Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Merasakan Keajaiban Penyembuhan


ilustrasi

DUA hari di Makassar adalah dua hari yang tak seberapa menyenangkan. Aku diserang sakit flu berat hingga tak bisa ke mana-mana. Kepalaku berat. Hidung terus beringus. Mata berkunang-kunang. Aku tak sanggup berdiri lama sehingga hanya bisa berbaring di rumah.

Makassar telah berkembang menjadi kota yang padat. Pembangunan di mana-mana. Debu ikut mengepul di mana-mana. Baru dua hari di kota itu, aku langsung terserang virus sehingga tak bisa ke mana-mana. Untunglah, ada istri yang setia menemani. Ada pula Ara yang setiap saat mengajak bermain.

Di tengah rasa sakit itu, kurasakan keajaiban penyembuhan. Ternyata, ketika ada orang-orang terkasih di sekitar kita, semua penyakit akan pelan-pelan menghilang. Ternyata, rasa kasih sayang dari orang-orang sekitar adalah obat paling mujarab yang bisa segera memulihkan kondisi seseorang yang sedang sakit.

Beberapa tahun silam kubaca satu literatur antropologi kesehatan. Ada beberapa jenis penyakit yang penyembuhannya tidak melalui media. Ada penyakit yang hanya bisa disembuhkan dnegan kesenyapan, ketenangan, serta limpahan kasih sayang. Salah satunya adalah TBC.

Seorang penderita TBC selalu diobati di sanatorium, sarana kesehatan yang terletak di tempat rindang, dan jauh dari hiruk-pikuk. Tujuannya adalah agar seseorang bisa lebih tenang, dan tidak mengalami stres atas banyak urusan yang dihadapinya. Dengan menenangkan diri, maka gelombang otak akan lebih stabil sehingga kesembuhan perlahan-lahan hadir. Yang lebih penting adalah dukungan kasih sayang dari banyak orang.

Dalam literatur yang kubaca, ada uraian bahwa seorang pasien yang selalu didatangi dan dikasihi keluarganya, perlahan-lahan akan sembuh. Penyakitnya akan jadi ringan. Sementara pasien yang tak bersama keluarga, tak merasakan limpahan kasih sayang, kondisinya akan semakin memburuk. Ternyata, rahasia penyembuhan itu sederhana. Yakni limpahan kasih serta dukungan dan motivasi agar seseorang bisa sembuh.

Dua hari disergap sakit, aku kian merenungi indahnya hubungan kasih. Dua hari pula aku semakin menyadari bahwa hubungan-hubungan yang indah dan penuh makna akan jauh lebih berharga dari materi sebanyak apapun. Seseorang bisa berobat di rumah sakit mewah, namun tanpa kasih sayang, ia akan mengalami kehampaan. Sementara mereka yang sederhana, yang hanya bisa mengakses layanan kesehatan yang standar, justru bisa lebih sehat ketika dirinya selalu diguyur oleh kasih sayang yang berlipat-lipat.



Obral Gelar Adat untuk Sang Presiden


saat Presiden SBY dan Ibu Yani Yudhoyono tiba di Tana Toraja (foto: setkab.go.id)

POLITIK kita ibarat panggung di mana segala hal bisa dipertontonkan. Politik kita juga ibarat pasar di mana segala hal bisa diperjualbelikan. Seiring dengan perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan rombongan ke banyak daerah di Sulawesi Selatan, publik menyaksikan satu opera baru yakni obral murah gelar-gelar adat untuk sang presiden. Bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?

***

HARI itu, Kamis (20/2), sebuah panggung besar disiapkan. Di hadapan ribuan pasang mata yang menyaksikan, kalimat-kalimat dalam sastra Toraja diperdengarkan di Makale. Rencananya, sebuah gelar adat diberikan kepada seseorang yang dianggap telah membawa kehormatan dan nama harum bagi masyarakat adat Tana Toraja. Penerima gelar itu adalah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Gelar yang hendak diberikan adalah “Turiang Na Gasing Langi’, Bangkulla’ To Palullungan, Santung To Lindo Na Bulan”, yang artinya yakni pemimpin yang bertalenta, berkarakter memperoleh karunia dari Tuhan Semesta Alam, penuh kearifan, bagai bulan di langit, memberi pengayoman, kesejukan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Ketika sang presiden tiba di lokasi pemberian gelar, suara suling Todolo diperdengarkan. Sejumlah gadis-gadis lalu menampilkan Tarian Pa’gellu, yang biasanya ditampilkan ke hadapan tamu-tamu kehormatan. Sang penerima gelar disambut dengan arak-arakan Lettoan. Tarian ini menampilkan usungan hewan piaraan yang bermakna menjadikan harapan agar keluarga diberkati Tuhan. Selanjutnya, kalimat sastra Toraja yakni Singgi dibacakan.

Sang presiden lalu menerima Labo Pinai (Parang khas Toraja) dan Piagam Singgi yang diberikan oleh Bupati Tana Toraja. Sementara istri Presiden menerima Sarong (topi caping) yang diberikan sebagai tanda penghormatan Maka lengkaplah proses pemberian gelar adat tersebut.

Opera politik yang berisi puja-puji ini belum usai. Keesokan harinya, sang presiden dan rombongan, yang beranggotakan sejumlah menteri itu, berangkat ke Palopo. Nampaknya, pihak pemerintah daerah Palopo tak hendak kalah dengan rekannya di Toraja. Di Istana Luwu, pangung besar disiapkan. Sang presiden akan duduk di pelaminan bersama istri, kemudian menyaksikan banyak proses adat.

Ia akan menerima gelar adat dari Kedatuan Luwu, yaitu Anakaji To Appamaneng RI Luwu. Gelar ini memiliki arti pemimpin pemersatu dua kerajaan dan pembawa amanah kebesaran Kerajaan Luwu. Sementara Ani Yudhoyono akan menerima gelar adat We Tappacina Wara-Wara'e, yaitu Permaisuri Datu Luwu Anakaji asal Majapahit, yang bermukim dan membawa perubahan di Tanah Luwu.

Di tanah air kita, pemberian gelar adat menjadi hal yang lazim untuk diberikan kepada seorang presiden. Sebelum Toraja dan Luwu, Presiden SBY telah pula menerima gelar-gelar adat dari banyak tempat yakni masyarakat adat Batak, Banjar, Melayu, hingga banyak daerah lainnya. Entah apa maksudnya, pemberian gelar adat itu selalu diberikan kepada pemimpin tertinggi Indonesia sebagai penghargaan bahwa sososk itu telah berbuat banyak bagi kemajuan daerah.

saat duduk di pelaminan untuk menerima gelar adat Luwu (foto: Bang ASA)

Lantas, bagaiamanakah memahami ritual pemberian penghargaan bagi presiden, Apa makna yang bisa disibak dan didedah bersama-sama?

Pertama, pemberian penghargaan adat itu seolah menegaskan bahwa pemerintah sangat memperhatikan masyarakat adat di banyak daerah. Apakah demikian? Faktanya, masyarakat adat tidak pernah benar-benar diakui eksistensinya. Sejak pemerintah NKRI berdiri, masyarakat dan komunitas adat hanya menjadi penonton yang berdiri di pinggiran. Peran mereka dipangkas habis. Mereka tak punya wewenang, kuasa, bahkan hak-hak atas tanah yang mereka warisi dari nenek moyangnya. Mereka ibarat kerakap di atas batu yang hidup segan dan mati tak mau. Di satu sisi hendak melestarikan budaya, di sisi lain pemerintah justru hendak menenggelamkan mereka. Mereka dibisukan sejarah. Mereka tak punya suara, bahkan di saat pemerintah pusta sibuk menjual semua aset-aset wilayah ke tangan warga asing atau para konglomerat tambang.

