Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Opera Sabun Kisah Kerajaan

PERNIKAHAN Pangeran William dan Kate Middleton diberitakan dengan begitu dahsyat oleh media massa kita. Publik seolah semaput dan menganggap berita itu sebagai berita yang penting. Media mengemas berita kita menjadi kemasan yang laku dijual, kemudian diangggap sebagai hal yang penting. Di era modern seperti sekarang, semua yang tidak penting menjadi hal penting. Informasi datang tanpa permisi, tanpa perlu mengetuk pintu rumah, dan tiba-tiba saja kita dijejali tanpa kuasa menolak. 

peluncuran buku sebelum pernikahan
Di sisi lain, ada paradoks pada masyarakat kita. Mereka sudah amat rasional, namun tetap saja berdiri di atas mitos dan dongeng. Masyarakat masih memelihara mitos tentang bertahannya sebuah kerajaan, mitos tentang keselamatan negeri terletak pada kebahagiaan para raja dan pangeran. Kesejahteraan negeri seolah terletak pada kemurahhatian para putri raja. Bisakah kita menyebutnya kerinduan? Mungkin. Kisah kerajaan bukan sekadar kisah pengantar tidur, namun diikuti layaknya kegemaran menyaksikan sebuah opera sabun. Kisah kerajaan seolah cerminan kemasalahatan negeri di mana nasib kita semua dipertaruhkan di situ.

Ini bukan zaman dongeng. Tapi tetap saja media kita menciptakan Cinderella untuk hadir di rumah kita. Kita bertepuk tangan, di tengah derita kita sibuk memikirkan apakah asap dapur akan mengepul hari ini ataukah tidak.(*)

Letter of Acceptance


SEBUAH surat penerimaan telah terkirim melalui email (kop suratnya kupajang di atas). Aku dinyatakan terdaftar di salah satu kampus negeri di tempat yang jauh. Tapi nampaknya kerja belum selesai. Belum saatnya untuk melenggang ke negeri sana. Masih ada selisih waktu tiga bulan lebih untuk menanti. Hasrat ingin pulang sebegitu kuatnya mengepung diriku. Aku memiliki tanggung jawab atas ikrar suci yang pernah kuucapkan. Namun, ada hal lain yang juga penting dan mesti dituntaskan. Aku dalam dilema untuk menjaga keseimbangan semuanya. Barangkali yang bisa kulakukan adalah menjaga keseimbangan agar semua urusan bisa berjalan mulus sehingga bisa berangkat dengan tenang, tanpa terbebani sesuatu. Dan beribu kupu-kupu harapan terus kuterbangkan buat dirinya yang tengah menunggu saat tepat untuk memijakkan kaki di bumi ini. Nak, semoga dirimu baik-baik saja...

Inspirasi Agnes Monica


MARILAH kita belajar banyak pada Agnes Monica. Artis yang usianya masih terbilang muda ini (24 tahun), sudah lama mencanangkan mimpi untuk go international. Beberapa tahun lalu, ia memancang tekad tersebut, yang belakangan malah membuatnya jadi cibiran banyak orang. Ia dituduh angkuh, sesumbar, dan tidak realistis. Apakah Agnes bergeming? Tidak sama sekali. Setelah beberapa tahun berlalu, ia sama sekali tidak ingin merevisi mimpinya tersebut. Ia tetap fokus.

Kemarin, aku membaca publikasi yang menyebut prestasinya yakni meraih tujuh piala di JPopAsia International Music Awards 2010. Ini adalah sebuah ajang yang bergengsi. Kategori yang dimenangkannya adalah favorite artist/band, Best Female Solo, Most Promising Artist/Band, Best Musical Ability (vocal, instrumental, etc.), Best Use of Social Media, Sexiest Female Singer, dan Most-Wanted To Be Girlfriend. Dalam ajang tersebut, Agnes bersaing dengan nama-nama besar di Asia. Mereka adalah Super Girls, Super Junior, Utada Hikaru, Zhang Liyin, Andy Lau, Hyde, L'Arc en Ciel, Aaron Kwok dan masih banyak lagi. 

Di negeri ini, Agnes adalah simbol penyanyi penuh prestasi. Kemarin, dalam salah satu acara di infotainment, ia kembali mempertegas mimpinya untuk go international dalam waktu dekat. "Banyak yang menuduh saya angkuh dengan impian itu. Tapi saya tetap tidak peduli. Sebab kita memang selalu menganggap ambisi sebagai hal negatif. Padahal ada kekuatan positif di balik setiap impian."

Terhadap para pencibir, Agnes punya jawaban. Ia mengakui bahwa untuk mencapai mimpi tersebut, jalannya tidak mudah. “Dari dulu  goal saya adalah go international. Ada beberapa orang yang lupa, tidak semudah itu untuk go international. Kalo ada yang berpikir go international itu gampang, urusan mereka. Sebuah mimpi besar itu memang harus menjadi budaya, untuk itu saya selalu menanamkan peribahasa gantungkanlah cita-cita setinggi langit," katanya.

Soal prestasi di Asia mungkin Agnes sudah membuktikannya. Prestasinya tersebut dicatat Wikipedia dengan sangat engkap (Silakan lihat DI SINI). “Saya enggak bilang saya terlampau bangga. Bukan satu prestasi yang harus dikecilkan, karena itu bukan prestasi yang kecil. It’s okay to have big dream,” katanya.

Bagiku, Agnes punya kejujuran serta semangat yang menyala-nyala. Dalam dirinya tersimpan vitalitas dan energi. Artis lain banyak yang hanya bermodal suara dan tampang. Malah ada yang hanya bermodal bokong dan payudara besar. Tapi Agnes justru punya suara yang bening (seringkali bikin merinding), gerakan tari yang ekspresif, serta visi yang jelas. Yang bikin kagum karena setelah beberapa tahun mencoba dan gagal, ia belum hendak menyerah atau merevisi semua mimpinya. Ia mengingatkanku pada Edison yang ketika gagal dalam puluhan cara membuat lampu elektrik, justru berkata, "Aku tidak gagal. Justru aku menemukan puluhan cara gagal dalam hal membuat lampu elektrik."

Edison adalah manusia hebat dan penuh inspiratif. Jika saja Edison menyerah, bisakah kita bayangkan sebuah dunia tanpa lampu elektrik? Namun dengan ketekunan tersebut, dunia menjadi benderang. Edison mewariskan sesuatu yang amat berharga buat peradaban hari ini. Bukan lampu elektrik, namun semangat untuk terus maju, semangat untuk mengenyahkan semua masalah yang dihadapi dan mentrasformasinya menjadi kekuatan.


Upaya ini jelas tidak mudah. Edison sukses membuktikannya. Kini, Agnes hendak membuktikannya pula. Ia tidak main-main dengan impiannya tersebut. Ia melatihdiri, mengikuti beragam kompetisi, hingga menjadi juara dan mendapat banyak penghargaan. Ia memelihara nilai kerja keras, menghindari hura-hura, serta focus pada apa yang hendak diraihnya. Ia menyemai nilai kerja keras. Ia 'berdarah-darah' saat belajar dan latihan. Kelak ia akan memanen buah dari apa yang telah ditanamnya. 

Agnes adalah sumber inspirasi buat semua orang. Mungkin, saat mengejar mimpi kita berdarah dan dicibir banyak orang. tapi ketekunan, kerja keras, serta visi dan semangat adalah nilai-nilai penting yang bisa membangkitkan semua energi terbaik diri kita. Dan semoga saja dalam waktu dekat, Agnes sukses mewujudkan apa yang menjadi impiannya.(*)


Jakarta, 26 April 2011

Di Antara Dua Pilihan

KAMIS nanti, Pre Academic Training (PAT) akan berakhir di kampus UI. Aku udah mulai berkemas untuk segera kembali ke daerah. Aku udah mulai rindu dengan suasana kampung halaman, berkeliling ke tempat wisata, mandi di laut dan pantai, serta memuaskan mata untuk melihat laut lepas.

Tapi jalan menuju kampung halaman cukup terjal untuk dilewati. Di sini aku menyiapkan diri untuk menyelesaikan sebuah proyek yang dikerjakan bersama dua teman. Jujur, sebenarnya aku malas mengerjakannya. Keinginanku adalah rehat sejenak setelah selama beberapa bulan belajar bahasa Inggris. Apa daya karena aku juga sedang membutuhkan uang untuk sesuatu yang amat penting. Untuk itu, aku rela bekerja keras. Meskipun saat ini masih pending --karena masih tahap negosiasi--, aku berharap agar proyek ini bisa segera dimulai. 

Kalaupun batal dikerjakan, aku sudah siap untuk segera pulkam. Mungkin saatnya kembali ke rutinitas. Aku juga mesti memperketat pengeluaran. Masa enam bulan di sini mengajarkanku banyak hal. Bukan hanya belajar bahasa, tapi juga belajar disiplin untuk ke tempat belajar. Selama enam bulan, aku cukup rajin untuk bangun subuh, lalu ke kampus sebelum jam delapan, lalu belajar hingga jam tiga sore. 

