Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Kisah BAHLIL Lahadalia: Dari Pulau Tomia, Banda Hingga Papua

 

Bahlil Lahadalia (kiri) semasa kecil di Banda, Maluku

“Baha…… Baha…..”

Suara ibu itu memanggil anaknya yang sedang live di satu stasiun televisi. Ibu itu tahu anaknya sudah menjadi pejabat setingkat menteri yang dalam banyak kegiatan selalu dipanggil Yang Terhormat atau Yang Mulia. Namun di mata ibu itu, anaknya masih seperti bocah yang dahulu digendongnya. 

Ibu itu bernama Wa Nurjani, sedang anaknya adalah Bahlil Lahadalia, yang akan segera dilantik menjadi Menteri Investasi. Dari namanya bisa terlihat kalau Wa Nurjani adalah perempuan asli Buton, tepatnya di Pulau Tomia di gugusan Kepulauan Wakatobi, yang kemudian merantau jauh ke Banda di Maluku, lalu tanah Fakfak di Papua.

Para perantau Buton sudah lama berada di kawasan timur Indonesia, mulai dari Maluku hingga Papua. Mereka merantau didorong oleh motif perbaikan ekonomi serta peluang kerja yang lebih baik. Mereka sudah beranak-pinak dan sudah menyatu dengan warga lokal. Mereka sudah melahirkan generasi baru yang mulai eksis, ketimbang orang tuanya, yang dahulu banyak menjadi pekerja kasar. 

Meskipun harus bekerja keras, Wa Nurjani dan suaminya selalu menjadi matahari bagi anak-anaknya. Keadaan memang serba susah, namun mereka memenuhi semua kebutuhan dan menyekolahkan semua anaknya. 

Sebagaimana lazimnya perantau di timur, anak-anak sejak dini sudah bekerja untuk membantu beban orang tuanya.  Itulah yang dilakoni Bahlil kecil. Masa kecil Bahlil bukanlah masa kecil yang penuh dengan fasilitas serta kebebasan untuk sekolah di mana. Dia terbiasa dengan kerja keras dan banting tulang untuk sesuap nasi.

Semasa kecil, dia pernah menjadi penjual kue. Di masa SMP, dia menjadi kondektur. Di masa belajar di SMEA Fakfak, dia menjadi sopir angkot. Dia juga melakoni banyak profesi lain.

Dia memang harus bekerja. Bapaknya adalah buruh bangunan yang mendapat gaji harian sebesar 7.500 rupiah, dan harus menghidupi delapan anaknya. Bahkan saat sakit pun, bapaknya tetap bekerja demi keluarga. Sedangkan ibunya adalah seorang pencuci pakaian di rumah orang, yang menerima uang lelah sekadarnya.

Suatu hari, Bahlil ingin mengubah nasib. Dia ingin merantau ke Jayapura dan kuliah di sana. Ibunya melarang. Dalam acara yang diasuh Gus Miftah di Inews TV, Wa Nurjani, menjelaskan alasannya.

“Orang kuliah itu setiap bulan orang tuanya akan kirim uang. Kalau dia kuliah di tempat lain, siapa yang mau kirim uang. Tapi dia bicara sama saya dan bapaknya. Katanya, saya cuma minta modal doa sama ibu dan bapak,” katanya.

Tak hanya doa, sang ibu juga memberi nasihat kepada Bahlil untuk kerja keras. Sang ibu menganggap pendidikan sangat penting. “Saya dan bapak hidup menderita. Karena kami tidak sekolah. Makanya anak-anak harus sekolah,” katanya.

Sayang, bapaknya telah lama pergi. Padahal di mata Bahlil, bapaknya adalah sosok luar biasa yang selalu menjadi role model baginya. Semangat bekerja keras dalam keterbatasan, serta ikhtiar memenuhi kebutuhan keluarga ibarat mata air yang akan mengatasi rasa hausnya di perjalanan. 

Bahlil dan bunya, Wa Nurjani

Doa ayah dan ibunya adalah modal utama baginya untuk merantau. Dia merantau ke Jayapura, ibukota provinsi Papua, untuk kuliah. Dia mendaftar sebagai mahasiswa di STIE.. Karena tak punya uang, dia tinggal di asrama sembari bekerja serabutan.