Peran komunitas adat diturunkan menjadi tontonan atas nama pariwisata. Mereka diminta menampilkan tarian bagi sang pemimpin. Ritual adat direndahkan maknanya, yang tadinya berguna untuk memahami makna semesta serta menyadari posisi manusia sebagai bagian dari keseimbangan alam, kini menjadi ritual yang ditampilkan di hadapan wisatawa atau orang yang akan menerima gelar adat. Tak ada lagi getar dan makna yang hadir dalam kalbu, ketika ritual itu kemudian dipotret lalu ditampilkan di akun instagram oleh ibu negara.

Kedua, ada logika yang hendak dibangun bahwa negara, dalam hal ini presiden, telah berbuat banyak bagi masyarakat daerah. Buktinya adalah masyarakat adat memberikan gelar-gelar penghormatan. Padahal, tak banyak jejak pemerintah pusat atas pembangunan dan eksistensi masyarakat adat. Infrastruktur di kawasan timur Indonesia amatlah parah. Sungguh ironis ketika menyadari bahwa infrastruktur jalan di kawasan Toraja dan Luwu, yang notabene memberikan gelar adat, justru paling parah, sehinga kesejahteraan ekonomi warganya jalan di tempat.

Pemberian gelar adat itu seolah menegaskan bahwa pemerintah berkontribusi besar pada pelestarian budaya daerah. Padahal, pemerintah justru tak punya visi untuk menjaga eksistensi kebudayaan. Hampir setiap hari kita mendengar ada bahasa lokal dan tradisi yang punah. Di tengah masyarakat yang mendamba pda budaya asing dan budaya global, budaya daerah kian terabaikan sebab tak pernah dijadikan sebagai elan vital dalam mengembangkan ekonomi.

gelar adat Banjar untuk SBY, setahun silam

Ketiga, pemberian gelar adat itu semakin menunjukkan betapa narsisnya pemerintah kita hari ini. Tak ada artinya mengoleksi demikian banyak gelar adat dan bintang kehormatan kalau di sana-sini terdapat kemiskinan dan keterbelakangan. Apalah guna menyaksikan ritual pemberian gelar di satu daerah yang warganya banyak terkena gizi buruk, serta masih banyak yang tak sanggup mengakses pelayanan kesehatan dasar. Rasanya, ada banyak prioritas lain ketimbang menerima perlakuan sebagai warga kehormatan, yang kemudian duduk di atas singgasana, di tengah wilayah yang warganya masih menggantungkan hidup pada sawah tadah hujan.

Kebudayaan kita berkembang ke arah yang sedemikian narsis dan kehilangan substansi. Kita suka menggelar ritual, tapi lupa menanyakan tentang makna. Ketika seseorang menerima gelar adat, kita tak pernah merumuskan apa kriteria serta prasyarat pemberian gelar itu. Publik tak diberi kesempatan untuk merumuskan apakah gerangan kontribusi yang telah diberikan. Gelar adat itu menjadi hampa makna, sesuatu yang mudah diberikan, dan setelah itu mudah dilupakan begitu saja. Lantas, apakah gelar itu masih tetap akan diberikan ketika indikator kerja-kerja seseorang buruk di mata publik?

Perangkat sistem adat yang memiliki denyut nadi sendiri telah diporak-porandakan oleh kepentingan politik. Adat dan budaa menjadi tunduk pada ranah politik. Demi melayani syahwat politik, adat mesti mempersembahkan sesuatu yang kemudian membahagiakan sang kepala negara. Meskipun, tak jelas benar apa kriteria yang membuat seseorang dianggap layak menerima gelar adat.

Keempat, jangan-jangan pemberian gelar adat itu adalah olok-olok yang diberikan rakyat kepada pemerintah pusat. Buktinya, seusai menerima gelar adat di Toraja, sang presiden lalu menjanjikan perbaikan infrastruktur pariwisata, khususnya perbaikan jalan. Pertanyaan kritis yang kemudian muncul, mengapa pemerintah justru hendak memperbaiki semua infrastruktur jalan seusai menerima gelar adat? Bisakah kita mengatakan bahwa pemberian gelar adat itu amat efektif untuk ‘membahagiakan’ pemerintah yang kemudian segera turun tangan untuk menjalankan tugasnya? Entahlah.

Inilah zaman hari ini. Kita tengah berada di zaman yang kehilangan makna. Gelar adat pun tak lagi sakral. Ketika hari ini si A datang, maka ia akan menerima gelar. Ketika besok si B yang datang, maka lagi-lagi akan ada pemberian gelar. Tentu saja, seusai pemberian gelar akan ada proposal yang diajukan, dana mengucur, serta banyak tawa di lingkup pemerintah daerah, kontraktor, dan investor.

Sementara masyarakat adat hanya bisa gigit jari sembari mengenang kejayaan nenek moyangnya.



Potret Sosial di Gedung Rektorat


gedung rektorat IPB yang megah


DI tengah kawasan Darmaga, berdiri megah kampus Institut Perrtanian Bogor (IPB), sebuah kampus yang disebut-sebut sebagai kampus pertanian terbesar di Asia Tenggara. Sebagaimana kampus lainnya di Indonesia, aku tak terkejut ketika diberitahu bahwa gedung terbesar yang terletak di tengah pusat perkuliahan adalah rektorat.

Ketika menyaksikan bangunan rektorat yang megah itu, tiba-tiba saja aku dihinggapi pertanyaan, mengapa kampus-kampus di tanah air selalu menjadikan rektorat sebagai bangunan paling megah? Mengapa kampus-kampus kita tidak menjadikan perpustakaan sebagai bangunan paling megah dan paling lengkap, sebagaimana kampus-kampus di luar negeri? Bisakah kita melihat cermin sosial kita di situ?

Aku tak sedang membual. Ketika belajar di Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Indonesia (UI), bangunan paling megah adalah rektorat. Di gedung yang memiliki banyak lantai itu, rektor bersemayam dan menjalankan roda pemerintahan di kampus. Anehnya, banyak lantai lain di gedung itu yang justru kosong-melompong. Tak ada aktivitas sama sekali.

Di kampus Unhas, aku masih ingat persis bahwa rektor berada di lantai tiga. Ketika masih kuliah, aku dan kawan-kawan sengaja mengeraskan TOA agar suara kami bisa sampai ke lantai tiga. Kami tak peduli dengan lantai lain, sebab kami meyakini bahwa tak ada yang penting di situ. Palingan para pembantu rektor yang bertugas untuk sekadar menjalankan apa yang diinginkan oleh sang rektor, sang pemimpin tertinggi.

berpose di kampus IPB

Demikian pula dengan kampus-kampus lain yang kusaksikan, yakni beberapa universitas swasta di Jakarta, juga kampus di kawasan timur. Entah kenapa, rektorat selalu terletak di tempat paling strategis sehingga mudah ditemukan. Padahal, jika dipikir-pikir, justru mahasiswa dan civitas academica tak punya banyak kepentingan di rektorat.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

Sungguh berbeda dengan pemandangan yang ada di kampus-kampus luar negeri. Ketika singgah ke Universitas Harvard di Boston, yang disebut-sebut sebagai kampus terbaik di dunia, gedung paling besar dan megah adalah perpustakaan. Segala jenis buku bisa dengan mudah ditemukan di situ. Bahkan perpustakaan juga menyediakan meja kerja dan bilik bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan tugas akhir.

