Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Suka Duka Kelas Internasional

depan kampus

DI kota Athens, saya mulai menata hari. Jika sebelumnya hari-hari diisi dengan bekerja, kini tak ada yang berubah. Saya masih tetap bekerja keras untuk memahami teks-teks bacaan berbahasa Inggris, membaca hingga larut malam, serta mulai beradaptasi dengan iklim pendidikan.

Dua minggu awal adalah masa bulan madu. Saya menikmati hari dan berjalan-jalan hingga menjangkau sudut-sudut kota. Kota kecil ini memang didesain sebagai tempat pendidikan. Nama Athens mengacu pada nama Athens di Yunani yang merupakan tempat lahirnya filsafat sebagai akar dari ilmu pengetahuan. Barangkali, separuh dari penduduk kota ini adalah mahasiswa. Makanya, saat liburan musim panas, kota ini akan menjadi kota mati. Semua meninggalkan kota.

Saya ingin bercerita tentang dua hal yang dialami ketika mulai berinteraksi di kampus. Pertama, saya ingin berkisah tentang suka duka di kelas iternasional, dalam kondisi keterbatasan bahasa Inggris. Kedua, saya ingin berkisah tentang nama saya yang berubah saat tiba di Amerika.

Bagi saya, kuliah ini tidaklah senikmat yang disangkakan banyak orang. Masa perkuliahan adalah masa-masa penuh tekanan. Betapa tidak, semua dosen mensyaratkan kita untuk membaca banyak bahan, dan kemudian mesti siap-siap untuk dipresentasikan di depan kelas. Bagi yang terbiasa berbahasa Inggris, presentasi adalah hal yang amat mudah. Tapi bagi mereka yang bahasa Inggrisnya masih payah seperti saya, presentasi itu jadi sangat menakutkan.

Tampaknya, saya memang harus kerja keras. Dari penjelasan dosen atas materi kuliah, mungkin saya hanya paham sekitar 20 persen. Sisanya, saya tak paham. Saya sering terbengong-bengong saat beberapa teman diskusi dan berdebat dengan dosen. Gimana gak bengong, saya tidak paham apa yang sedang mereka diskusikan. Saya hanya memperhatikan kata demi kata sambil mencari tahu kira-kira apa maknanya.

Dari sekitar 13 orang peserta, hanya ada satu mahasiswa Indonesia. Sisanya adalah warga Amerika Serikat (AS), Jerman, Kolombia, Jepang, Cina, dan Afrika. Masing-masing berbicara dengan aksen berbeda. Saya sering tak paham apa yang dikatakan teman dari Afrika sebab bercampur dengan aksesn lokal. Tapi saya sangat senang berbicara dengan mereka karena mereka sangat hangat dan bersahabat. Teman akrab saya berasal dari Kolombia. Entah kenapa, saya cocok membahas banyak hal. Kami bisa diskusi berjam-jam tentang politik dan riset-riset partisipatoris.

Meski kemampuan bahasa masih rendah, saya berusaha untuk tetap masuk kelas. Sering saya merasa kecele. Saat tiba di kelas, ternyata tiba-tiba saja ada PR. Saat bertanya pada beberapa teman, ternyata PR diumumkan sejak minggu lalu. Artinya, saat itu saya di kelas, tapi saya tidak tahu kalau dosen mengumumkan PR. Bukan berarti lengah. Tapi saya tidak tahu apa perkataan dosen, di mana salah satu kalimatnya adalah instruksi tentang PR. Duh!

Demi melatih bahasa Inggris, saya meminta seorang teman untuk menjadi partner berbicara (istilah kerennya conversation partner). Kebetulan, di Ohio, banyak warga asli Amerika yang lagi beajar bahasa Indonesia. Makanya, saya bisa menemukan seseorang untuk menjadi partner. Namanya Erick. Dia warga asli Ohio. Setiap ketemu, dia mengajak saya berbicara dalam bahasa Indonesia, dan saya kemudian mengajaknya bicara bahasa Inggris. Dia membantu saya untuk memeriksa ulang semua tugas dalam bahasa Inggris, memberikan koreksi atas tugas, serta memberi masukan. Setiap hari, saya selalu menyempatkan waktu sejam atau dua jam untuk berbicara dengannya

Yang menyenangkan adalah Erick sangat baik. Dia sering mengajak saya jalan-jalan ke sekitar kampus, sambil menjelaskan sejarah dan bagaimana kehidupan masyarakat sekitar. Kami juga sering berbincang di restoran. Ia memperkenalkan beberapa makanan Amerika serta cara memakannya. Kemarin, ia mengajarkan cara makan dan memesan salad serta cara menyiapkannya. Yang luar biasa, ia selalu membayar setiap makanan yang kami pesan. Ia menolak untuk dibayarkan. Makanya, saya cukup berutang budi kepadanya. Karena ia menolak dibayarkan, maka sayapun memberikan bingkisan yang dibawa dari Tanah Air. Ia merasa surprised dan sangat berterimakasih.

Hingga minggu ketiga, saya masih mengalami kendala bahasa. Tapi secara perlahan, saya mulai bisa menikmati ritme perkuliahan. Saya tak mau terlalu terbebani dengan tugas-tugas. Saya mencari sisi-sisi lain yang bisa membuat nyaman di sini. Saya tidak boleh tertekan. Saya harus belajar meninggalkan zona nyaman di tanah air. Saya mesti menghadapi semua masalah sebagai tantangan yang harus segera dipecahkan. Saya mesti berdamai dengan semua ketidaknyamanan.

Soal Nama

DI minggu keempat, saya merasakan keanehan mengenai nama. Tadinya, saya tak menyadarinya. Lama kelamaan, saya mulai menemukan bahwa nama dan penyebutannya senantiasa terkait dengan kultur di mana seseorang berada. Saya lahir di Indonesia dengan nama Muhammad Yusran Darmawan. Setiba di Amerika, saya harus merelakan nama tengah saya lenyap sehingga hanya tertulis Muhammad Darmawan.

Entah siapa yang memulainya, di tempat ini, seseorang selalu memiliki dua suku kata untuk nama. Kalaupun ada nama tengah, biasanya nama itu disingkat, atau malah dilenyapkan sama sekali. Awalnya saya heran saat menerima segepok surat grant dari IIE di New York dan di depannya tertera nama Muhammad Y Darmawan.

Orang Amerika Serikat tidak pernah berpikir bahwa nama Muhammad dipasang didepan nama dan lebih sering disingkat. Saya lebih sering menuliskan nama M Yusran Darmawan. Rata-rata orang Indonesia sudah tahu apa kepanjangannya. Mereka tidak mempertanyakannya lagi.

Lain tempat lain kulturnya. Di sini saya sering dipanggil Darmawan. Saya tidak pernah dipanggil dengan nama tengah. Suatu hari, saat perkuliahan dimulai, dosen memanggil Muhammad, maka yang menoleh ada dua orang yakni saya dan sahabat asal Afghanistan. Kami sama-sama protes sebab nama itu diletakkan di depan nama dan bukanlah nama panggilan.

Seorang teman juga memiliki keluhan yang sama soal nama. Nama lengkapnya hanya satu kata yakni Elizarni. Di Indonesia, banyak yang hanya memiliki nama satu suku kata. Saya mengenal Aslan, Kasman, Hamrin, atau malah Safaruddin. Saya bisa bayangkan saat pemilik nama satu kata ini ke Amerika, ia pasti akan kesulitan beradaptasi saat diminta menulis nama khususnya saat namanya ditulis komputer untuk absesnsi, atau saat buka rekening di bank. Dalam kasus teman saya, akhirnya namanya ditulis Elizarni No Name. Seorang dosen memanggilnya NO. Aneh khan?

Yah , apa boleh buat. Mungkin saatnya saya harus membiasakan diri dengan panggilan nama Muhammad Darmawan. Meskipun keduanya hampir tidak pernah digunakan di Indonesia. Saya lebih nyaman dipanggil Yusran atau Yus. Kadang Yos. Hari ini, di saat saya melamun tiba-tiba saja seorang sahabat asal Kolombia menyapa, "Hai Muhammad!" Wah, jadi gak enak nih!

Nampaknya, saya mesti terus belajar dan tak malu-mau untuk bertanya pada siapapun. Saya mesti menajamkan semua pikiran untuk menyerap segala pengetahuan yang berserakan di luar sana, di luar bangku akademis. Saya mesti belajar memahami pengetahuan yang tersebar di semesta raya.

