Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Perang Robot untuk Menang Pilkada


ilustrasi

Di sudut satu kafe di Bandung, Jawa Barat, saya bertemu dengan bapak itu. Dia adalah salah seorang kandidat bupati di satu daerah di Jawa Barat. Dia sudah mengantongi rekomendasi partai. Malam itu dia mengajak saya untuk berbincang.

Dia tak basa-basi. Dia langsung to the point. Dia langsung membuka pertanyaan: “Berapa biaya yang diperlukan untuk membangun laskar digital?” Saya terhenyak. Sekian detik berikutnya, saya balik bertanya, “Berapa yang bapak sanggupi?” 

Di awal reformasi, semua politisi amat gandrung dengan pendekatan survei politik. Survei menjadi satu metode yang digunakan semua politisi, partai, hingga berbagai lembaga. Survei menjadi kompas bagi strategi politik dan pemenangan kandidat.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence dan Kediktatoran Digital

Namun sejak pilpres tahun 2014, bertambah lagi amunisi yang harus dilengkapi. Bukan sekadar survei, tetapi juga laskar media sosial. Publik menyaksikan bagaimana media sosial menjadi arena tempur bagi semua kubu politik. 

Semua gerilya, mencari massa, membidik target, hingga mengeluarkan bujuk rayu di medsos. Berbagai konten, mulai dari konten positif hingga hoaks juga direproduksi di media sosial. Semuanya dipakai untuk menang.

Di era covid-19, daya jelajah seorang politisi dan tim kampanye akan sangat terbatas. Di pilkada ini, pengolahan konten dan informasi akan menjadi jantung utama yang menggerakkan semua kerja-kerja politik. Jika informasi dikemas dengan baik, maka kemenangan berada di depan mata. Untuk itu butuh satu strategi yang matang.

“Seperti apa postur laskar media sosial?” tanya bapak itu.

Tak ada acuan tetap untuk merancang tim. Jika patokannya adalah pilkada DKI Jakarta, maka ada tiga tim yang harus dibentuk. 

Pertama, tim intelektual. Tim ini yang bertugas untuk mengolah semua informasi, membaca data-data statistik, lalu memberikan rekomendasi isu-isu apa yang akan diangkat di media sosial. 

Tim ini akan menyusun semua naskah ilmiah, mulai dari visi misi, hingga bahan kampanye. Tim ini harus bisa menerjemahkan semua yang rumit menjadi bahasa orang awam. Dalam konteks pilkada, tim ini harus bisa mengolah isu lokal sekaligus menemukan di mana kelemahan kandidat lain.

Kedua, tim defensif. Tim ini bertugas untuk membentuk semua counter opini yang disebarkan oleh lawan. Pilkada identik dengan permainan isu. Semua kubu tidak cuma ingin memasarkan branding dirinya secara tepat, tetapi juga menyebar berbagai hoaks. 

Tim defensif akan melakukan klarifikasi, berkoordinasi dengan media, serta merancang semua konten, meme, dan pesan-pesan politik. Tim ini akan rajin memantau semua konten di media sosial terkait satu daerah, kemudian menentukan respon yang tepat.

Salah satu isu cemerlang yang lahir di Pilkada DKI Jakarta adalah program DP rumah 0 persen. Meskipun program ini nyaris sulit direalisasikan, tapi dalam konteks kampanye, wacana ini sangat menjual. Pesan ini sejenak menghentikan lalu lintas isu dan hoaks yang maak.

BACA: Berbekal Media Sosial, Anak Muda Ini Memenangkan Obama

Ketiga, tim ofensif. Tim ini sering disebut Tim Hantu. Cara kerjanya adalah menyerang lawan. Di pilkada, informasi bisa dikelola untuk melumpuhkan lawan. Namun kerja tim ini harus berupa tim bayangan. Tak perlu ada garis komando, sebab jika suatu saat tim ini terdeteksi, maka semua kontak harus diputus.

Pesan-pesan yang diolah juga harus dikemas dengan hati-hati. Tim ofensif tak harus menyerang, tapi bisa juga dilakukan dengan mengerahkan semua akun bot yang bisa menyebar dan mengepung postingan kandidat lain.

Semua tim-tim di atas akan berkoordinasi dengan para  kreator konten. Para kreator konten beranggotakan tim kreatif yakni pembuat konten, pekerja media, graphic designer, motion graphic, fotografer, dan videografer, serta tim IT. Mereka merancang konten, menyebarkannya, mengukur dampaknya, lalu kembali merancang konten.