Jika mendapat rezeki, dia membeli beras. Sering, dia memasak beras itu menjadi separuh bubur dan separuh nasi. Alasannya, biar dapat banyak. Pernah, Bahlil kehabisan uang untuk membeli beras. Dia memungut mangga yang jatuh di dekat asrama lalu memakannya. Dia langsung sakit gara-gara makan mangga itu. Bahkan dia terkena busung lapar karena kekurangan gizi. 

"Saya pernah busung lapar, semester 6 saya busung lapar. Asli busung lapar. Jadi penderitaan yang benar-benar paling menderita itu saya rasain," katanya. 

Saat belajar di semester 7, dia bertekad untuk berubah. Dia ingin mengubah jalan nasibnya. Dia memutuskan untuk jadi pengusaha. Berbekal jejaring yang dibangunnya semasa menjadi aktivis, dia memulai bisnis. Perlahan, dia meniti karier hingga sukses, dan melampaui apa yang dulu dibayangkannya.

*** 

Tahun 2021, Bahlil menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hari ini, Rabu 28 April 2021, dia akan dilantik menjadi Menteri Investasi. Dia menjadi anak bangsa yang menorehkan sejarah sebagai Menteri Investasi pertama dalam sejarah republik.

Dua tahun lalu, dia dipercaya Presiden Jokowi untuk menjadi Kepala BKPM. Dia punya modal yakni kerja keras, serta pengalaman hidup dari nol. Dia sukses memimpin Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), wadah berhimpun para pengusaha muda se-Indonesia. Dia pun lama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang menjadi awal baginya membangun jejaring bisnis dan politik.

Banyak kalangan yang meragukannya. Dia dianggap tidak pintar. Bahasa Inggrisnya dianggap parah. Apalagi dia tidak lulus dari UGM, UI, ITB, atau kampus mentereng lainnya. Dia hanya lulusan sekolah ekonomi di Papua yang tidak masuk hitungan di peta nasional.

Namun setelah dua tahun, Bahlil bisa bekerja dan melampaui semua target yang diberikan. Bersama jajarannya di BKPM, dia mewujudkan realisasi investasi yang melampaui target. Hebatnya lagi, itu dicapai di tengah situasi serba sulit, yakni pandemi covid-19. 

Jokowi bersama Bahlil saat kampanye pilpres

Realisasi investasi tersebut mencapai 101,1% dari target tahun 2020 yang dipatok sebesar Rp 817,2 triliun. Realisasi sebesar itu mampu menyerap 1,15 juta orang tenaga kerja dari 153.349 proyek investasi. 

Di era Bahlil, Indonesia menjadi gerbang emas yang didatangi semua investor. Perusahaan raksasa berdatangan. Semua ingin merealisasikan investasi di Indonesia. Bahlil sukses membangun ekosistem bisnis, yang kemudian membuat Indonesia begitu seksi di mata pebisnis internasional.

Tidak mengherankan, jika mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mencuit di media sosialnya. "Tesla akan ke Indonesia. Amazon akan masuk ke Indonesia. Google akan pergi ke Indonesia. Apa yang telah terjadi?" katanya, yang kemudian heboh di Malaysia.

Berkat cuitan itu, netizen di Malaysia ramai berdiskusi tentang banyaknya syarikat gergasi (perusahaan besar), serta pelaburan (korporasi) yang menutup pabriknya di Malaysia dan pindah ke Indonesia. Banyak yang memprediksi, pekerja Malaysia akan segera mencari kerja di Indonesia. Padahal dulu, orang Indonesia yang ramai ke Malaysia.

Presiden Jokowi tahu persis capaian kerja Bahlil. Beberapa bulan terakhir, Jokowi selalu menghadiri undangan dari Kepala BKPM. Dia puas dengan capaian Bahlil yang melebihi semua target. Bersama menteri lain seperti Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Bahlil menjadi kartu penting yang membawa Indonesia memasuki gerbang emas di era Jokowi.

Kartu Bahlil akan terus hidup di masa mendatang. Dia menjadi simbol timur, yang dulu pernah identik dengan Jusuf Kalla. Dia keturunan perantau Buton yang lahir di Maluku dan besar di Papua, kemudian sukses di Jakarta. Dia bisa menjadi perekat bangsa, tidak hanya di barat, tapi juga di timur melalui kebijakannya yang sukses mendorong investasi di luar Jawa.

