Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Keep Moving Forward

Around here, however, we don't
look backwards for very long

We keep moving forward, opening up new door and doing new things, because we're curious..
and curiosity keeps leading us down new paths


(Walt Disney)


Menafsir Politik, Menyingkap Makna

SAIFUL Mujani di mataku adalah pengamat politik yang hebat. Cara berpikirnya jernih dan tidak mau terjebak dengan fenomena politik yang gampang berubah. Fenomena yang gampang berubah itu, hanyalah di permukaan dari realitas yang sebenarnya. Jika potongan fenomena politik itu diibaratkan sekeping puzzle, maka Saiful sanggup menautkan semua puzzle itu menjadi satu bangunan yang jelas dipahami. Ia bisa menyingkap makna dan membuka mata publik apa sesungguhnya yang terjadi.

Saya menarik kesimpulan itu setelah menyaksikan komentarnya dalam Today’s Dialogue di Metro TV malam ini yang menghadirkan pembicara dari PDI (saya lupa namanya), Fahri Hamzah (PKS), serta Priyo Budi Santoso (Golkar). Sejak awal, saya sudah jenuh dan muak ketika masing-masing pembicara itu membahas rencana koalisi. Semua berapi-api membahas fenomena kedatangan Taufik Kiemas ke hajatan Golkar, kemudian Kiemas ke PKS. Semua pembicara itu sama mengatakan bahwa rencana koalisi itu demi membentuk pemerintahan yang stabil, demi menguatkan agenda kepentingan rakyat.

Yang paling bersemangat adalah Fahri Hamzah dari PKS. “Sudah saatnya kita meninggalkan kategorisasi politik yang sudah usang dari antropolog Clifford Geertz yang melihat abangan santri dan priyayi. Kategori aliran ini kemudian diterjemahkan Herbert Feith menjadi Islam, nasionalis, serta moderat. Kategori ini sudah usang dan memecah-belah kekuatan politik kita. Buktinya, PKS yang berhaluan Islam bisa duduk bersama Golkar serta PDIP yang berhaluan nasionalis. Marilah kita melakukan redefinisi dan membumikan kategori politik tersebut. Buktinya, kekuatan politik bisa bersatu,” katanya dengan semangat.

Saya agak tertegun mendengar komentarnya. Saya rasa semakin ia mengkritik Greetz, semakin ia terjebak dalam kategori yang diciptakan Geertz. Bahasanya mengkritik, namun sesungguhnya hanyalah sebuah afirmasi atau pembenaran tentang watak politik kita yang terbelah dalam beberapa kekuatan. Tiba-tiba ia bicara tafsir koalisi.

Apa komentar Saiful? “Saya kira itu cuma permukaan saja. Partai politik kita suka kumpul-kumpul tanpa agenda yang jelas. Mereka suka bikin kerumunan, tanpa tahu hendak di bawa ke mana bangsa ini. Jujur saja, mereka cuma mau dagang sapi saja kok. Saya kira, wacana koalisi itu berawal dari kekhawatiran bahwa mereka akan kalah dalam Pemilu mendatang. Mereka mau menyatukan kekuatan demi menantang SBY dalam pemilihan mendatang,” katanya.

“Tapi Pak Saiful, PKS punya agenda dan warna yang jelas demi meningkatkan kesejahteraan umat,” kata Fahri
“Ah, itu kan cuma menjadi jargon saja di permukaan. Selalu saja ada jarak antara visi ideal dan praksisnya di lapangan. Hari ini menyatakan mendukung wacana ekonomi kerakyatan, tiba-tiba besoknya mendukung kebijakan pemerintah yang menerima kenaikan harga BBM. Itu kan sama saja bohong kepada publik. Trus pernyataan yang mengatakan partai politik duduk bersama, itu makin menunjukkan tidak jelasnya partai. Kalau semua sama, ngapain bikin partai beda. Mendingan dibubarkan saja dan gabung dalam satu bendera. Mestinya visi dipertegas dalam tindakan,” kata Saiful
“Koalisi ini bukan untuk kepentingan pragmatis. Kami mau membangun rencana jangka panjang,” kata Priyo dari Golkar.
“Sebagai rakyat, kita tidak pernah menyaksikan koalisi yang permanen dan bertahan lama. Pemilu lalu, Golkar mendukung Mega sebagai presiden. Tiba-tiba, begitu Mega kalah dan SBY yang menang, Golkar berbalik haluan dan mendukung SBY. Sebagai rakyat, kita terus saja dibohongi partai politik yang sibuk kumpul-kumpul tanpa agenda yang jelas. Saya kira semuanya didorong oleh kepentingan pragmatis dan sesaat untuk Pemilu saja,” kata Saiful.
“Yang paling jelas adalah PDIP. Kami menolak kenaikan BBM dan menolak impor beras,” kata tokoh partai PDIP.
“Saya kira sama saja. Pada zaman Mega jadi presiden, harga BBM juga dinaikkan,”
“Tapi waktu itu kan tidak seberapa,” lanjut tokoh PDIP itu.
“Sama saja kok. Malah, sekarang rakyat dapat kompensasi. Sementara dulu sama sekali tidak ada. Saya kira anda semua cuma bermain pada retorika saja kepada rakyat. Mendingan, koalisi ini buka-bukaan saja. Kalian terus-terang saja apa maunya. Kalau Golkar mau majukan ketuanya sebagai presiden, yah dikomunikasikan saja sama PDIP. Demikian pula PDIP, kalau mau ngincar Pak Kalla jadi wapres, buka-bukaan saja. Nggak usah berlindung di balik retorika kepentingan rakyat. Saya kira itu lebih fair kepada rakyat,” kata Saiful.(*)


Kutitip Cinta di Dongkala (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 6)


DONGKALA, sebuah daerah yang terletak di pesisir pantai, yang bisa disaksikan dari seberang lautan Pasarwajo adalah keindahan yang tak terpermanai. Melihat langsung Dongkala menghadirkan sensasi yang berbeda bagiku. Di situ, saya menyaksikan ratusan perahu yang berjajar rapi. Kemudian banyak kapal bertiang dan layar juga menghiasi bibir pantai Dongkala.

Ada banyak bahasa yang digunakan di Dongkala. Mulai dari bahasa Cia-cia, Kondowa, Dongkala, Binongko, hingga Wolio. Antara bahasa Cia-cia, Dongkala, dan Kondowa merupakan rumpun bahasa yang sama, namun berbeda logat atau dialek. Sementara bahasa Binongko dan Wolio sangat berbeda dengan behasa sebelumnya. Warga setempat, rata-rata bisa menggunakan banyak bahasa itu. Ketika temanku Nas menyapa warga dengan bahasa Wolio, maka warga bisa menjawabnya dengan bahasa Wolio yang fasih. Ternyata warga Dongkala punya kecerdasan linguistik yang tinggi.

Perihal banyaknya perhau di pinggir laut ini, saya sempat menyakannya kepada nelayan Dongkala bernama La Uma Dhadi. Ia mengatakan, saat ini sedang musim timur. Biasanya pada musim ini, ombak demikian tinggi sehingga nelayan tak mau mengambil risiko. Kata La Uma, ada saja nelayan lain yang nekat melaut. “Barusan ada nelayan yang datang dari laut dan bawa banyak ikan tuna,” katanya. Harga ikan tuna di situ cukup tinggi. Sebanyak 1 kilogram, bisa dijual sekitar Rp 19.500. Jika nelayan membawa ikan sebanyak 800 kilogram, maka hitung sendiri berapa pemasukan nelayan tersebut.

Temanku Nas tertarik dengan konstruksi kapal yang unik. Bentuk haluannya agak runcing, namun konstruksinya tetap kokoh. Menurut La Uma itu, ada tiga jenis perahu atau kapal yang ada di situ. Pertama perahu berukuran kecil, sejenis kano yang didayung dua orang dan disebut koli-koli. Kedua, perahu berukuran sedang dan biasanya dipakai menangkap ikan dan disebut bodi. Ketiga, adalah perahu yang berukuran besar, sejenis kapal layar bertiang satu dan disebut bangka. Kesemua jenis perahu tersebut dibuat langsung oleh nelayan Dongkala. Mereka tidak punya tradisi membeli kapal dari luar sebab mereka punya teknologi sendiri untuk membuat kapal. Sayangnya, saya tidak sempat menyaksikan langsung proses pembuatan kapal.

Menurut La Uma, pembuatan kapal membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Seorang pembuat kapal harus punya rasa cinta pada laut dan punya visi tentang bagaimana nanti kapal tersebut ketika menghantam ombak. Saya tertarik dengan rasa cinta pada laut. Kata La Uma, cinta pada alut adalah kesadaran mengenali laut dengan segala seluk-beluknya. Dalam bahasa berbeda, saya menterjemahkan itu sebagai cinta yang lahir dari kesadaran bahwa manusia hanya bagian kecil dari semesta.Lautan adalah semesta yang juga harus dikenali dengan baik oleh manusia. Luar biasa, cintalah yang menjadi elemen penting untuk membuat perahu. Cinta menjadi nyawa hubungan manusia dengan alam. Dan perahu yang menjembatani hubungan tersebut, sesuatu yang dibangun dengan cinta.(*)

20 AGustus 2008

Bajo Derese: Dilema Suku Laut (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 5)


JIKA ada yang bertanya suku apakah yang sesungguhnya menaklukan laut, maka barangkali Suku Bajo adalah jawabannya. Kiprah dan jejak suku ini dalam menantang laut tak perlu dipertanyakan lagi. Laut adalah semesta yang setiap hari diakrabi dan diarungi hingga batas terjauh. Suku Bajo adalah pengelana laut yang paling memahami asinnya air laut dan menjadikan laut sebagai kanvas yang mengasah kehidupan mereka.

Seseorang yang lahir di suku ini sudah diperkenalkan dengan laut dalam usia yang baru beberapa hari. Sebagaimana seorang pelukis, lautan tidak sekedar wadah untuk mengasah kreasi. Lautan adalah kanvas yang digoreskan dengan kuas kehidupan. Laut adalah nyawa yang memelihara eksistensi orang Bajo sebagai pengelana dan penakluk lautan.

