Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Misteri Baju Biru Sandiaga Uno




Setiap ada momen pemilu, maka selalu saja ada hal baru. Tahun 2004, Indonesia pertama kalinya mengenai quick count untuk memprediksi hasil pemilu. Tahun 2009, semua politisi mengandalkan semua survei dan alur metodologis. 

Tahun 2014, survei menjadi ketentuan wajib bagi semua partai, kandidat presiden, dan calon kepala daerah. Bagaimana tahun 2019?

Kita bisa menjawab pertanyaan ini dengan menelaah mengapa Sandiaga Uno selalu memakai baju biru ke mana pun saat kampanye. Apakah yang hendak disampaikan Sandiaga? Bagaimana mengaitkan baju biru Sandiaga dengan perubahan mindset para politisi kita?

***

IBARAT mesin disel, Sandiaga Uno terus bergerak. Dia terus mengunjungi banyak lokasi, menyapa banyak orang di pasar-pasar, hingga berdialog dengan ibu-ibu dan anak muda. Ketika diumumkan sebagai calon wakil presiden, dia langsung tancap gas.

Pengumuman sebagai cawapres itu menjadi babak baru bagi mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini. Dia mulai mengenakan baju biru dalam semua aktivitas. Banyak yang berspekulasi kalau baju biru Sandiaga adalah simbol dari PAN, partai yang akan dimasukinya setelah keluar dari Gerindra.

Ada juga yang berspekulasi kalau warna biru itu adalah pernyataan Sandiaga bahwa dirinya bukan lagi untuk DKI Jakarta, melainkan sesuatu yang lebih besar. Sandiaga sendiri mengaku baju biru yang dikenakannya adalah usulan dari Didit Hediprasetyo, putra tunggal Prabowo Subianto.

Sebagai desainer kelas dunia, Didit merasa Sandiaga akan lebih tepat mengenakan baju berwarna biru. "Mas Didit bilang, 'Mas pakai biru sejuk lho, teduh. Dan blue collar worker itu kan biru.' Terus katanya kalau dipadukan celana cokelat jadi bagus," katanya pada detik.com.

Sandiaga mengaitkan warna biru sebagai blue collar worker atau simbol kelas pekerja di luar negeri. Blue collar worker sering diperhadapkan dengan white collar worker atau pekerja kerah putih yakni mereka yang bekerja di kantoran. Sandiaga ingin menonjolkan tekadnya yang siap bekerja keras untuk Indonesia yang lebih baik.

Yang menarik adalah pengakuan Ferry Juliantono, salah seorang tim kampanye Prabowo-Sandi. Sebagaimana dimuat Tempo,Ferry menuturkan baju biru Sandiaga itu tidak sembarang dipilih. Tim kampanye melakukan riset berdasarkan analisis data pengguna media sosial di Indonesia.

Dari aktivitas di media sosial, tim kampanye jadi tahu kecenderungan dan karakter pemilih. Salah satu analisis menyebutkan sebagian besar generasi milenial menyukai gaya berpakaian yang kasual dan sepatu kets. Sebelumnya, Sandiaga suka mengenakan kemeja dan batik. Perlahan baju yang dikenakan Sandiaga pun diubah.

Riset juga menyebutkan warna biru adalah warna yang paling disukai semua kalangan, tidak hanya milenial. Biru dianggap sebagai warna yang menyejukkan. Inilah alasan mengapa Sandiaga selalu memakai baju biru ke manapun bergerak. Potensi suara generasi milenial memang tengah diperebutkan.

Berdasarkan data KPU, pemilih berusia di bawah 35 tahun mencapai 100 juta atau lebih dari separuh jumlah pemilih, yang mencapai 187 juta. Riset media sosial juga menunjukkan olahraga yang disukai generasi milenial adalah lari dan basket.

Kebetulan, Sandiaga menggeluti dia cabang olahraga ini sejak lama. Makanya, tak sulit untuk mengubah dirinya. Hal lain yang juga ditemukan adalah pemilih tidak menyukai kandidat yang suka menyerang lawan.

Makanya Sandiaga selalu diposisikan berada di tengah dari dua kubu yang berhadapan, meskipun posisi Sandiaga tetap saja akan dilihat satu paket dengan Prabowo.

***

Fenomena Sandiaga menunjukkan bagaimana politisi dan pelaku politik “jaman now” menyiapkan semua kandidatnya. Sandiaga memakai baju biru berdasarkan rekomendasi dari analisis tentang warna yang disukai netizen di berbagai media sosial.

Datanya diambil dari himpunan percakapan, postingan, serta survei online di berbagai media. Inilah yang baru dalam Pemilu 2019 mendatang. Jika pemilu-pemilu sebelumnya identik dengan survei dan tracking popularitas melalui metode tatap muka dan penyebaran kuesioner, kini semua orang berpaling ke algoritma media sosial.

Semua tim dan kandidat berupaya untuk menjangkau semua audiens melalui media sosial, tapi juga karena menggunakan algoritma media demi menemukan apa yang diinginkan publik, serta apa yang harus diakukan untuk memenuhi harapan publik.

Pemilu ini adalah palagan pertempuran para ahli IT, ahli komunikasi, dan ahli marketing, yang saling bersinergi demi merumuskan konsep untuk mengemas seorang kandidat, serta bagaimana menyebarkan seluas mungkin melalui berbagai platform digital.

Bukan hanya tim Prabowo-Sandi, tim sukses Jokowi-Ma’ruf juga bekerja berdasarkan tuntutan algoritma media. Tim sukses Jokowi-Ma’ruf memaksimalkan kerja-kerja para ahli IT, komunikasi, dan marketing berusaha memahami data-data yang ditambang dari Google, Facebook, Twitter, dan Instagram, lalu menganalisis berbagai isu, setelah itu merumuskan counter isu.

Tahun 2014 lalu, dua kandidat presiden sudah mulai menggunakan instrumen media sosial dalam hal menyebarkan informasi seluas-luasnya. Tapi tahun ini, intensitasnya semakin tinggi sebab semua kandidat sudah belajar pada kelemahan dan kekuatan pada gaya bermain pada periode lalu.

Kali ini semua jauh lebih siap. Jagad digital tak cuma menjadi arena bertempur, tapi juga untuk menambang data, memahami berbagai cuitan dan postingan demi menemukan formulasi yang tepat, setelah itu menggempur media dengan berbagai variasi serangan yang langsung menyasar pikiran publik yang berselancar di media sosial.

Yang baru dari pemilu kali ini, semua tim tidak lagi hanya mengandalkan data lapangan yang didapatkan melalui survei, tetapi juga mengandalkan big data yang setiap hari diraup semua mesin pencari Google dan Facebook, kemudian menemukan berbagai rekomendasi yang dipakai untuk aksi.

