Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

THOMAS LEMBONG dan Nujuman Politik Indonesia


Tepat di tanggal 1 Januari 2024, Thomas Trikasih Lembong membagikan informasi mengenai buku-buku yang paling disukainya sepanjang tahun. Dia menyebut tiga buku, yakni Start with Why dari Simon Sinek, Atomic Habits dari James Lear, dan Factfulness dari Hans Rosling.

Buku-buku tersebut bukanlah buku baru bagi mereka yang suka membaca buku bisnis dan manajemen. Namun buku-buku itu penting bagi mereka yang ingin mendisiplinkan diri, bergerak serta setahap demi setahap mencapai kesuksesan.

Bukankah Thomas Lembong sudah lama menikmati kesuksesan, baik sebagai konsultan bisnis, hingga dua kali menjabat sebagai Menteri di era Jokowi? Apa gerangan yang dicarinya? 

Mari kita membahas pria ini.

*** 

Di podcast Prof Rhenald Kasali dia berbicara banyak. Kalimatnya terbata-bata. Datar dan tanpa intonasi. Diksinya terlihat terbatas. Dia terlihat lebih fasih berbahasa asing, ketimbang bahasa Indonesia. 

Biarpun bukan pendukung Anies, saya senang mengamati berbagai wawancara Thomas Lembong. Saya lihat, dia lebih menarik ketimbang capresnya Anies Baswedan. Thomas selalu genuine, fokus pada substansi dan argumentasi. Terlihat jelas kalau dia rajin membaca dan kaya dengan wacana.

Tom, lelaki asal Manado yang lahir pada 4 Maret 1971, kini wara-wiri di dunia politik. Dulu, dia seorang profesional yang menikmati kerja sebagai konsultan bisnis di luar negeri. Kini, dia menemani Anies ke mana-mana.

Di beberapa wawancara, dia kerap mengeluarkan nujuman politik. Sebagai investor dan trader, dia terbiasa mengambil risiko di pasar saham. Terkait keputusannya untuk bergabung dengan Anies, dia menjelaskannya dari sisi seorang investment maker. 

"Justru karena menurut perhitungan saya kans untuk menang Anies-Muhaimin terbuka lebar bahkan sangat baik. Bahkan saya suka bilang ini investasi yang paling menarik yang pernah saya buat dalam karir saya sebagai investment maker," ujarnya.

Hubungannya dengan Anies terbilang panjang. Bukan hanya sebatas sesama alumni Amerika, namun keduanya adalah profesional yang pernah mendukung Jokowi dan menjadi menteri. 


Ketika Anies menjadi Gubernur DKI, Tom dipercaya menjadi Komisaris Utama di beberapa perusahaan milik pemda. Tak hanya itu, Tom juga menjadi jembatan bagi Anies untuk melobi ke sejumlah lembaga internasional.

Semasa menjadi Gubernur, Anies sempat mengunjungi sejumlah bankir dan lembaga finansial – seperti European Investment Bank (EIB) yang merupakan lembaga pinjaman dari Uni Eropa (UE).

Demikian pula saat Anies berkunjung ke Eropa. Dia bertemu dengan berbagai unsur masyarakat – mulai dari akademisi (University of Oxford dan King’s College, London), pemerintahan (Mendag Internasional Inggris Anne-Marie Trevelyan dan Wali Kota Berlin Franziska Giffey), media (BloombergNEF), dan ekonom (EIB). Semua atas lobi Tom Lembong.

Pria alumnus Harvard ini bukanlah kaleng-kaleng. Ia meraih gelar sarjananya di Universitas Harvard pada 1994 dengan gelar Bachelor of Arts di bidang arsitektur dan tata kelola.

Setelah lulus, ia bekerja di Divisi Ekuitas Morgan Stanley di New York dan Singapura pada 1995. Ia kemudian menjadi bankir investasi di Deutsche Securities Indonesia pada 1999-2000.

Jejak kariernya mentereng. Tom bekerja di Deutsche Bank di Jakarta periode 1998-1999. Tugasnya, mengerjakan rekapitalisasi dan merger Bank Bumi Daya, Bank Eksim, Bank Dagang Negara dan Bank Bapindo menjadi Bank Mandiri.

