Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sepenggal Kisah tentang Sahabat asal Papua



SAHABAT ini bernama Ricardus Keiya. Ia berasal dari Paniai, Papua. Beberapa tahun lalu, dia datang bersama rombongan calon mahasiswa dari Papua untuk belajar di salah satu kampus besar di Bogor. Ada 40 lebih mahasiswa dari Paniai, yang datang dalam tiga angkatan di kampus itu. Dari desa-desa di Papua, mereka datang dengan harapan untuk belajar hal baru, lalu membawanya ke kampung halaman.

Sekian tahun berlalu, satu demi satu mahasiswa Papua itu berguguran. Jauh lebih banyak yang di-DO dengan berbagai alasan. Dari 40 mahasiswa, hanya ada dua yang bertahan dan berhasil diwisuda, yakni sahabat ini dan seorang lagi. Dia mengungkap beberapa alasan. Mulai dari standar dan kualitas SMA yang tidak setara antara timur dan barat, ketidaksiapan menghadapi persaingan, kebiasaan kampung halaman yang dibawa ke kota, hingga banyaknya hal yang memecah konsentrasi di kota-kota.

Saya tersentuh saat dirinya bercerita tentang masa-masa awal yang berat. "Tiba-tiba saya disuruh belajar kalkulus. Padahal, waktu SMA saya tidak kenal binatang bernama kalkulus itu." Jangankan dia, saya pun akan “taputar” kalau disuruh belajar kalkulus. Tapi dia cukup sabar dan tahan banting. Ditanya kiat suksesnya, ia tak tahu hendak menjawab apa. Selama kuliah, ia lebih banyak bermain bola. Beberapa kali menjadi pemain sepakbola terbaik, serta mengantarkan timnya menjadi juara adalah prestasinya. Olahraga membuatnya terkenal di seantero kampus.

Banyaknya mahasiswa yang berguguran ini menjadi catatan penting untuk mendiskusikan program serupa di masa mendatang. Saya mendengar pemerintah pusat akan mendatangkan banyak siswa dari Papua untuk belajar di sekolah-sekolah menengah di Jawa, juga mendatangkan mahasiswa untuk belajar di Jawa. Lagi-lagi, Jawa dianggap lebih beradab dari pulau tempat saudara kita di ujung timur sana. Orang Timur harus ke barat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih memadai.

Mengapa kita tak membalik kenyataan itu? Mengapa kita tak membenahi fasilitas pendidikan di Papua menjadi yang terbaik sehingga anak-anak Papua tak perlu jauh-jauh ke Jawa? Kenapa tak buat sekolah-sekolah keren, menciptakan guru-guru hebat, hingga menjadikan sekolah di sana sebagai sekolah terbaik? Mengapa kita tak membuat hal paling bagus di sana, biar mahasiswa dari Jawa yang datang ke sana untuk menuntut ilmu?

Kita sedang menyaksikan kesenjangan. Kita menyaksikan ketertinggalan timur atas barat. Hanya dengan cara memahami masyarakat Papua, serta berpikir sebagaimana mereka, banyak hal hebat bisa lahir di sana. Tanpa memahami apa yang diinginkan orang Papua, program sebagus apapun hanya akan sia-sia. Tanpa mengajak mereka bercerita tentang dunianya, mustahil merencanakan satu format pendidikan yang bisa menjawab apa yang mereka inginkan.

Ah, apapun itu, saya senang bersahabat dengannya. Satu pekerjaan telah mempertemukan kami. Selanjutnya, dia banyak membantu saya. Cukup sering saya memanggilnya datang untuk sama-sama melakukan sesuatu. Ketika dia datang dan bercerita yang lucu-lucu, dunia langsung terasa indah. Dalam banyak hal, kami punya kesamaan. Mulai dari melihat kehidupan dengan sederhana, tak suka bahas yang serius-serius, suka membahas hal-hal lucu, hingga sama-sama suka menghabiskan hari dengan bercerita ngalor-ngidul.

Tapi beberapa hari ini, dia nampak kalut. Dia nampak sedih. Sebagai sahabat, saya berharap bisa menghiburnya. Kepadanya saya hanya bisa berucap, “Kaka jangan sedih. Selalu bahagia yaa”


Bogor, 19 Januari 2016

Indonesia di Mata Bule Australia


sampul buku

KISAH-kisah tentang perjalanan orang Indonesia ke luar negeri telah banyak ditulis. Saya pun pernah menulis satu buku yang isinya perjalanan di negeri lain. Namun, amat jarang ditemukan buku yang berisikan pengalaman orang luar yang datang ke tanah ini. Salah satu di antaranya yang patut dibaca adalah buku Stormy with a Chance of Fried Rice yang ditulis bule asal Australia, Pat Walsh.

Yang khas dari buku ini adalah sudut pandang Pat Walsh yang tak biasa. Ia memotret bagaimana warga biasa sedang bertarung hidup di Jakarta. Ada kisah tentang karyawan di sebuah kafe, pengemis yang duduk di dekat jembatan penyeberangan, serang pengemudi bajaj, sopir taksi, pembantu, hingga penjual jamu juga dicatat dalam artikel.

Namun, ada hal yang membuat saya lama tercenung seusai membaca buku ini. Apakah gerangan?

***

PEREMPUAN itu bernama Nur. Ia berjualan di salah satu ruas jalan arteri kota Jakarta. Ia berjualan di area yang tak dibolehkan oleh pemerintah. Ia menempuh risiko demi mendapatkan banyak pembeli. Ia bisa melihat celah-celah atau kelengahan pemerintah dalam mengawasi pedestrian. Dengan cara itu, ia bisa bertahan hidup.

Ia berjualan rempeyek dan kripik singkong yang dikemas dalam bungkusan plastik yang rapi. Terdapat 20 rempeyek yang dibawanya, yang lalu terjual sebanyak lima bungkus dalam sehari. Jika satu bungkus terjual 10 ribu rupiah, ia mendapatkan 50 ribu rupiah sehari. Baginya, ini jumlah yang cukup besar demi membayai keperluannya. Suatu hari, seorang lelaki bule, tiba-tiba saja mengajaknya berbincang.

“Untuk apa kamu berdagang snack ini?” tanya bule tersebut.
“Untuk mudik. Agar saya bisa pulang kampung ke Jawa Tengah untuk merayakan Idul Fitri,” katanya.

Dialog itu berakhir. Tapi bagi si bule, peristiwa itu terus terngiang-ngiang dalam batinnya. Ia menyadari dorongan paling kuat bagi kebanyakan bangsa Indonesia untuk bekerja dan mencari nafkah adalah keinginan untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Ini menjelaskan bahwa meskipun seseorang telah lama tinggal dan berumah di Jakarta, namun keasadaran tentang kampung halaman masih tertanam kuat.

Orang Indonesia serupa merpati yang selalu ingin kembali ke rumah, sejauh apapun ia mencari nafkah. Kesadaran itu telah menggerakkan ekonomi, menjadikan momen mudik sebagai peristiwa kultural terbesar yang ada di Indonesia. Dari berbagai penjuru, orang-orang ke kampung halamannya untuk sekadar bertemu keluarga, serta memperkokoh identitas sebagai warga kampung. Padahal, orang-orang tersebut telah lama mukim di Jakarta.

