|
Erick Thohir memakai passapu, penutup kepala khas Makassar |
ERICK Thohir berkunjung ke Makassar, pekan
ini. Dia serasa pulang kampung. Media-media mengangkat silsilahnya yang
keturunan Bugis. Dia tampil di kampus Unhas, lalu berbicara tentang visinya melihat Indonesia masa
depan.
Erick menjadi magnet baru di dunia politik.
Dia mewakili karakter yang dicari banyak orang di panggung politik. Dia muda,
kaya, sukses, dan punya visi. Dia juga sosok pekerja keras, sesuatu yang hilang
di kalangan anak muda, khususnya
mereka yang sejak kecil dapat privilej, makan dari silver spoon.
Seorang teman bercerita,
dia seorang Muslim yang taat. Di masa kampanye Jokowi, seorang relawan berkisah tentang pengalamannya
menjadi imam di GBK. Dia menoleh ke belakang dan melihat salah
satu makmumnya adalah Erick Thohir.
Belakangan, Erick banyak berbicara tema-tema keislaman. Mulai dari syariah hingga masjid. Hanya
saja, kita sulit menemukan benang merah dari gagasannya. Bagaimanapun juga,
satu gagasan butuh banyak penjelas untuk membuatnya terang.
Di media sosial,
Erick terbilang sangat aktif. Sayangnya, postingannya lebih banyak gimmick.
Lebih banyak main-main yang gak perlu. Barangkali, hanya dia capres yang rela
jalan jongkok dan merayap di haling rintang, demi mendapat status anggota
Banser.
BACA: Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika
Dalam keterbatasan informasi, saya menemukan
kisah Erick Thohir yang lebih mendalam dalam catatan Professor Janet Steele dalam
buku Mediating Islam: Cosmpolitan Journalisms in Muslim Southeast Asia. Janet, yang mengajar di George Washigton
University, bercerita tentang Erick yang belum saya
temukan di liputan media-media.
Erick memiliki ayah yang etniknya separuh
Lampung dan separuh Bugis. Ibunya, setengah Tionghoa dan setengah Jawa Barat.
Erick juga menikahi perempuan setengah Tionghoa, dan setengah Betawi. Selain
latar belakang etnik, kisah Erick juga menarik untuk diulas.
Erick adalah pebisnis yang memulai
kariernya dengan mengakuisisi Republika, media berbasis Muslim terbesar di
Indonesia. Dia mengambil-alih media itu saat sedang krisis.
Janet Steele mewawancarai Erick Thohir saat
melakukan riset mengenai Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia
Tenggara. Saat itu, Erick adalah
pimpinan Republika.
Dalam catatan Janet, perjalanan Republika
menempuh dua periode. Periode pertama adalah periode politik, ketika media itu
di bawah ICMI yang menjadi lokomotif pemikiran di era Orde Baru. Periode kedua
adalah periode bisnis ketika Mahaka Grup yang dipimpin Erick Thohir
mengambil-alih media itu, kemudian mengubah haluan media itu menjadi lebih
berorientasi pasar.
Republika di masa Erick Thohir mengalami
pergeseran. Saat berkunjung ke media itu, tidak tampak banyak simbol-simbol
keislaman. Padahal media ini bertujuan untuk melayani masyarakat Muslim.
Pihak Republika mengklaim apa yang mereka
lakukan sesuai dengan garis keislaman. Dalam tulisan tentang sejarah Republika,
yang beredar untuk kalangan internal, terdapat kutipan: “Dari halaman pertama
hingga terakhir, tak ada yang menyimpang dari kerangka kerja “amar ma’ruf nahi
mungkar.”
Syahrudin El Fikri, salah seorang redaktur
senior yang ditemui Janet mengatakan bahwa inilah Islam substansial.
“Kami tidak bisa hanya berdiam diri melihat
para tetangga miskin. Itu salah. Kami tidak bisa diam saja melihat gereja
dibakar. Itu tidak boleh. Kami tidak bisa membiarkan kaum Ahmadiyah dibakar.
Kami bekerja karena kami harus mengatakan sesuatu: toleransi. Inilah yang
disebut Islam substantif.”
Pertemuan dengan
Erick
Janet pertama kali bertemu Erick pada bulan
Februari 2013. Di sebuah restoran yang trendi, Erick mengajak Janet untuk makan
malam. Pertama bertemu, Erick langsung bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Janet
menjawab bukan.
Erick bercerita, saat pertama masuk kantor
Republika, dia memperlihatkan sebuah foto mengenai situasi di negara lain.
Erick berkata:
“Kali pertama masuk Republika, saya
tunjukkan foto. Inilah Islam. Orangnya memang Jerman, tetapi Muslim. Jangan
mengira bahwa orang Tionghoa dan orang kulit putih, bukan Muslim. Belum tentu.
Anda tak bisa berprasangka seperti itu."
Janet lalu bertanya tentang agama Erick
Thohir, yang langsung dijawab lugas: “Saya seorang haji. Namun yang jelas,
Islam bagi keluarga saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Itu identitas
kami, tetapi juga sesuatu yang sangat personal,” kata Erick.
Erick mengakui bahwa dirinya membawa visi
bisnis ke Republika, yang tadinya dikelola sangat idealis. Dahulu, Republika
adalah tempat orang menuangkan gagasan-gagasan tentang bangsa. Ada banyak
intelektual dan pemikir yang rutin mengisi kolom di media ini.
Di masa Erick, Republika makin berorientasi
bisnis.
“Saya ingat empat pesan yang saya sampaikan
ketika masuk Republika. Pertama, media ini seharusnya berada di tengah,
moderat. Kedua, saya tidak ingin Islam dianggap bodoh, miskin, dan terbelakang.
Ketiga, kita tak boleh berprasangka. Ketika melihat sesuatu, kita tidak bisa
secara otomatis langsung berpikir negatif. Kita harus berpikiran terbuka.
Terakhir, Anda harus memikirkan pembaca,” katanya.
Erick menginginkan media ini bisa berpikir
positif. “Anti globalisasi? Itu belum terbukti buruk. Jangan mengira itu buruk.
Orang asing juga membayar pajak. Oleh karena itu, saya bilang berpikir
positiflah,” katanya.
Janet tak puas dengan pernyataan Erick. Dia
lalu mewawancarai pihak redaksi. Semuanya berpandangan sama bahwa pebisnis
tidak ikut mencampuri semua kebijakan redaksional. Saat ada hal-hal menyangkut
politik, maka sikap pihak redaksi belum tentu sama dengan Erick Thohir.
Pada saat diwawancarai, Erick Thohir masih
menjabat sebagai Presiden Direktur TvOne. Saat pemilihan presiden tahun 2014,
TvOne mendukung Prabowo Subianto. Republika pun dianggap mendukung Prabowo.
Pihak redaksi mengklaim kalau mereka
netral. Sebagai media, mereka mendukung siapa pun. Tapi, Janet Steel mengamati
tajuk harian ini dan juga Republika Online (ROL) kebanyakan dukungan kepada
Prabowo.
Pihak redaksi Republika Online menyebut,
kebanyakan pembaca media itu berasal dari Muhammadiyah yang menyukai
tulisan-tulisan serangan pada Jokowi. Makanya, tulisan-tulisan mengenai
serangan pada Jokowi selalu menjadi tulisan terpopuler yang tampil di halaman
depan.
“Kami tidak bisa mengontrolnya Itu
otomatis. Sebab cyber army Prabowo menyebarkan tulisan itu ke mana-mana.
Makanya, Republika seakan-akan mendukung Prabowo,” kata Joko Sadewo, Pimred
Republika Online.
Janet menganalisis hubungan antara web
analytics atau proses mengukur dan menganalisis trafik situs web dan
gatekeeping, proses menentukan berita yang tayang. Pembaca Republika memiliki
kecenderungan untuk mendukung Prabowo dengan perbandingan 6 banding 1. Inilah
para pembaca yang kemudian menyebarkan tulisan itu ke mana-mana sehingga
menjadi hit.
Janet berkesimpulan bahwa segmen pasar
menentukan arah pemberitaan media. Bahwa semua pilihan-pilihan berita, pada
akhirnya akan diseleksi oleh segmen pembaca sehingga menentukan perwajahan dan
isu yang ditampilkan.
Karena segmen pasarnya adalah komunitas
Muslim, media ini lebih fokus pada isu-isu tentang Islam, mulai dari partai
politik berbasis Islam, hingga tema-tema yang diperbincangkan komunitas Muslim.
Masuknya Erick Thohir mengubah wajah media
ini ke arah komersial. Transisi itu menyebabkan adanya kompromi dengan
idealisme dan ceruk pasar sebelumnya. Media ini akan tetap menyajikan
jurnalisme yang profesional dan berbicara atas nama demokrasi, ekonomi, juga
toleransi.
Dengan demikian, kita sudah bisa menebak bagaimana sikap
media ini terkait pilpres tahun 2019. Belajar pada Janet, media ini akan
berposisi di tengah, tapi pembaca dan cyber army yang akan menyebar berita itu
ke mana-mana sehingga membentuk citra atau gambaran tentang media ini.
Gerak netizen ini adalah sesuatu yang tidak
mungkin bisa dihambat oleh Erick Thohir. Dia pun tidak mungkin mengintervensi
media sebab di era media sosial ini, netizen punya otoritas hendak membagikan
berita yang mana, juga menentukan mana yang hits dan mana yang bukan.
Pertanyaan terakhir yang cukup menohok dari
Janet adalah: apakah Republika melayani kepentingan pembaca Muslim ataukah
menjadi pemuas keinginan mereka?
***
Catatan Janet
menjadi pintu untuk memasuki semesta gagasan Eric. Dari sisi bisnis, Erick punya
visi kuat ke mana biduk media hendak berlabuh. Namun dia juga visi untuk
membangun keberislaman yang tidak melulu simbolik, tetapi menyentuh lapis-lapis
substansi.
Dia bisa menjadi
sosok tengah yang bisa menjembatani berbagai kelompok umat Islam. Jika melihat
kiprahnya, dia lebih dekat ke tema-tema perkotaan. Lihat saja tema-tema
syariah, bank wakaf, dan akhlak yang sering diucapkannya untuk masyarakat
perkotaan.
|
Professor Janet Steele |
Saya pikir pilihan
itu cukup strategis karena tema perkotaan tidak terlalu banyak disentuh oleh
Muhammadiyah dan NU yang belakangan makin kea rah politik praktis. Celah kosong
ini banyak diisi oleh sejumlah selebriti hijrah yang sering kali miskin
substansi.
Hanya saja, dalam
konteks elektoral, langkah ini perlu dipikirkan lagi. Di kota, kesetiaan
masyarakat gampang berubah. Setiap tokoh yang dating akan didukung. Setelah
tokoh itu pergi, masyarakat akan kembali mencari figur lain.
Makanya, dalam
konteks elektoral Erick perlu memperbesar pengaruh ke kawasan perdesaan. Di
sini, masyarakat lebih fanatik dan lebih jujur dalam mengekspresikan pilihan
politiknya. Sekali mereka menyukai seseorang, maka dia akan terus suka, lau
mendukung dan memilih.
Seberapa besar kans
Erick untuk masuk arena pilpres? Jika ditanyakan ke Janet Steele, dia akan sulit
menjawabnya. Di sisi bisnis, Erick dan Mahaka membawa Republika ke ceruk pasar yang
lebih luas.
Namun politik tak
semudah menghitung kalkulasi bisnis. Politik adalah seni di mana seseorang
menampilkan sisi terbaik dirinya agar disukai banyak orang. Di titik ini, Erick
belum menawarkan gagasan besar. Dia butuh memperkuat brand dan strategi untuk
menampilkan ide-ide besar.
Dia tak boleh lagi
hanya mengandalkan gimmick.