Demikianlah kisah diriku yang tengah menimbang opsi di antara dua pilihan: apakah segera pulang ataukah bertahan dulu untuk mengumpulkan uang. Tapi ..... sepertinya aku sangat butuh istirahat.

Kekuatan Sebuah Impian

SEBERAPA tinggikah impian yang anda miliki? Sebuah impian adalah visi futuristik tentang masa depan. Kita meletakkan harapan, serta imaji tentang suatu masa yang akan dilewati. Tak ada yang salah memiliki impian. Bahkan yang mustahil sekalipun, tetap saja tidak masalah sepanjang ada upaya keras untuk menjinakkan hal-hal yang mustahil tersebut. Tak masalah punya impian setinggi langit, sepanjang usaha keras juga setinggi langit. Ketika satu impian tercapai, akan tersedia step untuk menggapai impian berikutnya.

Harvard University at Boston
Sepulang dari Bogor, aku bertemu soernag kawan, yang bekerja di satu lembaga internasional. Ia mengisahkan seorang kawan bernama Sukidi. Kisahnya inspiratif tentang upaya mengejar impian dengan giat dan mengatasi segala masalah. Di saat semua orang takut ke luar negeri karena problem bahasa Inggris, Sukidi memberanikan diri untuk berangkat ke Ohio, Amerika Serikat (AS). Semua mahasiswa Indonesia di Ohio tahu persis kelemahan Sukidi dalam hal bahasa. Ia meminta bantuan p[ada banyak pihak untuk membaca ulang (proof reading) semua tugasnya. Kemampuan speaking-nya juga rendah.

Tapi itu tidak membuatnya minder. Ia belajar keras demi mengatasi keterbatasannya. Ia lalu lanjut belajar ke Harvard University, sebuah universitas paling bergengsi di dunia. Di kampus itu ia tetap saja meminta bantuan banyak pihak untuk memeriksa tata bahasa pada paper yang disusunhya. Ia melakukannya dengan penuh semangat. Kini, ia menggapai puncak impiannya. Ia diangkat sebagai staf pengajar di satu kampus yang disebut-sebut sebagai kampus terbaik dalam sejarah peradaban manusia hari ini. Sukidi telah mengubah sebuah kemustahilan menjadi sebuah kemungkinan. Ia tidak mau mundur hanya karena sebuah masalah. Ia mengubah masalah jadi kemungkinan. 

Mendengar kisahnya, aku disadarkan tentang betapa pentingnya memmelihara impian serta kerja keras demi menciptakan tangga-tangga menuju impian tersebut. Dengan kemampuan terbatas, Sukidi sukses melewatinya. Jika semua orang memiliki kemampuan sama dengan Sukidi, lantas mengapa tidak banyak orang yang meniti di jalan Sukidi? 

Mungkin kita terlanjur direcoki ajaran salah bahwa impian itu sama dengan takabur atau sama dengan terlalu mengawang-awang. Kita terlanjur direcoki dengan pahaman bahwa kita bangsa yang bodoh dan hanya bisa menjadi kuli di perushaan orang asing. Kita mengidap semacam inferior atau rasa rendah diri dan selalu pesimis dengan apapun langkah yang hendak dicapai. Yang kemudian terjadi adalah sikap bebal, tidak mau belajar, serta selalu merasa puas.

Usai mendengar kisah Sukidi, tiba-tiba saja ada pertanyaan menusuk jantung pemikiranku. Seberapa tinggikah mimpi yang aku susun rapi dalam benakku?

What? Foto Hot Trio Macan Lagi Mandi & Basah


GAMBAR di atas adalah gambar Trio Macan, kelompok musik yang saat ini sedang tenar-tenarnya di Indonesia. Belakangan ini beredar info di internet tentang gambar personel Trio Macan sedang mandi dan berbasah-basah ria. Publik langsung heboh. Para ulama siap-siap mencekal dan mengeluarkan fatwa haram. Saya pun penasaran dan segera mengeceknya. 

Entah siapa yang pertama mempostingnya di internet, saat melihatnya, saya langsung tertawa terbahak-bahak. Sedikitpun saya tidak melihat keanehan. Mungkin Anda heran, kok malah tertawa dan bukannya bernafsu lihat foto seksi Trio Macan? Nah lihat sendiri foto Trio Macan yang sesungguhnya saat mandi dan berbasah-basah di bawah ini. Lucu khan? 

Trio Macan Lagi Mandi dan Basah
Apakah Anda merasa tertipu? I'm sorry because this is a kind of joke in april mop!

Saat Belajar di Taman Surapati


BELAJAR di luar ruangan itu sangat mengasyikkan. Apalagi jika belajarnya di taman rindang yang suasananya teduh, banyak pohon, serta suara burung berkicauan. Saat ini banyak taman bertaburan di Jakarta. Mestinya bisa menjadi tempat alternatif untuk belajar. Sayang, tak banyak yang berpikir demikian. Kemarin adalah saat pertama saya dan kawan-kawan belajar di taman. Kami belajar bahasa Inggris di Taman Surapati, yang letaknya tidak jauh dari Bundaran Hotel Indonesia. Saya menikmati belajar outdoor. Mengapa kita tidak membubarkan saja semua kelas dan belajar di outdoor?

Haru Biru CINTA yang Tumbuh di Dasar Hati

THAILAND identik dengan film horor. Itulah kesan yang selama ini tertanam di benakku. Tapi setelah menyaksikan film Crazy Little Thing Called Love, aku harus merevisi gambaran tersebut. Film yang barusan kutonton ini adalah jenis film romantis, mengharu-biru, dan menguras air mata bahagia. Pantas saja jika film ini dinobatkan sebagai film terlaris dan terromantis di Thailand pada tahun 2010.

Menyaksikan film ini, serasa menyaksikan film Ada Apa dengan Cinta? yang dibintangi Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Kisahnya rada-rada mirip. Tentang persahabatan di masa sekolah menengah, kemudian ada cinta yang tidak sempat terucapkan, namun tumbuh mengakar hingga ke dasar hati, namun tak pernah bisa terucap. Mereka tak saling tahu betapa kuatnya gejolak cinta itu. Satu pihak menutup diri, lebih suka menyaksikan dari kejauhan, hingga akhirnya cinta itu harus menjauh.

Dan suatu hari, keduanya kembali dipertemukan. Kali ini cinta memenangkan hati keduanya. Setelah sedih yang menikan-nikam, kini bahagia yang memekar dan membuncah. Kita menyaksikan indahnya cinta yang mempertemukan. Dengan segera kita bisa menarik konklusi bahwa setelahnya cinta akan tumbuh hingga sebuah kembang merah yang indah menghiasi pucuk tanaman tersebut.

Mulanya aku tak begitu tertarik sebab genre film Thailand cukup kuhapal. Akan tetapi setelah menyaksikan resensi yang dibuat istriku (baca DI SINI), aku mulai merevisi image yang terlanjur melekat di benak. Ternyata sineas Thailand pandai juga membuat film yang ada nuansa komedi, dan penuh adegan mengharukan.

Satu-satunya kerikil (untuk tidak menyebutnya kelemahan) dalam film ini adalah alur kisah yang lambat dan agak membosankan di awal. Terlampau banyak sisipan adegan yang tidak penting, tapi cukup efektif untuk memberi efek komedi hingga menghilangkan kebosanan. Jika kita melewati setengah jam pertama, maka kisah selanjutnya mulai masuk tanjakan, kerikil persoalan, konflik hingga konklusi pada sepuluh menit terakhir. Satu hal yang membuatku salut adalah transformasi sang gadis dari 'si buruk rupa' menjadi si cantik rupawan. Aku sendiri sempat pangling pada awalnya. Mungkin ini adalah kehebatan para tim rias (make up) di balik layar produksi film. 

Usai menonton film ini, tiba-tiba saja aku jadi merutuki diri sendiri. Mengapa aku tak punya kisah seromatis itu di masa sekolah menengah? Apa yang kulakukan pada usia belasan tahun? Mungkin aku telah kehilangan satu demi satu momen-momen indah yang membahagiakan saat cinta mulai bertunas dan disirami oleh imajinasi kemudian disuburkan oleh kasih sayang. Pertanyaannya, apa yang kulakukan saat usia belasan tahun?


Catatan:

Sinopsis film ini bisa dibaca DI SINI

Kabar Duka Berhembus Hingga Maatscricht

SETIAP pilihan selalu mengudang konsekuensi. Sebuah kabar duka berhembus hingga Maastricht. Seorang sahabat yang belum genap seminggu menginjakkan kaki di kota kecil itu di Belanda tiba-tiba saja mendengar berita tentang ayahnya yang meninggal dunia dan dikuburkan di Padang. Ia berontak, namun tak berdaya. Jarak Padang dan Maastricht  terlampau jauh, dan dana beasiswanya jelas tidak memadai untuk menutupi ongkos perjalanan.

