Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Melacak Spin Doctor di Balik AHOK



SEUSAI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan diri akan maju ke pemilihan Gubernur DKI Jakarta melalui pintu partai politik sembari tetap menyertakan relawannya, dunia media sosial langsung heboh. Lalu lintas informasi di facebook dan twitter langsung meninggi. Sejumlah seleb twitter bersahut-sahutan dan memberikan respon positif ataupun negatif. Kita sedang menyaksikan satu peristiwa yang langsung direspon secara riuh di media sosial. Kita pun menyaksikan bagaimana informasi dikemas serupa hujan yang mengguyur dan menentukan opini publik.

Kita sedang menyaksikan kerja-kerja para Spin Doctor yang hendak mengendalikan opini. Jika hari ini semua informasi di media massa bernuansa positif dan memberikan rating tinggi kepada Ahok, maka boleh jadi itu adalah buah dari para Spin Doctor atau pengendali informasi di era modern. Demikian pula ketika informasi itu negatif. 

Bagaimanakah memahami alur kerja para Spin Doctor ini? Apa yang mereka lakukan untuk mengubah arus wacana di dunia politik? Siapa sajakah para pengendali informasi ini? Bagaimanakah menilai keberhasilan dan kegagalan satu tim kampanye politik? Saatnya mengenali siapa dan kerja-kerja para Spin Doctor itu.

***

WAJAH lelaki bermata sipit itu penuh semangat. Di hadapan relawan dan perwakilan partai politik, ia menyatakan akan maju di pilkada DKI Jakarta melalui jalur partai politik. Respon di media sosial berunculan. Di hari pertama, pernyataan Ahok menjadi trending topic di twitter. Tagar #tetapahok menjadi trending topic dunia pada hari itu.

Namun, pernyataan itu juga memicu penolakan. Tagar #BalikinKTPGue terpantau memuncaki Tren Twitter Indonesia, kemarin. Tagar itu memuat sejumlah sentimen negatif kepada Ahok, dalam usahanya mempertahankan kursi Gubernur DKI Jakarta, di Pilkada 2017.

Sebelumnya, Ahok sudah memastikan akan menggunakan kendaraan partai politik dalam Pilkada 2017. "Kami harus menghargai parpol yang sudah mendukung. Ya sudah, kami pakai parpol sajalah," kata Ahok, dalam acara halal bihalal yang diselenggarakan Teman Ahok, seperti dikutip Kompas.com, Rabu (27/7).

Boleh jadi, keputusan itu bikin kecewa sejumlah orang, yang menginginkan Ahok maju melalui jalur independen. Lagi pula, selama beberapa bulan terakhir, Ahok telanjur digembar-gemborkan akan menempuh jalur independen. Ikhtiar politik juga sudah dilakukan, dengan mengumpulkan 1 juta KTP untuk memenuhi syarat calon independen.

Perjalanan Ahok memang unik. Ia selalu meniti di sentimen negatif, lalu berubah menjadi sentimen positif. Dalam banyak kasus, ia bisa membalikkan tuduhan, yang sebeumnya banyak dibahas media, menjadi sentimen positif. Ia juga punya barisan yang rela bekerja siang malam untuknya. Tagar #BalikinKTPGue itu semalam menjadi bahan perbincangan. Betapa tidak, Teman Ahok men-tracking kalau pihak yang membuat tagar ituternyata banyak berasal dari luar Jakarta. Sebegitu pedulinya pada Ahok, sampai-sampai gubernur dan bupati di daerah lain terlupakan.


Minggu lalu, Ahok juga menjadi trending topic. Ia menjadi saksi di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ia tak menunjukkan gentar sedikitpun. Ia menghadapi sidang dengan tenang. Padahal, sidang ini bisa menjerat dirinya kapan saja. Di sidang itu, ia disorot kamera dari berbagai sisi, semua keterangannya akan dicatat dan disaksikan semua warga Indonesia. Ia bisa saja keseleo lidah dan idak paham aturan, yang bisa berujung pada jeruji besi. Namun, tak ada yang berubah dengan sikap dan caranya bicara. Ia tetap lugas, sebagaimana biasa.

Di dunia maya, persidangan ini menjadi topik yang menarik dibahas. Banyak netizen yang mencuit tentang Ahok lalu mendiskusikan banyak hal tentang dirinya. Banyak yang mengira, beberapa isu korupsi akan menjadi kuburan bagi Ahok. Yang terjadi, Ahok meladeni smeua tudingan secara terbuka. Tak hanya lolos, ia malah mengambil banyak point pencitraan dari berbagai tuduhan yang siang malam dibahas oleh para politisi.

Yang saya amati, Ahok adalah politisi yang paling piawai dalam hal mengelola informasi. Ia bisa memperhitungkan timing yang tepat kapan harus mengeluarkan sikap dan pernyataan. Dia bisa menghitung kapan harus bersuara dan kapan harus diam. Pernyataannya megikuti garis kurva yang dimulai dari rendah, lalu perlahan naik, setelah itu turun, dan naik lagi.

Sebelum bulan puasa, isu paling hangat mendera Ahok terkait dugaan korupsi rumah sakit sumber waras. Ahok membiarkan semua wacana yang membahas itu. Siang malam, semua televisi membahas dugaan krupsi itu dari berbagai perspektif. Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta ikut terlibat membicarakannya, yang tanpa disadari justru menempatkannya ke dalam terang cahaya yang disorot publik.

Pada saat yang tepat, ia muncul di KPK sembari membuka wacana publik baru yang meragukan hasil investigasi BPK, lembaga yang sekian lama dianggap selalu bersih. Hingga akhirnya KPK membuat pernyataan tidak menemukan indikasi kerugian negara di situ. Para ahli hukum pun terbelah dalam menyikapi perbedaan perspektif antara KPK dan BPK. Di titik ini, ia telah selangkah lebih maju dalam memenangkan pertarungan informasi di berbagai kanal media.

Di bulan puasa, dirinya terkesan lebih banyak diam. Barangkali ia tahu kalau di bulan suuci itu, gairah religiusitas sedang tinggi-tingginya, yang bisa mempersatukan banyak pihak. Ia memilih untuk tidak berwacana, dan menahan diri selama bulan itu. Tapi seusai puasa, wacana tentang dirinya kembali marak. Ia tampil ke hadapan media. Ia mendatangi ruang sidang, lalu menjelaskan posisi politiknya. Jika dianalogikan sebagai pertandingan sepakbola, ia mencetak banyak skor penting selama pertandingan wacana ini.

Seusai puasa, isu rekamasi ini semakin mencuat. Kembali ia membiarkan semua debat publik berlangsung terbuka, yang telah berlarut-larut itu sebelum akhirnya tampil ke depan dan menjawab semua tuduhan di persidangan tipikor. Sepertinya, ia menunggu momen resmi untuk menyampaikan versi kebenarannya.

Saya menduga, setelah isu reklamasi mendingin, dan menyeret banyak pihak, akan ada lagi isu baru yang akan semakin memberi panggung bagi kian berkibarnya namanya di media. Barangkali, perseteruan dengan Rizal Rami akan semakin memanas (publik sudah tahu apa ending-nya). Atau barangkali perseteruan dengan Jokowi. Kita tak bisa menebak apa yang terjadi. Yan pasti, akan ada isu atau wacana yang akan terus meghangat lalu menempatkan dirinya di tengah pusaran informas, dan kelak akan mencuatkan namanya ke permukaan. Kita tunggu saja.

***

JIKA dunia politik ibarat dunia yang penuh pertempuran wacana, maka setiap politisi memerlukan seorang jenderal lapangan yang bisa mengendalikan semua arus informasi, sekaligus menggempur lawan dengan berbagai informasi tersebut. Para “jenderal” ini membangun benteng informasi yang mengolah semua data lalu meng-counter semua isu. Jika diperlukan, mereka sesekali melempar wacana tentang politisi atau partai lain. Dalam ranah akademis, mereka kerap disebut Spin Doctor.