***

BULE itu bernama Pat Walsh. Ia berasal dari Melbourne, Australia. Ia datang ke Jakarta untuk bekerja pada satu lembaga yang concern pada hak asasi manusia di Indonesia dan Timor Leste. Selama 12 bulan, ia tinggal di Jakarta. Ia lalu mencatat banyak hal-hal menarik, yang kadang luput dari pandangan banyak orang asing.

Buku Stormy with a Chance of Fried Rice ini adalah kumpulan catatannya tentang pengalaman selama di Jakarta. Sudut pandangnya tak biasa sebab ia memotret banyak kepingan realitas tentang orang-orang yang terpinggirkan. Selain kisah tentang Nur, seorang penjual makanan ringan, ia juga mencatat banyak kisah tentang mereka yang berada di tepian, yang seringkali terabaikan oleh kelas menengah Jakarta.

Nampaknya, ia serupa peneliti yang rajin mewawancarai lalu mencatat setiap detail amatan. Ia menyenangi pertemuan dengan bayak sosok, menggali kisah-kisah di baliknya, lalu mengisahkan ulang dalam narasi yang kuat. Buku ini bisa dikatakan sebagai rekaman tentang warga Jakarta dari berbagai latar belakang. Melalui buku ini, kita melihat sisi lain jakarta, sisi yang tak kita temukan dalam berbagai sinetron atau borusr pemerintah, namun menjelaskan dengan jujur tentang kota berpenduduk jutaan jiwa ini.

Sepintas, kerja-kerja Pat Walsh ini mengingatkan saya pada kerja Humans of New York, salah satu fanpage di Facebook yang paling saya sukai dan selalu saya ikuti postingannya. Human of New York menyajikan foto-foto tentang orang New York, lalu menyisipkan cerita-cerita menarik sebagai pengantar atas foto itu. Fotoyang ditampilkan adalah warga dari berbagai lapis sosial. Mulai dari karyawan kantoran hingga seorang homeless atau tuna-wisma. Yang terpenting di situ adalah kisah-kisah dari beragam manusia yang tinggal di satu ekosistem bernama New York. Tak percaya? Silakan cek Human of New York, trus like. Keren lho.


Bedanya, yang ditampilkan Pat Walsh adalah narasi-narasi, tanpa menampilkan gambar. Andaikan ada gambar, maka bukunya akan jauh lebih bertenaga. So far, saya cukup menikmai narasi yang tersaji dalam buku berbahasa Inggris khas Aussie ini. Setidaknya saya bisa belajar banyak hal tentang bagaimana orang luar membingkai segala peristiwa di tanah air kita. Saya bisa memahami apa yang mereka rasakan saat melihat satu keping realitas di sekitar.

Ada beberapa tulisan yang menarik. Pada bahagian awal, Pat bercerita tentang perayaan hari pahlawan 10 November di Jakarta. Sejumlah anak-anak datang ke Gedung Juang dengan menggunakan seragam. Bagian yang membuatnya terheran-heran adalah saat semua anak berbaris dan mencium bendera. Pat bertanya-tanya, apakah gerangan pesan yang hendak disampaikan. Lebih terheran-heran lagi saat melihat seorang pria berorasi dengan gaya khas Bung Tomo untuk membangkitkan semangat. Kembali ia bertanya-tanya, untuk apa gerangan.

Meskipun tak menulis rinci tentang perasaannya, saya bisa memahaminya. Sebab di luar negeri, kesadaran tentang nasionalisme dan bela negara tidak ditanamkan lewat aksi cium bendera atau pidato penuh semangat. Kesadaran itu ditumbuhkan sebagai sesuatu yang organik, melalui kehadiran negara untuk melindungi warganya, melalui pelayanan publik serta perlindungan atas hak asasi manusia, serta melalui kebajikan-kebajikan negara yang menyantuni warganya.

Sebagai bule, tentu saja, Pat Walsh juga sering mendapat stereotype sebagai sosok yang kaya-raya. Seorang teman bule saya pernah bercerita kalau orang Indonesia selalu mengira dirinya adalah karyawan perusahaan tambang, atau perusahaan besar yang bergaji ribuan dollar. Pat Walsh mengalami bagaimana seorang pengemudi taksi selalu menyebut tarif hingga 200 ribu rupiah, untuk jarak yang pernah ditempuhnya dengan taksi dan hanya membayar 20 ribu rupiah.

***

YANG membuat saya tercenung seusai membaca buku ini adalah kesadaran tentang kota sebagai satu ruang besar yang menjadi rumah bagi banyak orang, yang ternyata tidak banyak saling mengenal. Harus diakui, kita banyak berinteraksi dengan orang, akan tetapi tidak membuat kita saling mengenal. Kita hanya tahu seseorang berprofesi sebagai pembantu, tanpa tahu siapa namanya, berasal dari mana, serta mengapa sampai menjadi pembantu.

Kota serupa himpunan rumah-rumah yang warganya tak selalu berinteraksi. Pergaulan kita amatlah terbatas. Kita hidup dalam penjara ego yang membuat kita kehilangan empati. Akan tetapi, dalam diri kita, ada kesadaran untuk mengenali dan mengetahui apa yang dialkukan orang lain. Makanya, banyak di antara kita yang mengidap penyakit kepo, selalu ingin tahu yang dilakukan orang lain. Mungkin, ini pula yang menjelaskan mengapa kita semua suka gosip, suka selancar di media sosial, suka memantau gosip tentang orang lain.

Yang dilakukan Pat Walsh sepintas terkesan biasa saja. Bagi kita orang Indonesia, apa yang dilakukannya ini barangkali telah lama kita tahu. Tapi bagi publik luar, yang dilakukannya ini adalah upaya untuk mengenali Indonesia, memahami pengalaman warga, mengetahui betapa abainya negara terhadap mereka, serta memahami fakta penting tentang betapa banyaknya kisah-kisah yang tersaji dalam kota, yang seharusnya bisa mengasah nurani kemanusiaan kita.

Pada titik ini, Pat Walsh telah menjadi juru bicara tentang sisi terdalam tanah air kita.

Bogor, 30 Januari 2016

BACA JUGA:





Jared Diamond, Pangan, dan Peradaban



BUTUH dua hari untuk menuntaskan buku berjudul Guns, Germs, and Steel, yang ditulis Professor Jared Diamond, pengajar di University of California, Los Angeles (UCLA). Mulanya, saya seolah membaca buku sejarah tentang perkembangan masyarakat. Selanjutnya, saya tahu bahwa buku ini bukan sekadar sejarah. Yang saya temukan adalah kekuatan-kekuatan yang menyangga sejarah, yakni faktor geografis dan lingkungan sebagai cikal-bakal lahirnya peradaban dan kebudayaan.

