamika besar semesta di mana manusia hanya menjadi satu titik kecil di situ.
Persoalannya, bagaimana dengan ritual manusia modern? Apakah bisa dilihat dengan cara demikian? Menurutku bisa saja. Tak ada perbedaan tegas antara ritual tahun baru manusia modern dengan ritual kecil tolak bala di suku Eskimo ataupun Pegunungan Andes. Yang membedakan mereka hanyalah konsep yang ada di kepala kita tentang modern dan kampungan, tentang kemajun dan keterbelakangan. Namun jika diamati dengan seksama, itu hanyalah sebuah ritual saja. Tak ada beda substansial.
Malah, ritual manusia modern adalah ritual tanpa makna. Sebuah ritual keramaian yang hanya sekedar melepaskan energi histeria dalam diri. Ritual yang titik akhirnya adalah pelepasan rasa stres menghadapi seluruh rutinitas kehidupan. Kanal pelepas yang sesungguhnya tidak mengalirkan apa-apa. Yup… mungkin tidak melepaskan apa-apa sebab keesokan harinya, hari-hari akan kembali berjalan normal seperti biasa, tanpa ada gerak. Toh, hidup hanya persoalan bergertak mengulang segala sesuatu dari awal, kemudian mengulang lagi. Dan tahun depan, perayaan seperti masih akan digelar.