Mencari Pustaka Buton di Amerika

Alden Library at Ohio University

BEBERAPA tahun silam, saya mengadakan riset tentang sejarah dan budaya Buton. Saya lalu kembali ke Baubau, saat itu masih menjadi ibukota Kabupaten Buton, dan mulai mengumpulkan literatur. Saat itu, saya mengalami keterbatasan dengan beberapa literatur klasik yang selalu disebut-sebut kala membahas kebudayaan Buton. Saya menemui banyak orang. Anehnya, semua menyebut beberapa literatur, tapi tak satupun yang bersedia meminjamkan atau minimal menunjukkan literatur tersebut. Bahkan, ketika saya membayar sekalipun, tak ada yang mau meminjamkan. Saat itu, saya bertanya, ada apakah gerangan.

Saat menginjakkan kaki di tanah Amerika Serikat, saya lalu mengunjungi perpustakaan di kampus Ohio University at Athens. Betapa terkejutnya saya ketika mengetahui bahwa berbagai literatur yang lama hanya bisa saya idamkan itu, ternyata justru tersimpan rapi di kampus ini. Di sini, pengetahuan tidak dilihat seperti porselen yang dijaga rapi dan dikhawatirkan akan pecah. Di sini, pengetahuan menjadi sesuatu yang dibagikan kepada siapapun yang membutuhkannya. Di sini, saya menemukan sekitar 50 pustaka Buton yang dahulunya hanya pernah saya dengar namanya.

buku karya La Ode Malim di Perpustakaan Ohio

Buku pertama yang saya temukan adalah Membara di Api Tuhan, karya La Ode Malim. Saya sudah menanyakan buku ini pada banyak orang tua ataupun sejarawan di Buton. Semua merekomendasikan buku ini. Tapi anehnya, hingga sekian tahun saya di Baubau, saya belum pernah melihatnya langsung. Betapa terkejutnya saya ketika melihat buku ini di perpustakaan Amerika Serikat. Padahal di Baubau, susah sekali mendapat buku ini. Entah, apakah sesama saudara enggan meminjamkannya.

Buku karya La Ode Malim ini adalah interpretasi atau penafsiran atas kabanti Bula Malino (bulan purnama) karya Sultan Idrus Kaimuddin. Saya belum membaca detail buku ini. Tapi dari hasil membuka-buka halaman, ia memberikan catatan atas setiap paragraf yang disusun Idrus Kaimuddin, menelaah apa maknanya dari sisi sufistik, kemudian memberikan catatan-catatan dengan bahasa yang amat memikat tentang keindahan sastra yang terkandung dalam kabanti tersebut. Bahasanya indah. Saya kagum karena ditulis pada tahun 1983, pada masa ketika belum banyak buku-buku sufistik

Selanjutnya, saya melihat catatan atau memori harian Zainal Arifin Sugianto, mantan Bupati Buton tahun 1969-1980. Saya sudah lama mencari catatan ini sebab bisa membuka banyak hal yang terjadi di tanah Buton pada masa-masa ketika wilayah itu sering distigmatisasi sebagai basis PKI oleh rezim Orde Baru. Saat itu, Bupati Zainal Arifin adalah pelaku sejarah yang memimpin Buton pada periode sulit. Catatan hariannya bisa menyibak beberapa misteri masa silam, sekaligus melihat konteks dan suasana batin pada masa itu.

buku The Navel of the Perahu karya Michael Southon tentang pelaut Buton di Sampolawa

Saya juga menemukan buku karya Michael Southon berjudul The Navel of the Perahu. Buku ini berdasarkan pada riset tentang tradisi maritim orang Buton yang setting-nya di Lande, Sampolawa, Buton. Risetnya sangat menarik sebab mengungkap betapa kayanya tradisi maritim orang Buton serta upaya mereka untuk menaklukan samudera dengan mengandalkan pengetahuan mereka atas tradisi serta kearifan yang telah diwariskan nenek moyang dan dipertahankan dalam budaya. Buku ini sangat menarik sebab menunjukkan kalau pemilik tradisi maritime di Indonesia timur bukan hanya orang Bugis-Makassar. Orang Buton punya tradisi yang amat kaya dan disebut sebagai satu dari lima suku bangsa penakluk laut di Nusantara. Buku ini sudah lama saya cari. Tapi anehnya, nanti saya temukan saat berada di Amerika Serikat.

Buton dalam Gerimis karya La Ode Boa
Islam Buton karya Alifuddin

Buku lain yang saya temukan adalah karya-karya lengkap Abdul Mulku Zahari. Saya juga melihat beberapa buku yang belum pernah dipublikasikan. Heran juga karena tiba-tiba menemukan buku ini di tanah yang jauhnya beratus-ratus kilometer dari Baubau. Padahal, tak banyak orang Buton yang punya koleksi lengkap karya tersebut. Bahkan saat ke rumah anaknya pun, saya hanya diperlihatkan sedikit. Tapi di AS, koleksinya cukup lengkap.

Buku lain yang saya pinjam dari koleksi perpustakaan di sini adalah novel Buton dalam Gerimis karya La Ode Boa. Novel ini menjadi salah satu referensi yang dipakai Blair Palmer, ilmuwan asal Australia, saat menulis tentang fenomena migrasi di kalangan orang Buton. Saya juga meminjam satu koleksi berjudul Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal.

Kesimpulan saya adalah sering kali kita yang tinggal di daerah, yang notabene adalah pemilik sah satu kebudayaan, justru tidak peduli dengan teks atau buku tentang daerah kita sendiri. Sementara perpustakaan di negeri yang jauh, justru memberikan apresiasi, merawat koleksi naskah tersebut, dan mewariskannya kepada generasi-generasi mendatang. Saya bayangkan kelak generasi baru Buton akan belajar sejarah dan budayanya, bukan lagi di tanah kelahirannya. Kelak kita akan pergi jauh ke Amerika demi mempelajari ulang kebudayaan kita sendiri, sebagaimana hal yang saya rasakan sekarang.(*)



Athens, OHIO, 28 September 2011

Melihat Pesta Panen di Amerika Serikat



HAMPIR di semua tempat di Indonesia, selalu bisa ditemukan tradisi pesta panen setiap tahunnya. Masyarakat Bugis-Makassar mengenal tradisi mappadendang untuk merayakan panen padi, masyarakat Tidore mengenal tradisi Legu Dau, masyarakat Buton mengenal tradisi Bongkaana Tao untuk menyatakan syukur atas hasil laut yang melimpah. Apakah Anda mengetahui bahwa masyarakat petani di Amerika Serikat juga merayakan pesta panen? Apakah sama dengan di Tanah Air? Inilah ceritanya.

Minggu lalu, saya diajak seorang kawan untuk menyaksikan Paw Paw Festival di tepi Lake Snowden, Athens, Ohio. Acara ini adalah pesta tahunan yang sengaja dibuat untuk memperkenalkan buah Paw Paw (asimina triloba), yang merupakan buah khas Athens. Selama tiga hari, berbagai komunitas Athens menggelar Festival Paw Paw ataupun serta kreasi berbagai hal dengan buah Paw Paw.

Tak hanya berpesta Paw Paw, warga Athens juga duduk bersama dan membahas bagaimana sejarah buah tersebut, serta bagaimana tantangan ke depannya. Mereka juga mengadakan kompetisi untuk mencari Paw Paw terbaik, serta lomba masak dengan Paw Paw. Semuanya meriah. Yang menarik, banyak acara edukasi. Ada pelatihan bagaimana membuat bibit yang baik, hingga bagaimana buah itu bisa digunakan sebagai herbal atau obat bagi jenis penyakit tertentu.

Makanya, di tepi Lake Snowden itu, tidak hanya terdapat panggung tempat diperdengarkannya musik-musik khas Amerika, tapi juga terdapat banyak tenda yang isinya informasi tentang Paw Paw, sejarah sosial kota Athens, serta pelatihan untuk meningkatkan produktivitas para petani. Tidak heran jika di situ banyak terdapat tenda besar yang isinya para petani duduk bersama untuk belajar bagaimana memperoleh panen yang lebih optimal.

Selain menampilkan buah Paw Paw sebagai tampilan utama, festival ini juga menampilkan berbagai hasil panen terbaik dari seluruh petani atau pekebun di Athens. Saat berkeliling di berbagai tenda, saya sering terperangah menyaksikan buah-buahan dengan kualitas nomor satu. Saya sempat melihat buah labu (pumpkin) berukuran raksasa. Pemilik labu itu, Jeff, dengan senang hati bercerita bagaimana kiat-kiatnya bisa sukses menanam labu dan memanennya. Ia tidak mau menyembunyikan informasi sebab ia juga mendapatkan informasi itu melalui festival. Makanya ia hendak menyebarkan pengetahuan itu kepada banyak orang. “Supaya banyak yang berhasil seperti saya,” katanya.





