Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Burangasi; Spiritualitas di Tengah Kekeringan (Ekspedisi Buton Selatan 6)


APA sih sebab awal mengapa manusia membentuk pemukiman di satu tempat? Para arkeolog mendefinisikan bahwa manusia membentuk pemukiman berdasarkan aliran air. Di mana air mengalir, maka di situlah ada pemukiman. Air adalah simbol dari kehidupan sekaligus tanda dimulainya peradaban.

Namun kunjungan saya di Lapandewa dan Burangasi, membuat saya meragukan banyak pendapat para arkeolog. Masyarakat di dua desa itu hidup dalam kondisi kekurangan air, bahkan untuk digunakan dalam hidup sehari-hari. Masyarakat Lapandewa dan Burangasi tidak punya satupun sumber air, selain dari menunggu kapan hujan jatuh dari langit. Di sekitar situ, tak ada sungai, tak ada mata air, kecuali harus berjalan kaki menuju Desa Lande yang jaraknya bisa sampai puluhan kilometer.

Saat berkunjung ke Burangasi dan Lapandewa, saya melihat rata-rata penduduk membuat bak besar penampungan air di dekat rumahnya. Kemudian di atap rumah penduduk, rata-rata ada saluran air yang menampung air dari atap, untuk kemudian disalurkan ke bak-bak besar di dekat rumah, sebagaimana bisa disaksikan pada gambar di bawah.

Menurut seorang warga, satu-satunya sumber air adalah air hujan yang jatuh dari langit. Ketika air hujan tidak mengucur selama berbulan-bulan, maka penduduk harus mengambil air ke Desa Lande, yang untuk menuju ke situ, warga harus menyeberangi beberapa bukit dan lembah. Membayangkannya saja saya tidak berani, apalagi harus melakukannya.

Yang buat saya terheran-heran adalah krisis air ini bukan terjadi nanti sekarang, namun boleh jadi sudah dirasakan oleh penduduk Burangasi sejak beratus-ratus tahun lalu. Cukup banyak catatan yang menuturkan penduduk Burangasi sudah beratus-ratus tahun mendiami wilayah tandus itu. Jika mengacu pada manuskrip sejarah, penyebar Islam pertama di Buton yaitu Syaikh Abdul Wahid pertama kali singgah di Burangasi, dan selanjutnya menuju Keraton Buton.

Sejarah mencatat kedatangan Syaikh Abdul Wahid, pada abad ke-15 atau tahun 1400-an. Dalam satu literatur, diceritakan bahwa Syaikh asal Pathani (Thailand selatan) itu tinggal selama sebulan di Burangasi, dekat kompleks benteng. Ia lalu menyebarkan Islam pertama kalinya di Burangasi, sebelum kemudian mengislamkan tanah Buton. Dengan asumsi bahwa pada tahun tersebut sudah ada pemukiman di Burangasi, maka artinya usia pemukiman di Burangasi adalah sekitar 600 tahun lebih. Walaupun era Kesultanan Buton sudah lama berakhir, hingga kini struktur sosial yang dibangun pada masa kesultanan masih bisa ditemukan. Yaitu posisi parabela atau perwakilan kesultanan di daerah yang masih bisa ditemukan di Burangasi.

Sejarah juga mencatat bahwa sebelumnya masyarakat tinggal di dalam benteng, namun karena krisis air pada suatu saat, sejak tahun 1967, mereka lalu tinggal di kawasan pemukiman sekarang, yang letaknya tidak terlalu jauh dari benteng yang ada. Jika cerita ini benar, maka upaya mengatasi masalah krisis air ini sudah pernah ditempuh oleh para tetua Burangasi di masa silam.

Saat menuju Burangasi dan Lapandewa, sempat pula saya menyaksikan pipa air yang membentang dari Gunung Sejuk. Menurut informasi dari seorang warga, pipa itu adalah bagian dari proyek mengatasi masalah air yang dilakukan lembaga CARE Internasional. Sayangnya, pipa air itu hanya mengalirkan air selama seminggu. Selanjutnya, pipa itu rusak dan tidak dipergunakan lagi hingga kini. Ini adalah contoh dari pelaksanaan proyek yang hanya menghabiskan uang, tanpa memikirkan bagaimana maintenance atau memelihara proyek tersebut.

Yang mencengangkan saya adalah daya tahan masyarakat untuk menerima kondisi krisis air itu sebagian bagian dari hari-hari yang mereka jalani. Mereka tak pernah mengeluh pada kondisi itu. Mereka bisa beradaptasi dengan cara membangun bak berukuran besar, atau berjalan kaki sejauh beberapa kilometer dan melintasi bukit demi lembah demi mengumpulkan air. Sebagai orang lur (outsider) yang mengunjungi kampung itu, saya benar kagum pada daya tahan atau adaptasi penduduk setempat. Saya tak sempat melakukan wawancara. Dugaan saya, mereka bisa bertahan dengan cara seirit mungkin dalam menggunakan air. Mungkin saja mereka hanya mandi pada saat tertentu, serta menggunakan air hanya untuk sesuatu yang amat perlu, misalnya minum atau mengambil air wudhu.

Mungkin alasan itu pulalah yang membuat fisik penduduk amat kuat dan bertenaga. Bayangkan jika anda mengangkat air dan menempuh jarak beberapa kilometer. Pastilah fisik anda akan sangat kuat dan perkasa. Mungkin ini adalah sisi lain dari krisis air di Burangasi dan Lapandewa.

Dalam kondisi yang krisis air tersebut, penduduk Burangasi masih mempertahankan tradisi Islam yang kental. Mereka amat religius dan masih melestarikan ritual agama Islam. Krisis air tersebut tidak hanya membuat mereka pasrah dengan keadaan. Mereka justru kian memperkokoh keimanannya kepada Tuhan. Mereka menjadi bangsa yang religius dan meyakini bahwa smeuanya sudah digariskan Tuhan.(*)

Lapandewa, Negeri Atap langit (Ekspedisi Buton Selatan 5)


SAAT singgah di Desa Gunung Sejuk, saya diceritakan tentang desa-desa yang terletak di ketinggian, desa-desa yang menantang langit. Rasa penasaran untuk menyaksikan desa ini langsung tumbuh. Saya lama mendengar nama desa itu, tapi belum pernah mengunjunginya. Sayangnya, rata-rata memberikan informasi bahwa akses jalan ke situ rusak parah. Tetapi semangat saya terlanjur berkobar. Saya tetap nekad untuk menjangkau desa-desa tersebut.

Desa di ketinggian tersebut adalah Lapandewa dan Burangasi. Perjalanan ke sana dimulai dengan jalanan menanjak. Jalannya tidak begitu parah, namun setelah beberapa kilometer, jalanan tersebut sedang direnovasi sehingga sukar dilewati. Jalanan tersebut masih ditumpuk dengan batu-batu karang yang belum diratakan sehingga sukar dilewati. Melihat ke kiri kanan, tersaji pemandangan yang indah. Terlihat Desa Mambulu dari kejauhan seperti lukisan tentang desa pesisir yang dihiasi dengan laut biru.

Saya tiba di simpangan antara menuju ke Lapandewa dan ke Desa Bahari. Saya memilih Lapandewa. Jalanan menanjak dengan sangat tajam. Untungnya, teman Dambo yang membonceng, cukup cekatan mengendalikan motor. Sudut tanjakan nyaris 90 derajat sehingga kami sempat kesulitan mendaki. Bahkan, ada juga tanjakan yang berbentuk huruf S. Kita mengitarinya dan berputar. Saat tiba di atas, kita bisa melihat jalan yang dilewati tadi berada di bawah.

Perasaan saya saat itu seperti perasaan Avatar Aang ketika mengunjungi gurunya di Tibet, Istana Atap Langit. Bersama Dambo, Mukmin, dan Nas, kami mendaki terus hingga ketinggian. Setelah itu, jalanannya mulai datar, sesekali mendaki, dan sesekali menurun. Setelah beberapa kilometer, kami memasuki jalanan yang belum diberi aspal. Jalanan mulai rusak parah, dan sama sekali tidak disentuh aspal. Jalanannya rusak parah, dan pemandangan di sekeliling adalah bukit tandus. Di tengah matahari panas yang menyengat, kami tiba di satu tikungan. Kami lalu singgah untuk mengambil gambar.

Memandang sekeliling, semua yang saksikan adalah bukit tandus. Teman-teman berseloroh bahwa kami seperti Frodo Baggins saat berada di Gollum, dalam film Lord of The Rings. Kami lalu terpingkal-pingkal. Seorang teman lain punya pendapat berbeda. Ia mengutip ayat dalam Injil yaitu Mazmur yang menyebutkan tentang Tuhan menurunkan Yesus di daratan tandus untuk membangun kerajaan Tuhan di muka bumi. Mungkin inilah daratan tandus yang dimaksud. Kami kembali tertawa di tengah udara terik itu.

Tak lama kemudian, sebuah mobil penumpang melintas. Mukmin bertanya tentang arah. Sopir mengatakan, jika belok kanan akan sampai ke Desa Lande, sedangkan jika jalan terus, akan sampai ke Lapandewa. Kami lalu mengucap terimakasih, kemudian jalan terus ke Lapandewa. Setelah perjalanan selama sekitar 45 menit, akhirnya sampai juga di gerbang Desa Lapandewa, negeri yang terletak di atap langit. Kami bahagia.

Gerbang desa itu bentuknya sederhana. Mungkin semcama pemberitahuan bahwa Lapandewa adalah kecamatan dengan desa-desa yang sederhana. Dulunya, Lapandewa masuk dalam Kecamatan Sampolawa, namun beberapa tahun lalu, daerah ini sudah dimekarkan menjadi satu kecamatan tersendiri. Walau sudah berdiri sendiri, pemandangan di ibukota kecamatan tidak ada bedanya dengan desa-desa lainnya.

Secara fisik, pemandangan di ibukota kecamatan, tak beda jauh dengan desa-desa yang ada di sekelilingnya. Di sini, rumah-rumah masih berbentuk sederhana. Meskipun ada juga rumah batu, namun rata-rata masih sederhana. Jalan-jalan sama rusak parah. Saya berpikir bahwa mestinya jalanan dibiarkan saja sesuai aslinya. Tidak usah ditimbun batu sebab membuat jalanan itu makin sulit dilewati.

Rata-rata penduduknya menggantungkan hidup pada aktivitas berkebun. Dugaan saya, kebun sangat vital untuk memenuhi kebutuhan makan dan sehari-hari. Pola perkebunan mereka adalah pola subsisten. Mereka hanya memenuhi kebutuhan makan sehari-hari melalui kebun, tidak untuk memperkaya diri. Itu bisa dilihat dari apa yang ditanam di kebun yaitu ubi kayu dan jagung. Banyak juga yang menanam jambu mente, akan tetapi masa panen yang lama, serta nilai jual yang rendah, tidak banyak memberikan hasil yang signifikan bagi masyarakat. Saat di Lapandewa, saya juga mengabadikan seorang remaja yang melintas menuju kebun.