Buku ini menyajikan petualangan menyusuri argumentasi tentang lingkungan yang lalu membentuk budaya. Yang hendak dijawab adalah mengapa ada bangsa yang begitu cepat mencipta sains dan teknologi, sehingga mengalami kemajuan, sedangkan bangsa lain justru terbelakang. Mengapa ada yang unggul lalu datang dan menjajah, dan ada bangsa yang justru diam di tempat sehingga mudah dicaplok. Apakah ini faktor budaya ataukah lingkungan yang lalu membentuk budaya?

Semuanya dimulai dari pangan dan ternak. Hah?

***

SUATU hari di tahun 1972, Jared Diamond melakukan riset di Papua New Guinea. Sebagai ahli biologi yang datang untuk meneliti burung, ia menjalin relasi dengan warga suku-suku di daerah itu. Ia menjalin persahabatan dengan seseorang bernama Yali, yang lalu mengantarnya ke banyak tempat.

Di sepanjang perjalanan itu, Yali terus bertanya banyak hal. Mulai dari burung-burung yang diteliti, sejarah penyebaran burung, hingga muncul pertanyaan yang lebih kompleks, misalnya siapa nenek moyang orang Papua, dan bagaimana orang-orang berkulit putih datang ke wilayah itu untuk menjajah dan mengambil barang berharga.

Pembicaraan semakin menarik saat membahas nenek moyang orang Papua. Pernah ada masa ketika orang Papua dan orang barat sama-sama hidup di zaman batu. Namun setelah itu, orang barat memasuki zaman logam lalu mencipta banyak perkakas lalu melahirkan banyak kemajuan bagi peradaban. Sementara, banyak orang Papua yang masih hidup di zaman batu. Suatu hari, Yali mengajukan pertanyaan menohok:

“Mengapa kalian orang kulit putih membuat begitu banyak barang berharga dan membawanya ke Papua, tapi kami orang kulit hitam memiliki begitu sedikit barang berharga itu sendiri?

Pertanyaan itu sedemikian membekas di hati Jared Diamond. Sebagai seorang biolog, ia belum bisa menyajikan satu jawaban yang akurat. Belakangan, ia tahu kalau para sejarawan pun masih berselisih pendapat tentang jawaban pertanyaan itu. Sebagai ilmuwan, ia lalu mengumpulkan bahan-bahan lalu mempelajarinya. Akhirnya, 25 tahun berikutnya, ia lalu melahirkan buku Guns, Germs, and Steel yang diniatkan sebagai jawaban atas pertanyaan Yali. Entah, apakah Yali masih ada dan bisa menyimak jawaban atas pertanyaan itu. Akan tetapi, jawaban yang diberikan Jared kaya dengan analisis lingkungan serta berbagai fakta yang menopang argumentasinya. Ia menyajikan gagasan tentang bagaimana perbedaan geografi bisa mempengaruhi jalannya sejarah berbagai suku bangsa.

Faktor penting yang menentukan kemajuan satu bangsa adalah pertanian. Pada mulanya, semua suku bangsa memiliki tradisi berburu dan mengumpulkan (hunting and gathering). Akan tetapi pekerjaan ini banyak menyebabkan kematian, serta kelelahan. Manusia mesti mencari cara lain untuk bertahan. Mulailah muncul era pertanian. Manusia lalu berusaha untuk menanam jenis tanaman tertentu, lalu memanennya, untuk kemudian disimpan sebagai persiapan menghadapi musim paceklik.

Masyarakat yang menghasilkan pangan yang berlebih, memiliki waktu untuk mengembangkan populasi. Pada masyarakat berburu, populasi berkembang lambat, tapi pada masyarakat pertanian, populasi bisa lebih banyak, sebab manusia punya kelebihan waktu untuk mengumpulkan makanan. Selanjutnya, kelebihan pangan akan dijual ke masyarakat lain sehingga era perdagangan dimulai. Pasar lalu dibuka di mana-mana. Ketika organisasi sosial semakin kompleks, maka dibutuhkan satu pengaturan masyarakat. Struktur sosial terbentuk. Era pembagian kerja dimulai, suatu halyang tak ada pada masyarakat yang masih memiliki tradisi “hunting and gathering.” Selanjutnya, tercipta banyak perkakas, yang bahan bakunya adalah steel (baja), yang lalu diolah menjadi senjata. Saat orang Cina mengembangkan mesiu, maka paduan antara mesiu dan baja ini melahirkan guns (senjata). Dimulailah abad eksplorasi ke dunia baru oleh orang Eropa di Asia dan Amerika.

Pertanyaannya kemudian, mengapa saat Columbus berlayar ke amerika di tahun 1492, ia tidak menemukan masyarakat yang selevel dengan Portugal yang membiayai ekspedisinya ke dunia baru? Mungkin jawabannya adalah muncunya kelas kapitalis, yang memiliki semangat ilmiah, serta daya nalar yang lalu menggerakkan teknologi, ide kemajuan, serta struktur sosial. Namun jawabannya tidaklah sesederhana itu. Bisa pula kita mengajukan pertanyaan lain. Mengapa setiap bangsa menempuh trajektori yang berbeda? Apa yang menjelaskan perbedaan itu?

Kata Jared Diamond, jawabannya adalah geografi.

Kita mungkin agak aneh dengan jawabannya. Selama ini, sejarah kita berisikan kisah tentang manusia-manusia besar yang melakukan penaklukan. Mulai dari kisah Alexander the Great, Julius Caesar, hingga Sultan Saladin. Mereka adalah manusia-manusia besar yang lahir dari rahim sejarah. Berbeda dengan kisah-kisah manusia, Jared Diamond memaparkan argumentasi tentang faktor geografi, yang lalu mempengaruhi lingkungan, hingga akhirnya mempengaruhi kebudayaan. Baginya, manusia-manusia besar itu lahir dari satu masyarakat yang lebih kompleks sehingga memiliki sains dan teknologi yang berkembang lebih pesat dari masyarakat lainnya.

Yang membuat saya terdiam adalah pernyataan bahwa masyarakat yang mengalami kemajuan pesat bukanlah masyarakat yang berlimpah hasil alam, melainkan manusia-manusia yang berhadapan dengan alam yang tak menyediakan banyak pangan. Sebab pada saat itu, manusia lalu mengembangkan pengetahuan untuk menjamin ketersediaan pangan, sehingga melahirkan teknologi pertanian. Setelah itu, manusia lalu berusaha untuk mendomestikasi hewan, lalu menggunakannya untuk membantu kegiatan manusia. Pengetahuan inilah yang membawa kemajuan di bidang lain.

Namun harus dicatat, kemampuan mendomestikasi hewan ini awalnya mendatangkan banyak germs (kuman) penyakit. Germs merupakan kuman pembunuh manusia paling ganas dari zaman dulu. Sebut saja cacar, kolera, disentri, tipus, malaria, dan lain-lain. Pada abad ke-14, Eropa pernah terserang penyakit the black death yang diperkirakan membunuh warga hingga 200 juta orang. Penyebabnya kuman Xenopsylla Cheopis. Ini mempengaruhi perubahan sosiologi masyarakat, berupa berkurangnya kepercyaan pada gereja, hingga individualisme. Mereka yang bertahan adalah mereka yang bisa mengembangkan kekebalan atas kuman. Saat orang Eropa mengeksplorasi Amerika, Asia, dan Afrika, mereka lalu membawa berbagai binatang yakni kuda, ayam, tikus, itik, dan lain-lain. Kembali kuman lalu menyebar. Korbannya lebih banyak dari 200 juta orang Eropa yang tewas pada abad ke-14.