Sebagai acara tahunan, festival, yang didukung oleh banyak lembaga termasuk Ohio University, juga memberikan informasi tentang perkembangan yang dicapai per tahunnya. Makanya, semua petani dan pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat bisa memberikan penilaian sejauh mana dialog atau apa saja yang dicapai per tahunnya. Panitia menetapkan target yang jelas, serta informasinya disebarkan kepada semua pihak melalui website serta pamphlet di seluruh penjuru Kota Athens. Cara kerja panitia sangatlah detail. Mereka juga memberikan informasi tentang jadwal kendaraan umum yang mengangkut semua pengunjung festival. Saya pun memanfaatkan fasilitas kendaraan gratis dari kampus Ohio University.

Gerakan Sosial

Yang mengejutkan, festival ini tidak sekedar pesta panen, melainkan ajang bagi berbagai elemen gerakan sosial untuk memamerkan apa yang sudah mereka lakukan, ajang untuk menarik simpati, serta dukungan masyarakat, serta beberapa lembaga yang hendak mempertahankan warisan budaya yang nyaris punah. Makanya, saat mengunjungi festival ini, saya mendapatkan gambaran bagaimana masyaraat sipil di Athens, mengelola gerakan, saling memberikan pemahaman, serta mengkonsolidasikan diri untuk menolak satu peraturan.

apel gratis
Saya melihat banyak stand di situ. Ada kemah yang bertamakan Community Resilience yang didalamnya terdapat diskusi tentang rural action (gerakan desa), energi bagi warga (local energy), hingga kelompok perdamaian (peace community). Saya lalu singgah di satu stand. Di situ terpampang banyak poster yang berisikan banyaknya peraturan di Amerika yang justru memihak para pemilik modal, sementara masyarakat dibiarkan bergelut dengan limbah industri. Di stand itu ada diskusi apakah sepakat atau tidak dengan gerakan itu. Jika sepakat, maka selanjutnya akan saling kontak untuk menyatakan sikap pada pemerintah. Ini jelas hal yang menarik buat saya. Sebab selama ini, saya hanya melihat aksi-aksi yang diasari atas hal-hal yang reaktif semata pada satu isu. Sementara di Amerika, bahkan para petani pun belajar untuk mengkoordinasi diri dan mengelola gerakan social.

Yang juga menarik adalah saya melihat banyak stand komunitas Indian, lengkap dengan tenda, serta aksesoris yang dijual pada pengunjung. Para generasi baru Indian itu dengan getir mengisahkan sejarah terusirnya nenek moyang mereka pada masa silam, serta bagaimana mereka di masa kini mempertahankan kebudayaannya. Para Indan itu lalu menampilkan tari tradisional, memainkan music tradisional, serta memperkenalkan kostum para ksatria Indian di masa silam.

Secara umum, saya sangat menikmati suasana Paw Paw Festival ini. Festival ini juga telah mengejutkan saya. Sebab pesta panen, yang saya ketahui, identik dengan atraksi budaya atau makan-makan sebagai rasa syukur. Tapi warga Athens justru berpikir ke depan. Mereka berpikir bahwa selain menampilkan potensi hari ini, maka perlu ada upaya serius untuk mengadvokasi banyak hal sehingga masa depan Athens bisa direncanakan dengan baik.

Kalaupun tak sepakat dengan gerakan itu, tidak jadi masalah. Ibarat sebuah mal, maka pengunjung bebas memilih stand mana saja yang akan dikunjungi. Sementara bagi yang berniat untuk mendengarkan music, maka pilihannya adalah menuju panggung yang menampilkan folk music serta music-musik tradisi baik yang pernah Berjaya di masa silam, maupun music yang tengah trend di masa kini.

Keberadaan stand gerakan social itu kian menegaskan hakekat festival sebagai milik masyarakat luas, bukannya milik negara. Eelemen gerakan social itu menyadari bahwa masyarakat berasal dari berbagai lapisan. Meyakinkan mereka secara persuasive, jauh lebih baik daripada aksi bakar-bakar ban, menutup jalan raya, atau berteriak-teriak di jalan demi menyatakan sikap pada rezim. Iya khan?




Dirimu adalah Diriku

DALAM setiap penat dan lelah, diriku selalu memandang foto si kecil di seberang lautan sana. Setiap memandang foto itu, maka aku merasa lebih kuat dan bersemangat. Ketika kondisiku seperti baterai hape yang lowbat, maka memandang foto itu laksana meng-chast semua energi dalam diri sehingga kembali kuat sebagaimana sedia kala. 

Aku bahagia sebab apapun yang kulakukan di sini adalah demi dirinya di ujung sana. Tawa riangnya adalah refleksi diriku. Kami memang terpisah, tapi ada semacam ikatan rasa yang sukar terdefinisikan. Diriku dan dirinya terhubung oleh benang energi yang mempertautkan kami sebagai satu jiwa, meski beda tubuh. Dirinya adalah matahari terang tempat diriku mencurahkan seluruh energi, memaksimalkan semua gerak langkah, serta menghamparkan karpet yang akan menjadi tempatnya meniti menuju masa depan.

Semoga Tuhan menguatkan kami untuk menjemput masa depan tersebut. Amin.

anakku yang baru dibotakin. lucu yaa





Selalu Saja Ada Matahari Harapan

SESEKALI kita harus merasakan sebuah masalah berat. Sesekali kita harus merasakan bagaimana dicekam kengerian serta bahaya yang mengintai. Sesekali kita harus tahu bagaimana perasaan ketika membayangkan bagaimana remuknya masa depan yang sudah lama dibangun dalam setiap lembar imajinasi.


Dahulu, saya tertimpa masalah berat. Langit tiba-tiba gelap. Saya merasa sedang menghitung hari. Saat itu saya akan segera tertimpa bencana. Semua mimpi saya tentang masa depan tiba-tiba sirna. Hari itu, air mata saya terus menggenang ketika mengingat mereka yang mengasihi. Saya mengingat perjuangan menggapai sesuatu. Tapi, akankah saya berakhir pada titik masalah itu?

Tuhan sedang berbicara dengan caranya sendiri. Tuhan ingin mengajarkan sesuatu, dengan cara lain. Dalam situasi itu, saya bisa merasakan energi kasih dari mereka yang mengasihi. Energi itulah yang menguatkan langkah, mengisi oksigen pada setiap tarikan napas, memberikan ruh dan nyawa ganda bagi saya untuk menghadapi masalah. Dalam keadaan penuh ketegangan itu, saya tiba-tiba melihat secercah harapan. Saya melihat bahwa ada jalan terang di ujung sana, yang mesti saya lalui dengan penuh kesabaran.

Kita memang butuh kesabaran dalam menghadapi apapun. Yup. Kita butuh kesabaran. Kata ini sedemikian sederhana. Tapi betapa tidak mudahnya memikul segala konsekuensi dari kata itu. Kesabaran membutuhkan keikhlasan untuk menerima segala apapun yang terjadi, sembari tetap melambungkan optimisme akan hari esok. Kesabaran serupa obor yang menuntun kita melewati lorong gelap masalah. Kita mesti berjalan perlahan agar obor itu tidak padam. Ketika tergesa-gesa, obor itu akan segera padam, dan bersiaplah menghadapi situasi yang gelap pekat.

Kita juga butuh semangat sebagai energi yang mempertahankan obor kesabaran. Tanpa semangat, obor kesabaran akan menyala redup hingga mati perlahan-lahan. Kita mesti menancapkan semangat kuat bahwa apapun yang terjadi, kita akan selalu dalam keadaan tegar menghadap apapun. Kita mesti tegar dan yakin bahwa di balik setiap awan gelap, akan selalu ada matahari terang. Kita hanya perlu membiasakan diri untu tenang serta yakin bahwa Tuhan selalu berbicara dengan cara dan bahasa yang seringkali tidak kita pahami.