Namun jika ditanya tentang kiat suksesnya, Bahlil selalu menjawab singkat. “Saya tidak mungkin bisa seperti ini jika bukan karena doa bapak dan ibu saya. Kerja keras mereka yang membuat saya belajar banyak, sesuatu yang tidak mungkin didapatkan di bangku kuliah,” katanya.


Saat JOE TASLIM Memandang Sungai Musi

Joe Taslim

Di layar kaca, dia bisa setangguh Sub Zero saat melawan semua jagoan dalam Mortal Kombat. Dia menjadi Sersan Jaka demi melawan Mad Dog yang lebih suka tarung tanpa senjata dalam kisah The Raid. Dia pun bisa tangguh menendang sebagai Jah dalam Fast and Furious. Bahkan dia jago berpedang dalam film The Swordsman, produksi Korea.

Namun saat mantan atlet judo nasional ini memandang Sungai Musi di Palembang, dia bisa tersungkur dalam isak tangis dan sedih. Ada banyak cerita yang mengalir di sungai itu. Ada banyak kisah yang menautkan dirinya dengan masa lalu.

Dia, Joe Taslim.

*** 

Bocah itu bangun sejak pagi hari, di Palembang, awal tahun 1980-an. Dia menjalani rutinitas seperti mengambil air dan pekerjaan rumah lainnya. Ayahnya, Mardjuki Taslim, bukanlah orang berada. Ayahnya hanya seorang ketua RT.

Sang ayah sejak dini meminta anaknya untuk menekuni olahraga. Di usia muda, bocah bernama lengkap Johannes Taslim itu menekuni berbagai bela diri. Mulai dari wushu, taekwondo, hingga judo, semuanya pernah dijalaninya. Namun dia melihat jalan nasibnya ada di olahraga judo.

Dukungan ayahnya laksana air bah. Ayahnya selalu berusaha untuk hadir di setiap pertandingan Joe Taslim. Sang ayah meyakini olahraga adalah jalan pintas untuk hidup yang lebih baik. Dengan menggapai prestasi hebat, banyak pintu bisa terbuka untuk Joe.

Rupanya, sang ayah dulu berniat menjadi atlet. Niat itu tidak kesampaian. Dia pun mendorong anaknya agar  menggapai banyak obsesi di dunia olah raga. 

“Kalau kakekmu support seperti aku, pasti aku jadi juara dunia. Sekarang aku akan support kamu,” kata sang ayah.

Semangat Joe terlecut. Bersama kakaknya Peter Taslim, Joe menjadi pejudo yang selalu ditakuti lawan. Mereka sering disebut Taslim Brothers. Mereka tak kenal takut. Banyak pejudo akan keder duluan saat harus berhadapan dengan mereka. Banyak yang berharap ketemu di partai final, biar tidak gugur lebih awal.

Peter malah lebih trengginas. Gara-gara motivasi ayahnya, sebelum bertanding, Peter memukuli dirinya sehingga lawannya ketakutan. Dia jadi sosok tanpa kenal sakit di lapangan. Semuanya berkat latihan spartan dan konsisten.

saat menjadi atlet judo

Bersama kakaknya, Joe masuk pelatnas untuk cabang judo. Hari-harinya diisi dengan latihan demi latihan. Saat remaja seusianya keluyuran dan pacaran, dia harus menjalani banyak program latihan.

"Jadi atlet ya memang gitu, kehilangan masa-masa SMA. Orang-orang nongkrong dan pacaran, saya latihan dan latihan. Pengorbanannya emang begitu. Akan tetapi, saya tak menyesal. Saya bangga malahan bisa meraih medali untuk negara ini," katanya.

Namun buah demi buah berhasil dipetiknya. Dia tercatat pernah meraih medali emas di South East Asia Judo Championship Singapore 1999, medali perak di SEA Games 2007, dan medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2008 mewakili kontingen Sumatra Selatan.

Saat bertanding di Singapura, ayahnya datang menyaksikannya. Joe terkejut sebab ayahnya tengah dirawat di rumah sakit di Palembang. Kedatangannya menjadi motivasi hebat yang mengalir dalam darah Joe sehingga dirinya bisa meraih emas.

