Ekspedisi Kompas ke Masa Silam

KEMARIN saya membeli buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Buku ini menarik untuk beberapa hal. Pertama, semangat buku ini adalah liputan yang didesain dengan model investigatif. Para jurnalis Kompas melakukan ekspedisi menapaktilasi sebuah jejak pencapaian di masa lalu, dan melihat realitasnya di masa kini. Apakah masa gemilang itu kian gemilang, ataukah masa gemilang itu menjadi pupus.

Kedua, buku ini punya semangat memotret realitas-realitas di sepanjang perjalanan, kemudian menuangkannya dalam buku. Semangatnya seperti dalil yang berlaku dalam dunia riset kualitatif, kenali realitas dan tuturkan sebagaimana adanya. Makanya, saya cukup menikmati membaca buku ini sebab di dalamnya ada kombinasi antara data mentah lapangan, dan riset pustaka. Saya menemukan pembahasan yang warna-warni dan menarik hati, sebab datanya yang amat kaya.

Ketiga, buku ini seolah menyajikan lintasan waktu, mulai dari masa lalu hingga masa kini, kemudian balik lagi ke masa lalu. Keseimbangan alur yang dibangun ini membuat kita bisa menelaah secara lebih holistik. Saya jadi bertanya-tanya, apakah layak kita membanggakan kemajuan hari ini, ketika kereta kuda diganti dengan mobil, namun bertimbun-timbun masalah hari ini yang tidak bisa kita pecahkan. Sebuah kegemilangan di masa silam, bisa menjadi petaka di masa kini ketika kita gagal membuat perencanaan strategis ke depan, ketika kita gagal membaca tanda-tanda zaman dan mengarahkan biduk bangsa menuju pada cita ideal yang kita bangun.

Kalaupun ada kelemahan kecil dalam buku ini, maka itu nampak dari begitu sempitnya analisis tentang satu wilayah. Tapi, saya bisa memaklumi ini. Memang tidak mudah menemukan kedalaman analisis jika perjalanan itu sifatnya ekspedisi yang singkat sehingga persinggahan pada satu wilayah ibarat snapshot sekilas. Ini jelas beda dengan riset, yang butuh waktu lama di satu tempat, dan hasil bahasannya lebih mendalam.

Kelemahan kedua yang saya saksikan adalah dengan cepatnya asumsi-asumsi ditarik. Menurutku, apa yang kita saksikan di apangan belum tentu menjelaskan kenyataan yang sesungguhnya. Boleh jadi, kita sedang menyaksikan fatamorgana. Kita tak boleh gegabah langsung memvonis ada air di seberang lautan. Bisa jadi itu fatamorgana yang membius pandangan kita dan membuat kita ’salah pandang.’

But.... saya tetap merekomendasikan buku ini untuk dibaca.(*)

0 komentar:

Posting Komentar