Saya pernah menghadapi masalah. Saya sedemikian ketakutan. Tapi, di balik masalah itu, saya melihat ada secercah harapan. Ada tantangan yang mesti dipecahkan dengan kepala dingin. Ada keberanian yang harus diasah, tanpa harus mencucurkan air mata. Ada kebahagiaan yang sedang menanti dan siap-siap memeluk ketika masalah itu terselesaikan. Masalah adalah sahabat meeka yang berhati baja. Masalah adalah intisari kekuatan mereka yang perkasa. Mereka yang sanggup mengubah masalah laksana lempung yang mudah dibentuk apapun. Bukankah ketika petir dan hujan usai maka alam semesta nampak begitu indah?



(Buat saudari yang butuh dikuatkan hatinya)


Athens, OHIO, 21 September 2011

Perahu Cinta Ohio Tertambat di Pulau Bali

bersama Jeff di tepi Lake Snowden

DI dekat timbunan labu raksasa berwarna jingga itu, Jeff (55) tersenyum ramah kepada semua pengunjung Paw Paw Festival di tepi Lake Snowden, Athens, Ohio. Saat mengunjungi festival yang menampilkan buah-buahan khas Athens, saya lalu singgah berbincang dengannya. Ia amat ramah dan fasih menjelaskan tentang labu (pumpkins), serta upayanya bertani labu hingga menjadi petani sukses. Saat mengetahui saya berasal dari Indonesia, Jeff tersentak. Ia menatap saya dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian sontak memeluk.

Saya risih. Tapi bahasa tubuh Jeff seolah hendak membahasakan sesuatu. Seakan ada rasa girang serta rindu yang kemudian bercampur aduk menjadi satu adonan perasaan. Tanpa saya minta, terurailah kisah cinta yang selama ini digenggamnya erat-erat. Terurailah kisah asmara yang dirajutnya selama bertahun-tahun dengan gadis asal Bali, Indonesia. Ia merasakan cinta yang dahsyat pada seorang gadis di Pulau Bali. Apakah ia pernah bertemu gadis itu? Tidak sama sekali. Ia hanya bertemu gadis itu melalui internet dan sesekali saling sapa lewat telepon.

Cinta memang bisa penuh warna-warni dan romansa, namun bisa pula penuh dengan kerikil-kerikil yang menikam. Namun seorang pencinta sejati sering menganggap kerikil itu sebagai nutrisi yang kian menambah subur tumbuhan cinta tersebut. Jeff sadar bahwa membangun hubungan jarak jauh tidaklah mudah. Tapi ia tidak bisa menampik sebuah rasa yang perlahan tumbuh subur dan lebat di hatinya. Hatinya sedang bertunas sesuatu dan perlahan jingga merona, sebagaimana labu yang dipeliharanya.

Saya bisa merasakan apa yang tengah berdesir dalam hatinya. Ia selalu tersenyum saat membahas gadis tersebut. Ia juga tersenyum gembira saat mengisahkan bahwa dirinya akan ke Indonesia dalam waktu tiga bulan mendatang sambil membawa semua tabungannya, lalu menikah di satu gereja kecil di Bali. Apakah ia yakin dengan keputusannya? Yup. Tak terlihat sedikitpun keraguan dalam benaknya.

labu yang dijual Jeff di Paw Paw Festival

Kata Jeff, gadis itu bernama Sherly, sebuah nama yang disebutnya tidak khas Indonesia. Gadis itu lahir dan besar di Jakarta, namun kemudian tinggal di Bali dan bekerja di satu perusahaan swasta. Berkali-kali Jeff mengatakan bahwa gadis itu berprofesi sebagai akuntan, yang kelak akan membantunya untuk mengkalkulasi keuangan yang dimilikinya, serta dibelanjakan ke mana.

Usia mereka tidak terpaut jauh. Jika Jeff 55 tahun, maka gadis itu 53 tahun. Mereka dipertemukan lewat sebuah komuniats perjodohan di internet. Dan cinta yang lintas dunia itu kemudian mekar, meski terentang jauh dari Ohio hingga Bali. Sejak cinta itu mekar, hati Jeff berbunga-bunga. Hari-harinya adalah menyiapkan sen demi sen untuk perjalanan ke Indonesia demi pertemuan dengan sang kekasih.

Mungkin ini adalah fenomena zaman kita. Cinta tidak lagi sebagaimana gambaran nenek moyang kita sebagai fenomena 'dari mata turun ke hati' (dulu sering saya plesetkan sebagai fenomena 'dari pusat turun sedikit'. hehehe). Sekarang cinta adalah fenomena yang tumbuh dari lembaga-lembaga perjodohan, kemudian membangun komitmen baru, meskipun kedua belah pihak tidak saling ketemu. Internet telah menyuburkan cinta, dan membuat jarak menjadi nihil sehingga perahu cinta yang berlabuh nun jauh di Ohio, bisa pula tertambat jauh hingga ke Bali, Indonesia.

Apakah Jeff tidak takut tertipu? Tampaknya tidak. Ia yakin dengan pilihannya. Tapi, jujur saja ada sebersit keraguan yang menjalar dalam batin ini. Saya khawatir kalau Jeff sedang dijebak atau dikerjai seseorang yang mengatasnamakan cinta. Rasanya amat sayang jika petualangannya yang jauh serta tabungannya selama bertahun-tahun harus berujung pada kekecewaan akibat dikerjai seseorang. Ah, mungkin saya kelewat pesimis. Biarlah ia menikmati kebehagiaannya. Semoga semuanya berjalan sesuai yang dipikirkannya. Selamat Jeff!.(*)

Burung Kecil di John Baker Center


DI depan John Baker University Center, saya menyaksikan pemuda itu memainkan instrumen musik. Ia duduk bersila di lantai bata merah, kemudian mengeluarkan gitar dan mulai memetiknya. Mulanya saya tidak tertarik. Tapi saat menyanyi, suaranya bikin merinding. Ia menyanyikan lagu Halelujah. Saya terdiam.

Selama dua minggu di Athens, lagu yang paling sering saya adalah lagu ini. Minggu lalu, sayapun mendengarkan lagu ini dari seorang anak muda di panggung musik. Kemarin, di tepi Lake Snowden, ada pula yang menanyikan lagu ini. Tampaknya lagu ini sangat popular dengan lirik menyentuh.

Saya datang mendekat dan melihat anak muda itu dari dekat. Ternyata di tempat gitar itu terdapat tulisan Help Me, Help A Child. Di situ terdapat brosur tentang penderitaan yang dihadapi anak-anak Amerika Latin. Ternyata, anak muda itu tidak sedang mengemis dengan suara emasnya. Ia sedang mengumpulkan donasi yang akan disumbangkan ke anak-anak di belahan bumi lain yang sedang kesulitan.

Saya merenung. Dalam usia semuda itu, ia sudah memikirkan penderitaan orang lain. Mungkin anak muda itu tidak mengenal siapa saja anak yang akan dibantunya. Tapi ia sadar bahwa bantuan yang diberikannya –tidak peduli sebesar apapun itu—akan menjadi cahaya terang yang kelak membersitkan tawa kecil di ujung belahan sana. Dari sisi kuantitas, apa yang dilakukannya sangatlah terbatas. Tapi dari sisi kualitas, ia telah mengetuk kesadaran banyak orang untuk berbuat sesuatu. Suaranya yang serak basah adalah ajakan untuk berbuat sesuatu. Dan ia sukses mengetuk hati saya saat itu.

Saya langsung teringat sebuah ujaran para sufi tentang burung kecil dalam kisah Nabi Ibrahim. Burung itu iba pada Ibrahim yang dilumat kobaran api Raja Namrud. Ia terbang mencari air, meletakkan di paruhnya kemudian kembali. Dari paruhnya yang kecil, ia teteskan air untuk memadamkan api. Burung lain mentertawakannya.

Dengan tenang ia menjawab, “Aku tahu tetesan air ini tidak akan mungkin memadamkan api Namrud. Tapi aku ingin agar Tuhan tuliskan dalam kitab-Nya bahwa aku sudah berbuat untuk kekasih-Nya.”

Anak muda bersuara merdu yag saya saksikan itu adalah burung kecil yang berbuat sesuatu karena dorongan kasih. Ia tahu apa yang dilakukannya tak seberapa, tapi ia mengetuk kesadaran banyak orang bahwa dirinya telah melakukan hal-hal positif untuk seseorang yang tak dikenalnya. Anak muda itu adalah burung kecil yang ikhlas menyanyi demi kebahagiaan orang lain. Sungguh bahagia bisa menyaksikan dirnya menyanyikan lagu Halelujah.