Ia pun sempat menjadi Senior Vice President dan Kepala Divisi penanggung jawab restrukturisasi dan penyelesaian kewajiban Salim Group kepada negara akibat Bank BCA runtuh pada krisis moneter 1998.

Hingga akhirnya dia dua kali menjadi menteri di kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi. Dia juga menjadi penulis pidato Jokowi. Salah satu pidato terbaik Jokowi disampaikan saat acara WTO di Bali, di mana Jokowi mengutip Game of Thorne. Itu buatan Tom Lembong.

Dia juga cukup tajir. Dalam laporan yang disetornya ke negara, kekayaan terbesarnya bukanlah aset rumah, bangunan, dan emas. Kekayaan terbesarnya adalah surat-surat berharga senilai 94,5 miliar rupiah. Total kekayaannya adalah Rp 101,5 miliar.

Kehadiran Tom Lembong adalah oase baru di dunia perpolitikan Indonesia. Politik kita banyak dipenuhi figur inkompeten yang mencari nafkah di jalur politik. Banyak tim sukses atau lingkar inti calon presiden adalah mereka yang berharap jadi Menteri, komisaris, atau proyek-proyek jika calonnya terpilih. 

Dia sepertinya jauh dari hasrat tersebut. Dia sudah melampaui semua yang diincar oleh para pencari cuan di sekitar calon presiden. Dia sudah selesai dengan dirinya.

Bisa dibilang dia amat cerdas. Dia alumnus Harvard University, yang alumninya di Indonesia tidak banyak, namun di dunia internasional, banyak memegang posisi kunci. Dia punya jejaring internasional yang baik. Dia bisa mengetuk berbagai lembaga dan organisasi internasional. 

Sebagai investor, dia paham dengan semua risiko yang diambilnya. Jika kalah, dia bisa kehilangan segalanya. Apalagi, dunia politik kita tidak seperti dunia bisnis, yang bisa dibaca pola dan arahnya ke mana. Politik kita, sebagaimana ditulis Philip Philpott adalah kuburan bagi banyak analis karena banyak hal yang cepat berubah.

BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2023


Dalam pembicaraan di podcast Prof Rhenald Kasali, dia mengakui kalau urusan rezeki dan dunia, dia sudah lebih dari cukup. Dengan mendukung Anies, dia mengaku sedang berinvestasi untuk Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Dia ingin memberi secuil perubahan demi bangsa dan negara.Dia meneukan alasan kuat untuk bergerak.

Saya ingat buku Start With Why dari Simon Sinek yang dibaca Tom Lembong. Kata Sinek, orang sukses adalah mereka yang menemukan spirit kuat dan motivasi dalam melakukan sesuatu. Mereka menemukan WHY, lalu menerabas semua belukar permasalahan, demi menggapai apa yang diidamkan. Mereka tidak cuma dipandu rasio, tapi juga hasrat kuat untuk bergerak.

Di mata saya, Tom Lembong terlalu lurus untuk masuk dunia politik. Dunia politik kita penuh intrik dan sukar ditebak. Politik kita penuh dengan permainan, yang hasil akhirnya sulit ditafsir. 

Tom memang cerdas dalam mengurai ekonomi, namun argumentasinya yang hebat-hebat bisa sirna serentak saat berhadapan dengan sosiologi masyarakat kita yang lebih menghargai pembagian bansos ketimbang ide-ide.

Di titik ini dia berhadapan dengan real politics, di mana argumentasi harus diturunkan menjadi strategi kemenangan yang bisa menjadi amunisi bagi semua relawan untuk bergerak.

Yang pasti, Tom Lembong selalu meninggalkan jejak basah di politik kita. Dia anak bangsa, profesional dengan jejaring internasional yang kembali untuk bangsanya. Dia ibarat burung yang kembali ke sarang. Kita bangga dengannya.



Kelas Menulis



Semalam, di ajang pelatihan menulis, saya kembali menemukan hal yang sama. Para peserta sudah jago menulis. Semua sudah pernah menghasilkan karya, mulai dari postingan, artikel, buku, bahkan karya ilmiah.

Mengapa mereka perlu belajar menulis? Sebab mereka kehilangan percaya diri. Mereka takut dikomentari. Takut dihina. Takut karyanya dibilang jelek. Setiap komentar negative bisa menurunkan hasrat menulis.