Ada banyak kisah terpenggal di Lapandewa, termasuk sulitnya memperoleh air di ketinggian itu. Namun, akan saya kisahkan dalam tulisan yang lain. Selama sekitar setengah jam di situ, kami lalu bergerak menuju Desa Burangasi.(*)

Pemandian Laloya di Gunung Sejuk (Ekspedisi Buton Selatan 4)


JIKA anda melintasi Desa Gunung Sejuk, Sampolawa, singgahlah sejenak di Pemandian Laloya yang terletak di ujung desa. Rasa lelah menempuh perjalanan, sirna seketika saat menyaksikan air jernih dalam telaga. Pemandian ini terletak di dekat simpangan pendakian menuju Lapandewa. Meski ukuran pemandian ini tidak seberapa besar, namun airnya amat jernih. Saking jernihnya, kita bisa melihat dasarnya. Bisa melihat beberapa ikan kecil yang berenang hilir mudik di situ.

Walaupun disebut pemandian, warga juga memanfaatkannya untuk kegiatan lain seperti mencuci dan mengambil air wudhu. Apalagi, masjid yang terletak tak jauh dari situ, tidak menyediakan fasilitas air wudhu, sehingga jamaah yang hendak mengambil air wudhu harus menuju pemandian Laloya.

Bersama teman-teman, saya singgah ke pemandian itu saat penat menyergap setelah menempuh perjalanan dari Bau-Bau ke Wakokili, kemudian melintasi Hendea dan Rongi. Ternyata, banyak juga orang yang singgah ke pemandian ini. Selain warga setempat yang memanfaatkan sungai sebagai fasilitas mencuci dan membersihkan, banyak pula warga lokal atau dari luar daerah yang singgah untuk melepas lelah atau berekreasi.

Hal yang menakjubkan dari pemandian ini adalah airnya yang jernih dan tidak pernah kering. “Biarpun musim kemarau panjang, air ini belum pernah kering,” kata seorang warga. Wajar saja telaga ini tak pernah kering sebab di sekelilingnya pepohonan amat besar dan rapat-rapat seakan mengepung telaga ini. Saat di telaga itu, sinar matahari tidak menembus telaga saking rapatnya daun-daun pohon menutupi sinar. Selagi pohon di situ masih lesatri, tentunya air telaga itu tidak akan pernah kering.

Saat singgah di situ, saya juga menyaksikan sebuah rombongan dengan bis besar serta puluhan sepeda motor yang juga singgah di situ. Saya lalu menyempatkan waktu berbincang. Ternyata, rombongan itu berasal dari Lasalimu dan sedang melakukan perjalanan ke Desa Bahari untuk berekreasi. Namun karena jalan menuju Bahari sedang dibenahi, mereka mengurungkan niat dan hendak menuju Pantai Nirwana di Bau-Bau untuk rekreasi.

Mereka singgah ke Laloya untuk beristirahat sembari makan siang bersama. Saya salut juga dengan rombongan itu. Bayangkan, anggota rombongannya bukan hanya anak muda saja, melainkan ada orang tua, ibu-ibu, anak kecil, hingga para remaja. Mereka sangat kompak dan merencanakan waktu rekreasi bersama-sama. Menurut bapak yang saya ajak ngobrol, mereka bukan berasal dari satu keluarga besar, namun semuanya satu kampung. “Kita sengaja ramai-ramai rekreasi sama-sama. Bisa lebih akrab,” katanya sambil bergegas meninggalkan tempat.

Setelah mereka pergi, saya lalu bersiap-siap melanjutkan perjalanan.(*)

Nama Desa yang Keren-Keren (Ekspedisi Buton Selatan 3)


 
HAL unik yang saya temukan saat menjelajahi Kecamatan Sampolawa adalah nama-nama desa yang tidak lazim dalam lidah setempat. Entah siapa yang memulai, namun nama-nama desa di Sampolawa kebanyakan diambil dari nama-nama dalam bahasa Indonesia, misalnya Desa Gunung Sejuk, Desa Gerak Makmur, Sandang Pangan, Jaya Bakti, ataupun Bahari. 
 
Nama-nama ini agak berbeda dengan nama desa di Pasarwajo, ibukota Kabupaten Buton, yang terletak tidak jauh dari Sampolawa. Di Pasarwajo, hampir semua nama desa diambil dari nama lokal, yang biasanya diawali La atau Wa, misalnya Lapodi, Lapanda, Wagola, Wabula, dan Wasuemba.
 
Tapi, berdasarkan observasi di lapangan, banyak warga setempat yang lebih suka menggunakan nama lokal yang lebih dulu ada dan sesuai dengan lidah setempat. Misalnya saja, banyak warga yang lebih suka menyebut nama Desa Lande ketimbang nama Desa Gerak Makmur. Demikian pula dengan nama nama desa lainnya seperti Wapulaka (yang nama kerennya adalah Desa Bahari), Rongi (nama kerennya adalah Sandang Pangan), dan Mambulu (nama kerennya adalah Jaya Bakti).
 
Hingga kini, saya masih bertanya-tanya, mengapa nama lokal yang lebih populer itu harus diganti dengan nama lain yang ‘aneh’ dalam lidah setempat? Jangan-jangan, ini adalah bagian dari penetrasi pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, negara menjadi institusi yang amat kuat dan mengendalikan segala hal. Bahkan, untuk penamaan desa pun, orang Sampolawa seolah tidak punya hak untuk memberi nama.
 
Andaikan pemberian nama itu dibarengi dengan pembenahan infrastruktur serta fasilitas, barangkali tak mengapa. Ternyata, infrastruktur yang dibangin di wilayah ini justru biasa saja. Jalanan banyak yang rudak parah, serta masih banyak desa yang tidak terjangkau listrik. Apalah artinya memaksakan nama tatkala tidak diikuti pembenahan fasilitas?

Etnis Cia-Cia yang Bersahaja (Ekspedisi Buton Selatan 2)


ADA dua jalur yang bisa ditempuh dari Kota Bau-Bau untuk menuju Buton Selatan. Jalur pertama adalah langsung menuju Batauga. Di sini, jalannya sangat mulus dan kita bisa menjangkau Batauga hanya dalam waktu sekitar dua atau tiga jam. Jalur lainnya adalah melalui Kecamatan Sorawolio, selanjutnya ke Wakokili dan belok kanan melalui desa-desa seperti Hendea dan Rongi.

Jika melalui jalur kedua ini, jalanan rusak akan ditemukan saat sampai di Sorawolio khususnya di Desa Gonda. Memasuki perbatasan Kota Bau-Bau dan Kabupaten Buton, jalanan semakin rusak parah. Setiap melintas jalan ini, saya selalu kesal dan tak habis pikir, mengapa jalanan itu tidak dibenahi. Padahal, jalanan ini berusia cukup tua sebab dibangun oleh pemerintah Belanda, sebagai akses jalan untuk mengangkut aspal dari lokasi pertambangan menuju Kota Bau-Bau.

Mulai memasuki Sorawolio, warga yang berumah di situ berasal dari etnis Cia-Cia. Saya tak tahu apa makna kata Cia-Cia dan sejarah keberadaan mereka di Pulau Buton. Tetapi, etnis ini sejak dahulu menjadi bagian dari mereka yang mendirikan Kesultanan Buton. Dalam berbagai publikasi tentang Buton yang dilakukan para penjelajah atau peneliti asal Belanda di masa lampau, nama Cia-Cia selalu disebut sebagai bangsa besar yang menjadi salah satu etnis besar yang ikut mendirikan kesultanan. Penyebar Islam di Buton, Syaikh Abdul Wahid, pertama kali singgah di Burangasi, yang warganya adalah etnis Cia-Cia.

Kemudian, Raja Buton pertama, Wa Kha Kaa, menghabiskan sisa hidupnya di Wabula dan beranak-pinak di situ. Wabula adalah salah satu desa yang dihuni betnis Cia-Cia. Tak hanya itu, sejumlah Sultan Buton juga berasal dari etnis Cia-Cia. Makanya, sebutan Cia-Cvia sebagai salah satu etnis besar di Buton, adalah sebutan yang amat pantas, mengingat luasnya cakupan sebaran orang Cia-Cia. Perkiraaan saya, pesisir selatan Pulau Buton sebagian besar dihuni oleh orang Cia-Cia sendiri.

Meskipun hidup membaur dengan warga lainnya di Buton, orang Cia-Cia memiliki bahasa sendiri yang menjadi medium komunikasi sehari-hari. Bahasanya cukup luas dipergunakan. Saya sendiri menguasai beberapa kosa kata dalam bahsa Cia-Cia. Padahal, saya hanya sekali berkunjung ke situ. Itupun cuma sekitar seminggu.

Beberapa bulan lalu, etnis Cia-Cia banyak dibahas dalam berbagai publikasi internasional. Malah, koran bergengsi seperti The Strait Times dan The Wall Street Journal yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) juga ikut menurunkan tulisan tentang etnis Cia-Cia. Mereka banyak disebut karena bahasa Cia-Cia diajarkan dengan alfabet Korea di banyak sekolah di Sorawolio, Bau-Bau. Beberapa media besar di Indonesia ikut-ikutan mengutip berita dari luar negeri tersebut, tanpa melakukan verifikasi langsung ke sekolah mengajarkan bahasa Cia-Cia dalam alfabet Korea. Berikut kutipan dari beberapa media tersebut:

Ternyata tidak semua penduduk Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana tulis menulis. Suku di pedalaman Buton, Sulawesi Selatan, cia cia misalnya. Mereka menggunakan huruf hangeul untuk menulis kata-kata. Menurut profesor dari Seoul National Univesity, Lee Ho Young, suku cia-cia sebenarnya bisa berbahasa dalam Bahasa Indonesia. Namun mereka buta huruf sehingga tidak bisa menulis.

Saat datang ke pemukiman tersebut, Lee pun mengajarkan huruf hangeul kepada anggota suku sejak 21 Juli 2009. Tujuannya agar suku cia cia tsb dpt memelihara bahasa aslinya walaupun menulis dengan huruf Korea. “Cia-cia sekarang dapat memelihara bahasa aslinya (dengan menuliskannya menggunakan hangeul),” kata Lee seperti dilansir The Straits Times, Jumat (7/8/09). Selain membantu Lee rupanya memiliki tujuan lain. Sebagai ahli bahasa, Lee ingin huruf hangeul dapat digunakan di luar Korea. “Saya harap ini akan menjadi batu loncatan untuk menyebarkan hangeul ke luar”. kata Lee.

Untuk menunjang misi tersebut Hunminjeongeum Research Institute, tempat Lee bernaung, berencana akan melatih guru bahasa November. Penyebaran hangeul sudah digunakan sejak beberapa tahun lalu untuk membantu suku-suku minoritas di Asia yg tidak memiliki sistem penulisan. Huruf hangeul yang memiliki 24 karakter diperkenalkan oleh King Sejong pada tahun 1443 untuk menggantikan karakter huruf China di Korea.

Fakta ini menjadi berita besar baik bagi orang Korea sendiri, maupun oleh warga Asia, maupun dunia. Orang Korea amat bangga dengan kebudayaannya. Menurut seorang teman yang pernah ke Korea, di sana jarang dilihatnya mobil-mobil impor. “Kebanyakan orang Korea pakai mobil Hyundai sebab diproduksi Korea sendiri,” katanya. Kebanggaan akan budaya ini menjadi api yang membakar nasionalisme dan menebalkan identitas bangsanya. Makanya, saya bisa bayangkan betapa hebohnya orang Korea ketika mengetahui bahwa ada satu etnis kecil di Indonesia, di tengah Pulau Buton, yang belajar alfabet Korea untuk menuliskan bahasanya sendiri. Ini adalah berita besar buat mereka.