Jujur, saya sendiri tak begitu percaya dengan faktor geografis ini. Di kalangan mereka yang mengkaji budaya, pastilah akan meragukan ‘geographic determinism’ ini. Hanya saja, saya mengakui bahwa kondisi-kondisi lingkungan harusnya bisa menjelaskan kemajuan. Bahwa penguasaan pada pertanian akan memberikan waktu lebih bagi satu masyarakat untuk mengasah kecakapan pada aspek lain. Bangsa-bangsa Eropa mencapai kemajuan berkat pengetahuan tentang pertanian, serta bagaimana mendomestikasi hewan. Meskipun untuk kemajuan itu, manusia harus menghadapi wabah penyakit yang sempat menelan jutaan orang.

Bagian yang saya sukai dari buku ini adalah kisah tentang perang di Cajamarca di Peru tahun 1532. Saat itu, penjelajah Spanyol Fransisco Pizarro bersama 168 prajurit yang sangat payah, malah berhasil membantai 80.000 prajurit Inka, lalu membunuh pemimpinnya Atahuallpa. Kemenangan itu bermula dari kompleksitas masyarakat Eropa akibat sektor pertanian, lalu mempengaruhi teknologi dan pengetahuan tentang masyarakat lain.

Rahasia kemenangan, yang nyaris tidak masuk akal itu, terletak pada digunakannya kuda sebagai kendaraan perang, yang lalu membuat barisan Inka tercerai berai, serta teknologi logam dan baju besi, yang membuat 169 prajurit Spanyol itu tak terkalahkan. Prajurit Inka, yang bersenjatakan batu, lalu menjadi sasaran empuk bagi prajurit Spanyol yang brsenjatakan pedang tajam. Pada titik ini, teknologi persenjataan, kemampuan menjadikan kuda sebagai kereta perang, hingga informasi tentang suku Inka, yang lalu menjadi rahasia di balik kemenangan itu.

***

TENTU saja, masih banyak hal menarik yang bisa dibahas dari buku ini. Mulai dari bagaimana perkembangan teknologi pangan yang lalu membawa kemajuan, domestikasi hewan yang lalu menghadirkan penyakit yang membunuh jutaan manusia, hingga bagaimana teknologi baja mempengaruhi kemenangan di banyak arena pertempuran.

Untuk soal-soal di paragraf atas, saya masih membutuhkan waktu untuk membaca ulang buku ini, menata ulang barisan fakta demi fakta, lalu menuliskannya lagi di blog ini. Semoga saya masih bersemangat untuk melakukannya. Semoga.


Bogor, 25 Januari 2016

Pelajaran dari Tiga "Penjahat"


ilustrasi

KISAH tentang orang hebat sudah sering kita dengar. Demikian pula kisah tentang orang sukses, orang kaya, ataupun seorang pemimpin. Namun pernahkah kita sejenak mendengarkan kisah tentang mereka yang dianggap sebagai penjahat? Sudahkah kita mendengarkan kisah mereka yang dianggap jahat dan dinistakan oleh dunia sosial kita? Apakah gerangan yang bisa kita pelajari dari kisah itu?

***

LELAKI itu Muksin Tamnge. Tapi ia lebih dikenal dengan nama Temmy. Banyak pula yang mengenalnya dengan nama Taufik. Lahir di Kei, Maluku, pada tahun 1938, namanya kondang di telinga para aparat pada masa Orde Baru. Ia keluar masuk penjara, dan memiliki rekor mengejutkan di dunia rampok.  Ia tercatat merampok hingga 397 kali, mengorganisasi 63 preman dari berbagai etnik di berbagai kota.

Dirinya serupa Robin Hood. Ada saat di mana dirinya merampok miliaran, namun ada banyak saat dirinya membagikan rampokan itu ke banyak orang. Pernah, ia memberikan puluhan berlian kepada seseorang. Ia tak punya kriteria siapa yang hendak mendapatkan bantuannya. Selain rajin memberikan uang bagi orang sekitarnya, ia juga sering kedapatan memberikan bantuan bagi orang yang kecelakaan di jalan raya.

Kepribadiannya kompleks. Dari dalam penjara, ia pernah diwawancarai Prisma, jurnal ilmu sosial. Katanya, kepuasan tertinggi dalam batinnya adalah saat berhasil melahirkan senyum di bibir orang yang tengah dilanda kesusahan dan penderitaan. Makanya, ia tak pernah menikmati sendirian hasil rampokan. Dihadiahkannya ke banyak orang, sebagai wujud dari aktualisasi mimpinya, untuk menghadirkan senyum di wajah orang lain. Mengapa dia harus menjadi perampok?

Kisahnya panjang. Masa kecilnya menyedihkan. Ayahnya sering mencambuknya, hingga beberapa kali lari dari rumah. Dia lalu belajar di madrasah, lalu lanjut sekolah menengah di Makassar. Setelah studi lanjutan tentang pendidikan jasmani di Denpasar, ia disiapkan untuk menjadi sosok pelatih olahraga. Ia lalu dikirim ke Belgrado, Yugoslavia, demi mendapatkan pelatih olahraga handal. Apalagi, Indonesia akan menggelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang digadang-gadang akan menyaingin olimpiade.

Sayang, nasibnya tak semulus itu. Ia diharuskan membayar sejumlah uang kepada pejabat Deplu. Tuntutan uang itu tak bisa dipenuhinya. Ia lalu kembali ke Denpasar, Bali. Kegagalan itu mengganggu tidurnya. Ia berpikir kalau batas antara pejabat dan penjahat amatlah tipis. Seorang pejabat bisa saja jadi penjahat. Ia lalu kembali ke Jakarta, lalu menjadi preman di Pasar Senen. Di dunia hitam, ia menjadi Don yang ditakuti. Ia hanya mau merampok dua hal: (1) orang kaya yang memperkaya dirinya secara tidak wajar, (2) pegawai negeri yang memperkaya dirinya dengan fasilitas negara.

Yang mengejutkan, ia tahu kalau tindakannya jahat. Makanya, ia menutupinya dengan menamatkan Al Quran. Jika rekor merampoknya sebanyak 397 kali, maka ia berhasil menamatkan bacaan Al Quran hingga 548 kali. Dibanggakannya, kalau jumlah itu lebih banyak dari angka kejahatan yang dilakukannya.

Ah, biarlah Tuhan yang menilai.

***

DI ujung sel lain, terdapat seseorang bernama Kusni Kasdut. Lelaki ini sama terkenalnya dengan Muksin. Ia spesialis perampok berlian. Dalam menjalankan aksinya, ia selalu membunuh polisi.  Ia dua kali divonis hukuman mati. Pertama karena membunuh polisi di sebuah perampokan berlian terbesar. Kedua, karena membunuh miliuner Arab yang kaya raya. Lelaki ini kian fenomenal karena beberapa kali lolos dari penjara.