Saya teringat Natalie Goldberg, seorang guru yang mengajarkan teknik menulis bebas yang tinggal di New Mexico, Amerika Serikat (AS).

Natalie tak menawarkan satu rumusan baku tentang kiat menulis, baik menyangkut cara, gaya, teknik, format ataupun style. Bagi Natalie, menulis adalah upaya untuk melepaskan gagasan-gagasan yang bersarang dalam benak kita, upaya untuk mengalirkan diri kita, ide-ide yang berkelebat dalam pikiran, lalu dituangkan melalui medium tulisan.

Semua individu memiliki keunikan. Semua individu pasti memiliki cara pandang atau opini yang berbeda atas sesuatu. Dengan cara menuliskan sesuatu secara bebas, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat serta apa yang dirasakannya. Menulis hanyalah jembatan untuk membantu seseorang untuk mengekspresikan diri.



Nah, kebanyakan kita adalah selalu takut untuk memulai sebuah tulisan. Ada di antara kita  yang takut dikira bodoh, takut dikira tolol, ataupun takut dianggap tidak berpengalaman. Di saat bersamaan, seringkali kita merasa diri kita hebat, pintar, sehingga seakan-akan kita telah memiliki satu standar tersendiri di dunia kepenulisan.

Kata Natalie, semua sikap-sikap itu adalah sebuah penjara bagi siapapun yang hendak menulis. Seseorang yang hendak menulis harus berani menyingkirkan semua perasaan itu. 

Menulis harus dilihat sebagai upaya untuk mengalirkan sesuatu yang sedang dipikirkan. Menulis adalah upaya untuk bercerita atau menyampaikan sesuatu, tanpa harus terpenjara oleh keinginan untuk dipuji, atau ketakutan kalau-kalau orang akan menganggap bodoh.

Makanya, kita tak butuh banyak buku untuk menemukan cara menulis. Sebab yang paling penting adalah keberanian untuk melepaskan apa yang ada di pikiran kita secara bebas, tanpa harus terikat pada banyak konvensi atau aturan kepenulisan. Aturan-aturan dalam kepenulisan dan berbahasa hanya akan menjadi pemjara yang membuat kita tak akan pernah bisa menulis.

Lupakan semua aturan. Labrak semua konvensi tentang cara menulis. Kemudian mulailah menulis secara bebas. Tak usah peduli apa kata orang. Toh, kita menulis untuk diri kita sendiri yang didasari niat tulus untuk berbagi.

Kalaupun ada yang mengatakan tulisan kita jelek, maka yakinlah kalau si penghina itu bukan seorang penulis. Sebab para penulis akan menyadari betul bahwa melahirkan tulisan bukan sesuatu yang mudah. 

Para penulis akan paham betul bahwa menulis membutuhkan nyali dan keberanian. Sehingga apresiasi akan terus diberikan kepada mereka yang memiliki keberanian untuk menuangkan gagasan, seperti apapun gagasan itu, bukan malah menjatuhkannya.

Saya sering mengutip pelukis terkenal Van Gogh. Di masa hidupnya, ia melukis dan menjualnya ke mana-mana. Lukisan-lukisan karyanya tak pernah laku. 

Tapi ia tak pernah berhenti melukis hingga lukisannya disimpan di satu gudang. Beberapa tahun setelah ia meninggal, adiknya coba menjual satu lukisan. Ternyata malah laku jutaan dollar. Mulailah ia dikenal. Mulailah lukisannya diburu, sesuatu yang tak dinikmatinya saat masih hidup.

Boleh jadi, anda adalah Van Gogh. Pada hari ini, tulisan anda dianggap tidak baik. Namun, tak ada satupun yang bisa memastikan masa depan. Boleh jadi, tulisan anda adalah berlian yang tak ternilai harganya. 

Boleh jadi, apa yang anda tuliskan adalah emas yang tengah dinanti banyak orang. Makanya, jangan pernah berhenti menulis. Jangan pernah berhenti untuk membagikan keping demi keping inspirasi untuk dibaca banyak orang. Bukankah setiap tulisan menyimpan keunikan sendiri-sendiri?

Sebagaimana diajarkan dalam filosofi Zen, saat menulis, kosongkan pikiran kita. Lupakan berbagai teori menulis. Langsung gerakkan tangan untuk menulis baris-demi baris. 

