Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Ekspedisi Buton Utara (1)

INI hari ke-4 saya berada di Kota Bau-Bau, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Dari Kota Makassar, kita perlu menumpang kapal Pelni selama semalam atau 13 jam untuk mencapai kota dengan penduduk sekitar 150 ribu orang ini.

Hari ini, saya didera rasa kecewa karena batal melaksanakan rencanaku. Mestinya tadi pagi, saya berangkat menemani ibuku untuk mengunjungi keluarganya selama seminggu di Buton Utara. Saya sangat senang karena punya kesempatan mengamati langsung bagaimana realitas desa-desa nelayan. Bagiku, ini semacam ekspedisi.

Sejak awal, saya sudah bersiap-siap karena perjalanannya cukup jauh serta melelahkan karena melewati medan yang cukup berat. Jalan menuju ke sana rusak parah sehingga jarak tempuh menjadi enam jam. Itupun tidak sampai Buton Utara sebab harus turun di desa nelayan bernama Kambowa. Ada sungai besar yang harus dilalui dan tidak tersedia jembatan. Untuk mencapai Desa Kulisusu (kampung ibuku), kita harus menyewa koli-koli (sejenis perahu kecil dan digerakkan hanya dengan dayung). Sekian lama Indonesia merdeka, warga Buton Utara masih saja melalui jalan rusak parah yang dibangun sejak zaman Belanda menginjakkan kaki di situ. Di kampung ibuku, listrik hanya menyala di siang hari. Tak ada sinyal handphone. Tak ada juga pesawat telepon di kampong itu. Lantas, ke mana dana pembangunan?

Berhadapan dengan semua risiko itu tidak membuatku keder. Saya tetap semangat. Perasaanku seperti Malinowski yang hendak mengunjungi Pulau Trobriand dan menjerat pengalamannya dalam bentuk etnografi. Saya dikepung oleh rasa semangat yang menyala-nyala. Untuk itu, saya menyiapkan sejumlah perlengkapan seperti laptop, kamera digital, perekam digital, sampai buku catatan perjalanan. Saya berencana untuk mencatat semua yang saya saksikan di sepanjang perjalanan saat menyusuri desa-desa di pesisir Buton Utara. Saya juga membayangkan diriku seperti Indiana Jones yang sedang memulai petualangan baru.

Sayangnya, saat tiba di terminal bus luar kota, kami terkejut karena mobil yang mestinya ditumpangi penuh sesak. berbagai manusia bercampur baur di situ di tengah tumpukan barang mulai dari ayam sampai jergen minyak tanah. Ibuku malas naik. Dia pengen di dekat pak sopir. Dia gampang mabuk saat perjalanan karena bau solar serta asap knalpot kenderaan. Jika duduk di dekat pak sopir, bakal disapa angin sepoi-sepoi, sehingga resiko mabuk bakal berkurang.

Kata orang di terminal, untuk mendapat tempat istimewa di samping pak sopir, mesti memesan sehari sebelumnya. Terpaksa, kami menunda keberangkatan sampai keesokan harinya. Yah, nantilah saya lanjutkan saat kembali dari sana….


National Treasure 2: The Book of Secret



TERNYATA film National Treasure 2: The Book of Secret sangatlah menghibur. Kemarin, saya menyaksikan film itu bersama Dwi di Mal Panakkukang, Makassar, sembari merayakan pergantian tahun. Meskipun alur film itu masih sama dengan sekuel sebelumnya --yang lebih banyak menekankan pada detail-detail pencarian harta karun-- namun tetap saja menarik karena ada teka-teki dan misteri sejarah di situ. Saya suka jenis film seperti ini, yang merangsang pengetahuan kita pada hal-hal yang berbau sejarah. Bagiku, sejarah adalah mata air yang menjadi asal-muasal semua pengetahuan manusia. Sebuah kristalisasi pengetahuan yang tercatat rapi di setiap lembar buku sejarah.

Betapa celakanya bangsa yang tidak banyak mengambil inspirasi dari sejarah. Bukankah manusia di sepanjang sejarah senantiasa bergulat dengan persoalan yang sama? Perbedaannya hanyalah terletak pada aspek aksiden atau penampakan material saja, sedangkan pada tingkat terdalam, yang ada adalah lapisan yang sama. Makanya, sejarah peradaban bagiku hanyalah satu gerak yang siklis. Satu pengulangan-pengulangan saja atas apa yang terjadi sebelumnya. Jika dulunya manusia berperang dengan menggunakan tombak atau panah, maka sekarang perang dengan menggunakan nuklir. Tetapi intinya sama saja yaitu perang.