Pantas saja kalau dalam beberapa bulan ini, ada banyak wartawan asal Korea yang datang ke Bau-Bau untuk meliput kegiatan diajarkannya bahasa Korea tersebut. Bahkan tayangan tentang pengajaran bahsa Korea itu akan diputar di semua televisi nasional Korea, dalam momentum peringatan kemerdekaan di Korea.

Tak pelak, hal ini juga menimbulkan rasa penasaran dari negeri Jepang –yang merasa lebih hebat dari Korea. Menurut Walikota Bau-Bau, Amirul Tamim, ia sudah beberapa kali dikunjungi wartawan asal Jepang yang menanyakan kenapa harus mengajarkan alfabet Korea, dan bukannya alfabet Jepang. Amirul mengatakan bahwa orang Korea lebih proaktif memperkenalkan budayanya. Kebetulan pula, yang diajarkan adalah tetap bahasa Cia-Cia, namun dengan aksara Korea.

Menurut saya sendiri, apa yang dilakukan oleh orang Korea amatlah revolusioner. Dalam harian The Wall Street Journal, disebut ambisi mengajarkan alfabet Korea ke Pulau Buton itu adalah ambisi untuk menggaungkan nama Korea dalam pentas global. Sebab mengajarkan alfabet, pastilah diiringi dengan memperkenalkan kebudayaan. Melalui aksara itu, secara kultural, kebudayaan Korea menjadi kebudayaan dunia yang sifatnya lintas batas dan diapresiasi oleh berbagai bangsa, tidak cuma bangsa Korea sendiri. Kebudayaan adalah pintu masuk atau jendela untuk memulai aktivitas ekonomi, yang ujung-ujungnya adalah menjadikan Korea sebagai pusat keunggulan dunia. Kira-kira demikian.(*)

Ekspedisi Buton Selatan


MINGGU (28/9), saya merencanakan perjalanan yang saya sebut Ekspedisi Buton Selatan. Sesuai dengan namanya, wilayah ini terletak di sebelah selatan Pulau Buton, yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Sampolawa, dan Kecamatan Batauga di Kabupaten Buton. Beberapa tahun lalu, publikasi tentang daerah ini cukup intens karena menjadi kandidat kuat ibukota Kabupaten Buton. Sayang sekali, pertimbangan politis dianggap lebih kuat sehingga wilayah ini urung menjadi ibukota, dan lebih memilih Pasarwajo. Nama Sampolawa dan Batauga kian tenggelam.

Bagi saya, dua daerah ini adalah misteri yang cukup menantang. Memang, sewaktu kecil saya pernah mengunjungi pusat-pusat pemukiman penduduk di ibukota kecamatan. Namun, saya sama sekali tidak pernah mengunjungi wilayah pedalaman, serta desa-desa yang selama ini hanya saya dengar dari pembicaraan beberapa orang. Padahal, selama tinggal di Bau-Bau, saya amat sering mendengar diskusi tentang desa-desa di Buton Selatan tersebut.

Warganya adalah pekerja keras dan perantau, yang jauh merantau ke Kota Bau-Bau untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan, banyak warganya yang merantau hingga pesisir timur Nusantara seperti Ambon dan Papua untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bagi saya, warga Sampolawa dan batauga adalah mereka yang bersahaja dan baik. Saya tak pernah mendengar tentang perilaku yang jahat. Juga tak pernah mendengar prilaku seperti baku tikam, ataupun kesombongan yang ditunjukkan mereka. Ketimbang daerah lain di Buton, warga Sampolawa atau Batauga relatif low profile dan menjalani hidup tanpa ambisi yang meletup-letup. Inilah yang membuat saya makin penasaran untuk mengunjungi desa-desa di sana.

Saya juga penasaran dengan fakta mengapa banyak warganya yang merantau. Apakah karena kemiskinan ataukah karena kampungnya tidak bisa memberikan kesejahteraan? Semua pertanyaan itu akan terjawab melalui ekspedisi yang saya rencanakan. Dalam perjalanan ini, saya ditemani oleh tiga teman yaitu Dambo, Mukmin, dan Nas. Kami berangkat dengan dua motor dan saling berboncengan. Kami dipertemukan oleh kepenasaranan yang sama untuk menelusuri sudut-sudut Pulau Buton dan merasakan sengatan matahari di bebukitan tandus Buton Selatan. Kami adalah penjelajah yang sudah pernah berkelana dalam beberapa proyek penelitian di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, maupun daerah lain, dan betapa anehnya karena kami sendiri tidak mengenali wilayah tempat kami lahir dan dibesarkan.
Inilah catatan-catatan yang lahir dari penjelajahan selama sehari. Selamat membaca!

Lola Amaria dan Riset Kualitatif


BARUSAN saya membaca Kompas tentang artis Lola Amaria berangkat ke Hongkong untuk persiapan syuting film Minggu Pagi di Victoria Park yang berkisah tentang kehidupan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di negeri asal Jacky Chan tersebut. Rencananya, tiap hari ia akan duduk mengamati bagaimana perilaku para TKW, kemudian mewawancarai mereka tentang perasaannya, hari-hari yang dilewati, serta bagainana mereka beradaptasi dengan berbagai situasi. Ia akan belajar berprilaku sebagaimana TKW itu demi aktingnya dalam film itu.

Saya sempat tertegun membaca berita ini. Bagi saya, apa yang dilakukan Lola adalah bagian dari metodologi penelitian kualitatif. Ia melakukan observasi ke jantung realitas dengan cara berpartisipasi pada kegiatan TKW, kemudian melakukan wawancara mendalam (depth interview) sembari membiarkan pikirannya memotret gejala (snapshot), menganalisis kejadian, dan belajar berpikir sebagaimana yang dilakukan oleh para TKW. Semuanya akan menjadi elemen dalam ruang berpikirnya yang kemudian menyusun konsep tentang TKW itu sendiri.

Beberapa tahun lalu, saat menyusun skripsi tentang film Pasir Berbisik, saya sering sekali membaca berita tentang aktor kawakan Christine Hakim yang kerap berkontemplasi di lokasi syuting, membaur dengan peran yang hendak diperankannya. Jelang syuting film Pasir Berbisik, Christine harus ‘live in’ atau mencebur dalam kehidupan para penjual jamu di satu desa yang tandus kering kerontang. Setiap hari ia menemani wanita penjual jamu, sehingga ketika memainkan karakter tersebut seakan-akan dirinya menjelma jadi penjual jamu. Ia menangkap spirit penjual jamu dan memasukkan spirit itu sebagai kesadaran yang mengendalikan raganya. Makanya kita sebagai penonton melihat Christine yang baru, Christine yang penjual jamu.

Seperti halnya yang dilakukan Lola dan Christine, dunia riset kualitatif adalah sebuah dunia yang amat dekat dengan kehidupan siapa saja. Tak hanya para artis, para nelayan di Wakatobi juga tidak serta-merta menjadi pelaut handal dan memegang kemudi. Mereka harus mulai dari posisi junior, ikut dalam kapal sebagai juru masak atau awak magang, sembari memasang ‘radar’ di kepalanya, mengamati apa yang dilakukan para nelayan senior, hingga tiba suatu titik di mana dirinya dianggap cakap memegang kemudi. Inilah dunia riset kualitatif. Kita belajar dan berkarib akrab dengan realitas, sehingga kita menjadi bagian dari realitas itu.

Inilah bagian dari riset kualitatif. Tanpa sadar, kitapun sering melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Anehnya, di mata para peneliti atau mahasiswa, riset kualitatif seolah menjadi momok yang menakutkan. Mereka menganggapnya sukar karena tidak terbiasa berpikir out of the box. Mereka terbiasa memaksakan realitas berjalan sesuai apa yang ada di pikirannya, atau memaksakan sesuai dengan apa yang tercatat dalam berbagai buku teori. Makanya, saat melakukan riset kualitatif, mereka kesulitan untuk berpikir sebagaimana yang dilakukan subyek riset, atau menanggalkan cara kita memandang persoalan, dan bersikap humble atau rendah hati untuk menerima kemungkinan melihat cara pandang sesuai dengan yang dilakukan orang lain.

Banyak yang memandang riset kualitatif amat sulit dilakukan sebab kita adalah generasi yang dibesarkan oleh keangkuhan bahwa kita menguasai pengetahuan, dibesarkan dalam tradisi iklim akademik sehingga kita seolah merasa sebagai malaikat yang selalu benar. Dunia akademik telah menjadi pupuk bagi suburnya keangkuhan dalam diri kita seolah kitalah yang benar dan selalu akan benar, sementara cara berpikir orang lain selalu keliru.

Makanya, dunia riset kualitatif adalah dunia yang mengajarkan kita sikap rendah hati. Kita rendah hati dan menyadari bahwa pengetahuan kita tidak lebih dari ceceran pengalaman yang amat terbatas. Dunia kita adalah dunia yang dibatasi oleh cara berpikir sebagai hasil bentukan dari pengalaman serta bacaan kita selama bertahun-tahun. Di saat yang sama, orang lain juga membangun dunianya sendiri yang dilukisnya melalui pengalaman serta kuasnya adalah pengetahuan. Melalui riset kualitatif, sedang terbenatng jembatan antara dunia dan melabrak batasan keangkuhan pengetahuan. Terbentang jembatan hati untuk berbagi dengan sesama dan sikap saling memahami satu sama lain.

Ini persis yang dialami Lola saat berempati dengan TKW. Ia berhasil membangun jembatan hati sehingga memahami apa yang dilakukan para TKW itu. Di akhir observasinya, ia membela prasangka yang tak adil pada para TKW. Ia mengatakan, “Mereka itu pahlawan devisa. Kita harus menghormatinya.”

Bau-Bau, 27 September 2009

Calon Guru yang Berjalan Kaki

KEBAIKAN yang kita lakukan, tidak untuk dikisahkan sebab bisa mengurangi keikhlasan kita, bahkan mengurangi pahala. Namun, biarlah sesekali kulanggar pesan bijak tersebut. Tidak untuk mencari pujian dari orang-orang, namun sekedar kisah lepas saja dan alanglah baiknya jika ada hikmah yang dipetik.

Malam ini, aku mengendarai motor dari Pantai Kamali dan menyaksikan dua orang lelaki usia sekitar 20-an tahun, berjalan kaki di depan SMEA. Pukul 00.00 wita, Kota Bau-Bau sudah seperti kota mati yang senyap. Melihat pakaian jas yang mereka kenakan, kutebak mereka adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) yang baru saja selesai ujian meja di kampusnya yang terletak di dekat Pantai Kamali.

Artinya, saat kulihat melintas, mereka telah menempuh jarak sekitar empat kilometer. Jarak yang lumayan jauh. Nampaknya, mereka sengaja menunggu kedatanganku sebab dikiranya ojek yang beroperasi di malam hari. Ketika mendekat, mereka sadar bahwa aku bukan ojek, sebab aku sendiri sama sekali tidak singgah atau memperhatikan mereka, sebagaimana layaknya ojek yang melintas.

Aku berjalan terus. Akan tetapi, setelah menempuh jarak 100 meter, ada rasa bersalah yang menderaku, mengapa tadinya tidak singgah. Akhirnya aku berbalik dan menyinggahi mereka. Berpura-pura sebagai ojek, aku bertanya hendak ke mana. Mereka lalu menyebut Panti Asuhan Muslimin Bau-Bau, yang jaraknya lima kilometer. Keduanya kupersilahkan naik motorku. Berbonceng tiga, aku tancap gas menuju arah yang mereka tuju.