Kita akan terkejut saat menyadari bahwa kita telah melahirkan lembar demi lembar. Kita telah mengalahkan satu musuh utama dalam menulis yakni halaman kosong. Kita sukses mengisinya dengan kata demi kata.

Natalie juga mengajarkan agar kita tak perlu meniru-niru gaya orang lain ketika menulis. Dengan meniru orang lain, maka kita terpenjara dengan cara seseorang menulis. Yang jauh lebih penting adalah menjadi diri sendiri dengan cara melepaskan ide itu secara bebas dan lepas, sehingga tulisan kita bisa mengalir.

Saya menikmati buku-buku yang ditulis Natalie. 

Saya akhirnya berkesimpulan bahwa praktik menulis adalah praktik meditasi. Menulis adalah upaya untuk menjadi diri sendiri, upaya menemukan keheningan lalu mengalirkan keheningan itu dalam kata demi kata. Menulis adalah upaya untuk menangkap makna, mengikatnya, lalu mengabadikannya.

Menulis adalah upaya untuk menjelmakan diri kita sebagai sungai jernih yang mengalir lepas, menghindari bebatuan dan karang yang menghadang, hingga akhirnya menemukan danau tenang untuk berdiam. 

Danau tenang itu adalah diri kita sendiri, sisi terdalam diri kita yang seringkali tak kita temukan.

“In writing, when you are truly on, 

there’s no writer, no pen, no thoughts. 

Only writing does writing –everything else is gone.” 


Buku yang Saya Sukai di Tahun 2023

Anna lagi di ruang baca 

TAHUN 2023 adalah tahun penuh tantangan. Ekonomi dunia sedang melambat. Perang berkecamuk di Eropa Timur dan Timur Tengah. Di layar kaca, hampir setiap hari kita melihat ada tragedi kemanusiaan. 

D tahun ini, saya mengalami banyak hal. Mulai dari kehilangan pekerjaan, hingga mendapat pekerjaan baru. Saya juga mengalami krisis finansial gegara transaksi online.

Apapun itu, membaca buku dan menonton film selalu menjadi oase yang efektif untuk keluar dari masalah seberat apapun. Tenggelam dalam lautan buku selalu menjadi tempat sembunyi yang paling bagus. Berenang dalam buku-buku bagus selalu jadi strategi healing paling pas.

Sepanjang tahun 2023, saya membaca banyak buku bagus. Saya membaca beragam tema, mulai sejarah, sosial, hingga buku-buku bertemakan bisnis. Saya menyelami pikiran para ilmuwan dan pengarang, mulai dari Martin Bossenbroek hingga Napoleon Hill. 

Entah kenapa, ada rasa lapar untuk membaca banyak hal baru. Semakin banyak membaca, rasanya semakin banyak ketidaktahuan. Semakin terbentur pada satu kenyataan betapa kita sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Berikut daftar acak yang saya baca di tahun 2023.


Pembalasan Dendam Diponegoro (Martin Bossenbroek)

Buku ini masih hangat. Baru tiba dua hari lalu, Baru membaca satu bab, saya sudah jatuh cinta dengan isinya. Ini bukan sekadar sejarah. Gaya menulisnya lebih mirip novel. Kita hanyut mengikuti perjalanan seorang tokoh, dari zaman ke zaman.


Memang, buku-buku terbaik mengenai Diponegoro ditulis oleh Peter Carey. Namun buku yang ditulis sejarawan Belanda, Martin Bossenbroek ini, punya kekuatan. Martin menarik garis hubung antara Diponegoro dan tokoh-tokoh Indomesia modern, yakni Sukarno. 

Dia melihat sejarah tidak hitam putih. Dia tidak menghakimi masa lalu dengan cara pandang masa kini. Dia melihat sejarah sebagai lanskap di mana manusia mewarnainya dengan tindakan. Makanya, di buku ini, kita melihat pergulatan manusia. Kita membaca Pangeran Diponegoro versus Jenderal De Kock. Kita pun melihat jejaknya pada perseteruan antara Sukarno versus Van Mook.

Diponegoro kalah melawan De Kock. Tapi spiritnya tidak lantas hilang begitu saja. Spiritnya merasuki para founding father Indonesia, Sukarno, yang menang banyak saat berhadapan dengan Van Mook, tokoh penting Belanda.