Sebagai ilustrasi, inilah syair lagu Halelujah yang dinyanyikan Rufus Wainwright, yang juga merupakan soundtrack film Shrek 4. Silakan menyimak:


I've heard there was a secret chord
That David played, and it pleased the Lord
But you don't really care for music, do you?
It goes like this
The fourth, the fifth
The minor fall, the major lift
The baffled king composing Hallelujah

Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah

Your faith was strong but you needed proof
You saw her bathing on the roof
Her beauty
in the moonlight
overthrew you
She tied you
To a kitchen chair
She broke your throne,
she cut your hair
And from your lips she drew the Hallelujah

Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah

Maybe I've been here before
I know this room, I've walked this floor
I used to live alone before I knew you
I've seen your flag on the marble arch
love is not a victory march
It's a cold and it's a broken hallelujah

Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah

There was a time you'd let me know
What's real and going on below
But now you never show it to me do you?
Remember when I moved in you?
The holy dark was moving too
And every breath we drew was hallelujah

Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah

Maybe there's a God above
And all I ever learned from love
Was how to shoot at someone who outdrew you
It's not a cry you can hear at night
It's not somebody who's seen the light
It's a cold and it's a broken hallelujah

Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah
Hallelujah, Hallelujah

Dingin Hingga Tiga Derajat

KATA orang, Athens sekarang lagi musim panas. Tapi tadi malam, saya rasakan dingin yang luar biasa. Kata teman-teman, suhu mencapai 6 derajat celcius. Malah, ada teman yang mencatat suhu 3 derajat celcius. Saya tidur sambil membenamkan diri saya dalam selimut tebal. Itupun saya masih merasa dingin. Ini musim panas. Bagaimana saat musim dingin nanti?

Mungkin saatnya harus menyesuaikan diri. Saya mesti beradaptasi dengan situasi agar tidak selalu kedinginan setiap saat. Saya sudah membeli sweater dan kaos kaki. Nampaknya saya harus menambah koleksi jaket tebal. Saya tak mau dikalahkan dingin. Saya akan mengalahkan dingin agar menjadi panas. Setidaknya panas tubuh ini tetap terjaga hingga pikiran tetap jernih.

Dalam situasi dingin seperti ini, saya merindukan seseorang di sana. Apakah ia baik-baik saja? Ataukah ia sementara terlelap dalam belaian ibunya?

Sarasvaty Berkunjung ke Mal

Sarasvaty, Dwi, dan Tiah. Tiga perempuan di satu mal

Di sini aku dicekam kesunyian. Tapi di Tanah Air sana, anakku Sarasvaty pertama kalinya berjalan-jalan di mal. Bersama ibunya, bayi seusia sebulan itu melihat-lihat pemandangan di mal. Ibunya suka berjalan-jalan. Apakah ia sebahagia ibuya ketika berjalan-jalan?

Cakra dan Saras. Anakku, dalam keadaan apapun dirimu selalu bisa bergaya

Di Tanah Air sana, anakku juga pertamakali bertemu sepupunya Cakra. Mereka sebaya. Usianya hanya terpaut sebulan. Kelak mereka akan saling mengunjungi. Kelak mereka akan sering bermain bersama. Kelak mereka akan sama-sama dewasa dan saling menolong. Dan kami generasi sebelunya bias tersenyum saat mengantarkan kalian ke masa depan.(*)

Apple Baru, Semangat Baru

AKHIRNYA saya punya sebuah laptop baru. Selama seminggu ini saya deg-degan setiap kali ada tugas untuk menulis. Saya sangat tergantung pada keberadaan komputer di Alden Library. Setiap hari, saya berusaha datang lebih awal demi menggunakan fasilitas di Alden. Di situlah saya mengetik tugas, memeriksa ulang semua yang dibutuhkan dalam perkuliahan, hingga mencari bahan yang diminta oleh staf pengajar.

Selama beberapa hari, saya menunggu kiriman uang dari sponsor beasiswa. Maklumlah, keberadaan saya di sini berkat sponsor. Bahkan untuk membeli kebutuhan sehari-haripun, sponsor yang menyediakan. Saya menikmati keuntungan yang diberikan pada setiap penerima beasiswa Ford yakni adanya dana membeli komputer serta buku-buku.

Kemarin, saya membeli laptop baru jenis Apple MacBook Pro. Sudah lama saya mengidamkan laptop jenis ini. Apple adalah produk yang paling laris di Amerika Serikat (AS). Tapi sejujurnya, saya merindukan laptop sebelumnya yakni Acer. Saya merindukan laptop yang telah menemani saya selama kurang lebih dua tahun. Laptop itu menjadi saksi dari tulisan-tulisan blog ini, proses awal ketika saya melamar beasiswa, hingga saat belajar bahasa. Laptop itu telah menemani saya dalam segala suka dan duka, selalu mengisi tas saya ke manapun saya pergi. Kemarin, semestinya saya membawa laptop itu ke Amerika Serikat (AS). Sayang sekali, nasib membawa kami pada simpang jalan berbeda.

Sekarang Acer itu di tangan seseorang yang mengambil tas ransel di Jakarta. Entah apakah orang itu orang baik atau orang jahat, yang jelas si Acer itu bersamanya. Saya membayangkan laptop itu menangis tersedu-sedu menanti kapan tuannya datang menyelamatkannya. Sayang sekali, diri ini telah menyeberang lautan jauh sehingga tak berdaya untuknya. Mudah-mudahan ada berita baik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi, Ismet akan segera ke Jakarta demi laptop itu.

Setiap ada kepergian, maka selalu ada kedatangan. Jika Acer itu telah meniti takdirnya sendiri, maka Apple hadir di depan mata. Semoga takdirnya kelak tidak seperti si Acer. Semoga kelak ia bisa menjadi saksi-saksi atas perjalanan saya di Negeri Paman Sam. Semoga kelak ia bisa bercerita tentang petualangan dan kebahagiaan di negeri baru.(*)


Masak-Masak di Kota Athens

restoran cina di Athens, Ohio

SEKARANG, marilah kita membahas makanan. Mulanya saya menyangka akan kesulitan beradaptasi dengan makanan. Saya tidak seberapa familiar dengan makanan seperti pizza, spagheti, atau berbagai jenis makanan lain. Setiba di Amerika, ternyata makanan yang dimakan sama saja dengan di Indonesia. Semuanya tergantung selera.

Bukan hanya orang Indonesia yang suka makan nasi. Hampir semua orang Asia suka makan nasi. Makanya, beras --sebagai bahan baku nasi-- mudah ditemukan di mana-mana. Bagi yang suka makan di restoran, nasi mudah ditemukan di restoran-restoran Cina. Tapi bagi yang suka memasak di apartemen, beras mudah ditemukan di semua supermarket. Konon, banyak warga Amerika Serikat (AS) yang bergantung pada pasokan beras dari Asia. Jangan terkejut. Bukan hanya beras. Di sini, indomie juga mudah ditemukan.

Harga makanan di restoran dan bahan makanan yang dibeli sangatlah beda. Makanan restoran jauh lebih mahal daripada bahan makanan. Sebagai ilustrasi, harga 30 butir telur di supermarket hanya 2 dollar. Sementara jika membeli satu butir telur yang telah digoreng, maka harganya bisa 4 dollar. Sangat jauh bukan?

Makanya, selama di sini, saya membiasakan untuk memasak. Kemarin, saya belanja bahan di supermarket, saya hanya membayar 20 dollar. Padahal bahan yang dibeli hampir sekeranjang. Mulai dari beras, telur, roti, berbagai jenis slei, garam, susu jergen, merica, garam, gula, minyak goreng, sereal, serta teh celup. Ini masih ditambah kebutuhan sehari-hari seperti payung dan sejenisnya. Bisa pula ditambah aneka minuman mulai jus hingga Pepsi Cola. Semuanya murah. Tapi kalau mau beli di restoran, harganya sangat beda.

Nah, sekarang soal minuman. Di sini, tak bakal ditemukan dispenser atau galon. Semua orang minumnya di keran air. Awalnya saya heran sebab dengan mudahnya orang memutar keran, menampung air dalam gelas, kemudian meminumnya. Tadinya saya protes, apakah air itu sehat? Seorang sahabat menjelaskan kalau air keran justru jauh lebih sehat jika dibandingkan dengan air aqua. Maknanya, di kampus amat mudah ditemukan keran air yang bisa menyebur dan langsung ditadah dengan mulut.