“Apa ada tools atau alat yang digunakan sebagai amunisi bagi tim ini? Kembali bapak itu bertanya.

Tentu saja ada. Sewaktu saya menjadi konsultan media di satu tim yang berlaga di pilpres, saya memperhatikan tingginya kebutuhan pada teknologi yang bisa digunakan untuk pilkada.

Secara umum, saya melihat ada tiga tools utama di setiap pusat komando informasi. Pertama, digital listening tool, yang berisikan perangkat untuk memetakan semua percakapan di media sosial. Semua yang dibahas netizen di satu wilayah akan mudah terpetakan di situ.

Kedua, digital media platform, yang isinya berbagai platform media sosial, juga media mainstream. Semua platform ini akan digunakan untuk menyebarkan pesan secara cepat, menjangkau semua netizen di satu wilayah yang kemudian memviralkan semua pesan-pesan tersebut.

Ketiga, mobile apps, yang digunakan relawan secara mobile di berbagai lokasi. Para relawan dibekali dengan tools atau teknologi untuk saling berkoordinasi, mengetahui apa pesan yang disebar oleh tim komando, lalu menyebarkannya ke semua jejaring.

Di era 4,0, kerja-kerja politik harus bisa terpantau. Seorang politisi tidak bisa lagi dibohongi tim-tim lapangan. Melalui media sosial, dia bisa memantau seberapa kuat dia di satu lokasi, seberapa besar pengaruhnya, sehingga penentuan isu menjadi penting untuk dilakukan.

Kerja politik harus kerja yang kolektif. Informasi dikelola bersama, disebarkan ke jejaring influencer, akun robot, dan pemantul pesan, gemanya ditangkap para analis di tim, kemudian diolah lagi dan dikembangkan menjadi konten yang kuat.

BACA: Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0

Di era 4.0, semua orang bisa membagikan konten-konten politik. Tim media sosial akan mencari strategi agar semua netizen bisa bergerak pada titik tertentu, menggunakan semua perangkat teknologi dan algoritma media sosial demi menyebar pesan-pesan viral ke mana pun, yang kemudian menjadi rekomendasi kuat bagi politisi untuk turun lapangan. 

Politik ibarat perang yang strateginya dirancang dan dipetakan dengan baik.Pusat komando adalah para penentu strategi dan perumus konten. Perang konten akan dilakukan relawan lapangan, yang salah satu tentaranya adalah akun-akun robot yang bisa di-orkestrasi dan dikendalikan.

“Berapa biaya yang dikeluarkan untuk membiayai semua aktivitas itu?” kembali dia bertanya.

Saya memikirkan berapa biaya paling minimal untuk mengerakkan tim. Tiba-tiba seorang gadis Bandung melintas. Saya terkesima. Konsentrasi saya untuk menjawab langsung buyar. 

“Tadi nanya apa Pak?”



Kisah Seribu Pita Kuning




Sebentar lagi bis akan mendekati lapangan hijau di tengah kota. Di tengah lapangan itu, ada pohon beringin besar. Keringat dingin mengucur di tubuh seorang pria. Jantungnya berdegup kencang. Dia dicekam rasa khawatir dan penasaran. Dia takut disapa kenyataan paling menakutkan.

Seisi bis ikut penasaran. 

*** 

Beberapa tahun lalu di White Oak, satu kota kecil Amerika, lelaki itu bukanlah suami dan ayah yang baik. Dia beruntung menikahi perempuan baik yang kemudian menjadi ibu dari anaknya. Namun dia tak pandai bersyukur. Hari-harinya adalah memarahi dan memukuli istrinya.

Dia selalu pulang larut malam. Sering dia datang dalam keadaan mabuk. Jika ditanya dari mana gerangan, dia akan marah dan mulai memukuli. Istrinya hanya bisa diam sembari terisak. Lelaki itu ingin menegaskan dominasinya di dalam rumah.

Suatu hari, dia mengambil semua harta milik istrinya, kemudian pergi ke New York. Dia ingin berbisnis. Namun dia tak juga kapok. Dia tetap degan gaya hidup yang berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Bahkan dia pun berjudi serta ganti-ganti pasangan.