Lahir pada tahun 1929, dirinya menjalani masa kecil sebagai penjual rokok dan kue. Di usia 16 tahun, ia mengetahui satu rahasia bahwa dirinya lahir dari hubungan gelap antara ibunya dengan seseorang, yang tak jelas. Ia kecewa berat.

Demi menutupi aib itu, ia mencari kegiatan lain. Di masa Jepang, ia bergabung dnegan heiho, lalu mejadi pejuang. Ketika republik ini berdiri, ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia, dengan pangkat sersan. Tugasnya di BKR cukup unik. Ia diminta merampok, mencuri, membunuh, dan merampas harta orang kaya demi perjuangan republik. Semuanya untuk kemerdekaan Indonesia.

Ia memulai tugas sucinya demi republik dengan merampok orang Tionghoa kaya di Madiun. Hasil dirampokan diserahkan ke komandannya. Beberapa kali ia terlibat dalam pertempuran bersenjata. Hingga akhirnya, Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menghentikan semua pertempuran itu. Kabinet Hatta melakukan rasionalisasi. Ribuan tentara direkrut menjadi tentara republik, sisanya diarahkan menjadi pegawai negeri. Banyak pula yang tidak direkrut sebagai tentara ataupun pegawai, sesuatu yang memicu banyak pemberontakan.

Kusni sungguh sial. Namanya tak terdaftar dalam barisan tentara. Kembali, semua luka-luka hatinya kambuh. Ia seorang anak haram, ia seorang perampok bagi republik, ia menjadi ampas yang dibuang begitu saja. Mulailah dirinya menjadi sosok lain. Mulailah ia berkhianat pada republik yang dahulu dibelanya. Kusni menjadi sosok yang lain. Baginya, tak ada beda antara merampok orang Tionghoa kaya di Madiun, dengan merampok emas milik negara.

Tahun itu, tahun 1979, adalah tahun dimulainya Kabinat Pembangunan Kedua. Soeharto melancarkan hegemoni di semua lini. Mahasiswa dijinakkan sehingga kembali ke kampus. Kampus dibanjiri dana rset bagi dosen. Jutaan anggota PKI dibunuh. Pengangguran merebak. Para preman berkeliaran. Soeharto lalu mengeluarkan kebijakan agar aparat berhak menembak para preman di jalan-jalan. Mayatnya dibiarkan begitu saja.

Di tengah situasi itu, Kusni Kasdut melancarkan aksinya. Hingga akhirnya, ia divonis mati. Ia mengganti nama menjadi Ignatius Waluyo, lalu menjadi seorang Katolik yang taat. Hingga akhirnya, suatu hari di tahun 1980, peluru menembus jantungnya. Ia menjalani hukuman mati. Tamatlah riwayatnya di dunia hitam.

***

SOSOK lain adalah Henky Tupanwel. Ia lahir di Ende, 17 Agustus 1932. Berbeda dengan Muksin dan Kusni Kasut yang berasal dari lapis menengah ke bawah, sosok Henky justru berbeda. Ia dibesarkan oleh seorang pendeta yang berumah di Bandung, dan bertugas di Angkatan Darat (AD). Ia menikmati hidup berkecukupan, serta sedikit lagi akan menjadi sarjana di Universitas Padjajaran.

Hanya saja, dirinya justru tidak nyaman. Ditempa disiplin yang ketat, serta keharusan belajar agama, Henky memutuskan untuk meninggalkan rumah. Mulailah ia bertransformasi menjadi seorang penjahat. Pada usia 25 tahun, ia merampok bank di Bandung. Ia dipenjara, namun berhasil kabur. Beberapa kali mencuri dan ditahan, ia akhirnya ditahan di Nusa Kambangan. Hingga akhirnya berhasil lari, dan kembali merampok bank.

Ia serupa filsuf dalam tahanan. Ketika hakim memutuskan hukuman mati, ia bertanya, “Bagaimana cara Yang Mulia melaksanakan hukuman mati? Apa saya diperkenankan untuk memilih mati dengan cara disalib?” Terhadap seorang pendeta, ia menjelaskan, salib adalah simbol dari kepahlawanan. Jesus mati sebagai pahlawan. Makanya, dirinya pun ingin mati dengan cara demikian. Pada malam sebelum ditembak mati, ia menulis puisi:

Megah-megah dalam penjara
Hingga segalanya harus ditentang
Nyisih dari segala kegelapan
Akan pudar
Megah-megah dalam penjara
Hingga datang kemenangan jiwa
Aku bangga aku bangga
Karena kelelahan jerih payahku
Kan kuperuntukkan hanya bagi keulyaan Tuhan
Di mana tanah tandus aku bercocok tanam.

Bait puisi ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Yang terasa dari puisi ini betapa Henky berbangga atas apa yang dilakukannya. Ia mungkin mengalami momen pertobatan, lalu menerima dengan ikhlas semua yang terjadi. Ia lalu melihat dirinya serupa martir yang mengorbankan diri demi Tuhan.

Dalam diri Henky, terdapat banyak pertanyaan tentang agama. Ia melihat para pendeta sibuk memenjarakan agama dalam pemenjaraan suci (holy confinement) untuk disentuh ajaran agama manapun. Agama dilihatnya hanya sebagai kuasa yang dimiliki para pelakunya, yang kerap mengeluarkan tafsir sesuai dengan keyakinannya sendiri.

Hidup menjadi semakin paradoks bagi Henky. Ia berani menempuh hukuman mati, akan tetapi dengan cara seperti yang ditempuh oleh Jesus. Namun hakum tak bergeming. Pada tanggal 5 Januari 1980, dirinya ditembak oleh aparat. Dia terbunuh atas nama hukum, atas nama hukum Ketuhanan, yang ditegakkan negara.

***

TIGA kisah para penjahat ini saya temukan di satu bab dalam buku Menerjang Badai Kekuasaan, yang ditulis Daniel Dhakidae, tahun 2015. Saya menemukan beberapa hikmah yang menarik dari hasil bacaan tentang mereka yang dituduh sebagai penjahat ini.

buku Menerjang Badai Kekuasaan

Pertama, di balik setiap penjahat, terdapat kisah-kisah yang menarik untuk ditelusuri. Selalu ada “the turning point” atau titik balik yang mengubah haluan hidup seseorang. Selalu ada proses dan pengalaman personal yang kemudian membuat seseorang memilih untuk berada pada posisi politik tertentu.

Setiap manusia akan selalu mempertanyakan pilihan-piihannya, sembari melihat sekelilingnya. Saat ia menyaksikan paradoks, ataupun menemukan manusia lain yang serba ambigu, maka seseorang bisa memilih posisi yang abu-abu, dengan pertimbangan bahwa orang lain pun melakukannya. Setiap manusia selalu menghujam banyak tanya, menyerap pengalaman, lalu memutuskan apa yang terbaik baginya. Di setiap pilihan itu terdapat sedemikian banyak konsekuensi.