Satu lagi. Gaya menulisnya mengingatkan saya saat mengikuti kuliah Southasian Studies yang diasuh Prof William Frederick. Belajar sejarah yang efektif adalah dengan cara menyelami samudera pengalaman seorang individu, memahami struktur sosial, lalu membaca arah sejarah masa depan.


Yang Tak Kunjung Padam (Soe Tjen Marching)

Siapkan tisu saat membaca buku ini. Isinya benar-benar membuat sedih. Ini kisah tentang mereka yang terbuang, mereka yang dihilangkan haknya sebagai warga negara, mereka yang tak bisa pulang.

Di akhir masa Bung Karno, ada ratusan, bahkan ribuan anak bangsa yang dikirim ke luar negeri. Pemerintah Indonesia mengirim mereka ke kampus-kampus besar di Eropa Timur. Mereka belajar keahlian yang spesifik, mulai kedokteran hingga nuklir. Juga bom atom.


Mereka yang dikirim ke luar negeri itu, sejatinya mengemban misi besar untuk Indonesia yang kuat dan perkasa. Apa daya, peristiwa 65 mengubah segalanya. Mereka yang dikirim itu langsung dicabut paspornya. Mereka tak bisa kembali pulang, meskipun sekadar menyentuh kaki ibunya.

Mereka tak paham apa itu komunis. Tapi label terlanjur dilekatkan pada mereka. Mereka menjadi korban dari kebijakan negara, yang justru meminggirkan rakyatnya sendiri.

Buku ini membuka lapis-lapis makna tentang mereka yang terbuang di negara lain. Mereka sering disebut eksil, meskipun definisi ini bisa diperdebatkan. Mereka yang terbuang itu adalah anak-anak bangsa terbaik.

Buku ini memotret sisi human interest dari mereka yang terbuang. Ada yang berhasil kembali, setelah sekian puluh tahun, namun Tanah Air tidak seramah yang mereka bayangkan. Banyak yang menerima stigma, dan kemudian memutuskan kembali ke Eropa.


Show Your Work (Austin Kleon)

Tahun ini saya membaca tiga buku dari Austin Kleon. Ketiganya adalah Steal Like An Artistm, Show Your Work, dan Keep Going. Saya menyukai ketiganya, namun jika diminta pilih satu, maka saya memilih Show Your Work.



Isinya gue banget. Austin Kleon ingin pekerja seni tetap pede dengan karyanya. Menurutnya, ceritakan pada orang tentang apa yang sedang Anda kerjakan. Terus berpikir positif dan bagikan proses kreatif Anda. Pada satu titik, orang akan mengenali Anda melalui karya-karya itu, sehingga membuka banyak peta jalan bagi kehidupan Anda.

Kata Austin, yang bukunya selalu menjadi New York Times Bestseller, tak perlu menjadi jenius untuk berkarya. Jadilah seorang amatir yang terus belajar hal baru. Jadilah diri sendiri untuk terus produktif. Abaika suara-suara sumbang. Temukan komunitas yang saling mendukung untuk sama-sama berkembang. 

Pendapat Austin bukanlah hal baru. Saya menemukan motivasi serupa saat membaca buku Writing Down the Bone yang ditulis Nathalie Goldberg, juga buku Big Magic dari Elizabeth Gilbert. Namun, tetap saja ada nutrisi baru yang menaikkan adrenalin saat membaca buku serupa.


Zaman Bergerak (Takashi Shiraishi)

Saat melihat buku Zaman Bergerak, karya sejarawan Jepang Takashi Shiraishi (terjemahan Hilmar Farid), diterbitkan ulang oleh Marjin Kiri, saya sangat gembira. Beberapa tahun lalu, saya membeli edisi bajakan, yang kualitasnya pas-pasan. Saya malah masih punya edisi bajakan. Pernah saya membaca edisi aslinya An Age of Motion yang diterbitkan Cornell.


Ini adalah satu buku sejarah paling menarik yang pernah saya baca. Gaya menulisnya serupa membaca Bumi Manusia karangan Pramoedya. Yang dibahas adalah situasi jelang kebangkitan nasional, saat ide-ide saling bertarung dan menjadi tanding dari kolonialisme.