Saat uangnya habis, mulailah dia melakukan tindakan kriminal. Dia menulis cek palsu sehingga banyak orang tertipu. Polisi menangkapnya, kemudian menjebloskan ke penjara. Pengadilan memvonisnya untuk hidup di penjara selama tiga tahun.

Saat di penjara, dia mulai merenungi semua hari-harinya. Yang tersisa hanyalah penyesalan. Temannya sesama pemabuk tak satu pun yang mengunjunginya. Bahkan perempuan-perempuan yang gonta-ganti ditidurinya juga tak ada yang datang.

Dia mulai menyesali apa yang sudah lewat. Dalam gelimang uang, semua orang akan mendekat dan menjadi saudaranya. Saat uang habis, maka dia sendirian. Tak ada yang mau menemaninya melalui hari yang kian berat.

Di penjara itu, dia terisak mengingat anak istrinya. Dia ingin kembali bersama mereka. Jika dirinya dimaafkan, maka dia berjanji akan menjadi ayah dan suami yang baik. Jika dirinya diterima, maka dia bertekad untuk memberi semua kasih sayang yang dimilikinya. Dia ingin mengganti hari-hari yang hilang.

Dia bisa paham kalau tak ada lagi tempat untuk ia di rumah. Dia seorang kriminal yang bisa mencemarkan nama baik keluarga. Dia hanya pendosa yang menyesali apa yang telah berlalu. Menjelang bebas, dia menulis surat kepada istrinya: 

“Sayang, kamu tidak perlu menunggu aku. Namun jika kamu masih ada perasaan padaku, maukah kau menyatakannya? Ikatlah sebuah pita kuning pada satu-satunya pohon beringin besar di kota kita jika kamu masih mau menerimaku kembali. Apabila aku lewat di beringin itu dan tidak menemukan pita kuning yang diikat, tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku tidak akan turun dari bis dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji untuk tidak akan mengganggumu lagi dan anak-anak seumur hidupku.”

Dia tidak menerima satu pun balasan dari istrinya. Dia mulai pasrah dengan apa pun yang akan terjadi. 

Hari pelepasan itu tiba. Dia menaiki bis yang melalui White Oak, kotanya. Menjelang sampai, dia sudah keringat dingin. Bulir air matanya menetes. Penumpang bis penasaran. Dia pun bercerita apa adanya. Saat bis mendekati lapangan, semua orang melongok ke luar jendela. Semua memandang ke pohon beringin itu, kalau-kalau ada pita kuning yang diikat di situ. Semua deg-degan.

Dari kejauhan pohon beringin itu kelihatan. Masih belum tampak apa-apa. Setelah dekat, pria itu memilih untuk menunduk. Dia kehilangan harapan. Dia mengingat semua kelakuannya yang jahat kepada anak istri. Dia yakin dirinya tidak akan dimaafkan.

Bis berhenti di depan pohon beringin. Semua orang bertepuk tangan. Dia pun mengangkat wajahnya pelan-pelan. Dia memandang pohon beringin itu. Rasa haru perlahan menjalar di seluruh tubuhnya. Dia tertunduk sembari menangis bahagia.

Dia tidak melihat satu pita kuning. Dia melihat ratusan bahkan ribuan pita kuning yang diikatkan di seluruh penjuru pohon itu. Mulai dari bayang, cabang, dahan, hingga ranting semuanya diikat pita kuning. 

Dia seorang lelaki penuh dosa, namun keluarganya membuka pintu maaf yang sebesar-besarnya untuknya. Dia seorang yang telah menyia-nyiakan semua hal baik di sekitarnya, tetapi balasan yang diterimanya bukanlah makian dan permusuhan. Dia dilimpahi cinta kasih yang mengguyur deras dan memberinya kesejukan.

Semua dosanya yang berkarat itu sontak dibersihkan oleh butiran cinta yang disimbolkan oleh ribuan pita kuning. Lelaki itu tersungkur dalam haru. Dia mengucap syukur sembari berurai air mata. Dia menjadi pria yang kembali pulang ke pangkuan keluarganya, untuk selama-lamanya, dan tidak akan pernah pergi lagi.

Sopir bis itu lalu menelepon surat kabar dan bercerita apa yang dilihatnya. Peristiwa itu dimuat di banyak media sebagai kisah permaafan dan pertobatan, juga kisah besarnya kekuatan hati untuk memaafkan.