Sepanjang jalan kutanyai mengapa mereka harus berjalan kaki demikian jauh. Mereka bercerita tentang kampusnya yang ujian di malam hari, kemudian kampung mereka yang jauh, serta cita-citanya menjadi guru agama jika kelak pendidikannya usai. Aku tersentuh juga karena di zaman seperti ini, masih saja ada yang bercita-cita menjadi guru agama di kampung terpencil. Sungguh jauh dengan cita-cita anak kecil dalam iklan susu yang ingin jadi astronot atau ingin jadi dokter.

Saat tiba di tujuan, mereka segera merogoh kocek dan hendak memberiku uang. Namun, segera kutepis sambil mengatakan aku bukan ojek. Niatku hanya mau membantunya. Mereka ngotot untuk memberi, bahkan memasukkan uang ke kocekku. Aku juga ngotot menolak. Kukatakan bahwa niatku hanya untuk menolong. Mereka sesaat terdiam, kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda terimakasih. Tanpa menyebut nama, aku langsung tancap gas.

Ternyata, ada bahagia yang tak terucap saat kita melakukan kebaikan.

Jenuh.... Bosan....

SELALU ada kejenuhan yang mendera kita tatkala lama berada di suatu tempat, tanpa kegiatan yang jelas. Selalu ada rasa bosan ketika menjalani hari-hari yang monoton, tanpa melakukan sesuatu. Di sini, ada rasa jenuh dan rasa bosan yang mulai mencekik hari-hariku. Aku mulai merindukan suasana yang penuh kegiatan, rindu dengan hal-hal yang sibuk dan melaksanakan hal-hal yang kita jadwalkan. Rindu dengan ketergesa-gesaan. Rindu dengan rutinitas....

Bejana Penuh Kenangan

AKU menikmati setiap episode pulang kampung. Namun, berlama-lama dengan nostalgia dan memperbarui kenangan bisa menjenuhkan juga. Kenangan memang bisa diawetkan dalam bejana di hati kita, namun mustahil mengembalikan sesuatu sebagaimana semula. Sepertinya, ada dua sisi yang agak kontradiktif di sini. Kenangan cenderung statis, sementara diri kita terus-menerus mengalami transformasi.

Kenangan adalah perangkap kesan dalam benak kita tentang sesuatu. Kenangan adalah himpunan pengalaman-pengalaman yang membentuk satu bangunan konseptual tentang sesuatu dalam genangan berpikir kita. Kita menilai sesuatu berdasar kenangan itu. Dalam konteks seseorang, kenangan cenderung tetap dan tidak berubah, padahal orang yang hidup dalam kenangan itu terus mengalami gerak. Maka nostalgia adalah momentum di mana kita saling mempertautkan kenangan, memperbarui kenangan, sekaligus kian memperkaya stok data seseorang sebagaimana diabadikan dalam benak kita sendiri.

Dalam setiap momen pulang kampung dan perjumpaan dengan kawan lama, senantiasa terbuka ruang untuk nostalgia. Aku menikmati nostalgia dan pertautan kenangan itu. Namun, hidup dalam nostalgia itu bisa menjadi perangkap juga buat kita. Tiba-tiba saja kita serasa terperangkap dalam sikap jalan di tempat, tanpa merencanakan sesuatu. Kita merasa besar dengan masa lalu, tanpa menyusun strategi untuk menghadapi masa depan.

Mungkin cara yang paling bijak adalah memperlakukan kenangan sebagai sesuatu yang memberi efek dinamik, sesuatu yang menggerakkan. Di sini, kenangan bukan hanya bejana yang menyimpan episode penting dalam kehidupan, namun menjadi api yang membakar motivasi dan semangat kita sendiri. Kira-kira demikian...

Politik sebagai Lumpur Hidup

POLITIK ibarat energi yang menarik pusaran berpikir orang-orang. Politik ibarat pasir hidup yang mengisap dan memerangkap seseorang ke dasarnya, kemudian tak membiarkannya keluar. Anda tak punya daya untuk keluar, dan hari-hari anda adalah terperangkap dalam tema yang itu-itu saja. Di situ memang ada keasyikan, namun lihatlah sekeliling. Anda akan menemukan bahwa selama ini anda ibarat katak dalam tempurung, tak pernah beranjak!

Demikianlah hal-hal yang kecil yang saya amati saat berada di kampung. Di sini, semua pertemuan, semua perbincangan selalu punya nuansa politis, suatu hal yang tidak terlalu saya sukai. Meski perhelatan politik masih jauh, namun entah mengapa, semua orang begitu asyiknya membahas tema itu setiap hari, tanpa kecuali. Setiap hari ada tilikan terhadap geopoliik, pergeseran peta kekuatan, hingga siapa saja yang akan didorong untuk arena pilkada beberapa tahun mendatang. Tampaknya, politik perlahan menjadi darah daging beberapa orang di kampung ini yang mendamba kuasa dan berharap cipratan kuasa.

Beberapa hari ini, saya bersama teman yang seolah mendedikasikan hidupnya di jalur politik. Mereka melihat politik sebagai kosmos yang mengitari. Dalam waktu dua hari, kami banyak bertemu beberapa sosok yang ambisi jadi penguasa. Teman-teman saya seolah menyimpan stok ‘jilatan’ yang tak habis-habis. Saat bertemu si A, mereka akan ‘menjilat’ setinggi langit. Dalam waktu beberapa jam berikutnya, mereka bertemu si B, lagi-lagi mereka ‘menjilat’ dengan jenis ‘jilatan’ yang sama. Di sini, tak ada kesetiaan. Hanya ada sebuah dunia yang oportunis, hipokrit, dan penuh kebohongan. Saya stres.

Saya tak habis pikir saat mengamati kawan-kawan yang isi otaknya adalah politik. Apa pula kekuatan-kekuatan yang menggerakkan proses berpikirnya hingga tiap hari membahas politik begitu rupa? Saya teringat Erving Goffman. Karakter manusia ibarat dua panggung yakni panggung depan dan panggung belakang. Semua yang ditampilkan dalam dialog sehari-hari adalah ibarat panggung depan dari sebuah opertunjukan teater. Di situ ada manipulasi, ada dusta, ada rekayasa, ada politik!

Sementara panggung belakang adalah sebuah tempat di mana anda akan jujur dengan diri anda sendiri. Di situ anda merias diri, mematut-matut wajah di cermin, hingga menyaksikan coreng-moreng di wajah anda sendiri. Saat berbincang dengan kawan-kawan yang isi kepalanya adalah politik, saya bertanya-tanya pada diri saya, apakah gerangan panggung belakang itu? Mungkinkah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan kita untuk selalu bicara politik karena kita melihat politik sebagai game atau permainan sabung ayam. Dalam permainan itu, pemenangnya tidaklah penting. Yang paling utama adalah proses-proses menuju kemenangan tersebut. Kita bisa asyik memeta-metakan kekuatan, menghitung peluang, serta mengira-ngira mana yang akan menang, kemudian bersorak-sorai ketika terompet arena pertandingan itu sudah dibunyikan.

Kita menyanjung yang menang, dan di saat bersamaan, melupakan yang kalah. Kita tak pernah tahu bagaimana perasaan mereka yang kalah itu, bagaimana ia mengatasi rasa malu akibat kekalahan, bagaimana ia bergulat untuk menyembuhkan luka-lukanya. Segera setelah dinyatakan kalah, ia akan masuk ke dunia yang senyap di mana-mana hari-harinya akan berbalik 180 derajat. Tak ada lagi sorak-sorai, yang ada hanyalah hitung-hitungan seberapa jauh ia menderita atas proses yang dijalaninya. Dan kita tak punya andil di situ. Usai perhelatan itu, kita menjadi massa yang sibuk mencaci seseorang yang kalah.

Mungkin yang kita lihat dari politik adalah game atau permainan itu sendiri. Game menjadi tujuan dari semuanya. Meskipun tidak selalu mutlak demikian. Beberapa teman masuk ranah politik, mendekati para kandidat yang haus kuasa itu, demi harapan agar kelak dirinya bisa masuk lingkar kuasa. Tatkala masuk lingkar kuasa itu, mereka bisa mendapatkan cipratan proyek. Wah, kategorinya berbeda lagi. Ada yang masuk ranah politik karena suka dengan game-nya, namun ada juga yang berharap bisa cari makan di situ. Yah... Itulah manusia Indonesia.(*)

Idul Fitri dalam Segelas Alkohol

BEBERAPA generasi muda Buton hari ini sudah mulai kehilangan rasa malu. Setidaknya itulah yang saya saksikan hari ini. Usai salat Idul Fitri, mereka mempertontonkan perilaku yang amat memalukan. Masih dengan berpakaian sarung dan baju koko, saya menyaksikan mereka berkumpul di satu tempat, sambil melingkari beberapa botol bir. Mereka minum alkohol di tengah keramaian, dan bangga atas apa yang mereka lakukan.

Saya melihat kejadian itu di Kelurahan Wameo dan Kelurahan Wajo. Saya teringat nenek moyang Buton yang memilih jalur ulama dan kesufian sebagai arena pengabdian. Apa pula yang dikatakannya ketika melihat anak muda yang angkuh itu? Apa pula yanhg dikatakan nenek moyang ulama itu ketika menyaksikan anak muda yang merayakan Lebaran melalui segelas minuman alkohol?

Kehangatan yang Terpancar

HAL paling menyentuh dari Lebaran adalah kehangatan yang dipancarkan saat kita bertemu kerabat maupun orang lain. Kita tersenyum, saling mengulurkan tangan, dan sama-sama minta maaf. Meskipun tak terbahasakan, namun saat itu ada komitmen yang sama kita hembuskan bahwa segala dosa di masa lalu biarlah tersimpan di masa lalu. Kita membersihkan onak dan duri di hati kita, sembari menanamkan satu keyakinan bahwa kita start dari nol lagi, sebagamana iklan Idul Fitri dari Pertamina. Kita memulai lembaran baru dan berjanji akan saling menjaga hati, tidak saling menyakiti lagi, serta saling menghormati. Mungkin itulah esensi dari Idul Fitri.(*)

Selamat Lebaran...

ADAKAH kemenangan terbersit di hatimu tatkala Lebaran mengetuk pintu rumah? Selama sebulan kita berpuasa, selama sebulan kita menahan hawa nafsu, namun bisakah kita mengklaim diri kita sebagai pemenang di hari yang fitri ini? Bukankah kita sedang memasuki sebuah gerbang baru di mana Ramadhan adalah kawah candradimuka yang melatih kita untuk menaklukan hari-hari yang dibetot nafsu? Kita memasuki lembaran baru yang mencatat gerak kita hendak ke mana, dan setiap inchi dari pencapaian kita. Pada akhirnya, kita tak pernah menang. Kita hanya naik kelas dan memasuki tantangan baru yang kian kompleks.


Selamat Hari Raya Idul Fitri....... Mohon maaf lahir dan bathin...

Plesetan Ketika Cinta Bertasbih 2

SEORANG teman mengirimkan foto lucu tentang poster film Ketika Cinta Bertasbih 2. Gambar pria dan wanitanya tertukar. Jika anda pembuat film ini, jangan marah. Ini hanya iseng saja, namun saya menilainya sebagai hal yang kreatif. Saya langsung tersenyum ketika melihat foto ini. Bagaimana dengan anda?




