Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Perginya Ksatria Pemilik Tujuh Bola Naga

ilustrasi


Dunia komik tengah berduka. Kematian Akira Toriyama, pencipta Dragon Ball, meninggalkan duka yang mendalam di hati penggemarnya. Kepergian itu tidak hanya diratapi para penggemar komik di Jepang, tetapi juga pemerintah China, juga pemerintah Jepang.

Kisah Dragon Ball telah merekatkan hubungan antara Jepang Cina, Korea, dan seluruh dunia. Di arena komik, kartun, dan animasi, semua umat manusia bersatu. Banyak generasi yang tumbuh sembari mengikuti petualangan Sun Goku dalam mencari bola naga.

Pemerintah China, melalui Kementerian Luar Negeri, juga menyatakan turut berduka. Seperti dikutip China Daily, jubir Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers rutin menyatakan, manga karya Akira Toriyama sangat populer di China dan menjadi bagian dari simbol pertukaran budaya serta persahabatan China-Jepang.

“Kami menyampaikan simpati kami yang terdalam atas meninggalnya Akira Toriyama-sensei, dan kami ingin menyampaikan belasungkawa yang tulus kepada keluarganya. Toriyama-sensei adalah seorang seniman manga yang sangat terkenal, dan karyanya juga sangat populer di China,” katanya.

“Saya perhatikan banyak netizen China yang mengungkapkan kesedihan mereka. Kami percaya bahwa akan ada lebih banyak seniman dan penulis berbakat dari Jepang yang karyanya akan meninggalkan dampak budaya Cina yang mengarah pada persahabatan yang lebih erat antara negara-negara kita.”

Dragon Ball adalah karya yang sangat berpengaruh. Awalnya mendapat inspirasi dari kisah klasik China, Journey to the West , serta film seni bela diri Hong Kong. Nama Sun Goku adalah bacaan Jepang dari Sun Wukong, atau Sun Go Kong, monyet nakal dan sombong yang merupakan salah satu tokoh penting yang mengawal Biksu Tong menuju barat.

Juru Bicara Pemerintah Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan, Akira Toriyama telah memainkan peran yang sangat penting bagi Jepang dengan memperkenalkan kekuatan lunak (soft-power)”Negeri Matahari Terbit” itu. “Karya Tuan Toriyama telah menghasilkan pengakuan luas terhadap konten Jepang di seluruh dunia,” tambah Hayashi.

Duka mendalam dirasakan semua insan komik di sleuruh dunia. Eiichiro Oda, pencipta manga blockbuster One Piece, mengatakan bahwa kehadiran Toriyama seperti ”pohon besar” bagi seniman manga muda. ”Dia menunjukkan kepada kita semua hal yang bisa dilakukan manga, mimpi untuk pergi ke dunia lain,” kata Oda.

“Kematiannya meninggalkan ”lubang yang terlalu besar untuk diisi,” kata lanjutnya.

Senada dengan itu, kreator manga "Naruto" Masashi Kishimoto bercerita bahwa karya-karya Toriyama yakni "Dr. Slump" dan "Dragon Ball" telah menemaninya sejak kecil dan menjadi bagian dari hidupnya.

"Bahkan ketika hal-hal menjadi sulit, 'Dragon Ball' selalu membuat saya melupakan hal itu. Dragon Ball adalah penyelamat bagi anak desa seperti saya," ujar Kishimoto.


Kishimoto memandang Toriyama sebagai seorang mangaka yang menjadi panutannya bahwa dia menyebut Toriyama sebagai "Dewa Manga".

Diketahui, Toriyama memulai karirnya di industri manga pada usia 23 tahun ketika dia mengikuti kontes kreator manga amatir yang digelar Kodansha Weekly Shonen Magazine. Kemudian dia membangun reputasinya melalui serial manga "Dr. Slump" pada 1980.

Pada tahun 1984, Toriyama menciptakan manga "Dragon Ball" yang kemudian berlanjut ke seri "Dragon Ball Z" dan "Dragon Ball Super". Hingga saat ini, "Dragon Ball" menjadi salah satu judul manga terlaris dan paling berpengaruh sepanjang masa.

Manga tersebut menjadi inspirasi bagi komikus Jepang populer lainnya seperti Eiichiro Oda, Tite Kubo, dan Masashi Kishimoto yang masing-masing menjadi pengarang komik "One Piece", "Bleach, dan "Naruto".

Toriyama juga berkiprah dalam industri gim dengan menjadi desainer karakter gim "Dragon Quest". Kemudian dia bersama kreator "Dragon Quest" Yuji Horii dan kreator "Final Fantasy" Hironobu Sakaguchi menciptakan gim "Chrono Trigger" yang dianggap sebagai salah satu gim terbaik yang pernah dibuat.