Dahulu, Spin Doctor hanya menjelajah semua media massa, memiliki jejaring dan klik untuk mengatur wacana. Kini, arenanya menjadi lebih lebar dan lebih menantang. Mereka beroperasi di media sosial yang amat luas dan tak bertepi, mengatur ritme kapan mengalihkan informasi, menata saat tepat untuk menyetel pencitraan seseorang, sembari mengumpulkan data dan fakta kalau-kalau ada serangan dari pihak lain. Belakangan ini, semua Spin Doctor memiliki sehimpunan arsenal persenjataan yang setiap saat bisa menggempur media sosial dan media massa.

Dalam hal Ahok, para Spin Doctor itu muncul dalam berbagai isu tentang dirinya, menggiring wcaana, lalu mengatur ritme wacana itu. Yang menarik, para Spin Doctor itu tidak bekerja di kanal-kanal resmi media sosial yang dikelola Ahok dan timnya. Para Spin Doctor menggunakan banyak kanal warga biasa yang secara kontinyu membentuk citra Ahok.

Cara kerjanya adalah gempur semua media dengan berbagai informasi. Gunakan para seleb fasebuk dan twitter, yang dengan mudah dikenali, lalu jejali publik media sosial dengan berbagai informasi. Keberhasilan kerja Spin Doctor akan muncul dari hadirnya trending topic atau saat satu postingan menjadi wacana publik. Kegagalannya dilihat saat informasi menjadi negatif, saat publik melihatnya tidak dengan kacamata positif. Informasi terus dihadirkan serupa hujan

Dilihat dari sisi akademik, wacana Ahok di media sosial itu selalu saja menarik untuk diamati. Sebagai orang yang belajar Ilmu Komunikasi, saya bisa menyaksikan bagaimana wacana politik bekerja, bagaimana politik dikendalikan melalui wacana, bagaimana upaya mempersuasi, mempromosikan, atau malah membuat citra negatif tentang seorang aktor. Saya bisa menyaksikan bagaimana kerja seorang Spin Doctor dalam mengendalikan informasi.

Terminologi Spin Doctor mengacu pada bagaimana mengelola media (media management technique) di mana seorang pewarta media dianggap bisa menghalangi reportase yang obyektif dan transparan terhadap informasi yang ada. Seorang Spin Doctor adalah sesorang yang menempatkan informasi secara spin (berputar) untuk mempengaruhi opini publik dengan cara membiaskan informasi yang ditujukan untuk menaikkan citra seseorang, atau menjatuhkan citra orang lain.

Dalam satu riset, saya temukan kepingan informasi bahwa karakteristik spin adalah pertukaran atau perebutan antara informasi yang ada dengan publisitas. Istilah spin ini tidak muncul dari akademisi, melainkan berasal dari olahraga yakni permainan baseball dan cricket, di mana pelempar bola (pitcher) melempar bola ke arah penerima bola dengan teknik tertentu. Seringkali, bola itu dilempar dengan cara diplintir (spin) hingga arah bola berubah. Di sinilah awal munculnya istlah spin itu.

Meskipun istilah ini kurang akademis, istilah ini tetap digunakan untuk menggambarkan bagaimana New York Times melakukan rekayasa pemberitaan saat pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1984. Sejak saat itulah, istilah ini digunakan untuk menyebut para Spin Doctor atau konsultan media management dalam mengendalikan agenda media. Kerja-kerja para Spin Doctor adalah ‘moulding the image’ atau merancang serangkaian kata-kata untuk didengar dan dilihat.

Para politisi hebat memerlukan seorang Spin Doctor untuk mengolah semua informasi. Di lapangan, namanya bisa berbeda-beda. Ada yang menyebutnya tim citra, konsultan poitik, tim media, ataupun tim sukses. Kerjanya pun bisa berbeda-beda, tetapi semuanya mengarah pada upaya menampilkan citra terbaik di hadapan publik, melalui media massa dan media sosial. Posisinya di tengah-tengah antara kandidat atau politisi dan media massa serta media sosial.

Sayangnya, kerja-kerja tim media dan konsultan politik di tanah air lebih ke arah kerja-kerja yang sifatnya jangka pendek yakni spin dan counter spin. Kerja mereka adalah mengarahkan informasi yang sifatnya positif, serta bagaimana mengatasi informasi negatif. Saya nyaris belum menemukan satu tim Spin Doctor yang bekerja secara sistematis dengan target-target angka menengah dan jangka panjang. Padahal, kerja-kerja seperti ini mudah dilakukan, hanya saja membutuhkan kesabaran dan ketelatenan tinggi.

Seminggu silam, seorang kawan menunjukkan software pengolah data kualitatif terbaru. Ia menunjukkan bahwa semua informasi dengan mudahnya bisa dipetakan. Kita bisa mengetahui bagaimana informasi itu bermula, selanjutnya seperti apa informasi itu berkembang hingga akhirnya seperti apa akhir dari pergerakan informasi itu.

***

SEORANG ahli psikoanalisis pernah mengatakan bahwa persepsi tentang diri seseorang dibentuk dari himpunan informasi mengenai orang tersebut. Dalam dunia politik, citra seorang politisi terkait erat dengan sejauh mana informasi tentang orang tersebut yang dikonstruksi oleh media dan berbagai kanal komunikasi lainnya.



Dalam hal Ahok kita bisa belajar bagaimana mengelola informasi lalu mengemasnya menjadi kekuatan. Memang, ia kerap juga dihajar media besar seperti Tempo dalam banyak kasus. Yang menarik, para warga melakukan investigasi sendiri, menelusuri berbagai dugaan, lalu mengeluarkan argumentasi yang bisa mendiskreditkan media itu. Pelajaran yang bisa dipetik, di era sekarang, semua orang bisa menggugat citra media, kemudian membangun sendiri citra yang diinginkannya dengan kerja-kerja Spin Doctor.

Terkait Ahok, kita bisa membuat beberapa catatan.

Pertama, nampaknya Ahok memiliki tim analis media yang canggih. Dirinya bisa memetakan wacana apa yang harus ditampilkan ke publik, dan mana saja yang harus diabaikan begitu saja. Hampir setiap hari, kita menyaksikan berbagai wacana tentang dirinya, yang selanjutnya publik akan membandingkan dengan apa-apa saja yang telah dilakukannya. Banyaknya wacana itu adalah pra-kondisi untuk terus memunculkan namanya hingga pilkada DKI Jakarta dimulai.

Kedua, desain besar untuk mengendalikan informasi tentang Ahok itu justru menjadi bumerang bagi semua elite politik dan lawan-lawannya. Mereka sibuk berdebat, dan lupa satu hal penting bahwa untuk mengalahkan Ahok harusnya dilakukan melalui langkah-langkah substantif yang bisa memikat hati publik. Berwacana tak selalu efektif dalam politik. Orang-orang ingin melihat sesuatu yang lebih nyata. Itu yang tak banyak terlihat.

Ketiga, Spin Doctor yang selama ini menopang Ahok tidak menggunakan akun resmi Ahok. Mereka tersebar di banyak akun, memiliki jejaring media sosial sendiri, yang suatu saat bisa digunakan untuk mengendalikan informasi. Kerja-kerja mereka cukup teorganisir dengan baik, bisa dilihat dari ritme atau fluktuasi informasi yang cukup terkendali. Kerja mereka cukup sistematis dan menggunakan smeua kanal media.