Saat melintas di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula, saya melihat hamparan perkampungan Suku Bajo yang elok dipandang mata. Warga Bajo di situ menyebut kampungnya sebagai Bajo Berese, untuk membedakan perkampungan itu dengan suku Bajo lain yang banyak tersebar di Buton. Jika dilihat dari ketinggian, maka perkampungan tersebut sangat indah dan kelihatan bersahaja. Suku Bajo menata kampungnya di atas lautan di mana letak semua rumah-rumah itu berdekatan. Mereka seakan mengelilingi jalanan yang dibuat dengan titian dan menghubungkan banyak rumah. Sebegitu indahnya pemandangan yang saya saksikan, sampai-sampai kamera yang kugunakan untuk memotret seakan tak mampu menggantikan mataku yang menangkap keindahan itu.

Bahasa yang sehari-hari dgunakan di sini adalah bahasa Baong Sama. Namun rata-rata wagra Bajo bisa berbahasa Cia-cia, serta Wanci. Makanya, interaksi warga Bajo Berese dengan warga lainnya bisa berjalan lancar. Ada tiga desa yang berdekatan yaitu Desa Tolando yang berbahasa Cia-cia, Desa Dongkala atau Kondowa yang sebagian berbahasa Wanci. Sementara bahasa Wolio hanya dikuasai oleh para tokoh adat, yang dulunya selalu berhubungan dengan Keraton Buton.

Saya pernah membaca sejumlah literatur tentang suku Bajo. Di antaranya dari antropolog asal UGM, Heddy Shri Ahimsa Putra. Sayangnya, analisisnya terlampau memihak ke Sulsel. Katanya, suku Bajo punya relasi erat dengan Kerajaan Wajo di Sulsel. Bukannya saya skeptis dengan analisis ini, namun analisis itu hanya merangkum tafsir dari orang Sulsel saja –yang sejak dulu hegemonik dan merasa dirinya sebagai mata air kebudayaan di Indonesia timur.

Namun, kalau ditanyakan pada orang Bajo sendiri, maka boleh jadi kita akan menemukan variasi jawaban yang berbeda. Dalam bab 2, buku Wild Profusion: Conservation and Biodiversity in Togean Island, yang ditulis ilmuwan Inggris, Celia Loew, dituliskan syair Bajo yang menyebutkan bahwa “ilmu tertinggi orang Bajo bisa ditemukan di Kaledupa.” Penelitian Celia di perkampungan Bajo yang ada di Pulau Togean, SUlawesi tengah, menemukan variasi yang berbeda dengan analisis Ahimsa di atas. Ternyata, ilmu tertinggi –dan boleh jadi nenek moyang Bajo—terletak di Kaledupa. Dan hingga kini belum banyak yang meneliti di Kaledupa. Tampaknya, Celia tidak paham kalau Kaledupa adalah salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Wakatobi. Di pulau itu, terdapat banyak perkampungan suku Bajo

Kembali ke soal Bajo Berese. Saya menyaksikan ada jalan yang dibuat dari beton dan menghubungkan daratan Pasarwajo dengan perkampungan Bajo. Jalanan itu dibuat pemerintah yang juga bisa berfungsi sebagai pelabuhan bagi orang Bajo. Menurut orang Bajo yang saya tanyai, pembangunan jalan itu dulunya mengandung kontroversi. Ada sejumlah kalangan di Bajo yang tidak setuju karena jika ada jalan tembus dari darat, maka boleh jadi orang Bajo akan meninggalkan tradisi rumah panggung yang menancap di laut. Mereka bisa berpaling ke rumah batu, sehingga dikhawatirkan akan merusak khasanah kebersahajaan orang Bajo. Namun, banyak juga generasi yang lebih muda di Bajo yang setuju dengan rencana itu. Mereka bilang, meskipun rumah batu, namun rumah itu tetap berdiri kokoh di tengah lautan. Ciri khas Bajo tetap lestari yaitu sebagai bangsa yang berdiri kokoh di atas lautan.

Perdebatan itu adalah dilema yang menunjukkan posisi orang Bajo yang digempur modernisasi. Ketika melihat suku Bajo Berese, temanku Nas dalam posisi membela kelompok tradisional di Bajo. Sementara saya lain lagi. Menurut saya, kebudayaan Bajo jangan diromantisasi. Mereka harus bersentuhan dengan kemajuan dan perubahan, tanpa harus meninggalkan kebudayaan mereka. Dalam bahasa filosofis, Bajo boleh berubah, namun dia tetaplah Bajo. Saya kira demikian.(*)


20 AGustus 2008

Melihat Kapal Dungku Changia (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 4)


DUNGKU Changia adalah laksamana Mongol yang hendak menaklukan Raja Kertanegara di Singasari. Bersama dua laksaman lainnya, pria yang bernama asli Kau Ching ini datang ke Nusantara mengemban tugas dari Kaisar Kubilai Khan, sang Kaisar Langit untuk menghukum keangkuhan Raja Kertanegara yang sempat melukai utusan Mongol beberapa tahun sebelumnya.

Dengan bala tentara ribuan orang, Kau Ching siap menghunus pedang demi menunjukkan pada Singasari bahwa Mongol adalah kekaisaran yang sungguh perkasa dan sudah digariskan dari Thian yang agung. Sayangnya, saat tiba di perairan Nusantara, ternyata Kertanegara sudah tewas. Singasari tinggal puing setelah dikudeta Raja Jayakatwang dari Kediri. Kemudian pasukan Mongol itu diperdaya Raden Wijaya untuk menghancurkan pasukan Jayakatwang, setelah itu pasukan Mongol itu diumpas secara licik oleh Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Majapahit. Pasukan Mongol kocar-kacir menyelamatkan diri.

Itu adalah versi sejarah resmi nasional kita. Namun adakah kelanjutan kisah tersebut? Sejarah kita tak punya catatan. Namun orang Buton punya cerita bagaimana kelanjutannya. Laksamana Kau Ching itu melarikan diri dan perahunya terdampar di sebelah selatan Pulau Buton. Kisah terdamparnya perahu tersebut, menjadi cerita yang tersebar di seantero kampung. Kau Ching lalu diangkat sebagai raja dan mengganti namanya menjadi Dungku Changia. Ia menikah dengan warga setempat. Makanya, banyak warga setempat yang berkulit putih sehingga kampung itu disebut Wabula atau putih. Ketika mendengar seorang putri Cina bernama Wa Kha Kha menjadi Raja Buton, Dungku Changia lalu ke Keraton Wolio dan menjadikan dirinya sebagai abdi setia.

Perahu yang pernah digunakannya tersebut, hingga kini masih disimpan oleh warga. Perahu yang dinamakan La Kambai Bunga dipajang di Desa Wasuemba, yang berdampingan dengan Wabula. Menurut cerita warga setempat, saat ditemukan, perahu itu tinggal kerangka. Baru-baru ini, beberapa warga berinisiatif untuk memugar perahu itu, kemudian dicat sehingga nampak baru. Kini, perahu itu terlihat cantik seperti perahu baru.

Menyaksikan perahu itu, batin saya sempat memprotes. Mestinya, kerangka yang berusia ratusan tahun itu dibiarkan tetap utuh agar menjadi saksi perjalanan perahu membelah lautan demi mengantarkan Dungku Changia. Menyaksikan kerangka perahu yang nyaris hancur itu, tentunya mendatangkan getar tersendiri sebab kita menyadari di balik kayu yang keropos itu, sesungguhnya ada cerita besar pergulatan melawan nasib. Kita bisa memahami keteguhan Kau Ching yang diombang-ambingkan gelombang demi menemukan negeri yang bisa menerimanya kelak. Kayu yang keropos dan lapuk adalah simbol perjuangan melawan ketuaan yang hendak menelan bulat-bulat.

Tindakan warga yang membangun ulang dan mencat sepeti perahu baru adalah tindakan yang keliru. Justru ketika perahu itu tampak baru, maka dia akan kehilangan getar itu. Saya hanya bisa menyaksikan saja. Meski nampak baru, warga tetap memperlakukan perahu itu sebagai perahu keramat. Banyak mitos yang diceritakan tentang perahu. Misalnya, meski bocor namun saat berada di atas air, maka akan mengapung. Banyaknya mitos itu, membuat warga selalu menggelar ritual setiap tahunnya. Mereka menyembelih kambing, sambil menggelar ritual adat yang dipimpin oleh seorang Parabela. Dalam kebudayaan Buton, parabela adalah jabatan yang dberikan Kesultanan Buton kepada pemimpin kampung yang juga menjadi pemimpin dalam semua upacara adat. Hingga kini, masih ada parabela di Wabula. Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk ketemu Parabela itu. Saya harus segera pulang. Dan setelah memotret beberapa sisi perahu, saya langsung tancap gas pulang ke Bau-Bau.(*)


20 AGustus 2008

Tambang Aspal yang Memfosil (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 3)


DI Indonesia, Buton terkenal sebagai pulau penghasil aspal. Di tanah ini, aspal tak perlu ditambang sebab muncul begitu saja dari dalam bumi untuk digunakan bagi warga demi kesejahteraan. Aspal adalah simbol kejayaan pulau ini sejak masa Belanda hingga Indonesia merdeka. Begitu banyak orang Buton yang menikmati kejayaan tambang aspal itu.

Namun itu dulu. Kini, cerita kejayaan tambang aspal itu menjadi nyanyi sunyi yang didongengkan pada anak kecil. Kini, tambang aspal itu menjadi fosil dan hanya meninggalkan jejak-jejak yang membisu. Hanya meninggalkan cerita dan tempat-tempat yang menjadi saksi kejayaan tambang itu. Hari ini, saya melihat mesin-mesin pengangkut aspal yang sudah berkarat karena tak pernah lagi digunakan. Pelabuhan yang tak terurus serta timbunan aspal yang tak tahu hendak dibawa ke mana.