Hikayat Lebaran di Kampung

sehari jelang Lebaran....

Bapak adalah mahluk yang paling sibuk di dunia. Pagi-pagi buta ia sudah ke pasar untuk membeli daun kelapa yang akan digunakan untuk membungkus lapa-lapa, makanan khas Lebaran di kampung. Setelah itu, bapak mengajakku ke Pasar Wameo beli ayam. Susah pilih ayam karena rata-rata mahal dan banyak pembeli. Bapak memilih ayam jantan yang besar, kemudian kubawa pulang.

Tiba di rumah, ayam itu tidak langsung diikat di kandang. Aku bawa ayam itu untuk diadu dengan ayam-ayam lainnya. Teman-teman lainnya juga membawa ayamnya keliling. Kami saling adu ayam, sampai-sampai ayamku luka-luka. Saat dibawa pulang ke rumah, bapak marah-marah. Luka ayam itu dilumuri dengan minyak gosok, lalu dimasukkan dalam kandang.

Seharian bapak sibuk memotong-motong daging sapi yang dibeli dari La Ode Banya, yang sudah lama menggeluti bisnis daging sapi. Sampai-sampai, kami menjuluki anak-anaknya dengan panggilan “sapi”. Bapak memotong daging dengan cara menjepit pisau dengan ibu jari. Mata pisau diarahkan ke atas, kemudian daging digeser-geser hingga terpotong. Daging itu akan dibuat sate, ada juga yang digoreng, serta untuk daging masak.

Setelah memotong daging, bapak akan memarut kelapa. Banyak benar kelapa yang harus diparut. Usai parut kelapa, mama lalu mengambil kelapa itu untuk diperas menjadi santan. Ampas kelapa itu lalu dipakai bapak untuk mengepel seisi rumah hingga bersih dan mengkilat.

Sementara mama sejak pagi sudah bangun. Ia memasak lapa-lapa selama seharian penuh supaya makin enak. Lalu masak sup, daging, dan bikin tape. Meski penuh kesederhanaan, mama berusaha menyajikan yang terbaik. Ia memasak yang terenak. Meski aku jauh merantau hingga Makassar dan Jakarta, tak kutemukan makanan seenak buatan mama.

Mama memintaku potong ayam. Aku lalu membawa ayam itu ke Bapaknya Iin yang ada di depan rumah. Usai dipotong lehernya, ayam itu akan dilempar hingga menggelepar-gelepar. Tugasku selanjutnya adalah mencabut semua bulu ayam itu bersama kakak. Kami melakukan itu dengan penuh semangat.

Di kampungku, ayam adalah makanan yang paling dinantikan. Setiap hari kami makan ikan, dan hanya pada momen-momen tertentu kami makan ayam. Membayangkan makan ayam adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Indahnya Lebaran karena membayangkan akan pakai baju baru, makan enak bersama-sama, serta dapat uang saku dari bapak.


Saat malam Lebaran...

Bapak mengajakku bakar lilin di kuburan kakek di Wameo. Di sana, kuburan berhias dengan lilin sehingga seperti keramaian. Biasanya, kuburan sepi. Tapi pada malam puasa dan malam Lebaran, kuburan itu berhias dengan lilin hingga terang. Kata bapak, ini adalah tradisi yang sudah lama di kampung. Pulang dari kuburan, bapak juga bakar lilin di depan rumah. Hampir semua rumah di kampung membakar lilin di depan rumah. Ini adalah tradisi untuk menyambut Lebaran.

Pulang ke rumah, aku mengambil kembang api. Kunyalakan kembang api itu melalui api lilin di depan rumah. Kemudian, aku kegirangan ketika berlari sambil memegang kembang api. Teman-temanku berdatangan. Semuanya senang karena sama-sama membakar kembang api. Beberapa teman menyalakan kembang api dan melemparnya ke pohon. Indah sekali seperti melihat pohon natal.

Akupun ingin ikut melakukannya. Usai bakar kembang api, kulempar tinggi-tinggi ke pohon supaya menyala di pucuknya. Ternyata kembang api itu meluncur jauh dan jatuh di atap rumahnya La ifin. Menyala di sana. Teman-teman menakut-nakutiku kalau rumah itu akan terbakar. Aku lari terbirit-birit dan sesekali menoleh ke atas kalau-kalau ada api yang membumbung tinggi. Ternyata tidak ada. Aku selamat.

Usai bermain-main, aku lelah dan ingin tidur. Tanpa mandi dan cuci kaki, langsung tidur di kamar. Di luaran, azan takbir mendayu-dayu. Aku lelap....

Saat Lebaran......

Aku bangun pagi karena teriakan bapak yang menyuruh bangun. Langsung menuju kamar mandi. Di sana, adik sedang amndi. Aku harus menunggu. Habis mandi, keluarkan baju yang terbaik dan dikenakan. Di luar, semua orang sudah siap-siap untuk ke tanah lapang. Di kampungku, ada tiga tempat untuk salat Idul Fitri yaitu di Stadion Betoambari, Lapangan Lembah Hijau, dan Masjid Keraton. Biasanya kami sekeluarga pergi ke Stadion Betoambari. Tapi, bapak sering mengajakku ke Masjid Keraton. Meski kapasitas masjid itu sempit, kami menggelar sajadah di luaran.

Usai sembahyang, pulang ke rumah. Banyak tetangga berdatangan dan bermaaf-maafan. Aku menunggu mama. Lalu bermaaf-maafan dengan bapak dan mama serta semua saudara. Bapak lalu pergi ke Wameo untuk siram kubur. Semalam kami sudah bakar lilin di kuburan Uma (Kakek). Sekarang, kami kembali menyiram kubur di situ. Aku sih senang-senang saja dengan rutinitas ini.

Usai siram kubur, bapak mengajak ke rumah ibunya (nenek). Aku memanggil Ibunya Bapak dengan sapaan Nenek Hani. Saat kami datang, nenek Hani akan sangat senang dengan kedatangan itu. Meskipun bukan Lebaran, bapak rajin sekali mengunjungi Nenek Hani. Seingatku, setiap bapak datang dari Baruta –tempatnya mengajar--, ia akan langsung mengunjungi nenek Hani. Ia menikmati saat-saat ketika berdialog tentang apa saja. Mulai gosip tentang keluarga, sampai cerita tentang anak-anaknya.

Pulang ke rumah, bapak siap-siap ke rumah Bapak Musa Awi, kepala SMA 2, mantan atasannya dulu. Sementara aku mulai dengan agenda sendiri. Biasanya yang kulakukan adalajh jalan-jalan ke keraton. Sekitar tiga kilometer aku berjalan kaki demi mencapai keraton. Tapi, aku melakukannya dnegan riang. Pakai baju baru, kantong penuh dengan uang. Selain itu, aku membayangkan di sana akan ketemu dengan banyak teman-teman sebaya. Senangnya!

Jumat Terakhir Ramadhan

SALAT Jumat di Masjid Agung Keraton Buton ramai dengan manusia. Mungkin karena hari ini adalah Jumat terakhir di bulan Ramadhan, makanya banyak warga yang berduyun-duyun untuk salat Jumat di masjid tersebut. Saya pun ikut datang ke masjid tersebut. Datang pukul 11.45 wita, saya tidak kebagian tempat di dalam masjid. Akhirnya saya menggelar sajadah di dipan yang terletak di depan masjid tersebut.

Salat di masjid ini punya nuansa magis yang berbeda buat saya. Bentuk arsitektur bangunan masjid yang masih sangat tradisional, tembok masjid yang tebal dan tidak rata karena dibangun dengan kasar, justru menjadi unsur-unsur yang memberi rasa magis. Saya seolah sadar bahwa di sini pernah ada tangan-tangan manusia yang ikhlas membangun masjid. Di sini ada harapan bahwa kelak syiar Islam bisa bergema dan menjadi detak jantung masyarakat Buton. Saya bisa merasakan harapan itu tatkala menyaksikan masjid tua yang bangunannya kasar, namun memberi kekuatan.

Hal unik yang tidak saya temukan di sini adalah tata cara penyelenggaraan salat Jumat yang masih mengadaptasi tata cara di masa Kesultanan Buton. Mungkin tata cara seperti ini hanya bisa ditemukan di Tanah Buton. Tradisi ini pulalah yang membuat rindu dan selalu menggerakkan kaki untuk kembali salat Jumat di sini. Mungkin tradisi ini pulalah yang menggerakkan para perantau Buton untuk kembali ke kampung halaman dan sembahyang di tempat ini.(*)

Koleksi Novel di Ruang Tengah


HAL pertama yang menarik hati saat tiba di Bau-Bau adalah perpustakaan mini yang dibuat Atun di dalam rumah. Ia mengoleksi novel-novel sebanyak satu rak yang cukup besar dan berisikan berbagai jenis novel, mulai dari yang ringan, hingga novel yang berkategori berat. Rencananya, ia ingin buka rental novel di kota sekecil ini, sebuah keputusan yang tidak teralu kusetujui sebab buku bukan untuk disewakan hingga lecek. Buku untuk dibaca dan diselami, dikayakan maknanya, menjadi obat bagi jiwa.

Buku-buku itu dipajang dalam sebuah rak di tengah rumah. Rak ini terbuat dari jati dan dulunya menjadi tempat bapak menyimpan berbagai buku-bukunya, baik buku sejarah, maupun buku-buku biografi. Setelah bapak berpulang ke Rahmatullah, selanjutnya nasib rak buku ini mengenaskan. Buku-bukunya raib entah ke mana, dan rak ini harus menerima nasib yaitu disimpan di dapur, menjadi tempat periuk yang pantatnya hitam seperti jelaga.

Andai rak ini seperti manusia, mungkin ia akan sangat bahagia. Di tangan Atun, rak itu mengalami transformasi dari tempat periuk hingga kembali jati dirinya sebagai tempat buku. Ia ‘naik kelas’ yang awalnya disimpan di dapur, kini disimpan di ruang tengah dan menampung berbagai jenis novel-novel yang baru-baru dan bagus kualitas cetaknya. Ia menjadi saksi dari sikap kami warga rumah yang setiap saat selalu memandanginya, melihat koleksi-koleksi buku, dan mereka-reka apakah kami sudah membaca novel itu ataukah belum.

Sebuah novel adalah sebuah dunia. Di dalamnya ada kisah tentang banyak orang dari berbagai bangsa-bangsa dengan dinamika dan karakter masing-masing. Melalui novel-novel itu, Atun sedang menganyam mimpinya. Ia sedang mencari titik pijak dunia dan karakter-karakter yang dipilihnya. Ia memandang dunia, kemudian mencari sosok yang diperankannya di situ. Semuanya dimulai dari koleksi yang disimpan dalam rak buku tua itu.(*)

Selamat Jalan Pak Edy!

ADA lagi dosen yang meninggal. Tadi siang, saya menerima SMS tentang wafatnya dosen Ilmu Komunikasi Unhas, Drs Eddy Soedjono M.Si. Dulunya Pak Edy –demikian kami menyapanya—adalah pembimbing skripsi saya. Ia menyenangkan sebagai dosen, cukup memberikan jalan keluar bagi mahasiswa yang sedang kalut, dan sering menasihati siapapun yang diajarnya.