Untunglah, teknologi bisa membantu untuk memudahkan semuanya. Ia menggunakan perangkat teknologi Skype demi menyaksikan langsung jenazah bapaknya. Ia juga bisa menyaksikan bagaimana proses penguburan berkat Skype. Teknologi membuat sedihnya bekurang. Ia kembali bersemangat dan tidak larut menangisi kesedihan.

Melalui blog ini, saya mengucapkan turut berduka cita kepadanya.(*)

Perang Makassar 1669


SEBERAPA sukakah Anda dengan novel sejarah? Kemarin aku membeli sebuah novel berjudul Perang Makassar 1669 karya SM Noor. Gambar sampulnya menarik, menampilkan sosok Sultan Hasanuddin. Ada ilustrasi perang laut yang menampilkan kapal perang VOC dan kapal phinisi. Mereka saling bertarung, saling memuntahkan peluru. Api menyala di mana-mana.

Buku ini agak tipis. Baru baca sekilas, sudah bisa kutebak apa isinya. Bisa pula kutangkap posisi pijak atau terang pandang yang dipilih sang pengarang. Ia melihat peristiwa itu dari sisi Makassar, sebagai pihak yang kalah namun dengan segenap daya telah melawan kesewenang-wenangan bangsa asing. Menurut catatan sejarawan Anthony Reid, orang-orang Makassar telah mempersembahkan sebuah perang paling dahsyat yang pernah dialami VOC di Nusantara. sebuah perang laut yang melibatkan ribuan kapal, ribuan merian yang berdentum, serta tangis lirih yang mengisak di tengah desingan peluru dan kilatan badik yang memuncratkan darah.

Mungkin ini hanya bacaan sekilas. Aku sebenarnya berharap ada teka-teki serta berbagai sudut pandang dalam buku ini. Tentunya, sudut padang itu akan terwakilkan dari beberapa tokoh atau karakter yang mencerminkan benturan pandangan di masa itu. Katakanlah, kita tahu tentang apa yang dialami Sultan Hasanuddin. Tapi bukankah akan sangat menarik jika kita paham sudut pandang Arung Palakka, Sultan Buton, Sultan Ternate, serta para ksatria VOC yang ikut berdinamika pada masa itu? Bukankah memahami sudut pandang pihak-pihak berbeda akan membuat kita lebih arif sehingga melihat sudut pandang beberapa tokoh sebagai rangkaian teka-teki yang kemudian membentuk sebuah kisah yang utuh?

Mungkin ini hanya kesan sesaat setelah membuka-buka buku, tanpa detail membacanya. Mudah-mudahan dalam dua hari ini aku bisa segera menyelesaikannya. Belakangan ini aku cepat sekali menyelesaikan sebuah bacaan. Dan tentu saja, aku tak lupa untuk membagikan sudut pandang tersebut dalam catatan tidak penting ini.(*)

Gadis Tercantik Sejagad

Jennifer Lopez


MAJALAH People menobatkan Jennifer Lopez sebagai artis tercantik di tahun 2011 yang diumumkan dua hari lalu. Lopez sudah berusia 41 tahun, namun tetap saja menyabet gelar tercantik. Ia menyisihkan 16 gadis cantik lainnya seperti Reese Witherspoon, Jessica Simpson, Katie Holmes, dan Jennifer Hudson.

Dibandingkan mereka, Lopez tidak begitu cantik di mataku. Tapi ia punya sisi lain yang menarik yakni kedewasaan, serta bahasa tubuh yang menunjukkan dirinya seorang penyayang. Ia tidak terlalu putih, tapi juga tidak hitam. Wajahnya mencerminkan kecantikan khas Amerika Latin yang kharismatis. Mungkin alasan inilah yang melejitkan namanya.

Aku bukan penggemar Lopez. Aku lebih memfavoritkan Reese Witherspoon yang menarik dan nampak cerdas. Sejak melihat permainannya di Legally Blonde, aku yakin kelak Witherspoon akan jadi besar. Apalagi setelah melihat aktingnya di Just Like Heaven dan Walk the Line. Aku menyukai gayanya yang centil, manja, kekanakan, menggemaskan, akan tetapi selalu nampak cerdas di balik sifat lugu tersebut. Bagiku, Reese Witherspoon adalah reinkarnasi Meg Ryan yang juga sering memerankan karakter yang sama. 

Reese Witherspoon
Namun lagi-lagi kecantikan adalah perkara yang sangat subyektif. Mungkin People punya asumsi sendiri tentang mana yang disebut cantik dan mana yang tidak. Dalam kriteria subyektif itu, Lopez menempati posisi puncak. Ia tercantik sejagad, sebagaimana kriteria People. Tapi tetap saja tidak mengubah keyakinanku kalau Witherspoon adalah tercantik sejagad. Apakah Anda punya definisi cantik sendiri?

Menanti Islam Indonesia sebagai Pusat Peradaban

MINGGU lalu, aku ke Gedung DPR RI untuk menghadiri bedah buku Negara Paripurna karya Yudi Latif. Acaranya digelar di gedung Nusantara V dan dihadiri para politisi, sejarawan, serta masyarakat luas. Aku datang agak terlambat dan duduk bersebelahan dengan sejarawan Anhar Gonggong. Tak disangka, ia masih menghapal namaku sehingga kami bisa diskusi banyak hal.

Acara ini menghadirkan beebrapa pembicara yakni Prof Franz magnis Suseno, Prof Dawam Rahardjo, Prof Kwik Kian Gie, Prof Taufik Abdullah, dan KH Masdar F Mas'udi. Di antara semua pembicara, Masdar F Mas'udi dan Prof Taufik Abdullah adalah sosok yang baru kutemui dan kusaksikan penampilannya. Kali ini aku ingin bercerita tentang pemikiran Masdar di forum itu. 

Bagiku, Masdar adalah intelektual yang unik. Seperti halnya Gus Dur, ia hendak membumikan ajaran Islam sehingga menjadi rahmat bagi semua pihak di Indonesia. Ia berpijak di dua kaki; antara kemodernan dan tradisionalitas. Namun basic-nya adalah pesantren. Ia juga amat dikenal dengan gagasannya tentang Islam transformatif. Ia mendirikan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan menjadikannya sebagai gerakan untuk membangkitkan perekonomian masyarakat di desa-desa.

Dalam diskusi itu, ia melontarkan pernyataan menarik. Menurutnya, kaum Islam di Indonesia telah memberikan persembahan yang amat berharga yakni kemerdekaan. Kontribusi kaum Islam pada semangat inklusif sehingga Islam mejadi payung nilai yang melindungi semua pihak. "Kalaupun belakangan ada masalah dalam hal relasi antara Islam dan negara, maka pastinya itu disebabkan oleh peci putih. Bukannya peci hitam."

Saat memberikan pernyataan ini, Masdar mengenakan songkok atau peci hitam. Katanya, peci hitam adalah simbol nasionalisme, sebagaimana yang dikenakan para founding father negeri ini yakni Sukarno dan Hatta. Sedangkan peci putih adalah simbol dari mereka yang memperjuangan Islam sebagaimana Arab Saudi. Kata Masdar, sejak berabad silam, Islam telah mengalami sintesa dengan kebudayaan lokal, namun belakangan ini ada gerakan Islam yang tiba-tiba saja hendak memurnikan ajaran agama dari sintesa dengan kebudayaan lokal tersebut.

Pusat Peradaban

Ada lagi gagasan menarik yang saya catat dalam diskusi itu. Kata Masdar, peradaban yang langgeng di masa depan adalah peradaban yang memiliki akar kuat pada nilai-nilai transendetal. Peradaban yang unggul adalah peradaban yang memiliki pijakan kuat pada nilai-nilai yang menjadi energi pendorong peradaban. Ia lalu menyebut nilai transenden yakni Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu. 

"Peradaban Kristen bisa dilihat puncaknya pada Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Mereka bisa menjelmakan nilai Kristiani menjadi pusat keunggulan. Peradaban Hindu adalah akar dari kemajuan India. Peradaban Konghucu pada Cina. Kita tinggal menunggu negara mana yang akan melesat dengan peradaban Islam," katanya.

Ia juga mencatat jika Arab Saudi tidak mungkin menjadi peradaban unggul di masa mendatang. "Dokumen Wikileaks menunjukkan bahwa selama ini Arab Saudi yang memprovokasi Israel untuk segera menyerang Iran. Artinya, peradaban Arab dibangun di atas dasar kebencian pada sesama bangsa Islam. Sementara Iran juga tidak mungkin menjadi pusat peradaban karena sibuk memelihara konflik di sana-sini sehingga tidak meletakkan landasan yang kuat bagi peradaban yang kokoh," lanjutnya.