Generasi kita hari ini hanya mengenal nama-nama seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, juga Sjahrir. Padahal generasi Sukarno ibarat striker yang menjebol gawang, setelah sebelumnya bola digiring oleh para libero dari generasi sebelumnya. 

Di antara mereka adalah Kartini, Tjipto, Tirto, Hadji Misbach, Semaun, Suwardi Suryaningrat, Mas Marco, dan banyak lagi. Tanpa sintesis gagasan mereka, tak akan muncul konsep-konsep kebangsaan yang justru melampaui zamannya.

Mereka tidak bertarung di medan laga. Mereka berdebat di medan gagasan-gagasan. Betapa serunya menyimak artikel Tirtoadhiseorjo di Medan Prijaji, Mas Marco menulis di koran Dunia Bergerak, Tjokroaminoto di Oetoesan Hindia, Semaoen di Sinar Djawa, Misbach menulis di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, hingga Soewardi Soerjaningrat menulis di harian De Express.

Sungguh menyedihkan karena hari ini, mereka semua terabaikan. Beberapa dari mereka diberi stigma sebagai komunis yang tak perlu dikenang sejarah. Mereka dianggap tidak penting dan hanya dianggap sebagai catatan kaki dari sejarah pergerakan kebangsaan kita.

Padahal ada masa di mana tak ada kategori-kategori. Yang ada adalah dialektika gagasan dan adu wacana. Sebab kebangkitan berawal dari kesadaran akan posisi bangsa. Mengutip Takashi Shiraishi, “Dicerahkan kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat melihat dunia dan bergerak.”


Unstoppable (Yuval Noah Harari)

Di tahun 2023, saya membaca buku Unstoppable Us: How Humans Took Over the World yang ditulis tahun 2022. Buku ini ditujukan untuk kanak-kanak, makanya dikemas menarik. Ada ilustrasi komik dan gambar-gambar untuk melengkapi narasi yang dituturkan dengan ringan.


Buku ini menyederhanakan berbagai penjelasan tentang arkeologi, sejarah, dan geografi dalam bahasa yang mudah dipahami siapapun. Ide-ide dalam buku Sapiens, yang ditulis Harari, tidak lagi secara eksklusif untuk orang dewasa, tapi juga dipahami anak-anak.

Saya pikir anak-anak perlu mendapatkan bacaan ilmiah, tapi mudah dipahami. Kita tak bisa lagi menjawab pertanyaan anak-anak hanya dengan menunjuk langit. Sedari dini, anak-anak sudah harus diperkenalkan dengan penalaran serta fakta-fakta ekologis.

Di buku ini, dia membahas hal-hal yang agak berat, misalnya bagaimana cerita-cerita telah menyatukan manusia dan membuat manusia bisa bekerja secara kolektif. Dia juga membahas spesies manusia lain, sebelum akhirnya bumi hanya dikuasai oleh spesies manusia sekarang.

Saya menemukan sosok Harari dalam buku ini serupa kakek yang mendongeng pada cucunya mengenai alam semesta. Dia mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi kemudi untuk berlayar di lautan argumentasi.

Saya kutipkan pertanyaan di bab awal. Dia mengatakan: “Kita manusia tidaklah sekuat singa. Kita tidak bisa berenang selincah dolphin, kita tidak punya sayap seperti elang. Lantas, bagaimana kita bisa menjadi makhluk yang memimpin planet ini? Jawabannya ada pada kisah paling aneh yang akan kamu dengar. Yuk, kita ikuti ceritanya.”


Rasa Tanah Air (Fadly Rahman)

Sejarah tak selalu berisikan kisah-kisah orang besar, para raja, para bangsawan, juga kisah kepahlawanan. Sejarah juga berisi tentang mereka yang jadi warga biasa, tentang hal-hal biasa, tentang kebiasaan-kebiasaan unik, juga kisah-kisah di tepian. Di antaranya adalah kisah kuliner dari masa ke masa.


Saya senang membaca buku sejarah kuliner yang ditulis Fadly Rahman. Saya mengoleksi semua buku-bukunya yang selalu sukses bikin saya lapar akan hal2 baru. Kini, saya membaca buku ketiganya yang berjudul Rasa Tanah Air yang berkisah tentang bagaimana kuliner Indonesia menyebar ke manca-negara.