Pak Edy tidak teralu pandai. Tapi ia sangat membantu mahasiswanya yang hendak menyelesaikan studi. Ia juga disiplin dan rajin mengajar, sebab tidak terlalu tertarik untuk ikut proyek di dunia luar sana. Sayang sekali, ia meninggal saat sedang meniti karier sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas.

Dalam hitungan bulan, ada banyak duka di jurusan komunikasi. Mulai dari meninggalnya Pak Mansyur Semma, selanjutnya Pak Bulaeng, istri Pak Sudirman, hingga akhirnya Pak Edy. Semua berpualng ke Rahmatullah, seolah-olah sudah janjian satu sama lain untuk berangkat berbarengan. Sebagai mahasiswa yang pernah diajarnya, saya hanya bisa berucap lirih, “Semoga mereka dipertemukan dalam suasana yang bahagia. Semoga tangan kasih-Nya melindungi mereka dengan kukuh.” Semoga!


Kamis, 17 September 2009

Pahatan Ingatan yang Meleleh

"Tulisan kakak terlalu berat. Saya malas baca," katamu suatu pagi. Aku agak sedih dengan kenyataan itu. Aku selalu berharap agar dirimu meluangkan waktu untuk membaca coretanku, merasakan sesuatu yang menggejolak di hatiku. Merasakan getar yang memenuhi dinding-dinding hati, merasakan lahar yang akan meledakkan pikiranku. Ah...mungkin aku agak egois. Aku ingin menyeretmu untuk memasuki lorong-lorong pekat keresahan dan kegelisahanku. Membawamu jauh mengangkasa ke mega-mega pencapaian berpikirku.

Tapi, setelah kupikir-pikir, mungkin bukan kemalasan yang tengah kau rasakan. Ini juga bukan soal selera. Kau sama sekali tak punya waktu untuk mengikuti ritme detak jantungku. Sejak kau bekerja di tempat baru itu, waktumu hanya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Perusahaaan itu tak seberapa menggajimu, tapi tiba-tiba harus menyedot semua aktivitasmu. Kau mulai mengabaikanku. Padahal di banding perusahaan itu, aku menyerahkan hidupku ke tanganmu. Menyerahkan hari-hariku untuk menemanimu, melihatmu tumbuh dewasa dan matang.

Rentang panjang perjalanan kisah kita laksana kisah-kisah seru yang pernah dijalani mereka yang dimabuk asmara. Hari-hari begitu berwarna. Kita saling tertawa bersama, menghabiskan hari sama-sama. Menguras habis isi dompet kita hanya untuk kenang-kenangan yang sama-sama kita pahat. Andai kenangan itu seperti patung, mungkin tak terhitung ribuan patung kenangan yang pernah kita buat sama-sama. Bahkan alam semesta ini adalah pahatan yang pernah sama-sama kita ukir. Dirimu perlahan menjadi atmosfer yang memenuhi angkasaku. Semua yang kupandang adalah dirimu.

Dan tatkala kita sama-sama dewasa, kita mulai kehilangan hari-hari itu. Hari-hari itu menjelma menjadi pahatan yang beku Kau mulai menemukan ritme yang lain. Mungkin semua pahatan hati itu sudah lama hancur berkeping-keping. Tidak indah lagi untuk usia dewasamu yang kian rasional. Tiba-tiba saja kita terseret untuk menjalani hidup dalam pelukan kapitalisme yang sinis. Kita jadi makin rasional dan realistis. Hidup bukan lagi soal menghabiskan hari untuk membahas Panda Poo dan Master Oogway. Hidup adalah soal menjalani rutinitas yang menghisap seluruh energi berpikir kita. Tak ada lagi kisah tentang putri tidur dan pangeran kurcaci yang sama-sama tamasya di tepi danau Unhas. Atau kisah tentang putri-putri dalam kartun Disney yang selalu berakhir dengan happy ending.

Adakah happy ending untuk semua yang sedang kita jalani hari ini? Saya masih optimis itu pasti bisa buat kita. Akhir yang baik adalah konsekuensi dari perencanaan yang matang. Kita mesti bisa mengalahkan situasi hari ini. Kita mesti bisa memenangkan duel melawan keadaan kita masing-masing. Kita mesti segera mencari satu titik terang yang menjadi turning point bagi kehidupan kita hari ini.

Namun, sampai berapa lamakah turning point itu tercapai? Kita sama-sama tak tahu. Waktu adalah paling sukar untuk ditebak. Ketika kau malas membaca tulisanku, mungkin itu adalah satu sisi ketika semua hal tentangku mulai mengabur. Mungkin tak guna lagi bagimu membaca kegelisahanku yang jadi nyanyi sunyi bagimu. Mungkin keresahanku menjadi lagu yang masuk ke telinga kiri dan keluar lagi ke telinga kananmu. Mungkin perlahan aku meleleh bagai lilin yang terbakar oleh api. Mungkin aku sudah jadi patung es yang meleleh akibat sengatan matahari. Mungkinkah aku mulai meleleh dalam pikiranmu???


Makassar, 15 September 2009
Pukul 10.51

Maharani dan Evolusi Lagu Bugis-Makassar

BEBERAPA teman dari Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas baru saja menuntaskan video klip album Evolution 2 dari artis Maharani asal Makassar. Saya sendiri sudah melihat video klip itu. Hasilnya mencengangkan, seperti menyaksikan video klip yang dibuat rumah produksi di Jakarta.

Meskipun semua video klip tersebut akan di-launching usai Lebaran, namun saya berkesempatan untuk mengoleksi lebih dahulu video klip tersebut. Saking sukanya pada video klip itu, setiap saya masuk kamar kos, maka lagu-lagu itu akan saya putar, tanpa rasa bosan.

Maharani menyanyikan lagu-lagu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Berbeda dengan lagu-lagu daerah lainnya, ia menyanyikan dengan iringan musik jazz. Musiknya warna-warni dan enak didengar. Saya menikmati musik daerah yang disajikan dengan alat musik seperti saxophone, biola, piano, hingga gendang. Dalam beberapa lagu, para pemain musik sempat ber-jamz session. Musiknya mengalir seolah tak terkendali. Semua berimprovisasi, namun beberapa saat kemudian langsung menyatu dalam satu irama.

Bagi saya, musik yang indah, serta video klip yang menarik adalah kombinasi yang amat klop. Lagu daerah bisa tampak “wah“ jika dikemas dengan lebih baik. Selama ini, kita tak punya banyak pilihan. Lagu-lagu daerah banyak yang setting-nya hanya di depan rumah adat, di tengah taman-taman bunga. Atau mungkin di dekat pantai, dan sesekali kamera menyorot ke ombak yang berdebur. Itu saja.

Sementara video klip Maharani berbeda dengan itu. Lagu daerah dikemas dengan amat menarik. Dalam salah satu video klip itu, Maharani menembangkan lagu Toraja berjudul Marenden Marampak di satu sudut longue Hotel Clarion di Makassar. Penampilannya seperti kelompok musik papan atas Eropa. Dalam tayangan video, nampak kombinasi warna yang pas, gambar-gambar yang melesat cepat. Dalam satu adegan, nampak gambar hitam putih, tiba-tiba saja ada warna merah yang mengejar dan seakan membasahi gambar hitam putih itu menjadi warna-warni. Pokoknya mantap!

Semalam, saya berbincang dengan Edy, sahabat yang menjadi editor video klip tersebut. Kata Edy, ia merasa gemas karena selama ini lagu-lagu daerah dibikin asal-asalan. Ia ingin memberi nuansa yang berbeda. Bahkan, ia ingin merevolusi semua klip-klip daerah yang disusun secara asal-asalan. Dengan cara menyusun klip yang progresif dan lebih menggambarkan dinamika masa kini yang bergerak cepat.

Bagaimanakah ia menyusun konsep video klip itu? “Saya banyak bertanya pada beberapa teman yang paham apa makna lagu-lagu itu. Misalnya lagu Ongkona Sidenreng. Kata teman, lagu itu tentang suasana liburan. Makanya saya buat konsep tentang tepi danau dan ada rekreasi keluarga,“ katanya.

Satu hal yang menjadi ganjalan bagi Edy. Bahasa yang digunakan dalam lagu-lagu daerah itu, sudah tidak umum digunakan oleh generasi sekarang. Banyak maknanya yang hilang dan tidak diketahui lagi. Mungkin, generasi sekarang mesti menciptakan kembali lagu-lagu daerah yang sesuai dengan zamannya. Sepertinya, ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan lagu-lagu yang sesuai dengan spirit zaman hari ini.(*)

Mata Rantai Penerbitan Buku

TAK banyak yang memahami bahwa sebuah penerbitan buku terdiri atas mata rantai yang amat panjang dan melibatkan demikian banyak profesi. Mulai dari para penulis, editor senior, editor bahasa, editor artistik, layouter (penata letak), periset foto, desain grafis, pemeriksa aksara (proof reader) percetakan, distributor, hingga dipajang di toko buku. Sebuah buku yang terbit dan dipajang, pastilah telah melewati mata rantai yang amat panjang dan berkelok-kelok tersebut.

Tak banyak yang paham kalau para pekerja di dunia penerbitan buku tak bisa dengan seenaknya memaksakan agar buku segera terbit. Semuanya melewati proses dan tahapan. Kita hanya bisa memberi motivasi dan masukan, tanpa bisa mengintervensi tahapan yang sedang berjalan. Meski anda punya banyak uang, anda harus sabar dalam menghadapi proses itu. Ketika satu saja mata rantai terganggu, maka saat itu juga akan mengganggu seluruh mata rantai penerbitan yang lain. Marah? Itu bukan solusi. Kemarahan kian memperumit proses penerbitan buku. Satu unsur yang hengkang, maka proyek tersebut bisa batal.

Seperti halnya pengalaman saya ketika menyiapkan penerbitan buku Naskah Buton, Naskah Dunia. Sudah dua bulan ini saya bekerja keras menyiapkan buku. Saya melaksanakan beberapa kegiatan sekaligus. Mulai dari mengedit naskah, menulis catatan editor, menjalin kontak dengan para penulis dan pemberi kata pengantar, juga menghubungi percetakan. Itu belum cukup.

Saya juga harus bekerja keras untuk menyiapkan layout dan tampilan fisik buku. Saya harus selalu koordinasi dengan teman-teman di daerah untuk menyiapkan sampul, serta sambutan dari sejumlah pihak yang berkompeten. Saya masih harus melakukan riset kecil-kecilan, mulai dari jenis huruf yang digunakan, tampilan bahasa, juga bagaimana kemasan buku agar menarik.

Untuk melakukan semua pekerjaan itu, saya sama sekali tak mengeluh. Justru, saya sangat menikmati proses-proses seperti ini. Saya bahagia dengan proses seperti ini. Saya ikut tegang menunggu-nunggu, kapan buku ini akan terbit. Betapa ingin rasanya menimang buku, kemudian memperlihatkannya pada orang lain, dan mendengarkan kesan-kesan atas buku itu. Kalau pujian, saya senang. Kalau cacian, saya tampung.

Akan tetapi, sebelum sampai titik akhir itu, saya harus siap menjalani proses hari ini yang berliku-liku dan bisa mempengaruhi mata rantai penerbitan. Hari ini saya agak stres karena sampul buku yang dikerjakan di daerah, belum juga sampai di Makassar. Padahal, sampul itu sangat penting untuk menuntaskan keseluruhan proses layout. Kemudian, petinggi yang memberikan sambutan juga belum menyerahkan hasil kerjaannya. Teman-teman merasa dipimpong dan seolah tak berdaya.

Seorang teman memberitahu bahwa hal yang juga parah adalah kita tidak bisa berharap bahwa ketika hari ini diantar ke percetakan, maka keesokan harinya buku bisa keluar. Percetakan punya aturannya sendiri dan kadang seenaknya menentukan mana yang harus dicetak dan mana yang harus di-pending. Meski kita ngotot memaksakan agar buku kita segera dicetak, mereka bisa saja berkilah dan mengeluarkan sejuta alasan yang membuat kita makin tak berdaya. Kita hanya bisa ikut, atau mungkin kalau tidak puas bisa segera mencari percetakan yang lain. Apalagi, biasanya, jelang dan seminggu sudah lebaran, semua percetakan akan tutup sehingga pekerjaan mereka akan menumpuk.

Dalam situasi begini, kita hanya bisa bersabar dan berharap agar buku kita bisa segera selesai. Semoga!

Lucu Gayanya


INI foto seseorang yang lucu, kekanakan, ceria, dan suka menulis diary. Ini foto seseorang yang suka manja-manja, sering minta dibelikan camilan, atau sering minta diceritakan hal-hal yang lucu. Kalau dia datang, atmosfer suatu tempat menjadi ceria. Kalau dia sedih, dunia ikut sedih bersamanya.

Tetap Puasa, Meski Nggak Sahur

HARI ini, Sabtu (12/9), aku menjalani puasa yang terberat.Semalam, aku tertidur amat pulas, hingga lupa bangun sahur. Pukul 01.00 dini hari, aku kembali dari kampus Unhas untuk me-layout buku. Mungkin karena lelah, aku langsung berbaring dan menyalakan beker. Pikirku, jam 3 subuh, pastilah terbangun karena beker sudah dipasang.

Saat membuka mata, aku tersentak karena sinar matahari masuk di sela-sela jendela di kamar. What...!! Ternyata sudah jam delapan pagi dan aku sama sekali belum sahur. Aku bimbang, apakah meneruskan puasa ataukah tidak. Seorang teman pernah bercerita tentang Nabi Daud yang bisa puasa sampai berhari-hari.

Kisahnya bikin merinding. Namun aku bukan Nabi Daud. Aku hanyalah manusia di abad moderen yang punya riwayat penyakit mag, dan bisa sakit kalau perut lama tak terisi. Nggak mungkinlah jika diriku yang doyan makan ini harus dibandingkan dengan Nabi Daud --yang mungkin pada masanya, makanan belum melimpah seperti sekarang. Iya nggak?

Nyaris saja puasaku batal. Tetapi tiba-tiba saja ada semacam bisikan kebaikan yang membatalkan niat itu. Seolah ada bisikan bahwa betapa bodohnya jika harus membatalkan puasa hanya karena tidak sahur. Toh, aku sudah pernah mengalami situasi lapar yang jauh lebih parah dari itu. Masak, cuma nggak makan sehari saja sudah harus panik?

Akhirnya aku memutuskan lanjut puasa. Seharian, tak keluar rumah dan cuma menonton film saja di kamar. Untungnya, di kamar masih ada serial Smallville, season 8, yang belum tuntas kutonton. Berjam-jam nonton film, selanjutnya tidur pulas. Saat buka mata, ternyata udah sore. Aku kembali masuk kampus untuk lanjut layout buku, kemudian meluncur ke Bumi Tamalanrea Permai (BTP) dan buka puasa di kedai es teler.

Pelajaran berharga hari ini, jangan terlalu yakin bahwa dirimu sanggup bangun jam 3 subuh. Jika suatu saat lelah, akan lebih baik jika menghubungi beberapa kawan agar nantinya membangunkan kita.(*)

Harta yang Tak Ternilai

MALAM ini aku amat lelah. Kepala berat, jantung berdetak memburu. Aku bisa merasakan dan mendengar jelas di kepala ini, detak jantung yang memburu itu. Aku tak tahu, sakit apa yang bersemayam di dada ini. Tadinya asma, tetapi hanya sekitar setengah jam, asma itu menyerang. Kini, jantungku yang berdetak tak karuan.

Jangan-jangan ada penyakit berat yang mengintai. Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan fisikku selama ini. Aku tak mau sakit. tapi tubuh ini punya hukum dan mekanisme tersendiri yang dipatuhi. Tubuh adalah mesin yang bekerja efektif di bawah kondisi tertentu, dan bisa aus ketika prasyarat itu tidak terpenuhi. Tubuh adalah mesin dengan tabiat sendiri, tak mau tunduk pada perintah otak untuk sehat. Mungkin hanya rumah sakit dan dokter yang bisa memberikan judge sakit apa di tubuh ini.

Aku keluar kamar dan membiarkan udara segar menyerbu masuk. Duduk di atas motor yang diparkir di depan kamar, aku memandang ke sekeliling dan menyaksikan suasana yang lelap. Semua perempuan di pondok depan kos-kosanku sudah tidur pulas. Padahal, biasanya, sampai jelang sahur, mereka masih cekikikan dengan pacar-pacarnya.

Dalam keadaan sakit begini, aku rindu seseorang. Kuambil handphone dan coba menghubunginya. Disconnect. Kucoba berulang kali, tetap disconnect. Kukirim SMS bahwa aku sedang sakit dan betapa aku ingin bersamanya. Semoga ketika bangun tidur, ia membaca pesanku dan segara menghubungiku untuk menanyakan keadaan.

Pada saat sakit, tiba-tiba saja aku menyadari betapa berharganya kesehatan. Ternyata, kesehatan adalah sesuatu yang amat mahal buat kita sendiri. Untuk menggapai kesehatan itu, kita siap melakukan apapun, siap menghabiskan semua kekayaan. Dan betapa bahagianya mereka yang fisiknya kuat dan tidak sakit.

Malam ini, aku belajar untuk menghargai kesehatan sebagai harta yang tak ternilai. Lama duduk, aku mulai lelah dan ingin berbaring. Semoga ketika bangun tidur, semua rasa sakit itu enyah. Semoga matahari pagi bersinar terang dan rasa yang bahagia di hatiku. Rasa keindahan yang bertahta di tubuh yang sehat.(*)

Perahu Kertas yang Berkejaran di Sungai

SELAMA dua hari, saya luangkan waktu untuk membaca Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Novel ini disusun dengan alur yang pas. Kisahnya sederhana dan disusun seperti patahan-patahan kejadian tentang beberapa manusia. Namun, semua patahan itu akan mengerucut ke satu titik dan klimaks. Pada seperempat akhir novel itu, semua kejadian akan bertemu pada satu momentum. Everything is connected, segalanya berhubungan dalam satu simpul peristiwa.

Membaca novel ini memberikan impresi tersendiri buat saya. Gaya bahasanya sederhana, seperti novel-novel jenis chicklit, namun di beberapa bagian ada unsur sastra yang mendayu-dayu dan sesekali menghanyutkan. Saya terseret jauh ke dalam kisah yang dituturkan dalam novel hingga lupa waktu dan tak mau berhenti. Ketika membaca dua bab, saya sudah tahu bahwa saya tidak akan melepaskan novel itu. Saya akan menuntaskannya, meskipun untuk itu saya harus mengorbankan jam tidur atau istirahat.

Kisahnya simpel. Tentang sosok perempuan bernama Kugy yang periang dan punya mimpi menjadi penulis dongeng. Kemudian ada sosok lelaki bernama Keenan yang punya impian menjadi pelukis. Karakter mereka klop, namun tidak lantas langsung jadian. Butuh proses dan sejumlah tikungan-tikungan hingga akhirnya mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah pasangan yang saling melengkapi.

Saya menyenangi dialog-dialognya yang sederhana, namun cerdas. Alur yang mengalir dan sesekali menghentak. Di beberapa bagian novel, terasa banyak kejutan, semacam karang-karang teguh yang menghadang aliran sungai untuk mencapai lautan. Pada akhirnya, hati manusia bukan untuk memilih sesuatu secara rasional dan obyektif. Hati manusia akan mengalir dan saling bertaut demi menemukan pasangannya yang tepat. Kita memang bisa bohong setinggi langit, namun hati kita akan menemukan sendiri jalannya. Kita bisa saja melawan kata hati, namun itu sama saja mengingkari aliran sungai bahagia kita sendiri.

Demikian kesan saya atas novel Perahu Kertas.....

Antara Rumah Hiburan dan Rumah Suci

BARU saja saya menyaksikan film Sister Act yang dibintangi Whoopi Goldberg. Film ini sudah lama tersimpan di laptopku dan sudah beberapa kali saya tonton, tanpa sedikitpun rasa bosan. Saya suka mengulang-ulang adegan ketika ketika Whoopi memimpin paduan suara gereja. Penampilannya atraktif, paduan suaranya luar biasa menawan, dan gereja itu penuh dengan pengunjung. Padahal, sebelumnya gereja itu amat sepi, tak ada jamaah.

Film ini juga menyuguhkan perbedaan antar aliran pemikiran dalam gereja. Ada yang tetap konservatif dan menganggap paduan suara haruslah tertib, teratur, berbaris rapi seperti aubade. Namun, ada pula yang menganggap bahwa suasana yang entertaint dan menghibur, mutlak ada dalam gereja. Saya suka dengan pernyataan Whoopi dalam film ini yang membandingkan antara gereja dengan bar atau kasino. “Kenapa bar dan kasino selalu penuh manusia? Karena di sana ada hiburan yang mereka butuhkan. Sementara gereja seperti lorong sunyi yang jauh dari hal-hal yang menghibur. Lantas, kenapa kita tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Unsur religiusnya tetap kental, namun unsur menghibur hati yang gulana harus tetap ada juga.“

Saya suka dengan kalimat ini. Saya bukan penganut Kristen, namun tiba-tiba saja saya tersentuh dengan kalimat-kalimat seperti itu. Saya teringat dengan fenomena banyaknya masjid yang sepi jamaah. Sementara tempat hiburan selalu penuh manusia. Pertanyaannya, tidak bisakah rumah suci sekaligus menjadi tempat hiburan? Mengapa aktivitas berdoa harus khusyu dan sepi? Tidak bisakah kita tergetar saat berdoa sebagaimana histeria orang-orang yang menyaksikan konser musik rock? Bisakah kita lebih histeris saat mendengar nama Rasul disebut sebagai idola kita?

Saya tak tahu, sejak kapan rumah suci dan rumah hiburan saling bermusuhan. Rumah suci identik dengan kesepian dan sikap diam sambil merenung. Ketika memasuki rumah suci, kita siap-siap memasuki dunia yang penuh keterikatan. Kita tak boleh ribut dan berprilaku seenaknya. Kita sedang diawasi Tuhan sebab ini adalah rumah-Nya. Sementara rumah hiburan adalah sebaliknya. Di rumah hiburan ada suasana yang hingar-bingar, ribut, dan kebebasan. Rumah hiburan adalah rumah setan yang menawarkan kebebasan. Bebas berekspresi, bebas minum apa saja, bebas mau ngapain.