Bermula dari Merantau

Suatu hari di pelatnas, seorang rekannya dari cabang olah raga silat mengajaknya nonton film. Mereka menonton film Merantau yang disutradarai Gareth Evans dan diperankan Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan. Dia langsung jatuh cinta dengan adegan-adegan silat dalam film itu. Dia bertekad untuk main film yang disutradarai Gareth Evans.

Dia pun mencari jalan untuk menghubungi Gareth. Dia membuka Facebook lalu melihat ada akun milik Gareth. Joe langsung menyapa dan memperkenalkan diri. Dia menyebut dirinya atlet dan ingin diberi kesempatan bermain film.

Gayung langsung bersambut. Gareth membalas pesan itu. Gareth meminta Joe untuk datang ke studionya di Jakarta untuk mengikuti casting. Di situlah Joe bertemu Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan.

Joe diminta mengikuti beberapa gerakan Iko sebagai instruktur laga. Setelah itu, dia juga diminta untuk membaca skenario drama kemudian memainkan peran itu. Jalan nasib Joe kian terbuka saat Gareth tertarik untuk mengajaknya bermain. Dia mendapat peran sebagai Sersan Jaka dalam film The Raid.

Film The Raid menjadi standar baru dalam dunia film aksi. Film itu mendapat sambutan meriah di pentas dunia. Banyak orang menilai film itu adalah film laga yang paling real dan menampilkan adegan aksi paling realistis. Silat menjadi bela diri yang sangat mematikan di film itu.

Joe memang tak bisa silat. Tapi berkat latihan wushu, tubuhnya selentur pesilat. Berkat judo, dia juga punya sisi kekerasan. Dia cepat beradaptasi dengan gerakan silat yang diarahkan Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan.

Joe Taslim bersama Hiroyuki Sanada dalam Mortal Kombat

Banyak sineas Hollywood terpesona pada The Raid. Para pemainnya mulai dipanggil dalam beberapa produksi film Hollywood. Iko Uwais, Yayan Ruhiyan, Cecep Arif Rahman, hingga Joe Taslim mulai bermain film-film besar di Hollywood, juga dalam berbagai film produksi nasional.

Gareth membantu Joe Taslim untuk bermain dalam film Fast and Furious. Dia bermain dengan Vien Diesel, Dwayne Johnson hingga Gal Gadot. Kemudian Joe juga bermain dalam Star Trek, serta film The Swordsman bersama aktor laga Korea Jang Hyuk. Dia pun menjadi Sub Zero yang dingin dalam Mortal Kombat.

Jalan nasib Joe terbentang bak karpet merah. Dia menjadi aktor global yang bermain dengan berbagai bintang besar. Saat menjadi Sub-Zero dalam Mortal Kombat, dia bisa menghadirkan kengerian dan horor, serta permainan bela diri yang memukau. Dia malah lebih bersinar dari Hiroyuki Sanada yang lebih dulu masuk Hollywood melalui film The Last Samurai.

Di tahun mendatang, nama Joe Taslim akan terus bergema dalam berbagai film lainnya. Dalam dirinya, ada kombinasi antara wajah tampan, kemampuan bermain drama, serta kelihaian bela diri. Dia pun punya etos kerja kuat berat tempaan latihan di dunia olah raga.

Sungai Musi

Tentu saja, nama besar yang menjadi matahari bagi dirinya adalah ayahnya, Mardjuki Taslim, seorang ketua RT yang hidupnya biasa-biasa. Ayahnya selalu memberi motivasi kuat serta dukungan luar biasa untuk kariernya. Ayahnya adalah mata rantai penting bagi karier Joe yang terus tumbuh dan mekar.

Salah satu kalimat ayahnya yang terngiang di benak adalah: “Dengar kataku. Kalau apa yang kubilang salah, nanti aku meninggal, kamu kencingi kuburanku.” 

Kini, ayahnya telah dipanggil Tuhan. Joe tak mungkin mendatangi kuburannya, sebab ayahnya dikremasi. Abunya disebar ke Sungai Musi di Palembang. Ayahnya lahir dan besar di Palembang, bahkan matinya pun mengalir di Sungai Musi.