Thomas L Friedman dalam buku Thank You for Being Late sempat membahas bagaimana big data dalam politik. Dia bercerita pengalamannya pada tahun 2016 saat bertemu Yani Medya, yang mengelola jasa konsultan komunikasi bernama New Media Inc.

Perusahaan ini mengerjakan analisis big data untuk pemerintah Turki dan beberapa perusahaan besar. Perusahaan ini melacak semua media dan memberikan laporan kepada klien-nya mengenai berita apa yang muncul di benak konsumen media di mana pun.

Setahu saya, di Indonesia, ada banyak lembaga asing yang datang menawarkan jasa serupa. Katadata melaporkan banyaknya lembaga asing spesialis big data telah mengajukan diri untuk menjadi klien dari partai politik.

Di antaranya adalah Kinetica Inc, yang selama ini telah bekerja dengan Lippo Grup untuk mengembangkan aplikasi OVO. Kinetica mengklaim memiliki software yang bisa mempelajari perilaku pemilih di jagad maya sehingga kampanye digital bisa lebih terarah.

Kinetica mengklaim bisa mengumpulkan data calon pemilih sepeti demografi, perilaku, sikap terhadap partai politik, serta sentimen yang disalurkan melalui media sosial. Kinetica jelas menggunakan analisis terhadap big data, yang merupakan himpunan data (data set) dalam jumlah yang sangat besar, rumit, dan tak terstruktur, namun bertebaran di internet.

David W Nikerson dan Tod Rogers dalam artikelnya yang berjudul Political Campaign and Big Data di Journal of Economic Perspective (2014) telah menjelaskan arti penting big data dalam kampanye politik.

Big data dalam kampanye politik bisa digunakan sebagai data base dalam penyusunan target rencana kampanye dan sasarannya. Dengan big data, para politisi mampu memetakan demografi, sejarah kontribusi pemilih dalam politik, pandangan politik pemilih hingga urusan remeh, seperti konsumsi media, aktivitas di media sosial, hingga status kepemilikan rumah, mobil, atau kapal.

Dalam konteks pemilu, big data penting dan telah dipraktikkan oleh Donald Trump yang membuatnya menang dalam pemilu di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu. Dalam pemilu AS 2016, big data telah dimanfaatkan Donald Trump dengan menggandeng Cambridge Analytica untuk menganalisis data penduduk.

Dengan big data, para politisi dapat mendulang berbagai informasi sekecil-kecilnya dari para pemilih.

***

PERTANYAANNYA, apakah analisis big data ini bisa diterapkan untuk konteks Indonesia? Apakah strategi ini tepat diterapkan di masyarakat Indonesia? Saya sendiri tak begitu yakin. Saya melihatnya dalam beberapa argumentasi.

Pertama, dunia media sosial di Indonesia terlampau banyak dikepung akun robot yang setiap saat menyampaikan opini yang tengah diatur sebelumnya. Akun-akun ini membuat dunia politik seakan bising, padahal faktanya dalam kehidupan nyata belum tentu demikian.



Kedua, dunia digital tetap membutuhkan asupan data dari kerja-kerja lapangan. Sebab semua aktivitas, tindakan, sikap, dan kunjungan adalah bahan mentah yang akan memperkaya semua skema tempur di dunia digital.

Dengan demikian, tetap penting untuk melakukan pengayaan data serta melakukan kerja-kerja lapangan yang terarah. Artinya, strategi online dan offline tetap penting untuk disinergikan.

Maka, pendekatan tradisional seperti turun lapangan, temu konstituen, serta kerja-kerja ril lebih bernilai ketimbang sekadar melempar wacana di media sosial. Pubik lebih percaya pada apa yang dia lihat, ketimbang apa yang dia dengar.

Ketiga, setelah big data dipahami, tahapan penting berikutnya adalah bagaimana merancang satu strategi kampanye yang efektif.

Di sini, konten kampanye adalah hal substansial yang paling penting. Jantung dari semua kegiatan kampanye kandidat adalah bagaimana meramu dan merancang konten yang tepat agar menancap di benak publik. Tanpa konten kuat, maka penyebaran informasi akan pincang.

Tanpa konten kuat, maka kerja-kerja kampanye hanya mengandalkan konten hoaks dan permainan isu yang bisa kontra-produktif dan menurunkan suara.

Setahun jelang pemilu, kita bisa melihat betapa banyaknya hoaks berseliweran yang menimbulkan ketakutan di masyarakat. Ini yang sedang dikerjakan oleh tim Sandiaga. Bagaimana meramu dan menemukan konten yang pas sehingga aura positif dan harapan sebagai pemimpin negeri akan lebih bergema.

Demi Indonesia yang lebih baik, kerja-kerja politik harus rapi dan terorganisir.




Selamat buat Lala Suhaila




SEBUAH paket buku terkirim ke rumah saya. Isinya adalah novel berjudul Selendang Sutra Bidadari, yang ditulis Lala Suhaila. Pengirim paket adalah Lala Suhaila sendiri. Saya dan dirinya belum pernah bersua secara fisik. Tapi di dunia Facebook, kami saling mengomentari.

Di mata saya, Lala adalah penulis novel yang sangat produktif. Sebagai seseorang yang juga suka menulis, saya tahu persis bahwa tidak mudah menulis novel setebal ini. Butuh konsistensi, ketekunan, dan mental tahan banting ketika mulai menulis. Butuh keberanian untuk mengisi lembar kosong dengan barisan aksara yang berkisah.

Saya ingat novelis Dewi Lestari. Dalam satu diskusi dengannya, dia bercerita bagaimana kerja kerasnya dalam menulis, yang disebutnya sebagai “upaya untuk melawan lembar kosong.” Demi menulis novel Perahu Kertas, dia sengaja mengontrak kamar di kos-kosan mahasiswa “jaman now” demi memahami apa yang dipikirkan dan diperbincangkan para mahasiswa itu. 

Masih kata Dewi, saat dirinya tiba-tiba merasa stuck alias tidak tahu hendak menulis apa lagi, saat itulah dia akan ke kamar mandi. Saat air mengguyur kepalanya, ide-ide bermunculan sehingga dirinya mendapat semangat lagi untuk menulis. Dewi bercerita, ketika dirinya menulis, maka dia akan sangat sering mandi, demi men-stimulasi ide-idenya.

Bagi saya, kisah tentang proses kreatif seorang penulis sering kali lebih penting dari karyanya. Saya ingat Elizabeth Gilbert yang pernah bilang bahwa seorang penulis hanya sekadar mencatat sesuatu yang singgah di kepalanya. 