Nah, film National Treasure 2 ini menyimpan banyak butiran sejarah yang menarik untuk dikaji. Film dibuka dengan flashback pada tanggal 15 April 1865 ketika Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln tewas tertembak. Dalam adegan film, Presiden AS yang paling masyhur dalam sejarah itu tertembak saat berpidato di panggung sebuah acara teater. Padahal, dalam versi Brytannica Encyclopedia, Lincoln tewas saat duduk menyaksikan acara teater. But, tak penting detail itu. Yang jelas, pada saat kejadian itu, ada juga kejadian lain ketika seorang pria bernama Thomas Gates tewas tertembak karena mengenali adanya pemberontak yang memintanya untuk menterjemahkan sebuah kode. Secara semena-mena, nama Thomas Gates dicatat sejarah sebagai seorang pemberontak. Sesuatu yang kemudian disesali semua keturunannya, mereka yang bermarga Gates (mungkin termasuk Bill Gates yaa). Memang, Amerika di masa itu penuh bersimbah darah oleh perang saudara antara utara dan selatan. Konflik berkecamuk. Lincoln mati sebagai martir dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihayati diperjuangkannya sejak memasuki kancah politik.

Kembali ke film. Ceritanya lalu bergerak ke masa kini. Keturunannya yaitu keluarga Gates berusaha membuktikan fakta bahwa Thomas Gates tidak bersalah. Mereka lalu menyusuri berbagai artefak untuk mengungkap misteri sejarah ini sekaligus menjadi arena perburuan harta karun. Mulai dari Patung Liberty yang ada di Perancis (saya baru tahu, ternyata Liberty ada dua), meja di Istana Buckingham, Inggris, hingga meja kepresidenan AS. Dalam versi yang lebih populer, ada foto yang menggambarkan Presiden Kennedy sedang duduk di hadapan meja itu dan di bawahnya ada pintu kecil yang bisa dibuka. Di situ, terlihat putra Kennedy sedang membuka pintu di bawah meja. Meja itulah yang menyimpan kode rahasia peta kuno.

Kisahnya makin seru ketika terungkap fakta bahwa ada buku harian yang hanya diketahui oleh Presiden AS. Di situ tersimpan petunjuk peta harta karun yang diwariskan oleh beberapa suku bangsa kuno di masa Amerika purba. Uniknya, buku tersebut disimpan rapi di Library of Congress pada koleksi khusus dan password-nya hanya diketahui oleh Presiden AS. Nah, di sinilah letak serunya film ini. Nonton yukk….

Di luar film itu, saya merasa kagum dengan AS yang sangat peduli pada sejarah negerinya. Lupakanlah apa yang dilakukan AS hari ini. Yang jelas, negeri itu sangat pandai merawat tradisi humaniora. Negeri itu masih menyimpan dengan rapi segala properti sejarah hingga catatan harian dari para presiden terdahulu, sebagai catatan bagi generasi selanjutnya. Dengan cara itu, mereka menjaga kontinuitas gerak kebangsaannya. Mereka tidak memperlakukan masa lalu sebagai ruang yang kemudian hilang di patahan sejarah, namun menjadi sumber inspirasi bagi generasi kekinian untuk menyerap pengetahuan. Pada akhirnya, mereka tidak selalu memulai sesuatu dari titik nol sebagaimana yang kita lakukan sebagai bangsa Indonesia. Mereka punya starting point dari sebuah masa yang terentang jauh jejaknya di masa lalu dan mengambil hikmah yang bertaburan di berbagai zaman. Dengan cara ini, karakter sebagai bangsa perlahan ditumbuhkan. Kebanggaan sebagai bangsa kian kukuh.

