Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Hikayat ALI MAZI yang Selalu Keluar dari Badai

Ali Mazi

Takdir Ali Mazi adalah senantiasa berhadapan dengan badai. Banyak babakan hidupnya yang diisi dengan konflik. Dia penuh siasat, tapi banyak pula siasat untuk menyingkirkannya. Dia sering ditikam dari belakang.

Hebatnya, politisi Sultra ini selalu keluar dari situasi sulit. Dia seperti burung phoenix yang terbakar jadi debu, setelah itu bangkit kembali.

*** 

Di ruangan itu, semua orang tampak bahagia. Hari itu, 18 Januari 2003, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno melantik Ali Mazi dan Yusran Silondae sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk periode 2003-2008.

Dalam pelantikan itu, Hari Sabarno memulai sambutan dengan permintaan maaf. Seharusnya, pelantikan digelar pada 23 Desember 2002 lalu, bertepatan dengan berahirnya masa kepemimpinan La Ode Kaimuddin, namun baru bisa terlaksana pada 18 januari 2003. Namun, Hari tidak menjelaskan penundaan tersebut. 

Dia terpilih dalam mekanisme pemilihan yang diadakan di kantor DPRD Sultra. Dia terpilih dari hasil voting oleh para anggota parlemen. Saat itu, Ali Mazi adalah kandidat yang tidak banyak dikenali. Dia seperti datang dari negeri antah berantah, dan tiba-tiba memasuki gedung pemilihan.

Dalam pemilihan di gedung dewan, siapa saja bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur. Ali Mazi lebih banyak berkiprah di Jakarta sebagai pengacara ibukota. Dia sukses menjadi pengacara papan atas dan menangani kasus-kasus besar. Dia menjadi tokoh yang dekat dengan elite-elite di kursi kekuasaan.

Tak banyak yang mengenalnya. Ali Mazi, pria asal Pasarwajo, Buton, ini bukan kaleng-kaleng. Dia adalah pengacara kondang di ibukota. Jejaringnya terbentuk saat menjadi pemimpin organisasi kemahasiswaan, serta aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ali Mazi bukan politisi yang menghadapi jalan mulus dan datar. Dia menghadapi jalan yang tak mudah, serta penuh duri-duri. Dia harus melalui jalan berliku, dan beberapa kali dirinya hendak dijegal dan dijatuhkan.

Di hari ketika dia dilantik sebagai gubernur, menjadi hari pertama dirinya menghadapi badai. Sebanyak 24 anggota DPRD Sultra menolaknya. Polisi bahkan mengusut mereka dengan tuduhan gratifikasi. Namun dengan cerdiknya, dia bisa keluar dari kemelut itu. Semua orang akhirnya menerimanya sebagai gubernur.

Ali Mazi adalah pria yang masuk kategori “man of action.” Untuk maju gubernur, dia mempersiapkan konsep dengan matang. Dia mulai dengan membat satu dokumen tebal berjudul  Sultra 2020: Percepatan Pemerataan Pembangunan Poros Sosial-Ekonomi Kerakyatan di Era Transparansi Global

Dokumen setebal lebih 500 halaman ini memuat intisari pemikiran, konsep, dan strategi pembangunan yang akan dijalankan Ali Mazi jika terpilih sebagai gubernur. Barangkali, ini konsep paling lengkap dan mendalam yang disiapkan seseroang yang hendak masuk arena pemilihan kepala daerah.

Badai Demi Badai

Sayang sekali, dia tidak bisa menerapkan semua konsep itu dengan tepat, sebab badai demi badai menghampirinya. Setelah penolakan anggota dewan, badai selanjutnya yang dihadapinya adalah saat dirinya ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton di Senayan, Jakarta. Ali Mazi pun di-nonaktif-kan sebagai gubernur.

Baru setahun memimpin, dia kembali menjadi sebagai warga biasa. Dia ke Jakarta untuk menghadapi persidangan. Secara ajaib, dia kembali keluar dari krisis saat pengadilan menyatakan dirinya dinyatakan tidak terkait kasus itu. Status tersangkanya dibatalkan. 

Sebelumnya, banyak yang mengira karier politiknya sudah habis. Tapi dia justru keluar dari krisis dan kembali jadi Gubernur. Dia kembali berhadapan dengan orang-orang yang dulu bertepuktangan saat dirinya jadi tersangka, dulu bahagia saat dia tersangka. 

Ali Mazi adalah tipe pemimpin yang pantang menyerah. Dia teruskan periode pertama dengan capaian monumental untuk provinsi sekecil Sultra. Dia membenahi Bandara sebagai etalase atau gerbang memasuki Sultra. Dia bangun tugu persatuan sebagai simbol atau penanda persatuan di tanah yang warganya mudah terpantik emosi hanya karena perbedaan etnik.

Saat hendak masuk periode kedua, Ali Mazi kembali berhadapan dengan badai. Dia kalah di arena pilkada. Kekalahannya menyimpan banyak tanda tanya. Dia yang menguasai struktur politik Sultra, tiba-tiba kalah oleh pendatang baru. Sebagai pejabat, dia terlena. Ada banyak blind spot yang tidak diketahuinya, namun sangat dikenali oleh lawan politiknya. Dia tidak sadar kalau dirinya menjadi bulan-bulanan dari orang yang dibesarkannya.

Tahun 2014, dia ingin maju kembali. Lawannya sudah petahana. Badai kembali menghantam dirinya hingga tak bisa masuk arena. Dia berhadapan dengan struktur politik yang melakukan banyak cara agar dirinya tidak masuk arena. Dia dikerjai sehingga partai yang dikantonginya tidak memenuhi persyaratan.

Mereka yang mengamati politik di tahun 2013 mengira dia akan tenggelam. Apalagi dia tak banyak memberikan perlawanan. Dia diam saja saat banyak landmark yang dibangunnya diganti namanya. Nama Bandara diganti. Bahkan nama Tugu Persatuan juga diganti.

Secara ajaib, dia tidak pernah bisa tenggelam. Di tahun 2018, dia kembali bangkit dan memenangkan perhelatan politik. Semesta berkonspirasi untuk mendukung dirinya yang kembali ke panggung politik. Dia kembali hadir untuk meneruskan visinya yang terbengkalai 10 tahun silam.

Di periode kedua, dia meninggalkan legacy. Dia membangun jalan tol, rumah sakit jantung, serta perpustakaan modern. Semua adalah program strategis, yang berorientasi kedepan. Manfaatnya boleh jadi dirasakan di masa dia menjabat, namun akan menjadi tali-temali yang membantu masyarakat Sultra.

Periode kedua ini tak bisa dibilang mulus. Baru dua tahun menjabat, dia berhadapan dengan badai Covid-19 yang membuat dirinya tidak leluasa untuk bergerak. Istrinya meninggal karena badai itu. Dia pun tak bisa meneruskan semua rencana-rencananya untuk membangun Sultra.

Lagi-lagi, dia bisa keluar dari kemelut. Saat badai Covid berlalu, dia bisa menyelesaikan semua rencana-rencananya dengan mulus hingga akhir periode. Dia keluar dari krisis dengan menuai banyak penghargaan sebagai pemimpin yang menjalankan semua visi dan misinya.

Setelah usai menjadi Gubernur, dia maju menjadi anggota DPR RI di Pemilu tahun 2024. Lagi-lagi, dia berhadapan dengan badai, saat dirinya dinyatakan kalah oleh KPU. Dia nomor urut dua di partainya.

Kembali orang-orang mengira dirinya sudah habis. Rupanya dia tak patah arang. Dia lanjut berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK).  Dia bawa semua bukti di persidangan.

Kembali, takdir bekerja untuk Ali Mazi. Saat perkara itu mulai terkuak, tiba-tiba, pesaingnya itu menyatakan mundur dari obyek perkara. Dia menyerahkan kursi terpilih itu ke Ali Mazi. Padahal, harusnya persidangan itu jalan terus. 

Buktikan mana yang benar dan mana yang salah. Apapun hasilnya, public diajari proses yang benar. Bahwa pemilu bukan soal siapa menang siapa kalah, tapi proses menjalankan etik dan mengelola suara rakyat dengan benar.

Di tingkat partai, Ali Mazi bersih-bersih. Sepertinya dia paham kalau ada kelompok yang menguasai struktur dan perlahan akan menyingkirkannya. Sebelum proses itu terjadi, dia menyingkirkan mereka.

Ali Mazi politisi yang selalu keluar dari badai. Kartunya tidak pernah berakhir. Dia menghadapi banyak badai, selalu bisa keluar dan menang.

Kepada seorang kawan di warung kopi, saya menanyakan rahasia mengapa dia selalu keluar dari badai. Kawan itu menyebut dua hal yang dimiliki politisi itu. 

Pertama, leluhurnya adalah Sultan Himayatuddin atau Oputa yi Koo, yang dahulu gigih melawan Belanda dan meniolak kompromi. Karakter itu muncul pada diri Ali Mazi yang menolak tunduk. 

Kedua, doa-doa ibunya selalu menuntun semua langkah politiknya. Ali Mazi pertama berniat Gubernur karena ibunya menitip pesan itu saat dia merantau. Ibunya pula yang selalu jadi tempatnya kembali dan bertanya banyak hal. 

Ibunya pula yang selalu ‘batata’’, sebutan di kalangan orang Buton untuk orang yang merapal doa dan harapan untuk hal baik. Semua dikembalikan kepada Tuhan, seperti diucapkan Sultan Idrus Kaimuddin: “Tawakalamo Poaromu I Opumu.” Tawakal menghadap Tuhanmu.




Kisah di Balik "Perempuan yang Memuliakan Tanaman"

sampul buku


Di satu kafe di Tebet, Jakarta Selatan, saya jumpa petinggi Kehati. Saya sudah lama mengenal Kehati sebagai rumah berkumpulnya para aktivis dan pemerhati lingkungan. Saat itu, saya diberi tawaran untuk menulis kisah Oday Kadariyah,  perempuan hebat yang berumah di bukit Ciwidey, Jawa Barat.

Mulanya saya masih menimbang. Saat mendengar kisah perempuan itu berhasil melawan penyakit kanker ganas dengan mengonsumsi tanaman obat, saya tertarik. Perempuan itu menelusuri kearifan budaya, mengungkap rahasia, dan menemukan ramuan yang dulu digunakan nenek moyang untuk mengobati kanker. Kerja kerasnya membuahkan Kalpataru.

Saya langsung mengiayakan. Saya tak mempersoalkan budget. Saya membayangkan betapa serunya menelusuri pebukitan di Ciwidey, bertemu para petani, dan pemulia tanaman. Bagi saya, menulis ibarat perjalanan untuk bertemu orang baru, belajar hal baru, serta memungut ide-ide di sepanjang perjalanan untuk didedahkan ulang bagi khayalak luas. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Sebelum proses penulis, pihak Kehati memfasilitasi saya untuk berjumpa Oday via zoom. Saya terkesan dengan keramahannya. Saya bayangkan proses menulis ini akan jadi petualangan yang seru.

Dugaan saya benar. Proses menulis kisah Oday menjadi perjalanan yang mengasyikkan. Meskipun saat itu Covid-19 tengah di puncak, saya tetap datang ke Ciwidey. Perjalanan itu sangat menyehatkan. Oday Kadariyah -biasa disapa Mamah Oday- menerima saya di rumahnya yang asri, setelah itu kami menuju kebunnya yang terletak di bukit.

Di situlah saya melihat Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam seluas 21 hektar yang dikelola Mamah Oday dan suaminya. Dia mengajak saya melihat 900 spesies tanaman obat, mengunjungi herbarium serta green house untuk melihat tanaman-tanaman obat.

Kisah bukit penuh tanaman obat ini bermula dari sakit kanker yang menyerang Oday beberapa tahun silam. Saat itu, dia sudah kehilangan harapan. Dokter sudah angkat tangan.

Saat itu, suami Oday bertemu seorang kerabat dari Sumatera yang memberikan tanaman bawang dayak (eleutherine bulbosa). Suaminya merebus bawang dayak itu, kemudian meminta Oday meminum airnya. Di situlah, keajaiban terjadi. Perlahan dia membaik.

Momen sembuh dari sakit itu jadi titik balik dalam hidupnya, menjadi titik nol di mana dirinya menulai lembaran baru. Dia lalu mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain. Dia tanami bukit itu dengan tanaman obat. Dia membuat herbarium, laboratorium, serta menyediakan rumah bagi mereka yang diserang kanker. Bukit itu menjadi rumah penyembuhan bagi banyak orang.




Cinta telah merekatkan Oday dengan semua tanaman. Berkat cinta pula, tanaman memberikan keajaiban berupa mukjizat kesembuhan. Tanaman menjadi penyembuh, penyedia pangan, penyedia oksigen, dan penyedia semua ekosistem yang membuat Oday lebih bahagia.

Proses penulisan buku menjadi awal bagi perkenalan saya dengan Mamah Oday. Setiap kali berkunjung, saya selalu diberikan banyak oleh-oleh berupa tanaman obat yang sudah diolah menjadi minuman segar.  Berkat tanaman itu, saya melalui pandemi Covid dengan bahagia.

Proses penulisannya tidak begitu sulit. Saya menulis serupa orang bercerita lepas. Saya ceritakan bagaimaa pertema berkunjung dan apa saja yang disaksikan. Saya tampilkan foto-foto perjalanan yang menarik.

Demi memperkaya tulisan, saya berikan infografik tentang tanaman yang disebut Oday. Saya pikir, buku ini kelak bukan sekadar kisah perjumpaan, tapi juga menjadi sarana edukasi bagi semua orang.

Tugas saya hanya menulis dan menyarikan. Saya tak menyangka jika buku saya sukses membuat Mamah Oday sangat bahagia. Dia berulang-ulang menyampaikan terima kasih. Baginya, karya itu sangat bagus dan bisa merekam semua yang dia rasakan.

Setelah itu, saya lama tak berjumpa Mamah Oday. Beberapa waktu lalu, saya mendengar kabar suaminya meninggal dunia. Saya membayangkan betapa sedihnya Oday karena selama puluhan tahun dia selalu bersama suaminya, bahkan tak pernah melalui malam di tempat berbeda. Mereka selalu bersama.

Tiga hari lalu, Mamah Oday mengundang saya. Katanya, pihak Kehati akan meresmikan Tugu Kalpataru di Taman Herbal Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam. Tugu Kalpataru ini dibangun sebagai simbolis dari penghargaan Kalpataru 2018 yang diterima oleh Oday.

Sayang, saya tak bisa hadir. Padahal Mamah Oday dan pihak Kehati sangat berharap saya bisa hadir. Saya senang karena kontribusi Mamah Oday dalam melestarikan dan memperkenalkan tanaman obat nusantara kian dikenal.

Dedikasinya untuk memberikan edukasi dan pelatihan tentang pemanfaatan obat tradisional kepada khalayak luas, dianggap sejalan dengan pengembangan program bioprospeksi yang dijalankan oleh Yayasan Kehati.



Saat nembaca publikasi tentang peresmian tugu di kebun milik Oday, saya terkenang dengan perjumpaan dengannya. Saya ingat persis saat-saat menemaninya melihat tanaman. 

Dia menyapa tanaman serupa menyapa anaknya. “Hallo, apa kabar? Senang lihat kamu sehat dan subur,” katanya sembari mencium daun tanaman. Dia hirup aromanya sembari matanya tertutup. Dia resapi semua bau, lalu sejurus kemudian, dia tersenyum. Dia belai dan sentuh tanaman itu. Rona gembira dan bahagia memancar di wajahnya.

Saya jarang menemukan ekspresi seperti ini. Dia melihat tanaman seperti manusia, bukan komoditas. Tanaman dilihatnya sebagai entitas biologis. Tanaman punya jiwa, punya nyawa, sebagaimana manusia.

Mungkin ini yang menjelaskan mengapa tanaman bisa mengeluarkan semua saripati terbaik untuk Mamah Oday.

Berkat menulis, saya mengalami perjumpaan dengan banyak orang hebat yang menginspirasi dan serupa oksigen telah menghidupkan banyak sel-sel tubuh kita dengan kegembiraan. Terima kasih atas inspirasinya.