Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

C U A N

 


Selama tiga hari berturut-turut, saya berjumpa dengannya di satu kantin di Jakarta. Akhirnya kami saling sapa dan ngobrol. Kami berkenalan.

Namanya Jason. Dia berasal dari Korea, namun lama tinggal di Beijing. Dia lulusan Seoul National University. Saya tidak tahu dia kerja apa.

Kami mengobrol banyak hal. Mulanya bahas drama Korea, setelah itu membahas beberapa investasi yang berujung pada penipuan. “Untuk berbisnis, jangan hanya pikir Cuan. Tapi juga harus Cengli, Cincai, Cia, dan Cau,” katanya dalam bahasa Inggris.

Saya penasaran. Dia tersenyum.

Dia mengutip filosofi 5C yang selalu diterapkan orang Cina. Menurutnya, filosofi itu yang membuat orang Cina bisa menguasai bisnis di seluruh dunia.

C pertama adalah Cuan. Maksudnya, bisnis itu harus jelas menguntungkan. Kalau kita tidak yakin bisnis itu menguntungkan, jangan berinvestasi. Jangan ikut-ikutan. Jangan terpengaruh selebgram.

C kedua adalah Cengli atau masuk akal. Jika kita tidak bisa meyakinkan diri sendiri bisnis itu masuk akal dan bisa jalan, jangan jalan. Demikian pula jika kita tidak percaya pengelolanya.

C ketiga adalah Cincai atau maklum. Bisnis tidak harus langsung sempurna. Makanya, kita harus cincai dan bersedia untuk toleransi saat ada kesalahan kecil. Maklumi jika ada kegagalan, sepanjang tidak keluar dari track atau jalur.

C keempat adalah Cia atau makan. Usahakan untuk selamatkan modal dan keuntungan saat ada kesempatan. Kita tidak tahu apa yang terjadi esok.

C kelima adalah Cau atau kabur. Bisnis itu ada jamannya. Kalau sudah kering, harus move on. Mulai lagi yang baru. Tidak boleh baper saat satu usaha gagal. Ibarat pedagang, maka saatnya menggelar tikar di tempat lain.

“Makanya, jika ada yang hendak membeli bisnismu, jangan ragu untuk jual. Belajar dari Yahoo,” katanya.

Saya ingat sekitar tahun 2000-an Yahoo masih berjaya. Google belum mencapai posisi seperti sekarang. Di masa itu, Microsoft menawar Yahoo sebesar 44,6 miliar dollar. Pemegang saham bersorak kegirangan.

Tapi pendiri Yahoo, Jerry Yang, menolak mentah-mentah. Dia yakin Yahoo yang saat itu mulai terpuruk bisa diselamatkan. Saat itu, para investor mulai dumping atau menjual saham. Namun, ada banyak orang yang masih percaya Jerry Yan diam-diam membeli saham Yahoo karena mengira harganya akan bangkit.

Mereka mengira, Jerry Yan seperti Steve Job yang saat kembali ke Apple bisa membangkitkannya. Rupanya, semua keliru. Yahoo terus turun hingga bangkrut. Hingga akhirnya, Microsoft tidak tertarik membelinya. Jerry Yan tersingkir dari posisi CEO.

Saya menyimak. Tak lama kemudian, HP berdering. Barulah saya ingat kalau ada teman menunggu di satu hotel dekat situ. Saya lalu pamit. Teman itu mengajak saya untuk bertemu seorang ahli smelter dari luar negeri. Kata teman, ahli smelter ini sangat susah ditemui. Kalau dia tiba di Indonesia banyak yang antri untuk bertemu.

Tiba di hotel itu, saya bersama teman segera ke resto untuk menemuinya. Di situlah, saya melihat Jason sedang ditemui banyak orang. Rupanya dia yang hendak ditemuii. Spontan saya teriak: “Jason, Is that you?”



Seorang Ibu di Senayan City

 


Di satu resto di Senayan City, ibu itu duduk sendirian. Dia mengenakan kain sarung yang warnanya agak pudar. Saya memperhatikan dirinya yang terlihat sedang menunggu.

Saya mempraktikkan ajaran Malcolm Galdwell untuk berani berbicara dengan orang asing demi menyerap pelajaran dan pengalaman baru. Talking to stranger. Saya pun menyapanya. Dia pun merespon. Aksen bicaranya khas Bugis Makassar. Saya kegirangan.

Dia bercerita sedang menunggu anak dan cucunya yang singgah di toko mainan. Rupanya dia punya tiga orang anak. Anaknya yang menemaninya sekarang adalah dokter spesialis di RSCM. Dia sudah lulus S3 di satu kampus di Jepang.

“Wah hebat Bu,” kataku.

“Iye. Dia anak bungsu. Kakaknya kerja di perusahaan IT di Singapura. Dia ingin saya pindah ke sana. Tapi saya sulit meninggalkan Indonesia,” katanya.

“Kenapa Bu?

“Saya tidak bisa tinggalkan rumah yang dibangun almarhum bapaknya,”

Saya lihat dia terdiam. Dia sesaat tergenang dalam samudera kenangan. Saya bayangkan dia mengingat keping demi keping kenangan bersama orang yang dicintainya.

“Kalau kakaknya yang paling tua?”

“Oo. Adaji. Dia nelayan. Diami yang temanika di kampung,” katanya.

Satu jadi dokter spesialis. Satu lagi kerja di perusahaan teknologi. Kakaknya cuma seorang nelayan. Rasanya aneh.

“Pasti Ibu merasa gagal yaa karena dia beda sama adiknya,”tanyaku sok tahu.

“Tidak ji. Justru dia yang paling hebat. Dia paling dihormati dan disegani di keluarga. Kalau bukan dia, nda mungkin adik-adiknya bisa sukses. Diami yang biayai semua adiknya,” katanya.

Tanpa saya minta, ibu itu bercerita. Anaknya yang sulung itu tadinya kuliah di satu kampus terbesar di Makassar. Saat suami ibu itu meninggal, anak sulungnya memilih pulang kampung dan meninggalkan bangku kuliah.