Pada tahun 1973, seseorang menulis lagu tentang kisah ini dengan judul, “Tie a Yellow Ribbon around the Old Oak Tree.” Lagu itu menjadi hits dan diputar di semua radio di Amerika Serikat. Orang-orang menyanyikan lagu ini untuk mengisahkan kekuatan cinta yang dahsyat dari ibu dan anak yang menerima lelaki itu apa adanya. 

Hingga kini, orang masih berdendang untuk mengenang peristiwa itu:

I’m coming home
I’ve done my time
And I have to know what is or isn’t mine

If you received my letter
Telling you I’d soon be free
Than you know just what to do

If you still want me
If you still want me

Oh tie a yellow ribbon
‘round the old oak tree
Its been three long years
Do you still want me

If I don’t see a yellow ribbon ‘round the old oak tree
I’ll stay on the bus, forget about us
Put the blame on me
‘Cause I couldn’t bare to see what I might see

I’m really still in prison
And my love she holds the key
A simple yellow ribbon is all I need to set me free

I wrote and told her please
Oh tie a yellow ribbon ‘round the old oak tree
It’s been three long years

Do you still want me
If I don’t see a yellow ribbon ‘round the old oak tree
I’ll stay on the bus, forget about us
Put the blame on me

If I don’t see a yellow ribbon ‘round the old oak tree
Now the whole damn bus is cheering

And I can’t believe
I see a hundred yellow ribbons ‘round the old



Bocah yang Memanen Angin




Anak itu melihat tanah-tanah yang kering. Dia melihat ayahnya yang tidak berdaya. Ayahnya seorang petani yang hanya bisa pasrah menyaksikan keadaan. Di Malawi, Afrika, anak itu ingin berbuat sesuatu. Tapi dia bisa apa?

Malawi adalah contoh dari kegagalan praktik pembangunan. Politisi penuh janji dan kalimat tipu demi suara petani. Pengusaha tembakau masuk ke desa-desa dan menebang banyak pohon milik warga desa.

Saat pepohonan berkurang, sungai-sungai mengering. Di musim hujan, banjir selalu terjadi sebab tak ada akar-akar yang menahan air. Desa-desa pertanian kehilangan harapan. Petani kelaparan. Petani tak sanggup menyekolahkan anaknya.

Pemerintah Malawi hanya menanti bantuan asing, termasuk IMF dan Bank Dunia. Yang dipikirkan hanya bantuan berupa bahan pangan. Setelah bantuan datang, rakyat berkelahi demi mendapatkannya.

Bocah usia 13 tahun itu bernama William Kamkwamba adalah siswa sekolah yang terpaksa keluar karena tidak sanggup membayar uang sekolah. Dia tetap ngotot ingin ke sekolah, meskipun hanya duduk di perpustakaan.

Suatu hari, dia tersentak saat menemukan buku berjudul Using Energy. Segumpal ide memenuhi kepalanya. Dia membayangkan, jika saja dia bisa memanfaatkan energi angina untuk menarik air dari dalam tanah, maka tanah-tanah bisa diairi. Petani akan kembali memiliki harapan.

Ide laksana cahaya yang menyalakan sesuatu di kepalanya. Dia ingin berbuat sesuatu bagi warga desanya. Dia lalu mendatangi satu area yang dipenuhi sampah. Dia mengumpulkan banyak bahan yang kemudian dirakitnya. Dia merancang kincir angin.

Tentu saja, langkahnya tidak mudah. Dia butuh sepeda milik ayahnya untuk dipreteli semua onderdilnya demi membuat baling-baling penangkap angin. Dia juga butuh dinamo untuk menyimpan energi. Masalahnya, sepeda milik ayahnya adalah satu-satunya di kampung itu, juga satu-satunya aset yang dimiliki.

Dia tetap nekat dan memintanya. Di Afrika, seorang anak tidak pantas didengar pendapatnya. Dia dianggap anak kemarin sore yang tak tahu apa-apa. Bahkan ayahnya murka lalu menghancurkan purwarupa baling-baling milik anaknya. Dia seakan berteriak, “Anak kecil tahu apa?”

Untunglah, ibunya mau mendengar. Ibunya meyakinkan ayahnya untuk memberi kepercayaan pada anaknya.