Lantas, bagaimana dengan negara Islam lainnya? "Turki tidak bisa jadi pusat peradaban sebab selalu dipandang inferior oleh bangsa Eropa. Mereka masuk dalam Uni Eropa, namun dilihat sebelah mata. Makanya, yang paling memenuhi syarat sebagai pusat peradaban adalah Indonesia dengan pertimbangan kita umat Islam terbesar di dunia yang memiliki kekuatan serta energi besar untuk perubahan. Saya sangat yakin itu sepanjang kita sanggup mengelola keragaman dan perbedaan menjadi energi yang kemudian menyatukan visi kita menjadi bangsa unggul," lanjutnya.

Masdar menawarkan optimisme bagi bangsa ini. Aku pun ikut optimis mendengar penuturannya tentang bagaimana mengakomodasi perbedaan. Sayang sekali, sepulang ke rumah, saat menyaksikan berita di televisi, ternyata ada ledakan di Cirebon. Tiba-tiba aku langsung teringat dengan Masdar. Ingin kutanyakan, benarkah kita bisa menjadi pusat peradaban ketika di antara kita begitu banyak yang menyimpan kebencian pada sesama?

Melihat Remaja Berciuman di Tempat Umum

ilustrasi

BANYAK remaja Jakarta yang mulai kehilangan urat malu. Sudah dua hari ini, saya menyaksikan pasangan remaja yang tanpa malu saling berpelukan dan berciuman di hadapan orang banyak. Anehnya, orang-orang di sekitar langsung memalingkan wajah ke arah lain, meskipun ekor matanya mengintip ke remaja tersebut.

Tampaknya sedang terjadi arus besar perubahan bagi tingkah-polah remaja negeri ini. Tindakan seperti berciuman di depan umum sudah mulai dianggap sebagai hal yang wajar. Remaja kita sudah mulai permisif atas tindakan yang dahulu hanya bisa disaksikan di televisi. Mereka mulai berani dan seolah hendak meneriakkan kebebasannya. Mereka seakan hendak berkata, "Ini tubuh gue. Suka-suka gue dong!"

Lantas, bagaimanakah posisi masyarakat yang menyaksikan adegan tersebut? Anehnya, masyarakat di sekitar seakan kompak memalingkan wajah. Barangkali, hanya saya sendirian yang terkagum-kagum menyaksikan pemandangan indah saat dua remaja berciuman. Hanya saya yang menganggap itu aneh dan tidak layak. Saat emlihat sekeliling, semua orang menoleh ke tempat lain. 

Sejatinya, sikap orang-orang yang tidak mau menyaksikannya, bisa ditafsir sebagai bentuk persetujuan. Remaja itu seakan menemukan ruang gerak ketika orang-orang di sekitarnya seolah memberikan jalan buat mereka untuk tetap berciuman. Padahal, mestinya masyarakat bisa membentuk pagar nilai, dengan cara sederhana yakni menganggap hal itu sebagai hal aneh dan tidak bisa dibenarkan.

Mungkin ini isyarat zaman. Ketika langit nilai runtuh, maka bangunan akhlak dan kehormatan akan menjadi kearifan yang tersisa di buku-buku. Dan kita hanya bisa mengenang dan bersedih melihat remaja kita hari ini.(*)

Saat Rehat Sejenak


SESEKALI saya ingin melepas kepenatan dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Sesekali saya ingin mengunjungi museum atau tempat yang membangkitkan ngatan tentang suatu masa dalam dinamika gerak manusia. Kemarin, bersama beberapa teman saya kembali mengunjungi beberapa museum. Bukan untuk belajar, namun menemukan aktivitas yang menyenangkan, sekaligus bisa rehat sejenak.

Dendam Kesumat The Count of Monte Cristo

KISAH The Count of Monte Cristo, salah satu novel petualangan karya Alexander Dumas, adalah kisah tentang balas dendam atas tindakan kejahatan yang tiada tara. Balas dendamnya juga tak kalah kejam, malah lebih kejam, namun bisa diterima oleh semua pembacanya atas dasar nalar: "Mata ganti mata dan gigi ganti gigi."

Tersebutlah kisah tentang remaja bernama Edmond Dantes, calon nakhoda kapal Pharaon, serta calon suami gadis cantik Mercedes. Di tengah kegembiraan karena kapalnya merapat di kampung halamannya, ia lalu dijebak melakukan kesalahan fatal sehingga dikurung di penjara bawah tanah paling menakutkan di Perancis. Setelah 14 tahun ditahan, ia berhasil kabur berkat seorang pastor yang juga ditahan dan menjelang kematiannya, membisikkan lokasi harta karun terbesar. Dantes berhasil lolos, kemudian menjadi kaya-raya dan bergelar The Count of Monte Cristo. Mulailah ia menyiapkan balas dendam dengan cara yang tak terduga.

Kisah ini tidaklah baru bagiku. Sebab sebelumnya, aku pernah menyaksikan versi film dari novel ini. Setelah membaca novelnya, barulah terang semua pertanyaan yang tak terjawab di film. Terang pula rasio di balik setiap tindakan yang dipilih Dantes serta balas dendam yang kreatif dan cerdas. Mulanya kuanggap kisah ini menjemukan. Namun setelah menyelaminya, aku menemukan keasyikan mengikuti nalar dan lika-liku balas dendam tersebut.

Novel ini unik sebab menggambarkan kehidupan para aristokrat Eropa, serta petualangan mengikuti emosi Dantes yang menyiapkan jebakan demi jebakan demi menuntaskan dendam yang ditanamnya selama 14 tahun, sejak dirinya menghuni penjara bawah tanah paling mengerikan di Perancis. Alur novel ini mendebarkan serta penuh kejutan. Dan di akhir novel ini kita akan termangu dan tiba-tiba saja mempertanyakan secara filosofis untuk apakah dendam dituntaskan? Apakah setelah semua dendam tuntas, maka semuanya selesai?


Pengarang novel ini Alexander Dumas bukanlah seorang penganut kearifan timur. Ia tidak mengenal istilah permaafan serta rekonsiliasi dengan para penjahat. Cara berpikirnya hitam putih, akan tetapi ia menyisipkan pesan sederhana nan bijak bahwa seperti apapun kejahatan, akan selalu ada balasannya. Bahkan di saat sang pelaku kejahatan tersebut masih hidup, sebuah balasan bisa menjerat semua kaki-kaki. Bahkan sebuah balasan bisa hadir melalui tangan siapa saja.

Pelajaran berikutnya, berhati-hatilah pada manusia di sekitar kita. Jangan sekali-sekali mencelakakan seseorang, sebab seseorang tersebut bisa saja diberi kekuatan ekstra oleh Tuhan untuk menuntaskan balas atas apa yang kita lakukan. Mungkin, Tuhan meminjamkan tangan-Nya untuk menghukum segala sesuatu yang pernah kita lakukan.

Berhati-hatilah dalam bertingkah laku. Sebab tak semua orang bisa sebijaksana Gandhi atau sebaik Mandela yang tak suka balas dendam. Kedua tokoh besar itu bahagia dalam kedamaian saat memaafkan semua orang yang menjahatinya. Sanggupkah kita seperti Mandela dan Gandhi? Ataukah kita memilih jalan balas dendam sebagaimana Edmond Dantes?


Jakarta, 17 April 2001

Jejak Abdi Para Penyaksi

DI zaman ketika berita jauh lebih cepat dari peluru, tetap saja diriku terlambat mengejar informasi. Baru kusadari kalau beberapa hari lalu, jurnalis senior Rosihan Anwar telah dipanggil Yang Maha memanggil. Dan betapa kusesali diriku karena tidak membuat catatan kecil tentang dirinya. Minimal catatan itu bisa menjelma sebagai ribuan doa yang melempangkan jalannya.

jenazah Rosihan Anwar
Rosihan Anwar adalah salah satu pencatat sejarah paling unik yang dimiliki bangsa ini. Jika para sejarawan amat teliti mencatat sebuah kejadian, kronologis, serta siapa saja yang terkait sebuah kejadian, Rosihan Anwar mencatat detail-detail yang justru diabaikan sejarawan. Ia mencatat gejolak emosi, kisah-kisah menarik, serta hal-hal sepele yang justru memiliki sentuhan human interest yang kuat hingga meninggalkan jejak di benak pembacanya. Di benak Rosihan, sejarah bukanlah sederet tulisan kaku yang mencatat peristiwa besar. Sejarah adalah sebuah bangunan yang ditata dari kepingan-kepingan yang membuat konstruksinya kian kokoh, dari himpunan pengalaman kecil yang mungkin sepele dan agak konyol tentang manusia-manusia yang menjadi pelaku sejarah 

Makanya, ia amat piawai menghidupkan suasana. Salah satu tulisannya yang melekat di benakku  adalah ketika ia menggambarkan dialognya dengan Presiden Sukarno tentang cara membedakan perawan dan bukan perawan. Atau cerita tentang pakaian yang dikenakan Bung Tomo sebelum membakar semangat warga Surabaya. Kisah lain yang kucatat adalah suasana dramatis ketika ia mengikuti Bung Hatta dalam konferensi Meja Bundar (KMB). Juga reportase tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Ia melukiskan visi besar Bung Karno tentang penyatuan bangsa visi Asia Afrika, lengkap dengan kisah-kisah di balik konferensi tersebut.