Mendengar penjelasan itu, saya pun mulai ikut-ikutan meminum air keran. Tapi, risih juga sih. Masak selesai cuci piring, tiba-tiba langsung minum air di keran itu. Rasanya agak aneh karena air yang dipakai mencuci, tiba-tiba diminum.(*)

Saat Nama Tengah Ikut Lenyap


PEMBERIAN nama selalu terkait dengan kultur atau budaya di mana seseorang berada. Saya lahir di Indonesia dengan nama Muhammad Yusran Darmawan. Setiba di Amerika, saya harus merelakan nama tengah saya lenyap sehingga hanya tertulis Muhammad Darmawan.

Entah siapa yang memulainya, di Amerika, seseorang selalu memiliki dua suku kata untuk nama. Kalaupun ada nama tengah, biasanya nama itu disingkat, atau malah dilenyapkan sama sekali. Awalnya saya heran saat menerima segepok surat grant dari IIE di New York dan di depannya tertera nama Muhammad Y Darmawan.

Orang Amerika Serikat tidak pernah berpikir bahwa nama Muhammad dipasang didepan nama dan lebih sering disingkat. Saya lebih sering menuliskan nama M Yusran Darmawan. Rata-rata orang Indonesia sudah tahu apa kepanjangannya. Mereka tidak mempertanyakannya lagi.

Lain tempat lain kulturnya. Di sini saya sering dipanggil Darmawan. Saya tidak pernah dipanggil dengan nama tengah. Suatu hari, saat perkuliahan dimulai, dosen memanggil Muhammad, maka yang menoleh ada dua orang yakni saya dan sahabat asal Afghanistan. Kami sama-sama protes sebab nama itu diletakkan di depan nama dan bukanlah nama panggilan.

Seorang teman juga memiliki keluhan yang sama soal nama. Nama lengkapnya hanya satu kata yakni Elizarni. Di Indonesia, banyak yang hanya memiliki nama satu suku kata. Saya mengenal Aslan, Kasman, Hamrin, atau malah Safaruddin. Saya bisa bayangkan saat pemilik nama satu kata ini ke Amerika, ia pasti akan kesulitan beradaptasi saat diminta menulis nama khususnya saat namanya ditulis komputer untuk absesnsi, atau saat buka rekening di bank. Dalam kasus teman saya, akhirnya namanya ditulis Elizarni No Name. Seorang dosen memanggilnya NO. Aneh khan?

Yah , apa boleh buat. Mungkin saatnya saya harus membiasakan diri dengan panggilan nama Muhamamd Darmawan. Meskipun keduanya hampir tidak pernah digunakan di Indonesia. Saya lebih nyaman dipanggil Yusran atau Yus. Kadang Yos. Hari ini, di saat saya melamun tiba-tiba saja seorang sahabat asal Kolombia menyapa, "Hai Muhammad!" Wah, jadi gak enak nih!


From Athens With Love

depan kampus Ohio University

TADI siang aku kembali berbincang dengan seorang wanita Jepang. Ini adalah pertemuan untuk kesekian kalinya. Dan setiap bertemu, mataku selalu saja menangkap matanya yang memancarkan terang laksana kejora. Di depan Alden Library, Athens, Ohio, kami kembali bertemu dan mulai bercerita tentang banyak hal. Ia menjelaskan tentang betapa indah negaranya yang penuh sakura-sakura. Yang mengejutkanku, ia juga bercerita tentang betapa perbedaan antara imajinasi dan realitas yang disaksikannya di Amerika Serikat. Usai berbincang, ia menitipkan kado kecil sembari bertanya, seperti apakah imajinasi dan pandanganku saat ini tentang Amerika Serikat?

***


IMAJINASIKU tentang Amerika Serikat (AS) adalah sebentuk puzzle yang disusun oleh kepingan-kepingan kecil informasi yang kemudian membentuk bangunan utuh bernama ingatan. Informasi tersebut disusun dari pengalaman demi pengalaman yang didapatkan melalui majalah, buku, film, ataupun komik-komik Amerika yang kugandrungi pada satu masa.

Jauh sebelum ke Amerika, aku membayangkan suasana perkotaan yang padat, manusia yang berjuta-juta orang dan hilir mudik dari gedung pencakar langit yang satu ke gedung pencakar langit yang lain. Pernah pula kubayangkan tentang lorong-lorong bawah tanah yang kerap menjadi saluran air, sebagaimana pernah didiami Master Splinter dan muridnya Ninja Turtles demi menyusun kekuatan dan melawan musuhnya Schredder.

Amerika Serikat kubayangkan sebagai negeri megah dengan fasilitas amat modern. Di sinilah gedung-gedung tinggi berdiri tegak dan di sela-selanya ada Peter Parker atau Spiderman yang sedang bergelantungan. Amerika Serikat kubayangkan seperti sebuah kota Gotham di mana Batman atau Bruce Wayne setia berjaga demi membela kebenaran. Atau seperti Kota Metropolis, tempat Clark Kent setia menjalankan tugas jurnalistiknya, dan sesekali beralihrupa menjadi Superman yang melesat tinggi terbang ke langit. 

Saat pertama tiba di Kota Athens, Ohio, aku menemukan satu kenyataan yang berbeda. Athens bukanlah satu perkotaan padat yang ke manapun mata memandang adalah bangunan megah dan mentereng. Bukan pula sebuah kota dengan tingkat kriminalitas tinggi, yang di dalamnya terdapat banyak gang motor atau pemakai narkoba yang sesekali menjabret dan menikam tanpa alasan jelas. 

salah satu bangunan di Athens
paduan klasik dan modern

Athens adalah sebuah kota kecil bersahaja yang jantungnya adalah universitas, dan manusia-manusia di dalamnya seakan mengelilingi episentrum universitas. Athens adalah sebuah lanskap pedesaan yang dipenuhi hutan-hutan rimbun, rumah bermain para binatang, yang di sela-selanya terdapat gedung perkuliahan. Athens adalah bangunan kecil yang menyuplai oksigen demi menjaga kelangsungan hidup sekitar 21.000 penduduknya yang separuh di antaranya adalah para mahasiswa pendatang.

Pertama melihat kota ini, aku sudah jatuh cinta dengan apa yang nampak. Hampir semua rumah memiliki halaman asri dan di situ terdapat tumput-rumput hijau. Kota ini dikepung oleh pebukitan liar yang sering dilewai kawanan sapi atau rumput liar. Menurut seorang sahabat, penduduk dilarang menembak rusa itu sehingga sesekali mereka terlihat di tepi kota. Jika suatu saat penduduk berkendara dan tanpa sengaja menabrak rusa yang kemudian tewas, ia  berhak untuk memiliki dagingnya. Namun untuk menembak, tidaklah semudah itu. Ia mesti melalui prosedur yang rumit dan disesuaikan dengan populasi rusa yang dikontrol pemerintah setiap tahunnya.

suasana kampus Ohio University
salah satu apartemen dekat kampus

Saat memasuki kampus Ohio University, aku sempat terkejut ketika menyaksikan tupai-tupai berkeliaran bebas dan mencari makanan di rerumputan. Aku tak bisa bayangkan jika tupai itu berkeliaran di Indonesia. Pastilah tupai itu langsung disate atau tersaji dalam bakso para pedagang. Di Athens, tupai-tupai itu hidup bebas, tanpa ada yang hendak mengejar atau membunuhnya. Mereka ikut memiliki kampus megah ini dan menjadi bagian tak terpisahkan. Melihat tupai itu, saya tiba-tiba menemukan satu gambaran harmonis tentang konsep kemenyatuan antara manusia hewan, dan nuansa ekologis.

Di Athens, aku menyaksikan begitu banyak bangunan tua. Bahkan bangunan barupun didesain dengan konsep bangunan tua yang megah jika dilihat dari luar. Saat mengelilingi Ohio University, aku serasa memasuki sebuah konsep kastil abad pertengahan berupa bangunan dengan bata merah menjulang tinggi, rumah-rumah kayu khas nuansa pedesaan, menara runcing gereja abad pertengahan, atau jalan-jalan yang dihiasi tempat duduk yang terbuat dari logam dan dicat hijau klasik. Aku serasa melihat para ksatria keluar dari kastil merah itu sembari menyandang pedang, kemudian gadis-gadis dengan gaun berkorset akan muncul dari jendela-jendela di kastil itu. Athens adalah teladan sempurna dari transformasi masa silam di abad modern. Para pencinta bangunan tua, pastilah menyenangi Athens yang klasik namun modern itu.  