Soft Power dan Politik Jepang

Di tahun 1983, Perdana Menteri Jepang, Yasuhiro Nakasone, diwawancarai untuk edisi khusus Majalah Time berjudul, "Jepang: Sebuah Bangsa yang Mencari Diri Sendiri."

Dia  menyatakan: "Jepang mungkin seperti gula atau garam, kecuali jika kita mencoba mencicipinya, kita mungkin tidak akan pernah bisa memahami Jepang. Dulu, kita kurang dalam upaya mempublikasikan budaya Jepang. Kita sudah cukup berhasil dalam mengekspor produk. Tapi mulai sekarang, kita harus melakukan upaya yang lebih besar dalam mengekspor informasi budaya."

Pemerintah Jepang menggunakan budaya populer ini sebagai salah satu alat untuk meningkatkan soft power negaranya. Pemerintah mulai menyebarkan budaya populernya terutama anime, manga dan video games yang populer baik di negerinya sendiri dan di negara lain.

Sejarawan Saya Sashaki Shiraishi dalam tulisannya yang berjudul Japan’s Soft Power: Doraemon Goes Overseas, memaparkan analisis menarik tentang komik sebagai bagian dari soft power Jepang.

Dia mengutip istilah soft power yang dipopulerkan akademisi asal Harvard, Joseph Nye, untuk menggambarkan bagaimana pengaruh budaya dalam dinamika politik.

Shiraishi menggambarkan persaingan antar negara di era pasca Perang Dunia kedua yang lebih mengarah pada persaingan ekonomi dan bisnis. Doraemon dan juga beberapa tokoh dalam komik seperti Astro Boy dan Dragon Ball telah menjadi bagian dari ikon Jepang saat melakukan penetrasi ke banyak negara.

Melalui strategi budaya populer, Jepang lalu membanjiri pasar dunia dengan berbagai produk Jepang. Inilah strategi budaya yang ampuh, efektif, dan terasa menyenangkan, namun secara perlahan diikuti oleh penetrasi ekonomi.

Kini, dampak soft power itu kian terasa saat meninggalnya Toriyama ditangisi seluruh dunia. Karakter Sun Goku yang terbang dengan kedua sayap di punggunya menjadi trending di beberapa platform media sosial.

Beberapa klub bola menyatakan duka mendalam. Mulai dari Bayern Muenchen, Real Madrid, hingga AC Milan mengunggah ucapan duka. Semua berterima kasih atas kenangan masa kecil bersama Dragon Ball.

Di situs weibo, seorang penggemar masih tidak terima dengan kematian Toriyama. Dia mengajak orang-orang untuk melakukan sesuatu. ”Ayo kumpulkan ketujuh bola naga dan hidupkan kembali Tuan Akira Toriyama!”

Di kisah Dragon Ball, ketika tujuh bola naga terkumpul, maka semua harapan dan impian akan terkabulkan. Sebagaimana penggemar itu, kita berharap Toriyama hidup kembali dan menghibur kita semua.

Sayōnara [さようなら]



Saat Bahasa Makassar Melalangbuana di Jagad Digital

suasana launching kamus digital bahasa Makassar


Dahulu, bahasa Makassar menyebar ke negeri-negeri di bawah angin timur, tersebar hingga tanah Marege (Australia), berkelana jauh hingga Cape Town (Afrika Selatan) seiring dengan gerak pelaut Makassar meniti buih.

Kini, bahasa Makassar berkelana ke jagad digital, menelusuri semua gawai dan gadget, mendatangi semua warga dunia. Semuanya berkat ikhtiar banyak pihak. Mulai Badan Bahasa, Rumata Artspace, BasaIbu Wiki, hingga Kedutaan Besar Amerika Serikat.

***

“Aga kareba. Bajji-baji ji?”

Di lantai tiga Pacific Place Mall, perempuan berwajah manis itu meneriakkan kalimat dalam bahasa Makassar. Dia menyapa audience yang banyak di antaranya anak-anak muda warga Makassar.

Kemarin, Kamis (7/3/2024.), suasana kantor @america, pusat pendidikan di bawah koordinasi Kedutaan Besar Amerika Serikat, seakan pindah ke kota Makassar. Banyak orang berbahasa Makassar sembari sesekali menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Perempuan itu membuka acara Peluncuran Kamus Digital BasaSulsel Wiki dan BasaKalimantan Wiki. Peluncuran ini didukung oleh Badan Bahasa, Rumata Art Space, BasaIbu Wiki, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Atasa Kebudayaan Kedubes Amerika Serikat di Indonesia, Emily Yasmin Norris, menyambut baik acara ini. Dia menuturkan, yang diluncurkan hari itu adalah BasaSulsel dan BasaKalimantan. Menurutnya, upaya untuk membawa bahasa lokal ke jagad digital itu didukung penuh kedutaan melalui skema dana hibah.