“Kalau aku lihat Sungai Musi, air mataku langsung jatuh,” kata Joe. Ada nada sedih saat dirinya menyebut Sungai Musi. Dia memang setangguh Sub-Zero, tapi saat mengenang ayahnya, dia tiba-tiba rapuh dan terisak.


TerAWAN yang Melangkah di AWAN


Jika Presiden Jokowi mendapat julukan “Man of Contradiction” dari seorang jurnalis, maka sebutan paling pas untuk Terawan Agus Putranto adalah “Man of Controversy.” Sejak berkarier hingga menjabat menteri lalu diganti, dia tak henti membuat kontroversi di ranah kesehatan.

Marilah kita runut satu per satu. Sebelum menjadi menteri, semasa menjadi direktur di RSPAD, dia pernah berselisih dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait metode penyembuhan stroke melalui brain wash yang dijalankannya di RSPAD.

Metode itu dianggap para dokter tidak sesuai prosedur. Namun bagi Terawan dan juga pasien-pasiennya, apa artinya prosedur ketimbang menyelamatkan nyawa banyak orang. Faktanya, hingga kini tak ada kabar tentang korban berjatuhan gara-gara mencoba metode “cuci otak” yang dipraktikkannya. 

Dia malah makin terkenal karena banyak pejabat negara, pesohor yang mendapat layanannya dan merasa mendapat kehidupan kedua. Tak jelas benar apakah metodenya itu membahayakan ataukah menyelamatkan.

Setelah menjadi menteri, dia tetap kontroversial. Publik tidak lupa dengan sikap denial-nya saat Covid pertama menghadang. Dengan santainya, dia berucap “Nanti juga sembuh sendiri” yang kemudian menjadi meme dan viral. Dia tidak memberikan mitigasi dan pencegahan dan mengira virus itu serupa flu yang bisa datang dan pergi. 

Dia pun menolak untuk tampil di media sampai-sampai seorang presenter terkenal mewawancarai kursi kosong yang sedianya ditempati Terawan. Meski dia dipermalukan dalam talkshow yang disebut banyak kalangan sebagai babak baru jurnalisme, meski dianggap sebagai biang kerok dari Covid yang kian menyebar, Terawan tetap melenggang hingga akhirnya diganti di tengah jalan. 

Mentalnya memang petarung. Dia membuktikan kalau dia tidak akan pernah tumbang. Dia juga tidak bertransformasi menjadi nyinyier sebagaimana menteri lain yang pernah menjabat selama satu periode. Dia tetap menjadi sosok yang datang dengan ide-ide hendak bikin apa, bukan mengenang masa lalu dan kritik sana sini.

Dia menawarkan secercah harapan kalau dirinya akan menemukan vaksin yang diyakini lebih efektif dalam melawan virus. Banyak cemooh dan kritik, tetapi banyak pula yang antre untuk menjadi relawan. Dia mengklaim memproduksi vaksin nusantara, yang tadinya disebut-sebut sebagai karya anak bangsa. Belakangan ketahuan kalau metode itu malah datang dari negeri Paman Sam.

Namun, publik lebih percaya reputasi ketimbang kontroversi. Banyak pesohor, mulai dari Aburizal Bakrie, Sudi Silalahi, hingga Dahlan Iskan siap menjadi relawan untuk menguji keampuhannya. Mereka percaya 100 persen kalau Terawan punya pengobatan yang andal.

Saat Vaksin Nusantara itu ditentang beberapa lembaga pemilik otoritas, banyak orang siap badan. Bahkan wakil rakyat yang terhormat, termasuk anggota komisi yang sering berinteraksi dengan Menteri Kesehatan, juga mendukung Terawan.

Di lihat dari sisi komunikasi, Terawan jelas di atas awan. Dia berbicara dengan sederhana dan dipahami publik. Dia memakai retorika nasionalisme. Dia juga didukung influencer hebat sekelas Dahlan Iskan, termasuk para anggota DPR. Semua memberikan testimoni dan endorsement yang menguatkan Terawan.

Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berbicara dengan kalimat yang rumit dan sukar dipahami publik. Lembaga ini mempersoalkan prosedur, tata cara riset, dan tetek-bengek menyangkut metodologi. Pembelaan dari organisasi IDI juga tidak menolong. Pihak IDI berbicara seolah semua orang akan memahaminya.