Kepercayaan itu dibayar lunas. Menara kayu itu berdiri. Di atasnya ada baling-baling yang bergerak karena angin. Baling-baling itu menggerakkan dinamo dan turbin yang menghasilkan listrik. Selanjutnya listrik menarik air dari dalam tanah lalu mengaliri kanal-kanal, melintasi kebun-kebun milik petani, lalu mengubah tanah tandus menjadi hijau dan segar.

Bocah 13 tahun itu mengubah wajah desa yang tadinya kering-kerontang menjadi hijau dan asri. Dia tak sekadar menghijaukan desa. Dia mengubah persepsi orang-orang yang rendah diri seolah mereka tak mampu mengatasi masalahnya. Dia bisa meyakinkan orang-orang kalau mereka punya kemampuan untuk keluar dari krisis dengan tangan mereka sendiri, dengan pikiran mereka sendiri.

Anak muda yang lahir tahun 1987 itu seakan memberitahu orang-orang dewasa kalau segala masalah pasti ada solusinya sepanjang semuanya percaya pada kekuatan dan kemampuan sendiri. Tak perlu menunggu pihak luar seperti IMF dan Bank Dunia untuk bangkit dari keterpurukan.

Saya menyaksikan kisah William Kamkwamba ini dalam film berjudul The Boy Who Harnessed the Wind yang tayang di Netflix. Film yang digali dari buku ini memotret sekeping realitas tentang kegagalan pembangunan, serta bangkitnya kemandirian lokal dengan cara yang hebat.



Ketika menyaksikan film ini, saya teringat pada sosiolog Robert Chambers yang menjelaskan tentang bagaimana desa mengalami keterpinggiran. Kata Chambers, desa telah menjadi korban penjungkir-balikan (putting the last first) dari pihak luar desa (outsiders) yang mengaku serba tahu tentang desa. Mereka, para outsiders ini, sering merasa lebih tahu dan merekayasa desa.

Pengetahuan warga desa diabaikan dan tak pernah dihargai. Mereka dianggap bodoh sehingga hanya bisa pasrah pada konstruksi pengetahuan dari orang kota. Chambers sempat membahas tentang bias proyek. Di banyak tempat, pembangunan hanya dilihat sebagai proyek yang menyerap anggaran. Ketika anggaran terserap, maka pembangunan dianggap berhasil.

Padahal, di banyak tempat, cara berpikir ini justru tidak memperhatikan aspek kontinuitas atau sustainabilitas dari setiap tindakan. Ketika satu proyek dibangun, para perencana sering abai untuk melihat seberapa bermanfaatkah apa yang telah dibangun tersebut, seberapa berpengaruh pada warga desa.

Film ini mengajarkan betapa pentingnya mengenali potensi dan inisiatif lokal. Di usia 13 tahun, William Kamkwamba memahami apa yang terjadi di sekitarnya.  Dia pun tahu persis sumber daya lokal yang bisa dikembangkan untuk mengatasi masalah. Dia sudah bisa mengenali angin untuk dikelola dan dimanfaatkan.

Saya membaca di banyak situs tentang William Kamkwamba yang kemudian terkenal. Dia diundang untuk berbicara di TedTalk. Bocah yang tadinya dikeluarkan dari sekolah itu malah mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Amerika Serikat.

Kisahnya ditulis oleh media-media besar dunia. Satu media di Amerika Serikat membandingkan sosoknya dengan Angus MacGyver, sosok fiksi yang juga bisa menggunakan sains secara praktis. Bukunya The Boy who Harnessed the Wind terbit dan laris di panggung internasional. Majalah Time memasukkan namanya dalam daftar 30 orang yang mengubah dunia di usia bawah 30 tahun.

Saya belum pernah membaca bukunya.  Di situs Goodreads, saya temukan kutipan menarik dari anak muda ini: “Whatever you want to do, if you do it with all your heart, it will happen.”



Pak Jokowi, Batalkan Food Estate Itu!


Jokowi dan Prabowo

Pak Jokowi dan Pak Prabowo duduk di dekat sawah. Mereka membahas rencana pembangunan food estate atau lumbung pangan di Kalimantan. Hitung-hitungan di atas kertas dihamparkan oleh Menteri Pertanian. Perkiraan-perkiraan berapa ton panen dikeluarkan. 

Pak Jokowi, seorang presiden yang di masa kampanye menampilkan citra ndeso, namun ketika terpilih sibuk membagikan semua jabatan menteri, direktur, dan komisaris ke tim suksesnya.