Dalam hal Muksin, situasi yang dihadainya adalah seorang pejabat yang hendak memeras dirinya. Ia mulai mempertanyakan batasan antara baik dan buruk, antara legal dan ilegal, antara kebenaran dan kesalahan. Kusni Kasdut pun demikian. Ia mempertanyakan batasan antara merampok seseorang untuk tujuan republik, serta sikap republik yang justru meminggirkannya.

Ia bertanya tentang apa makna nasionalisme, ketika jiwa dan raga diserahkan untuk negeri, tapi justru negeri tak peduli dengan dirinya. Demikian pula Henky Tupanwel. Ia mempertanyakan berbagai doktrin agama yang justru dilihatnya sebgaai penjara. Nilai-nilai dan ajaran moral menjadi nisbi, dan seolah dihadirkan untuk dilanggar.

Kedua, selalu ada kaitan antara pilihan itu dengan kondisi sosial. Sehingga penting memahami konteks, setting, ataupun dinamika sosial yang menyebabkan seseorang memilih untuk di titik tertentu. Yang terasa dari tiga kisah ini adalah betapa institusi negara hanya menguntungkan kelompok tertentu, betapa struktur negara tak bisa mewujudkan supremasi hukum dan bertindak adil pada sesamanya. Negara menjadi ajang persekongkolan massal yang semakin mengaburkan batasan antara moral baik dan buruk, antara benar dan salah, antara legal dan ilegal.

Dengan cara memahami konteks sosial, kita bisa melihat kaitan atau relasi antara satu tindakan dengan tindakan lain, antara setiap keping peristiwa dan kepingan peristiwa yang lain, sehingga upaya untuk menyelesaikan masalah sosial bisa lebih holistik, dengan cara melihat kaitan antara dunia sosial dan dunia manusia yang saling berkelindan. Mustahil mengatasi masalah manusia, jika masalah negara tak terselesaikan.

Sebagaimana dikatakan sosiolog C Wright Mills dalam buku Sociological Imagination tentang tiga hal yang menjadi dasar untuk memahami satu masyarakat, yakni biografi, sejarah, dan struktur sosial. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat, saling meresap, dan saling berpotongan di banyak titik. Setiap tindakan individu adalah produk sejarah yang dipengaruhi struktur masyarakat. Maka, upaya untuk mengatasinya bukanlah sekadar menyalahkan individu, melainkan meletakkan tindakannya dalam satu konteks sosial, yang kemudian diurai secara perlahan, dan dipahami maknanya.

Saya sedang memikirkan para teroris yang meledakkan bom di Sarinah. Saya memikirkan bahwa setiap tindakan mereka dipengaruhi oleh banyak aspek, mulai dari doktrin religi, kondisi desa yang tak memberi banyak peluang, serta tangan-tangan lembut negara yang tak menjabat tangan semua warganya. Negara hanya hadir di Starbuck, tanpa hadir di desa-desa melalui upaya pencerahan, serta perlindungan bagi warga yang tertindas.

Beberapa bulan lalu, ada kisah mengharukan tentang seorang warga desa bernama Salim Kancil yang terbunuh oleh para preman kepala desa. Di manakah negara dalam kondisi seperti itu? Di saat negara tak hadir sebagai pahlawan di hadapan warganya yang lemah, maka janji-janji tentang surga di langit akan semakin kuat mendera seseorang. Demi menjemput takdir itu, apapun akan dilakukan oleh seseorang itu, demi surga, demi langit.

Yang pasti, dari kisah tiga penjahat itu, ada banyak makna yang bisa diserap untuk menafsir kini untuk masa depan.





Tamasya Sejarah bersama Ernst Gombrich




TERIMA kasih buat mereka yang menyederhanakan sesuatu yang rumit. Dahulu, saya kesulitan memahami naskah filsafat. Hingga akhirnya, saya menemukan buku karya Jostein Gaarder berjudul Sophie's World (diterjemahkan menjadi Dunia Sophie), yang menyederhanakan filsafat yang rumit itu sesederhana membaca komik Kungfu Boy.

Kini, di saat saya kesulitan memahami sejarah, saya menemukan buku terjemahan dari bahasa Jerman berjudul Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda (terbitan Marjin Kiri) karya Ernst H. Gombrich. Isinya serenyah membaca petualangan Percy Jackson bersaa dewa-dewa, yang dibuat Rick Riordan atau seringan kisah-kisah dongeng. 

Membacanya tak bikin kening berkerut, tapi bisa membuat kita tercerahkan. Saya serasa bertamasya, mengarungi lautan sejarah yang luas, bertemu banyak tokoh, lalu menyerap banyak makna.

Saya membaca banyak buku sejarah. Tapi buku karya Ernst Gombrich ini lain dari yang lain. Tak ada penuturan tentang tanggal dan tahun yang ketat. Tak ada debat metodologis tentang setiap peristiwa. Yang ada adalah kisah-kisah sejarah yang menarik, serta bisa dipahami siapa saja. Dengan cara bercerita, sejarah menjadi punya jiwa, ruh, dan tidak sekadar menjadi himpunan peristiwa.

Penulisnya serupa seorang kakek yang sedang bercerita kepada cucunya sendiri. Makanya, kalimat-kalimatnya sederhana dan mudah dipahami. Padahal, penulisnya adalah seorang doktor bidang sejarah seni rupa dari Universitas Wina. Sebelum menulis buku ini, ia saling berkirim surat dengan anak seorang temannya. Anak itu ingin tahu banyak hal tentang bidang yang ditekuninya. Ia lalu mendapat satu keping inspirasi. Bahwa pengetahuan sejarah bisa diajarkan ke seorang anak cerdas, tanpa harus menggunakan terminologi ilmiah yang rumit.

Apalagi, Gombrich tentang mengalami kejenuhan dengan bahasa ilmiah, seusai menuntaskan disertasinya. Ia lalu menyiapkan satu tulisan berjudul Time of The Knight (zaman ksatria). Ternyata, artikel ini disukai oleh satu penerbit. Ia lalu ditantang untuk menyelesaikan semua buku dalam enam minggu. Tantangan ini menjadi awal dari suara Gombrich yang bergema ke seluruh dunia.

Buku ini tak hanya beredar di Jerman, melainkan ke berbagai penjuru. Sebagai seorang kakek, cerita-cerita Gombrich menyebar ke berbagai bangsa-bangsa. Ia mengisahkan masa-masa awal sejarah, betapa tingginya pengetahuan orang Mesir kuno yang mencipta hieroglyph, eksotika kota Athena yang dipenuhi puisi dan karya-karya filsafat, hingga manusia-manusia bijaksana yang memberi jejak bagi peradaban. Mulai dari Siddharta Gautama, Yesus Kristus, Muhammad, hingga para filosof Cina seperti Konghucu dan Lao Tze.

Ernst Gombrich

Saya menikmati bahasan tentang beberapa hal penting. Mulai dari sejarah nama-nama hari, abjad yang digunakan, pertempuran di Thermopylae, kejatuhan Roman Empire (Kekaisaran Roma), kebangkitan Arab dan Islam, kemunculan Galileo Galilei yang lalu memantik revolusi Perancis, hingga abad pencerahan atau renaisans. Terakhir, ia lalu membahas zaman modern, manusia dan mesin, berbagai pertempuran, serta kapitalisme.