Di lihat dari sisi ini, langkah Terawan semakin tidak terbendung. Dia tahu cara merebut hati publik, juga memaksimalkan mereka yang merasa nyawanya pernah ditolong. Dia didukung influencer sehebat Dahlan Iskan yang membagikan banyak informasi positif tentangnya. Suara publik terkesan memihak Terawan.

Selain itu, banyak informasi berseliweran yang beraroma nasionalisme. Banyak teori konspirasi mengenai lalu-lintas perdagangan vaksin yang dikuasai segelintir perusahaan besar, yang seakan sengaja memiliki setting agar membuat dunia tergantung. Saat ada upaya kemandirian yang didorong anak bangsa, segera akan dihambat oleh korporasi besar yang didukung tangan negara.

Namun, apakah manfaat dari debat ini bagi publik? Nothing. Perdebatan ini tidak mencerahkan. Yang terjadi adalah risiko besar yang dihadapi ketika tidak ada petunjuk yang jelas apakah vaksin “made in Terawan” bisa membahayakan ataukah tidak.

Sejak dulu, problem besar di kalangan otoritas kesehatan adalah lemahnya komunikasi untuk menjangkau publik dengan menyampaikan informasi yang benar dan sahih. Kementerian Kesehatan kurang tegas memberikan penilaian sehingga publik dalam situasi yang kebingungan.

Harusnya, Kementerian Kesehatan membuat semacam “clearing house” atau rumah yang membetulkan semua kesalahan, lalu menjelaskan informasi dengan jernih sehingga publik memiliki panduan yang jelas.

Saya teringat artikel sosiolog Ignas Kleden mengenai perbedaan antara relevansi intelektual dan relevansi sosial. Relevansi intelektual adalah saat satu teori diterima kebenarannya oleh komunitas ilmiah. Sedangkan relevansi sosial adalah saat satu teori diterima oleh masyarakat, meskipun teori itu lemah secara metodologis.

Kata Ignas, ada saat di mana satu teori yang benar secara intelektual bisa ditolak secara sosial. Contohnya adalah pandangan Socrates yang ditentang manusia di zamannya. Namun, ada pula saat di mana teori yang salah secara intelektual, namun bisa diterima masyarakat pada zaman itu sehingga dianggap sebagai kebenaran.

Dalam konteks ini, terlepas dari banyaknya cacar akademis dari metode Terawan sebagaimana diungkap banyak pakar, masyarakatnya bisa menganggapnya benar apalagi jika didukung para key person dan juga politisi.

Sikap anti-sains ini bisa membawa risiko besar di masa mendatang. Saat tidak ada pengujian secara ilmiah pada satu produk, lalu digunakan secara massal, kelak bisa muncul banyak dampak bagi masyarakat. 

Namun, apakah metode Terawan membahayakan? Mengacu pada terapi brain wash yang dilakukannya, hingga kini tak ada juga laporan tentang dampak atau bahaya. Padahal sejak awal IDI menentangnya. Malah yang muncul adalah testimoni mereka yang tertolong oleh metode itu. Bahkan Terawan menjadikannya disertasi doktoral di Universitas Hasanuddin

Jika demikian soalnya, kita bisa mengatakan, di negeri ini, proses ilmiah dan proses politik sering tumpang tindih. Para politisi bisa saja mengakui sesuatu yang salah sebagai sesuatu yang benar sebab didorong oleh kepentingan. Di sisi lain, para intelektual sering tidak tuntas meneliti sesuatu sebab keburu dipengaruhi prasangka. Lagi-lagi didorong kepentingan.

Jangan heran jika Terawan akan semakin melangkah di awan.



Marketing 5.0, Phygital, dan Kisah Homo Deus

ilustrasi


Di satu kota Amerika Serikat, seorang bapak terheran-heran saat brosur dari perusahaan bernama Target tiba di rumahnya. Brosur itu ditujukan untuk anak perempuannya. Isinya adalah informasi mengenai produk bagi perempuan hamil.

Bapak itu keberatan karena anaknya seakan dituduh sedang hamil. Dia mendatangi Target dan melayangkan protes keras. Pihak Target lalu menunjukkan bagaimana data-data yang dikumpulkan.

