Jangan Salahkan SYAHRUL

SYL


Palu hakim diketuk. Vonis 10 tahun penjara dibacakan. Semua tepuk tangan. Syahrul Yasin Limpo, pria yang berkarier dari kelurahan itu kini menjadi pesakitan. Saat disorot kamera para jurnalis, dia bersuara parau. “Ini bukan korupsi proyek. Ini hanya soal skincare,”katanya.

Hmm. Dia benar.  

***

HARI itu, 23 Oktober 2019, Presiden Jokowi melantik Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian. Dia memimpin Kementerian dengan pagu anggaran 14 triliun rupiah dalam setahun. Presiden memberi amanah untuk menyediakan sistem yang bisa memberi makan seluruh anak bangsa.

SYL tiba di Kementerian dengan mobil dinas. Dia turun dari mobil, kemudian disambut dengan gegap gempita. Birokrasi menyambut. Banyak yang mendekat. Satu demi satu pejabat Kementerian mendatanginya, tersenyum ceria, lalu berbisik, “Lillahitaála, saya siap hidup mati demi Bapak.”

Di rumah dinasmya, karangan bunga berdatangan. Mayoritas datang dari bawahannya, para pejabat-pejabat itu, juga para rekanan, pengusaha, dan semua mitra kerjanya. Semua berharap dikenali, dengan menulis nama besar-besar di karangan bunga. 

Di rumah itu, hilir mudik tamu berdatangan. Kebanyakan para pejabat Kementerian. SYL menjadi magnet. Semua mendengar kalimatnya. Bahkan saat dia mencoba humor yang tidak lucu pun, semua akan tertawa terbahak-bahak. Padahal, lucunya di mana.

Tentunya, SYL tidak ingin direpotkan dengan semua tetek-bengek dan permintaan aneh. Dia bawa orang kepercayaannya untuk berhadapan dengan semua itu. Orang-rang kepercayaan bertugas untuk menyaring semua hal, sebelum dibawa ke SYL.

Birokrasi kita hari ini adalah warisan kolonial. Posisi seorang penguasa adalah sentrum dari semua aktivitas birokrasi. Merit system hanya di atas kertas. Praktiknya, semakin Anda dekat dengan penguasa, maka posisi akan semakin kuat. 

Orang-orang dekat SYL bisa lebih powerful. Tugas mereka bukan sekadar mendampingi, tapi juga menerjemahkan apa keinginan SYL. Tugas tambahan lain adalah mereka sering jadi pintu masuk untuk semua lobi.

SYL didekati semua birokrasi. Mereka mencari tahu siapa keluarganya dan apa kebutuhannya. Seorang di antaranya mendatangi putrinya. Dia tahu kalau putrinya sering ke salon untuk perawatan. Dia pun mengawal sang putri. Saat hendak membayar, kasir memberi tahu, “Semua sudah dibayar sama Bapak itu.”

Bapak itu tersenyum lebar. Dia merasa sudah melakukan ‘hal baik’ yang akan segera disampaikan ke atasannya. Tapi dia pikir posisinya masih belum aman. Kembali dia kawal keluarga SYL. Dia melakukan segala cara untuk mengamankan posisinya, termasuk mengeluarkan uang dari kas negara.

Bapak itu sengaja melakukannya untuk mengamankan posisi. Dia sukarela membelanjakan uang Kementerian sebab dianggapnya itu adalah investasi. Namanya membaik, kemudian kariernya tetap melejit.

Di setiap posisi birokrasi, ada anggaran besar untuk dikelola. Jika di dunia pengusaha berlaku asas return of investment atau balik modal, maka di dunia birokrasi kita, itu tidak berlaku. Sebagai pejabat, yang Anda lakukan adalah bagaimana mengeluarkan semua anggaran sampai habis. Anda hanya perlu melakukan penyerapan anggaran.