Rosihan adalah pencatat paling unik. Kisahnya memang sederhana, namun melalui kisah itu kita jadi paham bahwa tokoh sekaliber Sukarno pun adalah seorang manusia biasa yang penuh gurauan dan candaan sebagai cara berkomunikasi pada lawan bicaranya. Kita juga jadi paham bahwa di tengah kecamuk pikiran Sukarno tentang ideologi-ideologi besar dunia, ia juga manusia biasa yang hobi kelakar dan punya banyak stok kisah humor untuk dibagikan kepada siapa saja. Melalui kisah yang ditulis Rosihan, kita bisa menangkap detail emosi, serta gambaran lengkap tentang seornag tokoh. Tidak sekadar kisah besar sebagaimana catatan sejarawan, melainkan kisah-kisah kecil yang runtut dengan sapuan kemanusiaan yang kental dalam dinamika kebangsaan kita.

Aku sering bertahya-tanya, apakah Rosihan Anwar membaca buku karya antropolog Clifford Geertz sehingga pendekatan sejarahnya benar-benar berbeda? Di tahun 1960-an, Geertz banyak mengkritik pendekatan sejarah dan mengajukan pendekatan yang biasa-biasa saja. Pendekatan Geertz memandang hal-hal remeh-temeh (mundane), biasa-biasa, serta keseharian (everyday life) --misalnya sabung ayam (cockfight), uang mahar (dowry), pembantaian babi-- yang dianggap bergerak menjauh dari “isyu-isyu yang mengguncangkan dunia” sebagaimana sering dibahas para sejarawan yaitu para kaisar, raja, pemikir, ideologi, kelas, kasta, maupun revolusi. Sebagaimana Geertz, Rosihan Anwar juga banyak menaruh perhatian pada isu-isu yang dianggap tidak penting, namun sesungguhnya telah menggerakkan dinamika kesejarahan, serta menunjukkan cara pandang kemanusiaan di balik setiap kejadian besar.

Rosihan adalah sosok yang paham bahwa kata-kata bisa menjadi pelita yang terang bahkan di malam yang pekat sekalipun. Sebagai jurnalis, ia menyabung nyawa untuk menyampaikan sekeping informasi kepada publik. Nampaknya ia paham benar bahwa informasi yang akurat akan lahir dari keseriusan dan ketekunan untuk mencatat setiap informasi. Atas alasan itu pulalah, ia membuat sktesa catatan yang sangat detail tentang sebuah masa, khususnya pada masa awal ketika republik ini hendak mencari bentuk. Mencatat bukanlah pekerjaan tanpa rasa bosan, tetapi tidak bisa membuatnya berhenti. Dan mengabarkan bukan pekerjaan yang mudah tetapi pantas untuk dicintai. 

Dunia pencatatan baginya bukan berarti bebas tanpa pemihakan. Sebagai pencatat kesaksian, ia memilih untuk tetap berpihak pada nilai-nilai yang sejak awal telah dipilihnya sebagai payung untuk menaunginya dari berbagai hujan ideologi. Atas alasan ini, ia kerap menjadi korban atas politik sang penguasa. Justru karena keberpihakannya itu, jalan terang bisa dibuka untuk dilalui. Hanya seorang saksi sejati yang bisa membuat sebuah cerita tampak nyata bagi pembacanya. 

Lewat pena Rosihan kita merasakan degup jantung sebuah peristiwa ketika jenderal Soedirman hendak kembali ke Yogyakarta. Kita bisa merasakan di balik penyakit ganas yang menggerogoti tubuh jenderal besar itu, tersisa lapis-lapis semangat yang meletup dan memberinya kekuatan untuk melaksanakan perang gerilya di setiap jengkal hutan Pulau Jawa. 

Kita merasakan detak jantung peristiwa lewat ketekunan jurnalis sehebat Rosihan Anwar. Hari ini, aku hanya bisa mengucap sedih atas kepergiannya. Ia memang pergi jauh, namun ia telah menggoreskan jejak-jejak yang abadi di sanubari kita semua. Jejak abadi yang hendak mengabarkan bahwa matinya seorang penyaksi, bukanlah matinya. Dan kepada para penyaksi dan pencatat inilah kita banyak berhutang atas timbunan kearifan dan pengetahuan yang bersarang di benak kita masing-masing. Selamat jalan Rosihan Anwar.


Jakarta, 17 April 2011

Belajar dari Harry Potter untuk KalahkanTrauma

Harry Potter

TRAUMA adalah sebuah ingatan yang menikam kesadaran. Disebut ingatan sebab trauma selalu berasal dari sesuatu yang tersisa dalam ingatan, mekipun kita berupaya keras untuk menghapusnya. Semakin keras upaya untuk menghapusnya, maka semakin kuat pula trauma tersebut bertahta. Ibarat oksigen, trauma bisa menempati wadah apapun. Ia bisa hadir dalam berbagai benda. Bukan untuk mengisinya, namun menjelmakan benda itu sebagai obyek yang mengaliri pikiran dengan kesadaran tertentu, yang kemudian menikam diri kita. Benda-benda itu tiba-tiba memicu ingatan akan sesuatu yang menyakitkan. Itulah trauma.

Semua orang pasti punya ingatan paling menakutkan. Bahkan seorang yang angkuh dan pongah sekalipun, punya sisi lain dalam pikirannya yang menjadi sarang trauma. Di semak-semak pikiran tersebut, ia meletakkan ketakutan-ketakutan, hantu-hantu, atau kegagalan-kegagalan yang pernah dialami, atau dikhawatirkan terjadi di masa depan. Trauma itu menempati palung terdalam diri, yang berusaha untuk ditutupi agar tidak diketahui orang lain, namun sesekali hadir di saat pikiran dipicu oleh sesuatu.

Trauma ataupun ketakutan itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Bisa jadi, sesuatu yang pernah kita pelihara di masa kecil, bisa jadi sesuatu yang kita temui di saat dewasa, bisa pula sesuatu yang --entah bagaimana caranya-- langsung membuat kita ketakutan. Seorang kawan selalu ketakutan melihat rumah sakit. Ia tak bisa menjelaskannya. Namun setiap kali melihat rumah sakit, ia langsung ketakutan. Ia menggigil dan menolak ke tempat itu, meski hanya sejenak.

The Tree of Fear
Pernah saya saksikan di televisi, seorang perempuan ketakutan setiap melihat kegelapan. Selama puluhan tahun, ia susah tidur dalam keadaan mata terpejam. Setelah dewasa, ia dihipnotis untuk ditemukan sebab ketakutannya. Ternyata, sewaktu bayi, ia adalah satu dari banyak penumpang kapal Titanic yang selamat di tengah malam gelap gulita. Melalui hipnotis, ia menemukan sebab trauma. 

Kisah ini menjadi kasus menarik sebab bisa menimpa siapa saja. Walaupun ada perbedaan derajat trauma, semua orang memilikinya. Bahkan Anda yang sedang membaca blog inipun pasti memiliki trauma tersebut. Bagi saya, perempuan yang trauma ini cukup beruntung sebab ia bisa menemukan sebab trauma. Lantas, bagaimana halnya dengan mereka yang tidak menemukan sebab trauma? Akankah ia khawatir untuk sesuatu yang tidak seberapa jelas? 

Dalam kisah Harry Potter, trauma itu disebut boggart. Dalam episode Harry Potter and the prisoner of Azkaban, dikisahkan tentang ketakutan masing-masing sosok. Salah seorang pengajar, Prof Remus Lupin, membawa lemari yang berisi boggart atau ketakutan setiap orang. Lupin punya penjelasan menarik tentang Boggart. Katanya:

"So the boggart sitting in the darkness within has not yet assumed a form. He does not yet know what will frighten the person on the other side of the door. Nobody knows what a boggart looks like when he is alone, but when I let him out, he will immediately become whatever each of us most fears."

Boggart adalah sebuah mahluk yang bentuknya mengikuti ketakutan terdalam kita. Sahabat Harry, Neville Longbottom, selalu ketakutan setiap melihat Prof Snape. Maka Boggart akan berubah wujud menjadi Prof Snape. Harry takut melihat dementor atau hantu-hantu yang mengisap kesadaran. Maka Boggart pun memilih wujud Dementor saat bertemu Harry. Padma Patil takut dengan kobra. Ron Weasley takut dengan laba-laba. Bahkan sang guru Prof Albus Dumbledore ketakutan bila melihat bayangan mayat saudaranya Ariana Dumbledore. Sementara Prof Lupin sendiri ketakutan setiap melihat bulan. Maka boggart akan memilh bentuk bulan saat bertemu Lupin.