Target telah lama membangun algoritma yang memprediksi perempuan hamil melalui postingan dan barang-barang yang dibeli. Pihak Target menganalisis big data dan memprediksi siapa saja yang sedang hamil, lalu mengirimkan kupon, dan brosur mengenai potongan harga.

BACA: Rahasia Ilmu Marketing di Sekitar Kita

Bapak itu tak bisa berkata-kata. Hingga akhirnya, anak perempuannya mengakui kalau dirinya memang hamil. 

Kasus ini menunjukkan betapa jitunya prediksi dari satu perusahaan tentang siapa yang akan jadi target pasarnya. Di abad ini, pemasaran telah lama bergeser, bukan lagi kegiatan menjajakan produk dari rumah ke rumah, tetapi sudah memanfaatkan big data, serta miliaran informasi di internet.

Tugas-tugas pemasaran tidak lagi hanya bertumpu pada pemasar tetapi mulai mengandalkan teknologi sebab daur hidup manusia lebih banyak berada di ruang-ruang maya. Bukan lagi gerak menuju digital, melainkan telah berada di dalam digital.


Mahaguru marketing Philip Kottler bersama Hermawan Kertajaya merekam semua dinamika itu dalam buku terbaru yakni Marketing 5.0: Technology for Humanity. Buku yang telah lama dinantikan oleh para praktisi pemasaran.

Saya sangat tertarik saat membaca lima trend yang menjadi dasar kelahiran buku ini. 

Pertama, munculnya generasi digital savvy. Generasi ini sering disebut milenial dan Gen Z. Mereka meramaikan wacana, menentukan arah baru di dunia kerja, serta mengubah lanskap komunikasi di abad ini. Generasi yang disebut Net Gen oleh Don Tapscott ini mewarnai dunia dengan caranya sendiri, sehingga mau tak mau semua orang dan semua perusahaan harus pandai berselancar di abad yang baru.

Kedua, gaya hidup Phygital semakin berkembang. Phygtal adalah singkatan dari Physical dan Digital. Di era ini, interaksi tidak lagi fisik, tetapi lebih banyak digital. Hampir semua kegiatan, mulai dari belanja, ngobrol, rapat, seminar, perkuliahan, hingga diskusi dilakukan melalui daring. 

Interaksi fisik semakin berkurang, apalagi sejak masa pandemi. Kita berhubungan dengan orang lain bukan lagi melalui pertemuan fisik, tetapi melalui avatar atau profile picture yang kita pilih di ruang digital. 

Ketiga, dilema digitalisasi. Kian massifnya penetrasi ruang digital dalam kehidupan kita menimbulkan banyak kekhawatiran. Ada banyak pekerjaan yang akan hilang. Ada banyak kecakapan baru yang dibutuhkan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang keamanan dan ruang privasi yang kian terancam di era digital.

Keempat, makin sempurnanya perangkat teknologi. Berkat Google yang menyediakan platform gratis atau rumah bagi beragam aplikasi, setiap hari kita menyaksikan berbagai aplikasi yang memudahkan kehidupan manusia. Banyak bermunculan perusahaan baru yang menawarkan teknologi baru. Kita lihat makin cepatnya internet, cloud computing, big data, dan munculnya banyak software. 

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital

Penggunaan teknologi juga semakin luas. Bahkan para nelayan pun bisa memanfaatkan fish-finder atau aplikasi yang menentukan posisi ikan melalui satelit. Petani juga bisa menggunakan peta satelit untuk melihat kesuburan lahan, kalender tanam, serta penggunaan drone untuk penyiraman lahan.

Kelima, munculnya simbiosis antara manusia dan mesin. Kolaborasi manusia dan mesin telah menjadi penanda abad ini. Mesin membantu manusia untuk menganalisis semua data dan memberi rekomendasi banyak kebijakan ekonomi baru. 

Manusia punya logika dan kearifan (wisdom), tetapi mesin bisa meniru logical thinking manusia melalui sistem algoritma. Manusia punya kemampuan kontekstual, tetapi mesin  bekerja dengan pola terstruktur dan sistematis. Manusia bisa berpikir out of the box saat mesin menyodorkan sejumlah opsi dan pilihan. 

