Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sutra Sengkang Warna Merah Marun

27 Desember 2006

AKHIRNYA selesai juga mendampingi ujian promosi calon doktor. Rasanya lelah juga menjadi ajudan dan harus mengingatkan pertanyaan mana yang harus dijawab.

Aku tidak sendirian. Aku justru ditemani seorang sohibku yaitu Fikriyah. Di sela-sela pekerjaannya yang padat sebagai staf ahli, ia mau saja menemaniku untuk mendampingi si calon doktor itu. Oh ya, kali ini aku tidak mengenakan jaket kuning (yah, untunglah). Aku mengenakan baju batik sutra berwarna merah marun. Baju itu terlihat sangat indah di acara promosi doktor ini. Batik ini terbuat dari bahan sutra dari Sengkang (Sulsel), dipinjamkan oleh Pak Azis, seorang mahasiswa program doktor asal Sulsel yang juga menjadi sohibku.

Pada saat ke kampus, aku belum mengenakan batik itu. Aku mengenakan baju kaos oblong warna merah dan memakai celana kain warna hitam serta sepatu. Kusimpan baju batik itu dalam tas ranselku. Saat tiba di ruang sidang, tiba-tiba semua mata menoleh ke arahku sambil memprotes. Mulai dari sekretaris program yaitu Mbak Wati, Mbak Wiwin, Mbak Tina, sampai si calon doktor, ikut-ikutan protes kenapa aku belum mengenakan baju batik. Aku cuma tersenyum sambil menunjuk tasku.

Rasanya seru juga melihat ujian promosi doktor. Masing-masing penguji akan bertanya sesuai dengan kepakarannya. Di antara para penguji, aku mengapresiasi beberapa orang yaitu Prof Robert Lawang, Prof Achmad Fedyani, dan Dr Iwan Tjitradjaja. Pertanyaan mereka begitu cerdas dan langsung menyentuh substansi yang dibahas.

Oh ya, peserta ujian doktor kali ini bernama Saharuddin. Dia dosen IPB dan ternyata berasal dari Raha, Sultra. Aku kaget juga karena Raha itu di dekat Pulau Buton. Secara kultur, kami tak jauh berbeda. Saat ujian, ada begitu banyak orang Raha yang datang menyaksikan. Mereka rata-rata kuliah di Bogor. AKu sempat bercengrama dengan mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang sempat sekolah di Bau-bau. Wah, menyenangkan juga kumpul dengan sesama warga Sulawesi Tenggara. Ah, aku jadi rindu pulang nih....

Sial, Aku Harus Pakai Jaket Kuning

SETIAP kali ada ujian promosi doktor, akan ada mahasiswa yang memakai baju batik atau jaket kuning (jakun) --jaket almamater UI-- untuk mendampingi si calon doktor saat menjawab pertanyaan. Biasanya, mekanismenya dilakukan secara acak dan mahasiswa yang ditunjuk harus bersedia. Meski akan pakai jaket kuning ala Soe Hok Gie, aku tetap merasa stres. SIal, aku tiba-tiba dapat giliran untuk mendampingi calon doktor itu.

Aku akan menjadi ajudan dan harus mendampingi calon doktor di ajang promosi. Ia membantu mengingatkan kalau ada pertanyaan yang belum terjawab atau mengingatkan kalau lupa sesuatu. Acara promosi itu hanya merupakan ajang seremonial dan show saja. Acara ini akan dihadiri seluruh kolega sang calon doktor termasuk para dosen penguji. Dan di acara itu, aku harus jadi ajudan.

Tiba-tiba saja, aku membayangkan jadi pemegang pancasila pada saat upacara bendera di masa Sekolah dulu. Aku paling nggak mau jadi pemegang pancasila saat upacara. Bayangkan, berdiri di tengah lapangan untuk menemani pembina upacara yaitu kepala sekolah. Betapa stresnya. Kini, aku menjalani hal yang sama.

Aku tak mengerti apa tujuannya mahasiswa dijadikan ajudan doktor. Mungkin untuk mengasah motivasi dan menumbuhkan tekad agar melanjutkan pendidikan sampai tingkat doktor seperti yang didampingi itu. AKu tak tahu.

Independence Day

23 Desember 2006

AKHIRNYA aku merasakan atmosfer kemerdekaan. Aku benar-benar bahagia karena menyelesaikan semua ujian final test. Meski untuk itu, badanku lelah karena begadang dan bikin tugas. Yang penting selesai juga.

Dari empat mata kuliah yang kuambil, hanya satu mata kuliah yang menyelenggarakan ujian tulis. Sisanya berupa tugas yang harus diselesaikan di rumah. Tapi, susahnya minta ampun. Untuk menyelesaikan tugas itu, butuh membaca banyak buku. Itupun tak ada jaminan kalau membaca buku akan membawa pada pemahaman dan bisa menjawab soal dengan baik. But, itulah dinamikanya perkuliahan.

Kemarin aku juga bahagia. Mata kuliah psikologi nilainya udah keluar. AKu dapat nilai A. Padahal, aku rasa ujianku pas-pasan. Kok bisa dapat A? Ah, masa bodo. Aku senang karena jika ada mata kuliah lain yang hasilnya pas-pasan, IP-ku tidak akan jeblok karena udah ada yang dapat nilai A. Mestinya rasa senang ini dirayakan. Cuma, gimana caranya dirayakan kalau uang di kantongku pas-pasan. Yang bisa aku lakukan adalah menyusun prioritas apa yang harus dilakukan saat ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk mengisi masa libur sekaligus mencari cara untuk bayar SPP.

Gandhi, The Greatest Man....

(Dua hari lalu, aku nonton film berjudul Gandhi yang disutradarai Richard Attenborough serta diperankan aktor Ben Kingsley di kampus UI. Aku begitu tersentuh dan ingin "menangkap" jejak film itu pada esai ini).........


GANDHI membaca novel karya sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. Aku tak tahu novel apa yang dibaca pria tua dan renta ini. Tapi aku perkirakan Gandhi membaca novel paling dahsyat dan menggetarkan dari Tolstoy yang berjudul From War and Peace. Novel ini ditulis pada tahun 1886 dan berkisah tentang kekaisaran Napoleon Bonaparte yang menginvasi Rusia --negara asal Tolstoy-- dan mengguratkan kisah dan satire penuh sedu sedan tentang kata damai.

Apa yang membekas di hati pria tua renta bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi ini? Sebuah getar ataukah pencerahan (enlightment) yang turun dari langit dan memasuki kalbunya. Ataukah sebuah refleksi tentang begitu sulitnya dan begitu berdarah-darahnya menegakkan kata damai di tengah belantara keangkuhan manusia. Entahlah. Aku tak tahu.

Dua hari yang lalu –di sela jadwal ujian yang padat—aku menonton film lama berjudul Gandhi dan diperankan aktor masyhur Inggris bernama Ben Kingsley. Film ini diputar di kampus usai diskusi tentang mereka yang mewarnai sejarah. Film ini begitu menggugah hingga kilasan gambarnya terus melintas-lintas di benakku selama dua hari. Sampai-sampai aku mimpi ketemu Gandhi.

Aku tak bisa melupakan adegan ketika Gandhi wafat hingga menggetarkan India pada 30 Januari 1948, dua tahun setelah ia memerdekakan negerinya. Nyaris seluruh penduduk India menyemut di jalanan demi melepas jenazah sang Mahatma –dalam bahasa Sansekerta, kata ini bermakna “Great Soul” atau Jiwa Agung—untuk dibakar dalam sebuah peristiwa kolosal yang terbesar di India. Baik tua dan muda, miskin atau kaya, semuanya berdiri rapi dan menangis sesunggukan dengan atau tanpa suara atas tewasnya pria yang cintanya pada India mengalir bak sungai deras.

Seorang reporter BBC London melaporkan peristiwa itu dengan begitu menyentuh. “Hari ini kita menyaksikan kesedihan yang didengungkan dengan lirih oleh jutaan warga India. Mereka sedang menangisi kematian seorang pria bernama Gandhi. Seorang pria tanpa kekayaan. Tanpa harta yang melekat di badannya. Tanpa jabatan dan kedudukan. Apalagi prestise. Seorang pria yang hanya punya sekeping hati. Namun sekeping hati itu telah mengharu-biru dunia. Sekeping hati itu telah mencairkan seluruh batas keangkuhan manusia. Sekeping hati yang mungkin lebih agung dari Yesus pada ratusan tahun silam.”

Bayangkan, “lebih besar dari Yesus!!!!” Gandhi telah menunjukkan pada dunia kalau manusia bisa mempunyai keluasan hati yang tak bertepi. Jika Yesus mengajari manusia akan cinta yang dahsyat namun Gandhi menjelajah lebih jauh lagi. Ia berhasil menunjukkan kalau cinta memiliki kedalaman dan keindahan estetik yang bisa mengejawantah menjadi sebuah gerakan sosial dan mengemansipasi masyarakat, sesuatu yang belum sempat dilakukan Yesus. Gandhi bisa membawa masyarakat pada pencerahan atau apa yang disebut Heidegger sebagai “membawanya dalam terang dan memisahnya dari gelap.”

Gandhi telah memporak-porandakan semua bangunan teori dari antropolog dan psikolog tentang watak manusia. Ia juga meruntuhkan teori modernitas dan kecenderungan anti mitos dan desakralisasi ketokohan. Ia menunjukkan pada dunia bahwa perlawanan tak mesti dengan cara konflik bersenjata atau cara dar der dor. Ia melakukannya dengan penuh cinta serta kemampuan membaca spirit bangsanya yang tengah dilanda kemiskinan dan keterbelakangan. Wajar saja jika dia menjadi pahlawan karena integritas serta komitmen yang luar biasa untuk bersama warganya yang miskin.

Di Afrika Selatan tahun 1896, di saat membaca Leo Tolstoy, Gandhi masih berprofesi sebagai pengacara muda yang berpakaian necis dan jas licin. Di dalam kereta itu, alumnus Fakultas Hukum di University of College ini membandingkan Tolstoy dengan cinta kasih Yesus. Gandhi bukanlah Kristen. Ia hanyalah seorang Hindu yang taat namun begitu mengidolakan Yesus. Ia telah menyerap inti dan baris terpenting dari agama dan kisah besar yang dituturkan dari generasi ke generasi.

Usai membaca, ia merenung dan memanggil kondektur kereta api yang berkebangsaan Eropa. Ah, tak disangka, ia menjadi obyek dari fragmen menyedihkan tentang rasialisme. Ia diusir dan dihardik dari kereta hanya karena ia adalah seorang India dan tidak berkulit putih. “Saya seorang pengacara dan punya uang untuk membayar kelas eksekutif dari kereta ini,” teriaknya sambil menunjukkan tiket. Tapi kondektur kereta yang berkulit putih itu tak mau tahu. Ia menendang pantat Gandhi hingga jatuh dari stasiun dan kemudian melemparkan kopernya. Gandhi ingin berteriak dan melawan. Tapi ia ingat ajaran cinta dari Yesus yang dengan bijak berkata,”Jika seseorang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.”