Pak Prabowo, lelaki yang separuh hidupnya menjadi serdadu dan terbiasa membawa senjata, kini menjadi menteri yang masih mengurusi senjata. Dan tiba-tiba saja diserahi tugas untuk mengurusi proyek lumbung pangan.

Ini Indonesia abad 21, negeri yang tak pernah belajar pada kearifan budaya. Di banyak budaya, selalu ada tradisi lumbung sebagai strategi untuk menghadapi masa penuh ketidakpastian. Lumbung serupa asuransi yang bisa menjadi solusi ketika ada krisis.

Orang Minangkabau menyebutnya Rangkiang, orang Sunda menyebutnya Leuit, Orang Enrekang menyebutnya Landa. Orang NTT menyebutnya Umekebubu dan Lopo. Orang Batak Karo punya istilah Sapo Page. Orang Bali menyebutnya Jineng. Orang Toraja memanggilnya Alang. Orang Dompu menamakannya Jompa.

Sejak dulu, semua masyarakat punya lumbung. Tapi kini, kita baru akan membangunnya. Betapa kita menjadi bangsa yang tak belajar pada budaya. Betapa kita tak pernah siap menghadapi ancaman krisis.

BACA: Malu Aku Jadi Petani Indonesia

Ini juga negeri yang pemerintah dan masyarakatnya lupa dengan hasil alamnya sendiri. Tak perlu takut dengan krisis selagi pangan lokal tersedia di mana-mana. Tak ada beras, kita bisa makan ubi, jagung, ketela, keladi, talas, sagu, hingga sorgum.

Di Yahukimo, Papua, pernah masyarakat mengalami krisis pangan hingga beberapa tewas. Mereka sangat tergantung pada beras, sesuatu yang tidak pernah dialami nenek moyangnya yang karib dengan ubi dan sagu. Pemerintah dan masyarakat lupa betapa kayanya bumi kita dengan berbagai bahan pangan.

Ini Indonesia abad 21, negeri yang pemerintahannya tak pernah belajar pada sejarah. Pemerintahan Jokowi tak ada beda dengan pemerintahan sebelumnya. Selalu ingin menempuh jalan pintas. 

Dulu, Pak Harto ingin membangun sejuta hektar lahan gambut di tahun 1996-1997. Di masa Pak SBY, Ketapang direncanakan akan dibangun 100 ribu hektar lahan, lalu Bulungan seluas 300 ribu hektar. Serasa baru kemarin, Pak Jokowi hendak membangun 1,2 juta hektar di Merauke, Papua.

Ke mana semua lahan-lahan itu? Kenapa tak bisa jadi lumbung?

Di Merauke, kita mendengar banyak kisah miris. Terjadi perampokan lahan dari masyarakat adat. Mereka tersingkir dari tanah air yang diwariskan  nenek moyangnya. Kita mendengar kisah datangnya petani dari luar yang kemudian menguasai sumber daya lokal, serta ancaman kerusakan ekologis yang kian parah.

Kisah lumbung pangan atau food estate adalah kisah kegagalan. Mengapa? Sebab pertanian bukan sesuatu yang tercipta hanya dengan merapal mantra. Bukan pula dengan mengusap lampu wasiat. 

Pertanian adalah interaksi antara alam dan manusia, di mana manusia memuliakan alam dan melimpahinya dengan air kasih sayang. Alam akan membalasnya dengan tumbuhan, buah, dan pohon sebagai tanda cinta. 

Sekali manusia dibutakan materi dan hasrat, maka alam akan menjadi obyek yang diperas habis-habisan. Tanah dipaksa untuk menumbuhkan tanaman. Kalau perlu disirami dengan bahan kimia. 

Ini Indonesia abad 21, negeri yang pemerintahnya lebih cinta perusahaan ketimbang para petani. Pak Jokowi dan Pak Prabowo membahas pertanian dengan cara melibatkan BUMN. Pemerintah menunjuk PT Rajawali Nusantara Indonesia sebagai pelaksana proyek.

Lumbung dibangun dengan pendekatan korporasi. Di situ ada pemilik modal dan buruh upahan. Padahal, dalam bahasa Inggris, pertanian adalah agri dan culture. Di situ ada kata budaya yang menunjukkan jati diri manusia. Bertani dan menanam adalah budaya. Para petani adalah pahlawan yang memuliakan alam.