Dia bekerja serabutan sebagai nelayan untuk membiayai sekolah adiknya dan menafkahi keluarga. Dia meninggalkan zona nyaman untuk memikul tugas sebagai kepala keluarga. Bahkan dia lama menikah karena ingin memastikan semua adiknya bisa mandiri.

Ibu itu lanjut bercerita dengan sebulir air mata menetes di pipinya. Anaknya itu bisa saja lari dari rumah dan bekerja untuk dirinya sendiri sembari kuliah. Tapi anak itu memilih jalan pedang untuk menyelamatkan semua orang. Dia abaikan kebahagiaan dirinya untuk menggelar karpet merah bagi kesuksesan dan kebahagiaan orang lain.

Saya mematung dengar kisah ibu itu. Setiap hari kita mendengar kisah orang sukses dan kaya raya. Kita bangga dan salut dengan mereka. Padahal, sejatinya mereka tak begitu hebat. Mereka hanya pencari uang di tengah belantara manusia yang juga berpikir serupa.

Orang yang benar-benar hebat adalah mereka yang bersedia mendedikasikan dirinya untuk melahirkan orang hebat. Orang seperti ini rela menjadi tanah gembur yang menumbuhkan tunas-tunas tanaman. Dia hanya menjadi tanah, tapi dia menumbuhkan bunga-bunga indah warna-warni, sayuran segar dan menyehatkan, juga pohon-pohon rindang.

Orang hebat rela menjadi lilin yang perlahan terbakar, namun menghadirkan cahaya terang bagi sekelilingnya. Dia hilang dan tak dikenali, tapi jejak cahaya yang dia hasilkan telah menerangi sekelilingnya.

Saya sedang melamun saat ada suara-suara kegirangan terdengar di kejauhan. Sejumlah kanak-kanak berlarian dan menciumi tangan ibu itu. Ibu itu beranjak bersama kanak-kanak ke sudut resto. Di sana, ada seorang lelaki tampan memandangnya dengan tatap penuh kasih. Mereka lalu beranjak meninggalkan resto.

“Jalanka dulu. Adami anakku. Mariki dii…”

Saya masih termenung saat dirinya terlihat sudah di kejauhan. Ceritanya masih membekas di sini, di sudut hati.

.

.

NB: Cerita ini murni fiksi. Dikembangkan dari satu versi cerita yang sempat viral di medsos.


Kisah 2nd Chance

 

Di era Youtube, batas negara benar-benar memudar. Saat di tanah air digelar kompetisi music X Factor di stasiun tivi RCTI, konten-kontennya segera menjadi konsumsi global.

Padahal di saat yang sama, media Malaysia menggelar konten Big Stage 2022. Tapi entah kenapa, netizen negara itu justru membandingkan kualitas yang bagai bumi dan langit.

Banyak netizen Malaysia yang malah mencaci kompetisi musik di negaranya sebab mengabaikan kualitas, dan hanya fokus pada kontestan dengan subscriber terbanyak di media sosial.

Mereka mengidolakan kontestan Indonesia yang tampil di ajang X Factor Indonesia..Di antara kontestan itu, ada nama Putu Maydea, Alvin, Roby Gultom, hingga 2nd Chance.

Saya ingin menyoroti 2nd  Chance. Grup music ini baru saja terbentuk.

Tadinya mereka penyanyi solo yang ikut kompetisi. Mereka berasal dari beberapa kota, di antaranya Maumere (Flores) hingga Manado. Namun karena banyak talenta lain yang juga bagus, mereka terpental.

Ariel Noah merasa mereka punya kualitas di atas rata-rata Hanya saja, ketika menyanyi solo, aura dan kharismanya kurang memancar. Dia berinsiatif mengumpulkan tiga cowok dan satu cewek ini untuk membentuk grup baru. Hasilnya luar biasa.

Suara mereka yang berbeda-beda itu berpadu indah. Mereka punya karakter kuat. Mereka bisa menekan ego dan melebur untuk menciptakan harmoni. Suaranya bikin merinding. Mereka jadi bahan review banyak Yutuber asing.

Saya melihat kanal Yutub milik Adam Tambakau, warga asli Sabah. Dia rajin membuat review pada tayangan music berkualitas di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina.

Saat me-review penampilan 2nd Chance, Adam histeris dan berteriak. Dia berkata “Its amazing. Their voices are complement each other so well..”

Tak hanya Adam, saya juga mengikuti banyak reaction serupa. Bahkan beberapa guru vokal di Korea dan Amerika Latin ikut memberikan review.

Tentu saja, tidak semua punya review yang berkualitas. Banyak netizen negara lain yang sengaja me-review konten Indonesia hanya untuk mengejar likes dan subscriber. Banyak yang berharap cuan sebab mengetahui karakter orang Indonesia yang punya nasionalisme di atas rata-rata.

Dengan populasi 270 juta orang, dan sebagian besar kaum mudanya wara-wiri di dunia digital, Indonesia adalah pasar yang sangat menggiurkan. Apalagi, penduduknya sangat cinta tanah air dan punya slogan “NKRI death price.”

Seharusnya ini menjadi kekuatan kita. Seharusnya Indonesia menjadi kiblat dari musik, budaya pop, hingga industri hiburan. Memang tayangan Korea masih mendominasi layar kaca kita, tapi perlahan, industri kreatif kita perlahan menyebar ke negeri lain.

Saya berharap, grup music seperti 2nd Chance terus hidup dan berkembang. Suara-suara indah mereka benar-benar menjadi hiburan dari tayangan media yang isinya kekerasan dan suara-suara para politisi yang berusaha untuk mendapat perhatian kita semua.

Dua pekan lalu, saya merinding melihat 2nd Chance menyanyikan lagu It’s Hard to Say I’m Sorry” dari grup band Chicago. Saya pun menonton penampilan mereka di minggu-minggu sebelumnya.

Saya tertarik untuk bikin video reaksi. Siapa tahu video reaksi saya menyebar hingga ke mana-mana. Siapa tahu bisa dapat cuan.