Pejabat adalah kuasa anggaran. Jika Anda ‘kreatif’, pintar lihat celah, akan banyak anggaran yang masuk kantung. ‘Sesekali, perlulah biaya entertain untuk menyenangkan atasan. Posisi Anda tetap aman. Bisa tetap kuasai anggaran

Lagian, tugas seorang Menteri bukan cuma mengelola budget triliunan agar bisa membantu hajat hidup orang banyak. Tapi juga harus memimpin orkestra birokrasi. Dia berhak memilih siapa tim kerja yang akan menerjemahkan semua ide-idenya.

Dia memimpin tim yang punya chemistry dengannya. Di titik ini, bukan lagi soal seberapa pintar Anda, tapi soal seberapa Anda disukai dan paham bagaimana menghadapi atasan. Di dunia birokrasi, sehebat apapun Anda, atasan harus tetap di atas. Dia harus ditinggikan. Dia harus lebih melenting.

SYL tumbuh dan besar dalam kultur birokrasi yang memosisikan seorang atasan segala-galanya. Dalam sistem birokrasi ini, pemimpin hanya tahu beres. Semua anak buahnya akan melakukan segala cara untuk memastikan atasannya dalam keadaan baik Sentosa.

Jika hari ini SYL divonis, maka janganlah turut menghujat. Dia berada dalam satu sistem, yang terlanjur melihat pemimpin sebagai pemilik semesta birokrasi, yang sabdanya bisa menentukan melejit atau sirnanya karier seseorang.

Maka persidangan SYL bukanlah proses untuk membuka kebenaran dari siapa sosok ini, melainkan harus dilihat sebagai cermin dari betapa buruknya borok birokrasi kita, di mana para pejabatnya hanya sibuk menyenangkan atasan.

Persidangan SYL menjadi persidangan aneh. Bukan lagi mencari substansi persoalan, agar hal serupa tidak terjadi di masa depan, namun menjadi persidangan yang hendak mempermalukan. Seorang pejabat dikuliti hingga tulang-belulang. Padahal jika standar yang sama hendak diberlakukan, maka semua pejabat negeri ini harusnya masuk penjara, sebagaimana dirinya.

Jika mau fair, jangan hanya vonis SYL. Jatuhkanlah vonis ke semua pejabat dan aparat di bawahnya, yag selama ini berdalih ‘dipaksa atasan’, padahal faktanya sengaja melakukan berbagai ‘kebaikan demi tetap mempertahankan posisinya. 

Kalau mau fair, bubarkan birokrasi Kementerian itu, lalu tata ulang dari nol. Tunjuk pejabat baru, yang kata Plato, adalah para filsuf yang tidak goyah dengan harta, tahtam dan wanita.

Seorang kawan berujar, “Itu sih masih mending. Di Kementerian lain, dan semua pemerintah hingga desa, jauh lebih banyak yang busuk.”

Masalahnya, seberapa berani kita, dan seberapa sanggup kita untuk membuka semua praktik itu di semua lini pemerintahan, yang kelak bisa menimbulkan distopia, saat birokrasi, yang selama ribuan tahun dikelola dengan prinsip “Yes Bos” atau “Iye Puang”, lumpuh hingga kantor-kantor ditutup.

Di Jakarta, SYL divonis 10 tahun untuk tuduhan korupsi, di mana anak buahnya bayar macam-macam dan menyebut atas perintah. Di persidangan itu, suaranya kian parau. Semua ingin menghindarinya. Para pejabat yang dulu menjilat, kini bagai pahlawan pembela kebenaran.

Kita sedang menyaksikan satu babak dalam kehidupan seorang yang memulai karier dari nol. Kita menyaksikan satu fragmen hukum yang hanya bergerak di tepian. 

Kasus SYL mengingatkan kita pada satu pesan penting yang didengungkan selama beberapa abad: "Saat kamu di atas, semua akan mendekat. Saat di bawah, semua akan menjauh."




3 komentar:

Mappasessu, SH mengatakan...

Turut Prihatin

Anonim mengatakan...

Ini ulasan yang keren 👍🏼

Anonim mengatakan...

keren tulisannya Kk.. ABS semua..

Posting Komentar