BACA: Jejak Jepang di Sawah Kita

Presiden kita yang terlampau cinta pada dunia pengusaha itu ingin menjadikan pertanian serupa korporasi. Petani bukan lagi penguasa di lahan-lahan. Mereka akan disingkirkan secara perlahan. Petani digantikan buruh yang diberi target berupa berapa ton panen setiap hektar. Jika tak memenuhi target, maka siap-siap di-PHK.

Harusnya, biarkanlah budi daya itu menjadi area para petani. BUMN cukup menyerap produksi para petani lalu melakukan proses, kemudian memasarkan. 

Ini Indonesia abad 21, negeri yang tidak memuliakan petaninya. Jika ingin mengumpulkan pangan sebanyak-banyaknya sebagai lumbung, maka tak perlu bikin proyek cetak sejuta lahan. Tak perlu bangun food estate itu. Cukup berikan harga yang pantas untuk petani.



Hargailah keringat petani kita dengan memberikan harga yang tinggi. Masak, harga pembelian pemerintah hanya 4.200 rupiah per kilogram? Padahal, kata seorang guru besar, biaya produksi di usaha tani untuk 1 kilogram gabah kering panen itu sudah 4.523 rupiah per kilogram. Jika harga gabah hanya segitu, mana bisa petani kita sejahtera dan menyekolahkan anaknya di tempat yang layak?

Muliakanlah petani dengan hentikan impor pangan. Biarkan komoditas petani dihargai mahal di tanah dan airnya sendiri. Jika harga komoditas itu bagus, petani akan meningkatkan produktivitas. Mereka akan meningkatkan semua produksi dengan penuh senyum sebab membayangkan masa depan yang cerah. Mereka akan bekerja lebih giat. Produksi pangan akan membaik. Stok pangan akan siap sehingga kita kebal dari hantaman krisis.

BACA: Kisah Petani yang Berhenti Menyadap Karet

Daripada bangun food estate, bermitralah dengan petani kita. Jika mereka tak punya uang untuk mulai bertani, carikan solusi. Tantang mereka untuk tingkatkan produksi. Beri garansi agar produk yang mereka buat akan dibeli dengan harga setinggi-tingginya oleh pemerintah.

Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Didiklah bangsa Indonesia agar tidak memandang rendah profesi petani. Berilah sejumput kebanggaan pada profesi itu sebab menjadi pahlawan kehidupan. 

Sesekali jalanlah ke desa-desa dan nagari kita. Hakekat kepemimpinan adalah mendengarkan. Tanyai dan diskusilah dengan petani kita. Bersiaplah menerima kenyataan, sepahit-pahitnya. Banyak petani justru tak ingin anaknya jadi petani. Menjadi petani tidak meningkatkan status sosial. Petani kita ingin ingin bersekolah tinggi-tinggi lalu melamar kerja sebagai pegawai negeri.

Di desa-desa kita, tak banyak lagi anak petani yang bercita-cita untuk menjadi petani. Mereka dicekoki dengan kata enterpreneur, abad digital, lalu kompetensi dan persaingan. Tak banyak kebanggaan yang tersisa pada profesi petani. Semuanya hanya menjadi masa lalu yang dikenang dengan romantis.

Jika tak ada lagi culture dan manusia yang memuliakan tanaman, maka suara lirih Bung Karno, pendiri negeri ini akan makin nyaring terdengar. “Pertanian adalah soal hidup matinya suatu bangsa.” 

Mungkin ekonomi kita akan tetap kokoh. Tapi, nurani dan keberpihakan kita sudah lama mati seiring dengan kian merananya petani di tanah air kita, tanah air Indonesia.



Generasi Strawberry




Berita sedih itu dikirimkan seorang kawan. Lelaki di ujung jalan di dekat rumah kami di kampung telah membunuh saudaranya sendiri. Motifnya adalah berebut warisan. Baru saya tahu kalau lelaki itu tidak punya pekerjaan tetap. Sementara saudaranya menguasai warisan.

Saya teringat mendiang orang tua mereka sangat terpandang. Mereka melimpahi anaknya dengan semua fasilitas. Semua anaknya dimasukkan sekolah mahal. Namun, keberlimpahan fasilitas itu tidak memberi hasil yang sepadan. Lulus dari sekolah mahal, tapi anak itu tidak bekerja. Orang tuanya tetap memanjakan.