Makanya, para penulis atau pekerja seni abad pertengahan selalu percaya bahwa ada kekuatan lain yang bekerja bersama mereka sehingga membantu mereka melahirkan banyak karya-karya besar.

Kata Elizabeth Gilbert, saat menulis, seseorang tidak menjadi dirinya sendiri. Dia separuh kesurupan sebab ada sesuatu yang merasuki dirinya, dan mengarahkan jemarinya untuk bekerja. 

Di abad pertengahan, kekuatan itu disebut “Genius”, yakni makhluk seperti peri rumah Dobby dalam kisah Harry Potter yang sesekali merasuk dalam diri penulis dan membantunya menyelesaikan karya tertentu.



Nah, saat melihat karya Lala Suhaila, saya memikirkan bagaimana proses yang dia jalani ketika menulis. Seperti apa dia menyisihkan waktu demi merawat bayi novelnya? Apakah kata-kata orang di sekitarnya saat dirinya sedang konsentrasi menulis dan sejenak mengabaikan dunia sosial? Apa kiat yang bisa dibagikannya saat orang lain seperti saya hendak mengikuti jejaknya bisa melahirkan novel setebal ini?

Lala Suhaila akan mengundang saya sebagai salah satu pembicara yang membahas bukunya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya belum dapat konfirmasi tentang waktunya. Biasanya, dalam momen seperti ini, saya tidak suka jadi pembicara. Saya lebih suka menyimak, menyerap, dan belajar darinya. 

Saya berharap bisa menyerap ilmu menulisnya demi menyelesaikan beberapa ide-ide mengenai novel cinta di kepala saya. Ide lain yang muncul adalah pengalaman saya sebagai anak band, pemain piano, pengajar les biola, dan juga pelatih kucing. Ide-ide ini harusnya dituangkan jadi novel yang menarik.

Semoga bisa bersua dengan Lala di momen itu. Jangan lupa untuk selfie yaa.




Luna Maya, Suzanna, dan Narasi Profesor Amerika


Luna Maya

Indonesia tengah dilanda demam film horor. Di satu bioskop di ibukota, saya menyaksikan begitu banyak siswa sekolah menengah yang tengah antre untuk menonton film Suzanna Bernapas dalam Kubur yang dibintangi Luna Maya.

Beberapa media mencatat rekor film ini yang ketika hari pertama ditayangkan, telah memecahkan rekor jumlah penonton film horor terbanyak yakni sebanyak 201.000 orang.

Di dunia maya, perbincangan tentang film ini juga langsung menghangat serta menenggelamkan film lainnya, termasuk film Hanum dan Rangga yang heboh itu.

Melihat kehebohan ini, saya menduga, film ini bisa menjadi salah satu film terlaris tahun ini. Apalagi, Indonesia tengah demam film horor. Statistik menunjukkan, penonton dari beberapa film horor yang diproduksi tahun ini telah berhasil menembus satu juta penonton. Hebat khan?

Film Suzanna Bernapas dalam Kubur menjadi film nostalgia bagi penggemar Suzanna, yang pernah dinobatkan sebagai Ratu Film Horor Indonesia. Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, Suzanna menjadi artis film horor paling populer.

Film-filmnya selalu laris dan ditunggu oleh para penggemarnya. Kini, Suzanna hadir kembali dalam fisik Luna Maya. Menurut satu media, film ini akan menghadirkan suasana horor Indonesia zaman dulu. Film akan dimulai dengan cerita Suzanna (diperankan Luna Maya) dan Satria (diperankan Herjunot Ali) yang pindah ke pedesaan yang suasananya mirip Puncak, Bogor.

Mereka hidup bahagia. Suatu hari, Satria berangkat ke luar negeri. Momen ini lalu dimanfaatkan empat anak buah Satria untuk merampok rumah itu, kemudian membunuh Suzanna yang ternyata sedang hamil tua. Suzanna dikubur begitu saja setelah dibunuh dengan sadis.

Ternyata arwah Suzanna datang dan menghantui kehidupan empat pembunuh itu. Arwah itu berniat untuk membalas dendam. Dengan wajah datar dan tampilan yang mencekam, ia mulai hadir di kehidupan para pembunuhnya. Dalam suasana tegang karena kehadiran arwah penasaran, kisah film ini bergerak.

Saya tertarik melihat kehebohan di bioskop ketika film ini ditayangkan. Jika film adalah gambaran dari apa yang tengah dipikirkan dan dirasakan masyarakatnya, tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat kita memang suka dengan hal-hal klenik dan mistik?

Tapi setidaknya kita patut berterimakasih pada film-film horor itu. Bagaimanapun juga, film horor selalu mengangkat aspek-aspek dalam budaya kita, di antaranya adalah kepercayaan pada hantu-hantu di masyarakat.

Berkat film horor, anak-anak dan generasi “jaman now” punya gambaran tentang hantu-hantu seperti Kuntilanak, Sundel Bolong, hingga Pocong .

***

SAYA juga tertarik dengan pernyataan produser film Suzanna ini yang mengatakan hendak membangkitkan genre film horor Indonesia tempo dulu. Penampilan Luna Maya sebagai Suzanna adalah semacam nostalgia bagi penggemar Suzanna dan genre horor tempo dulu.

Beberapa waktu lalu, kritikus Veronica Kusumaryati mencoba membandingkan film horor Indonesia pada periode sebelum reformasi (masa Orde Baru), dengan masa sesudahnya. Menurutnya, film horor mengalami pergeseran, baik dari sisi pelaku, lokasi, dan penyelesaian.

Dia melihat, setting film horor periode lalu, khususnya 1970-an hingga akhir 1990-an selalu pedesaan, dengan para pemain yang juga berperan sebagai orang desa. Sumber cerita selalu berasal dari legenda. Hantu-hantu yang muncul berasal dari cerita rakyat, mulai dari Sundel Bolong, Kuntil Anak, Wewe Gombel, hingga Nyi Blorong.

Motivasi dalam film periode ini adalah balas dendam. Penyelesaian selalu dilakukan oleh kiai atau ulama setempat. Biasanya, ada adegan pertarungan kiai melawan setan yang berakhir dengan terbakarnya setan ketika diucapkan kalimat berupa doa atau penggalan ayat dalam kitab suci. Nah, para periode reformasi, film horor mengalami pergeseran.

Setting-nya selalu perkotaan, yang bisa mengambil tempat di rumah mewah, jembatan, tempat wisata, kereta api, rumah sakit, hingga sekolah. Pemeran dalam film selalu remaja perkotaan, yang di antara mereka ada yang tidak percaya legenda.