Kita pun bisa meniru kisah dalam film ini demi menemukan Boggart dalam diri kita. Caranya adalah menemukan sebab trauma dengan melakukan kontemplasi atau permenungan. Dalam kontemplasi ini, kita menelusuri lorong-lorong terdalam pikiran kita demi menemukan trauma atau boggart, lalu belajar untuk berdamai dengan trauma tersebut. 

Riddiculous!
Selanjutnya, apa yang harus dilakukan? Bagaimana mengalahkan Boggart? Kata Prof Lupin, caranya adalah ubahlah trauma itu menjadi sesuatu yang lain. Mengubahnya tidak dengan tongkat sihir. Tapi dengan cara konsentrasi penuh lalu mendorong masa lalu yang menakutkan itu, temukan hal-hal lucu, lalu gabungkan dengan ketakutan itu. Hal-hal lucu akan membuat kita tergelak hingga mengubah ketakutan menjadi kelucuan. Kata Lupin, saat itu, ucapkanlah mantranya, “Riddikulus.” Saat diuji coba, Neville Longbottom – yang takut dengan Prof Snape— langsung membayangkan Snape dalam jubah perempuan tua yang hendak ke pasar. Ia berhasil.

Mungkin ini hanya fiksi. Tapi saya baru sadar kalau mantra riddikulus berasal dari kata ridiculous. Dalam bahasa Inggris, ridiculous artinya sesuatu yang menggelikan. Mungkin, kita harus mengubah trauma itu menjadi hal-hal yang menggelikan. Mungkin kita sebaiknya menemukan hal-hal lucu sebagai jubah yang kemudian dipakaikan pada trauma tersebut. Pada saat seperti ini, trauma itu jadi kehilangan fungsi menakutkannya. Ia menjadi hal yang menggelikan dan membuat kita tersenyum-senyum. Takut berubah jadi lucu. 

Nah, seberapa siapkah kita untuk mengalahkan boggart atau trauma terdalam pada diri kita?


Foto Terbaru Istriku




AKHIRNYA aku melihat foto terbaru istriku. Sekian lama bertanya-tanya seperti apakah penampilan saat perutnya membesar, hari ini aku menyaksikannya langsung. Memang, hanya melalui foto. Tapi setidaknya itu bisa memadamkan rasa ingin tahu atas kondisinya yang terbaru. Melihat dirinya, aku tak henti memanjatkan harapan agar Yang Maha Menggenggam melimpahkan kekuatan, keperkasaan, serta kasih sayang tak henti mengaliri sungai-sungai jiwanya. Semoga.

Mungkin Aku Butuh Istirahat

Pre Academic Training (PAT) sudah berakhir. Aku dan kawan-kawan tak lagi bergelut dengan soal-soal Toefl. Yang kami pelajari adalah bahasa Inggris untuk kepentingan akademik. Kami belajar presentasi, menulis akademik, serta memperkaya kosa kata (vocabulary) hingga tanggal 28 April mendatang. Materinya menarik. Namun pikiranku sudah di tempat lain.

Aku ingin menuntaskan beberapa pekerjaan yang tersisa. Aku rajin melihat kalender. Waktu keberangkatan masih amat lama yakni akhir Agustus. Hingga akhir Agustus itu, aku masih punya waktu beberapa bulan untuk sejumlah pekerjaan penting, termasuk kembali ke daerah, menyelesaikan adminsitrasi dan mempersiapkan sesuatu untuk si kecil yang akan terlahir.

Belakangan ini energiku terpusat pada istri dan sesuatu yang tengah diperamnya. Aku merindukan keduanya sebagai bagian dari kepingan jiwa. Keduanya adalah sisi lain diriku yang hidup terpisah, namun merasakan detak jantung yang sama, dengan darah yang sama. Di saat bersamaan aku juga memikirkan banyak hal yang menyita waktu. Aku mesti menjaga keseimbangan atas segala hal dan tanggungjawab yang mesti ditunaikan. 

Dan saat memikirkan upaya untuk menyeimbangkan itu, aku tiba-tiba saja kelelahan. Tubuhku drop dan sakit mulai menggerogoti. Mungkin aku butuh istirahat.

Maybe I'm a Dreamer



Maybe I'm a dreamer. 
But I hope someday I'll walk in this campus, 
learn something in the path of science, 
and nurture my philosophical curiosity
to seek the truth.

Maybe I'm a liar. 
But i had a dream that someday
I'll finding my life in this campus 
which encouraged and provided
all of material that I need. 

Maybe I'm a crazy person. 
Because I always believe that I'm Poseidon, 
a powerful God in Greece mythology. 
I’m Poseidon who controls
the seven seas in the world. 
I’m Poseidon who lives in my sister home,
Athens at Ohio.

I hope someday I'll take a picture
in front of the piece of writing 
on the stone that says 
"Religion, morality and knowledge
being necessary to good government 
and the happiness of mankind, 
schools and the means of education 
shall forever be encouraged."  

Do you think I'm a dreamer?


Menemui Kearifan di Sepanjang Jalan

SEPERTI apakah bentuk neraka? Seorang samurai menanyakan itu pada seorang biksu. Sang biksu menggeleng dengan ketus. Sang samurai lalu mencabut pedang dengan penuh kemarahan. Dengan wajah memerah –karena dipenuhi kemarahan--, ia siap memenggal kepala sang biksu. Namun sang biksu segera menjawab, “Inilah yang disebut neraka. Ketika kamu diliputi kemarahan. Ketika kamu marah, kecewa, dan tersinggung.” Sang Samurai lalu tersadar. Ia tersentuh dengan penjelasan itu. Ia lalu meminta maaf dengan mata berlinang. Sang biksu lalu menjawab, “Kamu sedang mengalami surga. Jagalah perasaanmu hari demi hari. Itulah surga.”

Kisah di atas adalah penggalan kisah yang saya temukan dari buku karya Ajahn Brahm berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2. Buku ini adalah buku yang berisikan 108 kisah-kisah inspirasi yang membuka pintu hati, membuka pintu kesadaran tentang pentingnya kehidupan serta mensyukuri semua yang dialami. Sebagaimana buku pertama, buku ini sangat inspiratif dalam hal memetik hikmah dari semua pengalaman sehari-hari. Penulisnya adalah seorang biksu pembelajar yang mencatat semua pengalaman ke dalam kisah-kisah bijak, kemudian membaginya kepada orang lain melalui kalimat-kalimat sederhana.

Saya banyak membaca buku-buku bertemakan spiritualitas untuk manusia modern. Akan tetapi, saya mencatat buku ini sebagai salah satu buku spiritualitas terbaik dalam hal bisa menjelaskan hikmah-hikmah dari hal-hal sepele yang dialami sehari-hari. Anda tak perlu menjadi seorang siswa di sebuah sekolah agama demi menjadi seorang spiritualis. Anda cukup merenungi pengalaman yang dilalui, lalu belajar dari pengalaman itu setahap demi setahap, lalu mengabadikannya melalui hikmah yang dituturkan kepada banyak orang. Anda juga tak perlu banyak mempelajari kearifan dari masa silam untuk masa kini. Sebab dengan merefleksi ‘bahan mentah’ dari pengalaman dan kejadian di sekitar, kita bisa melahirkan pemikiran yang jernih dan bening sebagai cermin yang membuat kita berkaca dan tersadar tentang diri kita sendiri.

Usai membaca buku ini, saya disadarkan bahwa spiritualitas bukan terletak dari seberapa sering seseorang menjalankan suatu ritual. Spiritualitas adalah upaya untuk belajar terus-menerus dari setiap pengalaman demi menjadi seorang individu yang berkualitas. Batasan kualitas di sini adalah ketika kita hidup bersama masyarakat, diterima banyak orang, serta bisa memberikan jalan keluar yang sederhana dari pengalaman sehari-hari. Spiritualitas adalah keinginan kuat untuk menjadi orang baik yang bisa berbuat sesuatu di sekitar. Bisa menjadi cahaya lilin yang menerangi kegelapan. Bisa mengolah debu pengalaman menjadi butiran berlian yang tak ternilai.

Ajahn Brahm –penulis buku ini—adalah seorang biksu asal Inggris. Ia alumni Cambridge University yang kemudian memilih tinggal di hutan Thailand untuk belajar kearifan. Mungkin, sebagai biksu hutan, ia banyak belajar dari pengalaman warga desa,sehingga gaya bahasanya menjadi sederhana dan tidak berliku-liku. Pilihan gaya bahasa seperti ini membuat kalimat jadi fleksibel dan samat mudah dipahami. Anda tak perlu berkerut kening ketika membacanya. Cukup membaca sambil lalu, dan bersiaplah untuk tersentak ketika menemukan indahnya perenungan dari hal-hal sederhana yang kita alami. Saya mencatat ada beberapa hal penting yang bisa ditemukan dari buku ini.


