Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Belajar dari Para Pengkritik



KADANG-kadang kita tak siap dengan kritikan. Kita selalu ingin dipuji atau disanjung-sanjung. Kita selalu ingin dianggap hebat. Kita selalu ingin dikira pintar. Kita selalu ingin dikira jagoan. Kita selalu ingin narsis dan menunggu jilatan dari orang lain. Kita selalu ingin dikagumi dan dipandang dengan takzim.

Kita kerap marah ketika diberitahu kesalahan atau kelemahan kita. Kita kerap mendendam pada orang yang memberitahu kesalahan. Kita kerap memaki-maki mereka yang menunjukkan kesalahan kita. Kita kerap menyumpahi mereka yang memberi tahu kita tentang kebenaran. Kita kerap memelihara dendam pada mereka yang menegur segala kesalahan kita. Kita kerap tersinggung pada sahabat yang mengkritik.

Kita memelihara sikap angkuh dalam diri kita seolah-olah kitalah yang paling benar. Kita memelihara sifat sombong dan besar kepala, seolah kitalah yang selalu tepat. Kita menutupi kesalahan kita yang bertimbun-timbun dan bergunung-gunung. Kita menutupi keangkuhan yang perlahan menjadi kabut dan menghalangi pandangan kita ke depan. Kita selalu dikepung fatamorgana, namun tak juga sadar bahwa itu bukanlah realitas sejati.

Padahal, kritikan itu bisa membesarkan kita. Kritikan bisa memberitahu detail-detail diri kita yang tidak begitu kita ketahui, untuk kemudian dibenahi atau diperbaiki di kemudian hari. Kritikan adalah petunjuk untuk dipakai menerangi sisi-sisi lain dari diri kita yang selama ini tak terang. Kritikan adalah getar untuk selalu mengenali mana yang salah dan mana yang benar. Kritikan adalah cahaya terang yang mengiringi perjalanan kita dan memberi tahu kita untuk tidak terantuk pada sebuah jebakan.

Kita memperlakukan para pengkritik dengan tidak adil. Padahal, jangan-jangan para pengkritik kita adalah mereka yang sesungguhnya menyayangi kita. Para pengkritik adalah pengagum yang ingin melihat kita lebih baik dan melihat kita lebih menyempurna. Para pengkritik adalah sahabat-sahabat terbaik yang menuntun langkah kita. Para pengkritik adalah saudara sejati yang ingin melihat kita lebih arif memandang hidup. Para pengkritik adalah mereka yang tak rela membiarkan kita terus terjatuh di lubang yang sama, tak rela melihat kita terjerembab, tanpa pernah bisa bangkit berdiri. Para pengkritik adalah mereka yang pernah menimba kearifan dari sejarah dan menjelma menjadi malaikat yang menjagai nilai agar kita senantiasa menyempurna.(*)




Politik sebagai Kelambu Kekuasaan

POLITIK adalah soal bagaimana mentransformasi kebohongan menjadi kebenaran. Hitler benar juga ketika mengatakan bahwa kebohongan yang selalu diulang-ulang akan menjelma menjadi kebenaran. Proses mengulang-ngulang kebohongan itu adalah sinonim dari proses politik yang melibatkan negosiasi antara aktor politik, wacana, serta strategi kuasa. Proses politik jelas penuh dengan drama, intrik, serta negosiasi di balik layar. Makanya, politik selalu bicara tentang dua ruang yaitu terang dan gelap. Kita hanya bisa menyaksikan wilayah terang dalam politik, tanpa diajak melihat apa yang terjadi di wilayah gelap.

Saya kira, perumpamaan paling pas tentang politik adalah ranjang gaduh yang ditutupi kelambu. Kita tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kelambu itu. Mungkinkah di situ ada ikatan yang tak sah dan pergumulan secara liar di mana kita hanya bisa mendengar kegaduhannya. Kita juga tak benar tahu rupa-rupa alasan pergumulan di balik kelambu itu. Kita hanya mendengar suara-suara gaduh, ribut-ribut, atau saling maki dengan kasar. Kita hanya menjadi penyaksi yang seolah dibisukan. Kita dijejali intrik yang sukar kita runut atau kenali jejaknya. Sebagai rakyat biasa, kita diceburkan dalam lautan tanda yang tak jelas, namun senantiasa menyebut-nyebut nama kita sebagai tujuan pengabdian.(*)


Terpaksa Menghapus Satu Tulisan

DENGAN sangat terpaksa, ada tulisan di blog ini yang saya hapus. Di tengah hingar-bingar wacana politik yang kian mengeras, tulisan blog ini bisa dimaknai secara berbeda. Saya menerima tekanan-tekanan untuk menghapus sebuah tulisan di sini. Sungguh, saya tak ingin melakukannya. Bagiku, sebuah tulisan adalah anak kandung yang pernah lahir pada suatu masa dan bertutur tentang kita. Tulisan adalah rekaman pikiran yang berfungsi untuk mengawetkan kegelisahan kita pada suatu masa

Namun, saya seakan tidak berdaya karena ini sudah menyangkut politik dan karier seorang teman. Dengan sangat terpaksa, saya harus menjilat ludah saya dan menghapus satu tulisan di blog ini. Saya hanya bisa mengurut dada karena seolah-olah saya tidak mengakui sebuah tulisan yang merupakan anak kandung saya sendiri. Saya melakukannya karena merasa prihatin dengan seseorang yang mulai merasa besar dan terganggu dengan tulisan itu.

Tetapi saya tak sedih dengan itu. Saya sih santai saja. Hal yang paling membuat saya sedih adalah blog ini tidak lagi menjadi ruang-ruang yang merdeka buat saya. Blog ini tidak lagi bisa bebas menampung kegelisahan saya atas banyak hal. Blog ini tidak lagi menjadi kanal yang mengalirkan semua energi kebebasanku dalam melihat banyak hal.

Mungkinkah blog ini kian populer? Entahlah. Ketika menulis kata kunci tertentu di google, maka tulisan dari blog ini sering tampil. Sebenarnya, itu bisa positif ketika saya memaksimalkannya untuk memperkenalkan diri pada banyak orang. Saya mendapatkan banyak teman gara-gara blog ini. Namun, blog ini bisa saja negatif ketika omongan lepas tentang sesuatu, langsung ditanggapi secara sinis oleh seseorang. Tampaknya, saya harus belajar beradaptasi bahwa blog ini tidak lagi menjadi ruang-ruang kultural yang memerdekakan saya dari dunia yang sumpek. Blog ini mulai diawasi begitu banyak mata-mata yang membuat saya kian sulit bernapas.(*)




Ilmuwan Sosial Melihat Masa Silam

BAGAIMANA cara ilmuwan sosial menganalisis masa silam? Bagi penganut ilmu sejarah, masa silam adalah areal bermain dan menjelajah demi menemukan makna. Namun bagaimana halnya dengan para sosiolog dan antropolog? Masa silam adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh kondisi dan kebutuhan di masa kini. Masa silam dibangun oleh masyarakat di masa kini berdasarkan atas cara pandangnya pada satu realitas. Masa silam seolah sebuah idealisasi yang dibayangkan secara ideal.

Pandangan ini terinspirasi setelah membaca tulisan sosiolog George Herbert Mead yang mengatakan, setiap konsepsi tentang masa lalu dikonstruksi dari titik berpijak masa kini. “Every conception of the past is constructed from the standpoint of the new problem of today.” Mead banyak mengilhami para ilmuwan sosial yang melihat masa lalu bisa dijelaskan dengan cara melihat masa kini. Pandangan ini kerap disebut “a social structural past” yang memandang masa lalu sebagai bentukan sosial yang menggambarkan realitas maupun idealisasi di masa kini. Situasi masa kini mempengaruhi persepsi kita akan masa lalu.

Oh ya, ada juga satu kalimat Mead yang saya ingat. Ia mengatakan, “symbolically reconstructed past” dengan maksud bahwa upaya menemukan kembali makna (redifining meaning) secara simbolik atas masa lalu dilakukan dengan cara menyusun patahan-patahan kejadian di masa kini. Pernyataan ini tidak selalu bermakna bahwa selalu ada kontinuitas sebagaimana yang sering dimaknai para penganut evolusionis. Sebab bisa saja terjadi patahan-patahan sejarah sehingga konsepsi perubahan adalah sebuah keniscayaan.

BELUM SELESAI…



Perenang Koin di Pelabuhan Murhum

Menjelang kapal yang kutumpangi akan merapat di Pelabuhan Bau-Bau, Buton, saya sempat mengedarkan pandang ke sekeliling dan menyaksikan banyak kapal layar yang berlabuh. Tak hanya itu, perahu berukuran kecil –warga setempat menyebutnya koli-koli-- juga memenuhi pesisir pulau. Ketika kapal yang kutumpangi mendekat, banyak koli-koli yang ikut mendekat dan didayung oleh anak-anak berusia sekitar lima hingga tujuh tahun.

Saya tersentak. Dalam usia semuda itu, anak-anak telah belajar menaklukan laut. Dengan penuh riang gembira, mereka mendayung koli-koli ke dekat kapal yang kutumpangi. Tercengang oleh kemampuan mereka mendayung, saya masih tak paham apa yang hendak mereka lakukan. Namun, ketika beberapa penumpang melempar koin ke laut, maka sang anak langsung mencebur ke laut dan menyelam hingga tak nampak dari permukaan. Tak lama kemudian, ia muncul dari laut sembari memperlihatkan koin yang berhasil didapatnya.

Laksana pemain sirkus, anak itu seakan mempertontonkan kemampuannya berenang hingga semua orang bertepuk tangan. Saya ingat, beberapa tahun lalu sebuah televisi swasta nasional menyebut anak-anak itu sebagai pengemis lautan. Saat itu, banyak orang Buton yang memprotes penyebutan tersebut. “Anak-anak itu bukan pengemis. Mereka anak para haji dan juragan kapal. Mereka menyelam koin demi kesenangan semata. Sementara ayahnya senang melihat itu karena menilai anaknya sedang latihan menaklukan laut,” demikian salah seorang tokoh masyarakat yang mengomentari itu.(*)


Bau-Bau, 19 Maret 2009



Atun Keluar dari Rumah Sakit

HARI ini saya senang. Adik Atun yang dirawat sejak beberapa hari lalu, akhirnya diizinkan keluar dari rumah sakit (RS). Selama di RS, saya sedih juga melihat fisiknya yang kian mengurus. Sedih mendengar batuknya yang kian parah. Sedih melihat dirinya yang kepayahan menghadapi hari. Bagian yang juga paling sedih adalah ketika melihat mamaku ikut-ikutan sakit selama menjagai Atun.

Namun semuanya sudah terlewati. Ketika saya datang, saya mengambil alih banyak tugas. Mamaku sedikit lega karena saya bisa diandalkan untuk urusan menjagai Atun atau mengantar mamaku ke mana-mana. Saya menghubungi banyak teman yang bekerja di rumah sakit itu untuk memberikan informasi perihal penyakit atau hal-hal yang hendak ditanyakan ke dokter. Teman itu sangatlah membantu.

Saya senang karena misiku ke Bau-bau akhirnya bisa terpenuhi. Dalam waktu dekat ini, saya sudah bisa merencanakan untuk pulang ke Makassar.(*)


100 Edisi Majalah Playboy


SESEORANG memberi hadiah 100 majalah Playboy tahun 2006-2008 yang dikemas dalam satu DVD. Saya senang juga menerima pemberian itu karena bisa berkesempatan melihat langsung bagaimana fisik majalah ini. Beberapa edisi dalam majalah itu sudah saya baca tuntas. Usai membacanya, saya langsung mengubah semua image tentang majalah ini. Selama ini saya menganggap majalah ini sangat identik dengan foto bugil para artis. Ternyata tidak juga.

Majalah ini justru adalah majalah berita yang didalamnya terdapat banyak liputan dan analisis. Memang sih, banyak liputan yang isinya seputar seks, namun tidak semuanya. Malah, di dalamnya saya menemukan feature news yang apik dan tulisannya mengalir dengan analisis yang tajam. Hari ini, saya membaca tulisan tentang opini warga Amerika tentang perang Irak. Saya kaget juga karena di majalah bugil seperti ini, kok ada juga tulisan tajam seperti itu.

Memang, ada edisi Playboy yang tetap memajang pose wanita wanita bugil di semua halamannya. Misalnya Playboy Hot Shots, Playboy Asian Beauties, Playboy Nudes, dan banyak lagi (kebetulan, saya juga memiliki semuanya). Ini adalah majalah edisi khusus yang special memajang gambar wanita bugil. Namun Playboy yang regular beredar, tetaplah majalah berita dengan analisis yang kaya.(*)



Mamaku dan Sepi yang Mencekam

SETIAP kali saya meninggalkan Buton, maka saya selalu dilanda rasa sedih. Saya sedih ketika menyadari kenyataan bahwa mamaku akan kembali sendirian dan menjalani hari-hari, tanpa ada anaknya di sisinya. Sudah cukup sering saya datang dan kemudian meninggalkan pulau ini. Namun keberangkatanku kali ini agak berbeda dengan sebelumnya. Sehari sebelumnya, saya sempat bertengkar dengan mama hanya karena hal-hal sepele. Mungkin saya salah saat itu.


Namun, saya hanya ingin memberitahukan satu hal bahwa ada saatnya di mana saya harus memikirkan masa depanku. Ada saat di mana saya harus memikirkan hendak kerja apa. Saya bosan menjadi pengangguran yang dihidupinya. Saya ingin berbuat sesuatu. Sesuatu yang kelak akan sangat penting buat diriku dan keluarga kecil yang kelak akan saya bangun. Namun mamaku tampaknya lebih senang jika saya berada di kampung. Saya dalam dilema.


Setiap kali mengingat mamaku, selalu ada rasa sedih yang merayap di hatiku. Mungkin saya agak melankolis. Namun beberapa tahun ini saya merasakan ada gelora cinta yang dahsyat dalam diriku kepadanya. Saya menyayangi perempuan luar biasa itu. Saya selalu ingin membantunya berjalan menantang hari, memberikannya rasa percaya diri bahwa ada anaknya yang punya pendidikan tinggi dan menemaninya menghadapi semua masalah yang bertubi-tubi menderanya. Langkahnya memang tertatih-tatih sebagaimana rapuhnya rasa percaya dirinya. Mungkin karena itu, ia membutuhkanku sebagai penopang dan tongkatnya agar tidak jatuh.


Sudah dua tahun ini saya selalu pulang kampung dan menemani mamaku dalam berbagai kegiatan, mulai dari pulang ke Ereke sampai mengantarnya tiap hari ke pasar. Saat ia berjalan ke pasar, saya akan selalu berjalan di sisinya, kemudian ia akan memegang tanganku agar tidak jatuh. Saya menjelma menjadi kaki, tangan, serta matanya untuk melihat sesuatu. Saya bangga karena ia mebutuhkanku. Saya bahagia mendampinginya. Malah, saya ingin meneriakkan kepada dunia bahwa saya menyayangi mamaku dan akan melindunginya menghadapi apapun.


Kepada seorang teman, saya pernah mengatakan bahwa saya ingin menjaga mamaku agar kelak menjadi pintu bagiku untuk masuk surga. Mungkin ini agak klise. Tetapi dalam novel Ayat-Ayat Cinta digambarkan bahwa surga adalah rumah yang memiliki banyak pintu dan setiap orang bisa memilih pintu yang mana, apakah pintu buat mereka yang menjalankan salat, pintu buat yang membayar zakat, ataukah pintu mereka yang menjaga amalnya. Saya tak ambisius. Saya hanya ingin mengincar satu pintu yaitu pintu buat mereka yang menyayangi orangtuanya.


Selama dua tahun ini, saya belajar untuk tidak egois. Saya tahu betul bahwa yang dibutuhkan mamaku saat ini bukanlah uang. Ia sudah cukup berkelimpahan. Yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bersedia menemaninya bercerita, membiarkannya berceloteh tentang hal-hal sepele. Untuk itu, saya siap menemaninya.


Kini, saya terpaksa harus berangkat meninggalkannya. Ada tuntutan masa depan yang harus saya tunaikan. Sehari setelah saya meninggalkan Bau-Bau, ia tiba-tiba meneleponku. Kalimatnya serak. Suaranya parau dan sesunggukan. “Saya sadar bahwa hanya kamu yang selalu pulang dan menghamba untuk saya. Kayaknya kamu akan pergi jauh dari saya dalam waktu lama. Olaimo anangku kaasi...“ Saat itu, saya tak bisa berkata apa-apa. Saya rasa mamaku tak sedang sedih dengan kepergianku. Ia sedih dengan dirinya yang kembali dicekam sepi.(*)


Pamanku Datang, Saya Sembunyi

BEBERAPA hari ini paman sepupuku yang tinggal di Kendari datang. Saya tak pernah pulang ke rumah kakakku untuk menemui mereka. Andaikan saya punya kemampuan menghilang, barangkali saya sudah lama menghilang. Untuk saat ini, saya malu bertemu keluarga dari kampung dan ingin melenyapkan diri sesaat dari kerumunan manusia.

Saya malu karena belum bisa berbuat banyak dan memberikan sesuatu kepada keluarga. Makanya, saya pura-pura sibuk atau menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan supaya tidak pulang ke rumah. Sebenarnya, saya punya banyak waktu. Jam ngajarku di kampus hanya di hari Senin dan Jumat. Waktu saya banyak lowong dan biasanya saya isi dengan sejumlah kegiatan, di antaranya menjadi petinggi di Pusat Studi Media Unhas yang bernaung di bawah Divisi Humaniora, Pusat kegiatan Penelitian (PKP) Unhas. Kegiatan yang terakhir ini, belum banyak menghasilkan uang. Namun, saya merasa senang dan merdeka sebab punya wadah untuk aktualisasi diri agar saya tetap mengasah potensiku.

Saya kembali ke rumah kakakku pada saat paman itu telah meninggalkan rumah. Kakakku bercerita bahwa ia banyak kehabisan uang karena harus carter mobil selama sehari, kemudian mengantar jalan-jalan dan belanja. Saya tiba-tiba berpikir bahwa untung juga karena saya tak pulang. Saya tahu bahwa saya tak boleh berpikir demikian. Mungkin kelak ketika saya mulai stabil, saya harus bisa membagikan kebahagiaan kepada siapa saja yang datang ke Makassar.(*)


Mungkinkah Blog Ini Jadi Buku?

BARUSAN saya sama Dwi pulang dari nonton film Kambing Jantan yang dibesut sutradara Rudi Soedjarwo. Filmnya cukup menarik sebab ceritanya diangkat dari satu buku best seller yang berjudul sama. Yang menarik bagiku karena catatan-catatan dalam buku itu diambil blog yang ditulis remaja bernama Raditya. Saya tidak ingin membahas isi film tersebut. Saya hanya ingin mengatakan bahwa blog --yang awalnya adalah sebuah keisengan atau pelepasan kepenatan dalam pikiran—bisa menjadi tambang uang bagi penulisnya.

Sepulang dari nonton film itu, saya tiba-tiba berpikir, mungkinkah catatan harian dalam blog ini akan dipublikasikan menjadi buku? Beberapa teman pernah mengusulkan hal itu, namun saya hanya diam saja karena tidak tahu apakah catatan di blog ini menarik apa tidak. Kalaupun diterbitkan, mungkin harus mengalami proses editing yang ketat. Dan saya merasa berat untuk itu sebab akan menghilangkan ciri khasku dalam menulis. Hingga saat ini, tak sedikitpun terbersit niat dalam diriku untuk mempublikasikan tulisan dalam blog ini. Blog ini diniatkan hanya sebagai oase dari ketegangan menjalani hari. Blog ini hanya kanal dari semua perasaan, ketegangan, serta ketakutan-ketakutan terdalam saya dalam menjalani hari.

Artinya, blog ini agak personal sebab lebih mencerminkan pergulatan diri saya. Blog ini tak punya ambisi besar untuk seperti catatan harian Ahmad Wahib yang menggetarkan itu, atau seperti tulisan-tulisan Soe Hok Gie dalam buku Catatan Harian Seorang Demonstran. Blog ini bicara lebih dari sekedar curahan pemikiran. Blog ini adalah potret dan rekaman yang merangkum perjalanan saya pada suatu saat. Makanya, isinya campur aduk. Kadang berpikir serius dan bikin pusing, kadang lucu, dan kadang getir. Blog ini adalah gado-gado perjalananku yang merangkum kegelisahan, harapan, serta dunia yang saya saksikan.

Mungkin saya agak personal dalam memaknai blog ini. Saya agak angkuh sebab kadang-kadang tidak perduli apakah pembaca saya mengerti atau tidak dengan apa yang saya tulis. Dwi sering memprotes, mengapa saya menyajikan tulisan yang berat-berat. Terus terang bukan niatku untuk memperumit-rumit sesuatu di blog ini. Saya hanya berusaha melihatnya dengan cara pandangku sendiri. Mungkin saya terlalu rumit, tapi bagaimana kalau sebenarnya realitas itu yang rumit dan saya hanya coba menyederhanakannya saja. Dua kemungkinan itu akan selalu hadir dalam semua tulisan di blog ini. Dan saya sendiri berusaha untuk tetap jujur dalam semua tulisanku di sini.

Blog ini ibarat sebuah catatan harian dengan beragam tema dan persoalan yang pernah saya hadapi. Mungkin ada inspirasi, serta bahagia yang kerap diselingi rasa sedih menghadapi hari. Semuanya adalah warna-warni kehidupan yang mengiringi langkah panjangku menelusuri labirin hidup. Saya kira itu saja. Tabek….



Mereka yang Dibisukan oleh Sejarah


BEBERAPA tahun yang lalu, saya membaca tulisan ulama Iran, Murtadha Muthahhari, dalam buku Masyarakat dan Sejarah. Ia mengatakan: sejarah bukan sekedar kisah kegemilangan dan heroik dari seorang manusia. Sejarah juga menyimpan nestapa dan pilu bagi kemanusiaan. Sejarah adalah kuburan bagi mereka yang dibisukan, sekaligus panggung dari mereka yang memenangkan pertarungan, kemudian memiliki hak untuk mengontrol sejarah.

Pernyataan Muthahhari itu mengiang-ngiang di telingaku selama beberapa hari ini. Saya baru saja membaca edisi khusus Majalah Tempo tentang Sutan Sjahrir yang diberi judul Peran Besar Bung Kecil. Penerbitan edisi khusus tentang Sjahrir ini melengkapi edisi khusus tentang tokoh seperti Sukarno, Tan Malaka, Muh Hatta, hingga Aidit. Mereka adalah sosok yang telah memberikan hidupnya bagi bangsa, namun rakyat dan bangsa yang dibanggakannya itu tidak selalu mencatat nama mereka pada barisan penting mereka yang disebut pahlawan. Malah, beberapa dari mereka nyaris dilenyapkan secara tidak adil dalam buku-buku sejarah kita.

Dalam Tempo edisi khusus ini, Sjahrir dibedah dari beragam sudut pandang. Panggilan hidupnya sebagai patriot yang ikut membidani lahirnya Indonesia, dibahas tuntas, termasuk semua kisah cintanya. Tetapi, Tempo edisi khusus ini juga membedah bagaimana kisah romantis Sjahrir dengan semua kekasihnya. Saya melihat sisi manusia dari bung satu ini. Patriotisme pada bangsa, serta cinta kasih adalah gelora yang menyatu dan memberi warna-warni perjalanan hidup tokoh asal Sumatra ini.

Sjahrir ibarat Odysseus yang berlayar tetapi tak pernah mencapai tujuan. Kisah Sjahrir bisa pula dibaca sebagai kisah penaklukan yang kemudian berakhir tragis. Ia adalah seorang cerdik cendekia yang berhasil menggiring bangsa pada gerbang kemerdekaan. Ia berhasil memerdekakan sebuah bangsa yang tengah beringsut untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme. Lewat jargon revolusi, ia menggelorakan semangat massa dan rasa cinta yang dalam pada negeri hingga siap menjadi martir demi revolusi. Sayang, seperti halnya kisah Yunani kuno, Sjahrir kemudian ditikam oleh negeri yang begitu dicintainya. Ternyata, revolusi –sebagaimana sering didengungkannya—harus memangsa anak-anaknya sendiri.

Ketika Sukarno sukses mempertahankan kekuasaan hingga 20 tahun, maka Sjahrir hanya menjadi perdana menteri dalam waktu singkat yaitu sekitar beberapa tahun. Selanjutnya, hidupnya laksana pesakitan. Konflik dengan Sukarno telah menenggelamkan namanya, hingga tewas secara mengenaskan dalam satu pelarian di Zurich. Sjahrir adalah pejuang yang tak sempat memetik buah dari apa yang ditanamnya. Ia hanya sempat mewariskan politik luar negeri serta strategi menjadi diplomat yang ulung kepada penerusnya.

Pertanyaannya adalah mengapa pemimpin dan sejarah kita harus menenggelamkan begitu banyak orang yang berjasa kepada negeri ini? Bukankah kisah Sjahrir tak beda jauh dengan Sukarno yang ditikam Suharto, kisah Tan Malaka yang dihempas dalam sejarah, Hatta yang sempat dituduh mengkudeta Suharto, hingga Aidit yang dicap pengkhianat? Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan bangsa ini sehingga kita tak pernah utuh dalam melihat seorang tokoh. Kita hanya melihat satu episode kelam, yang boleh jadi itu adalah fitnahan dari sejumlah politisi bego yang kerjanya cuma menghambur-hambuirkan uang negara. Pantas saja jika kita masih saja berputar-putar dalam sikap yang bebal dalam memandang zaman.(*)



Berkelahi demi Hidup

JANGAN cengeng menghadapi hidup. Yang harus dilakukan adalah berhenti meratapi semua masalah yang membelit kita. Hidup harus dimenangkan dengan kerja keras dan pengorbanan. Hanya seorang banci yang takut menantang hidup. Hanya orang bodoh yang tak sanggup berbuat apa-apa dan pasrah menghadapi keadaan yang tak adil baginya. Hidup harus dimenangkan. Kadang-kadang kita perlu berkelahi dan berdarah-darah. Namun point paling penting di sini bukanlah kemenangan atau kekalahan itu sendiri. Tapi proses-proses yang dilewati dan bagaimana kita berupaya untuk lepas dari jerat belenggu masalah tersebut. Saya kira demikian.(*)

Nonton Slumdog Millionaire

SAYA sudah nonton film Slumdog Millionaire. Saya bisa paham kenapa film ini meraih Oscar sebagai film terbaik. Saya kira, film ini lebih dari sekedar film. Film ini adalah etnografi kemiskinan yang disajikan dengan apik dengan drama yang mengasyikkan. Sebagai etnografi, film ini menyajikan detail-detail serta sudut pandang warga biasa yang bergelut dengan kemiskinan. Di situ, ada dinamika serta gerak yang menyadarkan kita bahwa mereka yang miskin seakan berkelahi dengan hidup dan beringsut lepas.

Saya suka film ini. Sangat inspiratif. Sekali anda mencoba menyaksikan satu adegan, maka anda tak akan berhenti hingga menuntaskan seluruh film. Bagian akhir film ini begitu menyentuh. Ada berbagai rasa yang campur aduk di benakku. Antara rasa sedih karena sang tokoh berhasil menjadi jutawan dalam waktu singkat, serta rasa sedih karena seorang kakak mengorbankan nyawa untuk adiknya. Barangkali, itulah hidup. Selalu saja ada dialektika antara sedih dan gembira. Ketika kita bergembira, maka boleh jadi di tempat lain, ada orang yang bersedih karena sesuatu.(*)

Rakyat, Pemilu, dan Negosiasi Kuasa

(HARI ini, satu tulisanku naik di Harian Tribun Timur. Bagiku, tulisan ini tak terlalu menarik. Biasa-biasa saja. Namun, saya cukup senang karena bisa dimuat di koran tempat saya pernah bekerja selama lebih dari dua tahun. Inilah tulisanku itu)

DI ajang seperti pemilihan umum, masih bisakah kita bicara tentang rakyat? Hampir setiap hari pamflet-pamflet menyengat kita dengan pesan-pesan bernuansa kerakyatan. Baliho menggempur ruang kesadaran kita bahwa ada janji besar yang akan ditunaikan di situ. Kemudian janji-janji yang mengiang di televisi tentang kesejahteraan serta rakyat yang akan dibela sampai titik darah penghabisan. Barisan pesan kampanye itu seakan menghentak kita pada satu pertanyaan, apakah rakyat bisa dengan begitu mudahnya dibuai dengan pamflet? Apakah baliho itu bisa membuat semua orang percaya begitu saja?

Tulisan ini tidak hendak menegaskan posisi rakyat sebagaimana dibahas secara akademis dalam berbagai literatur politik dan ilmu sosial. Saya kira pembahasan tentang itu terlampau textbook thinking dan sudah banyak dibahas. Tulisan ini adalah refleksi saat menyaksikan beragam kepingan realitas tentang bagaimana rakyat memaknai momentum politik seperti pemilu, berdialog dengan calon penguasa, bernegosiasi secara kultural dengan calon anggota legislatif (caleg), serta memperlakukannya sebagai arena kontestasi dan dialog secara terus-menerus.

Dalam berbagai perhelatan politik negeri ini, rakyat selalu dihitung secara numerik berupa angka-angka yang dikalkulasi. Suara rakyat hanya direfleksikan dalam survei yang diam, tanpa berbicara tentang apa realitas yang sejati bersarang di benak rakyat. Kebanyakan horison pandangan kita lebih banyak mengarah pada struktur politik, kelembagaan, hingga drama di balik panggung kekuasaan. Padahal di balik panggung itu, terdapat jutaan orang yang nasibnya sedang dipertaruhkan. Politik kita memperlakukan rakyat sebagai obyek atau sasaran dari retorika politik sehingga rakyat setiap saat dihujani beragam pesan dan janji kampanye. Jutaan orang itu hanya dilihat sebagai jutaan suara yang harus dimenangkan, tanpa bertanya lebih jauh apa yang harus dilakukan untuk membebaskan jutaan orang itu dari ketidakberdayaan.

Betapa beratnya menjadi rakyat di negeri ini. Hampir setiap saat disuapi dengan janji yang sama hingga berkali-kali. Hampir setiap saat disambangi seorang kandidat penguasa untuk didengarkan aspirasinya, dan entah setelah itu aspirasi mengalir ke mana. Mulai dari tingkat RT, desa, kabupaten/kota, provinsi, hingga pemilihan umum (pemilu), selalu saja ada janji yang dihamparkan. Hampir di semua lini kekuasaan, terselip ribuan janji yang akan ditunaikan kepada rakyat. Laksana makanan yang terus-menerus dijejalkan, janji-janji itu mulai terasa menjemukan sebab senantiasa diulang di segala level kuasa. Parahnya adalah medium pesan untuk memaparkan janji-janji itu memiliki bahasa yang sama. Medium pesannya hanya dalam wujud baliho bergambar wajah seseorang, kemudian nama dengan huruf mencolok, kemudian janji yang ditebar. Sesekali kita menyaksikan seseorang yang menyapa dengan wajah dihiasi senyum lebar, meskipun kita sama tahu bahwa dalam kesehariannya, orang tersebut tidak banyak tersenyum.

Resistensi Kultural

Pertanyaannya, apakah selalu ada kepercayaan yang terhampar di situ? Ternyata tidak juga. Saya menemukan bahwa ada ekspresi kultural yang beragam dari rakyat terhadap janji-janji yang ditebar tersebut. Ekspresi itu terlihat dalam ujar-ujaran, komentar, bahasa tubuh (body language), serta gosip-gosip yang berkembang di masyarakat. Ekspresi itu adalah bentuk resistensi atau perlawanan pada sistem politik yang menempatkan posisi mereka sebagai obyek dalam sebuah sistem politik. Melalui resistensi, rakyat seakan meneriakkan posisinya sebagai subyek yang aktif yang punya kemampuan untuk memaknai ulang proses-proses sosial yang dijalaninya. Rakyat hendak mengkomunikasikan pandangan yang melihat pesta demokrasi ini sebagai bagian dari proses kultural di mana rakyat bisa melakukan negosiasi politik. Dimensi kultural ini menjadi software yang secara diam-diam, tanpa hiruk-pikuk, tapi pasti menentukan corak dan arah suatu bentuk sosial.

Resistensi di sini tak hanya muncul dalam aksi pembangkangan massal. Namun bisa juga nampak dalam sikap sinis sebagian masyarakat, ataupun sikap yang melihat pesta pemilu sebagai pesta besar dimana setiap orang bisa mendapatkan banyak duit dalam waktu singkat. Tampaknya rakyat kita sudah mulai kebal dengan semua janji politik. Ribuan baliho yang disebar hingga pelosok desa tersebut, tidak selalu menuai hasil berupa dukungan. Rakyat malah memberikan respon kultural terhadap pesan-pesan tersebut dengan beragam cara. Dalam banyak pengamatan, saya sering menemukan fakta bagaimana mereka memplesetkan pesan kampanye, berucap sinis pada pemilu, hingga bagaimana mereka mengerjai seorang caleg dan memerasnya.

Banyak yang berpikir bahwa politik adalah satu wilayah menjemukan yang harus disiasati, kalau perlu harus diakali. Dipasangnya baliho di satu pemukiman, tidak selalu bisa dikalkulasi dengan matematis bahwa ada sejumlah suara dukungan di situ. Tak ada sesuatu yang gratis di zaman ini. Baliho itu bisa ditafsirkan kalau rakyat setempat sedang menjalankan negosiasi dengan seorang caleg dan berpretensi seolah-olah akan memberikan dukungan.

Dalam satu kesempatan dialog dengan seorang calon anggota legislatif (caleg), ia sempat mengungkapkan tentang rakyat. Katanya, masyarakat saat ini sudah tiba pada titik di mana mereka mulai memeras para caleg. Masyarakat sekarang sudah mulai memeras caleg dan pandai mengajukan bahasa transaksi. Politik adalah arena untuk memaksimalkan keuntungan pragmatis. “Susah mengetahui dukungan masyarakat. Setiap caleg yang datang, maka pasti akan didukung. Saya sudah habis uang untuk memberi makan jenis caleg sembako macam itu,” kata caleg yang sudah menghabiskan biaya hingga Rp 3 miliar ini.

Saya rasa ini bukan soal politik uang. Ini adalah soal relasi antara politisi dan rakyat. Ketika politisi selalu menyebut rakyat sebagai obyek politik, maka momen jelang pemilihan adalah momen pembalikan hal tersebut. Di momen ini, rakyat bisa pula menjadikan politisi sebagai obyek atau sasaran yang diperas sedemikian rupa. Rakyat bisa memberikan perlakuan yang sama sekaligus memberi pelajaran ketika menerima uang dari seorang caleg, namun belakangan tidak bersedia memilih sang caleg. Momen jelang pemilu adalah momen di mana rakyat kembali menjelma menjadi subyek dan merdeka dalam memandang proses politik dengan cara berbeda.(*)




Akhirnya Dapat SIM

BANYAK yang bertanya, apakah saya sudah dapat SIM? Tadi siang saya ke kantor elsim dan bertemu seorang jurnalis. Ia kembali bertanya, apakah saya sudah dapat SIM apa belum. Ternyata, blog ini menjadi konsumsi dari banyak orang. Untuk itu, saya harus menjawab semua pertanyaan itu melalui blog ini. Akhirnya saya dapat SIM tanpa melalui calo. Saya berhasil melalui semua proses dengan jujur, tanpa sedikitpun berniat curang. Padahal, sehari sebelumnya saya agak pesimis karena melihat wajah polisi yang garang.

Meskipun polisi itu menyuruh saya datang seminggu berikutnya, saya tetap nekad untuk dating besoknya. Ketika bertemu, polisi itu kembali memarahi saya sebab melanggar perintahnya. Saya tetap tenang mendengarkan polisi itu marah-marah. Kata temanku, berhadapan dnegan polisi, kita harus memasang tampang yang pasrah dan tak berdaya. Ketika kita sok-sokan dan ikut marah, maka polisi itu punya banyak alas an untuk tetap marah. Ternyata strategi ini berhasil. Polisi itu lelah juga marah-marah.

Setelah dia melihat berkasku, ia tersentak melihat gelar magisterku. Ternyata, di kota seperti Makassar, gelar magister bisa membawa pengaruh bagi seseorang ketika memandang kita. Polisi itu langsung keder dan tiba-tiba minta maaf. Tutur katanya berubah drastis. Tak ada lagi suara marah-marah. Yang ada adalah bahasa yang lembut dan penjelasan tentang gerakan tangan polisi. Segera setelah itu, semuanya berubah jadi gampang. Saya teringat pengalaman Clifford Geertz yang meneliti sabung ayam di Bali. Awalnya, ia kesulitan mewawancarai warga karena masih dianggap orang luar. Namun setelah ia ditangkap bersama warga karena rajin menonton sabung ayam, maka kenyataan yang dilihatnya langsung berubah. Ia langsung diterima warga dan setiap saat ditanya tentang bagaimana pengalamannya ketika ditangkap. Segalanya jadi begitu mudah baginya.

Demikian pula dengan saya. Segera setelah polisi itu membaca gelar magisterku, segalanya jadi gampang. Ia langsung memandangku dengan cara yang berbeda. Tak ada lagi yang sukar di sini. Ia langsung menandatangani lembar ujian praktikku. Kemudian saya diminta berfoto, dan sejam berikutnya SIM itu jadi. Akhirnya saya senang bisa membawa SIM baru, tanpa melalui calo.(*)

Tidak Lulus Ujian SIM

HARI ini, daftar kesialanku bertambah. Belakangan ini saya sering mengalami nasib sial. Namun kesialanku kali ini meninggalkan rasa jengkel yang tidak terkira. Saya kesal tujuh turunan dengan pihak polisi yang memberikan test ujian test Surat Izin Mengemudi (SIM). Saya merasa dikerjai dan dipimpong kiri kanan. Makanya, sepulang dari kantor polisi, saya terus memaki dengan gumaman “tailasso” atas apa yang saya alami hari ini.

Kemarin, saya menjalani test tulis. Jumlah pertanyaan 30 nomor dan saya bisa menjawab benar hingga 19 nomor. Hari ini, saya disuruh datang pada jam 09.00 pagi untuk jalani test selanjutnya. Kali ini, saya dites mengendarai motor melewati rintangan. Saya disuruh memakai rompi khusus berwarna biru yang di belakangnya ada tulisan sedang belajar. Tugasku adalah membawa motor melewati sejumlah barikade (rintangan) yang dibuat agak sulit dan berbelok-belok.

Polisi yang mengetes saya memberikan arahan bahwa kakiku tak boleh sedikitpun menginjak tanah. Ketika saya menginjak tanah, maka saya akan didiskualifikasi dan disuruh datang lagi seminggu berikutnya. Maka, saya lalu menjalani tes dengan sedikit gemetaran. Betapa tidak, banyak orang yang menyaksikanku menjalani test ini. Setelah menghidupkan mesin motor jenis Shogun 125 cc milik polisi itu, saya langsung jalan melewati semua rintangan. Sialnya adalah pada rintangan terakhir, saya nyaris jatuh sehingga kaki saya langsung menginjak tanah. Polisi itu langsung memberi sempritan. Saya disuruh mengulang lagi dari awal. Untunglah, pada test kedua, saya bisa melewati semua rintangan.

Tes berikutnya adalah mengendarai motor mengikuti angka delapan. Kali ini, tak sesulit sebelumnya. Setelah itu, saya disuruh turun dari motor, kemudian disuruh berdiri berhadapan dengan polisi. Tes kali ini adalah saya disuruh menjelaskan apa makna pergerakan tangan pak polisi itu. Seperti tes awal, saya agak grogi karena disaksikan banyak orang.

Polisi itu kemudian menyemprit lalu tangan kanannya diangkat tinggi ke atas. Saya disuruh menebak apa maksudnya. “Kendaraan di depan harus berhenti,” kataku. Polisi itu langsung menjawab sinis, “Salah!!!” Selanjutnya, dia kembali mengulangi gerakannya. Kali ini saya menjawab, “Semuanya harus berhenti.“ Jawabanku benar sebab polisi itu langsung tersenyum. Kemudian dia membuat gerakan lain. Kedua tangannya direntangkan dengan telapak menghadap ke depan. Saya tak bisa jawab.

Setelah mengulangi gerakan itu sekali lagi dan saya masih belum bisa jawab, kali ini dia mengubah gerakannya. Tangan kanannya satu diangkat sebahu seperti orang melambai. Kemudian tangan kirinya bergerak turun naik, saya masih belum bisa jawab. Tes lalu dihentikan, dan saya disuruh kembali ke ruangan. Tiba di ruangan, polisi itu lalu menyuruh saya mempelajari gerakan polisi sebagaimana terpampang di gambar pada ruangan itu. Ia lalu mengisi lembaran tesku dan hasilnya adalah saya tidak lulus ujian praktik. Saya disuruh kembali seminggu berikutnya.

Saya kesal karena sudah dua hari saya datang terus, namun mekanisme kelulusan ini tidak jelas. Saya tidak yakin jika semua pencari SIM bisa memahami dengan baik makna gerakan tangan polisi. Saya rasa, ketika sudah berada di jalanan, kita bisa memahaminya karena gerakan tangan kadang diikuti dengan teriakan. Saya tidak percaya kalau ribuan orang yang punya SIM bisa mengetahui dengan tepat makna sempritan peluit pak polisi. Namun, betapa anehnya sebab hampir semua orang bisa dengan mudah dapat SIM, sementara saya harus menerima nasib tidak lulus ujian SIM.

Dalam situasi kali ini, saya agak menyesal kenapa saya tidak menggunakan calo. Kata temanku, kita hanya membayar Rp 150.000, namun semua urusan kita langsung beres. Sementara saya sudah membayar Rp 40.000 untuk tes kesehatan dan Rp 75.000 untuk formulir SIM, tetapi urusan masih terbengkalai. Andai pake calo, mungkin saya tak perlu bolak-balik, dan cukup menunggu di rumah. SIM akan segera diantarkan kepada kita, tanpa menjalani tes. Saya menyesal kaena terlalu patuh dengan nasihat banyak orang yang memintaku urus sendiri. Belakangan ini, saya terlalu jujur pada diriku. Mungkin harus sedikit bohong jika ingin memenangkan banyak hal dalam hidup. Itulah pelajaran hari ini. Jangan terlalu lurus, carilah jalan pintas, meskipun lewat calo.(*)


Betapa Sedihnya Perasaan Hadi Djamal


SAYA terkejut mendengar penahanan anggota DPR RI asal Sulsel, Abdul Hadi Djamal, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya pernah beberapa kali bertemu dengannya. Dia juga mengenal saya. Malah, bersama dua temanku, ia pernah menyuruh kami bermalam di satu apartemen demi membahas strategi politik. Kami diskusi dengannya semalam suntuk. Saya bisa melihat lebih dekat bahwa beliau orangnya baik serta punya track record yang juga sangat baik.

Yang membuat saya sedih adalah ketika memikirkan bagaimana perasaan kawanku yang menjadi tim suksesnya. MC kampanyenya adalah sahabatku saat menjadi wartawan Tribun yaitu Aswan Ahmad. Kemudian sosok di belakang Hadi Djamal juga seseorang yang sangat saya kenal dan beberapa kali memberikan duit padaku. Saya merasa sungkan jika menyebutnya di sini. Saya tahu betul bahwa Hadi Djamal dikelilingi banyak orang baik dan para sahabat. Saya yakin mereka pasti sangat terpukul sebab ditahannya Hadi adalah neraka bagi mereka. Istilah temanku, penahanan Hadi menyebabkan “pecah perahu“ dan mereka semua tenggelam.

Bagiku, Hadi adalah korban dari birokrasi negara yang bisa jalan karena suap. Posisi Hadi hanya sebagai calo yang memperlicin sesuatu. Ia hanya mencari sebuah jalan keluar, namun jalan yang ditempuhnya itu adalah jalan yang keliru bagi hukum. Ini hanya sumsiku saja. Saya tak paham apa yang sedang terjadi. Yang saya pahami adalah bagaimana parahnya birokrasi di negeri ini, serta parahnya kongkalikong di DPR. Mungkin, saya akan tulisan itu sebagai opini di media massa untuk minggu ini.(*)



Stres Ketika Berurusan dengan Polisi


HARI ini saya pergi urus Surat Izin Mengemudi (SIM) di Poltabes Makassar. Saya agak malas melakukan ini. Sebenarnya saya lebih memilih urus lewat calo, sebab saya yakin urus sendiri agak ribet dan bisa menimbulkan stres. Tapi, terlalu banyak orang yang mencampuri keputusanku. Terlalu banyak tekanan bertubi-tubi yang memaksa saya hingga terpaksa harus urus SIM sendiri, tanpa lewat calo. Saya enggan, namun saya tak berdaya. Maka, datanglah saya ke kantor Poltabes di Jalan Ahmad Yani, Makassar.

Saat tiba di kantor Poltabes, saya disapa seorang opsir polisi yang tambun dan berkumis. Ia tanya, apakah saya urus SIM sendiri ataukah diuruskan orang lain. Saya menjawab bahwa saya urus sendiri. Ia menawarkan diri untuk membantuku. Saya langsung menolaknya. Aneh, di dalam kantor polisi, banyak calo yang berseragam.

Kemudian, saya masuk ke dalam kantor polisi. Ternyata, sebelum mengurus SIM, saya harus punya surat keterangan berbadan sehat. Saya direkomendasikan untuk pergi ke Jalan Jampea. Saya berjalan kaki sejauh setengah kilometer dari Poltabes. Di situ, saya bayar Rp 35.000, kemudian antri untuk menjalani tes. Mataku dites apakah buta warna ataukah tidak. Saya juga disuruh membaca sejumlah angka-angka di kejauhan. Semua tes itu bisa saya lewati hingga akhirnya dapat surat pernyataan sehat dan siap menjalani test.

Kembali ke Poltabes, saya lalu menunggu sampai satu jam lebih. Di kantor ini, jam istirahat mulai pukul 12.00 hingga pukul 01.00. Saya hanya duduk-duduk saja di dalam kantor itu, sambil melihat-lihat banyaknya orang yang antri untuk keperluan yang sama denganku. Setelah para polisi kembali aktif, saya lalu mendaftar dan bayar Rp 75.000. Kemudian disuruh isi sejumlah blanko, kemudian siap-siap menjalani tes. Saya sempat merasa dipimpong ketika harus mencari-cari tempat untuk cap jempol kanan. Sejak awal, saya memang malas berurusan dengan polisi.

Setelah itu saya mulai menjalani tes tulis. Bersama puluhan pencari SIM lainnya, saya masuk dalam satu ruangan, dan mulai dibagikan lembar isian yang persis mirip lembaran tes UMPTN. Jumlah soalnya sebanyak 30 nomor, dan harus dijawab dengan cara mengisi bulatan-bulatan jawaban dengan pensil 2B. Di sekelilingku, banyak pengojek, serta orang-orang yang gelisah dan keringatan. Lembar soal belum dibagikan, namun mereka sudah stres kayak orang yang mau jalan menuju tiang gantungan. Saya sendiri tidak terlalu percaya diri, padahal saya seorang magister dengan IPK 3,76.

Ketika soal dibagikan, saya agak tersenyum ketika membacanya. Jenis soalnya gampang-gampang susah. Saya teringat soal-soal khas pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) seaktu saya di bangku SD. Misalnya, ada pertanyaan: ketika anda sedang mengendarai motor, apa yang anda lakukan ketika ada seseorang yang mendahului dengan cepat? Pilihan jawaban ada tiga yaitu (a) tetap berkendara dengan hati-hati, (b) merasa tertantang kemudian ikut balap mengejarnya, (c) merasa kejantanan terusik, kemudian mengebut motor, sambil memaki dan menantang. Biasanya, kalau saya disodori soal seperti ini, saya lebih suka menjawab (c) sebab jawaban ini lebih asyik dan menujukkan bahwa kita punya nyali. Namun saya ingat, kalau ini ibarat pelajaran PMP. Jawabannya adalah yang paling menyenangkan bagi pemerintah dan polisi. Jawabannya pastilah jawaban para banci yang setia dan hendak berbakti kepada negara. Seolah negara adalah ibu yang baik dan selalu mengayomi warga yang diperlakukan seperti anak-anaknya.

Ada banyak soal yang saya tidak mengerti. Masak, saya disuruh jawab tentang jenis-jenis SIM serta kenderaannya. Yang saya tahu hanya SIM A dan SIM C. Saya baru dengar ada yang namanya SIM B1 atau SIM B2. Tuntas menjawab 30 nomor, saya lalu setor jawaban dan menunggu. Saya melihat di kiri kanan banyak yang stres dengan soal yang dibagikan. Malah, saya melihat beberapa pemuda mengucurkan keringat kayak orang yang habis mandi. Kemudian saya dipanggil. Ternyata, saya bisa menjawab benar 20 soal dan ada 10 yang salah. Saya dinyatakan lulus, kemudian lembar mapku distempel tanda lulus. Kemudian saya menuju loket yang lain untuk tes berikutnya.

Saya melihat jam di dinding menunjukkan pukul 15.00. Polisi yang menerimaku menyuruh duduk kemudian mengambil berkasku. Ia lalu memintaku untuk datang lagi keesokan harinya. “Besok datang lagi jam 9 yaaa. Hari ini kita cukupkan sampai di sini,“ katanya. Sialan..... Sejak jam 9 pagi saya antri sampai jam 3 sore, urusan belum juga selesai. Saya tak bisa berkata apa-apa. Polisi itu punya senjata, sedangkan saya tidak punya. Akhirnya saya pulang dengan menggerutu.(*)



Indonesia sebagai Negeri Calo

KEBERADAAN calo adalah cermin dari parahnya mekanisme birokrasi. Ketika birokrasi terlampau berbelit-belit dan menjadi benang kusut bagi rakyat, maka calo akan selalu hadir sebagai pahlawan yang bisa memperlicin semua urusan. Saya tak pernah menyalahkan para calo. Mereka justru penolong sebab punya solusi birokrasi untuk memudahkan urusan. Mereka adalah potret dari parahnya administrasi dan manajemen negeri ini yang memang amburadul.

Betapa anehnya negeri ini. Di mana-mana ada calo. Mulai dari calo urus SIM, KTP, kopian ijazah, surat pensiun, calo tiket kapal, kereta, bioskop, hingga calo surat tanah. Di mana-mana, jika ingin jadi PNS, maka bisa lewat calo. Bahkan anggota DPR RI juga merangkap sebagai calo proyek demi menebalkan kantung sendiri. Buktinya, banyak anggota DPR yang tertangkap karena menjadi calo. Tak hanya di DPR saja. Dalam dunia pemerintahan juga banyak calo. Banyak yang menjadi pembisik gubernur atau bupati. Istilah kerennya adalah ring 1. Padahal, mereka hanyalah sekumpulan orang yang dulunya bekerja bersama di ajang pemilu atau pilkada, kemudian menikmati kursi istimewa. Saya sempat bertemu teman yang kaya-raya gara-gara jadi calo jabatan. Duh... ini memang negeri calo.

Banyaknya calo menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan birokrasi negeri ini. Semestinya harus ada evaluasi di mana letak masalahnya. Mustahil seorang calo jalan sendiri. Pastilah ia menjalin kerjasama dengan sejumlah birokrat di dalam kantor itu sehingga urusan bisa cepat. Keuntungannya pasti dibagi bersama biar sama-sama senang. Saya sendiri agak bertanya-tanya. Bukankah para pegawai negeri itu digaji setiap bulan untuk melayani masyarakat? Lantas, kenapa pula harus melegalkan praktik percaloan?

Bagiku, calo adalah bentuk korupsi. Tapi saya tidak setuju juga kalau para calo dibekuk. Sebab mereka mempermudah semua urusan menjadi lebih sederhana. Kalau para calo dilarang, apakah ada solusi untuk mempermudah silang sengkarut birokrasi? ….


Karebosi yang Banyak Berubah


LAPANGAN Karebosi sudah banyak berubah. Saya agak terkejut ketika melihatnya hari ini. Di lihat dari luar, lapangan itu tetap berumput hijau, namun sudah lebih tinggi tanahnya dan ada mal di bawahnya. Sedihnya karena lapangan itu kini dipagari dan tak ada yang boleh masuk. Ada pagar yang mengitarinya dan pintunya hanya dipasang di tiga tempat sebagai jalan masuk menuju mal bawah tanah di situ.

Saya sedih karena kehilangan romantisme khas lapangan ini. Dulunya, lapangan ini ramai dengan banyak orang. Ada pohon-pohon besar, kemudian banyak orang yang bergerombol mengelilingi penjual obat yang kadang beraksi dengan ular. Saya beberapa kali menyaksikan aksi penjual obat itu. Selain itu, banyak juga kerumunan orang bermain catur dan saling sapa. Dulunya, ada banyak manusia yang menjadikan lapangan ini sebagai tempat bertukar sapa dan bertukar kabar. Ada dinamika serta pertautan kehangatan banyak orang yang masing-masing merasa memiliki lapangan ini.

Saya kehilangan romantisme lapangan ini. Dulunya begitu ramai dan bisa menjadi kanal stres. Duduk di bawah pohon-pohon di lapangan karebosi memberikan kenikmatan dan sensasi tersendiri bagiku. Saya suka melihat dinamika manusia di situ. Seingatku, di ujung lapangan, dekat Jalan Ahmad Yani, dulunya ada warung konro. Ketika selesai makan, maka kita akan melemparkan tulang sapi ke arah kerumunan anjing yang segera menyambarnya sambil menggonggong. Saya juga ingat, di sore hari banyak orang-orang yang berolahraga. Ada yang main sepak bola, banyak juga orang-orang tua yang memilih jogging mengelilingi lapangan ini. Kemudian di malam hari, ada waria tukang becak serta waria yang juga mengais rezeki di malam hari. Ternyata, begitu banyak orang dan profesi yang mencari nasib di lapangan ini.

Kini, semuanya tinggal cerita. Di lapangan itu, saya melihat ada bangunan megah. Saya tak bisa lagi masuk ke dalam lapangan sebab ditutup pagar dengan rumput yang rapi seperti lapangan golf. Kapitalisme telah merampas semua ruang-ruang yang romantis itu dengan kejam. Karebosi hanya milik mereka yang gila belanja, sedangkan rakyat yang dulunya berbagi kehangatan, harus gigit jari. Mereka bukan pemilik Karebosi. Mereka hanya singgah. Pemilik Karebosi sesungguhnya adalah pemerintah dan kaum pemodal.

Saya ingat liputan Tempo yang menempatkan Walikota Makassar, Ilham Arief Siradjuddin sebagai walikota terbaik karena sukses membenahi Karebosi. Bagiku, kriterianya agak aneh. Sebab yang saya lihat bukan pembenahan, melainkan pengusiran pada mereka yang memahat nasibnya di lapangan ini. Yang dilakukan pemerintah adalah memberi gincu pada lapangan ini, kemudian dijual untuk disetubuhi oleh bisnis demi keuntungan semata. Cuhhh…(*)




Menafsir Jusuf Kalla, Presisi, dan Matematika Pemilu


(Hari ini saya senang. Tulisan yang kubuat hanya dalam tempo sejam, tiba-tiba langsung naik di Koran Seputar Indonesia (Sindo). Ketika dimuat, saya menerima banyak sms yang memberikan ucapan Selamat Berkarya. Barangkali inilah saatnya untuk kembali meramaikan media massa dengan tulisan-tulisanku. Silakan membaca)

AKHIR tahun 2003 lalu, saya sempat menghadiri diskusi informal di sebuah media. Dalam diskusi itu, Jusuf Kalla (JK) menjadi pembicara utama dan menjelaskan dengan detail prediksinya tentang hasil pemilu yang akan digelar setahun lagi. Saat itu, JK masih menjadi peserta konvensi Golkar untuk memilih calon presiden. Pemilu masih setahun lagi. Banyak pakar dan analis masih sibuk menebak-nebak apakah gerangan yang akan terjadi.

Sebagaimana lazimnya pertandingan, sebuah prediksi hanyalah penghampiran dan jelas bukanlah kemutlakan sebab politik Indonesia –sebagaimana pernah dicatat Geertz (1964)-- laksana pertandingan yang sukar dibaca hasil akhirnya. Namun, saya tetap mencatat semua nujuman JK tersebut. Ia menebak lima besar hasil pemilu serta peluangnya sendiri ketika berpasangan dengan seorang calon presiden. Dengan nada bergurau, ia menantang semua yang menghadiri diskusi itu dengan kalimat, “Lihat setahun lagi. Apakah tebakan ini tepat ataukah tidak.“

Usai pemilu di tahun 2004, saya tersentak sebab tebakan tersebut tak meleset sama sekali. Bahkan, usai pemilihan presiden, lagi-lagi langkahnya tepat dan sesuai dengan prediksinya sendiri setahun sebelumnya. Sebagaimana dikatakan banyak pengamat, JK adalah politisi yang unik sebab bisa mengkalkulasi sebuah peta politik yang berlangsung. Pengalamannya sebagai saudagar, telah menempanya dengan baik sehingga prediksi dan analisisnya punya presisi (ketepatan) yang tinggi ketimbang para pengamat politik yang kadang terlampau akademis dan mendewakan beragam survei. Kalkulasinya terukur dan langsung bisa menebak fenomena keakanan hanya dengan mengamati sekeping realitas kekinian.

Makanya, menafsir langkah JK laksana menafsir sebuah pertandingan yang dinamis dengan hasil yang sukar ditebak. Sebagaimana dicatat antropolog Christian Pelras, sosok JK adalah prasasti hidup dari dinamika manusia Bugis yang unik dan melanglangbuana ke beragam penjuru. Ia bukanlah tipe pemain politik yang diam, efisien, dan taat asas dalam dinamika politik. Ia lincah dan menerabas sana-sini, suatu kemampuan yang tak terlalu disenangi mereka yang mendambakan politik sebagai mesin yang berjalan rapi dan teratur dengan pola tertentu. Nah, berkaitan dengan perkembangan politik kekinian, bagaimana pula menafsir pernyataan JK yang tiba-tiba menyatakan siap menjadi presiden? Apakah pernyataan itu juga didasari kalkulasi dan perhitungan yang matang sebagaimana dinamika politik lima tahun lalu?

Pertanyaan ini menjadi hal yang menarik untuk dianalisis. Saya mencatat setidaknya tiga fenomena yang mencuat. Pertama, jika dilihat dari dimensi waktu, maka pernyataan itu sungguh mengejutkan dan terkesan tidak konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang menyebutkan bahwa Golkar akan menentukan capres usai pemilu legislatif mendatang. Ada kesan bahwa pernyataan itu sebagai reaksi spontan, tanpa menghitung dengan presisi bagaimana dampaknya bagi partai. Padahal, strategi politik sebelumnya yang mengusung capres usai pemilu jelas jauh lebih mumpuni sebab memungkinkan mesin politik Golkar bekerja dengan nuansa lokalitas yang dipraksiskan para kader yang ada di daerah. Fakta tersebar meratanya tokoh kharismatis di partai beringin ini bisa dikelola menjadi strategi “desa mengepung kota“ yang lebih bertumpu pada kader partai dengan elektabilitas kuat di tingkat lokal, ketimbang memaksakan seorang capres yang hanya powerful di daerah tertentu. Itu sudah dilakukan secara baik oleh Golkar dalam iklan politiknya yang menampilkan sejumlah tokoh. Strategi ini jauh lebih efektif sebab pengalaman di ajang pilkada telah membuktikan bahwa kekuatan figur masih lebih bertenaga ketimbang mengandalkan mesin politik kepartaian.

Kedua, pernyataan kesediaan menjadi presiden itu seolah mengabaikan matematika politik dalam bentuk survei yang sejauh ini bisa menjadi pegangan dalam menilai layak tidaknya seseorang untuk maju sebagai presiden. Sudah bukan rahasia lagi jika politik di negeri ini seolah menjadi arena untuk mempertegas identitas etnis. Demokrasi kita dijelmakan dalam model demokrasi numerik yang melihat segalanya dengan kalkulasi angka-angka. Dalam kalkulasi tersebut, variabel etnis menjadi sangat penting sehingga politik di Indonesia adalah arena yang menggemakan kembali identitas etnisitas semisal isu Jawa-luar Jawa. Pada titik inilah dukungan terhadap JK lemah dan peta dukungan masih dikuasai mereka yang berada di Jawa. Itu bisa dilihat dari beragam hasil survei.

Survei yang dibuat LSI pimpinan Denny JA di bulan September 2007, menempatkan SBY dan Megawati sebagai dua kandidat terkuat. JK hanya menempati urutan kelima dengan 12,1 persen di bawah Wiranto (20,2 %) dan Sultan HB X (15,1%). Demikian pula dengan survei LSI versi Saiful Mujani pada 22 Desember 2008, menetapkan SBY (43 persen) dan Megawati (19 persen) jauh di atas JK yang hanya dipilih 2 persen responden. Bahkan survei terbaru yang dibuat Indobarometer, malah menempatkan Sultan HB X sebagai yang terpopuler di Golkar, mengalahkan kandidat lain termasuk JK.

Ketiga, posisi JK saat ini jelas berbeda dengan posisinya pada tahun 2004. Jika di tahun 2004, JK tidak membawa bendera Golkar, sebab saat itu Golkar mendukung Wiranto, kemudian Megawati pada putaran kedua. Kini, JK tidak selincah sebelumnya sebab harus terus mengikuti arus dan dinamika wacana partai yang mengalir deras. Tingginya desakan serta bargaining ketika Golkar memenangkan pemilu bisa menjadi soal yang harus didamaikan JK dengan pengurus-pengurusnya.

Namun, kesediaan itu juga menggembirakan sejumlah kader Partai Golkar yang sejak awal menjadi ‘musuh dalam selimut’ yang mengintip saat tepat untuk masuk arena. Sudah bukan rahasia lagi jika partai beringin itu terpecah dalam beragam kubu dan masing-masing saling gerilya menunggu kesempatan. Dalam situasi yang sangat dilematis ini, JK ditantang untuk kembali menujum sejauh mana langkah-langkah kakinya menuju kursi RI 1. Apakah kali ia akan sukses menorehkan jejak sejarah baru sebagai presiden pertama dari luar Jawa? Ataukah ia punya skenario lain? Jawabannya akan terungkap dalam waktu yang tak lama lagi. Sebab politik kita adalah panggung drama yang penuh suspense, siasat, dan kejutan-kejutan yang susah ditafsir.(*)


Sebagaimana dimuat di koran Seputar Indonesia,
Sabtu, 28 Februari 2009



Segera Punya Motor

MUDAH-mudahan minggu ini saya sudah punya motor baru. Saya ingin punya motor yang murah, namun bisa tahan lama. Kayaknya pilihan akan jatuh pada Suzuki Smash. Meskipun di Bau-Bau, saya punya motor sejenis, namun tak ada salahnya jika saya juga punya motor sejenis di Makassar.

Ketika Mimpi Nyaris Tergapai


MINGGU terakhir ini saya belajar sabar. Sebuah impian yang sudah di depan mata, tiba-tiba gagal diraih. Mungkin saya termasuk tipe manusia yang tidak beruntung. Betapa tidak, ketika saya sudah lulus untuk satu program, tiba-tiba harus kandas di saat detik-detik akhir. Minggu ini saya dapat berita sedih. Keberangkatan ke Singapura dibatalkan setelah pihak National University of Singapore (NUS) mengetahui saya sudah mendapat predikat magister.

Sejak awal ikut program riset Asian Research Institute (ARI) ini, saya sudah punya firasat bahwa ini akan terjadi. Saya mendaftar program ini pada tanggal 15 Oktober 2008, semntara program ini resmi berjalan pada tanggal 4 mei 2009. Sejak awal mendaftar, saya agak setengah hati karena berpikir bahwa saya akan menyelesaikan studi di bulan Desember 2008. Sementara program ini adalah semacam beasiswa riset buat mereka yang sedang kuliah di program pascasarjana. Namun, seniorku di UI, Herry Yogaswara, meyakinkanku. Katanya, sewaktu ia mengikuti program ini tahun lalu, ada juga sejumlah orang yang sudah lulus kuliah. Mendengar penuturannya, saya merasa mantap ikut program ini.

Seingatku, banyak yang mendaftar program ini di UI. Seleksinya sederhana. Peserta cukup memasukkan abstrak riset dan nantinya akan dipilih oleh anggota dewan guru besar di NUS. Ternyata, setelah melewati seleksi yang ketat, ternyata risetku dianggap sebagai satu yang terbaik. Di luar dugaan, temanku mahasiswa S3 di UI, Muh Murtadho, juga lolos seleksi. Maka, peserta program ARI NUS asal Indonesia untuk tahun ini diwakili oleh dua mahasiswa UI yaitu saya dan Murtadho. Pengumumannya sendeiri kuterima melalui email pada tanggal 18 Desember 2008, sehari jelang saya ujian. Selanjutnya, mereka mengirimkan surat pernyataan diterima. Saat itulah, saya merasa dilematis, antara tetap melanjutkan ujianku, atau menahan diri dulu satu semester dan ikut program ARI lebih dahulu.

Setelah lama memikirkannya, saya memilih menyelesaikan kuliah. Pertimbanganku adalah: kuliah sangat penting bagiku. Andaikan saya tunda masa selesaiku, maka saya tidak terlalu yakin bisa lulus di tahun 2009, mengingat program ARI ini cukup lama yaitu Mei sampai Agustus. Pertimbangan memilih penyelesaian studi ini sudah pula kubahas dengan keluarga di kampung. Mereka memberikan dukungan.

Persiapan mengikuti program ini cukup panjang. Saya selalu menjalin kontak melalui email dengan pihak NUS yang dalam hal ini melalui seseorang bernama Selvi. Saya tak pernah bertatap muka dengan Selvi. Selama ini, saya hanya menjalin kontak melalui email. Ia menyuruhku segera urus paspor sebab saya wajib mengisi Training Education Program (TEP) yang disyaratkan Departemen Tenaga Kerja Singapura. Kemudian saya pulang kampung dan urus paspor. Setelah itu, saya ke kampus Unhas untuk men-translate ijazahku ke dalam bahasa Inggris. Prosesnya cukup panjang sebab jaraknya cukup jauh.

Ketika hendak mengirim semua berkas itu, pernyataan status akademikku masih berbahasa Indonesia. Status akademikku itu dibuat pada bulan November 2009, saat saya masih berstatus mahasiswa. Ketika Selvi menerimanya, ia memintaku agar mengirimkan pernyataan dalam bahasa Inggris. Katanya, jika dalam bahasa Indonesia, maka pihak Depnaker Singapura bisa menolaknya. Ia memintaku segera menghubungi pihak UI untuk minta surat pernyataan status akademikku.

Selain memintaku menghubungi UI, Selvi juga menyuruhku segera booking tiket dan menginformasikan jadwal keberangkatan. Katanya, ia akan mengganti biaya tiket pada tanggal 14 Maret nanti. Saya menikmati semua proses imel-imelan dengannya. Saya merasa sedang memperlancar kemampuan bahasa Inggrisku. Setelah menghubungi sejumlah maskapai penerbangan, akhirnya saya memilih maskapai Air Asia dengan pertimbangan bahwa maskapai ini paling murah. Lagian, temanku lebih suka naik Air Asia ketimbang naik maskapai asing seperti Singapore Airlines.

Setelah membeli tiket, masalah kemudian menghadang. Selvi memintaku agar segera mengirim status akademikku. Saat inilah saya bingung sebab status akademikku sudah lulus. Temanku Murtadho menyarankanku agar sedikit menyiasati keadaan dengan cara melobi kampus supaya membuat surat bahwa saya belum lulus. Namun, cara ini kuanggap berisiko. Andaikan pihak NUS tahu, maka pastilah mereka akan keberatan. Boleh jadi, saya akan dibebani biaya penggantian setelah berada di Singapura. Akhirnya saya kontak Mas Herry Yogaswara. Dia memintaku agar tetap saja memasukkan status akademik yang dikeluarkan UI. Kata Mas Herry, saya harus menjelaskan bahwa fellowship itu akan saya gunakan untuk memperdalam kembali risetku agar bisa diterbitkan menjadi buku. Saya setuju dengan saran Mas Herry. Saya berusaha untuk tetap jujur dan menjalani proses dengan jujur, tanpa tricky.

Kini, semua sudah terjawab. Ketika menerima surat dai kampus yang kukirim, Selvi kembali mempertegas. Setelah menjelaskan bahwa saya sudah lulus namun tetap membutuhkan beasiswa itu untuk memperdalam riset, Selvi akhirnya mengirimkan imel yang membuatku sedih. Ia menyatakan bahwa seiring dengan lulusnya saya dari UI, maka beasiswa itu resmi ditarik. Tentang tiket, ia memintaku agar membatalkannya atau mengatur ulang jadwal keberangkatan. Saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya bisa sedih karena saya hanya berusaha jujur. Temanku Murtadho ikut sedih dnegan nasibku. Katanya, “Sebenarnya ini bisa disiasati sejak awal. Tapi kamu memilih untuk tetap jujur. Semoga kejujuran itu ada hikmahnya di kemudian hari.“ Senada dengan itu, Herry juga ikut sedih. Ia memintaku untuk tetap optimis dan membuka peluang lainnya.

Saya hanya bisa mengurut dada. Mungkin ada hikmah dibalik semua kesialan yang hinggap di kepalaku saat ini. Mungkinkah ada pesan indah yang sedang dibentangkan Tuhan dan ke situlah arahku bergerak? Entah...