Setannya adalah gabungan dari legenda semisal genderuwo, Kuntil Anak, sundel bolong, juga beberapa setan baru, misalnya Suster Ngesot, psikopat, dan penjaga kereta api. Motivasi dalam film adalah misteri di masa lalu.  Penyelesaian film sering kali open ending atau terbuka. Ini berbeda dengan penyelesaian pada film jaman dulu yang didominasi tokoh agama.

Jika film Suzanna Bernapas dalam Kubur hendak mengembalikan spirit film horor masa lalu, maka tentunya film ini akan mengambil posisi pada kategori film lama, sebagaimana diulas di atas. Hantunya adalah Sundel Bolong.

Setting-nya adalah pedesaan, dengan para aktor yang berperan sebagai orang desa. Motifnya adalah balas dendam dan arwah penasaran. Dari sisi cerita, bisa dibilang film ini sederhana. Akan tetapi, inilah rumus yang dipakai produser untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Yang ditekankan dalam film horor jaman dulu adalah cerita sederhana yang efeknya membuat orang ketakutan sehingga berteriak di dalam bioskop.

Kritikus film dari Amerika Serikat, Charles Derry (2007), pernah memeta-metakan film horor ke dalam beberapa genre. Menurutnya, film horor bisa diklasifikasikan dalam tiga genre: (1) horor psikologis, (2) horor bencana, (3) horor hantu.

Mengacu pada Derry, kebanyakan film kita masih berkutat pada film hantu. Ini adalah genre yang paling populer sejak awal kemunculan film horor di Indonesia. Bahkan Suzanna pun laris mendapatkan peran beberapa hantu legendaris yang disukai banyak orang.

Di sini prinsip dagang berlaku. Semakin banyak orang ketakutan, semakin banyak orang ke bioskop. Maka semakin bertambahlah pundi-pundi yang diraup oleh para pembuat film ini.

***

SUZANNA memang ikon film horor. Artis kelahiran Bogor yang nama lengkapnya Suzzanna Martha Fredericka van Osch ini tadinya adalah artis untuk film-film serius. Malah ia beberapa kali mendapatkan penghargaan di dunia seni peran.

Bintangnya makin terang saat dia mulai bermain dalam film mistik. Di antaranya adalah Bernapas dalam Lumpur, Bumi Makin Panas, Pulau Cinta, dan Ratu Ilmu Hitam. Dia kemudian jadi ikon film horor paling populer. Kisah hidupnya juga penuh dengan cerita mistis, di antaranya sering ke kuburan dan memakan kembang melati.

Saya yakin tidak semua generasi “jaman now” yang paham bahwa pada zaman Orde Baru, Suzanna tak sekadar seram. Dia juga figur yang keseksiannya sering dieksploitasi dalam beberapa film, khususnya adegan perkosaan hingga tewas dan menjadi arwah penasaran.

Beberapa akademisi dan peneliti pernah membahas Suzanna. Taun 1991, terbit buku berjudul Indonesia Cinema: National Culture on Screen yang ditulis Profesor Karl Heider. Profesor berkebangsaan Amerika Serikat (AS) ini menyatakan, film horor Indonesia pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi.

Ini menjadi semacam formula atau rumus yang membuat film-film horor Indonesia digemari penontonnya. Jika melihat film horor yang baru, maka rumus ini masih bisa ditemukan. Tema horor religi di film menjadi berkurang belakangan ini.



Tapi di layar televisi tema-tema religi dan horor sering ditemukan, misalnya dalam banyak sinetron azab. Biasanya film-film tersebut untuk menegaskan pada penonton bahwa manusia yang menentang Tuhan akan bernasib buruk dan mendapatkan siksa, baik saat mereka masih hidup maupun saat mereka sudah mati, misalnya kisah “mayat berbelatung” dan “tangisan arwah”.

Pola yang sering muncul adalah hadirnya tokoh agama yakni kiai atau ustad yang datang merapal doa bersama tasbih di tangan. Sosok kiai seperti ini masih bisa dijumpai dalam beberapa film horor Indonesia di awal tahun 2000, yaitu Kafir dan Peti Mati.

Tapi dalam beberapa film horor yang baru, nuansa religi ini mulai jarang kelihatan. Tema-tema komedi dan seks ternyata masih menjadi andalan film horor Indonesia saat ini.

Masih kata Karl G Heider, Suzanna mewakili gambaran tentang sosok perempuan yang tidak cuma seram, tapi juga menjadi obyek seksual dan simbol kekalahan pada paki-laki. Dalam banyak filmnya, Suzanna ditampilkan sebagai figur tertindas, yang tewas secara mengenaskan.

Jika dilakukan analisis atas film-filmnya, maka figurnya selalu hadir untuk ditindas, kemudian bangkit, setelah itu dikalahkan lagi. Suzanna hadir dalam film demi menunjukkan betapa kejamnya laki-laki, namun begitu berkuasa sehingga tetap menjadi pemenang.

Ini mengingatkan pada tuturan Laura Mulvey (1975), film selalu bersifat ideologis karena merupakan cerminan struktur tidak sadar dan ideologi dominan pembuat dan penontonnya.

Kisah-kisah dalam film Suzanna selalu diawali ketertiban dan kedamaian, suasana desa yang tenang, agamis, dan Pancasilais. Kemudian, muncul sejumlah karakter jahat, antagonis, yang iri sehingga mulai merusak kedamaian desa.

Karakter jahat ini menggunakan ilmu santet atau ilmu hitam, juga menggunakan cara sadis yakni perkosaan dan pembunuhan. Suzanna sebagai perempuan baik dilenyapkan oleh para antagonis yakni laki-laki.

Selanjutnya, Suzanna menjadi hantu dan arwah penasaran yang juga melakukan hal-hal jahat kepada manusia biasa. Di akhir film, hantu dan perempuan jahat itu akhirnya kembali dikalahkan oleh sosok laki-laki dalam wujud ustad, kiai, atau pemuka agama.

Di sini, kita bisa melihat laki-laki sebagai sosok yang mengembalikan tatanan sosial menjadi tenang dan damai, sekaligus menegaskan kembali patriarki, yakni dunia yang dikuasai laki-laki.

Saya belum tahu seperti apa jalan cerita di film terbaru Suzanna yang diperankan Luna Maya ini. Jika ceritanya masih sama dengan dulu, maka kita bisa katakan bahwa tema-tema lama dalam film Indonesia kembali hadir, yang bisa dilihat sebagai petanda kalau masyarakat kita masih belum bergeser dari tema-tema dahulu.

Nonton yuk, tapi serem lho...