Demikian pula dengan apa yang kusaksikan di Ohio. Gedung perpustakaan menjadi jantung dari kegiatan universitas. Gedung rektorat adalah gedung tua yang kecil, dan tak banyak aktivitas. Tak jauh dari situ, ada administration office yang menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengurus beragam kepentingan yang terkait kuliah.

Di luar negeri, gedung terbesar di dalam kampus adalah perpustakaan sebab berdasar pada keyakinan bahwa perpustakaan merupakan jantung kegiatan akademis. Perpustakaan bukan saja jadi tempat membaca, tapi juga menjadi arena diskusi, pertukaran gagasan, serta memfasilitasi berbagai kegiatan akademik. Malah, perpustakaan juga menyediakan beragam peralatan audiovisual. Keren khan?

perpustakaan Universitas Harvard yang megah

Nah, kembali ke pertanyaan awal, mengapa gedung terbesar di kampus kita adalah rektorat? Aku punya beberapa dugaan.

Pertama, kampus-kampus kita tak serius untuk membangun tradisi akademik. Buktinya, amat jarang kita menemukan kampus yang membangun perpustakaan yang hebat sehingga menjadi tempat bagi siapapun untuk mengakses pengetahuan. Insan kampus hanya peduli pada kekuasaan. Inilah sebab mengapa di kampus-kampus, tema paling sering dibahas adalah politik yakni pemilihan rektor, dekan, atau kepala program studi. Banyak pula warga kampus yang lebih suka bahas politik lokal ketimbang ranah ilmu yang menjadi arena pengabdiannya.

Kedua, kampus kita masih mewarisi cara berpikir ala feodal, yang masih menganggap kekuasaan adalah segala-galanya. Kampus kita ibarat keraton di zaman-zaman kuno yang menjadi simbol dari suatu wilayah. Keraton menjadi wilayah penting yang dijaga dan dilayani oleh seluruh warga kerajaan. Para raja menempati posisi khusus yang segala gembira-sedihnya bisa membawa pengaruh bagi alam semesta.

Hari ini, cara berpikir feodal itu dengan mudahnya kita temukan di kantor-kantor pemerintah. Hingga kini, bangunan paling megah di kantor pemerintah adalah kantor bupati atau kantor gubernur, yag notabene adalah tempatnya para penguasa wilayah. Jika hakekat pemerintahan adalah pelayanan publik, maka sungguh ironis ketika menyaksikan kantor-kantor pelayanan justru kantor yang sempit dan amat tak memadai.

di sudut kampus IPB
pemandangan dari rektorat

Ketiga, kampus-kampus kita menjadi lembaga yang mereproduksi hierarki dan ketidaksetaraan di masyarakat. Di satu sisi, kampus hendak mengajarkan budaya ilmiah dan demokratis di mana semua orang memiliki kesesamaan ketika meniti di altar pengetahuan. Tapi di sisi lain, kampus juga melestarikan pandangan yang melihat orang lain berdasarkan gelar dan posisi. Buktinya, banyak gelar profesor yang kemudian diangkat menjadi pimpinan tertinggi, yag kemudian ketika berjalan, semua orang akan menunduk.

Sebagai orang yang pernah belajar di kampus, aku memendam harapan agar kampus menjadi kawah yang mereproduksi nilai bagi dunia sosial kita. Sejak dulu aku menginginkan agar kampus menjadi penjaga gawang nilai tempat seluruh nilai-nilai baik dipertahankan. Tapi entahlah. Berbagai fenomena belakangan ini kian membuatku ragu apakah kampus masih bisa jadi cermin ideal. Semoga saja aku salah.




Membaca The House of Hades


serial the heroes of olympus

AKU seorang pengemar fiksi, khususnya fiksi petualangan. Pada setiap kisah petualangan, kutemukan imajinasi yang menjadi kendaraanku untuk berkelana. Melalui imajinasi, jantungku berdetak mengikuti irama petualangan, menyusuri negeri-negeri terjauh, lalu kembali berpijak ke bumi, dan membawa banyak kisha tentang penjelajahan.

Setelah kisah Harry Potter tamat, aku mulai memfavoritkan kisah petualangan Percy Jackson. Dahulu, kuanggap Harry Potter adalah kisah terbai yang tak ada duanya. Kini, setelah membaca serial The Heroes of Olympus dari Percy Jackson, aku mulai merevisi anggapan tentang Harry Potter. Kuanggap kisah Percy lebih menantang, lebih mendebarkan, dan lebih membuatku terpaku sampai-sampai membaca kisah itu pada kesempatan pertama.

Kemarin, aku membeli buku The House of Hades yang merupakan bagian dari kisah The Heroes of Olympus. Kisah ini adalah kelanjutan dari The Lost Hero, The Son of Neptune, dan Mark of Athena. Pengarang buku ini, Rick Riordan, membuat buku yang berlatar mitologi Yunani dan Romawi. Aku akhirnya belajar ulang bahwa ada kemiripan antara dua mitologi ini, namun hadir dengan nama-nama yang berbeda.

Aku pencinta berat karya Rick Riordan yang selalu mengolah berbagai mitos dan legenda menjadi kisah yang mendebarkan. Ada kemiripan antara tokoh Harry Potter (yang diciptakan JK Rowling) dan karakter Percy. Keduanya sama-sama tumbuh seiring waktu. Hanya saja, petualangan Harry Potter hanya ada dalam tujuh buah buku, maka Percy lebih panjang. Setelah sebelumnya terbit lima seri petualangan Percy Jackson and The Olympians, maka kini ada lagi lagi The Heroes of Olympus yang sudah mencapai buku keempat. Kisahnya jadi lebih dinamis.

Setiap kali membaca, setiap kali pula aku merasa iri dengan kemampuan Rick Riordan untuk merawa semua dongeng dan kisah-kisah mitologi. Aku melihat bahwa bahan-bahan untuk menyusun kisahnya justru diambil dari khasanah mitos serta legenda yang kemudian dikemas ulang menjadi lebih menarik dan lebih bertenaga.

Yang sering kupikirkan adalah mengapa tak banyak yang suka fiksi petualangan di tanah air kita? Apakah kita tak paham kalimat Einstein bahwa imajinasi jauh lebih penting dari ilmu pengetahuan? Bahwa imajinasi ibarat sayap yang akan membawa kita untuk terbang dan melintasi semua mega-mega pengetahuan?


Kita memang tak menghargai imajinasi, sebagaimana bisa ditemukan dalam berbagai mitos, legenda, dan cerita rakyat. Padahal, bangsa-bangsa seperti Amerika Serikat dan Inggris justru menemukan karakter bangsa melalui kisah mitologis tersebut. Ternyata, kisah ini bisa pula menjadi kisah yang laris-manis jika dikemas menjadi bacaan yang menarik dan mengasyikkan bagi kalangan muda.

Pelajaran berharga dari serial Percy Jackson dan Harry Potter adalah segala dongeng dan cerita di sekitar kita bisa menjadi bahan mentah untuk dikembangkan menjadi cerita yang menarik. Kita hanya butuh satu kejelian untuk menangkap ide, lalu menjejalkannya dalam naskah cerita.

Sejak dahulu, aku merindukan adanya kisah semacam Harry Potter atau Percy Jackson yang bahan bakunya adalah semua dongeng-dongeng Nusantara. Dengan begitu banyaknya suku bangsa di tanah air, maka mestinya para penulis atau sineas kita tak akan pernah kehabisan ide sebab kebudayaan bisa menjadi mata air yang mengalirkan gagasan-gagasan.

Belakangan, ada upaya untuk mengolah semua dongeng kita  untuk menjadi konsumsi layar kaca. Sayangnya, kisahnya amat kedodoran dan terlampau mudah ditebak. Tak ada teka-teki atau puzzle yang membuat jantung pembaca senantiasa berdetak sehingga tak sabar untuk menyaksikan kelanjutan kisah ini.