Pertama, kisah yang dituturkan di buku ini kebanyakan adalah pengalaman sendiri. Bukan kutipan kisah-kisah masa silam atau rujukan dari kitab-kitab suci. Saya menyenangi kutipan kitab suci berbagai agama, namun seringkali kutipan itu menjadi ahistoris atau tidak sesuai ruang dan waktu.  Ketika mengutip kisah dari kitab suci, maka kisah-kisah itu menjadi ahistoris atau berjarak dari pengalaman kita sehari-hari. Dengan mengangkat pengalaman sehari-hari, maka kisahnya jadi sangat dekat dengan keseharian. Kalaupun ia mengangkat kisah sebagaimana kisah samurai di atas, maka itu ditempuh demi menyampaikan sesuatu. Inilah yang menjadi salah satu kelebihan buku ini.

Kedua, gaya bahasanya ringan dan renyah. Kita tak perlu berkerut kening untuk memahami apa yang hendak disampaikannya. Buku ini bisa dibaca sembari bersantai ria, namun tetap serius saat menemukan butiran-butiran makna. Kisahnya juga tidak menggurui sebab mengangkat hal sehari-hari yang kita temui. Penulisnya memosisikan diri sebagai orang biasa yang mengalami hal-hal sehari-hari sebagaimana orang lain. Namun, di tengah hal yang remeh-temeh itu, penulisnya sanggup menemukan hikmah-hikmah yang dipetik dari pengalaman sehari-hari.

Ketiga, meskipun di tulis seorang biksu, namun kisah yang disajikan di sini menyimpan makna yang sifatnya universal. Saya tidak tahu apakah ini memang intisari ajaran Buddha, namun saya lebih suka menyebutnya kearifan yang ditemukan dari ceceran pengalaman. Saya terkagum-kagum dengan caranya mendekati persoalan dengan cara yang sederhana, namun amat menyentuh. Saat membacanya, saya beberapa kali mengucapkan "Wow.... kenapa saya gak memikirkan seperti ini yaa".

Hal yang luar biasa dari Ajahn Brahm adalah kemampuan untuk meredam segala kesedihan, nestapa, ataupun derita. Ia tidak hendak memusuhi kesedihan, sebab kesedihan adalah bagian dari pengalaman sehari-hari. Kesedihan dihadapi sebagaimana menghadapi kesenangan. Dengan cara memahami kesedihan, seseorang akan sanggup masuk ke jantung kesedihan itu sendiri demi memahami kesedihan tersebut, lalu berdamai, kemudian mentransformasinya menjadi kebahagiaan. Siapapun yang bisa berdamai dengan kesedihan tidak akan menjauhi kesedihan. Dengan cara mengubah mindset atau cara pandang, kesedihan tidak lagi menjadi kesedihan, namun akan menjelma sebagai kupu-kupu kebahagiaan.

Ajahn Brahm, terimakasih atas pencerahannya…


Mengapa Tak Ada Kafe di Salemba?

DI kota-kota pelajar seperti Yogyakarta dan Makassar, kafe-kafe ala mahasiswa menjamur. Kafe yang kumaksudkan adalah tempat duduk sambil ngopi, trus ada fasilitas hotspot gratis. Di situ kita bebas membaca hingga berjam-jam sembari menghidupkan laptop dan online. Namun, betapa anehnya sebab di Jakarta, aku jarang menemukan kafe sejenis di sekitar kampus. Ada apakah?

Di dua kota yang kusebut di atas, kafe mahasiswa hadir dalam beragam jenis dan ukuran. Orang Makassar menyebutnya warung kopi. Mulai dari kelas mahal, hingga kelas pinggir jalan yang mudah diakses dengan menu super murah. Di semua tempat itu, mahasiswa bergerombol sembari menghidupkan laptop. Bisa pula sambil mencicipi kopi khas yang nikmat. Nyummy!

Bagiku, kafe sangat penting sebagai tempat alternatif untuk belajar. Buat mereka yang hobi ngeblog sepertiku, kafe adalah tempat terbaik untuk berkonsentrasi. Memang kafe selalu ramai, tapi justru di tengah keramaian tersebut aku bisa menemukan ketenangan. Sebab tak ada yang mengenali, menyapa, hingga sibuk berbasa-basi. kafe jadi tempat terbaik untuk menulis, melepas kepanatan hingga mengerjakan tugas-tugas. Lantas, mengapa di Jakarta jarang kafe buat pelajar dan mahasiswa?

Kafe juga menjadi arena sosial yang mempertemukan banyak pihak. Seorang teman di Makassar sempat bergurau kalau di Makassar, segala jenis manusia kumpul di kafe. Mulai dari politisi, tim sukses pilkada, penjual HP, hingga pencuri sekalipun bisa kumpul di kafe. Makanya, tempat tersebut menjadi oase yang mem[ertemukan banyak pihak. Di situ ada perbincangan tentang isu terbaru, proyekterbaru, hingga peluang-peluang yang bisa didapat bersama. Kafe menjadi lokus tempat bertemunya banyak pihak. Apalagi di situ, sering ada diskusi yang membahas banyak tema, mulai dari politik hingga masalah sehari-hari.

Lantas, mengapa jarang ditemukan kafe ala mahasiswa di Jakarta? Entahlah. Mungkin aku hanya melihat di kawasan Salemba tempat berdiam selama beberapa bulan ini. Di luar Salemba, terdapat ribuan kafe kelas atas yang jadi tempat kongkow banyak orang. Di sini juga terdapat banyak mal mewah yang didalamnya banyak kafe. Tapi di sekitar Salemba tak ada tempat nongkrong sebagaimana mudah ditemukan di Makassar dan Yogyakarta.

Makanya, aku merindukan kafe ala Makassar sebagai tempat bertemu para sahabat. Ah, mengapa di sini tak ada kafe sejenis?

Buku Terbaru Jostein Gardner

BUKU ini masuk dalam list buku-buku yang ingin saya baca. Judulnya: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokke, karangan Jostein Gaardner dan Klaus Hagerup. Pengarang Josetin Gaardner bukanlah pengarang baru di jagad kepenulisan. Saya sudah membaca beberapa novel filsafat terbaik yang pernah dituliskannya. Salah satunya adalah Dunia Sophie, sebuah novel yang isinya sejarah filsafat yang disajikan dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti.

Buku terbaru Gaardner ini saya saksikan di etalase sebuah toko buku. Saya ingin membelinya, tapi saya urungkan karena saya ingin melihat dulu seperti apa reaksi orang-orang atas buku ini. Dengan keuangan yang serba pas-pasan, saya selalu berhati-hati untuk membeli buku. Makanya, setelah bertanya pada Mbah Google, ternyata banyak komentar dan peresensi yang pernah menikmati buku ini. 

Setelah membaca beberapa resensi, saya putuskan untuk memasukkan buku ini sebagai list buku yang wajib diiliki. Mudah-mudahan, saya bisa segera memilikinya. Berikut dua kutipan paragraf dari buku ini:

"Sungguh tak dapat dibayangkan, fantastis dan ajaib bahwa ke-26 huruf dalam alphabet kita dapat  dipadukan sedemikian rupa sehingga memenuhi rak raksasa penuh buku-buku dan membawa kita ke sebuah dunia yang tak pernah berujung."

“Siapa yang bisa menemukan buku yang tepat, akan berada di tengah teman terbaik. Di sana kita akan berbaur dengan karakter yang paling pintar, paling intelek, dan paling luhur; di sana kebanggaan serta keluhuran manusia bersemayam."


Mengapa Ditulis Penipu Cantik?

Selly Yustiawati

SELAMA seminggu ini, media massa Indonesia ikut-ikutan membuat framing (bingkai) yang tidak adil tentang kategori siapa yang pantas melakukan sebuah kejahatan. Selama seminggu ini, terdapat dua liputan yang banyak diulas yakni penipuan yang dilakukan Selly Yustiawati, serta pembobolan bank yang dilakukan karyawati Citibank, Malinda Dee. Liputan tentang mereka sangat tidak adil sebab media massa kita selalu saja membesarkan kecantikan keduanya. Mereka disebut penipu cantik atau pembobol cantik. Bukankah ini sangat tidak adil?

Dengan penyebut penipu cantik, maka media massa seolah menuding bahwa penampilan cantik adalah sesuatu yang langka dalam dunia tipu-menipu. Seolah cantik itu sesuatu yang unik. Seolah cantik itu identik dengan kebaikan dan tingkah laku terpuji. Sejak kapan tindak kategori cantik dianggap unik sehingga tidak pantas melakukan penipuan?

Kecantikan hanyalah tampilan luar seseorang. Ibaratnya, cantik itu hanya pakaian yang menutupi nilai-nilai yang sesungguhnya. Ketika seseorang cantik, tidak lantas berarti orang tersebut akan melakukan tindakan terpuji. sebab perangai yang jahat bisa merasuk dalam penampilan cantik atau jelek. Makanya, sungguh aneh ketika media massa kita selalu menonjolkan cantik dan jelek yang dilekatkan pada tindakan tipu-menipu.

Nah, ketika mengatakan penipu cantik, maka media kita seolah hendak mengatakan bahwa mereka yang menjadi penipu dan melakukan tindakan kriminalitas adalah mereka yang berwajah jelek. Media kita terbiasa melihat sesuatu secara berpasangan atau opposite meaning. Ketika cantik identik dengan kebaikan, maka jelek langsung identik dengan kejahatan. Saya tiba-tiba teringat analisis yang mengkritik cara berpikir  yang senantiasa mengidentikkan warna hitam dengan kejahatan. 

Milanda Dee
Saya sudah sering mengkritisi, mengapa kejahatan identik dengan warna hitam? Jika kita lihat film-film Hollywood, gambaran tentang iblis selalu saja mereka yang berwajah jelek dan memakai baju hitam. Iblis digambarkan berwajah seram, menakutkan, serupa monster yang layak dibenci atau dimusuhi. Pertanyaannya, apakah semua yang berwajah jelek akan berprilaku jahat? Perhatikan pula gambaran tentang malaikat  yang selalu saja berwajah cantik dan berbaju putih. Sering digambarkan malaikat adalah sosok berambut pirang, cantik, memegang tongkat yang ujungnya adalah bintang. Gambaran ini sudah sering dikritik kaum kulit hitam sebab memposisikan hitam dengan kejelekan atau kejahatan, sedang cantik identik dengan warna putih dan kebaikan. Konsep cantik dan jelek adalah konsep yang lahir dari pergulatan kolonialisme yang memosisikan orang lain sebagai posisi rendah, bawahan, dan hina, sedangkan pada posisi sebaliknya, mereka yang cantik dan putih justru menjadi sosok baik. Bukankah ini adalah konsep rasisme yang direcoki dalam pikiran kita oleh media massa?

Kembali ke liputan media kita. Saya agak kesal karena kosa kata cantik selalu diulang-ulang dalam setiap liputan tentang Selly dan Malinda. Padahal, tak ada kaitan secara langsung antara fisik keduanya dengan penampilan fisik. Namun, apalah daya sebab saya hanyalah penonton yang pasif. Sementara media massa laksana Tuhan baru yang mengatur-ngatur apa isi kepala kita. Duh!


Jakarta, 4 April 2011

Seberani Matahari, Sebening Embun

SAYA bukan seorang yang melankolis. Bukan pula tipe pria yang gampang bersedih. Tapi, sebuah kejadian hari ini membuat saya tak sanggup berkata-kata. Saya amat terharu. Seorang sahabat mengajarkan saya bagaimana membuat keputusan terbaik di tengah pilihan yang serba sulit. Seorang sahabat mengajarkan saya kekuatan hati dan kedewasaan, serta bagaimana menjadi manusia seteguh batu karang, tanpa terombang-ambing oleh oportunisme serta hasrat untuk mengumpulkan materi.


Kisahnya cukup panjang jika diurai di sini. Namun ijinkanlah saya mengisahkannya secara singkat. Saya mengenalnya sebagai salah satu sahabat yang cerdas dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. Di tangan sahabat itu tergenggam tiket untuk memasuki beberapa kampus bergengsi di negeri jauh. Ia memegang sesuatu yang didambakan jutaan orang yang dikepung hasrat petualangan dan melangkahkan kaki di negeri-negeri yang dihembus angin dingin dan kabut salju. Jutaan orang berebut akses demi hasrat berkelana serta mereguk pengetahuan dari mata air yang mengalir di negeri-negeri yang setia menjaga sungai pengetahuan. 

Namun sahabat itu lebih memilih untuk membatalkan tiket tersebut. Ia memilih sesuatu yang jauh lebih penting sebagai udara yang mengisi napasnya. Ia memilih bersama keluarga demi menuntaskan tanggung jawab sebagai perempuan sekaligus menunjukkan bahwa di luar keinginan untuk merengkuh altar ilmu pengetahuan, terdapat tanggung jawab besar yang mesti ditunaikannya. Ia memilih menunaikan kewajiban dengan penuh keyakinan kalau dirinya memilih jalan yang terbaik. 

Yang luar biasa mencengangkan, ia tak menyisakan sedikitpun keraguan. Ia percaya bahwa jalan terbaik telah dipilihnya sembari merapal keyakinan bahwa kelak dirinya akan menuai makna-makna yang dipetik dari hikmah-hikmah perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Ia bisa belajar banyak dari kehidupan, justru di saat-saat di mana orang lain tak sanggup memetik hikmah-hikmah dari perjalanan hidup. Ia memilih sesuatu yang agung, sesuatu yang jauh lebih penting daripada timbunan kisah-kisah tentang kehebatan negeri lain, sebagaimana sering dituturkan sejumlah manusia yang hanya bisa mengagumi negeri lain, tanpa menyuburkan ikhtiar untuk menguatkan negeri sendiri. Duh!... Betapa kagumnya saya dengan sahabat tersebut.

Saya menyebutnya sebagai keteguhan sekaligus keperkasaan seorang perempuan. Pilihan untuk menumbuhkan nilai bukanlah pilihan yang simpel sebagaimana membalikkan telapak tangan.  Mungkin kalangan feminis --khususnya kaum feminis liberal dan radikal-- akan sinis memandang pilihan sahabat tersebut. Mereka yang menyebut dirinya feminis adalah mereka yang besar dengan gagasan-gagasan ideal tentang persamaan hak kaum perempuan sehingga mendorong mereka untuk sesegera mungkin memasuki ruang publik. 

Para feminis liberal, sebagaimana pernah diulas filsuf Mary Wollstonecrat, meyakini bahwa perempuan terpasung dengan nilai dan keyakinan kaum tradisional bahwa posisi perempuan adalah di rumah, tanpa menjelajah ke dunia luar. Mereka kukuh kalau perempuan sedang terkungkung, tanpa pilihan. Kata mereka, perempuan telah lama mejadi tawanan dunia sosial yang mendefinisikan atau mengkonstruksi konsepsi tentang sejauh mana peran mereka. Namun benarkah demikian?

Hari ini, sahabat itu mengajarkan banyak hal. Ia menjungkirbalikkan tesis kaum feminis liberal tentang posisi perempuan. Ia berani memilih sesuatu di tengah pilihan menggiurkan untuk kemana-mana. Saya tahu kalau dirinya tidak sedang memasung diri. Ia sedang mempersiapkan jalan bagi langkah-langkah kecil yang dituntunnya secara perlahan-lahan, yang disuburkannya dengan kasih sayang, dan dibesarkannya dengan cinta kasih. 

Pada akhirnya, hidup adalah perkara memilih dari berbagai jenis pilihan yang terpapar di depan mata. Meskipun di tangan sahabat tersebut terdapat segala akses untuk memasuki dunia luar, secara sadar, ia mengabaikannya sebagai konsekuensi dari keyakinannya tentang pilihan yang jauh lebih penting. Bagi saya, ia telah memilih keputusan tepat. Ia telah memenangkan sesuatu yang berharga. Bukan tiket gratis ke mana-mana, melainkan kekuatan hati serta keberanian untuk menjatuhkan pilihan. Ia tak hanya seberani matahari saat memilih, namun juga sejernih embun saat memikirkan hikmah-hikmah positif dari perjalanannya. Mungkin ia memilih mundur di masa kini, namun saya yakin ia sedang menanam buah untuk masa depan yang kelak akan dipanennya dengan penuh suka cita. Dan jika saat itu tiba, saya akan menjadi pihak yang sangat berbahagia, sebahagia dirinya.(*)



Jakarta, 3 April 2011
seusai Pre Departure Orientation (PDO)
Terimakasih atas pencerahan hari ini

Saat tayang di Kompas.Com

TIGA hari lalu saya menulis artikel tentang pernikahan agung di monarki Inggris di Kompasiana(klik DI SINI). Tak disangka, tulisan itu dipilih menjadi headline dan juga dimasukkan ke Kompas.com (bisa di baca DI SINI). Redaktur senior Kompas, Pepih Nugraha, meminta izin untuk memublikasikan artikel itu di Kompas.com. Ia juga memuji artikel itu sebagai artikel yang hebat. 

tulisan yang tayang di kompas.com

Tentu saja, ada perbadaan antara dimuat di Kompasiana dan Kompas.com. Perbedaan mencolok adalah tingkat keterbacaan. Di Kompasiana, tulisan saya hanya dibaca sekitar 785 orang. Sementara di Kompas.com, tulisan itu bisa dibaca hingga 18.825 orang. Perbdaan selanjutnya adalah gengsi. Ketika tayang di Kompas.com, artinya tulisan kita dianggap sesuai dengan standar Kompas sehingga layak ditayangkan di situs terbesar yang dikelola Kompas. 

tulisan yang tayang di Kompasiana
Meskipun ini bukan segalanya, saya cuma berharap agar ditayangkannnya tulisan itu bisa menjadi awal dari produktivitas melahirkan artikel yang bermutu. Thanks..