Tapi saya urungkan. Malu ah.


Millenials Kill Everything

 


Buku yang ditulis Yuswohady ini terbit dua tahun lalu, sebelum masa pandemi. Tapi isinya tetap relevan, malah sangat relevan. Buku ini membahas apa saja benda, produk, ataupun kebiasaan yang kini hilang sejak kehadiran kaum milenial.

Kita ambil satu contoh tentang waktu kerja. Sejak era kapitalisme dimulai, manusia mengenal jam kerja, mulai pagi hingga sore, from 9 to 5. Tapi lihatlah hari ini.

Publikasi terbaru yang saya baca, banyak generasi muda di luar negeri yang memilih berhenti bekerja di satu kantor yang menerapkan jam kerja ketat. Bukan soal salary. Bukan pula soal pandemi. Mereka menginginkan fleksibilitas.

Di sini pun situasinya tak jauh beda.

Di masa sebelum pandemi, buku ini sudah melihat kalau work from home akan segera menjadi kenyataan. Banyak orang lebih suka jalan-jalan atau bekerja dari rumah, sembari mengerjakan tugas kantor.

Banyak orang siap menghadapi tantangan, namun tidak harus rutin datang bekerja di satu lokasi selama bertahun-tahun. Apalagi jika tempat yang didatangi itu terletak di jantung kota Jakarta, yang setiap saat disergap kemacetan. Orang lebih suka berkantor di warung kopi, rumah, dekat pantai, puncak bukit, lembah, atau di mana saja yang bisa bikin nyaman.

Hal lain yang juga menarik adalah definisi tentang ruang kerja. Dulu, kita beranggapan ruang kerja itu adalah ruang dengan banyak meja biro, kertas-kertas, serta pakaian formal. Sekarang ada trend ruang kerja yang serupa ruang bermain.

Lihat saja kantor-kantor di banyak gedung tinggi Jakarta. Suasananya dibikin kayak kafe atau ruang bermain. Ada tempat ngopi, makan gratis, serta meja bilyar. Anda bisa baring-baring di banyak sofa, sepanjang target hari itu terpenuhi, sepanjang pekerjaan beres.

Pakaian yang dikenakan pun santai. Orang hanya berpakaian formal pada momen tertentu saja. Malah, berpakaian mahal sudah mulai ditinggalkan. Orang-orang meniru Mark Zuckenberg dan Steve Jobs yang hanya pakai kaos sederhana ke mana-mana. Padahal duit mereka unlimitted. Tak terhitung.

Hal lain yang saya temukan relevan di buku ini adalah musik rock. Kemarin, seorang kawan di kantor memperlihatkan video editannya tentang musik rock. Saya lihat personilnya sudah tua. Musiknya pun tua. Serasa mendengar band Malaysia tahun 1980-an.

Buku ini memfatwakan musik rock kian dijauhi anak muda. Musik ini sudah dianggap jadul, kurang inovatif, hanya menekankan teriak-teriak. Anak muda lebih suka hip hop, lebih suka electronic digital music, lebih suka dance ala Korea.

Buku ini menyajikan daftar apa saja yang hilang. Mulai dari album foto, hingga sabun batang, SMS, agen perjalanan, hingga dapur. Bahkan banyak kebiasaan-kebiasaan yang hilang. Di antaranya adalah mabuk. Dulu, mabuk adalah gaya hidup bagi anak muda.

Ada semacam rasa gagah dan keren kala menjadi pemabuk. Mabuk identik dengan keberanian.

Sekarang, kita jarang menemukan anak muda mabuk. Sebab gaya hidup mabuk bisa merusak tubuh. Ada risiko kena liver, diabetes, hingga jantung. Anak muda mulai menghindari mabuk. Demikian pula minuman bersoda.

Sebagai peta jalan, banyak hal yang perlu mendapat perhatian bersama. Di antaranya, menikah bukan lagi pilihan mendesak bagi anak muda. Mereka lebih suka berkarier, berkarya, dan bertualang.

Saya yakin, buku serupa akan makin banyak muncul. Kita menjalani hari demi hari, tanpa menyadari ada banyak hal yang perlahan punah. Kita tak bisa menampik perubahan. Jika ingin survive, maka yang perlu kita lakukan adalah berselancar di atas ombak perubahan.

Dulu, Nokia pernah berjaya. Namun Nokia tidak melakukan inovasi hingga perlahan tergusur. Saat mengumumkan bangkrut, CEO Nokia, Stephen Elop, mengucapkan kalimat epik: "Kami tak melakukan kesalahan apa-apa. Tapi bagaimana kami bisa kalah?"

Saya ingat kalimat Charles Darwin, dalam evolusi, siapa yang kuat, maka akan bertahan. Hari ini, kalimat itu seyogyanya direvisi. Yang bisa bertahan bukan yang paling kuat, melainkan yang paling kreatif.

Itulah hukum rimba “jaman now.”


Yang Lucu-Lucu Saat Demonstrasi

 


Siapa bilang demonstrasi mahasiswa selalu serius-serius? Ada banyak hal-hal lucu di setiap demonstrasi mahasiswa. Mulai dari kutipan saat orasi “Safety Matches Polar Bear” yang diterjemahkan sebagai puisi revolusi, hingga rencana aksi yang lucu-lucu.

Apa sajakah?

***

Malam itu, di satu pondokan sekitar kampus Unhas, banyak mahasiswa berkumpul merencanakan demontrasi. Di situ, semua kalangan berkumpul. Ada para fungsionaris lembaga kemahasiswaan, ada penggiat kajian, hingga seniman kampus.

Rencananya, mahasiswa akan turun untuk memprotes kebijakan pemerintah yang memiskinkan rakyat. Saat membahas bagaimana agenda aksi, berbagai masukan lucu-lucu mulai terdengar dari berbagai penjuru.

“Karena kita akan bahas mengenai kemiskinan, bagaimana kalau kita arak kawan kita Agus dalam keadaan tidak pakai baju. Kita ikat di kayu. Kebetulan, Agus kan kurus, kita jadikan dia sebagai simbol penderitaan rakyat. Gimana kawan-kawan?”