Usai menyaksikan film ini, saya tiba-tiba dikepung sejumlah tanda tanya menyangkut tema kebudayaan. Defenisi yang melihat kebudayaan sebagai sites of representation mungkin sebaiknya ditafsir ulang sebab senantiasa meniscayakan konflik dan negosiasi. Defenisi ini seakan hanya melihat masa kini dan selalu berkeinginan untuk memotret gerak kekinian yang sejatinya tak pernah berhenti. Saya lebih sepakat kalau kebudayaan adalah kristalisasi dari seluruh nilai dan pengetahuan yang bergerak di sepanjang lintasan sejarah. Satu mata air pengetahuan yang dijadikan cermin untuk membaca gejala kekinian, sebagaimana kata filsuf Goethe, manusia yang tidak belajar dari kebudayaan selama 3.000 tahun adalah manusia yang hidup tidak dengan akalnya. Iya yah…(*)

Tahun Baru, Ritual Lama


TAHUN baru kembali hadir. Penanggalan disobek. Kalender diganti dengan yang baru. Jutaan orang sibuk menggelar berbagai pesta di pinggir jalan sambil berteriak histeris ketika kembang api meletup di udara dan menerangi langit Makassar. Begitu banyak keramaian yang digelar di sudut kota. Semua berteriak dan semangat baru tiba-tiba saja dilambungkan ke udara.

Tepat pergantian tahun, saya sedang ngebut saat dibonceng Adi temanku. Setelah aku mengantar Dwi balik ke pondokannya, Adi menjemputku dan mengajak ke Elsim untuk membahas proyek penulisan skenario salah satu kandidat bupati di Enrekang, Sulsel. Sejujurnya, saya agak enggan, namun Adi memaksakan untuk ketemu. Yah, terpaksa kami naik motor ambil menembus banyak pesta kembang api di jalan-jalan kota.

Hampir setiap tahun saya dikepung rasa heran menyaksikan fenomena ini. Awalnya, saya adalah sekrup kecil dari arus besar yang merayakan hebohnya tahun baru. Namun, sekian lama, saya jadi terasing di tengah aliran massa itu. Memang, dalam kondisi penuh keramaian, saya suka terasing. I feel lonely....Saya suka bertanya-tanya pada diri saya, apakah maknanya semua acara ini? Apakah manusia memang selalu saja mencari momen tertentu untuk melepaskan ekspresi. Apakah manusia harus selalu menandai hari untuk sekedar menggelar sebuah pesta besar yang kemudian mementaskan berbagai ritual dan sejumlah persembahan?

Barangkali pada mulanya adalah hasrat yang menggelegak. Selanjutnya, lahirlah ritual yang dilabeli dengan berbagai bahasa indah-indah, apakah itu refleksi ataukah perenungan. Tapi intinya adalah ada sebuah histeria akan pesta-pesta atau ritual yang kemudian diekpresikan dalam berbagai saat. Tahun baru adalah satu momen perayaan itu.

Mungkin Victor Turner benar. Bahwa berbagai ritual yang dilakukan manusia hanyalah upaya untuk menemukan hakekat dan eksistensi diriya di tengah konstelasi kosmos (semesta). Manusia kemudian melakukan proses mimesis (peniruan) pada semua gejala semesta dan lewat proses ritual, mereka menemkan hakekat diri, posisi berpijak, serta tangung jawab manusia atas semesta. Ada proses pemaknaan (understanding) terhadap kosmos serta menentukan apa dan bagaimana manusia harus bersikap dan bertanggung jawab dalam sebuah dinamika besar semesta di mana manusia hanya menjadi satu titik kecil di situ.

Persoalannya, bagaimana dengan ritual manusia modern? Apakah bisa dilihat dengan cara demikian? Menurutku bisa saja. Tak ada perbedaan tegas antara ritual tahun baru manusia modern dengan ritual kecil tolak bala di suku Eskimo ataupun Pegunungan Andes. Yang membedakan mereka hanyalah konsep yang ada di kepala kita tentang modern dan kampungan, tentang kemajun dan keterbelakangan. Namun jika diamati dengan seksama, itu hanyalah sebuah ritual saja. Tak ada beda substansial.

Malah, ritual manusia modern adalah ritual tanpa makna. Sebuah ritual keramaian yang hanya sekedar melepaskan energi histeria dalam diri. Ritual yang titik akhirnya adalah pelepasan rasa stres menghadapi seluruh rutinitas kehidupan. Kanal pelepas yang sesungguhnya tidak mengalirkan apa-apa. Yup… mungkin tidak melepaskan apa-apa sebab keesokan harinya, hari-hari akan kembali berjalan normal seperti biasa, tanpa ada gerak. Toh, hidup hanya persoalan bergertak mengulang segala sesuatu dari awal, kemudian mengulang lagi. Dan tahun depan, perayaan seperti masih akan digelar.