Mungkin alasan kebebasan inilah yang membuat rumah hiburan begitu ramai, sementara rumah suci justru ditinggalkan. Manusia mencari kebebasan, sekaligus pelepasan dari hidup yang penuh keterikatan atau penuh hierarki. Baik di rumah, kantor, atau dunia sosial lainnya, selalu saja ada aturan yang mengikat. Sementara di rumah hiburan, semua keterikatan itu dijebol. Anda bebas mau ngapain. Bahkan memukul orang lain di situ juga bebas. Meskipun anda harus siap dengan konsekuensi ketika orang tersebut balas memukul. Namun prinsip kebebasan itu menjadi jantung dari semua rumah hiburan. Prinsip inilah yang membuat semua rumah hiburan ramai dengan manusia. Mereka mencari pelepasan dari rasa stres dan dunia yang penuh keterikatan.

Pertanyaannya, bisakah kita merayakan kebebasan ketika berada di rumah suci? Mengapa berdoa tidak dilakukan dengan penuh kebebasan, dan tidak semata ketundukan atau penyerahan diri? Maksud saya, isakah kita mengattakan bahwa pilihan ketertundukan atau penyerahan itu adalah kebebasan yang sengaja kita pilih?

Mungkin saya sedang bingung saja....

Ekspedisi Kompas ke Masa Silam

KEMARIN saya membeli buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Buku ini menarik untuk beberapa hal. Pertama, semangat buku ini adalah liputan yang didesain dengan model investigatif. Para jurnalis Kompas melakukan ekspedisi menapaktilasi sebuah jejak pencapaian di masa lalu, dan melihat realitasnya di masa kini. Apakah masa gemilang itu kian gemilang, ataukah masa gemilang itu menjadi pupus.

Kedua, buku ini punya semangat memotret realitas-realitas di sepanjang perjalanan, kemudian menuangkannya dalam buku. Semangatnya seperti dalil yang berlaku dalam dunia riset kualitatif, kenali realitas dan tuturkan sebagaimana adanya. Makanya, saya cukup menikmati membaca buku ini sebab di dalamnya ada kombinasi antara data mentah lapangan, dan riset pustaka. Saya menemukan pembahasan yang warna-warni dan menarik hati, sebab datanya yang amat kaya.

Ketiga, buku ini seolah menyajikan lintasan waktu, mulai dari masa lalu hingga masa kini, kemudian balik lagi ke masa lalu. Keseimbangan alur yang dibangun ini membuat kita bisa menelaah secara lebih holistik. Saya jadi bertanya-tanya, apakah layak kita membanggakan kemajuan hari ini, ketika kereta kuda diganti dengan mobil, namun bertimbun-timbun masalah hari ini yang tidak bisa kita pecahkan. Sebuah kegemilangan di masa silam, bisa menjadi petaka di masa kini ketika kita gagal membuat perencanaan strategis ke depan, ketika kita gagal membaca tanda-tanda zaman dan mengarahkan biduk bangsa menuju pada cita ideal yang kita bangun.

Kalaupun ada kelemahan kecil dalam buku ini, maka itu nampak dari begitu sempitnya analisis tentang satu wilayah. Tapi, saya bisa memaklumi ini. Memang tidak mudah menemukan kedalaman analisis jika perjalanan itu sifatnya ekspedisi yang singkat sehingga persinggahan pada satu wilayah ibarat snapshot sekilas. Ini jelas beda dengan riset, yang butuh waktu lama di satu tempat, dan hasil bahasannya lebih mendalam.

Kelemahan kedua yang saya saksikan adalah dengan cepatnya asumsi-asumsi ditarik. Menurutku, apa yang kita saksikan di apangan belum tentu menjelaskan kenyataan yang sesungguhnya. Boleh jadi, kita sedang menyaksikan fatamorgana. Kita tak boleh gegabah langsung memvonis ada air di seberang lautan. Bisa jadi itu fatamorgana yang membius pandangan kita dan membuat kita ’salah pandang.’

But.... saya tetap merekomendasikan buku ini untuk dibaca.(*)

Galaksi Kinanthi dan Kesan yang Menggumpal


TAK banyak novel yang bisa menghadirkan perasaan haru biru dalam diri kita. Apalagi, novel-novel yang bertemakan cinta. Banyak novel cinta yang terlampau melankolis atau mendayu-dayu hingga tak ada jejak dalam diri kita usai membacanya. Ramuan cintanya jadi garing dan hanya menggumpal sesaat dalam genangan hati kita, dan setelah itu akan meleleh secara cepat seiring waktu.

Ada juga novel cinta yang terlampau romantis, ending-nya menguras air mata, akan tetapi kita serasa tak percaya. Apakah mungkin ada seseorang yang tewas saat menangis di pusara kekasihnya sebagaimana nampak dalam karya sastra legendaris Layla Majnun?

Tapi Galaksi Kinanthi karya Tasaro jelas berbeda dengan yang lain. Novel ini berkisah tentang cinta yang dipegang teguh ala Rome-Juliet. Tetapi tidak dengan bahasa yang cengeng, melainkan dengan bahasa yang mengalir deras menganak sungai. Kekuatan novel ini adalah pada bahasa dan sistematika adegan yang ditata apik. Saya serasa membaca Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh karya Dewi lestari. Akan tetapi, novel ini lebih terjaga tuturnya. Isinya lebih mudah dipahami, dialognya asyik, dan klimaksnya jauh lebih sempurna ketimbang Supernova yang agak ngambang.

Novel ini membuat saya berpikir bahwa cinta adalah anugerah yang harus disyukuri. Cinta adalah harta terbesar dalam hidup yang menjadi cahaya terang bagi pekatnya hati kita. Cinta adalah mata air yang menjadi muara dari jauhnya perjalanan kita mengalir lepas dalam samudera kehidupan. Tanpa cinta itu, barangkali kita tak akan pernah mengalir. Kita hanya membatu seperti karang yang diam, dan tidak pernah beranjak ke mana-mana. Namun kekuatan cinta jugalah yang kelak akan meleburkan karang itu, menyatukannya dengan air dan bebas mengalir ke manapun.

Novel ini menyadarkan saya bahwa cinta itu akan menjadi jembatan atas dua hati manusia, dengan berbagai latar belakangnya. Cinta adalah kekuatan yang mempertautkan dua hati, seperti apapun bedanya latar sosial dua hati itu. Usai membaca novel ini, tiba-tiba saja saya merindukan seseorang yang tak pernah peduli seperti apa rupa dan latar belakangku. Tiba-tiba saja saya merindukan seorang gadis yang ketika melihatku, selalu terselip seulas senyum menawan. Ia seolah hendak mengatakan bahwa ada bahagia yang hinggap di hatinya.....

Komentar di Perahu Kertas

BAGAIMANA rasanya jika nama anda dituliskan dalam sebuah novel yang dikarang oleh sang idola? Mungkin anda dan saya hanya bisa membayangkan kenyataan itu. Tapi tidak dengan Dwi. Nama dan komentarnya dimuat dalam novel terbaru Dewi Lestari (Dee) yang berjudul Perahu Kertas.

Kemarin, saya melihat buku itu dibelinya. Tapi ia meminjami saya nanti malam hari. Ia tidak menyadari bahwa namanya tercatat di buku itu, hingga saya yang memberitahunya. Mulanya ia tak percaya sebab sudah dilihatnya komentar-komentar di halaman belakang. Tapi setelah saya yakinkan dan perlihatkan halaman awal yang memajang nama dan komentarnya, barulah ia percaya dan kegirangan.

Di lembar-lembar awal novel itu, terdapat tanggapan dari mereka yang sudah membaca versi digital. Di bagian bawah, ada komentar Dwi Agustriani yang mengatakan, “Aku selalu menyenangi tiap tulisan dari Dee. Dan sekali lagi, perahu kertas membuatku terpikat. DEE, cara menulismu GUE banget, deh. SALUT! Membaca Perahu Kertas seperti membaca sebagian kisah hidupku. Sangat mengikat secara psikologis. Ringan. Namun begitu bermakna...”

Sebelum novel ini beredar dalam bentuk seperti yang saya pegang, sudah pernah beredar di dunia maya dalam bentuk digital. Tapi ending versi digital itu agak menggantung, sebab ada dua bab yang hilang. Padahal itu penting untuk mengetahui akhir kisah itu. Nantilah setelah versi cetaknya beredar, hasrat keingintahuan itu bisa teratasi sebab memuat dua bab yang menjadi ending.

Seelum versi cetak beredar, Dee memajang pengumuman di blognya yang meminta komentar dari para pembaca. Katanya, beberapa komentar terbaik akan dipajang di buku versi cetak yang akan segera terbit. Saat inilah Dwi ikut memberikan komentar. Ia berharap –meski tidak terlalu yakin—agar komentarnya bisa dimuat. Hari ini, saya memperlihatkannya bahwa harapan tersebut bisa terkabul. Dia sangat bahagia.(*)

Puasa dan Kesadaran yang Mengaliri Timbunan Dosa

Puasa itu bukanlah ibadah untuk menahan lapar dan haus. Puasa itu untuk mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan amarah dalam diri kita. Pandangan ini sudah kudengarkan sejak masih kecil. Setiap bulan ramadhan, aku selalu diingatkan hal yang sama. Aku sudah cukup hafal di luar kepala bahwa selama puasa, tidak boleh marah, harus menjaga lisan, dan memperbanyak ibadah. Kalimat itu sudah kuhafal mati. Namun, belakangan ini aku sadar bahwa betapa susahnya mewujudkan apa yang sesungguhnya disebut puasa.

Aku terlampau sering melakukan kesalahan-kesalahan ‘kecil’ yang sering kutolerir. Aku berpikir bahwa kesalahan itu adalah hal yang seolah-olah wajar saja. Sedemikian seringnya meakukan kesalahan sehingga kesalahan itu menjadi budaya dalam diriku, menjadi daging, darah, serta sumsum di tubuhku. Kesalahan itu menjadi kewajaran dan tak sedikitpun rasa bersalah.

Hari ini begitu banyak kesalahan yang kulakukan. Saat menulis postingan ini, aku baru saja marah-marah sama petugas cleaning service di Mal MTC. Dia melarangku ambil air wudhu di dalam kamar mandi, sementara tempat yang disediakan untuk wudhu amatlah sempit, hanya ada satu kran air, dan orang-orang harus antri satu per satu. Aku marah-marah. Tapi tiba-tiba saja aku sadar bahwa aku sedang puasa. Sayang sekali, kesadaran itu muncul belakangan saat sang petugas ngeloyor pergi. Aku tak sempat minta maaf pada petugas itu. Sesuatu yang kusesali hingga detik ini

Melalui puasa, aku tiba-tiba disadarkan tentang kesalahan itu yang mungkin sepele itu. Meskipun sungguh berat mengubah sesuatu yang sudah terlanjur menjadi budaya, setidak-tidaknya aku tahu bahwa itu adalah kesalahan, dan usai melakukannya, seolah ada embun yang mengucur dan membasahi kesadaranku. Ada semacam pengetahuan yang reflektif, yang lahir dari upaya mempertanyakan ulang secara terus-menerus apa-apa saja yang sudah pernah dilakukan. Melalui puasa, kita tiba-tiba sadar bahwa apa yang kita lakukan itu adalah kesalahan dan --alangkah baiknya—jika muncul komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Melalui puasa, ada keinginan yang menyelusup di antara semua timbunan dosa-dosa kita. Tertoreh harapan agar ada sesuatu yang berubah. Teriring harapan agar dosa-dosa yang berkarat itu masih bisa dibersihkan. Semoga saatnya belum telat...


Makassar, 5 September 2009
Pukul 17.16 Wita