Saya tergelitik dengan ucapan penulisnya di awal. Katanya, sejarah tampak seperti telaga yang tak berujung. Sebagai manusia, kita seakan mengambil segumpal kertas, membakarnya, lalu membiarkannya jatuh. Kertas terbakar itu akan jatuh ke dalam dan terus menyala. Di sepanjang lubang, ia akan menerangi dinding-dinding telaga. Semakin ke dalam, cahayanya akan pudar, hingga akhirnya lenyap ditelan kegelapan.

Mungkin, yang dimaksud dengan cahaya adalah ilmu pengetahuan yang disampaikan dengan narasi yang memikat. Sebab narasi akan bercahaya dan mencerahkan ketika dipahami oleh pihak lain, khususnya generasi muda. Makanya, berbagai narasi sejarah ibarat cahaya yang menyingkirkan gelap, menyingkirkan ketidaktahuan, yang dengan cara itu, manusia bisa belajar banyak hal demi menata masa kini dengan lebih baik.

Dari susunan kalimat-kalimatnya yang ringan, buku ini sangat tepat untuk dibacakan oleh orangtua demi menemani anaknya yang sedang terlelap. Namun jika dilihat isinya yang agak tebal, nampaknya, buku ini diniatkan untuk semua kalangan. Saya sendiri mendapatkan banyak hal-hal baru. Ternyata, wawasan sejarah saya sangat terbatas. Saya tak memahami banyak hal, hingga akhirnya buku ini membantu saya untuk membuka lapis-lapis ketidaktahuan itu dengan cara yang sederhana.

Bagian lain yang saya sukai adalah Manusia dan Mesin. Penulis buku ini sangat hati-hati ketika membahas tentang sosialisme, serta kesadaran para buruh untuk bersatu agar tidak menjadi sekrup dari mesin-mesin kapitalisme. Sosialisme yang diajarkan Karl Marx itu menjadi sedemikian mudah dipahami. Padahal, di berbagai buku, bagian ini cukup sulit diterangkan. Tak semua orang bisa memahami esensi yang dimaksud Marx.

Ada satu hal hal yang membuat saya tidak merasa nyaman. Buku ini terlampau banyak membahas tentang Eropa. Pembahasan tentang timur, dan segala aspek filosofinya tak begitu banyak. Padahal, saat membaca bagian tentang Siddharta Gautama, serta filsuf Konghucu, saya merasa tak puas. Saya ingin tahu lebih banyak. Demikian pula saat sampai pada bagian tentang Muhammad dan kebangkitan Islam, lagi-lagi saya belum puas. Dahaga intelektual saya tak terpuaskan.

Namun saya sadar betul kalau buku ini hanya menyajikan deskripsi singkat di setiap zaman. Tentunya, tak mudah memadatkan peristiwa selama 5.000 tahun ke dalam 300-an halaman. Membaca buku ini ibarat bertamasya ke sejarah dunia, menyaksikan episode kemenangan dan kekalahan, menyaksikan kebijaksanaan dan kedunguan, merasakan kekuatan dan kelemahan, memahami kekuatan-kekuatan yang menggerakkan sejarah, hingga melihat masa kini sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya.

sampul edisi bahasa Inggris

Di lembar akhir, terdapat satu kalimat menarik. Gombrich menyamakan waktu serupa sungai yang mengalir. Pada mulanya, es mencair di zaman prasejarah, lalu memunculkan sungai nil, yang menjadi awal peradaban Mesir yang ditandai banyaknya piramida. Setelah itu, muncul banyak peradaban di tempat lain, seperti Menara Babel, Acropolis, hingga akhirnya sungai ke lautan luas. Manusia ibarat buih-buih yang muncul di sepanjang sungai. Kita sedang bergerak ke depan, menuju satu masa depan yang terselubung kabut.

Ada banyak kemalangan, ada banyak derita, ada banyak bom atom jatuh menghujam. Tapi harapan-harapan akan terus tumbuh selagi manusia masih memiliki ide-ide kemajuan, serta kebaikan yang tumbuh bak mawar di tengah reruntuhan. Melalui ide-ide itu kita berharap dunia akan selalu lebih baik, dunia akan selalu tersenyum


Bogor, 13 januari 2016



Kartu Terakhir Aburizal Bakrie



JIKA politik ibarat satu pertandingan tinju, maka posisi Aburizal Bakrie tengah tersudut di pojok ring. Ia tak sedang berhadapan dengan seorang petinju. Ia tengah berhadapan dengan banyak orang yang sontak naik ke atas ring lalu melancarkan jab ke arahnya. Bahkan kawan-kawan dekatnya pun kini jadi lawan.

Meskipun Nurdin Halid ikut naik dan membantunya, namun kekuatan yang dihadapinya kian bertambah banyak. Dalam situasi ini, hanya ada dua skenario bagi Ketua Umum Partai Golkar ini, apakah tetap akan bertahan, ataukah mengikuti irama permainan yang diajukan semua lawan politiknya untuk segera menggelar musyawarah nasional (munas) gabungan.

Pilihan pertama penuh dengan risiko politik. Kaki-kaki bisnisnya sudah lama tidak sanggup menopang aktivitasnya. Pilihan kedua adalah bertahan, yang merupakan pilihan paling sulit, sebab dari segala arah ia sedang ditebas. Pilihan ini jauh lebih membawa risiko. Bersama kawan-kawan dekatnya, ia sudah mencium satu gelagat untuk menyingkirkan dirinya dari panggung politik. Dirinya akan tinggal nama di panggung politik. Ia tak ingin lenyap dari sejarah.

Lantas, apakah gerangan yang hendak dicari Aburizal? Apakah gerangan kartu terakhir yang masih dimilikinya? Marilah kita telaah satu episode memilukan bagi seorang politisi yang akan segera tersingkir dengan cara sistematis.

***

WAJAH lelaki itu langsung menegang. Lelaki itu, Akbar Tandjung, politisi kawakan yang pernah membawa gerbong Partai Golkar melalui masa-masa paling sulit dalam sejarah partai itu, dianggap melakukan sesuatu yang di luar kewenangannya. Salah seorang pengurus DPP Partai Golkar, Nurdin Halid, menyampaikan adanya teguran kepadanya.

"Memang siapa itu Nurdin Halid? Pernah berbuat apa dia bagi Golkar?" kata Akbar, sebagaimana dikutip oleh banyak media, beberapa hari lalu. Akbar pantas menanyakan itu. Teguran kepadanya adalah sesuatu yang melanggaran anggaran dasar, mengingat posisinya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar. Teguran itu adalah isyarat kalau wacana musyawarah nasional yang diusungnya membuat murka para pengurus DPP, termasuk Nurdin.