Percy Jackson dalam film

Mungkin kita tak begitu percaya diri dengan kekuatan gagasan yang muncul dari khasanah budaya kita. Kita lebih sering berkiblat ke barat atau negara-negara Asia Timur sebagaimana Jepang dan Korea. Kisah-kisah dari banyak negara itu yang kemudian dikloning, dengan risiko besar akan gagal serta dicap tidak orisinil. Padahal, dengan kembali pada khasanah tradisi, maka kita akan menemukan sungai kisah-kisah yang tak pernah berkesudahan.

Yah, semoga saja ada penulis yang bisa mengolah semua kekayaan legenda tersebut menjadi kisah yang lebih bertenaga. Jika tak ada, aku akan memberanikan diri untuk menuliskannya. Meskipun untuk itu, aku mesti belajar banyak tentang bagaimana menulis fiksi petualangan.



Nikmat Kopi Pangku di Kota Bogor


ilustrasi

PARA lelaki itu datang bersama belasan rekannya. Mereka adalah rombongan dari Mamasa, sebuah daerah yang amat eksotik di Sulawesi Barat, yang hendak menjalin relasi dengan satu pusat studi di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara kebetulan, aku ikut dalam pertemuan mereka dengan Rektor IPB dan ketua pusat studi. Kulihat mereka lebih banyak diam.

Pada mulanya, suasana agak kaku. Kami membahas hal-hal yang serius mengenai pembangunan dan keterisolasian. Para lelaki dari Mamasa itu mengaku amat terisolasi. Lama tempuh dari kota Makassar ke Mamasa adalah sembilan jam. Pembangunan tak banyak menyentuh wilayah yang kebanyakan didiami oleh etnik Mamasa, yang bersaudara dengan etnik Toraja itu. Sayangnya, dialog itu agak monoton. Barangkali hanya ada dua atau tiga orang yang bersemangat untuk bercerita. Lainnya hanya terdiam sembari mengangguk-angguk seakan mengerti.

Mereka lalu menghadiahkan beberapa bungkus kopi Mamasa yang terkenal itu. Mamasa memang amat kondang dengan kopinya yang amat nikmat. Seorang penikmat kopi mengatakan kopi Mamasa sangat khas dan tak ada samanya. Ketika seorang dari mereka sibuk membahas kopi, langsung saja kukisahkan tentang jenis kopi nikmat di Bogor yang tak ada di Mamasa. Hah?

Mereka penasaran. Kali ini aku sukses membuat mereka terpana dan penasaran. Dalam dunia diplomasi dan negosiasi, aku telah unggul selangkah. Aku lalu menyebut “Kopi Pangku” yang dengan mudahnya di temukan di kawasan Puncak. Mendengar kata kopi pangku, mereka lalu tersentak, kemudian tertawa terbahak-bahak. Mereka tetap penasaran. Kusebutkan bahwa ketika meminum kopi pangku, maka kopinya tak penting. “Yang bikin penasaran adalah sosok yang dipangku serta apa yang dilakukan di situ.”

Pembicaraan langsung cair. Kami tiba-tiba saja menemukan satu gelombang yang sama. Benar ungkapan seorang pakar komunikasi, bahwa ketika kita menemukan satu tema bersama yang sama-sama membangkitkan minat, maka pembicaraan akan menjadi sangat lancar. Kami bersama-sama merencanakan berbagai riset serta program yang semoga bisa melepas keterisolasian daerah itu.

Sejatinya aku tak paham apakah gerangan kopi pangku itu. Seorang sahabat bercerita bahwa di kawasan Puncak, Bogor, ada banyak warung-warung yang menyediakan kopi pangku. Disebut pangku karena para lelaki yang meminum kopi akan duduk sambil memangku seorang perempuan. Aku tak perlu menjelaskan lebih jauh, karena semua orang sudah tahu apa yang mereka lakukan. Biasanya, usai memangku akan dilanjutkan dengan sama-sama menghilang di balik tirai. Entah apa yang mereka lakukan di situ.

Beberapa praktisi pendidikan dan pemerhati moral telah mengungkapkan keprihatinan atas fenomena kopi pangku. Tapi mereka tak sanggup berkata apapun ketika dihadapkan dengan pertanyaan bagaimana mengatasi problem ekonomi yang tengah melanda para perempuan yang kerap dipangku tersebut. Tanpa pembenahan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, maka fenomena kopi pangku akan terus marak, tanpa bisa dikendalikan.

Selagi asyik membahas kopi pangku itu, tiba-tiba saja seorang dari rombongan Mamasa itu bertanya, “Apakah kopi yang diminum saat memangku itu adalah kopi Mamasa?” Aku lalu terdiam sejenak kemudian tersenyum. Bagiku, apapun jenisnya, rasa kopi selalu nikmat. Namun, ada saja yang memberi label kopi dengan hal lain semisal pangku-memangku. Entah, apakah ada nikmat di situ. Terhadap pertanyaan itu, aku menjawab, “Nampaknya bapak harus membuktikan sendiri. Kapan mau ke sana?”

Kali ini kami semua tergelak.



Api Amarah, Embun Ketenangan


ilustrasi

BETAPA seringnya aku menyaksikan amarah. Betapa seringnya aku melihat orang yang tiba-tiba murka, menyalahkan keadaan, meledakkan amarah kepada orang lain, setelah itu menyalahkan diri sendiri. Rasa amarah itu kemudian menjadi belati yang menyakiti diri sendiri.

Aku pun kerap dihinggapi rasa amarah. Seringkali, pikiran dipenuhi rasa jengkel sehingga amarah meledak. Pada saat-saat seperti ini, nalar jadi hilang. Rasio tiba-tiba saja lenyap. Kita sering tunduk pada rasa amarah yang tiba-tiba saja mengambil kendali atas diri kita.

Sering kupikir mengapa harus ada amarah. Mengapa pula Tuhan harus menciptakan amarah, yang kemudian menguasai jiwa dan pikiran manusia? Apakah amarah selalu negatif sehingga bisa merusak diri seseorang?

Pengetahuan modern bisa menyebabkan manusia melesat jauh hingga mencapai bulan. Akan tetapi pengetahuan itu tak selalu bisa mengajarkan manusia bagaimana mengendalikan amarah. Pengetahuan membuat kita cerdas, namun tak selalu bisa membuat kita untuk tenang serta mengendalikan diri.

Dalam kisah-kisah pendekar, mereka yang sakti mandraguna adalah mereka yang jarang memelihara amarah. Biasanya, mereka yang sakti cenderung tenang, tak banyak memamerkan kesaktiannya. Kalaupun harus berkelahi, maka biasanya mereka tak akan melakukannya ketika marah. Sebab amarah bisa membuatnya kehilangan ketenangan dalam membaca gerakan lawan. Pertarungan terbaik akan dimenangkan dalam keadaan tenang. Tanpa beban.

Aku tak tahu bagaimana mengendalikan amarah. Seorang bijak pernah mengajariku cara mengandalikan amarah. “Ketika kamu marah, segera tarik napas panjang, kemudian berdiam diri. Kendalikan semua amarah melalui bernapas dengan teratur. Setelah itu, berpikirlah dengan tenang. Pikirkan segala hal-hal baik yang menyenangkan hati. Yakinlah, saat itu kamu akan mendapatkan ketenangan,” katanya.

Pesan ini serupa embun sejuk yang membasahi pikiranku. Jika marah terkait dengan tidak stabilnya gelombang otak, maka penyembuhannya adalah dengan membuatnya stabil. Pantasan orang tua mengajarkan bahwa dalam keadaan amarah, segera berwudhu kemudian salat. Dalam konteks ini, salat menjadi medium untuk meredam segala amarah. Melalui doa, seseorang akan menenangkan diri, menemukan sisi paling sejuk dalam dirinya, kemudian memasrahkan diri pada sang pencipta.

Dalam berbagai keyakinan, ada banyak cara untuk mengendalikan amarah. Biksu Ajahn Brahm yang mengajarkan meditasi untuk menstabilkan pikiran. Ketika marah hadir, ia akan menenangkan diri. Ia menghadirkan embun ketenangan, yang serupa api kemudian memadamkan semua amarah. Ia mengubah semua rasa geram dan kejengkelan menjadi rasa penerimaan yang tinggi sekaligus membangun benteng keikhlasan untuk menerima apapun yang terjadi. Pada titik ini, amarah akan menjelma menjadi keikhlasan.

Ada banyak cara untuk mengendalikan rasa marah. Banyak di antaranya menganjurkan ketenangan serta tidak larut dalam lautan amarah itu. Yang terpenting adalah bagaimana sesegera mungkin menghadirkan keihlasan, yang kemudian menjadi embun dan memadamkan semua amarah. Semua orang bisa menemukan cara-cara sendiri untuk mengatasi marah. Tak selalu meditasi. Bahkan permenungan sekalipun bisa menjadi embun yang mengatasi dahaga kemarahan.

Buat kalian yang membaca tulisan ini. Apakah kalian pernah mengalami amarah? Bagaimanakah cara kalian mengendalikan rasa amarah itu?

Kisahkan pengalaman itu di kolom komentar.




Resensi Bukuku (2)



KEMBALI, aku menemukan sebuah resensi atas bukuku di blog pribadi. Resensi ini dtulis oleh Angelia Yulita, seorang mahasiswi Universitas Al Azhar, Jakarta. Aku berusaha menemukan data dirinya. Sayangnya, Paman Google tak banyak memberikan jawaban. Namun aku menemukan informasi kalau beliau pernah memenangkan lomba sekelas Olimpiade bidang biologi. Semoga tak keliru.

Terhadap semua resensi, aku diliputi rasa gembira dan bahagia. Aku senantiasa mengamini kata-kata seorang penulis bahwa kebahagiaan terbesar para penulis tidak terletak pada seberapa besar royalti, melainkan pada sekeping kenyataan, ketika seseorang membaca lalu mengamini gagasan yang pernah kau torehkan. Bahagianya berlipat-lipat ketimbang materi.

Berikut resensi yang dibuat oleh Angelia Yulita, sebagaimana bisa dibaca DI SINI. Jika Angelia Yulita membaca catatan ini, kuucapkan banyak terimakasih. Aku juga memohon maaf karena tulisannya dimuat di blog ini. Aku ingin mengabadikan catatan dari semua teman dan sahabat yang secara kebetulan membaca kalimat-kalimat yang kugoreskan. Terimakasih.


Kopi Sumatera di Amerika... Sehangat dan Senikmat Kopi Sumatera


Hai teman-teman setanah air!

Kopi Sumatera di Amerika... Sudahkan kalian membacanya? Jika diantara kalian belum pernah ada yang mendengar judul buku tersebut, atau ada yang baru saja hendak membelinya tapi masih menimbang-nimbang, maka kini aku di sini untuk meyakinkan kalian. Kopi Sumatera di Amerika karya kompasianer terkemuka Yusran Darmawan sungguh layak bagi setiap lembaran rupiah dan waktu yang akan kalian habiskan untuk membacanya!

Aku selalu mengapresiasi tinggi akan tulisan tangan hasil buah pikir cemerlang dari pemuda Indonesia. Mereka yang berlatar belakang dari keluarga yang biasa saja; mereka yang sesungguhnya mampu melihat jauh lebih luas dari kota kecil tempat kelahiran mereka; yang menyimpan hasrat dan mimpi sedemikian besar terhadap dunia pendidikan; mereka yang sesungguhnya adalah permata negeri ini. Bukan karena kerupawanan atau kekayaan mereka. Namun intelektualitas dan ideologi mereka yang kemudian menghadiahkan negeri ini satu hal yang amat penting... Inspirasi. Yusran Darmawan, tanpa ragu aku katakan, adalah salah satu pemuda itu.

Membaca buku ini sedari awal telah membuatku tersenyum. Sejak mengambilnya dari salah satu rak buku di Gramedia, aku tidak memiliki bayangan seperti apa isinya nanti. Aku juga tidak tahu siapa itu Yusran Darmawan. Pada sampul buku bernuansa cokelat itu, hanya sepenggal frasa tentang sang penulis: Kompasianer of The Year 2013. Kemudian dari balik sampul buku, aku mengetahui kalau si penulis ini adalah seorang blogger yang karena alunan kalimatnya yang khas, telah menarik perhatian banyak pihak dan berhasil memenangkan beasiswa ke Universitas Ohio di Amerika. Saat itu, aku memutuskan akhirnya membeli buku ini karena dua hal: aku sendiri kepingin banget dapet beasiswa ke Amerika jadi ga ada salahnya membaca kisah pemuda Indonesia yang berhasil melakukannya dan... Kopi! Aku yang adalah perempuan pecinta kopi, aku pikir ini adalah sejenis buku yang memuat kisah perjalanan kopi tradisional Sumatera yang menginvasi citarasa orang Amerika. Aku tentu tertarik. Lalu setelah lembar demi lembar aku membaca, aku sadar tidak ada paparan rinci tentang kisah perjalanan kopi yang aku kira sebelumnya.

Tapi satu hal yang aku rasakan, membaca buku ini rasanya memang seperti minum kopi. Hangat, nikmat, dan selayaknya kopi yang menjadi sahabat bagiku kala pekerjaan menumpuk (atau ketika menulis ini), aku telah tersenyum, tertawa, juga menangis bersama buku ini. Seperti bersama seorang sahabat. Kini ketika usai aku membacanya, tersisa perasaan yang tenteram dan menyenangkan... Sebuah harapan. Mungkin karena Yusran adalah refleksi dari apa yang aku harapkan mampu aku lakukan, yakni seseorang yang ngotot bekerja keras sehingga tantangan sesulit apapun pada akhirnya membuahkan berkah.

Buku ini memiliki enam bagian utama: prolog dan lima bab isi. Pada prolog aku menjadi lebih mengenal Yusran Darmawan. Sejatinya ia hanya seorang pemancing ikan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ayahnya juga bukan professor lulusan Harvard, tetapi hanya seorang guru biasa. Bukankah profil seperti ini juga dimiliki oleh jutaan anak lainnya di Indonesia? Bahkan mungkin ada diantara kalian yang membaca tulisanku sekarang. Satu hal lagi yang membuat Yusran Darmawan sama dengan kita semua adalah ia pun seorang pengkhayal dan penakut!

Ia kerap memimpikan bisa kuliah di luar negeri; mengkhayalkan bahwa dirinya cukup beruntung untuk bisa mewujudkan mimpi itu, tetapi juga kian pesimis terhadap dirinya sendiri. Ia pun merasakan takut bahwa mungkin peluang yang ia harapkan tak pernah datang. Dan inilah titik baliknya. Pada akhirnya ia tidak membiarkan rasa takut dan pesimis menggerogoti kehidupannya. Ia melangkah dan mencoba peruntungannya sendiri. Satu langkah maju inilah yang kemudian mengantarkannya sebagai salah satu dari 50 penerima beasiswa International Fellowship Program (IFP) dari Ford Foundation. Dan dimulailah perjalanannya ke negeri Paman Sam.

Ia yang sempat tertimpa sial dan kena omelan isteri karena hilangnya tas ransel berisi laptop dan berbagai dokumen penting sesaat sebelum ia berangkat. Ia yang sempat dicurigai oleh pihak imigrasi Amerika karena namanya yang berbau Arab. Ia yang memulai studinya dengan bahasa Inggris pas-pasan. Lalu kemana semua sandungan itu membawanya? Sudah kubilang ia ini ngotot bekerja keras bukan? Maka sebagai hasil kengototannya itu, ia selalu memperoleh nilai terbaik di setiap subjek kuliah yang diambilnya. Dan jangan lupa... Ia kini seorang penulis yang kian disegani! Baik di dalam dan luar negeri. Apa yang terjadi padanya sungguh serupa dengan kalimat bikin-bikinan ku sendiri: Curiosity and passion to learn make Da Vinci.

Bagian pertama dari buku ini berjudul Menjemput Takdir. Halaman demi halaman dari bagian ini membuatku tersenyum dan seringkali terpingkal. Secara lugas Yusran menceritakan kesulitan dan kesialannya setelah meneguhkan niat untuk terbang ke Amerika demi cita-cita yang susah payah diraihnya. Pada bagian ini pula ia menyelipkan bab yang menyemangati kita untuk tidak perlu takut akan kendala bahasa. "Bahasa Inggris Hancur, Cumlaude di Amerika". Judul bab yang amat menggugah sekali bukan! Dan aku terlebih lagi berhasil termotivasi oleh Yusran. Bagaimana tidak? Kuliah dalam negeri yang pakai bahasa Indonesia saja aku ga berhasil cumlaude. Apalagi yang berbahasa Inggris?

Oh tapi tunggu dulu, mungkin memang benar kendalanya bukanlah bahasa. Karena di bagian ini Yusran menceritakan pula perbedaan atmosfer akademik antara Amerika (lebih tepatnya di universitasnya tempat ia belajar) dan Indonesia. Ini sepenggal kata-kata yang aku suka: "Di beberapa kampus di Tanah Air, ujian menjelma sebagai pengadilan atas mahasiswa. Ujian akhir menjadi pembuktian apakah mahasiswa layak melangkahkan kaki di semesta kehidupan.". Nah bagaimana menurut kalian? Kalau menurutku sih, sepertinya bukan hanya di beberapa kampus ya Mas Yusran. Hampir semuanya sepertinya.

Memasuki bagian kedua buku, ini yang paling kusuka: Ada Indonesia di Negeri Paman Sam. Pada bagian ini aku tergugah betapa Indonesia sungguh sangat diminati oleh penduduk negeri adidaya itu! Seorang professor di Universitas Ohio, Prof. William Condee, yang sampai ke Bali demi belajar pementasan wayang, lalu pulang kembali ke negerinya dan mementaskannya sendiri sebagai dalang! Betapa mengagumkan komitmen seperti itu.

Belum lagi banyaknya bule-bule yang senang belajar bahasa Indonesia. Bahkan salah seorang dari bule-bule itu meyakini bahwa kelak bahasa Indonesia akan menjadi bahasa internasional karena penuturnya terbanyak keempat di dunia. Tidak berhenti sampai di situ saja, aku tersenyum lebih dalam lagi saat Yusran menceritakan literatur-literatur dari Indonesia yang terpelihara rapi di perpustakaan-perpustakaan Amerika. Terjejer secara terhormat pada rak yang bersih dan berpernis. Diantaranya bahkan ditemukan komik mahakarya dari sang komikus Indonesia RA Kosasih!

Balik membalik halaman di bagian kedua buku ini, akhirnya sampai juga aku di bab yang awalnya kukira adalah topik utama buku ini: Kopi Sumatera di Amerika. Tak terbayangkan betapa bangganya aku ketika mengetahui kalau kopi Sumatera merupakan menu kopi andalan di kafe mumpuni seperti Starbucks dan di kedai-kedai kopi lainnya di Amerika. Tapi semuanya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ketika mendengar penduduk asing di sana mengagumi sosok Presiden pertama kita, Pak Sukarno.

Bagian kedua ini tak lain juga adalah bahan perenungan dari Yusran untuk kita anak-anak Indonesia. Ketika orang-orang asing begitu mengagumi seni budaya kita, mengagumi keberagaman suku dan adat-istiadat kita, mengagumi bahasa kita, bahasa Indonesia... Kita yang berdiam di negeri ini malah terbawa arus modernisasi dan sontak menganggap kekayaan budaya kita sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Seni tari, alat musik daerah, ritual keagamaan suku pedalaman... Sebagian besar kini hanya bernapas lewat panggung festival dan bukan lagi terpelihara sebagai tradisi. Sebagian lagi bahkan berusaha kita matikan karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan. Lantas siapakah kita hendak menghakimi mereka dan mengajarkan mereka tentang sebuah norma?

Masih pada bagian kedua buku ini, Yusran menyisipkan pula pengalamannya sebagai seorang Muslim di Amerika. Bagian ini mungkin adalah rekomendasi utama untuk teman-teman Muslim ku di Universitas Al Azhar Indonesia dan juga untuk kalian semua para Muslim yang membaca tulisan ku. Yusran memberikan gambaran tentang kehidupan sebagai Muslim di Amerika yang mungkin belum banyak diketahui teman-teman. Tentang betapa ketatnya pengawasan terhadap penganut Muslim sejak peristiwa penabrakan pesawat ke menara WTC yang didalangi teroris tak bermoral dan tak bertanggung jawab.

Tentang sepinya suasana puasa dan lebaran di Amerika sana. Tanpa parade, perayaan dan kembang api yang riuh. Tentang sulitnya mencari masjid untuk shalat. Namun diantara semuanya itu, kaum Muslim di Amerika menjadi semakin solid dan nyata dalam mengkampanyekan sisi indah dari Islam itu sendiri. Mereka semua semakin kuat bergandengan tangan untuk bertahan dari prasangka banyak pihak. Sungguh disayangkan memang prasangka dan kecurigaan itu masih cukup kental di Amerika. Tapi mungkin luka penduduk negeri itu akibat serangan 9/11 telah menjadi monumen peringatan bagi mereka bahwa sejarah tidak boleh terulang. Aku sendiri berharap, kelak perbedaan antar manusia dapat menjadi kepingan puzzle yang akhirnya saling melengkapi dan menghasilkan lukisan besar nan indah.

Dari banyak tulisan dalam buku ini yang menggambarkan kekaguman Yusran akan Amerika, maka bagian ketiga: Tak Selalu Adidaya, adalah cara Yusran untuk mengimbangi pandangannya. Pada bagian ini, kita diajak melihat wajah lain Amerika yang tidak selalu cantik dan glamor. Satu permasalahan yang sama-sama dialami Indonesia dan Amerika adalah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin tanpa tempat tinggal yang layak terus bertambah di kedua negeri yang saling berjauhan ini. Mereka sama-sama mengemis demi sedikit receh yang bersedia disisihkan oleh siapa saja yang lewat di depan mereka. Walaupun memang ada perbedaan cukup besar antara pengemis Indonesia dan Amerika. Yah harus aku akui bahwa pengemis di Amerika sana lebih kreatif dalam teknik-teknik mengemis. Berbeda dengan di Indonesia yang sebagian besar tanpa usaha (hanya diam saja menanti recehan jatuh ke wadah penampungan uang mereka) atau paling tidak, mengamen. Meskipun demikian, dari buku ini aku pun mengetahui kalau pengemis Amerika yang lebih lugas dan kadang memaksa sepertinya menakutkan juga! Ingat-ingat untuk menghindari tipe yang seperti ini kalau jalan-jalan ke Amerika.

Secara mengejutkan pula aku membaca dari bagian ketiga ini bahwa Amerika pun sempat mengalami krisis kebudayaan! Sempat pada suatu masa di mana mereka melupakan bahwa suku Indian sejatinya adalah penduduk asli Amerika. Suku Indian sempat terisolir dari peradaban dan budayanya kian tergerus arus modernisasi masyarakat Amerika lainnya. Ini sungguh sisi lain dari Amerika yang baru ku tahu. Mungkin memang benar kata-kata Yusran... Tidak selalu adidaya. Negara sebesar Amerika pun tidak resisten menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi.

Sisi lain dari Amerika dapat kita selami lebih dalam pada bagian keempat buku. Warna-warni Amerika, demikian judul bagian ini. Di dalamnya, Yusran menceritakan kembali mengenai tragedi penembakan yang dilakukan oleh seorang mahasiswa doktoral, James Holmes, pada saat pemutaran film Batman: The Dark Knight Rises di Aurora, Colorado. Peristiwa tersebut sungguh membuka penyadaran ku akan besarnya potensi depresi seorang mahasiswa doktor di Amerika sana. Memang tragedi penembakan itu bukanlah yang pertama, namun yang kesekian dari yang pernah terjadi sebelumnya.

Yusran memaparkan pula bahwa akar permasalahan dari tragedi tersebut sebenarnya terletak pada dunia sosial, bukan pada beban kuliah doktor. Sejak masih kecil, anak-anak diarahkan untuk menjadi sosok yang diharapkan orang-orang di sekitarnya. Terutama keluarga. Pada kepala yang masih kecil itu, pada mata yang belum melihat seluruh dunia itu, ditanamkan suatu ambisi yang harus ia raih ketika ia dewasa nanti. Pada akhirnya, arahan tanpa pilihan inilah yang lambat laun menyakiti jiwanya. Membaca ini, aku tertegun dan diam-diam bersyukur bahwa keluarga ku tidak pernah sedikit pun berusaha mengarahkan aku. Bukan karena tidak perduli, namun karena percaya. Aku sungguh bersyukur.

Cukup dengan tragedi yang memilukan, Yusran lekas membawa kita pada sisi cantik lainnya dari Amerika. Entahlah, menurut ku mungkin karena Yusran sendiri lebih banyak merasakan hal positif di sana. Toh semua negara tentu punya tantangannya sendiri. Ada luka masa lalu yang membekas di wajah glamor negara tersebut. Tapi justru luka itu lah yang membuatnya tangguh. Ibarat luka perang yang menjadi tanda keperkasaan seorang tentara. Dari berbagai sisi cantik Amerika pada bagian ini, aku tertarik akan mitos bahwa apabila kita mengelus sepatu patung John Harvard, sang pendiri Harvard, maka kesempatan kita masuk universitas itu meningkat 50%!

Nah, aku tergoda mencoba peruntungan itu. Tidak hanya itu saja, Yusran berhasil membuat ku miris dengan membandingkan perpustakaan Amerika dan Indonesia. Belum lagi tulisannya tentang petani yang menjadi profesi terhormat di negeri itu. Aku hanya berpikir, apakah kini saatnya menambah definisi baru tentang negara maju? Bahwa sesungguhnya negara maju adalah negara yang menghargai para petani dan nelayannya. Mereka yang terjun langsung berkotor-kotor di tanah dan lumpur demi memenuhi kebutuhan pangan kita, mereka yang meninggalkan keluarganya untuk pergi melaut demi ikan yang kita makan. Mereka yang menanam dengan tangannya sendiri. Memancing dengan kapal buatannya sendiri. Sedih rasanya melihat mereka yang menyediakan kita makanan malah harus yang merasa kelaparan dan kurang gizi. Mengapa sedikit sekali penghargaan yang kita berikan padahal sebegitu besarnya kita bergantung kepada mereka? Sunguh miris benar aku.

Namun pada bagian ini, aku suka dengan gagasan Yusran untuk mengganti nama Rumah Sakit menjadi Rumah Bahagia berdasarkan pengalamannya di Rumah Sakit O'bleness di Athens, Ohio. Suasana yang hangat, ceria, juga para perawat yang ramah adalah penyembuh utama di rumah sakit tersebut. Orang sakit tidak diperlakukan selayaknya orang yang memiliki penyakit menular. Dokter dan perawat bekerja tanpa terlihat terbeban. Seandainya setiap rumah sakit di dalam negeri seperti ini, aku tidak tahu apakah akan mengurangi jumlah pasien, atau malah menambahkannya hehe...

Memasuki bagian terakhir buku, inilah saat aku mulai menitikan air mata kala terharu akan kisah-kisah yang disajikan. Bagian terakhir ini berjudul Cinta Rasa Amerika. Awalnya aku masih terpingkal tak percaya ketika membaca kisah teman si penulis di Amerika yang menikah via Skype dengan suaminya yang ada di Sulawesi sana. Betapa internet kini telah menjawab pertanyaan yang bahkan mungkin tidak bisa dijawab Einstein: bagaimana caranya menyatukan ruang dan waktu! Sungguh revolusioner pemanfaatan internet zaman sekarang. Kemudian, ketika Yusran menceritakan upayanya menyatukan sepasang sejoli yang kini telah sangat lanjut umurnya, nah aku menangis. Tipikal perempuan kalau membaca kisah romantis kelewat batas. Bagaimana tidak! Ah tapi aku tidak mau menceritakan detilnya di sini. Biar kalian membaca sendiri kisahnya yang teramat indah itu. Tapi yang pasti, aku memberi tepuk tangan kepada Yusran yang mau repot-repot terlibat dalam kisah cinta itu. Seandainya ia tidak kurang kerjaan mungkin kini dunia kekurangan satu pasangan dengan kisah cinta yang tak termakan waktu.

Aku juga amat terbawa ketika membaca berbagai perbuatan baik orang-orang Amerika sana yang dialami oleh Yusran. Selalu menyenangkan mengetahui bahwa di luar sana ada sebuah tempat di mana para penduduknya saling tolong-menolong lepas dari segala perbedaan yang ada. Selama ini aku selalu merasa bahwa orang-orang Amerika itu individualis dan cuek satu sama lain. Kini aku menyadari bahwa mereka mungkin individualis sampai pada tingkat tertentu. Masing-masing menyadari bahwa setiap orang memiliki hak-nya sendiri. Pada tahap itu mereka tidak banyak menginterfensi atau menghakimi. Namun di sisi lain, mereka tahu kapan harus menawarkan pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkan. Aku sendiri ingin berada di tempat seperti itu.

Ulasan ku tentang Kopi Sumatera di Amerika karya Yusran Darmawan berakhir sampai di sini. Apa yang aku tulis baru sedikit sekali dari berbagai kejutan yang akan kalian temui ketika kalian membaca buku ini sendiri. Pada buku ini, aku dapat merasakan besarnya cinta Yusran kepada Indonesia meskipun ia mengambil studi di negara lain. Layaknya seorang pria yang tengah jatuh cinta dan melihat wajah kekasih wanitanya kemana pun ia melangkah, demikianlah rasanya si Yusran itu. Kemana pun ia pergi, ia selalu bisa melihat jejak bumi Indonesia.
Bukan karena jejak itu begitu mudah terlihat, tapi cinta dan rindunya kepada negeri ini yang membuatnya selalu melihat Indonesia. Apa yang ia lakukan membuka wawasan baru bagaimana mencintai negeri ini lebih baik lagi. Ia menunjukan bahwa kita tidak harus berada di sini untuk membaktikan diri. Prestasi yang kita raih di negara lain akan turut mengangkat derajat tanah air kita. Hal positif yang kita rasakan di negara lain biarlah turut memperkaya perenungan kita terhadap kondisi negeri ini. Kita bebas mencari ilmu dan pengalaman di mana pun yang kita mau. Tapi ingatlah untuk kembali. Makanlah tahun-tahun untuk menjelajah luasnya samudera dan benua, tapi lalu pulanglah. Karena saat kita pulang kembali, kita akan memperbaiki, merubah, memperkaya dan memperindah wajah ayu Ibu Pertiwi sehingga tidak kalah elok dari tempat-tempat yang kita kagumi di luar sana.