Buku ini bercerita bagaimana kuliner Indonesia menyebar hingga negeri-negeri yang jauh. Kuliner itu menyebar seiring dengan berdiasporanya bangsa Indonesia ke berbagai titik. Saya ingat liputan di media Singapura mengenai cendol, yang sempat diklaim Malaysia dan Singapura. Rupanya sejarahnya terpaut jauh di Jawa pada masa-masa kerajaan.

Di tangan sejarawan seperti Fadly, kuliner menjadi pintu masuk untuk mengenali sejarah, mehamai budaya manusia Indonesia, serta bagaimana kuliner itu menyebar ke banyak titik, namun tetap memiliki pertautan rasa dengan tanah air. 


Ras, Kelas, Bangsa (Andi Achdian)

Jika buku Zaman Bergerak memotret dinamika pergerakan di Solo, maka buku Ras, Kelas, Bangsa ini memotret kota Surabaya yang kosmopolit di abad ke-20. Kisahnya seru sebab semua ras berkontestasi menuju kemerdekaan di “Surabaya yang panas.”


Saya mengenal baik penulisnya, Andi Achdian, sebab dulu sama-sama belajar di kampus UI. Sejak dulu, dia sudah hebat. Saya tidak terkejut jika dia bisa menulis buku sebagus ini. 

Menurut saya, dia cukup berani mengangkat topik yang tidak mudah. Buku ini memotret bagaimana politik pergerakan antikolonial, baik yang moderat maupun radikal, kooperatif maupun nonkooperatif, mau tak mau harus berhadapan langsung dengan persoalan perbedaan dan ketimpangan rasial di koloni ini. 

Di masa itu, kaum pergerakan punya agenda pergerakan untuk melawan kaum kulit putih. Tapi di saat bersamaan, mereka juga harus memberi ruang bagi berbagai ras yang juga ikut bergolak melawan penjajah. Berbagai kelompok masyarakat dari kalangan bumiputra, Eropa, Indo-Eropa, Tionghoa, dan Arab turut ambil bagian dalam aktivitas politik antikolonial. 


Rework – Remote (Jason Fried & David Heinemeier Hansson)

Sejatinya ini terdiri atas dua buku. Pertama buku Remote, yang isinya pengalaman pengusaha start-up yang mempekerjakan karyawan dari jarak jauh. Kedua, Rework yang membuka pandangan tentang dunia bisnis.

Menurut saya, buku ini serupa “mercon yang diledakkan dalam kepala.” Isinya membuat saya mengubah banyak pandangan tentang dunia bisnis. Yang ditulis di sini adalah pengalaman dua penulisnya dalam mengembangkan bisnis hingga menjadi raksasa.

Buku ini mengajarkan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Saya jadi tahu, apa yang ada di teori-teori tidak selalu benar. Di antaranya adalah jangan terlalu banyak rencana dan rapat-rapat. Langsung kerjakan sesuatu, dan belajar sambil jalan. Ide orisinil hanya bagian kecil, namun terpenting adalah bagaimana mengeksekusinya.


Komik Dunia Sophie (Jostein Gaarder)

Lebih 20 tahun lalu, saya membaca kisah remaja bernama Sophie Amundsend belajar filsafat melalui surat-surat yang diterimanya dari seseorang. Kini, saat membaca lagi kisah Dunia Sophie dalam versi komik grafis, sensasinya masih sama.


Bagi saya Dunia Sophie, yang ditulis Jostein Gaarder, adalah buku yang membuka gerbang pengetahuan. Buku ini meluruskan banyak hal tentang filsafat. Buku ini menjadi awal dari membaca berbagai literatur filsafat yang ternyata ringan dan enak dibaca. 

Kekuatan Dunia Sophie adalah kemampuan untuk membumikan hal rumit menjadi sederhana dan bisa dinikmati semua kalangan. Tak perlu berkerut kening untuk membaca novel ini. Cukup punya hasrat ingin tau dan rasa penasaran ala membaca novel-novel detektif.

Sebab novel ini menjadikan kisah filsafat seerti himpunan teka-teki. Kita bertualang ke masa lalu, berusaha memahami semesta, lalu menceritakan ulang kepada semua orang. Kita bepergian ke rumah gagasan-gagasan, kemudian menyarikan ulang semua pengalaman berharga itu.