Pernyataan Nurdin bisa dilihat dari banyak sisi. Di satu sisi, pernyataan itu adalah blunder besar sebab akan memancing reaksi keras dari kubu Akbar yang juga punya pijakan kokoh di partai itu. Akbar pernah membawa partai melalui masa-masa sulit. Ia memimpin partai, dengan gaya seorang organisatoris, sehingga banyak orang yang akan pasang badan untuknya. Menegur Akbar sama dengan membangunkan satu kekuatan yang selama ini memilih sebagai penonton dari duel Aburizal versus Agung. Tapi di sisi lain, Nurdin memang harus menyampaikan itu. Ia sedang melindungi kepentingan serta palagan terakhir yang dimiliki sang ketua umum, Aburizal Bakrie, yang saat ini kaki-kakinya tengah digerogoti. Nurdin sedang mengamankan nama baik serta kepentingan ketua umumnya yang secara perlahan mulai keropos. Nurdin adalah sosok yang tepat untuk itu.

Politik kita laksana panggung, di mana masing-masing pihak berusaha untuk berebut wacana. Di pihak Aburizal, mulai berhembus wacana tentang semua kelompok yang hendak menghabisi kelompok itu. Hingga saat ini, Aburozal masih bersikukuh tentang legalitas Munas Partai Golkar di Bali. Tapi perkembangan terakhir sungguh mengejutkan. Di kalangan pendukung Munas Bali, perpecahan mulai muncul. Banyak yang mulai gerah dengan sikap Aburizal yang seolah menjadikan Golkar sebagai perusahaan keluarga dan kelompok. Banyak yang gerah melihat dirinya menganak-emaskan Nurdin dan Setya Novanto.

***

BEBERAPA tahun silam, Wapres Jusuf Kalla (JK) mengeluarkan anekdot yang menarik tentang partai politik. Kata JK, PDIP dan Demokrat ibarat perusahaan keluarga. Di dua partai itu, ada keluarga yang memegang saham mayoritas. Makanya, jangan pernah bermimpi untuk merebut pucuk pimpinan partai itu kalau anda bukan dari keluarga. Beda halnya dengan Golkar. Partai berwarna kuning ini tak punya pemegang saham mayoritas. Semua adalah pemegang saham. Semua kelompok bisa menjadi pimpinan, sembari membawa gerbong sendiri. Di ajang munas berikutnya, boleh jadi, kelompok lain yang kemudian menjadi pimpinan.

Makanya, semua Ketua Umum Golkar rata-rata hanya menjabat satu periode, sebab pergesekan antar kelompok ini sama kuat dan sama berimbang. Hanya Aburizal yang terpilih dua periode. Penjelasannya bisa dirunut dari begitu rapinya tim Aburizal yang dipimpin Nurdin Halid bergerilya lalu mengamankan kursi ketua umum di Munas Bali, yang ditempuh dengan berbagai cara. Beberapa waktu lalu, rekaman atas rapat strategi ini beredar, sesuatu yang kemudian memantik murka kubu Agung Laksono.

***

BEBERAPA hari terakhir, terdapat berbagai perkembangan menarik terkait Aburizal. Yang terlihat di mata publik adalah munculnya berbagai kubu yang selama ini memilih diam saat berada di kubu Aburizal. Tak hanya tokoh muda, beberapa tokoh senior pun mulai turun gelanggang. Mulai dari Akbar tandjung, Jusuf Kalla, Muladi, hingga beberapa sosok lain yang dahulu dikenal loyalis Aburizal.

Kartu yang dipegang Aburizal hanyalah kartu legalitas atas Munas Bali. Celakanya, mahkamah tak kunjung melegalkan munas tersebut. Persoalan seakan mengambang, saat pengadilan justru mengakui mandat Munas Riau, yang telah lama dinyatakan demisioner.

Yang paling dikhawatirkan Aburizal adalah posisi pemerintah yang justru tak mendukungnya. Betapa tidak, masuknya pemerintah untuk menalangi utang PT Lapindo Brantas harus dilihat sebagai strategi cerdik untuk menjerat Aburizal agar tidak melakukan hal-hal yang berindikasi penetangan terhadap pemerintah. Hutang Aburizal hanya bisa dibayar dengan cara bersikap manut pada pemerintah berkuasa, kalau perlu menggiring Golkar ke posisi mendukung pemerintah. Ia tak punya pilihan sebab dalam situasi sulit, pemerintah yang memasang badan untuknya.

Jika ia kehilangan Partai Golkar, maka kekuatannya akan lumpuh total. Aburizal bukan sosok seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla yang memiliki legacy atau warisan berharga bagi partai itu. Akbar membawa partai melalui masa reformasi, lalu mengeluarkan kebijakan konvensi Partai Golkar, sesuatu yang sangat penting bagi dinamika politik Indonesia. Sementara Jusuf Kalla tercatat sukses memimpin partai itu, relatif tanpa guncangan berarti, dikarenakan posisinya yang kuat sebagai wakil presiden serta masuknya beberapa kader Golkar ke posisi menteri.

Di tangan Aburizal, partai itu kian keropos. Di ajang pemilihan presiden, dirinya tak dilirik, padahal partainya adalah pemenang kedua pemilu legislatif. Konflik lalu bersemi diarenakan Aburizal yang mengeloa partai sebagai kepanjangan dari kelompoknya. Konflik berlarut-larut ini lalu membawa dampak pada posisi terpuruk di ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Jika partai itu ingin selamat, maka jalan musyawarah dan rekonsiliasi harus segera ditempuh. Tapi ini jalan berisiko bagi Aburizal, sebab dirinya berpotensi besar akan tersingkir. Ia tak memiliki loyalis seperti Akbar yang selalu mendukung langkah-langkah politiknya. Ia juga tak sekuat Jusuf Kalla yang bisa mengendalikan Golkar sehingga tak ada gejolak.

Yang dijaga Aburizal adalah kekuatan tim yang dibekali dengan sumberdaya finansial yang memadai. Pemiihnya semu sebab loyalitasnya terbeli oleh silaunya sumberdaya material yang dimilikinya. Pemlih seperti ini punya kesetiaan yang gampang dibeli. Ketika partai itu menggelar musyawarah, maka diperkirakan smeuanya akan berpaling dari Aburizal. Inilah hukuman yang diterimanya atas tidak bekerjanya semua mesin partai dikarenakan sibuk mengurus konflik.

Bagi Aburizal posisi sekarang adalah skakmat. Kartu terakhir yang dikeluarkannya adalah bertahan selama mungkin, sembari membuka ruang negosiasi bagi semua kelompok di partai itu. Namun, pilihan ini sepertinya sulit. Kekuatan kubu lawannya semakin bertambah. Semua pihak mulai bergabung untuk merntuhkan dinasti serta benteng terakhir yang dimilikinya. Kekuatan yang dihadapinya laksana air bah, dan dirinya bukanlah Musa yang sanggup membelah air bah itu.

Aburizal ibarat Kapten John Smith, nakhoda kapal Titanic yang sendirian di ruang nakhoda saat air bah mulai memasuki kapal, dan semua penumpang berlarian untuk menyelamatkan diri. Di ruang itu, ia masih berharap ada keajaiban yang kelak akan menyelamatkannya, sekaligus merawat namanya di pusaran sejarah sebagai sosok yang pernah berjasa bagi partai itu.

Ah, mungkinkah?