"Keajaiban adalah milik mereka yang menyingsingkan lengan baju untuk melakukan sesuatu dan berani menebar jaring harapan."
Yusran Darmawan

Loves,
Angelia Yulita


Resensi Bukuku (1)



SAAT berselancar di internet, aku menemukan sebuah resensi yang dibuat oleh Fadhlan L Nasurung, seorang mahasiswa di Makassar. Ia lalu memuat resensi itu DI SINI dan DI SINI. Kepadanya, aku mengucapkan terimakasih karena ia telah membaca buku, lalu berbagi pengetahuan atas buku tersebut. Melalui resensi, ia telah memberitahukan apa yang didapatkannya sekaligus apa yang dirasakannya ketika membaca buku itu.

Aku melihat resensi sebagai arena dialog antara pembaca dan penulis buku. Ketika sebuah buku telah terbit, tugas seorang pengarang telah selesai. Ia telah mengantarkan sebuah karya. Kata seorang penulis, ketika sebuah karya sampai ke publik, maka sang pengarang telah mati.

Aku memosisikan diri sebagai pendengar dan pencatat atas beragam masukan. Kepada sahabat Fadhlan tercurah banyak ucapan terimakasih karena telah berbagi kesan. Berikut, kukutipkan tulisannya seusai membaca bukuku.



Fadhlan L Nasurung

Hari ini aku kembali merasa “cemburu”, pada sebuah kitab yang ditulis oleh orang yang berasal dari sebuah pulau yang terkenal dengan aspal-hitamnya, Kak Yusran Darmawan, sutradara dari naskah yang diterbitkan bulan desember tahun kemarin itu. Aku tak pernah bertemu dengannya secara fisik, namun hampir setiap hari aku menemukannya nongkrong di timur-angin.com rumah ide pribadinya, walaupun dia mungkin tak pernah tahu aku begitu memperhatikan setiap kata yang terucap melalui tulisan-tulisannya yang simple, nendang dan begitu menginspirasi. Itulah ruang virtual dimana aku banyak menemukan kebersahajaan, kesederhanaan, ketenangan dan kedamaian hidup, ruang dimana curhatan, keluh-kesah, kegalauan, kritik, gagasan dan coretan pengalaman mendapat tempat istimewa.

Buku yang sangat inspiratif, ditulis oleh orang yang telah menginspirasi banyak orang, menginspirasi karena ia berhasil membiografikan perjalanan kehidupannya yang penuh suka-duka, kesulitan dan kemudahan, halangan dan rintangan hingga kesuksesan yang membuat seisi kampung halamannya di Buton menjadi sangat berharga, prestasinya turut membawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka yang jauh di ujung tenggara Sulawesi sana, yang umumnya menggantungkan kehidupan pada kekayaan laut juga mendapat tempat mulia dalam karya-karya Kak Yusran. Sebuah dokumentasi kehidupan yang patut dijadikan referensi idealisme hidup bagi siapa saja yang tak ingin larut dalam kubangan kesia-siaan.

Sebenarnya aku belum selesai melahap habis sepotong kue semesta itu, aku baru saja membaca out-line dari keseluruhan isinya, walaupun beberapa tulisan telah lebih dulu aku baca langsung melalui persemayamannya di timur-angin. Setiap tulisan berusaha memaparkan dan menjelaskan realitas secara lebih jujur dan mendalam, bahkan mampu menyampaikan sebuah hal yang terkadang tak orang lain pikirkan atau tak mampu dijangkau oleh imajinasi orang lain, seringkali dia melihat realitas berbeda dari sudut pandang umum. Yah, kecemerlangan pikiran akan senantiasa melahirkan karya yang gemilang.

“Kopi Sumatera di Amerika” adalah sebuah kitab kehidupan seorang anak pulau aspal yang berhasil menjadikan imajinasi sebagai sesuatu yang sangat berarti, tak mudah membahasakan sebuah realitas dan fenomena yang dapat dinikmati semua kalangan lewat makna-makna yang tersirat namun mudah dipahami. Ingin rasanya belajar kepada beliau tentang kiat-kiat menjadi penulis handal, sehingga beliau terpilih sebagai Kompasianer of the year 2013 di Kompasiana yang merupakan media citizen jurnalism terbesar di Republik inisebuah prestasi yang luar biasa kan?  Tentunya beliau tidak sebatas menulis, tetapi juga berjuang mewujudkan harapan dan cita-cita dalam setiap goresannya.

Siapa yang tak berkeinginan mengenyam pendidikan di luar negeri, apalagi negeri super power Amerika serikat,  bukan karena meremehkan kualitas pendidikan dalam negeri, tetapi kita harus jujur bahwa negeri paman sam adalah salah satu pabrik peradaban pengetahuan dan teknologi modern terbesar di dunia, yang terpenting kita tak turut menjadi korban proyek Amerikanisasi. Walaupun dalam kenyataannya ada segelintir akademisi, intelektual, ilmuwan yang hidup tak lagi untuk mengabdi kepada tanah air dan bangsanya. Hal itu untungnya tak menimpa Kak Yusran, justru ia semakin mampu memaknai hakikat ke-Indonesiannya setelah beberapa tahun mendapat kesempatan untuk belajar di negeri dollar tersebut, meskipun kesempatan itu adalah kado istimewa dari salah-satu perusahaan besar di negeri ini. Mungkin karena bibit nasionalisme telah tertanam kuat dan tumbuh kokoh saat masa-masa menjadi seorang mahasiswa yang disibukkan oleh aktifitas membaca, diskusi hingga demonstrasi untuk memperjuangkan nasib rakyat, layaknya heroisme sebagai seorang mahasiswa dengan idealisme dan semangat berapi-api.

Dia adalah seorang penulis aktif, aktif bukan hanya dalam dunia ide tapi juga dalam dunia kehidupan yang nyata, sekiranya ada kesempatan ingin rasanya mengundang beliau untuk berbagi bersama sahabat-sahabat pejuang pendidikan di Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS), juga komunitas-komunitas lain yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menyebarkan kebaikan dan menebarkan manfaat. Tentunya ada banyak di antara kita yang bermimpi menjadi seperti Kak Yusran, anak muda yang berkesempatan menciptakan karya di sela-sela kesibukan menjalani hidup, hingga menulis menjadi bagian penting dalam hidupnya. tapi bagi saya setiap orang punya takdir hidup yang berbeda-beda, tak harus mengikuti jejak langkahnya, tetapi bagaimana terus memacu diri untuk mengejar ketertinggalan-ketertinggalan lalu, Kak Yusran biarlah menjadi sosok yang menjadi sumber inspirasi untuk berbuat yang lebih kreatif dan cemerlang. Bahwa Tuhan telah menitipkan potensi pada masing-masing hambanya, tinggal bagaimana kita menggali potensi itu kemudian belajar memproduksi karya, seorisinal mungkin.

Salam salut buat Kak Yusran, sungguh membangkitkan gairah untuk tak berhenti menulis, apa saja!