Ajaran cinta itu begitu membekas hingga ia tak peduli meski diusir bagai binatang ternak. Akhir tahun 1800-an adalah masa ketika rasialisme dan superioritas kulit putih menemukan momentumnya. Namun di Afrika, Gandhi menjadi pahlawan ketika mengorganisir ribuan buruh dan karyawan pabrik asal India untuk melakukan mogok massal sebagai bentuk protes atas diskriminasi. Gandhi melawan pasukan bersenjata dengan ribuan pengikutnya hanya dengan cara duduk tiarap di jalan raya dan pasrah meski dipukuli. Ia dipenjara namun tetap sabar dan terus mengingat Yesus. Tapi kepasrahan itu membawa dampak besar ketika seluruh bangsa Afrika langsung luluh hingga memenuhi semua tuntutannya.

Hingga kembali ke India, ia tak pernah surut mengobarkan api cinta itu. Saat itu, negerinya tengah dijajah Inggris. Penjajahan itu berlangsung dalam bentuk pencaplokan wilayah, penyiksaan fisik, serta pelestarian ketergantungan rakyat India pada seluruh produk Inggris. Tiap hari ada saja warga India yang mati baik karena penyiksaan maupun karena kelaparan berkepanjangan. Gandhi tersentuh. Ia lalu melepas jasnya dan berganti pakaian dengan hanya selembar kain. Di saat banyak pemimpin nasionalis berpakaian necis dan hidup mewah, ia justru memilih hidup miskin sebagaimana rakyat India.

Ia menjadikan kemiskinan sebagai sebuah pilihan. Ia memilih hidup asketis, miskin, dan tidak berdaya, demi mendekatkan diri pada bangsanya. Ia tak peduli meski dipenjara dengan berbagai tuduhan sepanjang itu dilakukan demi menghentikan aksi sewenang-wenang Inggris. Tubuhnya yang hitam dan renta hanya dibalut selembar kain putih. Badannya yang kurus terlihat jelas. Bicaranya tetap fasih dan menggetarkan warga yang selalu datang minta petunjuk. Lewat laku spiritual seperti itu, ia menjadi idola seluruh publik. Dalam kemiskinan itu, ia lalu menyusun strategi. Ia melihat betapa warga India begitu tergantung pada produk Inggris yaitu garam dan pakaian. Gandhi lalu mengorganisir seluruh warga untuk jalan kaki ke lautan. Di situ ia mengambil air laut dan mengolahnya menjadi garam. Ia menyerukan agar berhenti menggunakan produk Inggris.

Aku paling tersentuh adegan saat melihat Gandhi menggunakan alat penenun dan menenun kainnya sendiri. Jutaan warga India ikut menenun biar tidak memberi ruang bagi Inggris untuk melestarikan ketergantungan. Ia telah mengajarkan cinta sekaligus kemandirian pada kekuatan sendiri. Ia mengajari warga India untuk tidak menjadi barat dan tak malu, apalagi minder, pada identitas India. Ia tak bergeming dengan propaganda Inggris kalau India itu jorok, kumuh, dan rusak. Ia punya cinta dan lewat itu ia menghentikan seluruh kerusuhan. Bahkan, ia menghentikan kekejaman Inggris pada India hingga akhirnya India bisa merdeka. Di saat merdeka, ia menolak jabatan dan meminta pengikutnya yaitu Pandit Jawarharlal Nehru untuk menjadi pemimpin. Ia menolak jabatan dan memilih menjadi rakyat jelata yang hanya memakai selembar kain dan tidak pakai sandal. Semuanya dilakukan dengan cinta yang dimanifestasikan lewat puasa.

Aku rasa, Gandhi menjadi monumen besar yang dipahat dalam sejarah peradaban manusia. Ia berhasil menjadi bentuk lain dari keunikan manusia di abad 21 yang kian materialistis dan mendewakan materi hingga mengincar kekayaan dengan berbagai cara. Ia juga menjadi prasasti dari cinta kasih yang mengejawantah dan sanggup membebaskan bangsanya. Lantas, apa yang tersisa dari Gandhi? Yang tersisa adalah India yang perkasa. Penguasaan atas teknologi informasi dan nuklir yang kian meninggi, perlahan menggeliat menjadi raksasa ekonomi hingga mengancam AS, serta sebuah negeri eksotik di mana warganya masih melestarikan meditasi, yoga. Lewat itu mereka memasuki gerbang modernisasi. Lantas, bagaimana dengan bangsa Indonesia? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Stress Mikir Ujian

Minggu depan, beberapa mata kuliah sudah mulai ujian. Kayaknya, puncak masa stress perkuliahan sebentar lagi akan menjelang. AKu udah deg-degan membayangkan betapa beratnya ujian ini.

AKu sudah mulai belajar keras. Targetku adalah bisa lulus dengan nilai yang maksimal. Setidaknya itulah pencapaianku untuk semester pertama di kampus kuning ini. Aku tak muluk-muluk. Rasanya kuliah ini begitu berat bagiku. Bukan karena materinya yaa. Aku merasa berat memikirkan bagaimana menghadapi masalah keuangan saat kuliah. Inilah bedanya antara aku dan teman-temanku.

Kalau mereka bisa kuliah dengan lancar dan tak ada masalah, aku jusru penuh dengan persoalan. Konsentrasiku kerap buyar kalau memikirkan keuangan yang hingga kini belum stabil juga. Makanya, kalaupun hasilnya tak maksimal, mungkin itu adalah konsekuensi dari beratnya menghadapi persoalan keuangan.

Tapi saya belajar untuk menghadapinya dengan pnuh keseriusan. Dari semua mata kuliah, palingan cuma satu yang aku rasa agak bermasalah. Itupun mata kuliah pilihan saja. Setelah itu, semuanya berjalan lancar dan tak ada masalah berarti.

Na, hal yang paling berat aku pikirkan sekarang adalah bagaimana biaya kuliahku nanti? AKu stress kalau mengingat kenyataan harus membayar SPP pada bulan Januari ini. Soalnya, untuk uruisan ini, UI begitu kejam dan kadang tak peduli dengan persoalan yang dihadapi oleh mahasiswanya. Rasa-rasanya tak ada ampun bagi siapapun yang tidak bayar. Itu yang banyak terjadi pada tyeman mahasiswa Makassar yang kemudian gagal merampungkan studi.

Aku ingat kalau masih punya honor penelitian dari Kak Makbul sebesar Rp 500 ribu. Kemudian, masih ada sisa gajiku di PT VSM sebesar Rp 2 juta. Masih ada honor buat buku untuk KBRI Malaysia. Cuma, jumlahnya aku belum tahu. Di luar itu, akua belum punya sumber duit yang lain. Kayaknya, aku harus bekerja keras dan melakukan gerilya demi bisa menuntaskan kuliah ini.

Itu belum seberapa jika membayangkan bagaimana harus mencukupi kebutuhan makan minum setiap hari. Ah, ingatan itu cukup mengganggu persiapan menghadapi final test ini.

Arjun Appadurai dan Sensasi Globalisasi




SEMALAM aku membaca beberapa wawancara dan tulisan dari antropolog India yaitu Arjun Appadurai. Aku tertarik membaca Appadurai karena nyaris dalam setiap literatur globalisasi, nama Appadurai pasti disebut. Ia memiliki concern yang sangat dalam pada studi tentang globalisasi sebagai sebuah gejala kebudayaan kontemporer. 

Aku rasa, analisis Appadurai lebih jenial jika dibandingkan dengan Alvin Toffler yang terkenal itu. Meski bacaanku pada Toffler tidak banyak, namun aku bisa merasakan kalau Toffler hanya berkutat pada masa depan (maklumlah, ia kan futurolog), sedangkan Appadurai justru menyelam jauh ke dalam masa kini dan masa lalu. 

Ia menelusuri dampak globalisasi serta menjelaskan fenomena ini ke dalam berbagai istilah mulai dari ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, financescapes, dan ideoscapes. Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan Appadurai dengan Toffler. Tidak kok. Aku hendak berkata kalau studi Appadurai tentang globalisasi sungguh unik. 

Selama ini, wacana globalisasi banyak diwarnai oleh analisis ekonomi politik internasional. Aku jarang menemukan analisis terhadap globalisasi yang melihatnya dari sisi kultural serta implikasi metodologisnya pada perubahan sosial. Kalaupun ada yang menganalisis aspek kultural, maka biasanya itu dilakukan para sosiolog dan analisis itu kerap hanya berada di permukaan dan tidak menyelam jauh ke samudera persoalan. 

 Namun Appadurai berbeda. Aku melihat Appadurai sebagai seorang "Dilthey India" yang melakukan kritikan pada sejarah hari ini sekaligus membangun proyek epistemologi yang tidak didominasi oleh tradisi positivistik. Tidak dikuasai oleh pandangan yang Eropasentris atau wacana dominan sebagaimana digunakan "barat" ketika memandang "timur." 

Wajar saja kalau nama profesor ini kemudian ditempatkan pada gerbang pemikir cultural studies sebagaimana Edward Said, Stuart Hall, ataupun Michel Foucault. Appadurai juga melakukan refleksi internal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Talal Asad dalam karyanya Anthropology and The Colonial Encounter. 

Refleksi ini bermuara pada gagasan kalau ada krisis atau masalah dalam dunia epistemologi. Bahwa ada mekanisme kuasa yang tengah bekerja dan bersemayam di balik sains. Sesuatu yang kemudian digunakan sebagai lanjutan dari proyek kolonialisme dan imperialisme. Mungkin refleksi itu bisa dilakukan karena ia dibesarkan di India sebagai bagian dari negara dunia ketiga. 

Justru dengan identitas India itu, Appadurai kemudian memiliki ciri dan wawasan tersendiri ketika menjadi konsultan senior di Global Initiatives at The New School di New York. Di kota New York pula, Appadurai mendapatkan penghargaan kehormatan sebagai profesor sebagaimana John Dewey dalam bidang ilmu sosial. 

Hingga kini, Appadurai menjadi Provost and Senior Vice President for Academic Affairs at The New School. Ia lahir dan belajar di Bombay. Dia belajar di St. Xavier's High School and melanjutkan pendidikan di Elphinstone College sebelum datang ke Amerika Serikat (AS). Dia meraih gelar BA dari Brandeis University pada tahun 1967, dan gelar M.A. (1973) serta Ph.D. (1976) dari Universitas Chicago. 

 Nah, apa yang khas dari pandangannya tentang globalisasi? Appadurai menguraikan kalau globalisasi bukan sekedar proyek homogenisasi. Homogenisasi ini menjadi concern studi dari para pengamat globalisasi seperti Francis Fukuyama, Dennis Goulet, ataupun dari beberapa pengamat media massa seperti Hammelink dan Schiller.

Jika yang lain melihat adanya proses penyeragaman budaya, maka Appadurai justru melihat perubahan yang tidak berlangsung secara linear. Menurutnya, ada respon lokal atau adaptasi secara lokalitas terhadap semua proyek keseragaman tersebut. Respon itu kemudian melahirkan sebuah bentuk heterogenitas. Adaptasi lokal ini menyebabkan adanya variasi atau keberagaman dalam merespon satu kebudayaan. 

 Hadirnya Coca-Cola tidak lantas membuat warga Indonesia serentak menjadi anak kandung kebudayaan barat. Tapi terjadi adaptasi dan respon yang bisa jadi berbeda dengan barat. Jangan heran kalau melihat warga Indonesia menganggap makan di McDonald sebagai hal yang mewah, padahal di AS itu justru dilihat sebagai “junk food” atau makanan sampah Appadurai juga melihat proses perubahan kebudayaan itu terjadi pada cakupan atau scope yang kecil. 