Dan betapa kontrasnya jika harus membandingkannya dengan negeri kita sendiri. Setahun silam, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan izin kepada seorang  investor untuk membangun waterboom di dekat Benteng Sombaopu, benteng yang menjadi saksi keberanian bangsa Makassar menentang kolonialisme Belanda. Saat itu, beberapa sahabat menentang keras pembangunan waterboom karena hanya akan membuat benteng nampak sebagai  warisan masa silam yang kusam dan tersaput oleh waktu. Sebelumnya, pernah pula kami menyesalkan bangunan kuno kantor balai kota yang tiba-tiba saja dibangun menara tinggi di tengahnya. Bersama para sahabat, aku tidak sedang mempersoalkan bangunan. Kami meradang atas kekhawatiran akan punahnya sejarah masa depan dikarenakan para pemimpin hari ini tidak menghargai apa yang  telah menjadi warisan kebudayaan masa silam.

tempat jogging dan bersepeda di kampus Ohio University

Mungkin, atas dasar keinginan membentuk perkotaan yang modern itu, kota-kota di Tanah Air dibangun tanpa visi yang jelas. Pemerintah berambisi membangun sesuatu yang modern dan nampak canggih, namun di saat bersamaan tidak pernah memikirkan dampak serta fungsi kota sebagai tempat yang nyaman bagi warga. Mereka tidak memiliki visi bahwa sebuah kota mesti dibangun sebagai kontinuitas panjang dari lintasan sejarah serta tanggungjawab untuk menjaga sejarah itu pada memori kolektif warga.  Maka tumbuhlah generasi yang tidak paham sejarah. Generasi yang hanya melihat kota sebagai tempat berhura-hura, tanpa memikirkan sesuatu yang jauh lebih substansial, tanpa mengeja aksara sejarah demi menemukan sukma yang menjaga kelangsungan masa kini.

Aku teringat berbagai literatur tentang studi ingatan. Sebuah kenangan kadang hadir dengan utuh, namun kadang pula hadir dengan penggalan-penggalan. Ketika manusia membangun monumen atau tugu peringatan, maka monumen itu bermakna sebagai jembatan yang menautkannya dengan masa silam, atau suatu peristiwa atau seseorang yang demikian penting bagi dirinya. Simbol itu menjadi technologies of memory (teknologi ingatan) yang menjaga kelangsungan ingatan dan mewariskannya dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.

Athens adalah kota kecil yang menjaga kontinum ingatan dan perjalanan panjang kota. Di sini tak hanya terdapat pegunungan yang di atasnya terdapat apartemen asri, namun di sini juga terdapat banyak prasasti yang mengingatkan orang akan masa lalu kota ini sebagai daerah pertambangan. Baru melintas beberapa hari, aku sudah mendapatkan gambaran bahwa kota ini dahulu merupakan tempat bernaung bangsa Indian sebagai bangsa asli Amerika, yang kemudian juga ditempati para imigran Inggris pada tahun 1797. Mereka pulalah yang kemudian berinisiatif membangun Ohio University pada tahun 1804.

berpose depan apartemen di kampus

***

Ah, Athens memang teramat romatik. Kubayangkan betapa indahnya melewati masa dua tahun di kota kecil ini. Belakangan kutahu pula kalau kota ini kerap disebut kota cinta. Ah, mungkin informasi keliru sebab tak pernah kutemukan dalam ensiklopedi atau informasi tentang kota ini. Tapi gadis Jepang bermata binar dan berambut lurus yang kutemui di Alden Library telah meyakinkan diriku tentang makna kota cinta itu sembari memberikan kado kecil sebagai hadiah. Katanya,kado itu harus dibuka saat tiba di apartemen. Malam ini, aku merenungi seberapa benar kalimat tersebut. Perlahan kubuka kotak itu. Di situ terdapat sebuah prasasti kecil yang  bertuliskan ”From Athens with love.”



Athens, 12 September 2011
Saat susah tidur di malam hari


McD Selera Amerika


SESEKALI saya ingin makan di kantin. Meskipun harganya sangat jauh beda jika dibandingkan dengan masak di rumah. Saya juga ingin merasakan bagaimana atmosfer makan fast food di restoran cepat saji di Amerika Serikat.

Pilihan akhirnya jatuh ke McDonald. Di Indonesia, McD sangat populer sebagai warung makan yang menyajikan menu ayam goreng dan nasi. Saat memasuki salah satu restoran McD, saya terkejut ketika tak satupun menyaksikan menu nasi dan ayam. Yang ada adalah ayam goreng yang disajikan dengan roti.

Rasanya? Menurutku biasa-biasa saja. Jauh lebih enak jika disajikan dengan nasi. Mungkin ini sudah bukan soal rasa lagi. Ini soal kebudayaan yang kemudian mengendalikan konsep kita tentang rasa enak dan tidak enak. Bagi warga Amerika, kenikmatan ayam goreng McD adalah ketika disajikan dengan roti. Sementara bagi saya, nikmatnya McD itu ketika disajikan dengan nasi panas. Terserah jika berbeda.(*)

Kerikil-Kerikil Menuju Ohio

air mancur di tengah Detroit Wayne International Airport

SESAAT lagi pesawat akan mendarat di Detroit. Pramugari pesawat Delta Airlines telah membagikan dua lembar form yang wajib diisi oleh semua penumpang yang bukan warga negara Amerika Serikat (AS). Saya telah mengisi kedua lembar itu dengan data yang sebenar-benarnya. Tiba-tiba ada pula pengumuman kalau Detroit adalah salah satu bandara internasional yang merupakan pintu gerbang memasuki AS. Olehnya, semua penumpang wajib menjalani pemeriksaan oleh pihak imigrasi AS dan bakal ada pemeriksaan dokumen pribadi.

Saya langsung tercekat. Rasa khawatir seketika menjalar di seluruh tubuh ini. Di pesawat berbadan lebar yang menerbangkan saya dari Bandara Narita (Jepang) itu, saya hanya membawa tas kecil yang hanya berisikan paspor, Visa serta satu lembar DS2019, dokumen wajib yang ditandatangani pihak perwakilan pemerintah AS di Jakarta. Beberapa teman di Tanah Air sudah meramalkan jika saya bakal  tertahan. Kata mereka, tanpa lembar asuransi (yang menanggung kita selama di AS), serta lembar pernyataan dari lembaga sponsor bahwa kita adalah penerima beasiswa, maka siapapun bisa kesulitan masuk negeri Paman Sam. Yah, tahu sendirilah jika negeri itu sering bertindak tanpa alasan rasional. 

Kekhawatiran makin menjalar saat membayangkan proses pengurusan visa yang berbelit-belit. Nama lengkap saya Muhammad Yusran Darmawan ternyata bisa membawa masalah. Seumur-umur, saya tak menyangka jika nama yang bernuansa Arab itu bisa membuat pihak Konjen AS mengeluarkan lembar kuning atau yellow notice usai wawancara Visa. Saya dan teman saya (Abdul Hakim) disuruh menunggu untuk waktu yang tidak jelas kapan beraklhirnya. Saya cukup beruntung karena seminggu sesudahnya, pihak Konjen AS menyatakan pemeriksaan atas data diri saya di Washington telah dinyatakan selesai. Saya dinyatakan layak mengambil Visa. Malangnya, teman Abdul Hakim hingga kini masih menanti kepastian Visa.

lorong panjang Bandara Detroit, AS
Rasa khawatir kian menggerogoti ketenangan ini. Saya dikepung rasa panik yang sesaat telah menghilangkan ketenangan dan kejernihan, sesuatu yang selama ini selalu saya genggam erat-erat. Hari ini, saya mesti menghadapi semua masalah. Apapun yang terjadi, saya mesti berjalan tegak dan menjemput semua masalah. Saya teringat Tuhan. Saya yakin Tuhan sedang menghamparkan satu ujian berat untuk saya jalani. Mungkin inilah jalan yang mesti ditempuh. Mungkin di sinilah kesabaran dan ketenangan saya akan diuji. 

Pesawat mendarat di Detroit. Saya lalu bergerak melewati satu lorong panjang. Di sepanjang lorong tertulis kalau sebentar lagi akan ada pemeriksaan oleh pihak imigrasi Amerika. Saat melintas, beberapa polisi Amerika berseliweran. Banyak di antara mereka yang membawa anjing pelacak dan mengendus tas-tas yang dibawa penunpang. Saya hanya membawa tas kecil. Di sebelah saya, ada seorang mahasiswa asal Jepang yang mengeluarkan map berisi semua dokumen. Kami berbincang. Ia terkejut juga saat mengetahui saya hanya membawa dua dokumen. 