Meaningfull Storytelling (Yoris Sebastian & Umayanti Utami)

Ini buku kedua dari Yoris Sebastian yang saya koleksi. Sebelumnya, saya membaca bukunya yang berjudul Generasi Langgas. Buku Meaningful Storytelling ini harusnya dimiliki oleh para kreator konten, humas, juga semua praktisi digital.


Sejak zaman Adam, manusia memiliki kemampuan bercerita. Kata Harari, kemampuan ini memungkinkan manusia untuk bekerja sama dengan manusia lain dalam skala massif. Berbagai cerita telah menghubungkan manusia satu sama lain, membuat mereka bisa bekerja sama, serta melakukan berbagai proyek besar. Manusia membentuk peradaban berkat cerita.

Buku ini mengajak semua orang untuk membagikan cerita-cerita inspiratif, yang bisa dikemas dalam berbagai platform media. Yoris berharap buku ini memantik semangat orang Indonesia untuk berbagi ha baik, bukannya berbagi hoaks.

Dalam buku ini ada kisah dari Samuel Ray yang sedari dulu sering membagikan tips-tips bagi para pencari kerja, mulai dari followers yang sedikit hingga kini followers-nya sudah sangat banyak, semua ini karena sifat konsisten yang dia miliki. 

Buku ini juga menyajikan hal praktis, agar semua orang bisa merancang konten yang bermakna. Pelajaran penting yang saya dapatkan, semua orang bisa merancang meaningful storytelling-nya masing-masing, sehingga dunia akan lebih baik.


Think and Grow Rich (Napoleon Hill)

Dalam buku yang pertama terbit tahun 1937 ini, Napoleon Hill mewawancarai lebih 500 orang kaya, lalu merumuskan prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka anut dan yakini hingga bisa menggapai kekayaan.


Memang tidak semua orang kaya itu baik, tapi tidak semua juga jahat. Mereka tidak berbeda dengan kaum kebanyakan. Mereka tak ada bedanya dengan kaum miskin.

Bedanya, orang-orang kaya selalu memiliki keyakinan kuat untuk menggapai impiannya. Mereka punya hasrat, melihat masa depan yang hendak digapai, lalu merumuskan langkah-langkah utuk menggapainya. 

Mereka pemimpi besar yang punya keyakinan kuat, lalu menjadikan keyakinan itu sebagai alam bawah sadar, yang memberinya kekuatan untuk melihat celah dan peluang. 

Hill menyebutnya keyakinan ini sebagai autosugesti. 

Pada mulanya, seseorang membayangkan dirinya punya kekayaan tertentu. Seseorang itu lalu mencatat dan mengulang-ngulang keinginannya itu sehingga tersimpan di alam bawah sadar lalu menjadi hasrat.

Hasrat itu lalu menjadi dorongan kuat baginya untuk bergerak. Dia menjadi lebih peka dengan berbagai peluang, membangun jaringan dengan mereka yang berhasrat sama, hingga mencapai titik kekayaan.

Bagi Hill, rumus klasik yang menyatakan kekayaan adalah hasil dari kerja keras dan kejujuran adalah rumus yang keliru. Kalau sekadar mendapat uang, maka kejujuran dan kerja keras itu penting.  Tapi untuk menjadi kaya, maka butuh lebih dari itu. 

Kekayaan adalah hasil yang muncul dari keyakinan dan hasrat kuat, rencana-rencana yang dijalankan, serta membangun tim dengan master mind yang sama. Kekayaan adalah buah dari pikiran, tindakan, dan langkah-langkah terorganisir.

Buku yang menarik.

*** 

BUKU di atas hanya sebagian dari banyak koleksi buku yang saya baca di tahun 2023. Saat ini, saya lagi menuntaskan buku Dunia Hantu Digul yang ditulis Takashi Shiraishi. Ada juga buku Merdeka dari Harry Poeze, serta buku Dunia Revolusi. 

Saya juga membaca ulang serial Percy Jackson gara-gara serialnya tayang di Disney Hotstar. Membaca buku serupa menikmati kuliner. Setiap beberapa jam, Anda akan merasa lapar dan harus segera mengatasinya. Makanya, koleksi saya terus bertambah. Rumah saya penuh dengan buku.

Selamat datang tahun 2024. Semoga makin banyak buku bagus.


BACA JUGA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015