Saya teringat dengan konsep Homo Deus dari Yuval Noah Harari. Dalam bukunya yang menawarkan distopia, Yuval memprediksi, pada titik tertentu, mesin-mesin akan diimplan ke dalam tubuh manusia sehingga memunculkan satu spesies manusia baru yang adaptif dan bertahan lama.

BACA: Membaca Marketing 4.0

Teknologi medis membuat umur manusia lebih panjang, algoritma membuat manusia menentukan keputusan yang tepat dalam bisnis dan politik, serta artificial intelligent (kecerdasan buatan) akan menjadi DNA dari peradaban baru. 

Hari ini, prediksi Yuval mulai terasa kebenarannya. Lihat saja perkembangan teknologi yang kian meniru fisik manusia, atau sering disebut human-inspired bionics. Kemampuan berpikir dikembangkan menjadi artificial intelligent (kecerdasan buatan). Kemampuan berkomunikasi lalu dikembangkan menjadi Natural Language Processing (NLP). 

Kemampuan panca-indra dikembangkan menjadi teknologi sensor yang ditanamkan ke robot dan radar. Bahkan kemampuan manusia berimajinasi telah melahirkan augmented reality atau realitas virtual. 

Siapa sangka, di era ini, kita seakan hidup di era virtual ketika semua bentuk komunikasi dan interaksi berlangsung di ruang maya. Hari ini, kita berada dalam semesta baru yakni Internet of Thing (IoT) di mana data menjadi sumber energi baru yang menentukan semua strategi manusia.

Nah, dalam konteks inilah kita melihat relevansi dari Marketing 5.0. Pendekatan pemasaran harus bisa berselancar di tengah gelombang teknologi dan interaksi manusia dalam ruang maya. 

Pemasaran bukan lagi pendekatan yang langsung terjun ke pasar dan berinteraksi dengan orang-orang, tetapi bagaimana mengolah dan memanfaatkan data serta berselancar di ruang teknologi untuk menjalin relasi seluas-luasnya dan menerima manfaat sebesar-besarnya.



Bagi Philip Kottler dan Hermawan Kartajaya, pemasaran adalah sesuatu yang terus bergerak mengikuti dinamika zaman. Di era 1.0. produk dipasarkan dari rumah ke rumah (product oriented). Di era 2.0, orientasi pemasar pada pelanggan (customer oriented) sehingga relasi untuk pemasaran dibangun. 

Di era 3.0, relasi yang dibangun adalah human oriented sehingga menjadi lebih bermakna dan saling menguatkan. Di era 4.0, pemasaran menjadi lebih digital (moving to digital) sebab manusia mulai tergantung pada internet. Sedangkan di era 5.0. pemasaran berada dalam dunia digital (marketing in digital world). 

Dalam buku Marketing 5.0 ini, kegiatan pemasaran harus selalu fleksibel mengikuti dinamika. Kombinasi antara pendekatan offline dan online, perlunya omni-experience, serta optimalisasi teknologi untuk bisnis.


Dalam banyak hal, saya merasa apa yang disampaikan dalam buku ini tidaklah baru. Lima elemen utama yang dibahas dalam Marketing 5.0 yakni data-driven marketing, predictive marketing, augmented marketing, dan agile marketing. Bagi saya, kelima hal ini sudah lama dibahas oleh banyak orang seiring dengan hadirnya Google dan Facebook.

Bahkan Google jauh lebih maju sebab telah lama membuat Google Trend yang menjadi panduan bagi semua orang untuk memahami trending topic berdasarkan mesin pencari. Bahkan Google dan Facebook telah lama mengembangkan layanan yang memungkinkan para pemasar untuk berinteraksi dengan target pasarnya.

BACA: Ghea Indrawari dan Pelajaran Ilmu Marketing

Namun, saya menemukan pesan penting dari buku ini yakni setiap orang dan setiap organisasi mesti pandai-pandai berselancar di tengah zaman yang terus berubah. 

Sebagaimana pernah dikatakan ilmuwan Charles Darwin, mereka yang bertahan adalah mereka yang memahami zaman dan terus berubah. Mereka yang diam dan merasa nyaman, perlahan-lahan akan kalah, lalu punah.

Kita tak ingin punah. Makanya kita berubah.