“Dulunya, pelabuhan ini penuh dengan kapal tongkang dari berbagai negara. Kami capek setiap saat menerima order memasukkan aspal ke kapal tersebut, “kata seorang buruh PT Sarana Karya, perusahaan yang mengelola tambang tersebut. Buruh tersebut hanya punya lapis-lapis kenangan yang dikisahkan kepada mereka yang singgah. Ia juga bercerita kalau setiap tahun baru, maka perusahaan akan mengundang artis ibukota untuk tampil menghibur warga Pasarwajo. Suasananya demikian meriah sebab tambang juga banyak mengucurkan dana bagi warga sekitar sebagai bentuk kepedulian pada warga.

Apakah semuanya masih punya jejak? Buruh yang menemaniku lalu menunjukkan fasilitas perusahaan tambang tersebut ketika masih berjaya. Mulai dari lapangan tenis yang mewah untuk ukuran tahun 1970-an, gedung aula yang megah, serta bangunan perumahan karyawan yang banyak dan berjajar rapi. Kini, semua bangunan itu masih berdiri tegak, meskipun dengan cat yang terkelupas di sana-sini, dengan kondisi yang sungguh memprihatinkan, seperti melihat raut wajah seorang tua yang sedang menunggu ajal. Beberapa bangunan yang ada di situ, perlahan ditempati pihak Pemda Buton yang baru beberapa tahun dimekarkan, mulai dari rumah sakit hingga perumahan warga. Bahkan bangunan induk PT Sarana Karya juga ditempati aparat pemda untuk berkantor. Situasi tambang itu sungguh memprihatinkan dan seakan tak bisa berbuat apa-apa.

Jika tambang timah di Bangka bangkrut karena kandungan timahnya habis, tidak demikian dengan tambang aspal yang ada di Pasarwajo. Aspal di situ tetap melimpah, namun kalah bersaing dengan penjualan aspal minyak yang kemudian merajai pasar aspal. Di saat pemerintah tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan tambang, maka nasib ribuan karyawan di situ menjadi pertaruhan. Mereka akhirnya harus rela mengurut dada karena situasi zaman yang berubah drastis. Apa boleh buat. Mereka hanya bisa pasrah dan hanya menyisakan cerita lirih tentang masa lalu yang jaya.(*)

Pulau Buton, 20 Agustus 2008


Kemiskinan yang Terwariskan (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 2)

HAL miris yang kusaksikan sepanjang perjalanan ke Pasarwajo adalah menyaksikan kemiskinan masyarakat. Saya tidak sedang berbicara tentang kemiskinan versi Bank Dunia yang parameternya banyak didebat di mana-mana. Namun, saya sedang berbicara tentang kemiskinan warga yang terlihat dari bangunan rumah yang reot, kumuh, serta tingkat pendidikan yang tidak memadai.

Betapa kasihannya rakyat kebanyakan sebab hidup dalam kondisi yang serba sulit. Mengamati banyak kampung yang saya lewati, saya menarik kesimpulan bahwa kemiskinan lebih sering ditemukan pada kampung yang tertak di tengah hutan (kita sebut saja kampung hutan), di mana warganya menggantungkan hidup sebagai peladang. Sementara kampung yang ada di pinggir laut (kita sebut saja kampung laut), justru lebih sejahtera. Indikatornya jelas, dengan mengamati bagaimana bentuk rumah, serta suasana kampung di hutan dan kampung nelayan. Perbedaannya sangat jelas bagiku.

Saya sempat singgah dan ngobrol dengan warga di dua kampung tersebut. Warga di kampung hutan mengaku pendapatan sebagai peladang tidak menentu. Kondisi tanah yang tandus, kemudian kurangnya curah hujan, menjadi faktor yang menyebabkan kondisi ladang. Apalagi, tanaman mereka bukanlah tanaman yang menghasilkan laba besar. Mereka hanya menanam jambu mente, jagung, ubi kayu, serta ketela. Pola perladangan mereka hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, seperti jagung dan ibu kayu. Tanaman itu kalau dijual harganya murah. Jika tidak laku, warga menyimpannya di lumbung yang diletakkan di langit-langit rumah. Di sisi lain, pemerintah tidak memperkenalkan mereka dengan tanaman dengan orientasi ekspor seperti coklat atau cengkeh. Atau tanaman seperti jati dan kayu hitam. Padahal, tanah di Buton sangat cocok untuki tanaman tersebut.

Namun, ada yang unik dengan kampung-kampung miskin itu. Saat singgah di satu kampung, saya sempat bertanya pada warga apakah dia mengalami krisis pangan. Warga yang termasuk golongan miskin itu mengaku tidak pernah krisis pangan. Menurutnya, warga miskin di situ tidak banyak tergantung pada beras. “Kami di sini, punya banyak makanan pengganti seperti kasoami, ubi kayu, ubi jalar, kambose, kapusu, serta makanan lainnya.” Kasoami adalah makanan yang sangat populer dan diolah dari hasil kukusan perasan ubi kayu. Makanan ini adalah ciri khas dari orang-orang Buton. Sedang kambose dan kapusu adalah makanan yang diolah dari jagung. Masyarakat setempat telah lama menemukan teknologi atau cara untuk menyimpan jagung hingga bertahan selama puluhan tahun, yaitu disimpan di langit-langit rumah dan setiap saat terkena asap dari dapur.

Beragam makanan pengganti ini adalah khasanah lokal yang membuat warga miskin di Buton memiliki daya tahan hebat ketika digempur krisis pangan dunia. Barangkali wacana kurang pangan sehingga warga kelaparan, makan nasi aking, atau terkena busung lapar, adalah wacana yang hanya dimungkinkan pada satu tempat yang punya ketergantungan pada beras atau nasi. Kemampuan untuk melakukan diferensiasi pangan inilah yang menjelaskan mengapa jarang sekali terdengar kasus gizi buruk di Buton. Masyarakat punya daya tahan dalam beradaptasi dengan situasi ketika beras tidak ada. Itulah kearifan lokal.

Dalam hal pangan, saya rasa tidak masalah. Bagaimana dengan kesejahteraan? Saya kira masyarakat di situ hanya bisa pasrah. Saya teringat Clifford Geertz. Dia pernah melakukan riset di satu desa pertanian di Jawa dan melihat gejala kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun. Akibatnya, muncul pola yang selalu melingkar dan mengalami pengulangan secara terus-menerus. Dalam konteks berbeda, kemiskinan di kampung-kampung itu juga mengalami involusi atau gerak melingkar tersebut. Kasihan mereka!!!(*)


Ekspedisi Pasarwajo-Wabula (1)


HARI ini saya lelah secara fisik dan emosional setelah menjalani ekspedisi melintasi Pasarwajo dan Wabula. Dua daerah ini adalah kecamatan yang terletak di ujung selatan Pulau Buton. Pasarwajo dikenal sebagai daerah penghasil aspal, yang di tahun 1970-an sempat menikmati masa jaya. Akibat kurang promosi dan persaingan yang tinggi dengan jenis aspal minyak, kini tambang aspal alam itu ibarat kereta tua yang kepayahan bergerak melintasi rel yang terus mendaki. Malah, kereta itu mulai tertahan dan perlahan berjalan mundur. Sungguh ironis.

Jalan yang hendak saya lalui ini adalah jalan yang dibangun oleh pemerintah Belanda demi melancarkan pasokan aspal dari Pasarwajo ke Bau-Bau. Belanda bersusah payah membelah bukit, kemudian menyisipkan celah di antara bebatuan cadas demi sebuah jalan yang menghubungkan dua wilayah ini. Berdasarkan data yang sempat kucatat, produksi aspal Buton yang diperluas secara resmi dimulai pada tanggal 21 Oktober 1924. Perusahaan pertambangan asing yang pertama mengelolanya adalah NV Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton. Perusahaan inilah yang kemudian mengajukan proposal ke Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jalan ke Pasarwajo.

Hari ini saya menyiapkan fisik untuk melalui jalan itu. Dengan mengendarai sepeda motor jenis Suzuki Smash, saya melintasi jalanan Bau-Bau ke Pasarwajo yang rusak parah sejauh 48 kilometer, kemudian disambung ke Wabula sejauh 30 km dan selanjutnya pulang kembali ke Bau-Bau. Waktu sehari saya gunakan untuk melintasi wilayah yang medannya sungguh sulit dan berbukit-bukit. Dikarenakan ekspedisi ini cuma sehari, mohon dimengerti kalau tulisanku kurang bisa menangkap detail-detail yang unik dan penting sebagaimana lazimnya tulisan etnografi.

Meninggalkan Kota Bau-Bau, jalanan masih sangat mulus, namun setelah melewati Gonda Baru, yang merupakan perbatasan dengan Kabupaten Buton, jalanan mulai rusak parah. Kerikil serta batu cadas harus dilewati sehingga waktu tempuh menjadi berkurang secara drastis. Selama melintasi jalan tersebut, saya selalu khawatir kalau-kalau ban motorku akan pecah sebab disekelilingku adalah hutan belantara dan tidak terlihat pemukiman penduduk. Jika ban motor itu pecah, maka saya akan kepayahan harus mendorong motor di tengah hutan belukar dan jalanan yang rusak parah.

Daratan Pulau Buton ini yang saya lewati ini, hanya sebagian kecil yang subur dan ditumbuhi hutan lebat. Sebagian besar topografi wilayah yang saya saksikan adalah bebatuan karang yang tandus sehingga rasanya mustahil jika dijadikan areal persawahan. Yang mencengangkan saya, penduduk bisa menyiasati lahan tandus itu dengan menanam ubi kayu. Setahu saya, ada beberapa jenis ubi kayu yang bersifat endemik di Buton yaitu wikau maombo dan ubi kayu La Baali (mohon maaf karena saya tak tahu nama latinnya).

Selain pemandangan berupa batu karang yang cadas serta ubi kayu yang tumbuh di sela karang, pemandangan lain yang saya saksikan adalah sejumlah bukit sabana yang ditumbuhi alang-alang. Alang-alang itu tidak seberapa tinggi, namun rata dan memenuhi bukit, sehingga pemandangannya cukup indah. Jika diperhatikan secara sepintas, persis bukit dalam serial anak Teletubbies. Pantas saja jika warga Buton menyebut bukit-bukit itu sebagai Bukit Teletubbies, bukit yang enak dipandang mata, namun sesungguhnya tandus dan tak ada sumber air.

Sepanjang perjalanan, saya mengeluh melihat jalanan yang rusak parah. Saya tak habis pikir, kenapa pemerintah Kabupaten Buton tidak mendesakkan hal ini dengan gigih. Mereka hanya sibuk berdalih bahwa anggarannya adalah anggaran provinsi. Mereka tak mau mencari sumber-sumber dana yang kreatif demi mengatasi masalah jalan raya ini. Padahal, jalan ini adalah jalan yang sangat vital dan pertamakali dibangun Belanda demi melancarkan proses distribusi aspal dari Pasarwajo ke Bau-Bau.

Saya melalui beberapa desa seperti Kaongke-Ongkea hingga Wakokili. Kemudian masuk wilayah Lapodi, Wasaga, hingga Wakoko. Saya mencatat banyak nama-nama desa yang unik, yang nantinya akan saya kisahkan pada tulisan lain. Desa Wakoko merupakan jantung wilayah Kabupaten Buton sebab di desa inilah dibangun jalan besar yang kemudian terhubung menuju kantor Bupati Buton. Sayangnya, jalan menuju kantor bupati belum semua diaspal. Jalanannya masih gripis, penuh batu kerikil. Setelah singgah sesaat di Wakoko, selanjutnya saya mulai meneruskan perjalanan dan memulai petualangan baru.(*)

Pulau Buton, 20 Agustus 2008


Ingin Nonton Serial Cheng Ho

SAYA ingin sekali nonton serial Laksamana Cheng Ho yang akan ditayangkan di Metro TV besok. Barusan, saya menyaksikan tayangan KickAndy yang menghadirkan pemeran Cheng Ho yaitu Prof Yusril Ihza Mahendra. Saya terpikat dengan penjelasan Yusril tentang kiprah tokoh Muslim yang berlayar dari daratan Cina dan menggoreskan sejarah di Asia. Saya juga terpikat tertarik dengan detail dan riset sejarah yang cukup kuat untuk menampilkan adegan serial ini sesuai dengan sejarah.

Riset dan detail sejarah yang kaya adalah pesona yang memikat dari kisah kolosal. Setidaknya, dengan riset itu, kita tidak sedang menyaksikan cerita yang mengawang-ngawang, namun sedang mendapati sebuah cerita yang benar terjadi dan menyejarah di bagian lain bumi ini. Kita sedang menyaksikan sebuah cerita yang memiliki “daging dan darah” yaitu akurasi, ketepatan, serta detail peristiwa dan tempat yang nantinya akan menarik untuk disaksikan. Kita sedang menyaksikan pergulatan manusia dalam menghadapi stuasi zaman yang sedang berubah.

Bagiku, perjalanan muhibah pria --yang juga kerap disapa Zheng He-- ini ke banyak tempat di Asia adalah kisah yang wajib untuk dipahami oleh semua orang. Terlampau banyak jejak yang ditorehkan Cheng Ho di negeri ini, termasuk lahirnya kota-kota pesisir pantai, penyebaran agama Islam, iklim multikulturalisme yang tumbuh subur, serta dialektika kebudayaan dan perdamaian di kalangan bangsa-bangsa yang bersentuhan dan disinggahi kapal besarnya.

Namun, bukan hanya itu yang membuatku ingin menyaksikan serial ini. Saya tercengang dengan fakta bahwa di masa silam antara Tiongkok dengan negeri lain selalu menjalin kontak dan komunikasi yang sangat erat. Ketika Majapahit mengalami kisruh atau jelang keruntuhyan, Kaisar Ming –yang merupakan salah satu kaisar termasyhur dalam sejarah Cina--ikut masygul atas situasi itu dan memerintahkan Cheng Ho untuk berlayar menjangkau Majapahit. Dalam pelayaran itu, pria Muslim ini kemudian menumpas banyak bajak laut, melakukan transfer teknologi pada kota-kota yang disinggahinya, hingga memberikan sapuan warna peradaban di semua kota pantai yang dilewatinya.

Membaca Cheng Ho adalah membaca kisah kepahlawanan yang tidak ditegakkan dengan darah dan dentum peperangan. Membaca Cheng Ho adalah membaca kisah sejarah Asia Tenggara yang pertama mekar oleh globalisasi dan peresentuhan kebudayaan. Pria yang lahir di Kunyang, terletak di Provinsi Yunan, Cina Selatan, adalah penjelajah dan diplomat paling ulung yang pertama mengunjungi sekitar 35 negara dan mengibarkan panji perdamaian.

Tokoh ini bukan cuma milik Cina, namun juga milik bangsa-bangsa lain di negeri yang dikitari angin utara. Membaca Cheng Ho adalah membaca kisah perdamaian dan diplomasi dari seorang kasim Kekaisaran Cina yang kemudian menjelma menjadi panglima laut yang menguasai sebanyak 300 armada kapal dan menyusuri jazirah Asia. Bagi mereka yang pernah membaca buku Gavin Menzies berjudul 1421, When China Discoveries the World, pasti akan paham betapa dahsyatnya pengalaman bangsa Cina di lautan. Bahkan, di saat Columbus mengklaim telah menemukan benua Amerika di tahun 1492, ternyata bangsa Cina telah lebih dulu singgah di tahun 1421.

Saya ingin nonton Cheng Ho. Bukan karena Yusril, bukan karena syutingnya di banyak negara, namun saya ingin mengetahui kisah keseharian (everyday life) dari tokoh yang mengubah sejarah. Sayangnya, serial ini hanya tayang sekali dalam seminggu. Pasti akan melalahkan dan memicu rasa bosan menanti tayangannya di setiap minggu. Andaikan ada DVD bajakannya pasti akan jauh lebih asyik menyaksikannya. Wah, ini bukan pelanggaran khan?


Baris-Berbaris, Resistensi, dan Wacana Tanding

MATA Tika (8) berkaca-kaca. Gadis kecil yang duduk di kelas 4 SD 2 Ngangana Umala di Kota Bau-Bau, sedari pagi sudah sembab. Tepat ketika matahari berada di ubun-ubun, ia hanya duduk saja di depan rumahnya berdinding bambu sambil menunduk. Ada apakah gerangan? Ternyata, ia sedang bersedih karena tak bisa ikut baris-berbaris sebagaimana anak kecil seusianya.

Minggu lalu saya menyaksikan mata Tika yang sembab. Kebetulan, saya tinggal di sebelah rumahnya, sehingga bisa mengetahui apa kesedihan yang sedang melandanya. Ia harus menahan keinginannya ikut di ajang baris-berbaris karena semua siswa yang ikut diwajibkan untuk membayar biaya pakaian. Ayahnya yang berprofesi sebagai tukang batu, tak kuasa membayar biaya tersebut. Tika hanya bisa sembab.


Kemarin, saya menyaksikan baris-berbaris tersebut. Selama tiga hari di Kota Bau-Bau, mulai tanggal 11-13 Agustus, beberapa ruas jalan di kota kecil ini ditutup karena dilalui para peserta berbaris. Acara baris-berbaris ini diikuti tidak hanya oleh siswa SD, SMP maupun SMA. Namun, acara ini juga diikuti oleh semua organisasi baik karang taruna, dharma wanita, majelis taklim, karyawan instansi, hingga berbagai organisasi profesi. Saya memperkirakan sekitar separuh penduduk Bau-Bau ikut acara ini. Bayangkan saja, dalam sehari jumlah yang berbaris sangat banyak. Sejak acara dimulai pada pukul 08.00 wita, hingga pukul 14.00 wita, acara belum berakhir, saking banyaknya peserta berbaris. Dan pada hari ke-3, jumlah peserta berbaris kian membeludak. Jika dalam satu barisan, jumlah pesertanya hingga sekitar 30 orang, maka bayangkanlah berapa peserta berbaris jika terdapat sekitar 3.000 barisan. Jumlah yang fantastis.

Para peserta berbaris rata-rata mengenakan pakaian yang unik dan mencolok mata. Untuk pakaian tersebut, mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Di sekolah Tika, siswa yang ikut berbaris harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 35.000 (sebuah biaya yang tidak disanggupi Tika). Jumlah itu tidak seberapa jika seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang dibebankan siswa sekolah lain. SD 2 Bau-Bau yang terletak di kawasan perkotaan, mematok biaya sekitar Rp 400.000. Jumlah yang cukup besar hanya untuk acara berbaris yang dijalani cuma sekitar tiga jam lebih.

Pengeluaran untuk Dharma Wanita atau Majelis Taklim bisa jauh lebih besar. Maklumlah, kadang mereka membeli busana muslim yang lengkap mulai dari aksesori jilbab hingga kain panjang yang seragam. Jika harga pakaian itu bisa Rp 500.000, maka mereka akan mengeluarkan uang sampai segitu. Itu belum termasuk biaya sepatu baru, topi atau jilbab, serta kadang-kadang selendang. Intinya adalah baris-berbaris adalah aktivitas yang banyak menghabiskan uang.

Awalnya, saya tak habis pikir, Ngapain harus mengeluarkan duit yang sebegitu besar untuk sesuatu yang “tak jelas”? Hanya demi berjalan kaki berpanas-panas di tengah kota, kemudian menghormat di depan wali kota? Saya sering menanyakan hal itu. Saat menyaksikan acara tersebut, saya sempat mendengar dialog seorang guru –yang mengiringi siswanya yang berbaris—dengan warga. “Ini demi nasionalisme. Cuma setahun sekali acara ini digelar. Makanya kita harus semangat sebagai bentuk kecintaan kepada bangsa ini,” kata guru tersebut dengan yakin.

Saya tak percaya dengan penuturan guru itu. Bagiku, wacana nasionalisme dalam baris-berbaris di kampung seperti Bau-Bau adalah wacana usang. Orang tak pernah tahu apakah makna nasionalisme. Indonesia tidak lebih dari sebuah imajinasi yang diajarkan di sekolah dan disakralkan dalam sebuah upacara bendera. Indonesia tak lebih dari ingatan-ingatan tentang negeri berbendera merah putih dan kita hanyalah sekrup kecil yang menjadi bagian dari mesin besar bernama negara. Kita tak punya nasionalisme sebagaimana rumusan Goenawan Mohamad yaitu “perasaan yang menggumpal dan bergejolak dalam diri ketika melihat bendera merah putih dinaikkan, rasa hati yang haru tak bertepi ketika mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan.”

Lantas, jika nasionalisme adalah sebuah konsep yang abstrak di kepala, apakah makna baris berbaris? Saya lebih melihatnya sebagai sebuah pesta besar di mana semua warga bisa terlibat di dalamnya. Bagi warga Bau-Bau, berbaris adalah kegiatan di mana kita berdandan sebaik mungkin, secantik mungkin, kemudian berjalan secara rapi dan berirama di tengah kota. Jalanan raya yang dilalui oleh pserta berbaris ibarat sebuah catwalk yang sangat panjang, di mana kita berjalan teratur melewatinya dan disaksikan ribuan pasang mata warga yang menyaksikannya. Berbaris adalah sebuah pesta besar di mana semua orang tua ingin menyaksikan anaknya berdandan kemudian disaksikan secara bersama-sama. Ada pujian, ada tepuk tangan, serta jari yang menunjuk bangga seraya berkata,”Itu anakku.”

Yang menarik bagiku adalah pakaian yang dikenakan kelompok pemuda maupun karang taruna. Pakaian mereka sangat unik dan bercirikan generasi muda perkotaan yang gaya dan trendy. Jika banyak barisan yang berpakaian seragam, maka mereka berpakaian kreasi yang unik-unik. Misalnya baju kaos yang dipadu dengan dasi serta kaca mata hitam, atau pakaian remaja putri yang seksi berupa rok mini dipadu stoking yang kemudian menampakkan kakinya yang mulus. Malah, banyak barisan yang rambut semua pesertanya diberi warna-warni yang mencolok. Gaya mereka juga unik. Jika banyak barisan yang berbaris kaku dan menatap lurus ke depan, maka gaya anak muda itu sangatlah dinamis. Mereka tak mau kaku. Jika ada yang menyapa di jalan, mereka balas menyapa. Jika barisan berhenti, mereka tak mau berdiri diam kayak patung, namun berdiri dengan santai, malah sesekali berbincang dengan temannya di sekeliling.

Seminggu sebelum acara berbaris, hampir setiap jengkal di jalan raya, ada saja yang sedang latihan berbaris. Para peserta sibuk latihan kemudian berdiskusi hendak mengenakan kostum seperti apa. Saya jadi ingat Festival Fashion Jember yang diklaim sebagai festival mode yang terbesar di negeri ini. Festival itu hampir mirip dengan festival yang ada di Brasil. Semacam arak-arakan mode di mana semua orang menampilkan desain terbarunya. Di ajang ini, banyak warga yang berdandan dan memamerkan koleksi terbarunya di rute jalan raya yang sangat panjang. Mereka berlenggak-lenggok seperti peragawati yang hadir dengan pakaian yang indah. Mereka bergembira dengan pakaian kreasinya tersebut.

Lantas, apakah baris-berbaris di Bau-Bau sama persis dengan festival di Jember? Menurutku tidak sama persis, namun banyak bagian yang mirip. Baris-berbaris itu menympan dua makna bagi warga. Pertama, sebagai sebuah pesta besar di mana semua orang ingin berpartisipasi dan disaksikan. Kedua adalah sebagai arena menampilkan identitas. Sebagaimana halnya dandanan anak muda yang unik-unik itu, mereka sedang menampilkan identitas diri mereka. Mereka seakan berteriak “inilah aku.” Jika dianalisis lebih jauh, kesertaan warga di ajang berbaris ini, maka mereka sesungguhnya sedang melakukan resistensi (perlawanan) kultural terhadap negara. Mereka sedang membangun wacana tanding tersendiri yang berada di luar mainstream negara. Jika negara punya wacana nasionalisme, maka warga punya wacana lain yaitu tampil di catwalk, serta arena unjuk identitas.(*)

Pulau Buton, 13 Agustus 2008

Beragam Gaya di Ajang Baris-Berbaris

ADA beragam tingkah gaya yang sempat saya rekam dengan kamera pinjaman dari suami adikku. Saya akan menampilkan berbagai gaya tersebut. Sebenarnya, ada banyak moment yang jauh lebih menarik dari yang sempat saya potret ini, namun saya lelah berdiri menyaksikan begitu banyak barisan. Tanpa mau repot, saya hanya memotret beberapa yang sempat saya saksikan. Inilah beberapa yang menarik.


Foto di atas adalah foto seorang gadis yang juga ikut berbaris dengan mengenakan pakaian kreasi yang trendy dan menampilkan kesan sebagai anak muda yang modis. Rambutnya dicat merah, mengenakan stoking hingga menampakkan kakinya yang mulus. Sengaja saya tidak potret teman-temannya, karena menurutku gadis ini yang paling manis.


Kalau foto di atas ini, saya juga suka. Barisan pemuda dengan pakaian yang unik. Bajunya kaos biru serta dasi yang menarik. Ketika sang komandan berteriak, “Maju jalan!!!”, maka semua anggotanya akan menjawab,”Asyikkk!!!!”


Melihat foto ini, saya suka senyum-senyum sendiri. Saya teringat gayaku saat masih kecil dan ikut acara berbaris. Sepanjang perjalanan, saya menatap lurus ke depan, tanpa sedikitpun menoleh meski dipanggil seseorang. Saya seperti militer yang kaku dan taat perintah. Siap!!!!


Foto ini menampilkan siswa SMP yang mengenakan pakaian kreasi. Dandanannya serba kuning, bahkan lipsticknya juga berwarna kuning. Aneh juga ya….


Kalau foto ini, tak ada yang istimewa. Foto dari barisan majelis taklim yang ingin meramaikan acara. Menurutku, secara teknis, foto ini biasa-biasa saja. Tapi tak apa ditampilkan di blog ini.

Simbol Budaya Buton di Kemah Pramuka


HARI ini saya melintas di lapangan yang dulunya merupakan Stadion Betoambari Bau-Bau. Ternyata, di lapangan itu sedang digelar perkemahan besar dan menghadirkan banyak anggota Pramuka se-Kota Bau-Bau. Ratusan anggota Pramuka baik SD, SMP, maupun SMA berkemah selama tiga hari di situ. Mereka tampak riang gembira dan menikmati suasana itu seperti sebuah petualangan baru, bertemu teman baru, hingga bersenang-senang.

Saya pernah merasakan bagaimana perasaan mereka. Masa-masa itu sangatlah menyenangkan sebab hasrat petualangan kita seakan terpenuhi dengan mengikuti ajang tersebut. Jiwa kita yang hendak melanglangbuana tiba-tiba menemukan medan penjelajahan baru. Apa sih yang paling menyangkan bagi seorang remaja kecuali bertemu tantangdan dan keasyikan baru. Saat melintas, saya sempat menghentikan motor dan menyaksikan mereka yang sedang tertawa-tawa gembira. Begitu banyak tenda berdiri dengan beragam aksesoris, mulai dari tempat memasak, bendera, hingga menara. Tiba-tiba, saya menyaksikan tenda yang di depannya ada papan bertuliskan “Gudep Mardhana Ali, SDN Puma”. Depan tenda SD Gonda, saya lihat papan bertuliskan “Gudep Oputa Yi Koo”. Lain lagi di depan tenda dari Madrasah Tsanawiyah, saya menyaksikan papan bertuliskan “Gudep Sayid Abdul Wahid.” Saya banyak menemukan simbol nanas. Malah, saya menyaksikan replika patung naga yang sangat besar terdapat di sudut lapangan, dekat satu tenda.

Bagi mereka yang tak paham sejarah dan kebudayaan lokal, mereka akan melihat simbol itu dengan tatap kebingungan. Namun mereka yang riset emik dan live in (menyatu) dalam masyarakat Buton, pasti memahami bahwa kebudayaan sedang beroperasi dalam pikiran mereka yang remaja itu. Pasti orang akan memahami bahwa ada konsep-konsep kultural yang mengorganisasikan pikiran dan menjadi kompas yang mempengaruhi tindakan di masa kini.

Saya bisa paham kenapa siswa di Puma (singkatan dari Pulau Makassar atau daerah Liwuto, pulau kecil depan Pulau Buton) memasang nama Mardhana Ali. Mereka mengidolakan sosok Mardhan Ali, yang merupakan seorang Sultan Buton yang dijerat perairan dekat kampung mereka. Mardhana Ali dituduh selingkuh dan melabrak norma ksultanan, namun bagi orang Puma itu hanya fitnah atas ketampanan, popularitas dan kesaktian Mardhana Ali, yang disapa La Cila. Lain lagi dengan siwa di Gonda. Nama Oputa Yi Koo masih menjadi pahlawan sebab sultan –yang nama kecilnya adalah La Karambau— memiliki istri yang berasal dari Wakokili, yang terletak tak jauh dari Gonda. Mereka bangga karena Oputa Yi Koo adalah seorang hero yang tumbuh dari kebudayaan mereka yang kemudian menjelma menjadi role model bagi kehidupan mereka di hari ini. Seorang sultan yang hidup tahun 1600, memiliki magis yang melintasi zaman hingga masa ketika sejumlah remaja melakukan perkemahan di lapangan pada tahun 2008.(*)

Pulau Buton, 12 Agustus 2008

Bersantai di Bukit Kolema


ADA tiga tempat wisata yang dibuka di Bau-Bau yaitu Bukit Kolema, Bukit Wantiro, dan Air jatuh. Ketiganya berdekatan dan terletak di jalan menuju Bungi. Bukit Kolema dan Wantiro berupa tempat istirahat atau duduk-duduk yang menghadap ke laut hingga nampak Pulau makassar di depan mata. Berada di dua tempat ini, kita seakan duduk di sebuah singgasana besar yang menghadap laut hingga nampak panorama yang sangat indah. Sebegitu indahnya melihat laut lepas dari singgasana di ketinggian, hingga saya selalu berdecak kagum setiap melihatnya. Foto di atas diambil ketika saya sedang santai di Buklit Kolema.

Kolema bermakna tempat tidur, sebab di bawah tempat tersebut, terdapat gua yang dulunya menjadi tempat istirahat bagi nelayan ketika lelah melaut. Di dalam gua atau di bawah batu besar itu, mereka bisa berbaring di batu yang mirip ranjang dan jika haus, mereka minum dari sumber air tawar yang ada di situ. Kini, terdapat tangga turun untuk melihat tempat tersebut.(*)


Konro La Guntu, Kedermawanan, dan Sepakbola

konro La Guntu
HARI ini saya singgah makan sop konro La Guntu yang terletak di samping Bank BNI di Kota Bau-Bau, Buton. Konro adalah sejenis sop yang bahannya berupa daging hewan yang disajikan bersama tulangnya. Untuk memakannya, kita harus mencabik daging tersebut dari tulangnya. La Guntu adalah nama pemilik warung sop konro dan coto yang terkenal sejak lama bagi penduduk di sepanjang Pulau Buton. Sedangkan konro adalah makanan sejenis sop yang bahannya berupa daging sapi yang disajikan bersama tulangnya.

Setahu saya, makanan ini adalah khas Sulawesi Selatan. Namun, La Guntu berhasil mengolah kembali makanan tersebut dengan sejumlah bumbu yang khas dan akrab di lidah orang Buton. Dengan bumbu dan aroma yang khas dan sangat enak tersebut, konro La Guntu menjadi salah satu makanan yang terlaris di kota Baubau. Hampir semua orang yang pernah berdomisili di Baubau, pasti mengetahui letak warung konro La Guntu. Meskipun tidak semua orang pernah mencobanya, namun semua orang tahu bahwa sop konro La Guntu ini sangatlah terkenal dan menjadi branding atau cap tertentu buat mereka yang ingin menikmati hidangan daging ala sop konro. Sejak kecil, saya sudah sering mendengar kabar enaknya sop La Guntu ini. Meskipun saya juga belum pernah mencobanya, namun popularitas sop konro La Guntu sudah lama saya ketahui. Hari ini adalah kesempatan emas buat saya karena pertama kali mencoba sop yang sangat terkenal tersebut.

Keterkenalan sop ini jelas kian mempertebal pundi-pundi kantong La Guntu. Meskipun warung sejenis juga didirikan di banyak tempat di Baubau, namun tak ada yang menyamai popularitas warung La Guntu. Bayangkan saja, dengan jumlah pengunjung yang tak pernah sepi, omzet warungnya bisa mencapai puluhan juta rupiah dalam sehari. La Guntu langsung menjadi orang kaya raya. Rumahnya berdiri megah. Hartanya melimpah. Ia juga menjadi salah satu dermawan di kota Bau-Bau. Terakhir, ia menyumbang seluruh bata dan tegel demi membangun Masjid Raya Baubau yang tengah direnovasi. Kedermawanannya ini menjadi buah bibir bagi hampir semua orang di kota ini. Ketika orang menyaksikan konstruksi masjid raya yang indah, maka selalu ada bisik-bisik bahwa penyedia batu merah dan tegel untuk pembangunan masjid ini adalah La Guntu, sang pemilik warung sop dan coto.

Sedemikian terkenalnya pria ini, hingga membuat saya sangat penasaran. Bersama teman La Lulu, hari ini saya berkesempatan untuk singgah makan di warung tersebut, sekaligus bertemu langsung dengan the famous La Guntu. Saya selalu bertanya-tanya, apa sih rahasia konro La Guntu. Apakah karena rasanya yang enak dan resep rahasia? Pertanyaan itu bersarang di benakku saat pertama memasuki warung tersebut. Saya melihat warung ini tidaklah istimewa secara fisik. Suasana di dalamnya tidak jauh beda dengan warung-warung konro yang ada di tempat lain. Jumlah mejanya sekitar 20 buah. Di atas meja terdapat ketupat, kecap, garam, serta cabe. Tak ada yang istimewa. Sementara di sudut warung, di dekat pintu keluar, duduklah La Guntu sebagai kasir yang melayani mereka yang hendak membayar harga makanan.

Perawakannya sederhana. Tubuhnya agak tambun. Bajunya bukanlah baju yang mewah, melainkan baju yang sangat sederhana dan berharga murah. Hari ini ia mengenakan pakaian berupa sarung dan baju kemeja lengan pendek dengan kancing yang terbuka. Ia mengenakan topi haji berwarna hitam. Sambil melayani pembeli, ia sibuk berbincang-bincang dengan beberapa orang di situ dalam bahasa Buton yang fasih. Sesekali, satu kakinya ditopangkan ke atas kursi.

Di sela-sela mengamati La Guntu, makanan pesanan datang. Saat saya mencoba, sop konro ini rasanya enak, namun tidak begitu istimewa di lidah. Bagi saya, rasa konro ini tidak jauh berbeda dengan konro Makassar. Lantas, kalau rasa konro ini tak banyak berbeda dengan yang ada di tempat lain, lantas apa rahasia konro La Guntu? Saya masih bertanya sambil mencicipi makanan itu. Saat itu, saya kembali memperhatikan La Guntu. Ternyata, kebanyakan pengunjung warung ini cukup akrab dengannya. Atau boleh jadi, La Guntu yang sok akrab dengan pengunjung warung. Hampir semua pengunjung warung yang hendak membayar, sempat bercakap-cakap dengannya.

Dengan gayanya yang cuek, La Guntu menyapa semuanya dan berbincang. Beberapa orang pengunjung, malah sengaja mendekatkan kursi kemudian berbincang dengan bahasa Wolio sembari mengepulkan asap rokok. Mereka bercerita banyak hal, mulai dari bisnis kayu jati hingga pengalaman berlayar atau melaut. Saya serasa menemukan jawaban atas misteri warung La Guntu. Rahasia keterkenalan warung ini terletak pada sikap familiar pemiliknya. Dengan sikap santai dan memakai bahasa Wolio, ia mengakrabkan diri dengan pelanggannya. Ia melayani siapapun yang berbincang sambil merokok dan kadang-kadang tertawa terbahak-bahak. Dengan gaya komunikasi seperti ini, La Guntu berhasil membangun ikatan yang kuat dengan pelanggan warungnya. Ternyata, hobinya yang suka akrab dengan orang ini adalah strategi jitu untuk tetap mempertahankan pelanggan. Orang yang singgah ke warungnya tidak sekedar berniat makan, namun mendapatkan kenyamanan karena pembicaraan yang mengasyikkan dengan isu-isu lokal yang hangat di Buton.

Meskipun kaya, La Guntu tidak bergaya hidup seperti kelas gedongan. Mungkin ia paham bahwa ketika ia bergaya gedongan, maka pelanggannya bisa lari darinya. Ia tetap mempertahankan gaya hidup sederhana sebagai pilihan hidupnya, sekaligus menjadi strategi untuk mempertahankan pelanggannya. Ia juga berusaha mempertahankan dunia sosialnya sebab dunia itulah yang telah melimpahkan kekayaan dan anugerah kepadanya. Berjarak dengan dunia sosial adalah bencana baginya.

Mungkin alasan itu jugalah yang membuatnya suka membahas hajatan sepak bola. Entah benar apa tidak, ada teman yang bilang kalau banyak orang yang datang ke warungnya untuk bertaruh siapa yang akan menang dalam kompetisi sepak bola yang diadakan di Buton. Baru-baru ini, ada kompetisi sepak bola di Buton yang pada babak final mempertemukan tim Anoa Masega melawan tim Gabatom. Menurut seorang teman, La Guntu meramaikan suasana hajatan bola dan rajin membahas di warungnya. Di Baubau, setiap ada hajatan bola, pasti banyak para petaruh alias orang yang memasnag taruhan. Saya tidak tahu apa La Guntu ikut bertaruh apa tidak. Tapi saya yakin ia senang dengan keramaian itu. Ia menjaga hubungannya dengan dunia sosial sekaligus membangun loyalitas orang untuk selalu ke warungnya. Itulah kehebatan La Guntu.(*)

Tafsir Hermenetik Atas Isra dan Mi'raj

(tulisan pendek ini saya buat sekitar dua tahun lalu untuk dimuat di media tempatku bekerja. Saya sudah melupakan tulisan ini. Namun, seseorang telah mengoleksi tulisan ini di internet.dan menuliskan nama saya. Terima kasih kawan…)

RASULULLAH berjalan laksana kilat dari Masjidil Aqsa (Mekah) ke menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Setelah itu, Rasulullah Muhammad melesat menuju langit, menembus segala batas kosmos dan sentrum semesta. Ia merebahkan dirinya dalam bahtera kecintaan di hadapan Sang Pencipta. Penyair asal Pakistan Dr Sir Muh Iqbal berujar lirih. "Andaikan aku yang bertemu Allah, aku tak akan kembali ke muka bumi. Bukankah itulah tujuan hidup manusia selama ini? Bisa bertemu dengan Pencipta."

Kembalinya Rasulullah ke muka bumi usai bertemu Allah menyimpan makna tersendiri. Sebagai seorang messenger atau pembawa pesan, Rasul tidaklah egois. Ia masih meletakkan basis sosial dan aktivisme kemasyarakatan sebagai salah satu elemen dasar ajaran Islam. Rasul meletakkan fundasi akan titik temu dari ketaatan spiritual dalam bentuk membumikannya ke muka bumi.