Kawan yang bernama Agus malah tak marah. Dia tertawa ngakak. Dia punya ide lebih gila lagi. “Gimana kalau kita bikin aksi simbolik, Kita bikin tiang gantungan, trus kita pura-pura gantung kawan Hambali. Ini juga simbol penderitaan rakyat,” katanya.

Seorang kawan bernama Adi punya usulan lain. Dia mengusulkan agar demonstran membawa bunga mawar, yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat yang terjebak kemacetan. Bisa juga diberikan ke polisi. Semua setuju.

Diam-diam Adi sudah punya rencana. Dia hanya akan memberikan bunga kepada cewek yang ditemuinya di jalan. Tak sekadar bunga, dia juga berencana memasukkan nama dan nomor teleponnya di situ. Hmm. Cerdik juga.

Demonstrasi sering ditafsir dengan berbagai cara. Para akademisi menyebutnya sebagai manifestasi dari suara rakyat. Penguasa melihatnya sebagai ancaman. Oposisi melihatnya sebagai kendaraan untuk ditunggangi.

Namun mahasiswa justru punya pandangan lain. Bagi sebagian mahasiswa, demonstrasi bukan sekadar beramai-ramai datang untuk menyampaikan sikap. Demonstrasi adalah arena untuk show, tampil heroik di depan lawan jenis.

Demi show itu, banyak orang menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ada mahasiswa yang sengaja memanjangkan rambut keriting biar terlihat garang saat aksi. Ada juga yang merasa bangga sekali saat fotonya yang sedang meloncati api di ban terbakar menjadi headline media-media lokal.

Sejumlah mahasiswa berusaha tampil orasi dengan gaya heroik, penuh dengan kutipan. Tapi kalau sering melihat mereka orasi, barulah disadari kalau semua kalimatnya ibarat pita kaset yang selalu diulang di berbagai demonstrasi.

Seorang kawan butuh berhari-hari, hanya untuk menghafal puisi dari Rendra, Wiji Thukul, hingga kalimat-kalimat hebat dari Bung Karno. Giliran diminta orasi, semua puisi dan kata-kata heroik itu malah kelupaan. Yang teringat hanya kalimat dari Wiji Thukul, yakni: “Hanya ada satu kata: LAWAN!”

Ada lagi seorang kawan yang mengaku suka baca buku kiri. Saat orasi, dia selalu mengeluarkan kutipan dari Vladimir Illych Ulyanov atau Lenin. Semua terkesima dan kagum.

Kata-kata andalan itu dikeluarkan saat diskusi ilmiah. Dia terpojok saat ada seorang kawan yang suka baca buku tiba-tiba bertanya: “Apa bisa saya diberitahu di buku mana kutipan itu diambil?”

Rupanya dia cuma karang-karang, sekadar untuk membuat kagum saat orasi. Persis sama dengan seorang demonstran yang saat orasi menyebut Safety Matches Polar Bear dengan nada cepat, kemudian mengaku itu adalah puisi Yunani yang bermakna “Bangkitlah untuk revolusi.”

Bagi sebagian besar mahasiswa, demo yang sekadar jalan kaki ke kantor dewan kemudian orasi dan pulang adalah demo yang kurang seru. Mahasiswa merasa makin gagah dan heroik saat ada konfrontasi dengan aparat. Makin seru jika ada tembakan gas air mata.


Saya masih ingat persis, seorang kawan tak habis-habisnya menceritakan pengalamannya terkena gas air mata saat berdemonstrasi di Bandara Hasanuddin, saat reformasi lalu.

Pengalaman itu begitu membekas dalam dirinya. Dia bercerita dengan gagah seolah dia berdiri di barisan paling depan melawan aparat. Padahal, seingat saya yang juga ikut aksi itu, dia lebih banyak di barisan belakang. Saya malah lupa apa dia pernah ikut.

Ada pula tipe mahasiswa yang bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat aksi, dia lebih banyak di sisi mahasiswi manis yang kebetulan ikut. Dia memberi tutorial tentang aksi. Dia siap siaga. Jika ada konflik, maka dia akan melindungi mahasiswi. Di tengah kesempitan, dia sempat-sempatnya mengeluarkan jala asmara.

Saya suka senyum-senyum sendiri jika mengenang masa-masa ikut aksi dan demonstrasi. Hari ini, mereka yang dulunya suka orasi itu sudah menyebar ke mana-mana. Malah, jauh lebih banyak yang kini hidup nyaman di ketiak penguasa. Banyak yang sudah jadi pejabat, sembari mengenang masa-masa perlawanan dahulu.

Mereka yang dahulu demonstran itu kini menjadi politisi, pejabat, juga pengusaha yang dulu sering jadi sasaran kritik. Mereka hidup nyaman dengan berlimpah fasilitas. Mereka dengan bangga menyandang label mantan aktivis, atau eksponen tertentu demi posisi politik.

Mungkin demikianlah tabiat kehidupan. Ada saat melawan dalam gelora yang dibakar oleh sikap narsis pada satu zaman. Ada pula saat di mana duduk manis sebagai pihak yang dulu didemo.

Bahkan mereka yang hari ini berdemonstrasi, kelak akan menjadi mereka yang sedang dihujatnya. Demonstrasi memang ibarat panggung. Setelah ada nama, saatnya mengejar kekuasaan. Setelah itu, kembali berperilaku sama.

Entahlah.

 


Tree House

 


IBU cantik itu menyambut kami dengan penuh senyum. Saya sudah reservasi layanan kamar yang cukup mahal di arena glamour camping. Saya menyewa tenda ala suku Indian Apache.

Ibu pemilik hotel itu menawarkan upgrade ke layanan yang paling mahal. Layanan itu bernama Tree House. Saya pikir rumah di atas pohon. Pasti keren. Saya lalu menerima ajakannya untuk melihat Tree House.

Rupanya Tree House yang dimaksudkannya adalah rumah panggung terbuat dari kayu. Hah? Lebih kaget lagi saat mendengar harga yang ditawarkannya.

Bagi orang Jakarta yang setiap hari melihat tembok gedung tinggi, nginap di rumah panggung adalah anugerah besar. Itu semacam priviledge. Mahal.

Tapi buat saya yang lahir dan besar di kampung pesisir Sulawesi yang semua warganya tinggal di rumah panggung, itu biasa saja. Saya tak paham mengapa harus bayar mahal untuk nginap di rumah panggung.

Melihat raut wajah saya yang biasa saja, ibu itu kembali menawarkan sesuatu. Dia menawarkan saya paket wisata untuk naik sampan di sungai. Saya pikir gratis. Rupanya, untuk 15 menit, setiap orang wajib bayar 50 ribu rupiah. Hah?

Saya sulit menjelaskan ke Ibu itu. Saya besar di pesisir lautan. Setiap hari, saya bebas memakai sampan mana pun yang parkir di pinggir pantai. Tak perlu bayar mahal. Malah, pemilik sampan yang dengan senang hati mendayung.

Tapi di kota sebesar Jakarta, semua hal tadi justru sangat mahal. Setiap pekan, jalur menuju Puncak pasti macet parah. Orang-orang melawan kemacetan dan bersedia membayar mahal hanya untuk menikmati hal-hal yang setiap hari dinikmati orang kampung.

Dunia memang berubah. Orang kampung melihat orang kota dengan takjub. Mereka ke kota lalu jalan-jalan ke mal, menikmati kemacetan, dan gedung tinggi. Orang kampung ingin lihat ribuan lampu-lampu di malam hari.

Saya melihatnya secara sosiologis. Orang-orang kaya di kota, dahulu adalah perantau kampung yang mengharapkan hidup lebih baik. Mereka tinggal di kota yang sesak dan terjebak rutinitas. Setelah kaya, mereka kecele. Rupanya kehidupan terbaik dan lebih sehat adalah kehidupan yang dekat dengan green ecology.

Namun mereka terlanjur jadi orang kota. Ada rasa rindu kampung yang berdenyut dalam diri. Mereka ingin kehidupan yang tenang, di tengah alam hijau, dan mendengar suara-suara alam. Maka, di akhir pekan mereka membayar mahal demi menikmati hidup seperti masa lalunya.

Mereka lalu melahirkan generasi baru yang kian berjarak dengan kehidupan sebelumnya. Saat mereka ke Puncak, mereka memperbarui ingatan tentang kehidupan kampung sembari bernostalgia. Pantas saja bermunculan banyak wisata yang menawarkan kehidupan ala kampung. Bahkan rumah panggung pun menjadi penginapan termahal.

“Gimana Pak? Apa saya daftarkan untuk paket naik sampan?” Ibu itu bertanya.

Saya melirik ke anak saya. Dia paling antusias. Dia tak sabar untuk naik sampan. Pekan lalu, dia bersama ibu dan adiknya ke Kuntum, tempat wisata di Bogor. Mereka bangga saat menunjukkan foto mereka yang membeli rumput lalu disodorkan ke sapi. Mereka berpose dengan kambing, setelah itu memberi makan bebek.

“Ayah gak pernah naik sampan kan?” kata anak saya.

Saya terdiam. Anak ini tidak tahu kalau seusia dia, saya lebih banyak di pantai, mengejar lumba-lumba, berenang bersama ikan pari, menghindari ular laut, dan mengayuh sampan ke tengah lautan. Dia tidak tahu kalau di usianya, saya sudah masuk ke dalam hutan lebat lalu mandi di telaga tengah rimba.

Dia tidak tahu kalau seusianya saya sudah belajar berbagai mantra, termasuk mantra menaklukkan lawan jenis. Ssstt, ini rahasia yang tidak boleh dia tahu.


Jangan Jadi Ronin, Jadilah Samurai


Napasnya tersengal. Keringat menetes di sekujur tubuhnya. Anak muda itu mendaki bukit demi mendatangi satu rumah reyot. Konon, di situ, ada seorang guru yang bijaksana dan sering jadi tempat bertanya.

Di belakang rumah, di tengah padang berisi bunga-bunga, dia melihat sosok tua dengan wajah welas asih. Anak muda itu, langsung melempar tanya: “Guru, jika aku hendak masuk lingkar kuasa, apa yang harus aku lakukan?”

Seulas senyum tersungging di wajah keriput lelaki itu. Dia menjawab singkat, “Jangan jadi ronin. Jadilah samurai.”

Anak muda itu membatin. Ronin adalah sebutan untuk pendekar pedang tak bertuan. Para ronin berkelana seorang diri, tanpa terikat pada seorang tuan. Ronin bisa melesat cepat ke tangga kuasa, tapi dengan cepat pula bisa terpental. Dia jadi incaran banyak pendekar. Sekali dia terantuk, semua pedang segera menebas.

Sejurus kemudian, anak muda itu mengenang para samurai. Mereka yang disebut samurai adalah mereka yang punya tuan. Samurai melindungi satu sosok penting. Samurai rela menyabung nyawa untuk tuannya.

Jika samurai bersalah, maka sang tuan akan membela. Sang tuan akan menyediakan tangga demi tangga agar seorang samurai bisa melejit. Jika samurai terantuk, sang tuan akan memasang badan untuk melindunginya dari seliweran pedang.

Hubungan mereka serupa mentor dan murid. Keduanya saling menopang, hingga kelak sang mentor undur diri dari hiruk-pikuk dunia, lalu membiarkan samurai menjadi tuan baru. Samurai tak pernah menjadi “kacang yang lupa akan kulitnya.”

Hidup sebagai Samurai tidaklah mudah. Ada kesetiaan dan loyalitas yang terus diuji oleh waktu. Sering kali seorang mencapai puncak lalu jumawa kemudian meninggalkan tuannya. Dia lepas. Saat ada pedang menebas, sang tuan hanya akan menyaksikan dari jauh. Tanpa memasang badan,

“Terima kasih Guru. Apa syarat yang lain?” kembali anak muda itu bertanya.

“Jadilah sakura.”

Anak muda itu menatap sekeliling. Dilihatnya pohon sakura dengan bunga-bunga yang mekar. Bunga-bunga itu tak mekar bersamaan. Ada yang mekar dan ada yang masih kuncup. Mereka tak saling cemburu. “Bunga sakura selalu tahu kapan saat mekar. Dia sabar. Dia menunggu,” kata sang guru.

Anak muda itu terkenang dengan satu bunga yang tak mekar-mekar saat bunga lain sudah lama mekar dan berguguran. Hingga suatu waktu, bunga itu mekar dan menjadi bunga terindah di bukit itu. Bunga itu bersabar hingga waktu yang tepat. Bunga itu jadi yang terindah karena kesabarannya dalam menyerap energi semesta.

“Apa lagi?”

“Jadilah seperti pohon ek”

Anak muda itu mengingat-ngingat pohon ek. Pohon itu bisa lurus tinggi bukan karena daya dan kekuatan pada diri pohon itu. Melainkan pada keikhlasan tupai untuk membersihkan kotoran di sekitarnya, keikhlasan tanah yang memberi kesuburan, dan kebaikan sungai yang menyediakan air.

Pohon ek tahu kalau ketinggiannya didapatkan dari kebaikan banyak makhluk di hutan. Dia tak jumawa. Dia tak lelah merentangkan cabang dan dedaunan untuk melindungi yang lain. Dia mengingat semua kebaikan demi kebaikan yang diterimanya.

“Apa lagi Guru?”

“Jadilah matahari. Dia setia membagi cahayanya tanpa memandang siapa. Dia bagi sekuntum cahaya pada gunung, pada lembah, pada pantai, pada laut. Dia adil membagi cahayanya pada siapa saja,” katanya.

Matahari adalah potret ketinggian, kekuatan, dan kehebatan. Tapi matahari tak pernah lelah untuk berbagi. Dia sebarkan cahayanya dengan adil. Sama rata. Setiap pagi dia sapa semua makhluk. Setiap sore, dia berpamitan pada semuanya melalui semburat cahaya merah di ufuk sana.

Anak muda itu terdiam. Jalan menuju lingkar kuasa tak mudah. Dia mesti menekan ego dan hasrat yang menggelegak. Dia harus menenangkan banyak ambisi dalam diri yang tak sabar untuk menjebol.

Dia ingin melejit, tapi tak sabar menunggu proses. Dia tak siap jadi kepompong yang sabar menunggu hingga tiba saatnya untuk merentang sayap sebagai kupu-kupu.

“Guru, aku tak sanggup mengikuti disiplinmu.”

“Maka bersiaplah untuk mati muda.”

 


Erick Thohir di Mata Professor Amerika


Erick Thohir memakai passapu, penutup kepala khas Makassar 

ERICK Thohir berkunjung ke Makassar, pekan ini. Dia serasa pulang kampung. Media-media mengangkat silsilahnya yang keturunan Bugis. Dia tampil di kampus Unhas, lalu berbicara tentang visinya melihat Indonesia masa depan.

Erick menjadi magnet baru di dunia politik. Dia mewakili karakter yang dicari banyak orang di panggung politik. Dia muda, kaya, sukses, dan punya visi. Dia juga sosok pekerja keras, sesuatu yang hilang di kalangan anak muda, khususnya mereka yang sejak kecil dapat privilej, makan dari silver spoon.

Seorang teman bercerita, dia seorang Muslim yang taat. Di masa kampanye Jokowi, seorang relawan berkisah tentang pengalamannya menjadi imam di GBK. Dia menoleh ke belakang dan melihat salah satu makmumnya adalah Erick Thohir.

Belakangan, Erick banyak berbicara tema-tema keislaman. Mulai dari syariah hingga masjid. Hanya saja, kita sulit menemukan benang merah dari gagasannya. Bagaimanapun juga, satu gagasan butuh banyak penjelas untuk membuatnya terang.

Di media sosial, Erick terbilang sangat aktif. Sayangnya, postingannya lebih banyak gimmick. Lebih banyak main-main yang gak perlu. Barangkali, hanya dia capres yang rela jalan jongkok dan merayap di haling rintang, demi mendapat status anggota Banser.

BACA: Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika


Dalam keterbatasan informasi, saya menemukan kisah Erick Thohir yang lebih mendalam dalam catatan Professor Janet Steele dalam buku Mediating Islam: Cosmpolitan Journalisms in Muslim Southeast Asia. Janet, yang mengajar di George Washigton University, bercerita tentang Erick yang belum saya temukan di liputan media-media.

Erick memiliki ayah yang etniknya separuh Lampung dan separuh Bugis. Ibunya, setengah Tionghoa dan setengah Jawa Barat. Erick juga menikahi perempuan setengah Tionghoa, dan setengah Betawi. Selain latar belakang etnik, kisah Erick juga menarik untuk diulas.

Erick adalah pebisnis yang memulai kariernya dengan mengakuisisi Republika, media berbasis Muslim terbesar di Indonesia. Dia mengambil-alih media itu saat sedang krisis.

Janet Steele mewawancarai Erick Thohir saat melakukan riset mengenai Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia Tenggara. Saat itu, Erick adalah pimpinan Republika.

Dalam catatan Janet, perjalanan Republika menempuh dua periode. Periode pertama adalah periode politik, ketika media itu di bawah ICMI yang menjadi lokomotif pemikiran di era Orde Baru. Periode kedua adalah periode bisnis ketika Mahaka Grup yang dipimpin Erick Thohir mengambil-alih media itu, kemudian mengubah haluan media itu menjadi lebih berorientasi pasar.

Republika di masa Erick Thohir mengalami pergeseran. Saat berkunjung ke media itu, tidak tampak banyak simbol-simbol keislaman. Padahal media ini bertujuan untuk melayani masyarakat Muslim.

Pihak Republika mengklaim apa yang mereka lakukan sesuai dengan garis keislaman. Dalam tulisan tentang sejarah Republika, yang beredar untuk kalangan internal, terdapat kutipan: “Dari halaman pertama hingga terakhir, tak ada yang menyimpang dari kerangka kerja “amar ma’ruf nahi mungkar.”

Syahrudin El Fikri, salah seorang redaktur senior yang ditemui Janet mengatakan bahwa inilah Islam substansial.

“Kami tidak bisa hanya berdiam diri melihat para tetangga miskin. Itu salah. Kami tidak bisa diam saja melihat gereja dibakar. Itu tidak boleh. Kami tidak bisa membiarkan kaum Ahmadiyah dibakar. Kami bekerja karena kami harus mengatakan sesuatu: toleransi. Inilah yang disebut Islam substantif.”

Pertemuan dengan Erick

Janet pertama kali bertemu Erick pada bulan Februari 2013. Di sebuah restoran yang trendi, Erick mengajak Janet untuk makan malam. Pertama bertemu, Erick langsung bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Janet menjawab bukan.

Erick bercerita, saat pertama masuk kantor Republika, dia memperlihatkan sebuah foto mengenai situasi di negara lain. Erick berkata:

“Kali pertama masuk Republika, saya tunjukkan foto. Inilah Islam. Orangnya memang Jerman, tetapi Muslim. Jangan mengira bahwa orang Tionghoa dan orang kulit putih, bukan Muslim. Belum tentu. Anda tak bisa berprasangka seperti itu."

Janet lalu bertanya tentang agama Erick Thohir, yang langsung dijawab lugas: “Saya seorang haji. Namun yang jelas, Islam bagi keluarga saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Itu identitas kami, tetapi juga sesuatu yang sangat personal,” kata Erick.

Erick mengakui bahwa dirinya membawa visi bisnis ke Republika, yang tadinya dikelola sangat idealis. Dahulu, Republika adalah tempat orang menuangkan gagasan-gagasan tentang bangsa. Ada banyak intelektual dan pemikir yang rutin mengisi kolom di media ini.

Di masa Erick, Republika makin berorientasi bisnis.

“Saya ingat empat pesan yang saya sampaikan ketika masuk Republika. Pertama, media ini seharusnya berada di tengah, moderat. Kedua, saya tidak ingin Islam dianggap bodoh, miskin, dan terbelakang. Ketiga, kita tak boleh berprasangka. Ketika melihat sesuatu, kita tidak bisa secara otomatis langsung berpikir negatif. Kita harus berpikiran terbuka. Terakhir, Anda harus memikirkan pembaca,” katanya.

Erick menginginkan media ini bisa berpikir positif. “Anti globalisasi? Itu belum terbukti buruk. Jangan mengira itu buruk. Orang asing juga membayar pajak. Oleh karena itu, saya bilang berpikir positiflah,” katanya.

Janet tak puas dengan pernyataan Erick. Dia lalu mewawancarai pihak redaksi. Semuanya berpandangan sama bahwa pebisnis tidak ikut mencampuri semua kebijakan redaksional. Saat ada hal-hal menyangkut politik, maka sikap pihak redaksi belum tentu sama dengan Erick Thohir.

Pada saat diwawancarai, Erick Thohir masih menjabat sebagai Presiden Direktur TvOne. Saat pemilihan presiden tahun 2014, TvOne mendukung Prabowo Subianto. Republika pun dianggap mendukung Prabowo.

Pihak redaksi mengklaim kalau mereka netral. Sebagai media, mereka mendukung siapa pun. Tapi, Janet Steel mengamati tajuk harian ini dan juga Republika Online (ROL) kebanyakan dukungan kepada Prabowo.

Pihak redaksi Republika Online menyebut, kebanyakan pembaca media itu berasal dari Muhammadiyah yang menyukai tulisan-tulisan serangan pada Jokowi. Makanya, tulisan-tulisan mengenai serangan pada Jokowi selalu menjadi tulisan terpopuler yang tampil di halaman depan.

“Kami tidak bisa mengontrolnya Itu otomatis. Sebab cyber army Prabowo menyebarkan tulisan itu ke mana-mana. Makanya, Republika seakan-akan mendukung Prabowo,” kata Joko Sadewo, Pimred Republika Online.

Janet menganalisis hubungan antara web analytics atau proses mengukur dan menganalisis trafik situs web dan gatekeeping, proses menentukan berita yang tayang. Pembaca Republika memiliki kecenderungan untuk mendukung Prabowo dengan perbandingan 6 banding 1. Inilah para pembaca yang kemudian menyebarkan tulisan itu ke mana-mana sehingga menjadi hit.

Janet berkesimpulan bahwa segmen pasar menentukan arah pemberitaan media. Bahwa semua pilihan-pilihan berita, pada akhirnya akan diseleksi oleh segmen pembaca sehingga menentukan perwajahan dan isu yang ditampilkan.

Karena segmen pasarnya adalah komunitas Muslim, media ini lebih fokus pada isu-isu tentang Islam, mulai dari partai politik berbasis Islam, hingga tema-tema yang diperbincangkan komunitas Muslim.

Masuknya Erick Thohir mengubah wajah media ini ke arah komersial. Transisi itu menyebabkan adanya kompromi dengan idealisme dan ceruk pasar sebelumnya. Media ini akan tetap menyajikan jurnalisme yang profesional dan berbicara atas nama demokrasi, ekonomi, juga toleransi.

Dengan demikian, kita sudah bisa menebak bagaimana sikap media ini terkait pilpres tahun 2019. Belajar pada Janet, media ini akan berposisi di tengah, tapi pembaca dan cyber army yang akan menyebar berita itu ke mana-mana sehingga membentuk citra atau gambaran tentang media ini.

Gerak netizen ini adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihambat oleh Erick Thohir. Dia pun tidak mungkin mengintervensi media sebab di era media sosial ini, netizen punya otoritas hendak membagikan berita yang mana, juga menentukan mana yang hits dan mana yang bukan.

Pertanyaan terakhir yang cukup menohok dari Janet adalah: apakah Republika melayani kepentingan pembaca Muslim ataukah menjadi pemuas keinginan mereka?

***

Catatan Janet menjadi pintu untuk memasuki semesta gagasan Eric. Dari sisi bisnis, Erick punya visi kuat ke mana biduk media hendak berlabuh. Namun dia juga visi untuk membangun keberislaman yang tidak melulu simbolik, tetapi menyentuh lapis-lapis substansi.

Dia bisa menjadi sosok tengah yang bisa menjembatani berbagai kelompok umat Islam. Jika melihat kiprahnya, dia lebih dekat ke tema-tema perkotaan. Lihat saja tema-tema syariah, bank wakaf, dan akhlak yang sering diucapkannya untuk masyarakat perkotaan.

Professor Janet Steele

Saya pikir pilihan itu cukup strategis karena tema perkotaan tidak terlalu banyak disentuh oleh Muhammadiyah dan NU yang belakangan makin kea rah politik praktis. Celah kosong ini banyak diisi oleh sejumlah selebriti hijrah yang sering kali miskin substansi.

Hanya saja, dalam konteks elektoral, langkah ini perlu dipikirkan lagi. Di kota, kesetiaan masyarakat gampang berubah. Setiap tokoh yang dating akan didukung. Setelah tokoh itu pergi, masyarakat akan kembali mencari figur lain.

Makanya, dalam konteks elektoral Erick perlu memperbesar pengaruh ke kawasan perdesaan. Di sini, masyarakat lebih fanatik dan lebih jujur dalam mengekspresikan pilihan politiknya. Sekali mereka menyukai seseorang, maka dia akan terus suka, lau mendukung dan memilih.

Seberapa besar kans Erick untuk masuk arena pilpres? Jika ditanyakan ke Janet Steele, dia akan sulit menjawabnya. Di sisi bisnis, Erick dan Mahaka membawa Republika ke ceruk pasar yang lebih luas.

Namun politik tak semudah menghitung kalkulasi bisnis. Politik adalah seni di mana seseorang menampilkan sisi terbaik dirinya agar disukai banyak orang. Di titik ini, Erick belum menawarkan gagasan besar. Dia butuh memperkuat brand dan strategi untuk menampilkan ide-ide besar.

Dia tak boleh lagi hanya mengandalkan gimmick.



Bisnis Youtube

 


Anak muda itu datang menemui saya di jantung kota Jakarta. Usianya mungkin 20-an tahun. Dia membawa proposal pendirian bisnis yang basisnya ekonomi kreatif. Dia ingin dihubungkan dengan beberapa angel investor Dia juga ingin diskusi.

Dia bukan orang baru. Timnya telah lama menggarap animasi, yang kliennya adalah televisi dan industri hiburan lainnya. Tapi kali ini dia ingin total buat konten untuk Youtube. Hmm. Menarik.

Saya memperhatikan proposalnya yang unik. Selama ini saya hanya mendengar kalau Youtube bisa mendatangkan duit. Tapi cara dan bagaimana mendapatkan cuan, saya tidak tahu.

Rupanya, dia membuat konten-konten Nursery Rhyme, lagu untuk anak-anak. Pasarnya banyak. Dia mencontohkan, di Youtube, tayangan paling banyak ditonton adalah Baby Shark Dance, dengan jumlah pemirsa hingga 10 miliar orang. Hitung sendiri berapa keuntungan dari video dengan animasi sederhana itu.

Menurutnya, agar satu akun bisa dimonetasi, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya, harus memiliki 4.000 jam tayang, harus memiliki 1.000 subscriber, dan terdaftar di Google Adsense.

Jika semuanya berjalan lancar, di bulan ke-9, kanal yang akan dibangunnya akan segera menghasilkan cuan.  Di tahun kedua, jumlah subscriber adalah 100.000, dengan jumlah tayang 1,5 juta view untuk 30 video. Penghasilannya bisa 5 juta per hari, dan di akhir tahun kedua bisa 1,9 miliar. Jumlah ini akan terus berkembang. Wow.

Saya memandang kagum. Hal-hal semacam ini susah dipikirkan generasi lama, yang masih memandang televisi sebagai satu-satunya bisnis yang menghasilkan. Padahal generasi baru tak pernah menonton televisi. Mereka warga Republik Youtube, yang tunduk dan menjadi pemirsa dari para kreator konten.

Saya ingat tulisan Malcolm Galdwell tentang David versus Goliath. Banyak perusahaan besar yang serupa Goliath yang tambun, susah berjalan, dan rabun dekat. Banyak yang merasa di atas angin hingga lupa mengenali lanskap bisnis yang terus berubah.

Anak muda ini serupa David yang kecil, bergerak efektif, dan lincah memainkan ketapel. Dia cukup mengandalkan Yutube, lalu membangun tim efektif, kemudian bisa meyakinkan investor untuk mendanai bisnis rumahannya.  Kita tahu akhir kisah itu adalah Goliath kalah melawan David.

Barusan saya mendengar informasi tentang media besar yang tinggal menunggu waktu untuk tumbang. Ongkos produksinya sudah tidak bisa ditutupi oleh pemasukan. Mau beralih menggarap konten Yutub tidak semudah itu, sebab berhadapan dengan banyak semut-semut merah yang operasionalnya kecil, tapi efektif menyengat.

Dulu ekonom MF Schumacher pernah berkata “Small is Beautiful.” Sekarang, kita menyaksikan banyak pemain kecil yang tangkas. Cukup duduk di rumah, bangun tim, perkuat network, maka cuan akan mengalir seperti sungai.

Dalam semua tim kecil itu, perlu satu kreator konten yang memahami apa saja trending, bisa bikin trending, dan tahu bagaimana mengolah bahan-bahan sederhana agar menjadi viral. Tim itu juga butuh pemasar digital yang tahu strategi menyebarkan satu konten ke mana-mana.

“Apa Abang bisa bantu kami merancang konten?”

“Ada duitnya gak?”

“Pasti dong. Jauh lebih besar dari honor pelatih kucing. Mau?”