Kami melewati lorong panjang itu hingga akhirnya nampak loket-loket imigrasi. Kami ikut antri. Beberapa penumpang yang memakai jenggot panjang tiba-tiba disuruh masuk ruangan khusus.  Saya lalu menyentuh dagu. Ternyata saya sudah empat hari tidak mencukur jenggot. Saya lihat di kaca kalau wajah saya kian mirip Osama bin Laden. Apakah saya akan diinterogasi dan ditangkap? Saya juga memegang dokumen di tas kecil itu. Tiba-tiba saya teringat semua dokumen yang saya terima di Jakarta. Kemanakah gerangan semua dokumen itu? Mengapa pula saya tidak membawa dokumen-dokumen yang sedemikian penting itu?

***

BAIKLAH. Akan saya kisahkan padamu nasib semua dokumen penting itu. Hari itu, 2 September 2011, saya baru saja tiba di Bandara Soekarno Hatta setelah terbang selama 2 jam dari Makassar. Rencananya, malam itu juga saya akan berangkat ke Amerika lewat Singapura dan Jepang. Saya dalam kondisi yang sangat lelah setelah semalam sebelumnya menyiapkan tas dan perlengkapan.  Saya juga membawa tas koper yang isinya pakaian, serta tas kecil yang isinya dompet berisikan uang dollar serta paspor dan Visa.

Seluruh dokumen penting, saya pindahkan dalam tas ransel yang rencananya akan saya bawa ke manapun.  Seluruh dokumen itu saya bagi dalam dua map besar. Satu adalah ijazah serta kopian, yang nanti akan dipakai saat mendaftar kuliah di Amerika. Satu lagi berisikan semua dokumen dari sponsor beasiswa seperti pernyataan bahwa saya  penerima beasiswa, letter of acceptance (surat pernyataan diterima di Ohio University), lembar asuransi dari Amerika, hasil pemeriksaan kesehatan, serta beberapa dokumen penting lain. Kedua map dokumen itu saya simpan dalam tas ransel bersama baju adat, serta laptop merek Acer.

Tiba di Bandara Soekarno Hatta, saya langsung menuju antrian bagasi. Bandara ini jauh lebih ramai dari biasanya. Saat itu memang lagi puncak-puncaknya arus balik di bandara. Saat menunggu tas koper, saya sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan. Saya harus menghubungi pihak sponsor untuk memberi tahu kondisi terbaru. Saat tas koper saya mendekat, saya lalu menyimpan ransel di trolly. Saya hanya bergerak selama lima menit, namun saat kembali, tas ransel itu telah hilang. 

Sungguh, saya tak mempermasalahkan laptop yang hilang, meskipun di situ banyak naskah saya yangt belum kelar. Saya sedih ketika mengingat nasib semua dokumen penting yang emstinya saya bawa untuk diperlihatkan ke imigrasi. Tahukah kamu betapa paniknya saya saat itu? Saya gelisah dan segera bergerak menuju security bandara. Mereka ikut sibuk dan mencari-cari. Tapi setelah dua jam mencari-cari, hasilnya nihil. Dengan sangat terpaksa, saya lalu meninggalkan bandara dan segera naik bis Damri menuju Gambir, lalu ke satu hotel di Jalan Kramat Sentiong. Tiba di hoel saya kembali gelisah. Saya tak bisa melakukan apapun tanpa dokumen itu. 

Saya lalu menahan taksi dan kembali ke bandara. Dua jam mencari tas, saya akhirnya menyerah. Pencarian juga saya lakukan di halte dan bis Damri. Lelah, saya mengontak dirimu yang sempat marah-marah. Saya juga mengontak pihak sponsor beasiswa (Mbak Nune dan Mas Riki) demi memberitahuakn apa yang terjadi. Kupikir mereka akan marah-marah. Namun di luar dugaanku, mereka tetap tenang. Mbak Nune (semoga Tuhan tak pernah melepaskan genggaman kasih atas dirinya yang amat baik) malah menguatkan semangat serta memberikan motivasi. Katanya, ”Tetap tenang ya. Istigfar. Tenang tenang tenang. Itu terus yang terucap dalam hati dan fokus. Nanti di imigrasi tetap tenang. Urusan dokumen bisa disampaikan ke kantor pusat di New York. Yang penting Mas Yusran tetap tenang.”

Kalimat ini serupa embun sejuk yang menyirami kegelisahan. Di saat bersamaan, dirimu juga telah menemukan ketenangan dan memberikan semangat. Siang itu, saya lalu mengambil tas koper. Saya lalu mengambil tas kecil yang isinya paspor dan Visa. Kemudian langsung menuju bandara untuk siap-siap menuju Singapura. Kali ini, saya ikhlas dengan apapun yang terjadi. Saya tak ingin gagal setelah lebih setahun memimpikan perjalanan ini. Kalaupun gagal, saya ingin gagal tidak sebagai pecundang. Saya mesti menghadapi segala risiko yang terjadi.

*** 

KALI ini saya sudah berada di antrian menuju imigrasi. Saya lihat seorang pemuda asal Timur Tengah digelandang menuju ruang pemeriksaan. Saya mesti tetap tenang dan tidak panik. Batin saya mengingat beberapa doa yang pernah diajarkan. Dalam sepersekian detik, saya teringat ajaran ibu tentang mantra yang bisa melembutkan hati seseorang yang hendak marah pada diri kita. Kami, orang-orang Buton, terbiasa dengan berbagai bacaan serupa mantra. Saya pernah menggunakan mantra ini beberapa kali ketika hendak bertemu orang-orang. Hasilnya sangat efektif. Setiap menggunakan mantra itu, kemarahan bisa dijinakkan menjadi kelembutan. Saya lalu mengutuk diri saya, mengapa mantra  ini tidak saya rapalkan sejak awal? Saya mulai merapal mantra ini dalam hati sambil menatap ke arah petugas imigrasi.

Sahabat asal Jepang itu dipanggil. Ia mengeluarkan map-map berisi dokumen dalam tasnya. Petugas imigrasi lalu menstempel paspor dan memberikan lembaran I-94 sebagai dokumen imigrasi. Saya lalu menanti panggilan. Tiba-tiba saja seorang perempuan bule berambut prang di loket sana –yang memakai baju biru—tiba-tiba memanggil. Inilah waktunya. Saya lalu datang menuju imigrasi.

Dalam bahasa Inggris, ia menanyakan nama serta meminta paspor. Ia membaca nama depan saya Muhammad, lalu menanyakan lembar DS2019. Tanpa saya duga, ia bertanya hal-hal yang tak ada hubungannya dengan kedatangan saya ke Amerika. Ia bertanya apa makna tulisan yang ada di baju kaos yang saya kenakan. Saat itu, saya memakai baju bertuliskan ”Walaupun Saya Buaya, Namun Saya Sudah Tobat dan Menjadi Vegetarian.” Tak mau mengartikan secara panjang, saya hanya menjawab singkat dan sedikit berbohong, ”I’m handsome.” Perempuan itu tersenyum dan kembali menanyakan berapa dollar uang yang saya bawa. Setelah itu ia mempersilakan saya untuk masuk Bandara Detroit. Pemeriksaan selesai.

Saya serasa melangkah di atas awan. Tak sanggup saya lukiskan kegembiraan ini. Saya seperti hendak berlari saking gembiranya. Saya lalu mengambil bagasi, kemudian memasuki Bandara Detroit dan mencari pesawat  yang akan menerbangkan saya ke Colombus, OHIO. Saya telah melampaui satu titik paling krusial dan paling menegangkan dalam hidup. Ternyata, ketenangan serta kejernihan dalam menghadapi sesuatu serupa  benteng yang akan menyelamatkan kita di manapun berada. Ketenangan serta pikiran yang tetap jernih adalah cahaya terang yang membuat langkah tetap fokus dan tidak terpengaruh dengan kekhawatiran yang menjalar hingga nyaris memantek langkah. Saya juga belajar bahwa kesabaran menghadapi sesuatu adalah kunci utama untuk membuka lapis-lapis kehidupan yang penuh tantangan dan penuh onak duri, namun keberanian  laksana pedang tajam yang akan menebas semua masalah di hadapan mata.

Hari ini, saya telah melangkah di Negeri Paman Sam. Saya memasuki kehidupan baru yang penuh dinamika. Dan semoga Yang Maha Menyinari  tak pernah lelah memancarkan cahayanya untuk menerangi semua jalan yang saya lalui. Semoga!


Athens, 3 September 2011