Mi'raj berasal dari akar kata uruj, berarti naik atau berada di atas dan "melampaui" sesuatu yang ada di bawah. Mungkin, uruj bisa disepadankan dengan aufhebung dalam filsafat Hegel: yaitu kondisi di mana tahap-tahap perkembangan yang lebih rendah dapat dilampaui karena adanya sintesis baru yang lebih baik dan berasal dari keadaan-keadaan sebelumnya. Mi'raj adalah tindakan Nabi di mana ia mampu melampaui situasi-situasi material dalam kehidupan duniawi, lalu "naik" untuk "manunggal" dengan Kenyataan yang Benar (al haqq). Kata pemikir Iran, Ali Syari'ati, tidaklah sempurna keimanan seseorang jika hanya berhenti menjadi basyar atau manusia sebagai jasad dan badan.

Manusia harus bergerak menjadi "insan" atau manusia sebagai "roh" yang sadar dan bergerak ke arah kemungkinan-kemungkinan yang baik. Mi'raj menandai keadaan di mana Nabi menjadi "insan" sepenuh-penuhnya, karena saat itulah dia bertemu dengan sumber kebenaran yang Murni, yakni Allah. Dalam bahasa berbeda, Nurcholish Madjid menyebutkan kalau peristiwa Isra dan Mi'raj tidak sekedar peristiwa yang dialami Nabi secara fisik. Mi'raj adalah semacam "stasis" atau keadaan kejiwaan yang dalam tradisi mistik Islam mempunyai jenjang-jenjang atau maqamat dan ahwal.

Mi'raj adalah suatu keadaan kejiwaan di mana Nabi mengalami semacam "kemanunggalan" dengan Allah, begitu dekat dengan-Nya. Setiap orang Islam bisa dan bahkan dianjurkan mengalami mi'raj. Nabi sendiri pernah bersabda, "Ash shalatu mi'rajul mu'minin", salat adalah mi'raj-nya orang-orang beriman. Jika pengertian mi'raj hendak diduniawikan, atau disekulerkan, maka kata itu berarti bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk "melampaui batas", transendensi. Seorang manusia sebagai basyar, sebagai jasad, adalah hanya seorang agen dengan kemampuan rohaniah yang begitu rendah, sehingga tidak mampu melakukan takhannuts atau penjarakan terhadap situasi-situasi material yang mengungkungnya. Sebaliknya manusia sebagai "insan" adalah seorang agen dengan kemampuan rohaniah yang tinggi sehingga bisa melampaui, atau mi'raj, batas-batas material dalam kehidupan duniawi. Mi'raj adalah keadaan transendensi yang bisa dilalui setiap orang. Sebuah keadaan yang melampaui segala kategori sosial dan konsep sosiologis. Sebuah ikhtiar untuk terus melesat dan bergerak menyempurna. Ikhtiar mendekati Sang Pencipta. (yusran darmawan)


Mamaku yang Selalu Sendirian


SAYA selalu sedih setiap melihat mamaku. Ia kian sepuh dan perlahan memasuki masa usia senja. Usianya kian menua, rambutnya kian memutih, kulitnya kian keriput, langkahnya kian tertatih-tatih dan sesekali ia terjatuh. Setiap kali saya tanya apakah ia baru saja terjatuh, ia selalu berbohong dan meyakinkanku bahwa ia masih kuat. Ia selalu ingin tampil perkasa di hadapanku sebagai anaknya. Padahal, saya tahu bahwa dia sering terjatuh.

Ia juga sering sakit-sakitan, sebuah kenyataan yang paling sering ditutupinya. Di saat anaknya menelepon, ia selalu mengaku sehat. Mungkin, ia paham bahwa anak-anaknya –yang bekerja di kota lain-- hanya bisa khawatir dari jauh, tanpa ikhtiar besar untuk mendatanginya. Ia tak mau banyak orang khawatir dengan dirinya. Meskipun untuk itu, ia harus menahan sakit.

Hari-harinya diisi dengan kegiatan yang kian monoton dan membosankan. Memang, mamaku masih mengajar sebagai guru Sekolah Dasar (SD). Namun, saya tahu bahwa ia mulai kepayahan berjalan sejauh sekitar tiga kilometer untuk menjangkau sekolah tempatnya mengajar. Kegiatan mengajar itulah yang mewarnai hari-harinya. Di saat tidak mengajar, ia lebih banyak di rumah dan tidak melakukan banyak hal selain dari sembahyang, mengaji, berbincang-bincang, atau bermain game soliter di komputer rumahku. Kegiatan itu mulai membosankan baginya.

Di saat saya pulang kampung, mamaku akan sangat senang. Inilah sebab mengapa saya selalu pulang. Kepulanganku adalah bahagia besar baginya sebab saya akan menjadi kakinya untuk menjangkau banyak tempat. Motor kakakku yang disimpan di rumah menjadi kendaraanku untuk mengantarnya ke mana-mana, ke tempat-tempat yang tak lagi bisa dijangkaunya. Awalnya ia menolak untuk jalan-jalan, tetapi belakangan ini ia jadi hobi keliling-keliling. Di saat jam mengajarnya usai, ia akan menelepon dan memintaku untuk mengantarnya ke pasar kemudian berlama-lama belanja dan membiarkanku menunggu. Meski melarangku mengikutinya, saya akan selalu berjalan di sampingnya. Saya takut kalau-kalau ia terjatuh sampai-sampai saya harus selalu memegang tangannya.

Mamaku adalah potret dari perempuan paling perkasa yang pernah saya saksikan di muka bumi ini. Di saat bapakku meninggal, ia mengambil alih tanggung jawab keluarga dan menyekolahkanku bersama tiga saudaraku hingga menjadi sarjana. Ia tak pernah mengeluh tatkala kami sering meminta duit untuk keperluan kuliah. Anehnya, ia tak pernah kehabisan uang untuk kami. Menjelang lulus kuliah, saya baru tahu kalau ternyata hari-harinya begitu berat. Ia menjual es, kedondong, hingga kadang-kadang menjual pisang goreng. Semua itu dilakukannya demi mencukupi kirimannnya kepada kami. Ah, mamaku memang luar biasa.

Sekarang, bebannya telah berkurang. Mestinya ia bisa lebih bahagia. Tetapi, selalu saja ada sedih yang menggelayut di hatinya. Ia selalu sendirian menjalani hari-hari. Ternyata, niat untuk menyekolahkan anaknya jauh-jauh ke Kota Makassar, adalah bumerang baginya. Ketika anaknya sudah lulus, semuanya bekerja di kota lain kemudian menikah sehingga meninggalkannya seorang diri. Mulailah mamaku menjalani hari-hari yang sepi. Meskipun ada dua mahasiswa asal kampung mamaku yang tinggal di rumahku, tetap saja tidak membuat sepinya menjadi buyar. Saat ini, dua mahasiswa itu sedang pulang kampung. Adikku datang dari kota lain untuk menemani mama dan suaminya selama beberapa hari. Andaikan saya tidak pulang kampung, barangkali mamaku akan kembali sepi. Bayangkan, betapa beratnya menjalani hari seorang diri. Tinggal di sebuah rumah besar dan tanpa berbincang dengan seorangpun. Itulah mamaku.

Kadang-kadang saya berpikir, mungkin ini adalah problem dari masyarakat moderen. Masyarakat moderen tumbuh dari mimpi-mimpi kemajuan sehingga menafikan hal-hal kecil semisal kumpul bersama keluarga dan berbahagia. Masyarakat modern tumbuh dalam tradisi individualisme yang ketat, sehingga ketika seseorang menikah, maka ia seolah memasuki dunia individual yang baru, tanpa melibatkan yang lain. Pada masyarakat tradisional, kumpul bersama adalah sebuah kebutuhan sehingga masing-masing bisa berbagi cerita, meskipun dalam kebersahajaan. Saya pernah melihat Rumah Panjang milik orang Dayak yang ditinggali sampai sekian generasi keluarga. Mulai dari nenek buyut hingga cicit, semuanya tinggal dalam satu rumah panjang. Mereka memang tidak punya mimpi besar akan kemajuan, kemasyhuran atau kekayaan. Mereka hidup seperti air yang mengalir di Sungai Barito, seakan tanpa hasrat besar dan pretensi. Namun, berkat hidup tanpa mimpi itu, hari-hari mereka kian bervariasi dan berwarna-warni. Mereka bahagia dalam kebersamaannya. Semua masalah dihadapi secara bersama-sama sekaligus mempertahankan keutuhan kelompok keluarganya. Ternyata, manusia tradisional lebih pandai mengelola hidup dengan pembagian peran yang jelas, mulai dari orang tua hingga anak muda.

Masalah besar bagi masyarakat modern adalah bagaimana memposisikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak adilnya situasi sekarang bagi mamaku. Di saat semua anaknya sudah berhasil dan menjadi orang sukses, satu demi satu akan meninggalkannya, kemudian menikah dan berdomisili di kota lain. Memang, beberapa saudaraku kerap mengirimkan uang untuknya. Namun, saya tahu persis bahwa mamaku tidak terlalu butuh uang. Ia hanya butuh teman berdiskusi untuk banyak hal. Ia hanya butuh kesediaan untuk menemaninya berbagi hal. Ia butuh seseorang yang bisa menemaninya di kala sedang sakit atau sekedar minta tolong mengambilkan air.

