Di sudut satu kafe di Bandung, Jawa Barat, saya bertemu dengan bapak itu. Dia adalah salah seorang kandidat bupati di satu daerah di Jawa Barat. Dia sudah mengantongi rekomendasi partai. Malam itu dia mengajak saya untuk berbincang.
Dia tak basa-basi. Dia langsung to the point. Dia langsung membuka pertanyaan: “Berapa biaya yang diperlukan untuk membangun laskar digital?” Saya terhenyak. Sekian detik berikutnya, saya balik bertanya, “Berapa yang bapak sanggupi?”
Di awal reformasi, semua politisi amat gandrung dengan pendekatan survei politik. Survei menjadi satu metode yang digunakan semua politisi, partai, hingga berbagai lembaga. Survei menjadi kompas bagi strategi politik dan pemenangan kandidat.
BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence dan Kediktatoran Digital
Namun sejak pilpres tahun 2014, bertambah lagi amunisi yang harus dilengkapi. Bukan sekadar survei, tetapi juga laskar media sosial. Publik menyaksikan bagaimana media sosial menjadi arena tempur bagi semua kubu politik.
Semua gerilya, mencari massa, membidik target, hingga mengeluarkan bujuk rayu di medsos. Berbagai konten, mulai dari konten positif hingga hoaks juga direproduksi di media sosial. Semuanya dipakai untuk menang.
Di era covid-19, daya jelajah seorang politisi dan tim kampanye akan sangat terbatas. Di pilkada ini, pengolahan konten dan informasi akan menjadi jantung utama yang menggerakkan semua kerja-kerja politik. Jika informasi dikemas dengan baik, maka kemenangan berada di depan mata. Untuk itu butuh satu strategi yang matang.
“Seperti apa postur laskar media sosial?” tanya bapak itu.
Tak ada acuan tetap untuk merancang tim. Jika patokannya adalah pilkada DKI Jakarta, maka ada tiga tim yang harus dibentuk.
Pertama, tim intelektual. Tim ini yang bertugas untuk mengolah semua informasi, membaca data-data statistik, lalu memberikan rekomendasi isu-isu apa yang akan diangkat di media sosial.
Tim ini akan menyusun semua naskah ilmiah, mulai dari visi misi, hingga bahan kampanye. Tim ini harus bisa menerjemahkan semua yang rumit menjadi bahasa orang awam. Dalam konteks pilkada, tim ini harus bisa mengolah isu lokal sekaligus menemukan di mana kelemahan kandidat lain.
Kedua, tim defensif. Tim ini bertugas untuk membentuk semua counter opini yang disebarkan oleh lawan. Pilkada identik dengan permainan isu. Semua kubu tidak cuma ingin memasarkan branding dirinya secara tepat, tetapi juga menyebar berbagai hoaks.
Tim defensif akan melakukan klarifikasi, berkoordinasi dengan media, serta merancang semua konten, meme, dan pesan-pesan politik. Tim ini akan rajin memantau semua konten di media sosial terkait satu daerah, kemudian menentukan respon yang tepat.
Salah satu isu cemerlang yang lahir di Pilkada DKI Jakarta adalah program DP rumah 0 persen. Meskipun program ini nyaris sulit direalisasikan, tapi dalam konteks kampanye, wacana ini sangat menjual. Pesan ini sejenak menghentikan lalu lintas isu dan hoaks yang maak.
BACA: Berbekal Media Sosial, Anak Muda Ini Memenangkan Obama
Ketiga, tim ofensif. Tim ini sering disebut Tim Hantu. Cara kerjanya adalah menyerang lawan. Di pilkada, informasi bisa dikelola untuk melumpuhkan lawan. Namun kerja tim ini harus berupa tim bayangan. Tak perlu ada garis komando, sebab jika suatu saat tim ini terdeteksi, maka semua kontak harus diputus.
Pesan-pesan yang diolah juga harus dikemas dengan hati-hati. Tim ofensif tak harus menyerang, tapi bisa juga dilakukan dengan mengerahkan semua akun bot yang bisa menyebar dan mengepung postingan kandidat lain.
Semua tim-tim di atas akan berkoordinasi dengan para kreator konten. Para kreator konten beranggotakan tim kreatif yakni pembuat konten, pekerja media, graphic designer, motion graphic, fotografer, dan videografer, serta tim IT. Mereka merancang konten, menyebarkannya, mengukur dampaknya, lalu kembali merancang konten.
“Apa ada tools atau alat yang digunakan sebagai amunisi bagi tim ini? Kembali bapak itu bertanya.
Tentu saja ada. Sewaktu saya menjadi konsultan media di satu tim yang berlaga di pilpres, saya memperhatikan tingginya kebutuhan pada teknologi yang bisa digunakan untuk pilkada.
Secara umum, saya melihat ada tiga tools utama di setiap pusat komando informasi. Pertama, digital listening tool, yang berisikan perangkat untuk memetakan semua percakapan di media sosial. Semua yang dibahas netizen di satu wilayah akan mudah terpetakan di situ.
Kedua, digital media platform, yang isinya berbagai platform media sosial, juga media mainstream. Semua platform ini akan digunakan untuk menyebarkan pesan secara cepat, menjangkau semua netizen di satu wilayah yang kemudian memviralkan semua pesan-pesan tersebut.
Ketiga, mobile apps, yang digunakan relawan secara mobile di berbagai lokasi. Para relawan dibekali dengan tools atau teknologi untuk saling berkoordinasi, mengetahui apa pesan yang disebar oleh tim komando, lalu menyebarkannya ke semua jejaring.
Di era 4,0, kerja-kerja politik harus bisa terpantau. Seorang politisi tidak bisa lagi dibohongi tim-tim lapangan. Melalui media sosial, dia bisa memantau seberapa kuat dia di satu lokasi, seberapa besar pengaruhnya, sehingga penentuan isu menjadi penting untuk dilakukan.
Kerja politik harus kerja yang kolektif. Informasi dikelola bersama, disebarkan ke jejaring influencer, akun robot, dan pemantul pesan, gemanya ditangkap para analis di tim, kemudian diolah lagi dan dikembangkan menjadi konten yang kuat.
BACA: Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0
Di era 4.0, semua orang bisa membagikan konten-konten politik. Tim media sosial akan mencari strategi agar semua netizen bisa bergerak pada titik tertentu, menggunakan semua perangkat teknologi dan algoritma media sosial demi menyebar pesan-pesan viral ke mana pun, yang kemudian menjadi rekomendasi kuat bagi politisi untuk turun lapangan.
Politik ibarat perang yang strateginya dirancang dan dipetakan dengan baik.Pusat komando adalah para penentu strategi dan perumus konten. Perang konten akan dilakukan relawan lapangan, yang salah satu tentaranya adalah akun-akun robot yang bisa di-orkestrasi dan dikendalikan.
“Berapa biaya yang dikeluarkan untuk membiayai semua aktivitas itu?” kembali dia bertanya.
Saya memikirkan berapa biaya paling minimal untuk mengerakkan tim. Tiba-tiba seorang gadis Bandung melintas. Saya terkesima. Konsentrasi saya untuk menjawab langsung buyar.
“Tadi nanya apa Pak?”