Saya membaca artikel The New York Times mengenai fenomena Strawberry Generation. Istilah ini menggambarkan generasi Taiwan yang lahir tahun 1980-an pada masa pasca-perang, memiliki orang tua mapan dan kaya, serta kehidupan yang serba menyenangkan.

Generasi ini amat dimanjakan orang tuanya yang dahulu miskin. Orang tua tak ingin masa kelam mereka yang berada dalam ekonomi sulit karena peperangan menimpa anak mereka. Orang tua ini lalu melimpahi anaknya dengan semua fasilitas.

Generasi ini digambarkan serupa buah strawberry, yang mudah koyak hanya karena sedikit benturan. Generasi ini digambarkan tampak mewah, ranum, indah, akan tetapi tidak siap menghadapi benturan. Orang tuanya memberinya semua fasilitas dan kemewahan namun lupa menanamkan sikap kemandirian, daya tahan, serta karakter beradaptasi di segala sesuatu.

Ternyata, semua fasilitas bisa menjadi sesuatu yang negatif. Anak-anak jadi serba manja dan kehilangan daya juang serta semangat bertarung menghadapi situasi yang serba sulit. Saat dihadapkan dengan tantangan, seorang anak gampang menyerah dan rapuh, sebagaimana strawberry.

Saya belajar hal baru. Segala tantangan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari lahan gembur yang menyuburkan karakter seorang anak untuk menjadi petarung. Seorang anak harus berhadapan dengan tantangan.

Ketika melimpahi anak dengan semua fasilitas, anak akan kehilangan daya juang serta daya survival, sesuatu yang dahulu dimiliki orang tuanya dan bisa membawanya pada kemakmuran. Sering kita tidak menyadari bahwa sikap over-protective dan pemberian semua fasilitas tidak selalu bagus buat anak. Kelak, anak itu kehilangan daya juang untuk menggapai impiannya.

Saya melihat fenomena Generasi Strawberry di sekitar kita. Saya bertemu banyak orang tua yang berpikir ketika menyekolahkan anaknya di tempat paling mewah, maka dianggapnya satu prestasi.

Padahal sekolah mahal tak selalu bisa jadi jaminan kesuksesan seorang anak. Sekolah mahal menyediakan banyak hal, tapi tak bisa mengajarkan daya tahan menghadapi kesulitan serta bagaimana menumbuhkan tekad kuat untuk menggapai mimpi. Orang tua harus tetap mendampingi seorang anak, memberinya tantangan, lalu mengapresiasi semua upaya-upaya kecilnya.

Saya merenungi kisah dari kawan saya di kampung. Bisa saja, orang tuanya terlampau memanjakan anaknya dengan penuh fasilitas dan lupa mengajarkan mereka langkah demi langkah untuk menjadi pribadi yang kuat.

Orang tuanya sibuk mengejar kemakmuran, lalu berpikir bahwa dengan menyekolahkan di tempat mahal, maka misi dianggap selesai. Padahal, semua tantangan adalah bagian dari proses pendewasaan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kuat.

Mendaki puncak memang melelahkan, tetapi kebahagiaan saat berada di puncak serupa air yang membasuh semua lelah. Mereka yang setiap saat menghadapi tantangan, kelak akan jadi pribadi tangguh dengan mental yang kokoh.

Saya ingat catatan Iqbal Djawad tentang acara televisi yang paling laris di Jepang yakni Hajimete no Otsukai. Di acara itu, anak-anak seusia PAUD diberikan misi tertentu sambil diikuti oleh kru televisi yang menyamar. Misalnya disuruh mengantarkan makanan untuk ayahnya di rumah sakit. Anak itu akan merasa berat, bahkan menangis.

Tapi dia mengambil tantangan, kemudian berjalan kaki atau kadang naik bus menuju rumah sakit. Saat anak itu tersesat, dia akan coba bertanya ke orang lain, yang kemudian menunjukkan jalan. Saat dia berhasil menjalankan misinya, orang tuanya akan memeluknya dan memberi ucapan terima kasih. Dia akan mendapatkan hadiah.

Saya bayangkan betapa beda dengan orang tua yang anaknya membunuh saudaranya. Di masa itu, mereka lebih suka membayar orang lain, ketimbang melihat anaknya bersusah payah mengantar sesuatu.