Tapi bukankah situasi hari ini adalah akibat dari mimpi yang pernah ia tanamkan? Mungkin juga. Sebab keluargaku telah lama terseret arus manusia modern yang punya mimpi-mimpi kemajuan. Mamaku juga punya keinginan melihat kami bisa sukses di abad modern dan membekali kami dengan piranti pengetahuan agar kami bisa survive. Kami disekolahkan hingga jauh ke kota lain. Siapa sangka, semua anaknya kemudian bekerja di kota lain hingga kehilangan romantisme tinggal bersama ibu dan menjalani hari bersama-sama. Kami anak-anaknya kehilangan romantisme ketika dimarahi dan disayangi seorang ibu, romantisme ketika menjalani hari bersama ibu yang mengayomi. Kamilah generasi moderen dengan nilai tradisional yang semakin tergerus. Mamaku perlahan menua, tanpa dikelilingi semua anaknya. Barangkali, ia tak pernah mengecap apa yang dinamakan sebagai bahagia.

Yup. Saya sering bertanya-tanya, kapan mamaku merasakan bahagia? Saya tak tahu. Masa mudanya adalah masa yang berat karena harus jadi pembantu di rumah seseorang biar bisa tinggal di situ dan bersekolah. Masa bahagia bersama bapakku tak terlalu lama usianya. Ia tak sempat melihat rambut bapakku yang memutih. Di saat bapakku dipanggil Allah, ia harus banting tulang demi membiayai sekolah kami. Lantas, kapankah mamaku bahagia? Apakah di saat semua anaknya sudah berhasil dan punya pekerjaan yang layak?

Ternyata tidak juga. Ia tetap sepi. Ketika semua anaknya lulus kuliah dan bekerja, ia ditinggalkan sendirian di rumah. Pada setiap kepulanganku ke kampung, saya selalu merasa jadi anak durhaka. Satu-satunya yang dimiliki dan dibanggakan mamaku adalah cerita tentang perjuangannya menyekolahkan anak hingga berhasil. Di saat menceritakan itu, ia sangat bahagia. Namun seberapa banyak orang yang peduli dengan kisah itu? Entah. Hal lain yang membuatnya tersenyum adalah ketika anaknya menelpon. Untuk sesaat, ia merasa bahagia hingga menjadi mantra dan motivasi yang menyembuhkan penyakit yang sedang dideranya. Ia memang sering sakit. Bayangkan, betapa berat hari-harinya ketika sedang sakit dan sendirian di rumah. Saat ini, yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bisa menemaninya menjalani hari. Yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bisa diajaknya bercakap sekaligus bertukar-pikiran tentang banyak hal. Ia hanya butuh teman yang menemaninya di rumah itu dan menemaninya membunuh sepi. Dalam beberapa kali pembicaraan, ia suka bernostalgia dan mengisahkan masa ketika bapakku masih hidup atau saat ketika kami masih kecil. Menurut mamaku, itulah saat yang paling bahagia sebab kami semua kumpul dan besar di rumah yang sama. Ketika kami mulai merantau dan sekolah, ternyata itu adalah awal dari kisah kesendiriannya.

Barangkali, ia hanya butuh celoteh anak kecil di usia tuanya.Ya. Mestinya rumah kami ramai dengan celoteh anak kecil. Itulah satu-satunya hal yang dirindukannya. Ia memang punya dua orang cucu yang setiap hari dirinduinya. Semua cerita tentang cucunya dihafalnya di luar kepala sampai-sampai ia selalu mengisahkannya pada siapapun yang mengunjungi rumahku. Foto cucu itu dipampang dalam pose besar di ruang tengah rumahku, dan dipandanginya ketika sedang sedih. Memang, satu-satunya pembicaraan yang bisa membuat matanya berbinar adalah pembicaraan tentang cucu. Sayangnya, cucunya itu tumbuh besar di kota lain. Ia hanya memiliki imaji dan khayalan bahwa ada anak kecil yang datang menyapanya untuk meminta uang, atau minta diantar ke satu tempat. Beberapa kali ia menceritakan seorang temannya yang sangat senang karena setiap hari mengurusi seorang cucu. Mamaku ingin seperti temannya yaitu menjadi nenek yang setiap saat melihat cucu tumbuh besar. Untuk cucu itu, ia siap melakukan apapun.

Saya tahu pasti tentang itu. Pernah, saya menyaksikan lomba sepeda hias bagi anak TK di kampungku. Saat itu, saya melihat banyak nenek yang ikut masuk jalan raya dan memegang sepeda cucunya. Meskipun sudah dilarang, namun para nenek itu tetap bersikukuh untuk menemani cucunya bersepeda. Saat saya menceritakan itu, mamaku langsung bersemangat. Ia langsung mengatakan,”Andaikan saya juga punya cucu di sini, pasti saya akan temani juga. Saya tak mau cucuku kepanasan dan kepayahan bersepeda.” Saya lalu menimpali, bagaimana kalau mama juga tertatih-tatih dan kesulitan berjalan? “Saya pasti kuat, demi cucuku,” katanya dengan sangat yakin. Ada nada kebanggaan ketika menyebut “cucuku”, meskipun sang cucu sangat jauh dari matanya.(*)

Bukuku Selesai Dicetak


HARI ini saya senang karena buku yang kususun sudah selesai dicetak. Mudah-mudahan hari Senin besok, akan segera dikirimkan ke Bau-bau. Saya senang karena satu tahapan dalam kerja keras ini akhirnya bisa tuntas. Saya menampilkan foto dari sampul final buku tersebut. Sebenarnya buku ini masih bisa lebih maksimal jika ada waktu yang cukup untuk menuntaskannya. Namun, saya sudah lelah dan ingin segera terbit.(*)

Tiba di Pulau buton

Hari ini, 30 Juli 2008, saya tiba di Pulau Buton. Saya akan segera memulai riset untuk penyelesaian tesis. Saya bertekad untuk segera menyelesaikan pendidikan. Saya harus lulus pada semester ini. Sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk pendidikan ini. Sudah terlalu banyak duit yang dikeluarkan untuk kuliah di kampus UI. Saya harus menanamkan tekad yang kuat untuk bersikap serius dan tidak bermain-main selama di Buton.

30 Juli 2008

Serial Avatar berakhir, Saya Kehilangan



AKHIRNYA, serial Avatar: The Last Airbender berakhir juga. Saya merasa kehilangan dan masih ingin menyaksikan serial ini. Serial ini adalah serial kartun yang paling saya suka. Kisahnya sarat dengan nilai filosofis, solidaritas, keberanian serta damai yang kesemuanya memancar dalam setiap episode. Saya tidak menyaksikannya secara rutin di Global TV (yang kebanyakan mengulang episode yang sudah tayang), tetapi melalui DVD bajakan yang kubeli di lapak-lapak penjual DVD setiap dua minggunya. Saya mengikuti serial ini sejak pertama kali DVD-nya beredar.

Saya tergila-gila menyaksikan serial ini. Terasa ada kerinduan dahsyat yang termanifes dan bersemayam pada diri seorang anak berkepala botak dengan baju rahib seperti biksu Tibet. Anak usia 12 tahun itu terlahir sebagai Avatar, sosok pembebas yang akan memburai perut penindasan sekaligus menjadi messiah (juru selamat) atas segala rupa kekacauan di bumi.

Sebelumnya, anak kecil bernama Aang terperangkap dalam sebuah bola es yang membeku di kutub selatan hingga 100 tahun. Anak itu seakan kaku dan tidak bergerak, hingga akhirnya ditemukan dua penjelajah suku air (water tribe) yaitu Katara dan Soka. 

Katara, sang perempuan pemberani tersentak ketika bongkahan es yang ditemukannya perlahan mencair sehingga sang anak keluar dari es dalam keadaan bugar. Anak dengan kepala licin dengan baju rahib seperti biksu Tibet, adalah generasi terakhir dari para pengendali udara yang nyaris musnah dibantai oleh bangsa Api. Anak yang kocak dan kadang tampak bodoh itu menyimpan kekuatan tersembunyi yang sanggup menggetarkan semesta. Sebab ia adalah sang terpilih, sang Avatar!

Ini adalah kisah tentang empat unsur semesta yang menjadi dasar dari lahirnya bangsa-bangsa dan suku. Peradaban manusia terbagi-bagi menjadi empat bangsa, Suku Air (Water Tribe), Kerajaan Tanah (Earth Kingdom), Pengembara Udara (Air Nomads), dan Bangsa Api (Fire Nation). 

Dalam setiap bangsa ada orang-orang yang dipanggil "Bender" (pembengkok, atau dalam hal ini pengendali) yang memiliki kemampuan mengendalikan unsur alam sesuai bangsa mereka. Seni mengendalikan unsur alam ini merupakan perpaduan gaya seni beladiri dan sihir unsur alam. Dalam setiap generasi, ada seseorang yang mampu mengendalikan keempat unsur itu. 

Seseorang tersebut dipanggil sebagai Avatar, roh yang menitis dan bereinkarnasi secara terus-menerus dalam bentuk manusia. Ketika seorang Avatar meninggal dunia, dia akan terlahir kembali di bangsa yang gilirannya selalu bergantian sesuai dengan siklus Avatar (Avatar Cycle).

Minggu lalu, saya menyaksikan episode Avatar pada Book 3, episode ke-21. Saya terksima menyaksikan adegan terakhir ketika Aang berkelahi dengan Fire Lord (Raja Api). Betapa serunya pertarungan itu. Meskipun Avatar menguasai empat elemen, namun Raja Api menguasai ilmu api yang sangat dahsyat dan sesekali mengeluarkan petir. Pertarungan yang seru juga antara dua bersaudara anak Raja Api yaitu Pangeran Zuko dan Putri Azula. Penasaran? Saksikan sendiri deh.(*)


Jangan Sakiti Dwi!!!!


Yusran!!! Apapun masalahmu, jangan sekali-kali kau menyakiti hati Dwi. Jangan buat sedih Dwi. Ciptakan situasi supaya dia bahagia dan selalu tersenyum. Bukankah bahagianya adalah bahagiamu juga? Bukankah sedihnya adalah sedihnya juga? Hari ini adalah hari yang penting baginya. Tepat pada 22 tahun yang lalu, ia dilahirkan. Sekian lama menjalani hari, adakah tersisa jejak kebahagiaan yang kau torehkan di hatinya?

2 Agustus 2008
Selamat ultah buat Dwi