Kritik SBY yang Menohok Prabowo




Setelah lama berdiam diri, akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai menyengat. Dia mulai berani mengkritik koalisi yang mengajukan nama Prabowo Subianto dan Sandiaga sebagai pasangan capres dan cawapres. Melalui Twitter, SBY berkicau tentang banyak hal.

Mulai dari pernyataan tidak ingin menanggapi pernyataan Wasekjen Gerindra yang dianggap nadanya tidak baik dan terus digoreng, hingga cerita bahwa dirinya pernah jadi capres dan tidak pernah menyalahkan partai pengusung.

Namun pernyataan yang paling menohok adalah pernyataan bahwa capres adalah superstar yang harus tampil ke permukaan. SBY berbicara tentang belum jelasnya visi misi dari Prabowo Subianto.

SBY mengatakan: "Saat ini rakyat ingin dengar dari Capres apa solusi, kebijakan & program yang akan dijalankan untuk Indonesia 5 tahun ke depan.” Dia juga melanjutkan cuitan di Twitter: “Kalau "jabaran visi-misi" itu tak muncul, bukan hanya rakyat yang bingung, para pendukung pun juga demikian. Sebaiknya semua introspeksi.”

SBY memang harus selalu tampil. Sebagai ketua umum partai, dia harus tampil ke publik demi menjaga ingatan positif orang-orang tentang dirinya. Dengan cara itu, dia bisa menjaga elektabilitas partainya sehingga punya kans untuk mengajukan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke jenjang politik yang lebih tinggi.

Menarik untuk disimak pernyataan SBY di tahun politik. Pada tahun 2016 lalu, terbit buku The Loner yang ditulis John McBeth. Dalam buku itu, Mcbeth menyebu SBY sebagai seorang yang peragu sebab SBY akan selalu menimbang dengan matang semua keputusan yang diambilnya.

Beberapa pengamat menyebutkan, SBY tidak seberapa lihai jika bukan dirinya yang hendak dimajukan. Buktinya, pasca dirinya menjabat presiden selama dua periode, banyak skenario politiknya yang tidak berjalan. Dia gagal mendorong anaknya ke kursi Gubernur DKI. Setelah itu gagal mencalonkannya sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden.

Realitas politik tidak selalu memihak langkah-langkah SBY. Kini, dirinya fokus untuk memenangkan perahu partainya sehingga tetap bertahan di parlemen. Di sisi lain, dirinya juga tengah menyiapkan putranya AHY agar bisa memasuki kompetisi elektoral pilpres berikutnya.

Dia juga dituntut untuk tetap memenangkan capres koalisinya yakni Prabowo Subianto. Ketika SBY mengkritik Prabowo, maka akan menjadi perbincangan publik.

Pernyataan SBY ini terasa menohok sebab merupakan pernyataan terbuka kalau selama ini visi dan misi Prabowo tidak diketahui rakyat, juga tidak diketahui partai pendukung. SBY seakan mengaminkan kritikan banyak orang kalau kubu oposisi hanya menyoroti hal-hal yang tidak substansial.

Padahal, sejak ditetapkan sebagai calon presiden, Prabowo sudah mendatangi banyak lokasi demi mengemukakan visi ke mana Indonesia yang hendak dituju. Namun, bagi sebagian orang, pernyataan Prabowo banyak yang hanya berisi kritikan, tanpa menjelaskan apa yang ingin dilakukannya ketika terpilih.

Kritikan SBY harus dilihat dari beberapa sisi.

Pertama, selama ini partai koalisi di kubu oposisi belum punya satu pendapat yang sama tentang apa yang akan dilakukan jika berhasil memenangkan kompetisi. Kubu oposisi sibuk pembedaan dengan cara kritik, tapi abai pada konten tentang apa yang harus dilakukan.

Ketika konten sudah dirumuskan, semua pihak mesti punya bahasa yang sama untuk menyebarkan konten itu. Tujuannya adalah agar publik punya pilihan sehingga terjadi diferensiasi atau pembedaan dengan petahana.

Kedua, SBY membuka fakta betapa anggota koalisi itu tidak kompak sebab masing-masing jalan dengan agendanya masing-masing. SBY membuka satu lapis kenyataan bahwa yang dipikirkan semua partai politik bukanlah bagaimana memenangkan presiden, melainkan bagaimana bisa lolos dan masuk parlemen.

Pernyataan SBY ini bukan hal baru. Beberapa lembaga survei melansir temuan kalau publik lebih suka membahas pilpres ketimbang pileg. Makanya, partai-partai yang diuntungkan adalah partai yang punya calon presiden, dalam hal ini Gerindra dan PDIP. Dua partai ini akan mendapatkan efek ekor jas sehingga suaranya diperkirakan akan meningkat.

Namun sebagai ketua partai, SBY justru punya kepentingan agar partainya tidak karam. Apa artinya Prabowo terpilih sebagai presiden, tapi partai-partai malah terpental. Opsi terbaik bagi Partai Demokrat adalah suara partai signifikan, sehingga tetap berada di parlemen, dan nantinya punya bekal yang memadai untuk mendorong AHY berlaga di kontestasi pilpres selanjutnya.

Ketiga, kritikan SBY harus dilihat sebagai alarm bagi perlunya menjalin komunikasi yang intens demi memenangkan Prabowo. Dia berharap agar berbagai strategi dirumuskan ulang sehingga potensi kemenangan lebih terbuka.

Kritik dirasa perlu untuk menyolidkan semua gerakan dari partai koalisi demi kemenangan bagi semua pihak. Mungkin saja SBY ingin menggeser perbincangan publik. Tidak cuma membahas pilpres, tapi juga membahas bagaimana memenangkan semua partai politik di koalisinya sehingga lolos parliamentary threshold. Apa artinya menang pilpres, tapi partainya malah terpental ke luar arena.

Keempat, SBY tidak yakin kalau Prabowo akan memenangkan kompetisi elektoral. Sebagai ketua umum partai politik yang dua kali memenangkan pilpres, insting SBY cukup kuat untuk menafsir apa yang terjadi.

Partai Demokrat yang dikelola secara modern, pasti punya tim litbang yang sudah memberikan amatan tentang sejauh mana potensi kemenangan. Ketika potensi kemenangan itu dirasakan kecil, maka sejak dini, SBY dan partainya harus menyatakan sikap demi tetap menjaga basis pemilih.

Dia mesti menjaga keseimbangan perahu, tapi tetap harus cantik di hadapan mitra koalisi dan lawan politiknya. Ibarat pemain catur, SBY cukup lihai memainkan bidak. Dia bisa memosisikan sejumlah anggotanya untuk berada di dua sisi.

Sosok seperti Ferdinand Hutahaean didorong untuk menjadi loyalis Prabowo sekaligus menjadi pengkritik pemerintah. Sementara sosok seperti Andi Arief diposisikan sebagai pengkritik Prabowo. Keduanya menjalankan peran berbeda di dalam partainya.

Di sisi lain, sejak beberapa tahun lalu, dia juga sudah menyimpan banyak bidak di kubu sebelah. Beberapa kadernya, mulai dari Ruhut Sitompul hingga Hayono Isman sudah pindah ke kubu sebelah. Terbaru adalah Tuan Guru Bajang. Mereka yang pindah ini bertugas untuk menyambut dan menyiapkan infrastruktur jika Demokrat benar-benar pindah ke kubu sebelah.

Kelima, SBY kemungkinan tidak ingin Prabowo menang pilpres. Sebab kemenangan Prabowo akan membuat jalan politik semakin terjal bagi AHY untuk memasuki kompetisi pilpres berikutnya. 

Kemenangan Prabowo mungkin akan membuka jalan bagi AHY untuk menjadi menteri, tetapi dalam pilpres berikutnya, itu tidak banyak membawa manfaat bagi kepentingan Partai Demokrat.

Mari kita hitung kalkulasi politiknya. Jika Prabowo-Sandi menang pilpres, maka periode berikutnya, pasangan ini masih akan mencalonkan diri. Sepuluh tahun berikutnya, Sandi akan maju sebagai calon presiden.

Jika menang, maka dia akan menjabat dua periode. Pertanyaannya, kapan AHY bisa menjadi capres? Lain halnya jika Jokowi-Ma’ruf yang menang. Lima tahun berikutnya, arena kontestasi akan terbuka lebar.

Tidak ada lagi kubu petahana yang bisa menggerakkan infrastruktur politik. Kompetisi akan lebih seru sebab masing-masing partai akan punya kans yang sama ketika mengajukan jagoannya.

Keenam, publik akhirnya belajar bahwa partai politik lebih memikirkan cara untuk eksis ketimbang memperjuangkan satu keyakinan atau ideologi tertentu. Orang-orang partai tidak bicara visi jangka panjang, serta pertarungan antar ideologi.

Orang partai hanya bicara bagaimana bisa tetap eksis, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, serta tetap menari di tengah berbagai hempasan ombak dan gelombang. Lantas, asumsi mana yang paling tepat untuk mendekati realitas?

Jawabannya akan ditemukan dalam empat bulan mendatang, saat pilpres usai digelar. Ibarat semesta, semua partai politik akan selalu mencari keseimbangan baru. Saat musim hujan, mereka akan menyiapkan banyak payung.

Saat musim salju, mereka akan menyiapkan papan seluncur untuk berselancar.



Selamat Jalan Pak Afid




Setiap kali ada seorang guru yang berpulang, terasa ada banyak yang hilang di rongga hati. Semalam saya mendengar berita kepergian Prof Achmad Fedyani Saifuddin, guru besar antropologi UI. Saya cukup lama terdiam dan mengenang banyak hal tentang dirinya. Di mata saya, Pak Afid lebih dari sekadar seorang guru.

Saya terkenang masa-masa belajar di kelas Pak Afid. Lebih separuh mata kuliah yang saya pelajari di Program pascasarjana Antropologi UI diasuh oleh Pak Afid. Separuhnya lagi diasuh almarhum Iwan Tjitradjaja. Pak Afid mengajarkan semua teori-teori dalam ilmu sosial. Sedangkan Iwan mengajarkan metodologi melakukan riset lapangan. Keduanya serupa dua sisi koin yang saling melengkapi.

Di mata saya, Pak Afid adalah sosok yang pengetahuannya dalam, tapi sangat rendah hati. Dalam posisi sebagai guru besar, gaya mengajarnya seperti sedang berdialog dengan rekan sebaya. Dia tidak membangun jarak. Dia mendengar apa pun komentar dari mahasiswanya, bahkan yang ngawur sekali pun. 

Dengan cara mendengarkan mahasiswanya, dia membangun kedekatan, tanpa mengenal batasan umur. Kelas yang diasuh Pak Afid adalah kelas yang selalu ditunggu-tunggu. Pernah, satu angkatan mahasiswa pascasarjana sosiologi mengikuti kelas antropologi kekuasaan yang diasuhnya.

Semasa saya kuliah, Pak Afid berada di puncak produktivitasnya. Hampir setiap Minggu, dia menulis di Kompas. Dia juga rajin bikin buku. Produktivitasnya menulis tema-tema antropologi hanya bisa ditandingi dosen-dosen senior yang lebih dulu berpulang. Di antaranya James Danandjaja dan Parsudi Suparlan. 

Dulu, saya mengoleksi tulisan Pak Afid. Pada saat itu, saya masih punya akses ke perusahaan milik Gramedia sehingga bisa mengumpulkan tulisannya di Kompas. Bersama beberapa kawan, kami juga mengumpulkan ceramah-ceramahnya di kelas. Jika kelak ada yang ingin membukukan tulisannya, saya akan segera mencarinya.

Pak Afid menawarkan diri untuk membimbing saya dalam penulisan tesis. Tentu saja, itu adalah kehormatan besar buat saya. Tak hanya itu, dia juga beberapa kali meminta saya menggantikannya untuk mengajar di kelas mahasiswa S1. Saya masih ingat dia pernah menanyakan apa saya sudah punya calon istri ataukah belum. Saya sempat geer karena saya tahu dia punya anak perempuan yang sangat jelita.

Ketika lulus, dia memberi saya rekomendasi untuk mengikuti program di Singapura. Sayang, saat itu saya memilih pulang kampung, padahal letter of accaptance (LOA) sudah di tangan. Sebagaimana Iwan Tjitradjaja, dia juga memberi saya rekomendasi untuk lanjut studi ke luar negeri. Malah, saya masih ingat kata-katanya, kalau sudah lulus, segera kembali ke kampus UI. 



Kini, sosok yang tuturnya lembut itu telah berpulang. Saya masih mengenang betapa tekunnya dia mengajari saya konsep-konsep yang rumit dalam bahasa sederhana. Dia yang selalu memudahkan semua jalan untuk saya itu telah pergi. Saya benar-benar menyesal karena sudah lama tidak datang sowan dan sekadar mencium tangannya.

Padahal, ketika saya butuh bantuan, dia selalu ada. Terakhir, dia membuat endorsement untuk buku saya yang diterbitkan Mizan. 

Saya teringat legenda Yunani kuno tentang para pahlawan yang diabadikan oleh Zeus sebagai bintang di langit sana. Dengan segala perhatian, kasih sayang, serta kebaikannya pada mahasiswa, saya berharap Pak Afid juga akan menjadi bintang di langit yang mengawasi semua murid-muridnya, memberikan ilham ketika keliru memahami konsep, serta membentangkan sinar terang agar muridnya tidak tersesat.

Selamat jalan guruku.

Bogor, 25 Februari 2018


Foto: Endorsement yang dibuat Pak Afid pada salah satu buku saya


Sepuluh Catatan Atas Film Fantastic Beasts 2




Akhirnya, rasa haus itu berhasil dipadamkan. Setelah lama menanti jadwal tayang film Fantastic Beasts 2: The Crimes of Grindelwald, saya menonton film itu di hari kedua penayangannya.

Sebagai penggemar berat Harry Potter, saya sudah lama menanti-nanti karya terbaru penulis JK Rowling. Saya tak ingin berbagi spoiler atas film ini sebab beberapa orang sudah mengancam agar saya tidak membocorkan cerita film.

Saya hanya ingin berbagi beberapa kesan saya atas film ini yang kian melengkapi semesta Harry Potter.

Pertama, film ini hanya bagi mereka yang paham kisah Harry Potter. Jika bukan, pasti akan sulit memahami logika dan alur kisah dalam film ini. Sebagaimana film sebelumnya, film ini mengulas peristiwa sebelum Harry Potter muncul.

Makanya, beberapa nama di sini sangat familiar. Misalnya: Albus Dumbledore, Nicholas Flamel, Lestrange, dan sekilas muncul Minerva McGonagall.

Kedua, berbeda dengan Harry Potter, film ini terlihat kelam dan berat. Jangan bandingkan dengan film superhero dari Marvel yang ringan, lucu, dan menghibur. Film ini seperti film detektif yang sedikit kelam dan penuh teka-teki. Pada bagian awal adalah pengenalan situasi dan tokoh, selanjutnya masuk pada satu demi satu misteri.

Ketiga, sosok-sosok dalam Fantastic Beast 1 hadir kembali dalam film ini. Favorit saya adalah Newt Scamander, tokoh utama, yang penyayang binatang. Jika film sebelumnya hanya berkutat di Amerika Serikat, setting film kedua lebih banyak di Eropa.

Film kedua ini adalah lanjutan dari film pertama. Namun, kisahnya menjadi lebih berliku dan menarik. Beberapa orang di Twitter, kesulitan mengikuti jalinan kisahnya. Menurut saya, mereka bukan pencinta berat Harry Potter. Jika mengikuti serial yang terlaris di dunia itu, pasti punya gambaran awal bagaimana dunia magis di film ini.

Keempat, sebagaimana film sebelumnya, ada banyak binatang sihir muncul dalam film. Favorit saya adalah hewan sihir dari Cina yang sepintas mirip barongsay. Wajahnya seperti macan, tapi punya gigi yang menonjol seperti babi hutan.

Hewan favorit saya di film pertama muncul lagi. Hewan itu adalah Nifflers, hewan seperti bebek yang paruhnya lebar, serta sangat menyukai koin emas. Hewan ini akan punya peran penting yang membantu Newt Scamander. Hewan lain yang juga muncul adalah Bowtruckles, sejenis tunas hijau yang selalu masuk di kantung Newt.



Yang mengejutkan saya adalah sosok Nagini, yang ternyata mulanya berwujud perempuan Asia, serta terkena kutukan sehingga bisa menjadi ular. Dalam film, jelas-jelas disebut Nagini berasal dari Indonesia, Ini sama persis dengan pengakuan JK Rowling di Twitter kalau Nagini diambil dari mitologi Indonesia. Sayang sekali karena gagal diperankan artis Indonesia. 

Kelima, struktur kisahnya mirip dengan kisah Harry Potter. Jika dalam serial itu, ada penjahat tengik yakni Lord Voldemort, maka di kisah Fantastic Beasts ada Gellert Grindelwald. Keduanya sama-sama tipe penjahat yang rasis dan punya pandangan bahwa hanya kelas tertentu yang pantas berkuasa.

Baik Voldemort dan Grindelwald sama-sama punya barisan pengikut, yakni orang-orang yang berpikiran sama. Saya pikir, ini adalah bentuk kritik JK Rowling pada sejumlah orang yang masih saja percaya pada pemahaman rasis bahwa ada orang yang punya warisan pemimpin, sehingga apa pun yang dikatakannya adalah benar.

Orang-orang yang rasis ini hanya percaya pada kebenaran dalam versi yang dipercayainya. Ketika dihadapkan dengan fakta lain, maka pasti akan menyangkal. Kekuasaan seolah jatuh dari langit dan hanya diberikan pada kelas tertentu.

Keenam, dalam pandangan saya, film ini gagal menampilkan sosok Grindelwald sebagai penyihir jahat yang penuh ambisi. Saya tak melihat ada adegan mengerikan sebagaimana Voldemort membunuh banyak orang dalam serial Harry Potter.

Malah, ketika hendak lari dari kereta terbang yang membawanya ke penjara, Grindelwald tidak tega mencederai kusir kereta. Jika penjahat besar dan sadis, tak mungkin dia menyelamatkan orang tak bersalah. Pasti dia akan selalu mengeluarkan kutukan Avada Kedavra.

Ketujuh, kunci utama yang membuat film ini berkesan adalah adegan terakhir saat masa lalu Credence, anak lelaki yang menghancurkan New York dalam film sebelumnya, diungkap. Tapi saya tidak akan membocorkannya di sini.

Kedelapan, jika saya simpulkan, figur paling utama di film ini bukanlah Newt Scamander, melainkan Albus Dumbledore. Dalam film, Albus memilih tetap di Hogwart dan menolak tugas untuk menangkap Grindewald. Ternyata, keduanya saling mengenal, malah membuat sumpah darah untuk tidak saling menyakiti.

Dalam satu adegan, Dumbledore melihat dirinya pada cermin tarsah, gambaran yang muncul adalah Grindewald. Artinya, itulah figur yang paling dia cintai, sebagaimana Harry Potter yang melihat cermin dan muncul ayah ibunya.

Dalam film ini, Dumbledore digambarkan sebagai guru yang baik, sabar dalam mengajarkan Pertahanan pada Ilmu Hitam, hingga membimbing Newt Scamander serta Lestrange.

Kesembilan, sebagai satu semesta yang rencananya akan keluar dalam lima film, teka-teki dan misteri diungkap pelan-pelan, serta tetap punya pertalian dengan kisah Harry Potter. Dalam film, beberapa adegan yang diambil di Hogwart membuat rasa rindu pada semesta Harry Potter menebal.

Rowling paham benar bahwa pembaca Harry Potter kini telah dewasa. Mereka pasti menginginkan kisah ini lebih menantang. Maka kisahnya sengaja dibuat berliku, dan beberapa fakta akan membuat orang terkaget-kaget. 

Misalnya, Dumbledore yang dalam kisah Harry Potter adalah sosok bijaksana, bisa jadi, masa mudanya tidak sebijaksana itu.

Setiap orang selalu punya sisi lain yang akan memperkaya kematangan dan kedewasaannya. Demikian pula masa lalu setiap orang selalu ada warna-warni. Dengan menerima semua warna, baik hitam ataupun putih, seseorang bisa semakin dewasa dan bijaksana.

Kesepuluh, tanpa bermaksud menyimpulkan, babak final dari film ini adalah pertarungan antara Albus Dumbledore versus Grindelwald.



Dalam beberapa buku Harry Potter, pertarungan ini beberapa kali disebut sebagai duel sihir yang paling mencekam. Semua penggemar Harry Potter pasti paham tentang hal ini. Hanya saja, untuk menuju ke klimaks itu, banyak hal yang harus diurai lebih dahulu.

Sebagaimana pernah saya catat dalam tulisan lain, kekuatan kisah Harry Potter adalah selalu tumbuh dan berkembang. Semua karakter punya sisi lain yang unik dan masa silam sehingga membentuk dirinya pada satu masa. Karakter pembacanya pun terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan karakter dalam buku yang dibacanya.

Dalam kisah lanjutan yang tetap ditulis JK Rowling ini, banyak karakter yang diperkenalkan. Kenyataan akan diurai lebih kompleks sebab ini bukan kisah anak-anak yang belajar sihir demi mengalahkan seorang penjahat besar, melainkan kisah orang-orang dewasa yang sama-sama sakti, saling mengenal, dan tahu kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Saya tak sabar menunggu pertarungan final itu.


Dari Big Data, Artificial Intelligence, hingga Kediktatoran Digital




MEMBACA buku bagus itu serupa menghadapi satu es krim nikmat, yang harus dicicipi pelan-pelan. Rasanya tak tega untuk menghabiskannya sekaligus sebab ada banyak hal menarik yang bisa di-stabilo kemudian direnungi maknanya.

Sepekan ini saya membaca buku 21 Lessons for the 21st Century yang ditulis sejarawan asal Israel, Yuval Noah Harari. Untuk buku sebagus ini, saya sengaja membacanya pelan-pelan seperti sedang makan es krim. Malah kadang saya mengulangi bagian-bagian tertentu.

Dalam versi bahasa Inggris, buku ini terbilang baru sebab diluncurkan pada September 2018. Namun, saya melihat di media sosial, seseorang di Manado telah menerjemahkannya. Buku itu kemudian diterbitkan oleh satu perusahaan penerbitan di Manado. Ini baru keren, sebab penerbitnya berasal dari daerah, dan bukan dari penerbitan mapan. Sebagai orang daerah, saya bangga bisa membeli buku dari penerbit daerah.

Di Twitter, saya melihat ada keberatan dari pihak penerbit besar karena merasa telah memegang lisensi penerbitan. Saya sempat khawatir kalau penerbitannya akan ditarik sebab penerbit besar punya kuasa modal dan kuasa hukum. Makanya saya segera membelinya sebab takut akan ditarik. Biarpun tak dijual di toko buku besar, saya mendapatkannya dengan cara membeli online.

Sebagai pembaca, saya tidak peduli siapa yang berhak menerbitkannya. Bagi saya, selama buku itu sudah terbit, maka saya ingin segera memilikinya demi menuntaskan rasa dahaga. Di tambah lagi, saya membaca review yang dibuat Bill Gates tentang buku ini di New York Times. Saya makin penasaran. Baca review Bill Gates itu DI SINI.

Sebelumnya, saya sudah memiliki dua buku dari penulis yang karyanya amat disukai Barrack Obama, Bill Gates dan Mark Zuckerberg ini. Buku pertamanya adalah Sapiens yang mengurai ikhwal kemunculan Homo Sapiens hingga menjadi spesies terakhir di muka bumi. Selanjutnya, dia menulis Homo Deus yang isinya adalah masa depan manusia. Di dalamnya ada tema-tema seperti algoritma dan artificial intelligent, hingga agama baru bernama Big Data.

Dari sisi sistematika, buku baru ini terkesan lebih “berantakan.” Pada dua buku sebelumnya, alurnya ditata dengan rapi sehingga kita diberi pemahaman sejak awal lalu pelan-pelan maju ke berbagai topik. Perbedaan lain, jika  Sapiens membahas masa lalu, Homo Deus membahas masa depan, maka 21 Lessons membahas masa kini. Yang dibahas adalah 21 topik penting yang menjadi perbincangan manusia di masa kini.

BACA: Manusia dalam Tafsiran Sejarawan Israel

Buku ini terbagi atas lima bab utama, yang lalu di-breakdown menjadi 21 topik pembahasan. Lima bab utama itu adalah: (1) tantangan teknologi, (2) tantangan politik, (3) keputusasaan dan harapan, (4) kebenaran, (5) daya tahan.

Saya agak tertipu dengan judulnya. Dengan mengatakan 21 Lessons, maka kesannya ada sesuatu yang sudah jadi di situ. Saya pikir semacam buku Chicken Soup for the Soul. Tapi setelah membaca isinya, yang ada malah hamparan berbagai fenomena dan realitas yang menarik untuk didekati dengan intens. 

Harari bertindak sebagai filsuf, sejarawan, dan juga futurolog yang mengajak kita berbincang tentang manusia. Pada setiap kisah, dia mengajukan beberapa pertanyaan atau paragraf yang berisi pertanyaan atau renungan filosofis. Kutipan itu jadi semacam panduan untuk menelusuri dan mencari jawabannya di bagian itu. Minimal kita mendapatkan insight apa yang tertulis di situ.

Saya ambil contoh pada bagian 5 berjudul resilience atau daya tahan. Dia mengajukan pertanyaan sepeti ini: “How do you live in an age of bewilderment, when the old stories have collapsed and no new story has yet emergence to replace them.” Bagaimana Anda hidup di zaman kebingungan, ketika cerita-cerita lama telah runtuh, dan tidak ada cerita baru yang muncul untuk menggantikannya?

tiga buku yang ditulis Harari

Kekuatan Harari adalah dia bisa mendiskusikan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dia memahami sejarah manusia, sebab basic-nya adalah ilmu sejarah, namun dia juga memahami masa kini dan bisa membaca masa depan. Di ujung  diskusi itu, kita dikejutkan dengan pertanyaan apa yang harus kita lakukan di masa kini.

Beberapa pertanyaan yang diajukan cukup provokatif. Misalnya, dia bertanya bagaimana komputer dan robot mengubah makna menjadi manusia? