Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017




TAHUN 2017 segera berlalu. Di jalan-jalan, trompet penanda pergantian tahun telah bermunculan. Tak lama lagi, trompet itu akan ditiup dengan keras sembari menyaksikan kembang api meledak di udara. Kalender akan segera sampai di lembar terakhir. Tahun 2018 tampak di depan mata.

Saya mencatat tahun 2017 adalah awal dari kian suramnya toko-toko buku di Indonesia. Setiap kali berkunjung ke toko buku terbesar Indonesia, saya menyaksikan bagaimana ruang-ruang untuk memajang buku kian sempit. Dahulu, semua sudut di toko itu dipenuhi hamparan buku. Kini, buku-buku makin terdesak oleh kehadiran stationary, pulpen-pulpen mahal, DVD original, hingga tas anak sekolah. Toko buku perlahan berganti menjadi ruang pamer dari beragam produk, mulai alat tulis hingga laptop.

Yang juga menyedihkan saya adalah semakin terbatasnya buku-buku bertemakan ilmu sosial dan humaniora. Entah kenapa, sepanjang tahun 2017, saya belum menemukan satu buku bagus bertemakan ilmu sosial yang terbit dalam bahasa Indonesia, dan ditulis oleh orang Indonesia. Tahun lalu, saya masih mendapatkan buku Mohammad Sobary mengenai studi atas petani tembakau di Temanggung. Masih tahun lalu, buku lain yang juga bagus ditulis para Indonesianis. Di antaranya adalah Hidup di Luar Tempurung (Benedict Anderson), Serdadu Belanda di Indonesia (Geert Oostindie), juga In Search of Middle Class in Indonesia yang ditulis Gerry Van Klinken. (BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016)

Dua tahun lalu, lebih banyak buku bagus, termasuk yang ditulis orang Indonesia. Di antaranya buku Ariel Heryanto mengenai Identitas dan Kenikmatan, bukunya Daniel Dhakidae mengenai mereka yang melawan di masa Orde Baru, bukunya Susanto Zuhdi tentang laut dan kekuasaan, buku Lies Marcos tentang perempuan menolak tumbang. Buku bagus lainnya ditulis Indonesianis, yakni buku Tania Li tentang etnografi dan kritik wacana pembangunan, juga bukunya Aiko Kurosawa mengenai kuasa Jepang di Jawa. (BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015)

Mungkin, pencarian saya terbatas hanya di toko-toko buku. Tahun 2017 ini, ada banyak buku yang hanya beredar di online. Beberapa penerbit seperti Ombak, Jalasutra, Marjin Kiri, juga Kobam lebih fokus berdagang di online. Mereka mulai menarik buku dari toko-toko sebab tidak memberi banyak keuntungan buat mereka.

Sayangnya, saya bukan tipe pembeli buku yang melihat katalog online. Saya masih suka datang ke toko buku, menciumi aroma cetak, sembunyi-sembunyi membuka plastik buku, lalu membaca isinya, lalu tergugah saat menemukan paragraf yang keren. Saya hanya membeli melalui online saat banyak orang yang merekomendasikan buku itu. Biasanya, saya akan gelisah saat ada buku bagus yang dibaca, dan saya belum baca. Dengan segala cara, saya akan mendapatkan buku itu sesegera mungkin.

Asumsi lain adalah memang buku-buku bertemakan ilmu sosial dan humaniora sangat terbatas. Akademisi di bidang ini sangat banyak. Malah berlimpah. Dugaan saya, mereka hanya sibuk mengejar kum atau penilaian agar segera naik pangkat dan menyandang gelar profesor. Mungkin saja mereka sibuk menulis di jurnal asing, lalu lupa untuk membagikan pengetahuannya pada khalayak luas. Saya sering sekali terkejut saat teman memberi tahu Bapak A telah jadi profesor. Dalam hati saya bertanya, mana karyanya? Kok tiba-tiba jadi profesor?

Kelangkaan buku bisa pula disebabkan para guru besar atau peneliti kita sibuk tampil di televisi. Mereka lebih suka disorot kamera, ketimbang menyorot lembaran layar putih yang seharusnya mengalirkan pikiran mereka. Di tanah air kita, para akademisi sekalipun lebih suka cari panggung, ketimbang mencerahkan masyarakat atas perubahan yang terjadi di sekitar kita.

Saya juga melihat banyak orang hebat yang lebih suka berceloteh di media sosial seperti Facebook dan Whatsapp. Yang dibahas adalah pikrian orang lain. Paling sering membagikan link-link yang isinya hoaks.  Padahal, akan sangat baik jika menggunakan media sosial untuk membagikan pikiran dan perasaannya. Publik bisa belajar dan tercerahkan.

Dari penelusuran terbatas dan hasil kunjungan ke toko buku setiap dua minggu, saya menyusun list tentang buku yang saya sukai. Tentu saja, daftar yang saya buat dibuat dengan sangat subyektif. Bagi saya, kriteria buku bagus itu sederhana.

Pertama, buku itu bisa membuat saya merenung selama beberapa hari. Dalam artian, buku itu meninggalkan jejak di pikiran saya yang sesekali melintas saat sedang duduk atau mengkhayal. Kedua, buku itu saya jadikan koleksi andalan, yang sering saya buka saat senggang.

Ketiga, buku itu ibarat mercon yang meledakkan banyak pahaman yang lama jadi pola di pikiran saya. Buku yang mengajarkan saya pahaman baru selalu terasa special. Keempat, buku itu membasahi jiwa saya dengan inspirasi baru. Seusai membacanya, saya menemukan semangat, juga optimisme. Kelima, buku itu pernah saya resensi dan rekomendasikan kepada orang lain.

Berikut daftar buku yang saya sukai di tahun 2017.

Sapiens (Yual Noah Harari)

Dalam versi bahasa Inggris, buku ini terbit tahun 2015. Tapi terjemahannya dalam bahasa Indonesia terbit tahun 2017. Ketika membaca buku ini, saya beberapa kali memaki dalam hati, “Sialan! Kok buku sebagus ini baru saya baca sekarang yaa. Selama ini saya ke mana saja?”


Buku ini tidak menyajikan riset dengan metodologi yang ketat. Dari sisi metode dan sistematika penulisan, saya lebih suka bukunya Jared Diamod yang berjudul Guns, Germs, and Steel. Yang saya sukai dari buku ini adalah gaya menulis esai yang disusun serupa dialog atas semua fakta-fakta. Penulisnya, sejarawan muda Israel, tidak menyusun sejarah sebagai rangkaian koronologis, melainkan percakapan yang melintasi waktu. Ia mendiskusikan lintasan panjang yang dilalui manusia, sepanjang 150.000 tahun eksis di planet bumi. (BACA: Manusia dalam Tafsiran Sejarawan Israel)

Ia membahas tiga peristiwa penting yang membuat Sapiens mencapai puncak peradabannya. Pertama, revolusi kognitif, sekitar 70.000 tahun lalu. Manusia mulai meningkat kecerdasannya, menciptakan perkakas, lalu menyebar ke banyak lokasi.

Kedua, revolusi pertanian. Sekitar 11.000 tahun lalu, manusia mulai berhenti dari kegiatan berburu dan meramu, mulai tinggal di perkampungan, melakukan domestikasi hewan, serta mulai berkebun dan bersawah. Ketiga, revolusi sains, sekitar 500 tahun lalu. Peristiwa ini memicu revolusi industri, yang mendorong revolusi informasi, dan revolusi bio-teknologi. Revolusi ini adalah signal berakhirnya manusia. Manusia akan digantikan oleh post-human, cyborg, dan robot yang tidak pernah mati.

Homo Deus (Yuah Noval Harari)

Saya kembali menempatkan buku karya Harari sebagai buku kedua yang saya sukai. Buku ini belum terbit dalam bahasa Indonesia. Saya membelinya dalam versi bahasa Inggris saat singgah ke Periplus di Bandara Sukarno Hatta. Tanpa banyak menimbang, langsung saya beli karena penasaran dengan isinya.


Dalam buku Homo Deus, Yuval Noah Harari menulis tentang penemuan teknologis berikutnya yang sama pentingnya dengan penemuan api dan bagaimana penemuan itu akan merubah alur evolusi spesies kita di masa mendatang. Saya seolah membaca kisah science fiction ala film Star Wars.

Buku ini membahas penemuan-penemuan teknologis fantastis yang sedang berkembang di awal abad 21: neurosains, bio-engineering, gene editing dan penemuan teknologis yang mungkin akan menjadi penemuan terakhir spesies manusia: kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Masa depan adalah era kecerdasan buatan. Kecerdasan ini memegang peranan penting di dalam semua lini kehidupan. Kecerdasan buatan juga akan mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia untuk dikerjakan dengan komputer, robot dan mesin. Banyak manusia jadi pengangguran, muncul kelas baru yang mengendalikan semuanya. Demokrasi bakal punah. (BACA: Setelah Sapiens, Kini Homo Deus)

Saya terkejut membaca penjelasan tentang teknologi yang lebih memahami manusia, ketimbang manusia itu sendiri. Google, Facebook, dan Amazone, punya catatan lengkap tentang apa saja yang Anda posting, apa yang anda gelisahkan, makanan apa yang disukai, hingga apa saja buku dan film yang anda tekuni. Teknologi bisa mengetahui bio-ritme dan apa saja yang menyedihkan ataupun membahagiakan anda.

Algoritma yang digunakan Google dan Amazon sama dengan algoritma yang terjadi dalam sistem kognitif manusia saat berpikir atau mengambil keputusan sehari-hari. Bedanya hanya pada kompleksitas. Pada satu masa, kemampuan algoritma komputer akan berkembang sedemikian rupa sehingga melampaui kemampuan kognisi manusia dalam setiap bidang kehidupan.

Origin (Dan Brown)

Dan Brown adalah novelis yang selalu saya ikuti bukunya. Ia tidak cuma menyajikan cerita, lengkap dengan alur dan plot yang menegangkan. Ia juga menyajikan banyak pengetahuan baru. Pada setiap bukunya, saya belajar hal-hal seperti simbologi, fisika modern, juga bagaimana religi dalam kehidupan kontemporer. Dan Brown selalu menentang kemapanan berpikir dan hadir dengan ide-ide baru yang diambilnya dari berbagai disiplin ilmu. Jangan lupa, dia juga selalu kekinian dan meng-update pengetahuannya dengan studi terbaru.

Novel Origin yang belum lama ini saya beli secara online dan langsung dibaca tuntas, menyajikan satu rangkaian teka-teki seorang ilmuwan yang terbunuh dalam satu presentasi sains. Ada persinggungan dengan tokoh-tokoh agama besar dunia, juga diskusi tentang awal dan akhir alam semesta. Saya membayangkan pembaca awam akan kebingungan membacanya.

Namun bagi yang sudah membaca Homo Deus, pasti tidak akan terkejut. Dalam Homo Deus telah diprediksi mengenai artificial intelligent (kecerdasan buatan) serta dominasi teknologi yang kian merambah kehidupan manusia, sehingga pada satu titik manusia ingin jadi dewa yang mengendalikan segalanya, namun manusia juga bisa kehilangan pilihan-pilihan sebab dikendalikan oleh teknologi.

Disruption (Rhenald Kasali)

Inilah buku dalam bahasa Indonesia yang paling menarik di tahun 2017 ini. Buku ini diulas oleh berbagai kalangan, mulai dari pebisnis, akademisi, dan juga praktisi. Yang didiskusikan adalah perubahan lanskap kehidupan yang merupakan akibat atau pengaruh dari kehadiran teknologi informasi. Banyak bisnis tumbang, pemain besar rontok serta anak-anak muda generasi milenial yang membawa ide-ide baru.


Buku ini menjelaskan gelombang ketiga internet serta peradaban baru yang menuntut manusia mengubah pola pikirnya, a disruptive mind. Peradaban ini dibentuk oleh Hukum Moore yang mengubah kecepatan menjadi eksponensial, berhadapan dengan pribadi yang masih berpikir linear. Ini buku menarik bagi yang hendak memahami karakter jaman now.

Free Writing (Hernowo)

Hernowo adalah penulis yang selalu saya tunggu buku-bukunya, khususnya mengenai dunia kepenulisan. Dia produktif melahirkan buku-buku yang isinya selalu mencerahkan dan membantu semua orang agar bisa menulis. Selain belajar teknik menulis, khususnya bagaimana mengoptimalkan otak kiri dan otak kanan saat menulis, buku-buku Hernowo juga berisikan motivasi agar hasrat menulis itu segera bangkit. Biasanya, seusai membaca buku Hernowo, saya merasakan rasa lapar untuk segera menulis dan mengalirkan gagasan.



Buku yang ditulis Hernowo adalah buku wajib yang selalu saya bawa saat diminta memberikan pelatihan menulis. Menurut saya, metode Hernowo paling pas diterapkan untuk melatih siapa saja. Di mata saya, ia tidak membawa satu pendekatan atau teknik baru. Beberapa pendekatannya saya temukan dalam beberapa penulis lainnya. Tapi Hernowo tetap spesial sebab ia mengajarkan orang untuk mengalirkan semua ide-ide atau apa saja yang dipikirkan ke dalam kanvas tulisan.

Melalui metode itu, setiap orang selalu memiliki keunikan dan orisinalitas. Yang digali dalam pelatihan menulis adalah bagaimana mengeluarkan semua orisinalitas itu, dan mengatasi semua hambatan-hambatan saat hendak mulai menulis. Sejak buku Mengikat Makna diluncurkan, Hernowo ibarat “tabib” dalam pengertian Socrates, yakni orang yang membantu orang lain melahirkan ide-ide.

Raden Mandasia (Yusi Avianto Pareanom)

Saking sukanya novel ini, saya sengaja membacanya dengan lambat. Saya suka alur, diksi, dan cara mengemas kalimat dalam buku ini. Buku ini mengisahkan pendekar yang punya karakter unik. Novel memenangkan penghargaan Khatulistiwa Award tahun 2016.

Di novel ini, pendekarnya bukanlah sosok yang sibuk menjaga moral dan nilai, serta berpikiran ala superhero: “great power, great responsibility.” Di sini, tokoh pendekar atau jagoannya tak hanya penuh dendam kesumat, tapi juga sedikit bodoh, suka memasak dan bisa mengenali berbagai jenis bumbu masakan. Unik kan?

Pendekarnya bukan jagoan sok penjaga moral. Pendekarnya justru punya nafsu birahi yang begitu tinggi (ups…). Beberapa lembar dari cerita silat ini adalah gambaran tentang adegan ranjang yang justru membuat napas jadi tertahan, jantung jadi deg-degan. Kisah ini serupa gabungan antara Wiro Sableng, Mahabharata, serta sedikit unsur Freddy S. (khususnya adegan ranjang tadi). Sialan, saya sudah lama tidak menemukan kisah silat yang komplit seperti tersaji di novel ini.

Satu lagi, jagoannya hampir tiap saat mengeluarkan makian. Bagi kamu yang menjunjung tinggi ajaran moral, disarankan jangan baca novel ini. Pasti kamu akan kesal karena hampir di semua lembar, jagoannya akan mengeluarkan makian: anjing!.

Thank You for Being Late (Thomas L Friedman)

Buku terbaru Friedman ini saya dapatkan dari Elizarni, mahasiswa Indonesia yang studi di Amerika Serikat. Saat dia pulang, saya minta agar dibawakan buku ini. Saya penikmat tulisan-tulisan Thomas Friedman. Dia seorang jurnalis The New York Times. Dia tipe jurnalis intelektual yang bergelar PhD dari satu kampus berpengaruh di Amerika.


Dia terkenal karena liputan-liputan mendalamnya di berbagai negara. Tak mengherankan jika liputan-liputan investgasi itu telah mengantarnya sebagai jurnalis penerima Pulitzer Prize sebanyak tiga kali. Bagi para jurnalis, Pulitzer serupa hadiah nobel bagi seorang ilmuwan.

Saya menyukai gaya menulisnya yang ringan, tapi penuh makna. Gaya menulis yang ringan ini juga saya temukan pada beberapa akademisi Amerika dan peraih nobel, di antaranya adalah Joseph Stiglitz, William Easterly, dan Daron Acemoglu.

Mereka bisa menyederhanakan hal yang rumit, tapi tetap tidak kehilangan rasa intelektual. Sebagamana halnya para intelektual itu, Friedman bisa mendiskusikan hal-hal yang rumit seperti globalisasi, serenyah saat makan mie ramen di satu kedai. Ia mengakui bahwa seringkali ide-ide untuk bukunya lahir saat dirinya tengah bersantai di satu kafe atau warung kopi. (BACA: Empat Buku Thomas Friedman dan Berguru Menulis pada Thomas Friedman)

Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus (Nils Bubandt)

Saya telat membaca buku yang terbit sejak Desember 2016 ini. Buku karya Prof Nils Bubandt berjudul Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus, terbitan Obor, ini adalah jenis buku unik yang menelisik bagaimana dunia politik dan dunia makhluk halus saling berkelindan di Indonesia. Mulanya, saya tertarik membacanya karena diterjemahkan oleh Prof Achmad Fedyani, antropolog UI, yang merupakan pembimbing tesis saya.


Ternyata buku ini memang menarik. Buku ini membahas tentang kecenderungan para politisi pada kegaiban dan makhluk halus menjelaskan politik kita penuh harapan dan kekecewaan, yang disebut Derrida sebagai adanya “struktur di balik hegemoni.” Buku ini membahas banyak sisi yang nyaris diabaikan, namun menjelaskan banyak hal dari dunia politik kita yang penuh aroma mistis.

Deskripsi etnografis di dalamnya buat saya kaget-kaget, lalu menandainya dengan stabilo. Mulai dari bahasan tentang seribu jin yang konon dikirimkan satu pesantren untuk digunakan dalam demonstrasi anti-korupsi, tewasnya seorang politisi yang diyakini karena santet dari lawan politiknya, pencalonan seorang sultan di Maluku Utara di kancah politik yang merasa didukung arwah nenek moyang, hingga seorang ibu yang mengaku nabi di Jailolo, lalu percaya datangnya sultan yang lama hilang beserta banyak emas dari dasar bumi, juga bicara tentang kebangkitan Sukarno.

The Shallows (Nicholas Carr)

Kembali, saya telat membaca buku yang terbit sejak 2011, dan pernah masuk nominasi peraih Pulitzer ini. But, it’s better late than never. Buku ini membahas fenomena kecanduan pada internet yang menyebabkan orang-orang lupa waktu.  Buku ini adalah buku provokatif yang menunjukkan betapa banyaknya hal buruk yang terjadi akibat ketergantungan pada internet. Penulisnya menggali argumentasi dari berbagai bidang ilmu demi menunjukkan bahwa internet telah membuat kita semakin bodoh.

Sepintas, buku ini agak pesimis dalam melihat internet, berbeda dengan buku Grown Up Digital karya Don Tapscott yang sangat optimis melihat internet. Tapi ada banyak pelajaran dan argumentasi yang bisa dipetik.

Membaca buku The Shallows ini menyadarkan kita bahwa internet serupa candu yang membuat kita selalu ingin berselancar, membuat banyak pekerjaan kita tertunda, menyebabkan waktu kita terbuang percuma.

Nicholas Carr bercerita, dahulu dia seorang yang gila baca. Ia adalah penyelam di lautan kata-kata. Tapi sejak mengenal internet, semua kebiasaan itu berubah. “Dulu, saya adalah penyelam di lautan kata–kata. Kini, saya bergerak cepat di permukaannya seperti orang yang mengendarai jet ski.”

Internet menyebabkan fokusnya hilang, dan sibuk menjadi peselancar, tanpa kemampuan menyelam lagi. Internet menyebabkan manusia memasuki era kebodohan. Struktur otak dan cara berpikir manusia bisa berubah gara-gara kecanduan pada internet.

Buku ini adalah peta memahami sisi buruk internet yang harus diwaspadai. Baca resensi saya: Nicholas Carr dan Era Bodoh di Internet.

Big Magic (Elizabeth Gilbert)

Setelah buku Eat Love and Pray, saya menyenangi buku Big Magic yang ditulis Elizabeth Gilbert ini. Buku yang baru saja diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini membahas kreativitas. Kata Gilbert, kreativitas bukan sesuatu yang datang dari dalam diri individu, tetapi ada proses spiritual. Manusia sanggup menulis sesuatu disebabkan ada ilham atau ide-ide yang memasuki tubuhnya. Tulisan hanya satu cara untuk menjerat ide-ide itu agar tidak lepas.


Gilbert menelusuri jejak kreativitas di berbagai zaman, di antaranya adalah masa Yunani dan Romawi kuno. Para seniman bisa melahirkan mahakarya hebat disebabkan oleh kreativitas, yang diyakini berasal dari roh di lokasi yang misterius. Kreativitas seniman didapatkan dari yang peri berdiam di balik tembok rumahnya.

Peri, yang disebut Gilbert serupa Dobby dalam serial Harry Potter, membantu para seniman untuk menuntaskan kerja-kerja kreativitasnya. Para seniman menjadikan diri mereka sebagai wadah bagi masuknya peri demi lahirnya karya-karyanya.

Socrates percaya bahwa dia memiliki “daemon” yang mengajarkan kebijakan dari jauh. Orang Romawi pun mempercayai ide yang sama, tapi mereka menyebut makhluk itu Jenius. Orang Romawi tidak menganggap Jenius sebagai manusia yang sangat sangat pintar.

Mereka percaya Jenius adalah sesuatu yang magis dan sakral yang hidup dalam tembok ruang kerja seniman, mirip seperti peri-rumah Dobby, yang keluar dari persembunyiannya untuk membantu sang seniman dan membentuk hasil akhir karya tersebut.

Catatan Lapangan Antropolog (Editor: Frieda Amran)

Buku ini saya masukkan dalam list bukan karena saya salat satu penulis di dalamnya. Buku ini menarik sebab isinya adalah kolaborasi dari para antropolog alumnus Universitas Indonesia, mulai dari yang senior hingga junior. Saya cukup menikmati kolaborasi peneliti senior dan junior ini. Editornya adalah Frieda Amran, seorang antropolog senior yang tinggal di Belanda.

Buku ini menarik sebab menyajikan sketsa perjumpaan para peneliti saat berada di lapangan. Dalam perjumpaan itu, seorang peneliti belajar pada masyarakat setempat, berusaha memahaminya, lalu lebur dengan masyarakat itu. Hubungan yang terbentuk bukan sekadar peneliti dan masyarakat, tetapi menjadi kerabat dekat yang tetap saling menjaga silaturahmi. Buku ini menyajikan realita dari sisi para peneliti yang turun lapangann.

Seringkali ada ketidaknyamanan atau kesulitan, tetapi itu justru menjadi pelajaran berharga yang dipetik peneliti untuk senantiasa mengapresiasi siapapun yang ditemuinya di lapangan. Semua ketidaknyamanan itu akan menjadi pelajaran berharga bagi seorang peneliti demi membentangkan karpet merah pengetahuan kepada banyak orang, sembari mengutip kalimat Geertz: “I’ve been there” saat merekahkan pengetahuan berharga untuk menghormati masyarakat yang dikunjunginya.

Koran Kami with Lucy from the Sky (Bre Redana)

Di mata saya, ini bukan jenis novel yang membuat saya berdebar-debar dan tak sabar menghabiskannya. Novel ini termasuk novel paling lama saya habiskan. Saya membawanya di tas selama beberapa hari. Ceritanya tidak begitu mengejutkan. Terlampau banyak ceramah yang membuat saya beberapa kali hendak memutus bacaan. Tapi saya tetap membacanya sebab saya pernah merasakan bagaimana irama kerja media cetak yang serba hati-hati.


Yang saya temukan di novel ini adalah perjalanan seorang jurnalis, yang mengenang masa-masa ketika jurnalisme adalah panggilan jiwa bagi mereka yang hendak mengabarkan kebenaran. Saya menemukan nostalgia seorang jurnalis tua, masa ketika pekerjaan dianggap hobi, masa-masa mengetik di tengah tumpukan kertas dan secangkir kopi, nginap di mess kantor, dan sesekali ngelayap ke tempat hiburan malam. Nostalgia itu hadir melalui dialog antara jurnalis gaek itu dengan seorang perempuan muda, generasi milenial.

Buku ini menyajikan banyak renungan bagi generasi hari ini. Setidaknya, ada pesan-pesan dan kekhawatiran seorang jurnalis senior melihat dunianya sekarang yang makin berubah. Para jurnalis kini bekerja di ruang AC, berada di kantor mewah yang tidak mengizinkan lagi jurnalis merokok, ngopi, dan tidur di kolong meja, hal-hal yang dulu dialami para senior.

Para jurnalis kini datang dengan pakaian necis ala generasi milenial, bukan lagi para seniman gondrong yang setiap hari menyerap ide melalui obrolan lepas bersama kopi di bawah pohon, setelah itu janjian ketemu di hiburan kelas teri.

Novel ini menyajikan lintasan perjalanan seorang jurnalis tua yang melihat dunia yang ditekuninya selama puuhan tahun terus berubah. Dalam banyak hal saya tidak sepemismis dirinya. Saya percaya, di era big data ini, jurnalisme terus bertransformasi, meskipun nilai-nilai seperti akurasi dan aktualitas akan selalu abadi.

Musik Indonesia 1997-2001 (Jeremy Walch)

Buku berjudul lengkap Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu, yang ditulis Jeremy Wallach, terbit di bulan Maret 2017. Saya tertarik membeli buku ini seusai membaca catatan di halaman belakang yang menyebutkan buku ini merupakan riset etnografis yang membumi dengan ketajaman analisis dari teori budaya kontemporer.


Beberapa kajian dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Andrew N Weintraub berjudul Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia, yang terbit tahun 2012 lalu. Satu lagi referensi bagus tentang dangdut ditulis oleh William Frederick tahun 1982 berjudul Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesia Popular Culture.

Ketiga studi itu laksana tali-temali yang saling terkait. Ketiganya membahas dinamika antara dangdut dan masyarakat menengah ke bawah Indonesia yang menjadi penggemar berat musik itu. Kesamaan ketiganya adalah sama-sama menjelaskan hubungan antara musik itu dengan ruang batin masyarakat Indonesia yang dimediasi dengan baik oleh lagu-lagu berirama dangdut.

Yang baru dari buku Jeremy Wallach adalah pelukisan etnografis yang mendalam. Dia menelusuri panggung musik, toko kaset, konser, studio, dan banyak lokasi demi menemukan pemahaman tentang musik Indonesia. Biarpun tidak spesifik membahas dangdut, kita bisa memahami bagaimana interpretasi masyarakat atas musik, bagaimana identitas direpresentasikan, serta bagaimana globalisasi mempengaruhi musik Indonesia.

Give a Man a Fish (James Ferguson)

Setelah membaca buku James Ferguson yang berjudul The Anti-Politics Machine yang menyajikan kritik atas wacana pembangunan, saya ketagihan untuk membaca buku lainnya. Ia produktif mengkritik pembangunan sebab dirasanya tidak selalu menjadi jawaban bagi masyarakat di negara berkembang.


Bagi Ferguson, pepatah yang menyebutkan “beri kail, jangan ikan!” tidak selalu benar. Melalui riset dengan metode etnografis, ia mengajak orang berpikir tentang cara lain dalam melihat kemiskinan dan ketidakberdayaan. Studi yang dilakukannya menunjukkan bahwa transfer uang tanpa syarat–atau sering disebut direct cash transfer– kepada masyarakat miskin justru memunculkan semangat wirausaha.

Masyarakat justru bisa mengelola bantuan dana itu lalu digunakan secara berkelanjutan. Intinya adalah distribusi yang adil, pengelolaan kepercayaan, dan kesempatan.

Riset ini menjadi menarik sebab kita terlalu sering melihat orang miskin dengan cara pandang kita. Padahal, sebagaimana pernah ditulis oleh Robert Chamber, yang sering terjadi adalah begitu banyaknya bias dalam melihat orang miskin disebabkan kuasa pengetahuan yang kita miliki. Kita mendefinisikan mereka dengan cara pandang kita, yang tentu saja, tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

Dalam buku ini, Ferguson secara impresif mengajukan pertanyaan, dekonstruksi, dan rekonstruksi atas pandangan klasik tentang kemiskinan, pembangunan dan negara-negara sejahtera. Dengan fokus pada kebijakan “bagi-bagi uang” atau cash transfer, ia menyajikan risalah antropologi di selatan Afrika, termasuk perdebatan mutakhir tentang praktik pembangunan dan anti-poverty activism.

***

DEMIKIAN, beberapa buku yang saya baca di tahun 2017. Masih banyak buku lain, tapi tidak mungkin saya bagikan semuanya di sini. Risiko melakukan seleksi adalah kita harus tega untuk memilih buku-buku tertentu saja.

Jika suatu saat Anda berkunjung ke rumah saya, Anda akan melihat bahwa satu-satunya harta yang saya miliki adalah buku-buku. Saya suka membanggakan koleksi buku saya kepada siapapun yang berkunjung. Siapa tahu, saya bisa dapat rekomendasi buku bagus yang bisa memperkaya koleksi di rumah.

Saya menyambut tahun 2018 dengan penuh harapan agar semakin banyak buku bagus yang memperkaya pengetahuan dan pengalaman. Semoga


Siasat Cerdik Jusuf Kalla di Munaslub Golkar



SEAKAN tak ada riak, Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar berlangsung di Jakarta. Airlangga Hartarto melenggang mulus menjadi Ketua Umum Partai Golkar hingga tahun 2019. Saat terpilih, ia meneriakkan yel-yel dukungan kepada Presiden Jokowi untuk kembali memimpin pada periode kedua. Semuanya bertepuk.

Di layar kaca, kita menyaksikan bagaimana tingkat kematangan kader Golkar dalam mengelola konflik. Semua kadernya sama-sama sepakat bahwa tak ada gunanya berkonflik dalam situasi sekarang. Semuanya berjalan lancar. Sejak awal, Airlangga diprediksi akan melenggang mulus. Dalam posisi seperti saat ini, Golkar tak punya pilihan selain merapat ke pemerintah. Ketika pemerintah menginginkan Airlangga, maka semuanya akan mengamini.

Kita sedang menyaksikan satu kontrol kuat dari pemerintah kepada partai ini. Mungkin saja, ini dianggap sebagai posisi terbaik yang diinginkan oleh kader-kader yang mendapatkan kesempatan pada pemerintah. Sebagaimana dikatakan Wapres Jusuf Kalla (JK), posisi Golkar adalah selalu berada di sisi pemerintah berkuasa. Apa pun keputusan pemerintah, Golkar akan memberi dukungan penuh.

Yang menarik untuk diamati adalah konstelasi yang ada di luar arena munas. Sebagaimana galibnya satu perhelatan politik, keputusan-keputusan penting justru lahir di luar arena Munas. Mereka yang berada di arena Munas hanya menjalankan skenario yang dibuat di luar arena.

Politik kita mengikuti alur yang dibuat Erving Goffman, ada panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan adalah munas di mana terjadi debat, diskusi, dan dinamika yang disaksikan media. Panggung belakang sebagai panggung sesungguhnya adalah tempat para pemilik saham, para pemimpin dan pengendali, berdiskusi dan saling memberi garansi.

Sejak beberapa hari lalu, semua stakeholders partai telah tiba pada satu konklusi yakni Airlangga Hartarto sebagai ketua umum. Beberapa kalangan menyesalkan keputusan ini. Airlangga dianggap sosok yang agak akademis, dipandang lemah, dan tidak cukup punya power untuk mengendalikan dinamika dan tensi politik yang tinggi di tubuh partai berlambang beringin ini. Tanggung jawabnya besar untuk membawa kemudi partai ke jalur juara di arena pileg dan pilpres. Sanggupkah dia mengakomodasi berbagai faksi yang hingga kini masih mencari titik keseimbangan?

Penting pula untuk mengamati bagaimana Jokowi dan JK melakukan kontestasi di arena ini. Dalam beberapa  Munas sebelumnya, Jokowi dan JK saling beririsan. Saling berhadapan. Saat Golkar mengalami dualisme, Jokowi mendukung Aburizal, sedangkan JK mendukung Agung Laksono. Saat Munas, Jokowi mendukung Setya Novanto, JK mendukung Ade Komaruddin. Melalui Luhut Binsar Panjaitan, seorang militer dan pengusaha handal yang juga menteri, Jokowi bisa leluasa memainkan banyak kartu di Golkar. JK selalu dalam posisi skakmat.

Pada sosok Airlangga, semua kepentingan bertemu. Kepentingan Jokowi dan juga Luhut Panjaitan adalah (1) Golkar harus tetap berada di barisan pemerintah, (2) Golkar harus memberikan karpet dukungan ketika dirinya hendak maju bertarung pada pilpres untuk periode kedua. Jokowi tak ingin Golkar menjadi bola liar yang lalu berpotensi untuk dimasuki oleh lawan-lawan politiknya. Airlangga adalah sosok moderat yang memang berada dalam kendali pemerintahan Jokowi. Mendukung Airlangga bisa memastikan semua kepentingan pemerintah akan terakomodasi.

Bagi JK, Airlangga juga sosok yang tepat. Sejak dulu, Airlangga berada dalam gerbong yang dikemudikan JK. Bahkan, wacana untuk menaikkan Airlangga sejak awal sudah dikemukakan JK. Keduanya sudah lama bekerja sama. Keduanya saling memahami posisi dan kepentingan masing-masing. Dalam beberapa kesempatan, JK membela Airlangga. Ketika Airlangga diminta mundur karena dianggap rangkap jabatan, JK terdepan membela putra mantan Menteri Perindustrian Hartarto itu.

Suara Pengamat

Dari luar arena Munas, suara-suara berbeda bermunculan. Adhie Massardi menilai perubahan pemimpin menunjukkan kontrol kuat partai itu sekarang berada di tangan JK. “Dengan masuknya Airlangga, maka JK akan mudah mengambil alih kontrol dan kendali Partai Golkar dan DPR, berkaitan dengan menjelang tahun politik 2018 dan pilpres 2019,” ungkap Juru bicara Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Peneliti The New Indonesia Foundation M. Fathur mengungkapkan kondisi tersebut juga akan menyulitkan posisi dan peran Presiden Joko Widodo dalam mengambil kebijakan dan gerak langkah kenegaraan ke depan. “Airlangga Hartarto bukan tipikal fighter, bukan petarung politik dan   terlalu lemah untuk pimpin Partai Golkar dan dia tidak akan bisa mencegah kendali JK. Situasi kondisi ini akan menyulitkan Presiden Jokowi ke depan karena bargaining position Golkar yang sangat besar, akan membelenggu Jokowi sendiri,” kata Fathur.

Analis politik dari UIN Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago menilai kemenangan Kelompok JK yang dalam Golkar tersebut diyakini akan berdampak pada kemungkinan dievaluasinya dukungan Golkar ke Jokowi. “Dukungan ke Jokowi itu akan dievaluasi Golkar kubunya JK,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Peneliti politik Lutfi Syarqawi yang mengingatkan bahwa JK akan dengan mudah menekan Jokowi dengan segala kepentingannya. “Kalaupun Jokowi nyapres lagi dengan dukungan Golkar, mudah diduga kubu JK bakal minta konsesi besar dan politik transaksionalnya juga besar, yang menyulitkan Jokowi sendiri,” tegas Aktivis Nadlatul Ulama (NU) itu.

Mengurai Kepentingan

Sejarawan David Reeve mengatakan, Golkar adalah partai yang paling cepat beradaptasi dengan situasi. Tadinya, Golkar memberi stempel pada semua kebijakan Soeharto, namun pada saat reformasi, partai ini justru sukses berbalik arah. Partai ini tetap sukses memenangkan wacana sehingga selalu menempati posisi penting.

Di tahun 1998, partai ini bisa berbalik dengan cepat, lalu mendukung slogan “paradigma baru”. Tokoh militer tersingkir, lalu sejumlah pengusaha mengambil alih pimpinan. Biasanya, karakter para pengusaha lebih fleksibel dalam membaca zaman, mengubah posisi, lalu menyatakan dukungan pada tokoh lain. Politik yang dimainkan Golkar adalah memaksimalkan semua peluang menjadi keuntungan buat partai.

Dengan naiknya Airlangga Hartarto, kita bisa membuat konklusi sederhana.

Pertama, kartu Presiden Jokowi dan Luhut Panjaitan akan dimainkan oleh Airlangga. Itu sudah terlihat sejak awal, ketika Airlangga menyampaikan yel-yel dukungan kepada Jokowi untuk maju pada periode kedua. Di atas kertas, Jokowi sedang berada di atas angin karena semua agendanya akan terpenuhi.


Kedua, kartu JK di Golkar juga kembali hidup. Dalam beberapa kepemimpinan sebelumnya, kartu JK seakan mati. Kini dia kembali punya ruang untuk masuk arena politik. Sepertinya dia tidak akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden atau wapres, tapi dia tetap punya kepentingan untuk menjadi king maker atau sosok penentu dalam perhelatan politik ini.

Ketika JK mendorong Airlangga, maka itu tidak semata-mata bisa ditafsir bahwa JK punya kepentingan untuk tetap menjaga kesinambungan regenerasi di tubuh partai. Dia akan leluasa memainkan beberapa agenda di masa depan. Apalagi, masa jabatan Airlangga hanya sampai 2019, artinya terbuka peluang untuk bermanuver ketika masa jabatannya usai. Itu akan terjadi pada titik yang paling krusial yakni saat pilpres mendatang.

Selentingan kabar yang beredar menyebutkan bahwa JK punya kepentingan mendorong satu figur politik, di luar kontestasi Jokowi dan Prabowo. Figur itu berasal dari barisan umat Islam yang moderat, bisa menjadi titik temu semua kalangan, serta bisa menjadi alternatif ketika dua figur nasionalis yakni Jokowi dan Prabowo sama-sama merasa di atas angin.

Situasi saat ini sangat memungkinkan lahirnya pemimpin demikian. Sebab sedang terjadi arus besar politik identitas yang semakin menguat. Figur yang ada (dalam hal ini Jokowi dan Prabowo) tidak merepresentasikan dinamika dan kekuatan politik keummatan yang sedang bangkit dan segera mencari ruang di arena politik. 

Indonesia pernah mencatat figur alternatif seperti ini naik ke kursi presiden. Saat Gus Dur menjadi presiden pada tahun 1999, publik dan para politisi masa itu hanya menyorot dua nama yakni Megawati dan Amien Rais. Dalam situasi seperti ini, Gus Dur naik sebagai representasi keumatan yang bisa diterima semua kalangan.

Dalam jangka panjang, JK akan kembali memainkan skenario ini. Pertanyaannya, siapakah figur yang sedang disiapkan itu? Bagaimanakah caranya pola dan skenario yang dipakai untuk menaikkannya ke panggung politik?

Kita akan menjadi saksi sejarah yang akan segera terjadi. Yang pasti, naiknya Airlangga telah membuka banyak celah dan ruang yang sebelumnya tertutup.


Kiat Menulis untuk Aktivis Desa



SIAPA bilang warga dan aktivis pemberdayaan di desa-desa tak bisa melahirkan sebuah buku bagus? Pengalaman saya mengajarkan bahwa di banyak desa, terdapat potensi yang demikian dahsyat untuk menulis dan berbagi pengalaman. Saya pernah ditantang untuk merancang pelatihan menulis bagi aktivis dan warga desa. Hasilnya sungguh mencengangkan dan melebihi apa yang saya bayangkan. Mereka membuat saya terbelalak ketika berhasil membuat buku. It’s amazing!

***

DUA tahun lalu, saya menerima undangan dari Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti) untuk mengisi materi tentang penulisan blog bagi para aktivis desa di Kupang. Saat itu, saya sangat tertantang untuk membumikan keterampilan menulis secara praktis bagi para sahabat di daerah.

Ketika pelatihan dilaksanakan, saya menemukan antusiasme yang sangat tinggi dari teman-teman di daerah tentang dunia menulis. Mereka mengejutkan saya saat menyetor artikel serta tulisan yang sangat bagus, seolah ditulis oleh penulis profesional. Saya menduga, mereka bisa menulis dengan demikian lancar karena topiknya adalah tema-tema kehidupan dan pengalaman mereka sendiri.

saat saya melatih menulis warga Sikka

Pada saat itu, saya memosisikan diri sebagai pendengar yang baik. Saya tidak memperkenalkan berbagai teori tentang kepenulisan yang dipelajari di kampus-kampus. Saya tak mau mengutip kisah para penulis hebat.  Setiap orang punya jalan sendiri untuk menemukan spirit kepenulisannya.

Teori-teori menulis hanya cocok diajarkan di kampus-kampus atau di masyarakat kota. Untuk masyarakat biasa, yang harus dilakukan adalah bagaimana membiarkan mereka bebas bercerita secara lepas. Tugas kita adalah menyediakan kanal-kanal agar semua kisah itu ditampung dalam aksara.

Sebagai trainer, saya memilih untuk menjadi pendengar yang baik ketika masyarakat bercerita tentang dunia yang setiap hari mereka hadapi. Hasilnya mengejutkan. Kawan-kawan kita di daerah punya sedemikian banyak kisah-kisah hebat untuk dituliskan. 

Sayangnya, saat itu Bakti belum berencana untuk menerbitkan hasil pelatihan menulis. Padahal, saat itu saya menemukan banyak tulisan menarik tentang dunia yang dihadapi para aktivis dan jaringan masyarakat di Kupang. Kisah-kisah rakyat biasa itu justru menjadi luar biasa sebab di dalamnya terdapat orisinalitas, kejujuran atas apa yang dihadapi, serta cara-cara khas masyarakat memahami persoalan, lalu menemukan cara unik untuk menghadapinya.

Beberapa waktu lalu, kantor tempat saya bekerja di Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki program kerja sama dengan satu kementerian, serta pemerintah daerah. Program itu terkait promosi pariwisata di beberapa daerah, yakni Raja Ampat (Papua Barat), Sikka (NTT), Wakatobi (Sultra), lalu Seruyan (Kalteng). Salah satu item kegiatan adalah melahirkan beberapa produk promosi. Kembali, saya merasa tertantang untuk memberikan keterampilan menulis bagi warga desa demi mengenalkan daerahnya ke dunia luar.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi komunitas menulis dan fotografi yang akan ikut dalam pelatihan di daerah. Untuk menulis, tolok ukurnya sederhana. Setiap orang pasti punya kisah menarik. Yang penting adalah kemauan untuk membagikan kisah itu pada orang lain. Itu sudah cukup. Saya juga baru tahu kalau komunitas fotografi ada di semua daerah. Tak semua memakai kamera DSLR. Banyak di antara mereka yang justru memakai smartphone. Itu sudah cukup. Yang penting adalah ada niat dan keinginan untuk mengabadikan momen.

Selanjutnya adalah bagaimana merancang pelatihan. Kami coba membuat satu pelatihan yang sangat fleksibel. Materinya bisa berkembang sesuai kebutuhan peserta. Lokasi pelatihan bisa berpindah-pindah. Kami bisa menggelarnya di tepi sawah-sawah hijau saat petani pulang dari sawah, di satu dangau kecil yang di bawahnya terdapat sungai jernih, atau barangkali di atas satu tebing yang dari situ terdapat pemandangan fantastis.

Pelatihan menulis didesain sebagai satu ruang belajar bersama di mana setiap orang bebas bercerita tentang dunianya. Saya percaya bahwa setiap orang punya kisah unik untuk dikisahkan. Setiap orang punya sumur dalam, tempat di mana berbagai imajinasi dan kisah-kisah menarik dipendam sekian lama. 

Tugas dari pelatihan menulis adalah menyediakan tali dan timba sehingga setiap orang bisa mengambil inspirasi dari sumur dalam pengalamannya lalu disajikan sebagai inspirasi bagi banyak pihak. Pelatihan menulis harus bisa memotivasi dan menemukan rasa percaya diri serta mengasah keberanian untuk bercerita secara bebas, melalui medium tulisan, agar kisah-kisah yang terpendam itu bisa menggugah banyak pihak.

Saya teringat sebuah buku berjudul Transformed by Writing karangan Robert Hammond. Buku ini menjelaskan tentang kekuatan sebuah cerita yang bisa mengubah cara pandang atas kehidupan, serta mengubah dunia. Buku ini membuat saya yakin bahwa kisah-kisah yang ditulis para aktivis dan warga desa menyimpan kekuatan dahsyat untuk mengubah sesuatu. Melalui kisah, orang-orang bisa memahami dinamika, mengetahui apa yang dirasakan satu komunitas, serta menggalang solidaritas yang kukuh.

buku yang dibuat komunitas menulis di Wakatobi

Bagi para aktivis dan peneliti sosial, menulis bisa menjadi senjata hebat. Ketimbang menurunkan tim peneliti yang bertugas untuk memahami satu masyarakat, jauh lebih baik memberikan keterampilan bagi warga biasa untuk menuliskan pengalamannya. Semua tulisan itu akan menjadi informasi berharga, memperkaya analisis, serta memperdalam pengetahuan tentang sesuatu, dari sisi pandang masyarakatnya.

Di Raja Ampat, Papua Barat, seorang perempuan bercerita tentang rekannya yang berprofesi sebagai pelukis dengan medium pasir kuning, yang ternyata adalah limbah dari PT Freeport. Tulisannya membuat saya tersentuh karena menghadirkan ironi bahwa warga Papua berkreasi dengan limbah pasir, sementara emas justru dinikmati segelintir orang.

Di Sikka, Nusa Tenggara Timur, saya mendapati tulisan warga tentang tempat-tempat wisata eksotik yang justru terabaikan. Sungguh menyedihkan kala menyaksikan begitu gandrungnya warga kita yang hendak berwisata ke negara-negara tetangga, sementara di kampung halaman kita ada banyak tempat wisata hebat yang justru tak pernah dipijak. Saya merasakan betapa bangsa ini punya potensi hebat yang justru diabaikan oleh anak bangsanya. Melalui kisah sahabat di Sikka itu, saya merasakan betapa indah dan menakjubkannya tanah air kita, yang justru tak banyak kita kenali.

***

BEBERAPA waktu setelah pelatihan, beberapa email berdatangan. Yang membuat saya terharu ketika ada email dari Wakatobi, Sikka, Raja Ampat, dan Seruyan yang menampilkan rencana buku yang akan diterbitkan. Mereka merancang desain sampul yang menarik, menyiapkan foto dan artikel-artikel. Saya terkesima karena para sahabat di daerah begitu antusias untuk memublikasikan pengalaman dan kisah-kisah mereka sendiri.

Para sahabat di desa-desa itu telah menampar keangkuhan akademik saya yang hingga kini hanya bisa menghasilkan sejumput publikasi. Pada akhirnya, menulis adalah soal keberanian untuk mengabarkan sesuatu. Menulis tak terkait gelar akademis, atau aktivitas ilmiah. Menulis adalah cara berekspresi, menyampaikan gagasan, menjerat rasa ingin tahu, lalu mengalirkan kecintaan pada tanah air. Menulis adalah cara lain untuk mengabarkan tentang satu keping kenyataan, lalu mengubah cara pandang atas kenyataan itu. Menulis adalah cara lain untuk mengibarkan revolusi.

Tak percaya? Saatnya belajar ke desa-desa



Lima Potensi kekalahan Jokowi




DI atas kertas, lingkaran inti Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa jumawa dan yakin kemenangan akan berada di tangan. Tapi di banyak sisi, mereka harus waspada. Persepsi publik sedang dikondisikan ke arah hal negatif atas kerja pemerintah. Kartu agama mulai dimainkan. Mesin jejaring anti-Jokowi mulai dipanaskan. Dukungan atas Jokowi diharapkan akan terus tergerus.

Dengan instrumen yang lebih canggih, tim kerja itu banyak belajar dari kekalahan pilpres lalu. Kini, berbagai anti-tesa atas kerja-kerja Jokowi sedang disusun. Dalam dunia politik, kebenaran adalah kebohongan yang dikalikan seribu. Jika Jokowi membangun seribu kebenarannya maka tim lawannya juga sedang membangun seribu kebenaran lain.

Selamat datang di tahun 2018, tahun ketika genderang politik mulai ditabuh dan berbunyi nyaring.

***

KAWAN itu mengajak saya bertandang ke kantornya, lembaga riset yang cukup berpengaruh di Jakarta. Dia menunjukkan kerja-kerja lembaganya yang intens dikerjakan setahun terakhir. Dia memperlihatkan arsip analisis media yang dilakukannya. Dengan menggunakan content analysis dan discourse analysis, dia menunjukkan bagaimana perlahan-lahan dukungan para pemerintah melemah belakangan ini. Dia meminta opini saya atas kerja-kerja politik yang dilakukannya.

Dia tersenyum saat mengatakan bahwa proses pengkondisian opini bergerak lebih cepat dari yang dibayangkannya. Selama beberapa bulan terakhir, dia menjadi tim intelektual yang tugasnya mengumpulkan semua data-data mengenai kinerja pemerintah, melakukan analisis media, berkoordinasi dengan ahli-ahli strategi politik, lalu membuat banyak rekomendasi yang diserahkan ke tim-tim lapangan.

Di ranah media sosial, dia menjadi kreator konten yang merancang isu-isu untuk diterjemahkan menjadi meme, karikatur, grafis, juga berbagai postingan yang isinya adalah kritik pada pemerintah. Semua postingan itu lalu disebar ke ribuan grup whatsapp, facebook, twitter, hingga dioper ke para jurnalis yang telah lama dibina. Dalam beberapa hari kemudian, dia akan menganalisis efek dari postingan yang disebarnya. Dia akan menggunakan berbagai metodologi untuk melihat pergerakan isu, mulai dari analisis jaringan sosial, hingga analisis wacana kritis. Kerjanya cukup tertata. Ketika satu isu gagal, dia akan mendorong isu lain.

Dia mengaku hanya bermain di ranah intelektual. Tapi, dia juga bercerita bahwa ada tim lain yang bekerja lebih canggih, sebab memiliki barisan intelektual dan para “petarung medsos” berupa sejumlah orang yang siap sedia meladeni perdebatan, memberi komen negatif, dan menyebar jaringan ke mana-mana. Terhadap tim ini, dia tahu sama tahu. Tapi mengaku tidak ada koordinasi. “Kami fokus pada ranah intelektual. Soal bagaimana menjadi petarung medsos, biarlah itu menjadi kerja tim lain,” katanya.

Dia bercerita hal yang cukup menarik. Menurutnya, para petarung medsos bukan tipe intelek. Peran mereka sebatas hanya “berkelahi.” Peran mereka bukan untuk berdiskusi, tapi menebas sana-sini. Amunisinya disiapkan oleh tim-tim intelektual. Para petarung medsos itu seakan-akan pintar dan penuh ide-ide, padahal mereka bekerja sesuai dengan konten yang dipasok oleh lingkar inti.

Rupanya, tim pesaing Jokowi belajar dari kesalahan saat arena Pilpres 2014. Pada saat itu, tim yang dominan adalah tim petarung medsos, tanpa amunisi pengetahuan yang cukup. Efek yang muncul adalah efek “bumerang” ketika semua amunisi itu malah balik menghantam diri sendiri. Kali ini, kerja-kerja tim itu lebih tertata. Jangan berharap menyaksikan satu opera yang skenarionya berulang. Berbagai skenario dan simulasi telah dirancang untuk membuat kerja-kerja tim itu lebih greget.

Biarpun pilpres masih akan berlangsung pada tahun 2019 dan Jokowi tengah kuat-kuatnya, dia tak patah arang. Tahun 2018 akan menjadi arena bagi semua tim untuk memanaskan mesin politik. Kandidat capres akan mulai bergerilya di semua ajang pilkada. Momen politik itu akan menjadi barometer untuk melihat siapa pemenang. Ibarat tanaman, Jokowi berharap dua tahun ini program-program populis yang ditanamnya akan panen dan berbuah. Tapi hasilnya belum tentu akan sesuai keinginan Jokowi. Para pesaingnya bisa mencegat di banyak momen dengan membawa data sendiri.

***

JUMPA pers itu akhirnya dimulai. Juli 2017 lalu, Denny JA, petinggi Lingkaran survei Indonesia (LSI) menggelar konferensi pers. Ia menyebut bahwa Jokowi berpotensi akan kalah. Dia mengatakan elektabilitas Jokowi saat ini lebih rendah dari Susilo Bambang Yudhoyono, dua tahun sebelum periode keduanya. “Jokowi di H minus 2 (dua tahun sebelum pilpres) tak sekuat SBY pada saat yang sama,” katanya.

Denny memang konsultan yang dahulu berafiliasi ke SBY, akan tetapi sinyalemen yang dikemukakannya bisa menjadi kebenaran. Elektabilitas Jokowi rata-rata berada di bawah angka 45 persen dengan aneka simulasi. Sementara SBY pada periode yang sama, yakni tahun 2007, dua tahun sebelum pilpres, selalu di atas 55 persen, juga dengan berbagai simulasi.

“Bagi incumbent, jika dukungan di bawah 50 persen, itu adalah sesuatu. Bahkan Ahok saja selaku incumbent (gubernur Jakarta) yang H- 1 tahun dengan dukungan hampir 60 persen bisa tumbang,” ujar Denny.

Rilis terbaru dari Indo Barometer di awal Desember 2017 menunjukkan bagaimana peta dukungan capres. Jokowi memiliki elektabilitas 34,9 persen. Di bawahnya, ada nama Prabowo Subianto yang meraih 12,1 persen. Posisi Jokowi terbilang tidak aman. Idealnya, ia bisa mendapatkan elektabilitas di atas 50 persen sebagai petahana yang setiap saat bergerak ke mana-mana dan bertemu masyarakat.

Ada beberapa hal yang bisa menggerus dukungan buat Jokowi dan kini tengah dimainkan oleh lawan politiknya.

Pertama, Ahok Effect yakni kembali digunakannya kartu-kartu agama yang intinya menyatakan bahwa Jokowi anti-Islam melalui sejumlah kebijakannya. Kartu-kartu ini akan semakin banyak tampil di permukaan malah memanas seiring dengan tahun politik yang sedang berjalan. Biarpun prestasinya mentereng, tapi ketika diberi label sebagai anti-Islam, maka semua prestasi itu akan rontok seketika. Formula yang sama sukses diterapkan saat pemilihan Gubernur DKI yang lalu.

Kebijakan Jokowi yang dianggap mengabaikan sejumlah kelompok Islam, serta hanya memberi ruang bagi kepentingan sejumlah organisasi, di antaranya MUI, Muhammadiyah, dan NU, diyakini akan terus menjadi bara yang dipanaskan setiap saat. Jokowi sedang berhadapan dengan arus politik identitas serta bangkitnya perlawanan kelompok Islam yang kian garang dengan aksi berjilid-jilid. Jika dirinya tidak bisa menemukan formula yang bisa menenangkan semua pihak, maka kursinya akan lepas dan jatuh ke pihak lain.

Yang dikhawatirkan adalah kekuatan-kekuatan yang mengatas-namakan agama ini bisa bersinergi dengan sejumlah pihak yang menguasai arus kekuatan finansial. Sinergi dua kelompok ini bisa membahayakan Jokowi. Satu memakai identitas agama, satu lagi menjadi mesin penggerak dengan kekuatan modalnya. Maka berbagai isu dan gerakan besar bisa menjadi bom yang akan meledakkan semua pencitraan Jokowi.

Kedua, isu komunisme dan asing. Isu komunis ini bergandengan dengan isu agama. Isu komunisme akan semakin sering santer ditujukan kepada lingkaran Jokowi. Biarpun sudah mulai ada upaya untuk membangun wacana tanding, publik yang terlanjur terkena hasutan ini akan terus mengangkat isu ini sehingga kian memuncak seiring dengan tahun politik yang sedang berjalan. Isu komunis masih cukup efektif untuk menyentuh militer aktif agar memberikan dukungan pada siapapun yang berteriak paling lantang untuk melawan komunis.

Isu asing juga akan semakin marak. Isu negara telah dijual kepada pihak Cina akan menjadi jualan politik yang laris. Kebijakan Jokowi yang pro pada investasi akan ditafsirkan sebagai upaya memberi ruang bagi asing untuk mencaplok ekonomi Indonesia, serta gagalnya Jokowi membangun kemandirian dan penguatan ekonomi pribumi.

Ketiga, dukungan militer. Isu digesernya Panglima TNI Gatot Nurmantyo ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Jika prosesnya memang normal-normal saja, maka semuanya akan berlalu begitu saja. Tapi jika prosesnya meninggalkan luka bagi sejumlah perwira militer, maka ini akan menjadi bumerang di kemudian hari. Jika terjadi koalisi antara militer dan gerakan sosial yang tengah marak di ibukota, maka peluang Jokowi akan semakin menipis. 

Bagaimanapun juga, militer punya semua sumber daya untuk menggerakkan banyak kekuatan di masyarakat. Mereka juga punya basis data intelijen yang sekian puluh tahun sudah menyerap banyak dinamika dan friksi di antara berbagai laporan masyarakat. Sekali mereka mendukung satu pihak, maka potensi kemenangannya akan besar. Inilah risiko yang dihadapi Jokowi, meskipun dirinya sudah menunjuk seorang panglima yang baru.

Keempat, kepentingan sejumlah aktor yang berkeinginan menjadi pendamping Jokowi. Dilema yang dihadapi adalah bagaimana membangun sinergi, agar tidak ada pihak yang merasa diabaikan begitu saja. Satu barisan sakit hati, akan melahirkan satu kelompok yang berpotensi berkoalisi dengan penentangnya lalu ikut menjegal dirinya.

Dalam banyak sisi, Presiden adalah aktor tunggal yang harus bisa menjaga irama kepentingan sejumlah  pihak. Ketika dirinya memutuskan berpasangan dengan satu pihak, maka pihak lain yang berkeinginan sama bisa berpotensi sakit hati, lalu bergabung dengan gerakan yang hendak menjatuhkan dirinya.

Kelima, sinergi kaum akademisi dan intelektual. Sebagaimana telah saya katakan di atas, sejumlah lembaga riset sudah mulai mengumpulkan rapor kelemahan Jokowi. Mulai dari naiknya harga-harga kebutuhan dasar masyarakat, naiknya BBM, lalu iklim ekonomi yang dirasakan tidak kondusif serta hanya berpihak pada sejumlah kalangan.

Rapor Jokowi juga dilihat dari beberapa sektor, khususnya sektor pertanian, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan bagaimana kesejahteraan masyarakat desa. Sejauh ini, rapor itu tidak terlalu mentereng di banding pemerintahan sebelumnya. Rapor ini akan menjadi amunisi yang siap memuntahkan peluru saat momen ekspos keberhasilan pemerintah.

Data-data yang ada dalam rapor ini kemudian diserahkan kepada tim-tim media di lapangan, yang lalu diolah dan dikemas menjadi sejumlah isu, mulai dari pemberitaan media hingga meme, karikatur, dan hoax. Semua isu ini lalu menjadi amunisi yang disetor ke kanal media sosial, disambut dengan girang oleh penyebar isu, di-retweet dengan bahagia oleh semua tim-tim lapangan, diiklankan di Google dan Facebook agar menyentuh jutaan orang, setelah itu duduk manis sembari memantau efek dari isu-isu tersebut.

***

SAAT ini, Jokowi masih meraih elektabilitas tertinggi. Tapi di tahun politik itu, boleh jadi elektabilitasnya bisa semakin menurun. Kebijakan Jokowi yang mengedepankan infrastruktur memang positif, tapi kebijakan itu berorientasi pada jangka panjang. Dalam jangka pendek, warga harus terbiasa mengencangkan ikat pinggang dan memahami sejauh mana kerja-kerja pemerintah yang menata masa depan lebih baik buat mereka.

Mungkin saja Jokowi berpikir bahwa kebijakan itu ibarat menanam buah, yang kelak akan tiba satu masa memanen. Dua tahun sebelum pilpres, ia harus memastikan bahwa proses memanen buah itu akan benar-benar terjadi. Jika tidak, semua lawan politik telah memiliki catatan tentang sisi mana saja yang menjadi celah dari kebijakannya.

Yang pasti, beberapa lembaga riset sebagaimana tempat kawan saya bekerja, telah memiliki catatan tentang apa yang terjadi. Lembaga-lembaga ini hanya membutuhkan para pengendali isu, spin doctors, dan sejumlah pihak yang bisa menyetir informasi sehingga jadi amunisi yang akan meluluh-lantakkan Jokowi.

Pada akhirnya, politik akan mengikuti formula Harold Lasswell, yakni “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.” Pemenangnya tidak selalu mereka yang bekerja, tapi mereka yang diam, menunggu saat yang tepat, kemudian mengambil alih semua kendali wacana dengan strategi yang tepat. Jokowi menang dengan strategi yang matang, maka andaikan dia kalah, maka pasti dikalahkan oleh strategi yang jauh lebih matang.

Kita akan menjadi saksi atas duel wacana yang akan semakin menghangat di tahun politik nanti.



Opera Setya Novanto Untungkan PDIP?




MENYAKSIKAN suasana sidang Setya Novanto (Setnov) ibarat menonton opera dengan alur rumit yang susah ditebak. Setelah sebelumnya muncul aksi “tabrak tiang listrik”, kini yang muncul adalah aksi diam saat berada di pengadilan. Seluruh warga tanah air langsung berisik di media sosial. Di luar segala huru-hara itu, publik lupa bahwa nama tiga politisi PDIP malah luput dari surat dakwaan KPK. Siapa yang paling diuntungkan dari sidang Setnov? Apakah PDIP?

***

DIA datang dari Warakas, Jakarta Utara. Bapak itu mengenakan baju kuning, dengan ikat kepala bertuliskan Hidup Golkar. Di bagian belakang bajunya, terdapat tulisan Golkar Bangkit, Golkar Jaya, Golkar Menang. Bersama rombongannya sebanyak 50 orang, dia datang dengan menumpang satu truk. Barisan yang mengaku simpatisan Partai Golkar itu hendak memberikan moril kepada Setnov yang disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, kemarin.

Tadinya saya hanya melintas. Tapi saya penasaran menyaksikan betapa banyaknya mobil terparkir di tepian Jalan Bungur. Semua stasiun televisi datang membawa mobil liputan yang di atasnya terdapat antena seperti parabola. Mobil berparabola itu berjejer di depan ruang sidang, sehingga publik yang melintas bisa merasakan bahwa ada satu peristiwa besar terjadi di situ.

Saya pun singgah ke ruang pengadilan itu. Di depan kantor pengadilan, saya nyaris tak bisa masuk. Saya mencatat ada ratusan jurnalis yang duduk di teras. Banyak di antara mereka yang sedang memegang ponsel sembari mengetik sesuatu. Di dalam pengadilan, suasana juga tak kalah ramai. Beberapa televisi memulai siaran langsung. Para presenter cantik berdiri di depan kamera dengan mulut komat-kamit.

Tak lama kemudian, semua jurnalis bergerak merubung sesuatu. Saya penasaran dan ikut mendekat. Blitz kamera kembali dinyalakan. Barisan berbaju kuning merangsak ke depan, mengambil posisi di sekitar Idrus. Saya melihat bapak dari Warakas itu di sebelah Idrus. Dari jarak kurang dari 10 meter, saya bisa melihat kalau Plt Ketua Umum Golkar itu sedang pernyataan pers. Saya tak terlalu tertarik untuk tahu apa yang sedang dibahas. Saya hanya suka mendengar aksen bicara Idrus yang khas Bugis itu.

“Sidangnya bakal panjang Mas,” kata seorang jurnalis. Dia melihat saya sibuk memperhatikan situasi. Mungkin penampilan saya seperti jurnalis, memakai kaos oblong, dan jeans kusam yang lama tak dicuci. Saya pun tersenyum dan merespon kalimatnya. Kami sama-sama berdiri di depan pengadilan di dekat areal untuk merokok. Dia menyodorkan rokok putih, saya menolak. Dari dalam tas, saya keluarkan rokok kretek. Saat asap mengepul, dia terlihat tergoda. Saya lalu menyodorkan kretek, yang disambutnya dengan sumringah. 

Namanya Andri. Dia bekerja di satu media di Jakarta. Menurut Andri, drama persidangan Setnov akan menjadi drama terpanjang. Banyak pihak ikut bermain di air keruh sehingga berkepentingan pada persidangan Setnov. Laksana seorang bos para mafia, Setnov bermain di areal abu-abu yang tak banyak diketahui publik, tapi menjadi arena banyak politisi.

Di ruang gelap itu, Setnov adalah pengendali banyak irama yang tenang dan tak banyak bicara. Kekuatannya adalah kemampuan membangun jejaring, mengajak orang lain menjadi perisai bagi dirinya, setelah itu memainkan banyak skenario. Saat satu skenario gagal, Setnov dengan cepat berpindah skenario. (BACA: Operasi Penyelamatan Setnov)

Andri juga bercerita suasana sidang. Setnov tidak menjawab pertanyaan hakim. Dia juga beberapa kali ke WC. Saya tak terlalu terkejut dengan pernyataan Andri. Setnov memang penuh skenario. Dia tidak pernah memilih diam dan kalah.

Sekecil apapun skenario akan dimaksimalkannya demi memenangkan banyak hal. Dia tak mau langsung diam dan menjalani persidangan sebagaimana orang lain. Dia boleh saja di bui. Tapi jejaringnya akan terus bekerja untuknya. Butuh satu kecerdikan dan kelihaian untuk memutus rantai kerja Setnov yang sedemikian rapi dan terorganisir.

***

PONSEL saya berbunyi. Saya melihat ada telepon dari Riyal. Dia adalah salah satu pengacara yang bergabung di bawah bendera Maqdir Ismail. Saya dan Riyal sama-sama berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Saya dan Riyal memang janjian untuk satu urusan. Dikarenakan ia harus mendampingi Maqdir di sidang Setnov, ia minta ketemu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Riyal minta saya masuk ruang sidang. Ia meminta security untuk mengijinkan saya masuk. Rupanya, jalannya sidang telah memasuki masa akhir. Jaksa telah membacakan semua surat dakwaan. Di sana, ketua tim penasihat hukum Novanto, Maqdir meminta waktu dua pekan kepada majelis hakm untuk menyusun eksepsi atau pembelaan hukum.

"Kami akan meminta waktu cukup yang panjang kalau boleh dua minggu karena satu hal yang perlu kami sampaikan sebagai alasan terlebih dahulu bahwa begitu banyaknya fakta yang berbeda yang kami dengar dari surat dakwaan ini dengan dua dakwaan terdahulu," kata Maqdir.

Di ruang sidang itu, saya melihat Maqdir. Rambutnya mulai memutih. Dahulu dia adalah salah satu pengacara paling diandalkan Adnan Buyung Nasution. Dia seorang doktor lulusan dari Universitas Indonesia (UI). Di kalangan lawyer, dia dikenal cerdas dan sering digoda agar menjadi pengajar tetap bidang hukum perguruan tinggi. Tapi ia memilih menjadi pengacara. Entah, apakah ia silau dengan duit melimpah di bidang ini.

Di luar sidang, Maqdir menyebut beberapa fakta yang hilang dalam dakwaan Setnov. Fakta yang hilang itu adalah nama-nama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang banyak disebut dalam dakwaan sebelumnya. Mereka adalah Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), dan Olly Dondokambey (Gubernur Sulut).

Ia menduga ada ‘main mata’ antara KPK dan pemerintah. “Makanya, saya katakan tadi Kenapa nama-nama itu bisa raib. Apa negosiasi yang dilakukan KPK?” Ia tidak ingin mengaitkan nama-nama yang hilang itu dengan PDIP sebagai partai penguasa. Ia melihat figur-figur itu harusnya disebut namanya oleh KPK dalam dakwaan. “Saya tidak melihat partai. Saya melihat personil orang yang disebut terima uang. Kok tiba-tiba nama mereka raib? Ini yang saya persoalkan,” katanya. 

Padahal, dalam surat dakwaan mantan pejabat Dirjen Dukcapil Dukcapil Kemendagri, Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen Proyek e-KTP,  Olly selaku Wakil Ketua Banggar DPR RI saat proyek e-KTP bergulir, disebutkan menerima uang korupsi e-KTP senilai 1,2 juta dollar AS, Ganjar senilai 520 ribu dollar AS, dan Yasonna sebesar 84 ribu dollar AS.

Namun dalam dakwaan Setya Novanto, ketiga nama itu, serta sejumlah politikus lainnya, hanya disebut jaksa KPK "Beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014 sejumlah 12.856.000 dolar Amerika Serikat dan Rp44 miliar." Nama lain yang juga hilang adalah mantan Menteri Dalam Negeri 2009-2014 Gamawan Fauzi.  Jika dalam dakwaan perkara sebelumnya disebut menerima USD4,5 juta, maka di dakwaan Novanto hanya disebut menerima satu ruko di Kebayoran.

***

SAYA lalu meninggalkan kantor pengadilan itu. Semua urusan telah kelar. Saya memikirkan bagaimana menyambung semua fakta-fakta penting terkait sidang Setnov. Pertama, sikap Setnov yang lebih banyak diam. Apakah ia sedang memainkan strategi untuk mengulur waktu hingga proses praperadilan kelar? Kedua, beberapa nama politisi PDIP yang raib dari surat dakwaan. Ketiga, siapa yang paling diuntungkan dari opera Setnov yang bisa menyeret banyak orang.

Kasus ini menarik sebab sarat kepentingan di lembaga tinggi negara yakni DPR. Pelakunya adalah para wakil rakyat yang sedang membicarakan kemaslahatan rakyat Indonesia, lalu membuat program bernama E-KTP. Di atas kertas program ini bagus sebab bisa menjadi identitas tunggal seluruh warga Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Di sisi lain, program ini penuh aroma kongkalikong dan kolusi. Untuk membuat E-KTP yang merekam 240 juta warga Indonesia, butuh perangkat teknologi. Butuh alat. Butuh banyak bahan. Butuh pelatihan SDM. Butuh proyek senilai triliunan rupiah. Banyak pihak, menjadi stakeholders dari arus permainan, yang ujung-ujungnya adalah mempertebal pundi-pundi pribadi.

Sebagai warga biasa, saya menilai mustahil proyek sebesar itu hanya menguntungkan satu orang. Sudah menjadi pandangan umum kalau ada banyak pihak yang bersama-sama membentuk orkestra persekongkolan demi imbalan fulus. Setnov hanya satu kepingan kecil dari orkestra yang melibatkan banyak nama dan banyak partai. Tak adil juga jika dirinya harus menanggung sendirian semua persoalan, yang keuntungannya tidak mungkin dinikmati seorang diri.

Siapa yang diuntungkan dengan hilangnya nama politisi itu? Di Twitter, saya melihat banyak yang menyebut dakwaan ini menguntungkan para politisi PDIP. Malah ada beberapa netizen yang mengucapkan selamat kepada Ganjar Pranowo. Dia hendak bersiap memasuki lintasan pilkada Jawa Tengah. Pendukungnya harap-harap cemas karena namanya beberapa kali disebut. Malah Ganjar sudah pernah diminta menjadi saksi. Dalam surat dakwaan KPK, Ganjar disebut menepis rayuan Setnov. Benarkah?

Tak hanya Ganjar, nama-nama lain yang hilang adalah para pejabat, orang berkuasa, dan punya potensi mengendalikan hukum. Detik.com memuat pernyataan Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno yang bersyukur karena nama politisi PDIP tidak masuk surat dakwaan. “Sampai di titik ini, kalau memang dakwaan seperti itu, kami menerimanya dengan lega,” katanya. 

Jika sinyalemen yang dikemukakan Maqdir itu benar, maka kita sedang menyaksikan satu opera “habis manis sepah dibuang.” Ada masa ketika Setnov memainkan proyek, membaginya secara adil kepada banyak nama, tiba-tiba peta politik berubah. Beberapa yang menerima dana itu menjadi petinggi. Setnov lalu terjerat kasus yang bisa membuatnya dipenjara seumur hidup.

Jika ada yang diuntungkan, pasti ada yang dirugikan. Yang paling rugi dari opera ini adalah Setnov. Bayangkan, dia kehilangan kursinya di jajaran petinggi partai kuning. Dia juga terancam penjara seumur hidup. Dia kehilangan kebebasannya sebab harus meringkuk di penjara. Dia juga menghadapi kasus hukum seorang diri, padahal tindakan itu diperkirakan dilakukan banyak orang.

Demikianlah peribahasa "Ada gula ada semut" sedang berlaku di negara ini. Saat Anda mengelola proyek, semua mendekat dan ingin menikmati. Saat Anda bermasalah, semua akan menjauh dan membiarkanmu seorang diri melepaskan diri dari belitan hukum. Anda sendirian. Anda tak boleh membawa nama lain. Politik dan kuasa akan tunduk pada skenario besar yang tak boleh kalah.

Setnov adalah tragedi manusia yang disanjung, kemudian dihempas.


Apakah Star Wars Butuh Fatwa Haram?




PEKAN ini, film yang paling ditunggu-tunggu adalah Star Wars: The Last Jedi akan segera tayang. Jutaan penggemar Star Wars di seluruh dunia tengah menanti dengan harap-harap cemas seperti apakah kelanjutan film yang dinanti-nanti sejak episode A New Hope tayang di tahun 1977. Selama 37 tahun, film ini telah membentuk barisan penggemar di seluruh dunia.

Beberapa spekulasi bermunculan sebelum film ini tayang. Mulai dari kehadiran kembali Luke Skywalker sebagai Jedi atau ksatria terakhir, kemunculan kembali ksatria boncel tapi sangat sakti Master Yoda, petualangan Rey untuk memperdalam kesaktiannya, hingga bagaimana Kylo Ren menjadi sosok pengganti Lord Darth Vader. Sayang, di kisah ini, tak ada lagi Han Solo, sosok favorit saya di semua episode Star Wars.

Tak disangka, film ini menghadirkan semesta baru yang tak sekadar berhenti di layar, tapi juga hadir di luar layar. Keyakinan akan adanya The Force yang diperkenalkan dalam Star Wars seolah menjadi agama baru yang dianut warga dunia. Bahkan di beberapa negara seperti Inggris, jumlah penganut agama The Force terus bertambah setiap kali film Star Wars hendak tayang. Para penggemar juga mendirikan Gereja Jedi yang menjadi tempat ritual untuk merasakan aliran energi the Force.

Pertanyaan kritis mencuat, apakah butuh fatwa haram agar film ini tidak merusak keimanan banyak orang? Apakah butuh fatwa sesat agar penganut agama baru yang diambil dari film ini tidak terus-terusan bertambah?

***

“Remember! The Force will be with you. Always!”

Kalimat itu keluar dari bibir Obi Wan Kenobi kepada Luke Skywalker dalam kisah Star Wars: A New Hope. Saya masih mengingat persis kalimat ini sebab diulang beberapa kali. Bagi para penggemar Star Wars sama paham kalau The Force diyakini sebagai energi yang menyatukan seluruh semesta. The Force menjadi kekuatan yang maha besar, di mana semua makhluk menyerap kekuatan itu untuk dirinya.

Dalam film, para ksatria Jedi ibarat para rasul yang bertugas untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Tugas para Jedi adalah membela galaksi dari para mahluk jahat yang berada di kubu The Dark Side. Dialektika antara Jedi dan pengikut The Dark Side adalah jantung kisah Star Wars, yang kemudian diletakkan dalam kisah pergaulan antar galaksi. Di situ ada banyak kisah, peradaban, serta banyak narasi, yang dikemas dalam tontonan ala Hollywood.

Yang tak saya duga, ternyata kisah dalam film Star Wars ini tak berhenti ketika komposer John Williams menghentak di akhir film, saat barisan nama pembuat film naik ke layar. Para penonton membawa nilai-nilai dalam film itu keluar bioskop, lalu meyakininya sebagai sesuatu yang hidup hingga akhirnya menjadi agama. Di Inggris, mereka yang meyakini The Force lalu membentuk agama baru yang disebut Jediism sejak tahun 2001 silam. Saat itu kurang lebih 390 ribu orang mendeklarasikan Jedi sebagai agama mereka. Sementara Gereja Jediism (The Church of Jediism) telah didirikan pada 2007 di Anglesey, North Wales, Inggris dan kini sudah memiliki enam cabang di seluruh dunia.

Di satu media, saya temukan fakta bahwa seiring dengan pemutaran film Star Wars: The Force Awaken, jumlah pengikut agama baru ini bertambah hingga 250 ribu orang. Mingguan The Telegraph mewawancarai Patrick Day-Childs, salah satu dari penggiat Gereja Jedi di Inggris yang menyatakan, "Pendaftar baru meningkat substansial dalam beberapa hari terakhir. Ujian sesungguhnya akan muncul beberapa pekan lagi saat kemeriahan film nantinya memudar."

Dalam wawancara itu, Patrick juga menjelaskan beberapa hal penting tentang Jediism yang dianutnya. Di antaranya adalah ritual, sikap mental, serta apa yang harus dilakukan. Ia juga menjelaskan sesuatu yang dalam ranah filsafat disebut sebagai eskatologis, keyakinan akan hari akhir. Hal-hal semacam ini selalu ditemukan dalam berbagai agama. Ia menjelaskan:

“Ada aturan Jedi yang kami ikuti dan praktikkan setiap hari; emosional tapi damai; ketidaktahuan tapi berpengetahuan; gairah tapi tentram; kacau tapi harmonis; dan kematian tapi Force. Kami percaya bila Anda mati, Anda memberikan jiwa Anda kepada Force; dalam arti Anda telah meninggalkan jejak di dunia ini dan semua orang akan mengingat Anda, dengan baik atau buruk. Kami sangat menyambut orang yang menganut dua kepercayaan, seperti Jedi Muslim atau Jedi Buddha.”

Tak cukup sampai di situ. Otoritas keagamaan Turki mengeluarkan peringatan tentang bahaya penyebaran agama Jediisme yang dipelopori para ksatria Jedi dalam film Star Wars. Dalam majalah bulanan Hurriyet Daily News, Profesor Bilal Yorulmaz, atas nama pemerintah Turki, mengeluarkan pernyataan menarik. “Jediisme menyebar saat ini dalam masyarakat Kristen. Sekitar 70.000 orang di Australia dan 390.000 orang di Inggris saat ini mendefinisikan diri mereka sebagai Jedi.”

Hal ini diperkuat dengan adanya doktrin resmi kitab suci, yang menuliskan perihal catatan Gereja Jedi di situsnya bahwa “mengakui semua makhluk hidup saling berbagi kekuatan hidup dan bahwa semua orang memiliki pengetahuan bawaan tentang apa yang benar dan salah, dan Gereja Jedi merayakan ini tidak seperti yang agama lain lakukan.”

***

JIKA ditinjau secara filosofis, beberapa elemen keyakinan dalam kisah Star Wars sejatinya merupakan sintesis dari berbagai tradisi pemikiran di timur dan barat, di antaranya adalah Bushido, Zen, Taoisme, serta Buddhism, yang kemudian bersintesa dengan tradisi ksatria ala Eropa abad pertengahan.

Dalam tulisan “Jedi Philosophy”, Chris Sunami menyebutkan tiga tradisi utama yang bisa ditemukan dalam kisah Star Wars adalah Taoisme, Buddhisme, dan Zoroasterianisme. Ketiganya merupakan filsafat timur yang hingga kini masih memiliki penganut setia. Ketiga unsur ini bisa ditemukan dalam dialog para ksatria Jedi, kepercayaan yang dianut Anakin Skywalker yang menyeberang ke sisi jahat (the dark side) demi menyeimbangkan kehidupan, serta terselip dalam kearifan berbagai mahluk dalam film.

Unsur pertama adalah Taoisme. Tao merupakan bagian dari filsafat Cina klasik yang bermakna “Jalan” (the way) atau “Jalan Alamiah” (the way of nature). Ada dua tujuan utama Tao yakni mencapai keseimbangan dan harmoni bersama semesta serta mahluk hidup lainnya. Penganut Tao percaya terhadap adanya realitas sempurna (ultimate reality) sebagai energi utama.

Energi ini termanifestasi di alam dunia melalui dua kekuatan yang setara dan saling berhadapan, yang disebut unsur “Yin” atau kekuatan feminimitas dan unsur “Yang” yang merupakan representasi dari maskulinitas. Dua unsur ini selalu berdialektika demi menggapai keseimbangan. Dalam unsur baik, terdapat unsur buruk, demikian pula sebaliknya.

Ketegangan antara Yin dan Yang akan menghasilkan “qi” (seringkali dilafalkan sebagai “chi”). Qi bisa ditemukan di dalam semua aspek, khususnya organisme hidup. Pemahaman atas qi adalah akar dari berbagai praktik Cina tradisional, termasuk akunpuntur, feng shui, dan tai chi. Mengacu pada beberapa legenda, keadaan qi yang selalu mengalir menghadirkan kekuatan mistik bagi seorang master.

Kekuatan ini sama persis dengan kekuatan yang dimiliki oleh para ksatria Jedi, termasuk kemampuan untuk memindahkan obyek dengan pikiran. Dalam film Star Wars, nama master Qui-Gon Jin (guru dari Obi Wan Kenobi) diduga berasal dari kata “Qi Gong” yang merupakan sebutan bagi para master atau pengendali qi.

Belakangan, sejak Tao dianggap sebagai aliran filosofis, keyakinan ini kera disandingkan dengan beberapa ajaran agama, misalnya Buddha dan Kristen. Akan tetapi, wacana ini juga ditemukan dalam Islam, setidaknya ada persesuaiannya. Saya membacanya pada buku Tao of Islam yang ditulis Sachiko Murata. Buku lain yang juga menjelaskan ini adalah Taoism yang dikarang Toshihiko Izutsu yang isinya adalah pemikiran Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi yang disintesiskan dengan pemikiran filsafat Cina.

Unsur kedua dalam keyakinan para Jedi adalah Buddhism, khususnya Zen, satu varian yang banyak ditemukan di Jepang. Sebagaimana aliran Buddha lainnya, penganut Zen mempraktikkan ajaran untuk tidak tergantung pada banyak hal. Penganut zen melepaskan semua ikatan emosional ke orang, tempat-tempat, dan banyak hal lainnya.

Mereka meyakini bahwa ha-hal tersebut akan membuat seseorang kehilangan bahagia serta memantek langkahnya. Tujuan utama adalah menggapai keadaan individualis serta kemerdekaan dari segala ikatan emosi sehingga seseorang hanya memikirkan semesta.



Dalam film Star Wars, para ksatria Jedi dikisahkan memilih jalan hidup serupa biksu yang asketik (melepaskan diri dari dunia) serta selibat (tidak menikah). Pada titik tertentu, para biksu Zen dikenal mengembangkan kemampuan khusus yang membuat mereka memiliki kekuatan super.

Unsur ketiga dalam film ini adalah Zoroasterianisme, satu keyakinan dalam Persia kuno yang melihat dunia sebagai pertarungan abadi antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Walaupun Zoroaster hanya dianut sedikit orang, tapi pahaman filosofis ini bisa ditemukan dalam berbagai agama, termasuk pada keyakinan beberapa agama samawi yang percaya pada setan sebagai pemilik “jalan kegelapan” yang berhadapan dengan para rasul atau para dewa yang berada di jalan terang.

Seingat saya, kisah dialektika ini ada dalam semua agama. Dalam satu publikasinya, sosiolog asal Iran, Ali Syari’ati, pernah bercerita tentang dialektika Qabil dan Habil sebagai awal dari perseteruan antara dua sisi kemanusiaan. Qabil dan Habil adalah putra-putra Adam yang tercatat dalam kitab sebagai perseteruan pertama, sehingga satu di antaranya tewas. Keduanya mewakili dua pandangan dunia yang saling berhadapan, saling mempengaruhi, serta saling berkonfrontasi. Dua pandangan inilah yang lalu diwariskan ke dalam berbagai peradaban.

Terakhir, filsafat Jedi bisa diasosiasikan dengan tatanan para ksatria di abad pertengahan Eropa yang menjalankan code of ethics yang mencakup aturan berperang,  standar tinggi kehormatan, dan nilai-nilai kependekaran (warrior virtue) yang mencakup kehormatan, loyalitas, keberanian, serta pancaran cinta kasih.

Memang, fundasi bagi agama Jedi ini justru berakar pada beberapa tradisi dan filsafat. Semua tradisi itu bisa didamaikan dalam Jediisme. Padahal, di aras pemikiran, terdapat perbedaan prinsip di antara masing-masing tradisi tersebut. Tapi semuanya memiliki elemen yang sama; (1) keyakinan tentang alam semesta yang selalu mengalir, (2) kepercayaan tentang unsur baik dan unsur jahat yang selalu bergerak, (3) keyakinan tentang adanya jalan terang yang bisa digapai melalui para ksatria Jedi.

Hal lain yang juga menarik buat saya adalah bagaimana nilai-nilai dalam keyakinan baru ini tersebar melalui sebuah film. Bayangkan, film menjadi satu medium yang menggugah banyak orang untuk menemukan alternatif dari kekosongan nilai masyarakat modern.

Bayangkan, bahasan film yang sedemikian singkat dan sederhana bisa diolah menjadi luas dan sarat makna. Film itu memantik satu diskusi filosofis yang mendalam, munculnya sekte atau aliran tertentu, munculnya komunitas yang selalu bertemu sembari memakai pakaian para ksatria Jedi, lalu saling belajar dan menginspirasi. Maka lahirlah agama baru.

Tapi Jika dilihat secara substansial, tak banyak perbedaan antara film dengan lahirnya agama-agama besar dunia, yang kebanyakan bermula dari narasi seseorang yang memiliki kekuatan dahsyat. Bagi orang Yahudi, kisah tentang agama menjadi sedemikian bertenaga saat Musa mengisahkan tentang dunia langit serta betapa berkuasanya Yahwe sebagai pencipta. Narasi tentang keperkasaan langit itu semakin kuat tatkala Musa membelah lautan, sesuatu yang dianggap sebagai adi-kodrati serta melampaui batas kemampuan manusia biasa.

Artinya, baik film dan narasi sama-sama memiliki benang merah yakni keyakinan tentang sesuatu yang melampaui manusia, sesuatu yang berada di luar nalar dan membentuk semesta, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang maha dan melingkupi sesuatu. Artinya, kesadaran akan ketuhanan itu selalu ada dalam diri setiap manusia, yang lalu menggerakkan semua orang untuk menemukannya.

Nah, dalam proses penemuan aspek ketuhanan, yang sejatinya ada dalam diri itu, orang-orang akan melakukan komparasi terhadap apa yang dilihatnya. Saat agama resmi dipandang hanya menjadi sumber konflik dan pertentangan, dianggap sebagai sumber keresahan dan hidup yang nestapa, manusia akan berpaling pada nilai-nilai lain yang menyentuh hatinya dan diyakini bisa menjadi jalan terang keselamatan. Pada titik ini, kisah Star Wars menjadi inspirasi yang bisa menggerakkan seseorang.

Mengapa mencari keyakinan baru? Boleh jadi, ini dikarenakan tekanan hidup serta tiadanya jawaban dari agama-agama resmi atas problem kehidupan dan upaya untuk mengatasinya. Kita bisa mengajukan banyak hipotesis untuk menjawabnya. Fenomena agama baru jelas menunjukkan tumbuhnya religiusitas dan jiwa-jiwa yang senantiasa ingin menemukan kebenaran, namun tidak menemukan janji keselamatan pada agama-agama tradisional yang terlanjur ada.

Ternyata ada sesuatu dalam diri manusia yang mengidealisasi kesempurnaan dalam keyakinan-keyakinan serta kepercayaan yang datang, meskipun keyakinan itu disaksikannya hanya dalam film seperti Star Wars.

Saya teringat sosiolog Emile Durkheim pernah mengamati agama suku Aborigin di Australia. Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim menemukan aspek penting dalam agama yakni pemisahan antara dunia—akhirat dan pembedaan antara hal-hal yang suci (sacred) dan hal yang nyata (profane).

Yang saya tangkap dari situ adalah apa yang disebut agama berpulang pada tafsir yang menyejarah pada diri seorang individu. Saya teringat filsuf Ludwig Wittgenstein yang mengatakan bahwa ada satu dimensi dalam agama yang sukar dijelaskan yakni kepercayaan dan keyakinan. Aspek ini tak melulu lahir dari rasionalitas atau ikhtiar menemukan kebenaran.

Anda bisa menertawakan penganut agama Jedi yang menuhankan apa yang disebut dalam film Star Wars. Tapi, Anda tak akan pernah bisa memahami logika berpikir tersebut, sebelum Anda menjadi penikmat Star Wars, merasuk dalam pemikiran penganutnya, dan merasakan betapa The Force mengatur alam semesta. Kita hanya bisa berempati, tanpa memahami persis sebab terhalangi batas rasionalitas yang sebagai konsepsi yang memandu cara berpikir kita sendiri.

Dan apa yang disaksikan dalam Star Wars adalah jalan keselamatan yang sengaja dipilih sejumlah demi menentramkan hati, menguatkan keyakinan bahwa di tengah masalah seberat apa pun, Tuhan selalu menemani. Para penganutnya percaya bahwa Mereka yakin bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan mereka sebab Tuhan berdiam dalam hati.

“May the force be with you. Always!”