Keempat, dunia politik kita serupa panggung media sosial yang riuh dan ramai. Wacana yang ramai ini hanya bertujuan untuk sejenak membuat publik melupakan substansi dari perdebatan itu sendiri. Para politisi menggunakan Spin Doctor untuk mengendalikan arus informasi ke arah substansi pemberitaan yang positif untuk client-nya. Pada titik ini politik serupa pasar yang di dalamnya ada penawaran dan penjualan, lalu suara-suara pengiklan yang memberi bujuk rayu. Bahkan di situ ada suara yang isinya mendiskreditkan produk lain di pasar yang sama.

Keempat, pelajaran besar bagi semua gerakan sosial adalah bagaimana mendorong satu isu menyangkut publik menjadi wacana luas yang tersebar di banyak orang. Hanya dengan cara menemukan saluran yang tepat, agenda publik akan lebih bergema sehingga akan begaung dan membawa dampak berupa tekanan atas kebijakan publik. Pola-pola yang digunakan para Spin Doctor bisa diterapkan untuk menjadikan satu isu sebagai wacana publik, yang diharapkan bisa mengubah kebijakan publik.

Kelima, fenomena Spin Doctor ini bisa menjadi positif ketika informasi didudukkan sesuai proporsinya, namun bisa menjadi negatif tatkala publik diposisikan sebagai penonton yang dikendalikan apa yang hendak ditonton serta ditentukan dengan cerdik apa yang kesan yang ada di benak mereka. Pada titik tertentu, yang terjadi adalah pencitraan yang tak membawa maslahat apapun bagi publik.

Nah, terkait wacana Ahok, kita menyimpan banyak catatan.



Bogor, 26 Juli 2016

BACA JUGA:





Empat Skenario RIZAL RAMLI



NIAT awal masuk kabinet adalah untuk mengepret siapapun yang tidak punya visi kerakyatan, ternyata justru dirinyalah yang merasakan kepret. Pada diri lelaki itu, Rizal Ramli, kita sedang menyaksikan fragmen hidup yang serba tak sabaran. Jika politik adalah kesempatan yang bisa diciptakan dan mengalir mengikuti ritme, mantan Menko Maritim itu justru ingin menari sendirian.

Memahami Rizal ibarat memahami satu pertunjukan teater yang tak taat dengan skenario. Di balik panggung, ia membaca semua skenario dan memahami peran yang harus dilakoni. Namun di atas panggung, ia memainkan skenario sendiri yang disimpannya sejak jauh hari. Sayang, masa 11 bulan tak cukup baginya untuk mementaskan lakon drama yang disiapkannya.

Tapi di mata Rizal, teater ini belum usai. Apakah gerangan skenario yang pernah dimainkannya sehingga mendapatkan kepret dari atasannya sendiri? Marilah kita simak satu per satu sembari menebak apa lagi kartu skenario yang akan dimainkannya.

***

SALAH seorang kawan politisi punya perumpamaan bagus tentang Rizal Ramli. Menurutnya, Rizal adalah politisi yang mengikuti ke mana arah angin kamera berhembus. Maksudnya, energi dan vitalitas Rizal akan tampak berbeda saat kamera merekam dirinya. “Saat sidang kabinet, ia tipe yang pendiam dan selalu manggut-manggut mengikuti arahan. Tapi saat keluar ruangan dan berhadapan dengan kamera, ia tiba-tiba saja galak,” kata teman itu.

Ia berkisah tentang perseteruan Rizal Ramli dan Jusuf Kalla beberapa waktu silam. Rizal menantang Wapres JK berdebat mengenai program listrik 35 ribu watt. Tak hanya itu, ia berbicara di hadapan media kalau dirinya hanya tunduk pada presiden, not everyone else. Tapi saat sidang kabinet, ia justru lebih banyak diam. Wapres JK balik menceramahi dirinya, sesuatu yang dengan sengit diingkari Rizal saat ditanyai para jurnalis. Rizal mengesankan dirinya sebagai anggota legiun paling setia di jajaran pembantu presiden.

Ibarat pertandingan sepakbola, Rizal adalah pemain cadangan yang masuk untuk mengubah permainan. Sebelumnya, ia adalah komentator yang paling kritis atas apa yang tampak di lapangan. Sebelum itu, ia pernah menjadi pemain, dengan prestasi yang tidak terlalu mengesankan di tengah iklim politik yang penuh pergolakan pasca-reformasi.

Peran besar yang seharusnya dimainkan Rizal adalah mendinamisasi pergerakan semua anggota kabinet sehingga berjalan sesuai koridor nawa-cita yang dicanangkan presiden. Barangkali, satu atau dua sentilan Rizal dibutuhkan untuk mempercepat kerja para menteri dalam mewujudkan janji pemerintahan baru. Kritik memang diperlukan agar visi besar tidak menjadi fatamorgana yang sukar dikejar. Ternyata kritik itu berkembang liar ke mana-mana sehingga menimbulkan kesan perpecahan yang membuat dunia politik semakin gaduh.

Melalui Rizal, kita tahu tidak semua teori tentang politik selalu benar (baca: Empat Teori tentang Sikap Rizal Ramli). Mulanya ia dianggap sebagai orang kepercayaan Jokowi. Ternyata, usianya di kabunet hanya 11 bulan, yang menunjukkan bahwa dirinya gagal menerjemahkan visi kabinet. Lebih ngawur lagi teori dari seorang pengamat yang mengatakan dirinya adalah orang kepercayaan JK. Jika kepercayaan, tak mungkin ada perseteruan serta ketidakpercayaan pada sosok RI-2 itu.

Apakah gerangan evaluasi yang bisa kita berikan atas keberadaan Rizal di kabinet selama 11 bulan?

Pertama, kegagalan membangun komunikasi politik yang dinamis. Sebagai menteri koordinator, peran-peran yang harusnya bisa dimainkan adalah menjembatani komunikasi antar sektor, menajamkan visi nawa-cita, lalu mendinamisasi gerak menuju visi pemerintahan. Peran ini tak bisa berjalan optimal, disebabkan dirinya terlampau sibuk memelihara konflik dengan banyak pejabat lain.

Ada yang mengatakan bahwa tergesernya Rizal adalah imbas dari perseteruan dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pangkalnya adalah perdebatan tentang reklamasi Pulau G di utara Jakarta. Dalam konferensi pers, Rizal menyampaikan sikap tim kerja, yang melarang reklamasi pulau tersebut, sesuatu yang emudian dianggap Ahok tidak ada dalam rekomendasi. Pihak Ahok membuka banyak data yang tak pernah direspon oleh pihak Rizal.

Tapi, saya menganggap alasan perseteruan dengan Ahok ini bukanlah substansi utama. Perseteruan itu hanyalah riak kecil dari buruknya komunikasi politik yang seharusnya bisa dimainkannya dengan bijak. Ia seharusnya bisa membangun satu kerangka dialog dan kesepahaman, yang lalu menggerakkan laju pemerintahan ke arah cita-cita ideal.

Kedua, pergerakan politik yang ibarat makan kerupuk. Terlihat banyak dan berbunyi kriuk-kriuk, tapi tak pernah mengenyangkan. Beberapa tugas langsung dari presiden yang seharusnya dituntaskannya ternyata justru menjadi probem yang terus muncul. Sebut saja tentang dwelling time, harga logistik yang tinggi, hingga pembenahan pelabuhan yang tak kunjung beres.

Di titik ini, Rizal harus banyak berguru pada Luhut Binsar Panjaitan tentang bagaimana menjadi seorang mastermind atau pengatur ritme yang luput dari pantauan publik. Luhut bisa mengendalikan dinamika Partai Golkar, dengan gejolak yang minim. Ia bekerja senyap dengan hasil yang besar bagi pemerintah. Sementara Rizal sebaliknya. Ia bekerja sedikit, dengan publikasi yang besar-besaran.

Ketiga, hasrat publikasi yang sedemikian massif sehingga menjadi jerat baginya. Ia membobardir media massa dan media online dunia maya dengan segala berita tentangnya. Ia juga memanfaatkan sosok Adhie Massardi sebagai spin doctor yang akan membelokkan segala isu tentang Rizal demi membangun glorifikasi atau upaya yang kian melambungkan namanya. Tugas spin doctor ini adalah meramaikan dinamika politik dengan berbagai isu, yang boleh jadi, membelokkan substansi tentang betapa sedikitnya kerja yang telah dilakukan.

Permainan wacana yang dimainkan para spin doctor memiliki tujuan yang sama yakni memosisikan Rizal sebagai hero, dan yang lain sebagai looser. Berbagai isu di-listing, lalu diatur timing-nya. Sebagai hero, ia berharap mendapatkan dukungan publik luas sehngga kelak menjadi simbol dari perjuangan melawan para penindas.

Jika diibaratkan permainan sepakbola, Rizal adalah tipe pemain individualis yang ingin sesegera mungkin mencetak gol, tanpa membangun tim yang kuat. Menjadi pahlawan memang memabukkan, sebab posisi itu memungkinkan seseroang menjadi sorotan semua kamera, lalu memantik kekaguman yang berujung pada citra terkerek tinggi.

Keempat, ia tidak juga menunjukkan pemahaman yang jelas atas visi maritim di pemerintahan ini. Pemerintahan Jokowi – JK adalah pemerintahan yang hendak mewujudkan visi maritim, namun visi besar itu tak pernah dijabarkan dengan jelas. Jika maritim diterjemahkan sebagai semesta berpikir yang seharusnya bisa merasuk dalam segenap kebijakan politik yang ditempuh pemerintah, tugas seorang menko adalah membumikan visi itu ke dalam kerangka kerja yang lebih terstruktur dan jelas arahnya.

Saat memilih istilah “Rajawali Kepret” sebagai simbolisasi dari peran ideal yang hendak dimainkannya. Simbol ini menjadi penegasan bahwa dirinya ingin mengkepret siapapun yang melenceng dari pemerintahan. Sayang, istilah ini ibarat senjata makan tuan. Sejarah mencatat bahwa dirinyalah yang kemudian dikepret di tengah jalan yang telah dirintisnya.



Pelajaran berharga dari kasus ini adalah sebagaimana pepatah Inggris: ”Don’t put all your eggs in one basket.” Jangan pernah menyimpan semua telur dalam satu keranjang. Jangan pernah mengeluarkan semua strategi dalam satu skenario. Anda mesti pandai mengatur ritme kapan harus menurunkan setiap kartu. Perhitungkan situasi dan konteks sekeliling. Jika kartu dikeluarkan sekaligus, maka bisa berpotensi chaos yang bisa mengancam pihak lain, lalu membuat anda yang tersingkir. Dan strategi terbaik adalah melakukan kerja-kerja hebat yang monumental, yang bisa membuka banyak pintu untuk menurunkan strategi lainnya.

***

APA boleh buat, layar telah terlanjur patah di jalan. Perjalanan lelaki itu masih akan panjang. Amat menarik menyaksikan apa saja kartu skenario yang akan dimainkannya. Ia tak mungkin mundur begitu saja, tanpa menyiapkan sejumlah kartu as .

Pertama, ia akan menampilkan kesan kalau dirinya di-reshuffle sebagai akibat dari kuatnya lobi para pengembang. Ia membangun kesan bahwa dirinya sedang melawan para pengembang, yang didukung penuh oleh pemerintah. Pesan ini mulai disuarakan oleh para spin doctor yang dekat dengan dirinya secara terus-menerus.

Kedua, ia akan tetap tampil menghadiri semua diskusi yang diadakan media massa. Ia akan kembali menjdi pengamat yang memiliki banyak ide-ide nyeleneh. Hanya dengan cara itu ia bisa merawat kekaguman orang lain kepadanya, yang nantinya akan bisa dijadikan sebagai senjata untuk kembali memasuki dunia politik.

Ketiga, ia akan ikut dalam upaya membangun oposisi kritis atas pemerintahan Jokowi-JK. Ia bukanlah sosok Habibie yang saat lengser memilih jadi guru bangsa dan tidak pernah melempa kata negatif pada siapapun pemimpin. Ia juga bukan Gus Dur yang kembali menekuni kegiatan kultural seusai mundur dari posisi presiden. Ia juga bukan Megawati yang masih memegang partai besar dan bisa mengendalikan banyak sisi dalam politik tanah air. Hanya melalui gagasan kritis,

Keempat, ia akan tetap merawat harapan menjadi pemimpin Indonesia. Melalui citra yang terus dijaga sebagai seorang penyelamat rakyat, ia akan terus berkiprah di panggung politik. Ia embangun persepsi dirinya sebagai anti-neolib serta sebagai pejuang yang hendak meluruskan pemerintahan Jokowi. Positioning ini akan terus dimainkannya hingga momen pemilu mendatang.

Dengan usia yang tak muda lagi, kesempatannya barangkali hanya sekali, yakni pada pemilu mendatang. Boleh jadi ia akan sukses menggapai mimpinya, boleh jadi pula ia akan gagal. Kita akan sama-sama menjadi saksi tentang sejauh mana pencapaiannya. Yang pasti, keberadaannya hari ini telah menghadirkan banyak catatan di benak kita, tentang politisi di panggung kuasa. Pada dirinya, kita sedang belajar memahami politik yang terus berubah.




Bogor, 28 Juli 2016

BACA JUGA:







Membaca Perlawanan Politik dan Puitik




MENCARI buku bagus itu ibarat mencari berlian di tengah timbunan batu-batu. Dalam sekian kali pencarian, kita tak selalu menemukan buku bagus. Namun sekali bertemu, ada rasa puas yang susah digambarkan dalam kata. Hari ini saya menemukan buku bagus yang ditulis esais Mohammad Sobary, pernah jadi peneliti LIPI, pernah pula memimpin LKBN Antara. Buku ini digali dari disertasinya yang dibuat saat usianya sudah mencapai 60 tahun. Dugaan saya, ia mendedikasikan buku ini sebagai karya akademik yang menjadi puncak pencapaiannya.

Baru membaca sekilas, saya menemukan beberapa hal menarik dalam buku Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung.

Pertama, buku ini memosisikan para petani sebagai subyek yang harus didengarkan. Sungguh beda dengan membaca diskursus pemerintah tentang petani yang melihat mereka sebagai angka-angka statitik. Jujur, saya jenuh dengan tulisan tentang petani, yang tak menyertakan suara para petani. Sama jenuhnya saya dengan mengikuti diskusi kemiskinan di satu hotel mewah. Buku ini berbeda.

Kedua, buku ini membahas bagaimana respon dan perlawanan petani atas kebijakan pemerintah. Perlawanan itu tidak selalu dilakukan dengan aksi massa serta bakar-bakaran ala mahasiswa di kota-kota. Para petani menempuh cara yang sangat cerdik dan sistematis, melalui kharisma dan kepemimpinan, melalui pilihan strategi dan pergerakan, serta bagaimana menggunakan semua instrumen kultural untuk menyatakan sikap.

Yang membuat saya merinding adalah para petani menggunakan mantra-mantra yang memancarkan religio-magis yang mencekam, menggunakan berbagai simbol dan ritus dalam suasana kudus, melalui sesajen yang menghubungkan dunia ini dengan dunia sana. Para petani melawan dengan puisi-puisi yang sesekali dibacakan demi menghangatkan bara perlawanan. Mereka berperang dengan kidung dan aesthetic of art yang puitik.

Sepintas, buku ini mengikuti argumentasi ilmuwan politik James Scott dalam Weapons of the Weak, yang diterjemahkan dengan judul Senjatanya Orang Kalah. Namun setelah membaca sekilas, bukui ini menempuh pola berbeda. Di beberapa bagian ada refleksi atas pemikiran Scott dalam konteks Indonesia. Namun, harus diakui, gagasan Scott sangat kuat merasuki buku ini.

Ketiga, saya amat menyukai gaya penulisan buku ini yang sangat etnografis. Membaca buku ini serasa mengikuti kisah-kisah detektif yang seru, membumi, serta penuh kejutan. Saya seakan tidak membaca disertasi, melainkan mengikuti perjalanan para petani, meraskan denyut nadi dan detak jantung mereka, mengalami hasrat perlawanan akibat ruang hidup yang semakin sempit gara2 kebijakan pemerintah.

Di bagian akhir, ada pencerahan yang muncul. Bahwa para petani itu tidak sedang memperjuangan kepentingannya, tapi menginginkan perubahan substansial yang mengubah tatanan yang lebih berkeadilan. Duh, betapa bijak dan arifnya para petani kita, kearifan yang jarang kita temukan di kalangan kaum cerdik pandai di kota-kota.

Saatnya membaca.



Segera Terbit: Kerlip Cahaya di Perbatasan




SETAHUN silam, saya melatih 25 anak muda pemberani yang akan menjadi fasilitator di pulau-pulau terluar. Saya memberi latihan tentang dasar-dasar menulis, yang lebih ke arah pencatatan etnografi dalam tradisi riset ilmu sosial. Anak-anak muda ini bekerja di tepian tanah air, dan menyaksikan langsung halaman depan republik ini. Mereka melawan semua ketidaknyamanan demi hasrat petualangan dan penjelajahan, yang tak semua orang bisa melakukannya.

Sebelum berangkat, saya memberi mereka target untuk menulis artikel. Pekerjaan ini tak mudah bagi mereka, yang sebagian besar belum pernah menulis artikel. Saya meyakinkan mereka bahwa pekerjaan ini mudah dan bisa dilakukan. Saya cukup pede karena sebelumya pernah melatih warga desa di empat lokasi untuk membuat artikel tentang keseharian mereka. Lagian, anak-anak muda itu sudah lama mengenal media sosial. Jika mereka bisa buat status curhat di facebook, pasti mereka bisa menulis artikel. Pasti mereka bisa buat buku. Yang mereka butuhkan adalah motivasi kuat untuk bisa menghasilkan sesuatu.

Selama mereka di lapangan, saya menjadi provokator agar mereka menulis. Saya tak henti merawat motivasi mereka agar berani membuat catatan, seperti apapun bentuknya. Tak pernah bosan, saya membisikkan mantra Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama orang itu tidak menulis, ia akan tenggelam dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis itu bekerja untuk keabadian.”

Saya pun menawarkan diri sebagai editor yang membantu mereka. Tak saya sangka, proses mengedit catatan itu menjadi proses belajar yang membahagiakan buat saya. Saya serasa bertamasya ke banyak lokasi. Betapa senangnya mengedit kisah-kisah petualangan di pulau terluar. Mulai dari perjalanan ke kampung-kampung di Pulau Enggano, perdagangan ilegal penyu di Pulau Sebatik, kehidupan di Pulau Maratua, hingga pengalaman mendebarkan saat berada di tengah pusaran konflik warga di Pulau Kolempon, Papua. Pada setiap catatan, saya menemukan pembelajaran berharga yang menebalkan kekaguman saya kepada mereka. Sebagai editor, saya banyak belajar pada mereka.

Serasa tak percaya saat melihat buku itu akan segera rampung dan akan diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Destructive Fishing Watch (DFW). Lebih tak percaya lagi saat melihat nama saya di sampul depan dari kerja-kerja hebat yang dilakukan oleh anak muda itu. Ah, bahagianya.



Bogor, 24 Juli 2016



Pokemon Go, Game, dan Kecerdasan Generasi Internet



DI layar televisi, saya menyaksikan debat antara seseorang yang meyebut dirinya pakar, dengan seorang presenter. Sang “pakar” beberapa kali menyebut bahaya Pokemon Go dan beberapa aplikasi game lainnya. 

Setelah menyimak wawancara itu, saya sangat yakin kalau sang “pakar” tak pernah merasakan nikmatnya bermain game. Tak mengejutkan jika ia berargumentasi, video game ataupun online game merusak generasi muda. Ia membandingkan dengan masa kecilnya yang tak pernah bermain game, lalu sukses dalam karier. Terhadap game, ia menyebutnya sebagai racun bagi kehidupan generasi baru. Benarkah?

Saya tak ingin membahas tentang Pokemon Go yang banyak dicurigai oleh pemerintah dan aparat. Saya melihat argumentasi mereka tentang game sebagai simbol dari adanya gap antar generasi. Hampir semua yang menolak game adalah generasi yang justru tak pernah merasakan nikmatnya bermain game. 

Generasi yang anti pada game ini kebanyakan generasi tua yang dibesarkan dengan nilai-nilai yang berbeda dengan generasi baru. Mereka yang disebut generasi baby boomer ini tumbuh dengan nilai bahwa yang tua selalu benar, nilai-nilai masa lalu selalu lebih unggul, pendidikan harus dibangun dengan disiplin ala tentara.

Yang sering kita saksikan adalah kegamangan generasi tua terhadap generasi baru. Generasi tua menjadi amat defensif saat berhadapan dengan sesuatu yang tidak mereka pahami. Mereka gagap dengan kehadiran berbagai perangkat baru, serta dunia digital yang begitu digilai anak-anak muda. 

Meskipun mereka mengatakan bahwa kehadiran banyak game, aplikasi, dan software dipandang menghadirkan kultur baru yang akan merusak pikiran, sesungguhnya mereka justru tak mengenal apa yang dikatakan tersebut.

Berbagai argumentasi dikeluarkan, yang kesemuanya bermuara pada ketidaktahuan, serta adanya anggapan yang menghujam dalam diri kalau nilai-nilai generasi lama lebih baik dari generasi hari ini. Kebanyakan kritik bersumber dari ketakutan, serta ketidakpahaman terhadap apa yang sedang terjadi, dan sejauh mana keasyikan hal-hal baru itu.

Pada tahun 2008, terbit sebuah buku berjudul The Dumbest Generation: How the Digital Age Stupefies Young Americans and Jeopardizes Our Future yang ditulis Mark Bauerlein, dan diterbitkan oleh Penguins, New York. 

Buku ini menarik sebab berisi gugatan pada nilai-nilai generasi masa kini yang dianggap lebih bodoh dari generas masa lalu. Buku ini sedemikian pesimis serta melihat ada banyak nilai yang bergeser dan semakin hilang pada generasi hari ini, milai dari disiplin, kepatuhan, serta semangat belajar.

Tak lama setelah buku ini terbit, berbagai respon bermunculan. Penulisnya Bauerlein dicecar dengan berbagai data terbaru yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan generasi sekarang lebih tinggi dari generasi lalu. Bahkan tingkat IQ pada siswa sekolah di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibanding generasi lama. 

Beberapa ahli lalu mengambil kesimpulan bahwa generasi baru memiliki kecerdasan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Makanya, berbagai inovasi dan kreativitas dimunculkan demi mengalirkan kecerdasan anak muda, yang di usia belia sudah menjadi miliuner, sebagaimana Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.

Dalam buku Grown Up Digital, yang pertama kali terbit tahun 2009, penulis Don Tapscott membantah argumen tentang generasi masa kini yang dianggap lebih bodoh. Ia menampilkan banyak data dan riset tentang kecerdasan generasi kini yang lebih baik dari generasi sebelumnya. 

Kata Tapscott, para net-gener, sebutan untuk generasi yang mengenal internet sejak kecil, menggunakan teknologi untuk menjadi lebih cerdas dibanding orangtuanya. Tumbuh dalam lingkungan digital, membuat generasi ini memiliki keterampilan mental, seperti kemampuan pemindaian dan berpindah-pindah dari tugas mental satu ke tugas mental lain dengan cepat.

beberapa sosok dalam game online

Kata Tapscott, generasi ini cepat merespon berbagai informasi yang masuk dengan cara-cara yang unik. Mereka berpikir dan mengolah informasi dengan cara berbeda. Mereka mengolah wawasan-wawasan baru, yang lalu membawa banyak implikasi pada sistem pendidikan, iklim bisnis, serta bagaimana mempengaruhi kebijakan. 

Makanya, yang harus dilakukan adalah memahami cara berpikir generasi ini, lalu mengembangkan sistem pendidikan yang lebih kondusif bagi siap kritis serta nalar mereka untuk tumbuh dengan cepat.

Dalam buku yang ditulis Tapscott, saya menemukan beberapa contoh menarik. Di antaranya adalah eksperimen yang dilakukan Green dan Bavalier terhadap para pemain game aksi seperti Warcraft, Crazy Taxi, Age of Empire. Mereka juga melakukan eksperimen pada generasi yang bukan pemain game. Tujuan eksperimen itu adalah membandingkan bagaimana kedua pihak merespon infromasi visual dalam pikirannya.

Hasil riset itu menunjukkan bahwa para pemain game jauh lebih cepat merespon informasi visual di pikirannya, ketimbang mereka yang tidak bermain game. Para pemain game jauh lebih banyak melihat berbagai target seperti bujur sangkar, lingkaran, wajik, limas, kerucut, yang ditampilkan di layar komputer. 

Para pemain game lebih cepat memproses semua informasi di pikirannya. Tadinya, Green dan Bavalier menganggap kemampuan para pemain game itu tumbuh secara alami. Ternyata tidak. Saat generasi tua itu dilatih dan bermain salah satu game aksi yakni Medal of Honor selama 10 hari, kemampuan visual mereka meningkat pesat.

Riset ini menarik sebab kemampuan mengolah data-data visual sangat berpengaruh pada keterampilan spasial, kemampuan memanipulasi obyek 3-D secara mental, yang sangat berguna bagi para arsitek atau perancang bangunan, pemahat, insinyur, pekerja desain interior, fashion designer, pembuat animasi dan kartun, para seniman, hingga para ahli matematika. Kemampuan memproses data visual adalah jantung bagi kesuksesan di beberapa bidang tersebut.

Riset lain membuktikan game interaktif sangat berguna dalam pelatihan dokter bedah. Tapscott mengangkat fakta tentang bedah laparoskopis, sebuah teknik invasif minimal dengan kamera dan alat-alat operasi yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui irisan kecil kira-kira satu sentimeter. 

Ahli bedah laparoskopis mengerjakan operasi bedah hanya dengan melihat citra yang berasal dari kamera internal yang sangat kecil. Dalam studi tahun 2004, para dokter muda yang terbiasa bermain game dan dilatih untuk mempelajari keterampilan bedah ini lebih cepat belajar, dan lebih sedikit melakukan kesalahan dibandingkan mereka yang tak pernah bermain game.

Di luar riset tadi, saya pun mengamati anak saya Ara yang berusia 5 tahun. Dalam sehari, anak ini bisa menghabiskan beberapa jam untuk bermian game. Ia melakukannya di luar aktivitas seperti bersekolah, bersepeda, dan bermain dengan rekan sebayanya. 

Yang mengejutkan saya, ia dengan cepat belajar bahasa Inggris, dan menguasai begitu banyak kosa kata yang tidak pernah saya ajarkan sebelumnya. Saat kami berkunjung ke satu tempat hiburan, ia sangat familiar dengan peta visual yang dibagikan. Ia dengan cepat membuat keputusan ke mana saja kami haris berkunjung.

Dalam usia semuda itu, ia sudah bisa memahami situasi, serta membuat prioritas tindakan yang harus dilakukan. Dalam situasi tertentu, ia memberikan nasihat serta pilihan-pilihan yang harus diambil. Kelihatannya ini sepele. Tapi saya sering bertemu dengan para pekerja kantoran yang justru tak bisa memahami situasi, serta membuat keputusan apa yang harus dilakukan. 

Saya banyak melihat orang yang mentalnya adalah tipe pekerja yang harus diberikan petintah apa yang harus dilakukan, tanpa kemampuan membaca situasi lalu menyusun prioritas di tengah berbagai pilihan. Hanya satu penjelasan atas kemampuan Ara. Ia sering bermain game, terbiasa berada pada satu situasi penuh tantangan, lalu membuat keputusan strategis.

salah satu game online

Saya teringat pada Prof Vilbert Cambridge, yang pernah mengajari saya di kelas Communication and Development di kampus Ohio. Dalam beberapa kali pertemuan, ia menunjukkan sejumlah game komputer yang diajarkanya kepada anak-anak di beberapa negara berkembang. 

Salah satu game itu adalah situasi di tengah desa Afrika di mana beberapa anak harus mengambil air di tengah gurun. Anak-anak itu harus melewati sejumlah tantangan untuk menuju sumber air itu. “Sepintas ini permainan, tapi sesungguhnya ini adalah pelajaran besar bagi anak-anak untuk mengenali situasi di sekitarnya, lalu membuat banyak keputusan strategis. Anak-anak zaman sekarang belajar dengan cara yang berbeda dengan generasi saya,” kata Cambridge.

***

SAYA tak akan berpanjang lebar membahas fenomena game. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ada banyak norma dan nilai yang bisa diserap pada generasi baru yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kita untuk mengubah pendidikan, cara belajar, iklim bisnis, serta cara kita memahami sesuatu. Mengutip Tapscott, generasi ini baik-baik saja.

Mereka belajar sambil bermain game dan terkoneksi internet. Mereka menyukai kecepatan, anti pada rutinitas, menginginkan kebebasan, dan membuat sesuatu sesuai selera (kustomisasi). Mereka membawa mentalitas bermain dalam pekerjaan, lalu membuat pekerjaan itu menjadi fantastis. Tak heran jika perusahaan raksasa Google membangun kantor yang atmosfernya seperti ruang bermain. 

Di situ ada banyak camilan, sofa-sofa untuk berbaring, serta ruangan yang didesain warna-warni sehingga menampilkan kesan santai, yang jauh dari kesan serius sebuah kantor. Bahkan karyawan diijinkan untuk membuat proyek pribadi, yang dalam banyak kasus, justru kelak menjadi tambang uang bagi perusahaan itu.

salah satu sudut di kantor Google

Dunia memang telah banyak berubah. Melalui game, aplikasi, dan software, telah lahir satu generasi multi-tasking yang bisa mengerjakan banyak tugas saat bersamaan. Mereka dengan cepat memindai artikel di internet, lalu memperkaya informasi itu dengan informasi lain.

Saya mengakui ada juga generasi baru ini yang menggugah konten porno, mengambil informasi dari internet demi plagiasi, lalu menyebar bully dan meme yang sering mendiskreditkan orang lain. Pada tahap ini, pengawasan orang tua dan sekolah sangat penting untuk mengalirkan energi kreatif itu ke arah sesuatu yang positif. 

Pengawasannya bukan dengan gaya generasi tua yang menghardik dan memaksakan sesuatu. Pengawasan itu harus dengan cara yang kreatif dan menyenangkan, nilai-nilai yang dijadikan patokan dalam mengisi aktivitasnya hari demi hari.

Semoga kita selalu belajar dan menyerap semua pengetahuan.


Bogor, 23 Juli 2016

BACA JUGA:





Terjerat Informasi Medsos dan Media Abal-Abal


 


SALAH satu fenomena media sosial di Indonesia adalah kemunculan banyak pakar dadakan. Saat kinerja ekonomi Jakarta dibahas, semuanya jadi pakar ekonomi. Tiba-tiba saja semua paham istilah2 seperti penyerapan anggaran dan pengawasan kinerja. Saat ada isu reshuffle kabinet, semua orang jadi pakar politik. Semuanya jadi jago membahas tentang perimbangan kekuatan, serta membahas lemahnya kekuasaan eksekutif.

Dari mana sumber informasinya? Dari media abal-abal dan satu atau dua paragraf yang disebar melalui Whatsapp.

Nah, saat ada peristiwa kudeta di negara lain, semua menjadi pakar politik internasional. Tiba-tiba saja negeri itu menjadi lebih familiar dari negeri sendiri. Seolah apa yang terjadi di sana telah lama diprediksi sebab perkembangan politik di sana telah lama diamati. Seolah telah lama membaca segala hal tentang ngeri itu, lalu lupa kalau pengetahuannya sebatas sinetron negeri itu yang pernah ramai di sini.

Dari mana sumber informasinya? Dari media abal-abal dan satu atau dua paragraf yang disebar melalui Whatsapp.

Di satu grup, beberapa orang rajin membagikan informasi tentang kehebatan Mr X, pemimpin di negeri seberang itu, serta pujian dari negara lain. Biasanya, saya tanya balik, apa ada sumber informasi resmi dari media besar berbahasa asing yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi? Seperti biasa, tak ada jawaban. Aneh saja, di abad informasi, tak banyak yang menunjukkan rujukan informasi, serta sumber kutipan, yang memungkinkan kita untuk dapat informasi dari tangan pertama. Lebih sulit lagi menemukan orang yang merekomendasikan buku2 dan bahan bacaan.

Mungkin, inilah fenomena di republik medsos. Tak perlu memperkaya informasi. Tak perlu melakukan cross-check informasi dan menahan diri hingga ada kejelasan. Cukup membaca informasi yang disebar secara massif, ikut-ikut resah dengan apa yang terjadi di dunia lain, lalu menyebar segala informasi tentang peristiwa itu. Ada yang mengutuk, ada yang memuji dan berharap hal serupa terjadi sini. Padahal dalam setiap perubahan, satu korban itu terlampau banyak dan sudah cukup untuk melukai nurani kemanusiaan kita. Besok informasi itu akan tenggelam lagi. Saat ada topik atau isu lain yang lebih hangat dan lebih seksi, para netizen akan menjadi pakar soal isu itu.

Tahu sumbernya dari mana? Dari media abal-abal dan satu atau dua paragraf informasi yang disebar melalui Whatsapp.

Eh, ngomong-ngomong, apa kalian tahu kalau mahasiswa Papua di Yogyakarta menerima perlakukan kejam dari aparat dan masyarakat sana? Ah, pasti kalian tahunya cuma apa yang terjadi di kejauhan sana.


Bogor, 17 Juli 2016



INDONESIA TIMUR, Eksotika, dan Catatan yang Terserak

sampul buku

INDONESIA timur ibarat sebentang peta yang masih belum dikenali serta menantang untuk dijelajahi. Setiap orang bisa menjelajah lalu menambahkan berbagai informasi pada sebidang peta tersebut. Tak sekadar informasi tentang semesta indah yang dahulu pernah memikat para penjelajah Eropa yang datang untuk mencari rempah-rempah. Tapi juga kisah tentang flora dan fauna yang masih alami dan misterius bagi para petualang.

Bagi para mahasiswa pencinta alam Silvagama di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Indonesia Timur serupa berlian yang ditemukan seusai menyelam dalam samudera kekayaan flora dan fauna. Saya sangat menikmati ketakjuban mereka saat menelusuri lima taman nasional di Indonesia Timur, sebagaimana dicatat dalam buku Cerita dari Timur: Catatan Perjalanan Ekspedisi Taman Nasional, yang diterbitkan Gadjah Mada University Press, tahun 2016.

Apakah gerangan kisah menarik yang ditemukan di kawasan timur itu?

***

“Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk Pala, serta Maluku untuk cengkih. Barang-barang ini tak ada di tempat lain di dunia kecuali di tempat tadi.”

Kalimat itu diungkapkan oleh Tome Pires dalam buku Summa Oriental, yang terbit tahun 1511. Pires sedang mengungkapkan kekagumannya atas berbagai komoditas di timur Nusantara yang memikat bangsa Eropa hingga berbondong-bondong ke tanah itu. Sebelum bangsa Eropa, bangsa Cina lebih dahulu datang, dan merahasiakan rute ke tanah itu.

Perjalanan menemukan timur adalah perjalanan menemukan kejayaan. Didorong hasrat kapitalisme Eropa yang layatnya tengah naik, para penjelajah berdatangan ke timur. Kabar yang muncul dari timur dipenuhi kabar tentang eksotisme, serta betapa banyaknya sumberdaya. Kabar ini lalu membius para pemilik kongsi dagang, yang datang atas nama negara, lalu berusaha mencaplok wilayah itu demi menguasai semua sumberdaya.

Kolonialisme juga memiliki dampak lain yang tak melulu soal ketamakan dan akumulasi kapital. Kolonialisme juga menyimpan kisah tentang mekarnya ilmu pengetahuan di tanah jajahan, yang lalu menyebar ke dunia sana. Itu terlihat dari kedatangan ilmuwan Alfred Russel Wallace yang mencatat semua flora dan fauna, membuat klasifikasi, lalu menentukan garis sebagai pembeda. Dari tanah Ternate, Wallace mengirim surat kepada muridnya Charles Darwin yang berisi catatan ekspedisinya. Siapa sangka, "Letter from Ternate" itulah yang menginspirasi Darwin untuk melahirkan teori evolusi yang masyhur itu.

Di abad kekinian, perjalanan Wallace ke timur itu telah menginspirasi banyak kalangan. Baru-baru ini, para mahasiswa yang tergabung dalam Silvagama, organissi pencinta alam di Fakultas Kehutanan UGM, melakukan perjalanan ke lima taman nasional di timur yakni Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (Halmahera), Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Maros, Sulawesi Selatan), Taman Nasional Wasur (Merauke, Papua), dan Taman Nasional Lore-Lindu (Sulawesi Tengah).

Dalam buku Cerita dari Timur, para mahasiswa ini mencatat kenangan, menuliskan penjelajahan serta pengalaman, lalu memberikan catatan kritis tentang kondisi taman nasional itu. Catatan mereka tak hanya merangkum keindahan dan keanekaragaman, tapi juga beberapa kebiasaan yang justru bisa mengancam taman nasional itu di masa mendatang.


Sebagai buku yang merangkum ekspedisi, buku ini memuat narasi perjalanan, deskripsi berbagai taman nasional beserta flora dan fauna, juga merangkum foto-foto tentang keadaan di lokasi. Melalui narasi dan gambar, kita seolah berkunjung ke taman nasional itu lalu menyaksikan jantung dari berbagai keping kenyataan di situ.

Di Halmahera, saya menemukan catatan tentang Sofifi, ibukota Maluku Utara yang sepi sebab penduduk lebih suka tinggal di Ternate. Tak jauh dari situ terdapat Taman Nasional Aketajawe-Lolobata yang dipenuhi berbagai jenis burung-burung yang tak ditemukan di tempat lain. Birdlife International, lembaga yang fokus pada pengamatan burung, mencatat terdapat 11 daerah penting bagi burung di taman nasional ini.

Sebagaimana halnya Wallace yang terpesona dengan tempat itu, para mahasiswa juga terpesona dengan keanekaragaman burung yang hanya ada di kawasan timur. Di antara banyak burung itu, terdapat jenis burung bidadari halmahera (semioptera wallaci). Para mahasiswa itu memanjat pohon, lalu merekam aktivitas burung itu. Mereka serasa menemukan mutiara sebab burung ini terbilang misterius. Walaupun sudah dicatat oleh Wallace, belum pernah ada yang merekam jejaknya secara utuh. Tak ada yang bsia memastikan di mana burung ini bersarang dan siklus hidupnya.

Di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, para mahasiswa itu memantau berbagai jenis kupu-kupu. Tak hanya itu, mereka juga menelusuri gua bawah tanah, dan menemukan sungai-sungai di dalamnya. Mereka menelisik kolong, celah-celah di bumi yang bisa disusuri, demi menemukan indanya pemandangan di gua-gua bawah tanah. Saya menemukan catatan menarik saat mereka membahas tentang vandalisme atau aksi corat-coret yang dilakukan di gua-gua di bukit karst. Nampaknya, tak semua penjelajah punya wawasan ekologis yang baik. Ada saja orang yang mengotori kawasan yang indah itu.

Hal lain yang juga cukup miris adalah banyaknya warga yang menangkap kupu-upu untuk dijadikan souvenir. Saya menyaksikan di sekitar Bantimurung, banyak warga yang menjadikan kupu-kupu itu sebagai hiasan dinding juga dimasukkan dalam plastik lalu menjadi gantungan kunci. Kenyataan ini cukup miris mengingat bahwa kupu-kupu memiliki hak hidup serta berkembang dihabitatnya. Harusnya dia dibiarkan terbang bebas di alam Bantimurung yang sedemikian menawan.

Catatan yang paling saya sukai adalah perjalanan di Taman Nasional Wasur di Merauke, Papua. Saya beruntung sebab pernah melintasi taman nasional ini dalam perjalanan menuju perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea setahun silam. Saya sangat familiar dengan deskripsi yang ada dalam catatan ini. Saya juga menyukai informasi tentang flora, serta budaya setempat. Misalnya tentang nilai-nilai, pantangan saat berburu, serta sanksi. Ada pula informasi tentang cara-cara masyarakat berburu dan deskripsi hewan apa saja yang ada di taman nasional itu.

Yang membuat saya menyukai tulisan tentang perjalanan di Merauke ini adalah adanya deskripsi yang cukup lengkap tentang bagaimana kehidupan masyaraat setempat yang berinteraksi dengan hewan dan tumbuhan di taman nasional itu. Saya mendapat informasi baru tentang sejumlah aturan adat dalam perburuan rusa, misalnya hanya boleh berburu saat musim kering sebab saat musim hujan, rusa itu akan berkembang biak. Selanjutnya, hanya boleh memanah yang jantan, sebab yang betina akan dibiarkan untuk bereproduksi. Ada pula berbagai sanksi adat bagi yang melanggar.

Sayangnya, nilai-nilai dalam perburuan itu mulai bergeser disebabkan oleh uang serta tingginya permintaan daging. Beberapa hewan di taman nasional itu seperti kanguru, kasuari, dan walabi, kian terancam hidupnya disebabkan para pemburu selalu mencari mereka. Para mahasiswa itu mencatat pergeseran tradisi berburu, yang dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten, menjadi perbruan komersial.

Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, para mahasiswa itu banyak mencatat kehidupan etnis Kaili. Mereka juga menulis ekosistem Danau Lindu, beserta satwa-satwa eksotik di situ. Sebagaimana dicatat Wallace, Sulawesi adalah kawasan ekologis yang unik. Jenis flora dan faunanya punya karakteristik berbeda dengan kawasan lain. Makanya, perjalanan di Danau Lindu menjadi perjalanan yang menyenangkan sebab bisa menyaksikan keunikan danau, serta hamparan perkebunan kopi yang dibangun masyarakatnya.

***

BAGI saya, buku ini membuka mata menjadi lebih jernih tentang betapa kayanya kawasan timur. Saya berharap agar lanju mdoernisasi dan pembangunan tidak menggerus kekayaan alam itu sehingga kelak masih bisa diwariskan ke anak cucu. Catatan dalam buku ini menjadi alarm kalau terdapat banyak hal yang berubah, dan dibutuhkan kesadaran untuk melanjutkan adegan konservasi di kawasan itu.

Dikarenakan dibuat oleh mahasiswa pencinta alam, saya bisa memahami kalau buku ini tidak begitu kritis. Padahal, perubahan ekologis yang terjadi berupa semakin berkurangnya habitat hewan disebabkan oleh banyak, dan yang paling dominan bukanlah penduduk, melainkan masuknya korporas tambang dan kayu yang memosisikan hutan sebagai sesuatu yang bisa dikapling lalu dibagi-bagi. Beberapa studi tentang Lore Lindu pernah dibuat oleh para antropolog, di antaranya adalah Greg Accioli, George Aditjondro, Celia Loew, Peluso, dan beberpaa peneliti lainnya. Terakhir, saya membaca tulisan Claudia D'Andrea yang membahas dinamika dan perlawanan warga lokal atas kehadiran pihak korporasi kopi berlabel internasional di Lindu.


Di Merauke, Papua, saya menemukan informasi dalam buku ini yang mengesankan seolah-olah warga Marind-Anim yang berburu lalu menangkap satwa demi diambil dagingnya. Mungkin, mereka memang pelakunya. Tapi saya sangat yakin kalau posisi warga lokal hanya sebagai kaki-tangan dari kuasa modal yang selama beberapa tahun ini menggerus tanah Papua. Selama berada di taman nasonal itu, saya menemukan banyak kisah pilu tentang konversi hutan menjadi lahan persawahan, yang lalu dikelola oleh petani yang didatangkan dari Jawa. Pemerintahan Jokowi-JK hendak menciptakan lahan sejuta hektar di Merauke melalui tangan petani dari luar. Para penduduk lokal hanya menjadi penonton dari orkestrasi kapitalisme yang terus-menerus menyempitkan lahan, menghanurkan ruang hidup bagi tanaman dan hewan, hingga akhirnya mempersempit ruang bagi penduduk lokal.

Demikian pula di Bantimurung, Sulawesi Selatan. Harusnya para mahasiswa itu tak hanya fokus pada aksi vandalisme, tetapi juga fokus pada bagaimana korporasi semen telah mengebir kawasan karst itu, membuat lubang yang amat besar, yang jika dilihat dari atas, nampak beberapa bukit mulai rata dengan tanah. Kehadiran pabrik semen bisa mengancam ekosistem,

Yang bisa diperkuat dari buku ini adalah: (1) analisis yang tajam dalam melihat dinamika dan relasi antara aktor lokal, aktor nasional, korporasi, serta negara yang menyebabkan ekosistem di taman nasional itu terancam, (2) bagaimana membangun advokasi dan pengarus-utamaan agenda-agenda konservasi melalui upaya meningkatkan kesadaran kritis bagi warga lokal. Warga harus digugah kesadarannya untuk mengenali peta permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Tugas dari semua intelektual itu tak hanya membuat deskripsi, tapi harus menyentil kesadaran masyarakat untuk mempertanyakan banyak hal, sebagai upaya untuk menjaga kelestarian alam dan ekosistem di kawasan taman nasional.

Nampaknya bukan cuma mahasiswa yang seharusnya menyandang tugas ini. Ini adalah tugas sejarah bagi semua pihak untuk menjadikan pengetahuan sebagai senjata yang menjaga lingkungan dari tangan pendekar berwatak jahat. Ini adalah tugas kita semua. Iya khan?



Bogor, 15 Juli 2016

BACA JUGA: