Nasib sebagai Bangsa Pengemis

HARI ini saya bertemu Prof Rahman asal Malaysia. Fisiknya tak berbeda dengan orang Indonesia. Ia adalah deputi atau ketua pada lembaga semacam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Malaysia. Ia datang berkunjung ke gedung Rektorat unhas, kemudian lanjut ke PKP Unhas untuk menjalin silaturahmi dan memperkenalkan lembaganya, kalau-kalau ada proyek yang bisa dikerjakan bersama dan memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Ia datang sebagai funding atau pemilik modal, makanya ia didekati oleh semua pejabat di Unhas laksana gula yang dikerubungi semut. Saat berkunjung ke Pusat Kegiatan Penelitian (PKP), Ketua divisi sosial dan humaniora (maaf, saya gak mau menyebut nama. Kita sebut saja Ketua PKP) menemuinya dengan sikap yang agak membungkukkan diri. Ia selalu menjelaskan tentang lembaganya yang krisis finansial, dan selama ini bisa bertahan hanya karena idealisme semata.

Saya agak miris menyaksikannya. Negeri ini sudah puluhan tahun merdeka, namun kita sebagai warga negara masih belum bisa berdiri tegak ketika bertemu dengan bangsa lain. Kita masih saja membungkukkan badan, demi mendapatkan bantuan finansial. Kita tak punya kemerdekaan sebab di hari seperti ini, masih selalu bicara uang. Kita masih membungkuk dan mengemis sebab belum bisa mandiri. Bahkan untuk dana penelitian sekalipun, kita masih harus mengemis-ngemis pada warga asing. Kita tak punya kemandirian, bahkan untuk sekedar membiayai dunia riset yang pada dasarnya bertujuan untuk kepentingan kita sendiri. Kita adalah bangsa yang bisanya hanya mengemis.(*)

0 komentar:

Posting Komentar