Atase Kebudayaan Amerika Serikat, Emily Noris

“Ini menandai 75 tahun hubungan Amerika Serikat dan Indonesia. Kita mengusung tema Diversity, Democracy, and Prosperity. Kami menyiapkan dana hibah untk membantu Upaya penyelamatan bahasa daerah di Indonesia. Kami mendukung upaya pelestarian bahasa. Sebab ini adalah bagian dari demokrasi,” katanya.

Di tempat yang sama, Kepala Badan Bahasa Sulsel, Dr Ganjar Harimansyah, yang hadir via daring, menjelaskan inisiatif itu asudah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Pihaknya sudah mengumpulkan kosa kata, kemudian berupaya untuk menginternasionalisasi bahasa local, dan menerapkannya di sekolah-sekolah.

Badan Bahasa Sulsel lalu berkolaborasi dengan Rumata Art Space, yang digawangi Riri Riza dan Lily Yulianti Farid (alm), untuk mendigitalkan kamus tersebut sehingga bsia diakses semua orang di berbagai lokasi. Harapannya, generasi muda bisa menjangkau kamus itu di mana pun mereka berada.

Ikhtiar ini patut diacungi jempol. Sebagaimana dituturkan Ita Ibnu dari Rumata Art Space, bahasa Makassar mulai jarang digunakan. Anak-anak muda Makassar mulai jarang berbahasa lokal, sebab lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Kekhawatiran akan punahnya bahasa Makassar ini harus diantisipasi semua pihak. Dahulu, bahasa Makassar tersebar hingga ke negeri-negeri jauh, seiring dengan perjalanan para pelaut Makassar meniti buih.

Kosa kata bahasa Makassar menyebar hingga tanah Marege (Australia). Akademisi  Campbell  McKnight menuturkan jejak itu dalam bukunya Voyage to Marege. Menurut catatannya, para pelaut Makassar telah lama meninggalkan jejak interaksi dengan penduduk Aborigin. Pelaut Makassar tak cuma berdagang, tapi juga memperkaya kosa kata Suku Aborigin.

Paul Thomas, peneliti Monash University, menjelaskan sekitar 300 lebih kosa kata bahasa Yolngu, salah satu sub etnik Aborigin, dipengaruhi oleh kosa kata bahasa Makassar.

Dalam laporan yang bertajuk “Austronesian Loanwords in Yolngu-Matha of Northeast Arnhem Land” yang ditulis oleh Alan Walker and R David Zorc dari Australian National University (ANU) pada tahun 1981 mencantumkan berbagai kata yang dipengaruhi oleh para pelaut dari Makassar.

Di antaranya adalah kata jinapan yang berarti sama dengan kata senapan dalam bahasa Indonesia saat ini, jalatanyang sama artinya dengan kata selatan, jaran yang penggunaannya merujuk pada kuda, lipalipa yang sama dengan kosa kata bahasa Bugis yang berarti kano, hingga bandira dari kata bendera.

Menurut Paul, penyerapan bahasa ibu para pelaut Makassar itu terjadi karena hubungan dagang yang terbangun antara keduanya. Demi hubungan dagang, kedua kelompok harus menyepakati bahasa komunikasi.

Bukan hanya Australia, jejak-jejak bahasa Makassar juga bisa ditemukan di Madagaskar (Afrika), hingga Cape Town. Semuanya menunjukkan adanya pertalian melalui aktivitas perdagangan

Ini semakin menguatkan tesis Denys Lombard dalam bukunya “Le carrefour javanais”atau “Nusa Jawa Silang Budaya” tentang globalisasi yang sejatinya sudah berlangsung di abad ke-10 hingga abad ke-13, di mana banyak orang melakukan lintas benua dan berinteraksi di berbagai pelabuhan, sehingga peradaban kian mekar.

Sayang sekali, catatan emas penyebaran bahasa Makassar itu tidak seberapa benderang di masa kini. Ketika Makassar teriterasi ke dalam NKRI, bahasa lokal kian menyempit.

Perannya kian terpinggir hingga ke komunitas yang masih mempertahannya. Kota-kota menjadi global dan seragam. Semua warga berbahasa Indonesia, lalu perlahan berbahasa Inggris. Anak-anak muda mulai jarang berbahasa lokal. Mereka tercerabut dfari akar kulturalnya sehingga menjadi generasi yang lupa identitas, lupa sejarah.

Riri Riza

Namun, apakah kenyataan memang semiris itu? Sineas Riri Riza merasa optimis dengan situasi kekinian. Dia melihat banyak generasi baru yang mulai perlahan memgangkat kembali istilah-istilah lokal. Baginya, saat semua jadi global, maka saat itulah jangkar kebudayaan harus diperkuat.

Dia menyebut generasi baru perlahan mulai memasyarakatkan istilah lokal. Dia mencontohkan film lokal berjudul Ambo Nai.

“Film ini judulnya berani. Saya tidak tahu apa itu Ambo Nai. Tapi saya anggap memilih judul ini butuh keberanian. Ternyata isi filmnya juga hebat dan disukai banyak orang. Ada juga judul Uang Panai. Ini menunjukkan bahasa lokal mulai masuk ke budaya popular,” katanya.

Riri juga mengambil contoh beberapa rapper anak muda Makassar yang bersenandung dengan bahasa lokal. “Dengan masuk ke budaya popular, kita bisa melamgkah lebih jauh,”katanya.

Di ruangan itu, aroma optimisme kian menguat. Semua seakan sepakat bahwa perlu ada langkah-langkah yang diambil untuk kembali menjadikan bahasa Makassar sebagai bahasa berdaya. Daripada duduk diam dan merutuki keadaan, lebih baik bergerak dan menyalakan cahaya.

Hari itu, sebuah langkah berani telah ditempuh. Setelah upaya digitalisasi, tugas berikutnya sudah menunggu. Yakni bagaimana menjadikan bahasa itu kembali menjadi bahasa pergaulan, bahasa komunikasi, dan bahasa yang melambangkan identitas lokal.

Langkah kedepan terbilang cukup menantang. Namun orang Makassar tak kenal kata menyerah. Para pelaut punya semboyan: “Kualleanna Tallanga Na Toalia.” Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai. 



Profesor Sumbangan Baja, Seniman Geo-Spasial di Birokrasi Unhas

Sumbangan Baja


Hari itu, di tahun 1988, suasana ramai di acara wisuda kampus Universitas Hasanuddin. Saat itu, Rektor Unhas Prof Fachrudin, memintanya berdiri. Dia diperkenalkan sebagai wisudawan terbaik.

Tak hanya itu, Prof Fachrudin memintanya agar jadi dosen Unhas, tanpa perlu ikut tes. Semua bertepuk tangan. Pria itu, Sumbangan Baja, menandai peristiwa itu sebagai titik terpenting dalam hidupnya.

Dia diminta menjadi pengajar karena kualitas dan kapabilitasnya. Dia adalah mahasiswa berprestasi. Dia sosok yang tekun dan penuh ikhtiar untuk mengembangkan ilmunya.

Dia merasa telah melampaui cita-citanya di masa kecil. Dulu, dia sangat ingin menjadi guru. Baginya, guru adalah profesi yang paling berjasa sebab bisa membantu banyak orang.

Di Pulau Taliabu, tempatnya menjalani masa kecil, jumlah sarjana bisa dihitung jari. Ayahnya, La Ode Baja, adalah keturunan bangsawan Buton yang pindah ke Taliabu karena keadaan di Sulawesi Tenggara yang tidak aman karena banyak gerombolan.

Dia memberi nama Sumbangan untuk anaknya dengan harapan agar kelak bisa menjadi figur yang suka berderma atau memberi. Nama Sumbangan identik dengan dharma. Sumbangan diharapkan jadi figur yang memberi manfaat bagi banyak orang.

Demi bisa meraih mimpinya menjadi guru serta memberikan manfaat bagi banyak orang, Sumbangan memutuskan untuk pindah ke Baubau dan melajutkan sekolah menengah di sana. Setelah itu mendaftar sebagai mahasiswa Universitas Hasanuddin.

Sumbangan Baja seakan ditakdirkan sebagai ahli geo-spasial. Masa kecilnya berpindah-pindah, mulai Taliabu hingga Baubau, telah mengasah kepekaannya untuk selalu memetakan ruang dan kawasan tempatnya bermukim.

Dia adalah figur yang konsisten untuk terus mengembangkan bidang ilmu tanah. Hasrat belajarnya meluap-luap. Lulus dari Unhas, dia melanjutkan program magister di New Zealand, dan berhasil menjadi ahli geo-spasial. “Di New Zealand, saya semakin yakin untuk menjadi akademisi”katanya.

Di Negeri Kiwi itu, dia mendalami bidang geo-spasial hingga tingkat mahir. Wawasannya terbuka kalau ilmu ini bisa diterapkan di berbagai bidang kehidupan. Dia belajar ilmu remote sensing (pengindraan jauh), juga pemotretan lewat udara. Dia belajar teori kamera, scanner, lalu belajar menafsir setiap keping informasi. Dia membaca peta dari satelit untuk memahami rupa bumi.

Sekembalinya ke tanah air, Hasrat Sumbangan untuk menerapkan ilmunya kian meluap-luap. “Saya lihat ilmu ini sangat penting. Berkat geo-spasial, kita bisa mempelajari ,merekam, menggambarkan bumi dalam peta. Kita bisa menganalisa, hingga pengambilan keputusan,”katanya.

Dilihatnya Indonesia sebagai negeri yang luas dengan pulau hingga 17 ribu. Bukan hanya daratan tetapi juga lautan. Dengan memetakan wilayah, kita bisa merencanakan hal-hal baik, juga kebihakan yang positif, untuk Indonesia masa depan.

Di titik ini, Sumbangan Baja serupa seniman yang memahami peta lalu menyusun keping demi kepingan imajinasi untuk membuat perencanaan. Dia bekerja sama dengan banyak pemerintah daerah untuk membuat perencanaan wilayah.

“Ada begitu banyak sumber daya alam kita. Belum lagi manusianya. Kita harus kembangkan desa-desa, kota, serta wilayah untuk menjadi rumah yang nyaman bagi semua orang,”katanya.

Sumbangan memberi contoh tentang Kota Makassar. Menurutnya, kita bisa memetakan wilayah, lalu membuat perencanaan. Kita membaca peta, melihat mana hutan dan mana rawa, juga lokasi bukit. Kita bisa merancang di mana lokasi industri, pemukiman, termasuk mana lahan yang perlu dilindungi.

Baginya, tak semua lahan harus dieksploitasi. Ada lahan yang harus dilindungi sebab berperan sebagai paru-paru bagi bumi. Kalau dieksploitasi akan menimbulkan masalah.

Jejak Sumbangan Baja bisa dilihat di banyak kota dan kabupaten yang didampinginya. Sebagai saintis dan seniman, dia mengolah data menjadi imajinasi, yang kemudian menjadi rencana-rencana konkret untuk pembangunan. Dia menjadi mitra bagi banyak pemerintahan demi Menyusun tata ruang yang berkeadilan, baik bagi manusia, maupun ekologis.

Pengalaman sebagai konsultan terus bertambah. Jam terbangnya sebagai konsultan internasiponal terus bertambah. Dia ikut merancang stadion yang dipakai untuk Olimpiade Sydney. Dia bekerja di beberapa lembaga asing. Dia menguasai database, manajemen, serta pemetaan.

Bersama Asia Development Bank (ADB), dia terlibat dalam proyek besar, di antaranya adalah pemetaan mangrove atau hutan bakau. Dia membantu pemerintah untuk melindungi mangrove di Indonesia.

Sekian lama bekerja, dia dalam dilemma, apakah melanjutkan pendidikan sebagai doctor, ataukah terus bekerja di berbagai lembaga. Dia memilih untuk mengasah pengetahuannya dengan melanjutkan pendidikan doktor di Sydney, Autsralia. Dia mengambil program Geo-Science, yang merupakan induk dari Geo-Spasial. Dia menempuh pendidikan doktor sejak tahun 1998-2002.

Sepulang kuliah, dia kembali diminta untuk bekerja di beberapa Kementerian. Namun dia memilih untuk pulang ke kampus yang membesarkannya. Dia menjalankan amanah sebagai dosen dan pengajar. Meskipun fasilitasnya minim, dia tidak patah arang. Dia bertekad untuk memperbaiki situasi.

“Saat itu saya banyak cita-cita, tapi fasilitas terbatas. Hingga satu saat, saya diberi posisi, mulai dari ketua ad hoc, hingga Ketua Departemen Ilmu Tanah. Saya seorang saintis, tapi dalam perjalanan kita perlu memimpin, untuk memperbaiki. Teman-teman meminta saya jadi dekan. Hingga akhirnya saya terpilih,”katanya.

Sebagai dekan, dia mendedikasikan waktunya untuk memajukan institusi. Saintis diakomodasi, ruangan dan peralatan disiapkan. Kerja-kerjanya sangat bermanfaat. Seusai menjadi Dekan, dia menjadi Wakil Rektor 2 di bidang perencanaan keuangan dan infrastruktur.  Dia membawa manfaat di manapun dia berada.

***

HARI itu, 4 September 2019, suasana hening saat wisuda Unhas digelar. Profesor Sumbangan Baja tampil di hadapan wisudawan sembari bernyanyi. Dia menyanyikan lagu Ayah dengan suara yang beberapa kali serak.

Banyak orang berurai air mata. Sumbangan Baja tak sekadar memandang hadirin. Dia membayangkan betapa jauhnya perjalanannya. Dari seorang anak yang ingin jadi guru, kini dia adalah guru besar. Dari anak di daerah terpencil, kini dia menjadi professor di satu kampus besar yang memakai toga.

Dia sudah melampui banyak hal. Namun dia tidak hendak menyerah. Dia masih ingin berbuat banyak bagi banyak orang. Dia ingin membantu banyak orang juga kampus, sesuai dengan kapasitasnya.

Di tahun 2024, dia menjabat sebagai Sekretaris Unhas. Posisinya tetap penting sebab mengurusi hajat hidup banyak orang. Di luar kampus, dia pun membantu warga sekampung dengan menjabat sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Indonesia Buton (KKIB).

Di acara wisuda itu, matanya berkaca-kaca saat berucap: “Ayah Dengarkanlah. Aku Ingin Berjumpa. Walau Hanya dalam Mimpi”




Ada FILSAFAT di Balik “Avatar: The Last Airbender”

Avatar The Last Airbender


TUHAN sedang berbaik hati pada penggemar anime. Beberapa bulan lalu, versi live action dari kartun One Piece hadir di Netfix. Kini, serial Avatar The Last Airbender versi live action diluncurkan.

Ada rasa haru dan nostalgia saat menyaksikan serial ini. Lebih 10 tahun lalu, saya mengikuti serial tentang bocah plontos yang keluar dari bongkahan es setelah tertidur 100 tahun. Serial ini mengisahkan suatu masa di mana ada 4 bangsa yang berinteraksi, yakni Air, Api, Angin, dan Tanah. Hingga Negara Api menyerang bangsa lain dan menguasai dunia.

Aang, seorang anak kecil berkepala plontos menyandang amanah sebagai Avatar yang hendak mengembalikan keseimbangan dunia. Saat dia dalam keadaa nirsadar, dia bisa memiliki kekuatan maha besar dan menguasai keempat unsur. Dia melawan Negara Api untuk mengembalikan keseimbangan.

Aang tak sendirian. Dia ditemani oleh prajurit Suku Air, yakni Katara dan Soka.Mereka menjadi tim yang kompak dan saling bantu dalam menghadapi Negara Api. Mereka adalah tim yang saling melengkapi.

Yang saya suka dari serial ini adalah gambaran yang dibuat presisi sebagaimana versi animasinya. Malah film ini menggambarkan setting dengan megah. Mulai dari Suku Air di Kutub Utara yang budayanya seperti orang Eskimo, Pulau Kiyoshi yang budayanya seperti Jepang kuno, Omashu yang seperti Asia Selatan, hingga Pengembara Udara yang perkampungannya seperti Tibet.

Namun, saya tidak akan mengurai sinopsis dari serial ini. Saya ingin melihat sisi lain. Bagi saya, serial ini bukan sekadar hiburan, tetapi mengandung banyak inspirasi dan telaah filsafat dan sosiologis. Serial Avatar menghadirkan pergulatan ide-ide atau gagasan.

Realitas sosiologis negeri dalam kisah ini adalah risalah filsafat Democritus yang menyebutkan bahwa alam semesta tersusun atas empat unsur utama yaitu api, air, tanah, dan udara.

Keempat unsur ini menjadi partikel yang menyusun atom bernama semesta. Konflik dan resistensi di antara unsur-unsur ini menjadi dinamika yang menjaga keseimbangan alam sekaligus harmoni semesta.

Tak ada realitas atau unsur yang buruk, sebab semua menyandang takdir berbeda dan saling menyeimbangkan sesuai dengan garis edar atau ziarah masing-masing unsur.



Serial ini menjadi pintu masuk untuk menelaah filsafat, sosiologi dan masa depan manusia. Di tahun 2022, terbit buku berjudul Avatar: The Last Airbender and Philosophy: Wisdom from Aang to Zuko, yang merupakan seri dari The Blackwell Philosophy and Pop Culture Series.

Buku ini membahas filsafat dari semua karakter. Di antara analisis yang saya sukai adalah analisis Profesor Justin White tentang karakter Zuko yang bergerak dari kegelapan menuju terang benderang berkat pemahaman filosofis yang kuat.

Dalam buku ini, para pemikir berbagi gagasan bagaimana memahami serial ini dan membawa perdebatannya ke arah filosofis. Mereka mengurai filsafat Timur, Barat, dan kearifan lokal, sebagaimana disampaikan sosok Paman Iroh dalam serial ini.

Serial ini membantu kita untuk memahami berbagai pertanyaan penting, misalnya bagaimana menangani kerusakan ekologi, dampak kolonialisme dan genosida, dan kesenjangan kekayaan, dengan menggunakan khasanah dari berbagai tradisi filosofis.

Saya menyarikan tiga poin penting yang bisa ditemukan dari buku ini.

Pertama, sebagaimana dikemukakan kreatornya Bryan Konietzko dan Michael Dante DiMartino, “manusia tidak selalu baik atau jahat, tetapi berada dalam keadaan seimbang atau tidak seimbang.”

Semua karakter dalam Avatar tidak selalu melakukan hal yang “benar” dan karakter “jahat” tidak selalu melakukan hal yang “salah”. Setiap karakter dapat dilihat dalam tingkat "keseimbangan" yang berbeda-beda.

Sebagai Avatar, Aang melambangkan pentingnya keseimbangan. Untuk menguasai keempat elemen dan membawa keseimbangan pada dunia, Aang pertama-tama diharuskan mencapai keseimbangan dalam dirinya.

Namun, Aang tetaplah manusia yang memiliki kekurangan. Aang sangat spiritual, seorang pasifis yang taat, dan secara alami memiliki karakter yang “seimbang.” Aang seperti 'kehilangan keseimbangan' karena ia diliputi emosi dan bereaksi tanpa melakukan refleksi terlebih dahulu.

Kedua, serial ini menggambarkan filsafat messianisme. Serial ini seakan menganfirmasi pandangan dari sejumlah filsuf maupun agamawan yang hingga kini masih meyakini kelak akan hadir seorang pembebas sebagaimana yang dituturkan dalam berbagai kitab suci.

Selama 100 tahun lenyapnya Aang, manusia menantikan sosok penyelamat. Kerinduan akan sosok Avatar ini adalah sesuatu yang universal dalam sejarah peradaban manusia.

Konsep Avatar muncul di hampir semua peradaban dan kebudayaan manusia sebagai bentuk kerinduan akan hadirnya sosok manusia sempurna yang kelak akan menghancurkan ketidakadilan, menjaga nilai, serta memperkuat moralitas serta tatanan peradaban yang lestari.

Dalam Hindu, Avatar adalah keturunan dewa yang turun ke bumi dan berwujud manusia. Titisan Dewa ini mengemban tugas untuk menegakkan kalimat kebenaran dan menjadi medium penghancur kejahatan. Itu bisa dilihat pada sosok seperti Krisna, Rama, dan Buddha.



Dalam keyakinan Kristen, konsep “Avatar” adalah konsep messiah. Kata messiah kerap dimaknai sebagai Kristus atau penyelamat. Nama ini dilekatkan pada belakang nama Yesus sehingga menjadi Yesus Kristus atau Yesus Sang Penyelamat. Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) banyak mengisahkan ini (lihat Isaiah 53).

Islam juga mengenal keyakinan tentang “Avatar” atau “Messiah” ini. Keyakinan itu termanifestasi dalam sosok Imam Mahdi yang digaibkan dan kelak akan hadir dalam satu setting sosial yang kian amburadul.

Messiah juga muncul di berbagai kebudayaan. Orang Jawa hingga kini masih meyakini akan adanya Ratu Adil yang kelak akan membawa Jawa ke era Gemah Ripah Loh Jinawi. Dalam studi Sartono Kartodirdjo, keyakinan ini justru menjadi api yang membakar semangat perlawanan orang Jawa untuk menentang ketidakadilan.

Ketiga, adanya unsur filosofi Timur yang kental. Mari kita lihat beberapa karakter. Aang adalah anggota Pengembara Udara (Air Nomads), sebuah bangsa biksu mandiri yang tinggal di kompleks kuil kuno mistis bersama dengan bison langit terbang.

Gambaran tentang tanah kuno yang harmonis ini memiliki banyak kesamaan dengan mitos Shambala, sebuah lembah yang konon ada di wilayah terpencil di Tibet. Di sini, setiap orang hidup dalam harmoni dalam masyarakat beragama yang sempurna. 

Aang, sang tokoh utama, memiliki seorang guru yang paling dekat dengan seorang ayah, seorang biksu tua bernama Gyatso. Dalam bahasa Tibet, Gyatso berarti “Laut” dan merupakan nama belakang Dalai Lama saat ini, Tenzin Gyatso.

Kita bisa menyaksikan bagaimana ajaran Buddha ditampilkan dalam serial ini. Mulai dari bagaimana membuka cakra, hidup vegetarian, konsep samsara dan pelepasan duniawi, hingga bagaimana dilema dihadapi Aang. Dia tidak ingin membunuh Raja Api Ozai sebab ajaran Buddha melarangnya.


Serial ini mencapai konklusi, Aang menyalurkan kekuatan spiritualnya dan dalam pertempuran seru terakhir. Dia berhasil menghilangkan kekuatan pengendalian api dan menaklukkannya tanpa membunuhnya.

Ini adalah pesan yang jelas. Bahwa seseorang yang hina seperti Ozai tetap salah jika dia dihancurkan secara spiritual. Dia harus mendapatkan pengampunan dan kesempatan kedua. Hal ini sejalan dengan cita-cita Budha dan Hindu tentang ahimsa, atau nir-kekerasan.

Baik versi kartun maupun live action, tokoh favorit saya adalah Paman Iroh. Dia sosok dari Negara Api yang paling bijak. Dia melampaui semua batasan sosiologis, dan melihat semua orang dalam satu semesta.

Salah satu kutipannya yang saya sukai adalah: "Perfection And Power Are Overrated. I Think You Are Very Wise To Choose Happiness And Love."



NEXUS, Harari, dan Sejarah Informasi yang Menghancurkan Dunia


Setelah Sapiens, Homo Deus, kini waktunya Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI. 

Yuval Noah Harari melanjutkan gagasan utamanya dalam Sapiens, yakni manusia bisa bekerja dalam skala massif karena mempercayai fiksi, cerita, dan mitos. Inilah prestasi terbesar umat manusia, yang tidak dimiliki hewan lain.

Saya tertarik dengan tema yang dibahas yakni sejarah singkat jaringan informasi, dari zaman batu hingga Artificial Intelligent. Harari memang sejarawan, tapi dia tidak asyik membahas masa lalu. Dia membaca masa lalu demi memahami masa depan yang sebentar lagi akan terjadi.

Buku ini membahas bagaimana informasi telah membentuk dan menghancurkan dunia kita. Revolusi informasi terjadi dengan cepat hingga manusia modern mengalami obesitas informasi, satu keadaan di mana satu informasi bertindih dengan informasi lainnya sehingga keadaan menjadi kacau. Tak jelas mana benar dan mana salah.

Tiga Buku Harari

Kita menyebut diri kita Sapiens, manusia bijaksana. Tapi kelakuan kita adalah merusak alam semesta. Kita di ambang bunuh diri ekologis dan teknologi. Kita membangun bumi melalui informasi dan kerja sama skala massif, namun penghancuran bumi juga melalui informasi, yang dikemas menjadi fiksi fantasi, dan delusi massal.

Kata Harari, sejarah tidak bersifat deterministik, begitu pula teknologi. Dengan membuat pilihan yang tepat, kita masih dapat mencegah dampak terburuk. Karena jika kita tidak bisa mengubah masa depan, lalu mengapa membuang-buang waktu untuk membahasnya?

Sejak manusia menjadikan sains sebagai pelita, kita sibuk mengeksploitasi alam, menggali bumi, merusak tanah, setelah itu menyingkirkan ekologi. Kini, takdir telah mengajarkan kalau kita keliru. Alam yang sekarat adalah awal dari manusia yang sekarat.


Masa depan dunia, bagi Harari, adalah distopia. Dunia yang menakutkan. Peran manusia dalam mengatur kehidupan di bumi akan digantikan oleh mesin pemroses data. Tugas kosmis Homo Sapiens telah berakhir, dan akan digantikan oleh data. Ini dimungkinkan apabila kita melihat perkembangan artificial intelligence dan big data saat ini.

Manusia juga tunduk pada algoritma. Manusia menyerahkan kebebasan pada algoritma dan mesin, yang bisa memprediksi dengan presisi apa saja yang dilakukan manusia. 

Sayang sekali, buku ini akan beredar di bulan September 2024. Saya hanya mendapatkan beberapa lembaran dari internet. Buku ini meminta kita untuk mempertimbangkan hubungan kompleks antara informasi dan kebenaran, birokrasi dan mitologi, kebijaksanaan, dan kekuasaan.  

Harari mengeksplorasi bagaimana berbagai masyarakat dan sistem politik menggunakan informasi untuk mencapai tujuan mereka dan menerapkan ketertiban baik dan buruk. Harari membahas pilihan-pilihan mendesak yang kita hadapi saat ini, karena kecerdasan non-manusia mengancam keberadaan kita.

Kita menantikan buku ini di bulan September mendatang.