Ini bisa menjelaskan kalau Korea sempat mengalami proses Jepangisasi, Srilanka mengalami Indianisasi, Kamboja mengalami Vietnamisasi, hingga Rusianisasi untuk orang Armenia dan Baltik. Proses perubahan budaya ini berlangsung secara tidak sadar dan berada pada mindset atau kerangka berpikir. Artinya, globalisasi tidaklah sekedar proyek barat ke negara dunia ketiga namun lebih dilihat sebagai aspek pelebaran ruang yang kemudian membawa implikasi pada aspek metodologis. 

Bukan sekedar aspek geografis tapi lebih merujuk pada aspek psikografis yang bermuara pada gaya hidup dan sikap dalam memandang sesuatu. Lantas, apa yang menyebabkan perubahan itu? Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai IMAJINARY atau proses imajinasi sosial. 

Menurtnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, Ideoscapes. Istilah SCAPE, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. 

Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang IMAGINED COMMUNITY atau komunitas terbayang. 

 Dalam pandangan ini, apa yang disebut identitas tidak lebih dari sebentuk konstruksi pemikiran atas sesuatu. Tidak lebih dari bentuk idealisasi atau proses membayang-bayangkan sesuatu. So, apa yang disebut sebagai lokal-nasional, Bugis, Jawa ataupun Indonesia, tidak lebih dari proses membayangkan sesuatu itu. Bagi Appadurai, imajinasi adalah bagian dari praktik sosial. 

Sebentuk fantasi yang membuat kita seakan lari dari realitas dan lari dari bentuk dunia yang dibentuk dari sejumlah strutur dan asumsi-asumsi. Imajinasi menjadi field yang terorganisir dari praktik sosial. Bentuk negosiasi antara agen individual dan global. Negosiasi ini disebut Appadurai sebagai fields of possibility. 

 Ah, capek. Cukup sampai sini aja yaaa.....


Pesona Intelektual dan Rekahan Apresiasi

1 Desember 2006

KEMARIN aku menghadiri diskusi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Sebuah diskusi yang interaktif dan seru. Temanya adalah Warisan Geertz untuk Indonesia. Pembicara yang hadir adalah Ignas Kleden, PM Laksono, dan Eri Seda.

Dalam jadwal tertulis kalau acara ini akan dimoderatori oleh Iwan Tjitra Djaja. Ternyata, hingga acara dimulai, Iwan tak juga hadir. Akhirnya, diskusi tetap digelar, meskipun menghadirkan seorang moderator pengganti. Sayang sekali, padahal beberapa teman sesama mahasiswa UI justru ingin melihat Pak Iwan mengadu argumen. Tapi tak apa.

Selain digelar Kompas, acara ini menghadirkan sejumlah penulis opini Kompas. Di antaranya adalah Effendy Gazali, Budiman Sudjatmiko, Agus Muhammad, Dita Indah Sari, Sukardi Rinakit, dan banyak lagi.

Aku sendiri hadir dalam diskusi ini sebagai peserta. Seorang teman dari Litbang Kompas mengundangku untuk hadir. Malah, aku juga menerima SMS dari Ignas Keleden yang memintaku untuk hadir dan menyimak gagasannya.

Dalam diskusi ini, relevansi pemikiran Clifford Geertz dibahas. Semuanya memberikan analisis terhadap studi Geertz serta posisi ilmu sosial hari ini. Rasa kagum atas kerja intelektual Geertz sangat terpancar di forum ini.

Barangkali, tak ada intelektual Indonesia yang bisa mencapai tataran seperti yang dicapai Geertz, sang profesor antropologi dari Harvard University itu. Ia menjadi prasasti dari dedikasi serta ikhtiar yang begitu dahsyat untuk mengembangkan studi budaya serta upaya untuk memaknai dengan dalam setiap ragam kebudayaan dan fenomena sosial.

Karya Geertz yang begitu banyak mulai dari The Interpretation of Culture, After The Fact, Local Knowledge, Work as Author, Negara Theater, hingga The Religion of Java, menyisakan tema-tema yang tak pernah habis dibahas. Satu bentuk persembahan kultural bagi ilmuwan Indonesia untuk mengikuti jejak dan dinamikanya.

Ah, aku tidak ingin berpanjang-panjang membahas tentang bagaimana posisi intelektual Geertz. Di acara itu, aku terkesima melihat bagaimana publik memandang sosok Ignas Kleden.

Apakah yang ada di benak Ignas? Begitu banyak orang yang datang dan memperkenalkan diri kepadanya. Begitu banyak apresiasi atas karya-karyanya yang begitu menggugah dan inspiratif. Bahkan, ada peserta diskusi --yang tak malu-malu-- menyebut buku Ignas yang berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan sebagai sumber inspirasinya.

Apa pula yang ada di benak ilmuwan yang beragama Katolik ini? Di acara itu ia tampil dengan begitu smart dan menguasai persoalan. Semua pertanyaan dan gugatan dari peserta diskusi bisa ditangkisnya. Pemahamannya begitu luas. Aku paling suka bagian ketika dia menjelaskan cara melihat secara proporsional seorang ilmuwan sosial. Menurutnya, harus dilihat dari dua sisi yaitu pengaruhnya pada body of knowledge (tubuh pengetahuan) dan tools of analytical (alat analisis). Dua hal ini laksana dua kepak sayap elang yang mengangkat ilmu pengetahuan membumbung tinggi ke angkasa.

Cara menjelaskannya begitu dalam. Semua ajakan debat diladeninya. Ia memberikan argumen dari sisi epistemologis. Penguasaannya pada dinamika teori kebudayaan dan ranah filsafat telah membuat Ignas tampil dengan sangat berbeda.

Dan itu menimbulkan apresisasi. Banyak pihak yang selalu mengutip gagasannya. Malah, begitu banyak orang yang ingin sekedar berjabat tangan dengannya

Aku teringat film Beautiful Mind tentang seorang fisikawan peraih nobel yaitu John Nash. Dalam film yang dibintangi Russel Crowe ini, ada beberapa adegan yang menurutku sangat menyentuh dan meninggalkan jejak di benakku.

Pada awal film, John Nash datang ke satu kantin di dekat kampusnya di Princeton University. Ia melihat seorang profesor yang berpengaruh memasuki kantin dan duduk di satu meja. Tiba-tiba saja, semua profesor lain serta tamu yang hadir di kantin mendatangi profesor itu sambil menjabat tangannya serta meletakkan pulpennya sebagai simbol apresiasi.

Nash sangat tersentuh melihat apresiasi itu. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian, justru ia yang berada pada posisi profesor itu. Di saat duduk di satu meja, semua profesor tiba-tiba saja datang menyalaminya dan ikut-ikut meletakkan pulpen sebagai tanda apresiasi. Ilmuwan yang selama puluhan tahun menderita skhizofrenia atau penyakit gila itu justru akhirnya mendapatkan apresiasi atas atas kontribusinya pada bidang fisika, ekonomi, serta pergulatan hidupnya yang penuh dinamika. Mulai dari penyakt skizophrenia-nya hingga ketulusan sang istri dalam menyembuhkannya hingga normal dan meraih nobel fisika.

Barangkali agak berlebihan jika menyamakan Ignas Kleden dengan John Nash. AKu cuma melihat titik singgungnya: bahwa intelektualitas bisa memiliki pesona yang menyengat. Sebuah gagasan intelektual bisa melahirkan rekahan apresiasi yang tulus dan tanpa interest. Yang ada adalah sebentuk kekaguman sebagai hasil dari titik tengkar debat dan proses menggeluti sebuah pemikiran secara intens.

Ternyata, masih ada saja ruang untuk apresiasi. Selalau saja ada titik untuk mengharagai potensi intelektualitas. Di negeri ini, masih ada ryuang itu, meski kapitalisme secara perlahan menjerat semuanya hingga kita seakan tergagap.


Tiah Bermalam di Kos

18 November 2006

KAKKAKU TIAH datang dan bermalam di rumahku yang luas ini. Akhirnya, ada juga keluargaku yang datang langsung melihat kehidupanku di Jakarta. Selama ini, mereka hanya mendengar bagaimana susahnya saya di Jakarta.

Kini, mereka sudah bisa mendengar penuturan Tiah yang datang ke Jakarta untuk membawakan presentasi tentang gizi dan kesehatan. Ia adatang bersama suaminya Kak Syam.

Saya menemui mereka di Pusat Perbelanjaan Mangga Dua. Seperti halnya orang daerah lain yang datang, mereka sangat mengagumi kota yang sumpek ini. Mereka tercengang melihat Jakarta dan menilainya sangat megah jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.

Mereka keliling ke berbagai pusat perbelanjaan dan menghabiskan banyak uang. Saya heran juga melihat gaya hidup mereka yang sangat boros. Untuk rekreasi di Dunia Fantasi, Ancol, mereka harus carter mobil sebesar Rp 300 ribu. Padahal, saya sudah kasih saran untuk naik kereta ke Stasiun Jakarta Kota dan membayar Rp 1.500 per orang. Kemudian naik taksi dan bayar cuma Rp 25 ribu.

Katanya sih, mau mengelilingi semua kawasan Ancol. Padahal, untuk mengelilingi Dunia Fantasi di ANcol saja, waktu sehari tidaklah memadai. Kayaknya, mereka dikerjai sama pemilik rumah yang mereka tempati. Mereka dikira orang kaya dari Makassar yang hendak berbelanja dan menhabiskan juang di Kota Jakarta. Yah, itulah persepsi warga Jakarta terhadap kami para pendatang.

Kembali ke borosnya pengeluaran kakakku. Seingatku, mereka sedang membangun rumah. Mereka selalu memikirkan biaya pembuatan pagar. APa boleh buat. Mereka dikerjai.

Semalam, kakakku akhirnya datang melihat kos-kosanku. Saat tiba di kos, ia beberapa kali tercengang. Ia tak menyangka kalau aku memiliki kos-kosan yang begini besar. Ia terheran-heran melihat kos-kosanku yang katanya sangat mewah untuk ukuran mahasiswa.

Saya cuma beruntung saja. Rumah kos ini begitu luas dan baru saya yang menempatinya. Dikarenakan sendirian, saya sering ketakutan di malam hari. Apalagi, seorang temanku di UI sering menakut-nakuti dan mengatakan kalau biasanya ada mahluk gaib yang menempati rumah kosong.

Kalau ditanya tentang apakah percaya sama mahluk gaib, saya selalu menjawab tidak. Saya menjawab itu karena nggak mau dibilang takut. Padahal, sesungguhnya saya sangat ketakutan pada mahluk baik yang bernama setan, iblis ataupun jin.

Saya pernah mendengar seorang antropolog yang mengatakan kalau ketakutan pada mahluk gaib adalah simbol dari kurangnya pengetahuan serta ketidakmampuan menggunakan sains sebagai cara untuk membaca berbagai gejala sosial.

Mahluk gaib juga kerap didefinisikan sebagai manifestasi dari ruang tertentu dalam diri manusia yang gagal mencapai Yang Maha Sempurna. Sebuah bentuk kegagalan mencari jawab secara metafisis atas berbagai persoalan yang dihadapi.

Berbagai defenisi itu tak juga mampu memutus lingkaran ketakutanku. Tetap saja khawatir dan membayangkan tiba-tiba saja ada sesuatu yang aneh. Malah, saat tidur aku suka terjaga kalau ada bunyi yang mencurigakan. Padahal, bisa jadi itu hanya bunyi tikus got yang sedang berlarian di selokan. Atau bisa jadi itu hanya bunyi logam yang memuai akibat cuaca dingin.

Lingkar Hermenetika: Sebuah Asal Muasal

KONSEP Lingkar Hermeneutik Paul Ricoeur mendapatkan inspirasi dari konsep yang dikemukakan dua filsuf Jerman yaitu Imanuel Kant (1724-1804) dan Georg Willem Hegel (1770-1831). Ricoeur menggabungkan konsep logika Kant dan konsep dialektika Hegel untuk merumuskan konsep Lingkar Hermeneutik.

Kant memaparkan konsep tentang logika kritis sebagai bentuk kritikan terhadap rasionalitas manusia modern. Dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781), ia memaparkan basis epistemologi pengalaman manusia. Menurutnya, pengetahuan senantiasa bergerak dari hal yang sifatnya empiris (dapat diindrai) dan rasional hingga tahapan rasio kritis di mana pikiran manusia membentuk kategori-kategori yang sifatnya apriori. Kant membedakan antara pengetahuan empiris dan apriori. Jika pengetahuan empiris berdasarkan pada persepsi atau pengalaman, maka apriori justru berkembang dalam pikiran manusia sebagai sintesis dari beberapa ide atau konsep tentang sesuatu. Kant menyebut epistemologi kritis bisa membantu perkembangan ilmu pengetahuan[1].

Sedangkan konsep Hegel tentang dialektika adalah upaya untuk menemukan kebenaran filosofis melalui perbenturan atau konfrontasi antara satu gagasan (tesa) dengan gagasan lainnya (antitesa) hingga melahirkan sintesa. Sebelum Hegel, gagasan dialektika sudah ada dalam karya filsuf Yunani kuno Plato yaitu Dialogues. Dialektika juga ditemukan dalam catatan-catatan Aristoteles yang hendak mencari dasar filosofis ilmu pengetahuan dan menggunakan istilah dialektika sebagai sinonim dari logika ilmu. Hanya saja, Hegel justru menjadi pihak yang lebih dikenal publik sebagai filsuf yang menjadikan dialektika sebagai inti pandangan filsafatnya.[2]

Dalam pahaman Hegel, gagasan atau ide berkembang melalui proses yang sifatnya dialektis. Sebuah konsep akan berhadapan dengan antitesis konsep itu hingga melahirkan sintesis yang merupakan titik tengah dari konfrontasi tersebut. Baginya, sintesa berada pada level yang lebih tinggi dari tesa dan antitesa.

Ricoeur menggabungkan logika Kant dan dialektika Hegel untuk mengembangkan teori tentang interpretasi. Ricoeur menghilangkan aspek sintesa dalam dialektika Hegel. Menurutnya, sintesa tidak akan pernah lahir sebab dialektika adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berkesudahan. Gagasan dialektika Ricoeur inilah yang kemudian disebut sebagai Lingkar Hermeneutik dalam studi tentang penafsiran.

Lingkar Hermeneutik Menurut Schleiermacher dan Dilthey

Filsuf Jerman Friedrich Schleiermacher (1768-1834) menjadi tokoh pembaharu yang memposisikan hermeneutik sebagai metode umum untuk segala sesuatu. Ia mendefinisikan Lingkar Hermeneutik sebagai upaya untuk menafsirkan sesuatu melalui dialektika antara gramatikal dan teknis psikologis. Gramatikal adalah memahami makna satu kata dengan cara menempatkannya pada konteks kata yang lain. Sebuah kalimat merupakan kesatuan yang dibentuk oleh kata. Makna sebuah kata dipahami dengan melihat kalimat atau relasinya dengan kata yang lain. Demikian pula sebaliknya, makna sebuah kalimat bergantung pada makna kata dalam kesatuan tersebut. Interaksi dialektis antara keseluruhan dan bagian itu memberikan makna yang lain. Inilah yang disebut sebagai Lingkar Hermeneutik. Kata Schleiermacher, makna gramatikal berupa makna proposisi atau makna yang sudah dibakukan oleh konvensi sosial.

Sedangkan teknis psikologis berkaitan dengan konteks psikologis dari seorang pengarang ketika mengarang sesuatu. Ini juga mencakup maksud pengarang yang ditentukan oleh intensi atau sesuatu yang berasal dari dalam dirinya.

Senada dengan gagasan Schleiermacher, filsuf Jerman Wilhelm Dilthey (1833-1911) menjadi tokoh yang juga menorehkan tinta emas dalam pengembangan teori hermeneutika. Dilthey hidup pada masa ketika filsafat idealisme Hegel sedang jatuh dan ditumbangkan oleh positivisme. Pemikiran ilmu alam yang ditandai metode erklaren (eksplanasi) menjadi pemikiran yang mendominasi seluruh bangunan ilmiah. Dilthey lalu mengembangkan pemikiran tentang verstehen (understanding) sebagai bentuk gugatan pada ilmu yang terlampau positivistik. Verstehen dilahirkan dalam bingkai kritik sejarah dan ikhtiar memunculkan human science. [3]

Dilthey juga menjelaskan tentang Lingkar Hermeneutik secara rinci. Menurutnya, Lingkar Hermeneutik terdiri atas:

  1. Hubungan melingkar antara Part (sebagian) dan whole (keseluruhan)

Lingkar Hermeneutik adalah dialektika atau perputaran antara part (bagian) dan whole (keseluruhan) dalam memahami sesuatu. Part secara sederhana bisa didefinisikan sebagai makna kata secara tunggal. Makna kata secara denotasi (sebenarnya). Misalnya, kata Ambon bermakna nama identitas kota yang terletak di Kepulauan Maluku. Sedangkan whole (keseluruhan) adalah melihat makna kata dalam relasinya dengan kata-kata yang lain dalam satu struktur kalimat. Misalnya kalimat,”Saya makan pisang ambon”. Kata Ambon langsung memiliki makna yang berbeda ketika ditempatkan dalam konteks kalimat.

  1. Lingkar antara Ends dan Means

Ends adalah tujuan sedangkan means adalah makna. Maksudnya adalah setiap tindakan manusia pasti mempunyai tujuan. Naluri yang ada pada diri manusia adalah memiliki arah serta tujuan ke mana hendak bergerak. Demi mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan sejumlah strategi atau teknik.

  1. Lingkar di antara inner dan outer.

Inner adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia baik itu menyangkut pikiran, perasaan, serta persepsi akan sesuatu. Sedangkan Outer adalah apa yang ada di luar diri manusia berupa tindakan, serta ekspresi yang dipancarkan seseorang. Lingkaran Inner dan Outer adalah ketegangan antara apa yang ada dalam diri dan apa yang diekspresikan. Ketegangan antara ekspresi dan mental state. Contoh dari lingkaran di antara inner dan outer ini adalah konsep tentang orang Jawa. Apakah memahami konsep orang Jawa berdasarkan nilai yang ada dalam dirinya ataukah memahami nilai melalui ekspresi dan mental state. Contoh lain adalah apakah seseorang memahami bahasa akan membawanya pada pemahaman akan makna ataukah pemahaman akan makna yang kemudian membawanya pada pemahaman akan bahasa.

  1. Kekuasaan

Setiap tindakan manusia akan dipahami jika mempunyai sifat menguasai (affecting) atau dikuasai (being affected). Contohnya adalah pertanyaan apakah kebudayaan Jawa yang membentuk manusia Jawa ataukah manusia Jawa yang membentuk kebudayaan Jawa. Di Indonesia, isu ini menjadi isu yang demikian penting sebagaimana terlihat pada polemik tentang posisi manusia Indonesia antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Ki Hadjar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo.[4] Demikian pula polemik kebudayaan yang memperhadapkan penganut sastra realisme sosialis Pramoedya Ananta Toer dan berhadapan dengan penganut sastra humanisme universal yang diusung HB Jassin, Taufik Ismail dkk[5]. Terakhir, perdebatan tentang sastra kontekstual yang disulut Arief Budiman dan Ariel Heryanto di tahun 80-an[6]. Semuanya sama-sama mempersoalkan identitas apakah dipengaruhi ataukah tidak dipengaruhi sesuatu.

  1. Kategori Nilai (Value)

Dalam menghadapi setiap tindakan tidak hanya dituntut ekspresi, tetapi sekaligus bagaimana evaluasi dan persepsi nilai.

Lingkar Hermeneutik Menurut Gadamer

Tokoh selanjutnya yang memaparkan gagasan tentang hermeneutik adalah Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans Georg Gadamer (1900-2002). Jika pada masa Schleiermacher dan Dilthey, hermeneutik menjadi persoalan epistemologis dan lebih menekankan pada intensi pengarang (author), maka Heidegger dan Gadamer justru membawa hermeneutik ke dalam persoalan ontologis. Keduanya juga menilai upaya memahami pengarang adalah hal yang impossible (mustahil) sebab akan selalu ada jarak sejaran (historical distance) antara penafsir dan pengarang. Lingkar Hermeneutik menurut Gadamer:

- Lingkar antara distanciation (jarak sejarah) dengan nearness (kedekatan).

Menurut Gadamer, dalam upaya menafsirkan satu teks, tidak mungkin menghilangkan historical distance atau jarak sejarah antara pengarang dan penginterpretasi. Jarak sejarah tidak pernah bisa dieliminasi karena konteks historis pengarang dan penginterpretasi tidak bisa dipertemukan. Jadi, persoalannya bukanlah bagaimana menghapus jarak tetapi bagaimana membuat jarak menjadi lebih produktif. Bagi Gadamer, sebuah teks masa lampau bisa memberi akses untuk memberikan hermeneutical circle (lingkar hermeneutik) yang tidak pernah putus antara distansiasi (jarak sejarah) dengan kedekatan (effective history).

- Lingkar sejarah sebagai effective history dan sejarah sebagai sesuatu yang tidak dikonstruksi

- Lingkar antara No Ematic Understanding dan No Etic Understanding

No Ematic Understanding adalah what is say. Sedangkan No Etic Understanding adalah act of understanding atau tindakan pemahaman sesuatu. Dialektika keduanya bermakna kita hanya bisa memahami bahasa jika kita mengerti apa yang dikatakan

Dialektika Langue dan Parole

Salah satu tokoh yang juga dianggap mempengaruhi studi hermeneutik adalah ahli linguistik berkebangsaan Swiss yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913). Ia memiliki gagasan tentang adanya struktur bahasa hingga mempengaruhi lahirnya aliran teori dalam linguistik yaitu strukturalisme. Doktrin Saussure adalah bahasa dianggap sebagai obyek dan pada dasarnya memiliki dua aspek yaitu aspek langue dan aspek parole. Linguistik mempelajari aspek langue sebagai aspek sosial dari bahasa. Langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena langue ini dimiliki bersama. Langue dalam konsepsi Saussure mirip dengan Competence dalam pandangan Noam Chomsky[7]. Langue merupakan fenomena kolektif. Dia merupakan sebuah sistem, sebuah fakta sosial (dalam bahas Emile Durkheim) atau aturan-aturan, norma-norma antar personal (interpersonal rules and norms) yang bersifat tidak disadari.

Sedangkan parole adalah bahasa sebagaimana digunakan. Parole adalah apa yang diwujudkan ketika menggunakan sebuah bahasa dalam percakapan atau ketika menyampaikan pesan tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Menurut Saussure, linguistik struktural sebagai ilmu tidak memperhatikan aspek Parole meskipun dikotomi langue-parole sangat dikenal dalam dunia linguistik.

Saussure juga membedakan antara aspek sinkronis dan diakronis (terkait historisitas) dalam studi bahasa. Namun, ia hanya memberikan prioritas pada bahasa sebagai aspek sinkronis (Ahimsa Putra, 2001). Ia menyadari akan sifat historis dari bahasa serta atau historisitas dari bahasa yaitu bahasa selalu mengalami perubahan. Kenyataan ini menuntut adanya pembedaan yang jelas antara bahasa sebagai sistem dan fakta kebahasaan yang mengalami evolusi..

Ricoeur melihat adanya dialektika di antara langue dan parole. Ia melihat langue memiliki aspek sinkronik, virtual, serta homogen. Sedangkan parole bersifat diakronik, aktual, heterogen, serta pemaknaannya bersifat arbitrer (mana suka). Mengutip Benveniste, parole terdiri dua yaitu rule of government (berbahasa menurut aturan atau gramatika) dan rule of change (berbahasa secara kreatif). Aspek rule of change inilah yang disebut sebagai discourse atau wacana.

Ricoeur dan Dialektika Event-Meaning

Secara harfiah, event berarti peristiwa dan meaning berarti pemaknaan. Event adalah peristiwa ketika bahasa mengalami proses aktualisasi. Unsur-unsur event adalah aktualisasi, mengalir (fleeting), serta temporal. Ketiga unsur inilah yang disebut sebagai discourse (wacana). Menurut Ricoeur, event muncul dari dua hal yaitu bahasa dan discourse. Namun untuk menjadi discourse, harus ada dialektika atau Lingkar Hermeneutik.

Sedangkan meaning dikontrol oleh subyek dan predikat. Menurut Ricoeur, predikat digunakan untuk memberi sifat pada subyek. Antara event dan meaning ini selalu mengalami dialektika. Event mengaktualisasikan meaning tapi tanpa event, meaning tidak akan ada. Dialektika antara event dan meaning ini adalah Lingkar Hermeneutik.

Discourse dapat bersifat lisan, dapat bersifat tertulis. Perbedaan di antara kedua jenis discourse ini tidak hanya terletak pada perbedaan substansi medianya, yang satu substansi auditif, yang lain substansi visual, melainkan terutama sekali pada efek dari perbedaan substansi media itu terhadap kemungkinan bangunan makna dari masing-masing wacana tersebut dan, pada gilirannya, juga terhadap cara pemahaman atasnya.

Ignas Kleden menunjukkan, bahwa berbeda dari fonem, kata, dan sistem bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak, kalimat dan discourse adalah peristiwa yang bersifat singular, terikat pada ruang dan waktu. Namun, seperti halnya satuan-satuan bahasa yang terdahulu itu, gejala kebahasaan yang kemudian adalah juga tanda, sesuatu yang bermakna, dan makna itu bersifat universal atau general. Dengan demikian, bangunan makna discourse terdiri dari dialektika antara event (peristiwa) dan meaning (makna).

Makna sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu makna tekstual dan makna referensial. Makna tekstual adalah makna yang terbangun dari hubungan antartanda yang ada di dalam teks, sedangkan makna referensial terbangun dari hubungan antara teks dan dunia luar. Makna referensial itu pun dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu makna referential yang ostensif dan makna referential yang deskriptif. Yang pertama merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang ada di luar teks, sedangkan yang kedua merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang direka di dalam teks itu sendiri.

Discourse yang ditulis adalah discourse yang mengalami fiksasi, yaitu telah mengalami pembakuan teks sehingga menjadi benda yang berdiri sendiri, meninggalkan penulisnya. Discourse ini dapat melakukan distansiasi terhadap peristiwa atau konteks penuturannya semula. Karena itu, wacana yang bersangkutan menggantungkan dirinya pada makna yang bersifat universal, yang mampu melampaui ruang dan waktu penuturannya semula, dan memasuki konteks baru dalam pembacaan dari waktu ke waktu atau bahkan mengalami dekontekstualisasi sama sekali.

Namun, kenyataan terakhir di atas tidak dengan sendirinya berarti bahwa wacana itu kehilangan sama sekali hubungannya dengan dunia di luar teks. Hanya saja, hubungan antara teks dan dunia di luar teks itu bukanlah hubungan fungsional, melainkan hubungan simbolik.


[1] Tiga tahun setelah menulis The Critique of Pure Reason (1781), Kant lalu menulis esai What is Enlightment yang berisikan kritikan pada rasionalitas masyarakat modern yang mencuat sejak masa pencerahan

[2] Untuk pembahasan yang lebih jauh tentang filsafat Hegel, lihat Gadamer, Hans Georg (1971) Hegel Dialectics: Five Hermeneutical Studies. Translated by PC Smith, New Haven: Yale University Press

[3] Menurut Dilthey, ilmu alam hanya memberikan fokus pada gejala-gejala yang bersifat fisika semata dan tidak memberikan penjelasan tentang apa itu realitas. Ia lalu menyodorkan ilmu kemanusiaan (human science) yang berfokus pada realitas manusia yang bersifat mental state.

[4] Untuk mengetahui polemik lebih jelas, baca Kleden Ignas (1984), “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan”. Jakarta” LP3ES

[5] Polemik ini memicu lahirnya Manifesto Kebudayaan yang berisikan pernyataan kalau seni dan kebudayaan adalah hal yang universal dan bebas dari doktrin Negara atas nama revolusi

[6] Lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual yang dieditori Arief Budiman

[7] Noam Chomsky adalah ahli linguistic Amerika Serikat yang juga berkecimpung sebagai aktivis yang mengkritik kebijakan negaranya. Dosen Harvard University ini dikenal sebagai penemu grammar generative transformative, system yang merevolusi linguistic modern.


Episode yang Lewat

ADA banyak hal yang terjadi sejak aku terakhir mengisi blog ini. Mulai dari pulang kampung dan bertemu mama dan ATun hingga ke Makassar dan bertemu Dwi. Aku rasa, pulang libur kali ini sangatlah mengasyikkan.

Saat berada di Buton, aku sempat merasakan bagaimana tantangan dalam melobi wali kota. Semuanya aku rencanakan dengan baik hingga akhirnya mendapatkan bantuan meskipun jumlahnya masih kurang memadai. Yang jelas, aku bisa membuktikan kalau aku masih bisa melobi.

Aku juga banyak membantu teman-teman mahasiswa Buton untuk menyusun sebuah buku yang berisikan bunga rampai pemikiran tentang daerahnya. Energinya begitu besar untuk merencanakan sesuatu yang lebih baik. Dan aku memberikan apresiasi yang dalam atas itu. Salut deh

Meskipun ide pembuatan buku itu sudah cukup lama, namun tema buku itu justru adalah hal yang sangat baru. Idenya muncul begitu saja. Saat berbincang dengan Wali Kota Bau-bau dan ditanya mau menulis tentang apa, aku menjawab secara spontan kalau kami mau menulis tentang Bau-bau: Past, Present, and Future.

Aku sangat terinspirasi tema simposium antropologi di Unhas pada tahun 2000 lalu. Temanya adalah Anthropolgy Toward Millenium" Sintesis Kelampauan, Kekinian, dan Keakanan.

Nah, tema ini akan menjadi fokus utama kami saat menulis tentang Buton. Nantinya, buku itu akan berisikan percikan pemikiran dari begitu banyak tokoh yang tertarik dan hendak mengetahui banyak hal tentang Buton.

Aku tak menyangka kalau Wali Kota Bau-bau justru merasa simpati dengan keberadaanku ketika melobi. Ia justru terkesima dan menilaiku sebagai salah satu aset daerah yang harus terselamatkan. Ia juga sangat mengagumi suasana belajar di kampus Universitas Indonesia (UI). Ia memang pernah diundang untuk membawakan materi di UI. Saat itulah, ia terjagum-kagum dan menganggap UI sangat ideal dan mewah untuk tempat belajar.

Nah, pada acara halal bihalal mahasiswa Bau-bau, ia minta agar dipanel dengan perwakilan mahasiswa Buton di berbagai kota. Saat itu, aku mewakili mahasiswa Jakarta. Di sebelahku, ada Yudi Masril (mewakili Yogyakarta), Danil (mewakili Bau-bau), serta seorang lagi yang mewakili Kendari.

Saat itu, aku berusaha untuk menyampaikan gagasan yang membuat wali kota terkesima. Saat aku menyodorkan proposal, ia lalu memintaku untuk datang membawa keesokan harinya. Intinya, ia bersedia memberikan bantuan. Akhirnya, misi pulang kampung bisa terpenuhi.

Laptop dan Kos Baru

14 November 2006

AKHIRNYA aku punya laptop dan rumah kos yang baru. Selama beberapa bulan aku menggelandang di Kota Jakarta. Kini, aku akhirnya punya tempat mangkal tersendiri.

Laptop ini bukanlah laptop bekas. Berkat seorang temanku yaitu Gonjess, aku akhirnya membeli laptop baru dengan kualitas yang baik. "Yos, laptop itu cuma dipakai selama 2 tahun kok. Makanya, kamu harus membeli baru, meki dengan harga yang murah. Intinya adalah kamu bisa unggul dalam hal pemakaian," katanya.

Kayaknya, alasan dia masuk di akalku. Ia lalu menunjukkan tempat untuk bisa membeli laptop murah. Ia menyarankan agar aku membeli laptop dengan merk Axioo. Katanya, merek laptop lama udah banyak yang tersaingi dan berguguran satu per satu.

Ia lalu memberi rekomendasi agar aku membuka situs www.bhinneka.com. Katanya, situs ini cukup populer dan terkenal memiliki banyak komputer dengan kualitas yang baik. AKu lalu membuka websitenya dan menelepon. Akhirnya, dapat juga laptop seharga Rp 3.900.000,

Yah, satu masalah terselesaikan. Keesokan harinya aku lalu bergerilya mencari rumah kos. Aku lalu memutuskan untuk mengambil kamar di kawasan Kukusan, Depok. Tempatnya belum begitu ramai serta sangat pas untuk belajar. Aku memang sengaja tidak mau mencari kos di kawasan yang ramai. Aku ingin belajar dengan tenang. Akhirnya, satu lagi masalah terselsaikan.

Barangkali filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre benar juga ketika menyebut kalau hidup adalah sebuah gerak atau perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain. Hidup adalah gerak dinamik yang menggiring kita dari misi yang satu ke misi yang lain.

Berbeda dengan Sartre yang agak pesimis memandang hidup dan meyakini kalau keberadaan manusia seakan terlempar begitu saja ke muka bumi, aku justru merasa optimis. Meski sarat dengan resiko dan pertaruhan, aku masih optimis memandang hidup. Bagiku, ini adalah tantangan yang harus dihadapi dengan penuh keyakinan. Sebuah soal yang menuntut keseriusan dan integritas pribadi, serta kesetiaan pada visi.

Suatu Senja di Kampus UI


BELAKANGAN ini aku suka duduk di tepi danau kampus Universitas Indonesia (UI). Di tepi danau itu, aku suka memandang senja yang kian indah di mataku. Senja itu membias dalam gerak sang surya yang kuning keemasan dan menorehkan jejak indah.

Di kampus ini, matahari terlihat begitu perkasa. Aku tak henti-hentinya mengagumi matahari itu yang perlahan-lahan di telan kecipak air di danau. Perlahan-lahan beringsut menuju ke belahan bumi yang lain.

Tiba-tiba saja aku dibelit hasrat untuk membawa pulang senja dengan matahari keemasan itu ke rumahku. AKu ingin memasukkannya ke dalam sebuah bingkai dan kuletakkan sebagai kado bagi pacarku.Persis seperti cerpen Seno Gumira Adjidarma yang judulnya Sepotong Senja untuk Pacarku.

Namun, aku tak benar-benar sendirian. Di kampus ini begitu banyak yang mengagumi matahari. Di saat matahari itu hendak di telan air danau, semua mahasiswa yang sedang berlari sore, langsung berhenti dan memandangnya. Bahkan, mereka yang sedang pacaran pun ikut memandang matahari sembari duduk mematung. Beberapa pengendara motorpun ikut berhenti dan memandang matahari. Begitu syahdu dan dramatis.

Aku seakan menyaksikan satu fragmen hidup yang unik. Matahari itu hanyalah sebuah metafor dari satu keping realitas semesta. Betapa realitas itu menggiring manusia menuju satu titik simpul yang berbeda.

Matahari adalah bagian dari sabda semesta. Sebuah noktah semesta yang membawa manusia pada pertanyaan eksistensial menyangkut siapa dirinya dan relasi dengan semesta. Matahari itu membawa manusia pada sebuah perenungan filosofis yang disebut para filsuf kuno sebagai Bios Teoritikos. Satu bentuk kontemplasi untuk menentukan koordinat manusia di muka bumi.

Ah, aku tak hendak berumit-rumit. Aneh, di masa kecil aku juga suka melihat senja dengan matahari yang seakan ditelan air. Aku ingat betul kalau di masa kecil aku paling suka mandi sore di laut. Aku mengendap-ngendap bersama kawan-kawanku dan menceburkan diri ke laut yang jaraknya tak jauh dari rumahku.

Di laut itu, kami bermain dan lepas bagai merpati. Kami berlari di tengah pasir sambil bermain bola kemudian berendam di lautan asin itu. Di saat azan Magrib berkumandang, ibu kami mulai mencari kami.

Aku berlari kencang dan sembunyi. Pernah sekali aku dipergoki oleh nenekku. Ia langsung mengambil lenganku dan disentuh dengan lidahnya. Begitu terasa asin, ia akan langsung menyambit dengan kayu. Guh, sakitnya.

Laut itu begitu penuh kenangan bagiku. Jika aku lapar di bulan Ramadhan, aku langsung ke laut dan berendam. Pantas saja, kulitku item karena keseringan berendam di laut.

Laut menjadi penanda akan kosmos berpikirku di masa kecil. Lautan itu tetap menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya.

Saat kuliah di Unhas, aku juga suka memnadang air di danau Unhas ataupun lautan luas di Pantai Losari. Aku tak jemu memandang laut sembari memikirkan berbagai hal mulai dari filsafat hingga tema antropologi.

Kini, di kampus UI, laut tetap menjadi kosmos tempatku berkontemplasi. Hanya saja di sini, aku terpuaskan dengan memandang matahari dari Danau UI. Yah, sebuah ritus yang terus menandai kerajaan berpikirku. Jejakku di tengah dunia yang kian berubah.

Mudik dan Migrasi Kultural

MINGGU depan adalah ujian tengah semester (UTS). Aku sedikit deg-degan dan khawatir membayangkan apakah aku bakal melaluinya dengan mulus.

Minggu depan, aku juga bakal pulang kampung. Aku berniat agar mudik pada tanggal 17 mendatang. Aku akan berjejalan di pelabuhan, menenteng tas berisi pakaian, serta melewatkan hari di lautan selama dua hari hingga Makassar.

Aku melihat mudik sebagai kenduri kultural yang besar. Sebuah peristiwa yang besar dan langka serta melibatkan begitu banyak orang.

Sebagai peristiwa sosial, mudik penuh dengan berbagai atribut sosial. Secara eksistensial, ada sebuah kerinduan terhadap eksistensi kita yang menyeruak dari kepenatan menjalani hidup.


NANTI SAYA LANJUTKAN

Aku Tidak Takut Mati.....

AKU merasa terancam. Jiwaku sedang tercekat dan dikepung oleh rasa salah di masa lalu. Aku dituduh menyakiti seseorang dan seseorang itu telah menjatuhkan vonis yang tak terampuni.

Aku agak resah. Aku tak banyak berbenturan dengan konflik yang begitu dahsyat. Tapi, teman itu seakan tak peduli dan ngotot untuk menantangku bertarung. Ia tak peduli dengan setumpuk maaf yang aku lantunkan. "Pokoknya, kita harus duel dengan badik. Satu lawan satu, titik," katanya.

Tiba-tiba saja, aku terjebak dalam satu situasi yang tidak kuinginkan. Aku menjadi kambing hitam dari sebuah kesalahan yang dilakukan secara kolektif. Aku bakal menjadi tumbal dan terjerembab dalam sesuatu yang begitu kubenci.

Ah, awalnya aku ketakutan. Aku membayangkan sebuah duel klasik yang kerap ditunjukkan orang Bugis di masa silam. Dua lelaki memegang badik dan masuk dalam satu sarung dan saling tikam hingga modar. Dua lelaki dengam membawa sebilah badik sebagai perlambang dari kehormatannya. Bertarung hingga tetes darah terakhir.

Ingatan itu begitu kuat menghantuiku. Aku agak ngeri membayangkannya. Aku selalu tak ingin berada pada situasi konflik. Namun, apa boleh buat. Aku sudah tercebur dan tak punya banyak pilihan lagi.

Aku merenung selama beberapa hari. Di ujung perenungan itu, tiba-tiba saja sekelebat ide berseliweran di benakku. Ah, ini cuma perkara sederhana dan semestinya tak perlu didramatisir. Perkara yang semestinya bisa diselesaikan di meja perdamaian. Bukannya di medan laga.

Tiba-tiba saja aku tak takut dengan duel. Saat teman itu meneleponku, aku langsung berkata,"Jika itu memang pilihan terakhir untuk menuntaskan dendam kesumatnya, maka biarlah itu kita lakoni sama-sama."

"Jika memang itu menjadi cara terakhir untuk menyelesaikan masalah ini, apa boleh buat. Aku siap menjalaninya," kataku.

Aku menawarkan kata damai dan tidak malu-malu mengakui kesalahan. Tapi dasar teman ini menang seorang preman yang suka menyelesaikan masalah dengan duel. Ia tak peduli dan menampik tawaran damai dariku. Seolah-olah tak ada lagi cara lain selain dari berkelahi. Aku harus masuk dalam skenario yang dia buat untukku.

Aku tak mengira bakal berada pada situasi ini. Awalnya, aku berpikir akan ke Makassar demi menghirup wanginya cinta kasih di sana. Namun, semuanya jadi berubah.

Di ujung perenunganku, aku jadi tidak takut pada kematian. Dengan sedikit bergurau, aku berkata pada temanku Adi kalau kematian akan menuntaskan semua urusan dan cita-cita kita yang kandas.

Kematian hanyalah sebuah gerbang untuk memasuki kehidupan baru. Suatu titik kepastian yang menjadi ujung dari ziarah manusia dalam menelusuri belukar kehidupan yang penuh kepekatan.

Kematian adalah penyempurna dari seluruh gerak dan energi manusia. Sebuah titik di mana manusia akan bertransformasi dan bermetamorfosis ke dalam kehidupan baru. Satu titik cerah baru dari gelapnya kehidupan.

Hanya saja, aku agak tercekat jika mengingat mereka yang mengasihiku dengan sepenuh hati. Aku agak sedih membayangkan mereka yang tak bosan-bosan meneteskan cintanya dan tak mengharap balasan. emang, aku belum melakukan apa-apa. Aku masih berada pada titik yang jauh dari apa yang kucita-citakan.

Rindu Ibu dan Pulang Kampung

AKU merasa rindu ingin pulang kampung. Aku rindu untuk menghabiskan waktu di dua tempat yaitu Makassar dan Buton. Di dua tempat itu, begitu banyak orang yang menyayangiku bagaikan air mengalir. Begitu banyak cinta yang tak menuntut balas. Semuanya melimpah bagiku.

Di dua tempat itu, aku tak pernah merasa khawatir. Aku tak takut kalau nda punya duit. Aku tak takut bakal dikerjai. Aku juga tak takut bakal ditipu oleh teman dekatku sendiri.

Aku rindu dengan ibu. Setiap mengingat ibu, terasa ada air bening yang membekas di ujung mataku. Terus terang aku merasa malu karena belum bisa berbuat banyak di usianya yang kian sepuh. Rambutnya mulai memutih namun rasa sayangnya terus mengalir deras bagaikan sungai yang tak pernah kering.

Sebulan lalu, aku benar-benar susah dan tak punya duit. Aku tahu betul kalau Ibu juga susah karena masih harus membiayai saudara-saudaranya yang miskin. Namun entah kenapa, saat aku menelponnya, ia langsung tahu kalau aku lagi susah. Ia menawarkan bantuan yang rasanya bagaikan mukjizat yang turun di hadapanku.

"Yus, kamu juga anakku. Kita memang miskin. Tapi masih ada sedikit uang yang saya tabung dari pensiunan bapakmu. Kamu itu anakku. Saya sedih dan mau menangis kalau ingat kamu lagi susah dan tak punya duit," katanya dengan suara yang kian mengiris batinku.

Ibuku adalah prasasti hidup dari Ilahi yang dikirim kepadaku untuk memahami apa arti cinta yang tak berbalas. Ia begitu penuh cinta. Sepanjang hidupnya didedikasikan untuk cinta. Aku dan semua saudaraku tahu betul akan itu.

Di tahun 1997, bapakku meninggal di saat aku masih duduk di semester 2. Aku dan dua kakakku masih kuliah dan tidak mampu berbuat banyak. Adikku masih di bangku SMA. Ibu membanting tulang dan bertekad agar kuliah kami tidak putus.

Gaji sebagai guru SD jelas tak cukup untuk sekolah kami. Tapi ibu selalu saja punya cara.AKu kagum dengan caranya menata keuangan. Ia mencari penghasilan tambahan. Mulai dari menjual es kantung, menjual kedondong, hingga pisang goreng. Kalau mengingat itu, aku lagi-lagi terisak. Ah, betapa luar biasanya ibuku dan begitu kecilnya aku.

Di malam hari, ia selalu menjalankan salat malam. Ia selalu menengadahkan tangan untuk berdoa buat kebaikan kami. Ia membasahi hati kami dengan rasa cinta yang tak bertepi. Bahkan, di saat kami sakit, tiba-tiba saja ia juga ikut sakit seperti halnya kami.

Aku ingat beberapa kali aku diserang penyakit berat seperti hepatitis. Ibu selalu hadir dan menemani aku dalam keadaan apapun. Ah, ia betul-betul luar biasa.

Hingga akhirnya, aku dan tiga saudaraku berhasil diwisuda. Ibu sangat berbahagia karena berhasil menjalankan mission impossible bagi seorang yang cuma berprofesi sebagai guru SD sepertinya. Tak henti-hentinya ia bersyukur atas kami di depan pusara bapakku.

Ia merasa telah melakukan sesuatu. Ia merasa telah menjalankan amanah dari suaminya yang meninggal yaitu bapakku sendiri. Kepada bapakku, ia mendedikasikan cintanya. Kepada kami, ia memanifestasikan seluruh cintanya.

Begitu aku dan saudaraku diwisuda, tidak lantas membuat ibu berleha-leha. Ia tetap bekerja keras dan menyisihkan 70 persen gajinya untuk membantu keluarganya yang miskin.

Maklumlah, paman dan bibiku rata-rata hanya nelayan miskin yang tak punya apa-apa. Mereka hanya bisa berharap ada bantuan dari ibuku untuk menutupi beban hidupnya. Ah, betapa luar biasanya ibuku.

Kini, aku kian kerdil setiap mengingat ibu. Aku masih tak berdaya dan tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan senyum di wajahnya. Aku cuma bisa berujar lirih jika aku kelak tak akan membiarkan ada setetes air mata sedih di pipinya. "Yah, cukuplah semua kesedihan itu Ibu. Akan tiba saatnya kamu menikmati semua rasa bahagia itu."

Komunitas Epistemik dan Belukar Intelektual

APA arti seorang cendekiawan? Apa arti
menjadi intelektual? Intelektual adalah sosok yang mengobarkan api ilmu dan membakar belukar ketidaktahuan manusia. Mereka adalah sosok yang membawa pencerahan demi membawa terang peradaban.

Sosok ini bukanlah mereka yang duduk tenang di bangku akademis sembari memamah biak seluruh bangunan teori asing dan mengutipnya secara asal. Ia bukanlah mereka yang terjebak dalam kegenitan intelektual sembari menatap sinis pada tradisi negeri yang berdenyut dalam darahnya.

Intelektual adalah kupu-kupu harapan bagi sebuah negeri yang tengah beringsut menuju kemajuan. Sosok yang menjadi pembebas dan tercatat dengan gemilang dalam berbagai kitab suci dan kitab peradaban manusia.

Jika seseorang hanya bisa mengucapkan nyanyi sunyi ketika ketidakadilan dan ketimpangan bersemayam di depan mata, maka tentu dia bukan intelektual. Sebab intelektual memiliki apa yang disebut filsuf Heidegger sebagai sesuatu yang bisa membawa terang dan memisahkan gelap dalam hidup.

Luka bagi masyarakat adalah luka bagi kaum intelektual. Pedih bagi masyarakat adalah pedih bagi kaum intelektual. Di saat bersamaan lahir ikhtiar untuk merefleksikan seluruh gejolak masyarakat dengan penuh kejernihan dan tanpa takut.

Jumlahnya tentulah tidak banyak. Sebab kehadiran mereka semata-mata adalah membawa pesan suci untuk membangkitkan kerajaan Ilahi di muka bumi.

Bagi saya, intelektual tidak sekedar kategori capaian intelektual. Ia juga merangkum kategori eosional serta spiritual. Faktor yang paling penting adalah ia harus punya andil dalam mereleksikan zaman serta membangun upaya sistematis untuk melakukan rekayasa sosial untuk zaman yang lebih baik.

Saya selalu berkeyakinan kalau jumlah intelektual itu tidak banyak. Sejarah mencatat kalau mereka tidak banyak sebab hanya menjadi noktah kecil dalam perjalanan sejarah.

Barangkali asumsi ini terlampau berlebihan. Mungkin. Namun, jika melihat pemetaan intelektual Indonesia kontemporer, akan terang benar kalau mereka adalah mahluk yang langka di republik ini.

Di negeri ini, kategori intelektual hanyalah menjadi label dari mereka yang mendedikasikan ilmunya sebagai alat kekuasaan. Sekadar menjadi sekrup kecil dari mesin raksasa bernama pembangunan. Sekadar meneguhkan kekuasaan dan mempreteli hak-hak rakyat.

Jangan heran jika menemukan fakta akan banyaknya mereka yang mengatasnamakan intelektual. Mereka menempati banyak posisi penting baik di pemerintahan maupun parlemen.

Mereka menjadi pengabsah dan tim ahli di balik lahirnya sebuah kebijakan. Mereka menjadi komunitas epistemik yang meramaikan debat dan wacana di dalam jantung sistem bernama negara.

Komunitas epistemik ini beranggotakan sejumlah orang yang mengaku intelektual dan menjalankan berbagai kegiatan demi meneguhkan rezim yang dibelanya. Tugas mereka adalah merefleksikan berbagai kebijakan yang hanya mendukung pemerintah.

Studi dari Daniel Dhakidae berhasil memetakan sejumlah intelektual di zaman Orde Baru yang memiliki peran dalam negara. Di seberang temberang dari intelektual pro negara, ada pula sejumlah intelektual yang memposisikan dirinya untuk membangun wacana tanding (counter discourse) pada berbagai kebijakan negara.

Demikian pula dengan studi Yudi Latif tentang intelektual Indonesia pasca-Orde Baru. Kita diosodori dengan fakta betapa jumlah mereka hanya seperti bilangan jari di tengah warga Indonesia yang mencapai 240 juta orang.

NANTI SAYA LANJUTKAN

Disuruh Garap Disertasi S3

AKU akan mencatat hari ini sebagai peristiwa yang sangat penting. Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif jadi sangat berbeda dan menorehkan kesan mendalam di benakku.

Dosenku yaitu Dr Iwan Tjitradjaja hari ini memberikan tugas kepada mahasiswa magister dan doktoral untuk menganalisis berbagai tesis dan disertasi. Menurutnya, itu berguna agar kami bisa melihat sejauh mana konsistensi penerapan teori dan analisis.

Ia lalu melihat ke sekeliling ruangan. "Khusus Yusran, kalau bisa menggarap disertasi S3. Kamu punya kemampuan lebih," katanya. Menurutnya, aku seharusnya ambisius dan menulis disertasi doktoral.

"Sebaiknya Yusran harus ambisius karena kemampuannya. Ia tidak tepat jika cuma menganalisis tesis S2. Ia harus menganalisis disertasi S3," katanya.

Alumnus University of California, Berkeley ini, melanjutkan," Kalau bisa ngasih saran, Yusran harus selesai di semester tiga kemudian lanjut ke program doktoral. Ini bisa dilakukan karena Yusran punya kemampuan untuk itu."

Tiba-tiba saja, aku serasa tidak menginjak tanah. Aku terlampau girang oleh pujian itu. AKu terlampau bahagia. Apalagi, semua orang melihatku sambil iri. Rasanya, aku menjadi raja dunia.

Jangan-jangan ia sedang bercanda ya? Ah, peduli setan!!! Yang penting aku bahagia oleh pujian itu. Itru benar-benar melecutkan semangatku untuk terus belajar dan berusaha agar bisa lebih baik.

Akibat pujiannya, aku menjalani perkuliahan dengan rasa sungkan. Jika ada pertanyaan yang sukar, maka Pak Iwan akan menoleh ke arahku dengan harapan agar aku bisa menjawabnya.

Ia seakan berharap agar aku selalu punya jawaban atas pertanyaan sulit itu. Meskipun aku sendiri tak tahu jawabannya, ia selalu ingin agar aku bisa menjawabnya. Ah, aku benar-benar sungkan.

Indahnya Puasa Pertama

INILAH puasa pertamaku di Kota Jakarta. Puasa yang begitu indah hingga terasa ada getar yang memenuhi ruang-ruang kalbuku. Puasa yang indah karena dilakukan saat aku lagi punya fokus mencapai sesuatu. Lagi mendekati Tuhan untuk bermanja-manja dengan harapan agar ada rahmat dan karunia. Puasa ini berbeda bagiku.

Untuk pertama kalinya aku menjalani puasa dengan penuh keprihatinan. Menjalani puasa dengan semangat yang lagi pasang naik untuk mencicipi indahnya religiusitas.

Barangkali aku agak berlebihan. Saat di Makassar setahun lalu, puasa juga berat. Namun aku sangat kuat karena aku berada di tengah orang-orang yang mencintaiku. Ada Kak Tia, Kak Syam, hingga Dwi. Semuanya memancarkan cinta yang mengalir bagai sungai. Tak henti-henti.

Di sini, aku harus belajar untuk menyimpan semua kenangan itu sebagai sesuatu yang berdenyut di hatiku. Aku harus merangkum semuanya menjadi getar yang membuatku harus tetap bertahan di tengah pekatnya Kota Jakarta.

Aku menjalani sahur di rumah kos-kosan teman-teman asal Makassar. Di sana, ada keramaian khas anak muda yang riuh dan menyambut puasa dengan gegap gempita. Semuanya senang dan tiba-tiba menjadi anak kecil lagi yang begitu menyambut Ramadhan.

Aku makan sahur dalam suasana yang begitu ramai bersama teman-teman. Menunya sangat sederhana yaitu nasi, indomie, serta ikan sardens. Menu itu dikemas dalam suasana yang begitu ramai. Kami saling mengganggu dan mengerjai. Suasana riuh tercipta ketika ada teman yang diolok-olok dan menimpalinya dengan lelucon segar.

Usai sahur, tiba-tiba saja semuanya langsung berwudhu. Tiba-tiba saja semua laki-laki memakai sarung dan songkok ala haji. Kami mengaji di lantai dua rumah itu dengan suara yang dikeraskan.

Suasananya begitu indah. Rumah itu menjadi pekat dengan aroma religiusitas. Sesuatu yang lama tak terlihat di situ. Aku yakin, warga di sekitar situ agak heran menyaksikan tingkah kami yang tiba-tiba saja berubah.

Kami seakan larut dalam arus besar yang melihat Ramdhan dengan begitu romalistis. Mungkin kami memaknai Islam dengan begitu simbolik. Seakan-akan indahnya Islam direduksi menjadi perkara yang sifatnya ritual belaka.

Tapi, semuanya tidaklah sesederhana itu. Ada suasana emosi yang sukar untuk didefinisikan. Ada aspek psikologis yang sukar untuk dijabarkan dalam teks. Namun rasa itu benar-benar ada dan berdenyut dalam batin kami.

Sebuah keindahan religiusitas yang lahir dari kesadaran akan adanya sesuatu yang begitu perkasa di luar diri kami. Kesadaran kalau ziarah material kami begitu menjauh dari upaya untuk merengkuh indahnya pelukan dan atmosfer keberadaan-Nya. Perjalanan kami begitu jauh dan menjauhi-Nya.

Kami ingin pulang. Kami ingin kembali mereguk indahnya cawan karunia-Mu. Meski kami malu dengan semua dosa dan angkara yang kami sebar di bumi ini.

Entah kenapa, aku dan teman-teman tiba-tiba menjelma jadi anak kecil. Aku tak bisa lupa ketika menjalani puasa di masa kecil. Bagaimana hebohnya bapakku membangunkan aku dan selalu meledek kalau aku tak kuat berpuasa. Sehari sebelum puasa, rumahku seakan berbenah seolah ada hajatan besar.

Bapakku mulai mengecat rumah, ibu mulai memasak yang enak-enak. Kakakku Ismet dan aku membersihkan rumah. Tia dan Atun ikut mengelap kaca hingga bersih hingga tak nampak debu di situ. Puasa menjadi kenduri kultural yang sangat langka dan disambut meriah.

Aku masih ingat menu kesukaanku saat itu. Nasi dengan ikan cakalang yang udah dibakar dan ditumis dengan santan. Wow, menuliskannya saja sudah membuatku tiba-tiba lapar dan rindu dengan masakan ibuku.

Usai sahur, bersama saudara, aku langsung menuju Masjid Nurul Abidin yang terletak di kompleks Depag. Di sana, kami salat berjamaah.

Usai itu, kami lalu jalan subuh menuju pelabuhan,. Entah kenapa, warga kampungku suka menjalani ritual jalan subuh di saat usai salat berjamaah. Massa menyemut menuju kawasan itu. Ada pertemuan dengan saudara-saudara yang lain sembari mempererat kembali benag silaturahmi yang sudah mulai berjauhan.

Malam hari jadi begitu meriah. Tak bosan-bosannya aku ke masjid untuk salat jamaah dan bermain-main bersama kawanku.

Ramadhan benar-benar menjadi momentum untuk kembali pada hakekat beragama yaitu peneguhan secara eksistensial kalimat Ilahi dan menjadikannya sebagai ruh atau nafas dalam bertindak.

Sebuah keindahan yang hadir bagai oase bagi batin yang kian jauh dari spiritualitas. Yah, keindahan yang saat ini mulai kusarasakan lagi. Thanks God....

Seminggu di DPR

AKU menjalani hari-hari yang sangat melelahkan. Kembali aku menjalani rutinitas yaitu kuliah dan kerja. Dua entitas yang kugeluti selama berada di Jakarta, kota tempat aku melabuhkan semua impianku.

Tak ada yang istimewa minggu ini. Kecuali aku banyak menyampaikan gagasanku di beberapa mata kuliah di kelas. Sampai-sampai, dosen favoritku yaitu Ignas kleden harus menoleh terus padaku selama materinya berlangsung.

Seakan-akan aku akan terus bertanya dan berdebat dengan dia. Bahkan, ketika Ignas memaparkan banyak contoh, ia selalu menyebut nama saya sambil menoleh. Ah, aku jadi tidak enak kepada teman-teman yang kuliah di program doktoral karena perhatian Ignas padaku yang begitu besar. Seakan-akan, Ignas terpesona denganku. (geer nih)

Pada mata kuliah yang diasuh Iwan Tjitradjaja, aku selalu tak bisa menahan keinginanku untuk selalu mengacungkan jari. Aku berpendapat dan mengajukan jawaban atas berbagai hal. Aku melihat kalau Pak Iwan tersentak juga karena selama ini aku dikenalnya sebagai mahasiswa magister yang pendiam dan tak banyak omong. Hari Senin lalu benar-benar berbeda.

Minggu ini juga, aku resmi masuk kantor. Aku resmi menjadi Staf Ahli DPR RI. Aku ditempatkan sebagai staf ahli di panitia Ad Hoc III. Selain itu, aku juga diminta menjadi asisten pribadi dari Faisal Mahmud, Wakil Ketua PAH III yang juga merupakan anggota DPD asal Sulawesi Tengah.

Aku agak mengalami gegar kultur (shock culture). Bayangkan, setiap hari aku harus berpakaian rapi dan mengenakan batik atau kemeja ketika masuk kantor. Aku juga harus mengenakan celana kain agar terlihat rapih saat berada di kantor.

Tahu sendirilah kalau aku seorang jurnalis yang terbiasa berpenampilan cuek. Terbiasa berpenampilan berantakan. Bagiku, penampilan hanya aspek keseribu dan tidak mencerminkan prilaku dan kecerdasan seseorang.

Tapi itu dulu. Aku memasuki dunia lain yang menbutuhkan semua derajat formalitas. Tapui tak hanya itu kok.

Terus terang, aku juga canggung karena tidak punya banyak pakaian. Terpaksa, aku meminjam baju dan celana yang dimiliki teman-teman. Aku pinjam sepatu kulit dan baju batik dari si Antar. Celana dari Indra, hingga parfum dari Fiar. Yah, pakaianku serba pinjaman.

Aku terlihat bergaya. Saat menuju Press Room di DPR, teman-temanku banyak yang heran dengan penampilanku. Malah, si Jannes (Rakyat Merdeka), juga Aco (Kompas), serta Fajri (Detikcom) menuduhku sebagai borjuis baru. Kata mereka,"Wah, sama sekali tak nampak penampilan dari seorang mantan aktivis. Yang ada adalah sang borjuis." Ah, mereka bisa saja. Aku hanya bisa tersenyum-senyum.

Kerjaan selama seminggu ini belum banyak. Mungkin karena aku masih diberi kesempatan untuk beradaptasi terhadap situasi yang aku hadapi. Makanya, yang aku lakukan hanyalah mengikuti rapat yang digelar PAH III yaitu tentang RUU Anti Trafiking (perdagangan manusia), hingga rapat paripurna.

Aku merasa bisa belajar banyak hal di situ. Pak Faisal menyarankan aku untuk mempelajari semua Tatib DPD serta tugas-tugasnya. Ini berguna agar kelak aku bisa membantunya menyusun berbagai aturan perundang-undangan serta mempertajam debat yang terjadi di ruang sidang.

Saat rapat paripurna, aku merasa mulai bisa mengenali apa yang sesungguhnya terjadi dengan DPD. Makanya, aku banyak cerita sama temanh-teman kalau posisi DPD sungguh memprihatinkan. Lembaga ini seakan-akan tak berdaya sebab tak punya kekuasaan. Lembaga ini hanya bisa memberikan rekomendasi kepada DPR. Malah, dalam banyak hal, DPD justru dilecehkan atau dipandang sebelah mata oleh anggota DPR. Kasihan !!!

Aku justru melihat kalau ini adalah manifestasi dari tidak konsistennya negeri ini menerapkan sistem bikameral. DPD dibentuk tapi sama sekali tak diberi kewenangan untuk merumuskan banyak hal. Yang terjadi adalah lembaga ini hanya berfungsi sebagai pemberi stempel terhadap berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.

dalam paripurna itu, aku mendengar berbagai keluhan dari anggota DPD yang posisinya serba tanggung. Posisi mereka seakan tak jelas sebab hanya membahas berbagai hal namun itu hanya bersifat rekomendasi kepada pemerintah. Pembahasan yang tak punya kekuatan hukum untuk menetapkan sesuatu.

Mungkin ini adalah ironi negeri ini. Berbagai sistem dicoba, berbagai mekanisme dibangun, berbagai strategi digelar, namun ujung-ujungnya hanya untuk memboroskan anggaran. Negeri ini tak pernah bisa belajar banyak dari berbagai lembaga serta pranata yang dibentuk namun tak punya substansi yang jelas.

Inikah Ironi Kapitalisme?


KADANG aku merasa malu dengan isi pesan di friendster ini. Nyaris tiap pesan hanya berisi gugatan pada situasi yang aku jalani. Lebih berisi lagu sunyi tentang pilihanku meniti karier di Jakarta. Pilihan untuk "berdarah-darah" demi sesuatu yang hingga kini tak terang benar dalam pikiranku.

Tapi aku benar-benar tak berdaya. Aku benar-benar tak tahu hendak bercerita apa dalam menghadapi situasi yang aku sendiri tak menduganya. Situasi yang memaksaku untuk bertahan hidup di kota ini sembari menahan lapar dan belajar keras. Itu dalam suasana prihatin.

Aku khawatir kalau-kalau Allah sedang menurunkan cobaan. Mungkin aku pernah melakukan sebuah kesalahan hingga hukum kausalitas tiba-tiba berlaku atasku. Yah, aku cuma bisa menelusuri seluruh belukar pengalamanku. Mencari kalau-kalau ada hal yang terlewatkan dan bisa berakibat fatal. Tapi... ah, biarlah aku belajar mengatasi ini.

Namun, tetap saja ada yang positif dari menulis di blog ini. Ini bisa menjadi curhat yang sangat efektif. Setiap aku selesai menulis di sini, terasa beban berat itu benar-benar berkurang. Tiba-tiba saja, aku sedikit tenang dan napasku sedikit lega. Sebuah himpitan perasaan seakan lepas sebagaimana sayap elang yang mengangkasa.

Yah, kembali ke inti masalah. Sebuah kesedihan kembali mengiris sisi relung hatiku. Gaji yang semestinya udah cair sejak kemarin di PT VSM, kembali tertunda. Tak ada jawaban atau pemberitahuan tentang alasan penundaan. Tak ada juga sebuah kata yang bisa ngasih ketenangan kalau terjadi kesalahan teknis.

Ini adalah untuk kelima kalinya. Sejak tanggal 1 September, beberapa bos perusahaan itu tak henti mengumbar janji dan harapan kalau gaji akan segera cair. Kini, udah tanggal 19 September. Artinya, selama 19 hari aku terus diberi janji kalau gaji akan segera mengucur.

Mungkin ini adalah manifestasi langsung dari berbagai teori tentang kapitalisme. Betapa kapitalisme hanya bisa menginjak-injak nasib semua karyawannya tanpa bisa memberikan solusi atas apa yang terjadi. Nasib buruh laksana bola salju yang dengan bebasnya ditendang ke sana-sini.

Tapi itulah watak zaman. Selalu saja ada pertaruhan hendak memilih sikap yang mana dalam hidup. Selalu saja ada kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk memilih posisi dan sikap tegas, apakah memilih jadi anak buah yang tertindas ataukah bisa mencari alternatif dan menerabas tembok penindasan itu.

Di kota yang asing ini, aku merasakan situasi menjadi korban kapitalisme. Tiba-tiba saja aku menjadi buruh yang hingga kini tak berdaya dan hanya bisa berujar lirih tentang situasi.

Apa aku harus berteriak? Mungkin itu bisa jadi solusi. Beberapa kali aku telah berteriak demi melepaskan semua bebanku. Apa aku harus lapor polisi? Ah, aku tak punya duit. Sudah bukan rahasia lagi jika berurusan dengan kepolisian, kita harus berani mengeluarkan duit demi mengongkosi perkara.

Lagian, aku merasa tidak enak jika harus lapor polisi. Seolah-olah sudah tak ada lagi pertemanan. Bagaimanapun, semuanya harus bisa kuatasi dengan cara bagaimanapun. Episode terakhir dari pilihanku adalah minta uang sama kakak. Meski itu harus dilakukan jika benar-benar tak ada pilihan.

Ah, aku agak heran dengan sikap sahabatku Si Adi. Tak henti-hentinya ia menjelaskan kondisi perusahaan yang morat-marit hingga memaksa bos menunda pembayaran gaji. Aku heran kok pembelaannya pada perusahaan itu begitu besar sementara dia tak mau mendengar apa masalahku.

Apakah dia tahu kalau aku betul-betul tak punya duit untuk makan? Apakah dia tahu kalau aku harus tinggal di tempat teman-teman Makassar dan selalu minta ditraktir lantaran tak punya duit? Apa dia tahu kalau beberapa kali aku menangis lantaran benar-benar tak punya duit.

Dalam satu kesempatan, ia pernah protes. "Kenapa hanya kamu yang stres pikir gaji sementara anak-anak lain di perusahaan itu tidak stres?"

Apakah Si Adi tahu kalau rata-rata teman-teman di situ punya rumah sendiri sehingga tidak masalah jika gaji tidak dibayar. Sementara aku cuma seorang rantau yang hanya bisa melakukan refleksi sedih atas apa yang terjadi.

Yah, pada akhirnya aku cuma bisa mengeluh. Orang kecil adalah mereka yang menyadari kalau suaranya seakan tak berdaya. Mereka yang menyadari kalau dirinya hanyalah bagian terkecil dari bekerjanya sebuah sistem bernama semesta. Mereka yang hanya sudah bekerja keras dan bisa menjelmakan kesedihan dalam benak. Sementara di tempat lain ada majikan yang berdalih "Tak ada uang perusahaan. Sorry karena sudah kerja tanpa digaji. Kita lagi bangkrut," katanya dengan nada angkuh.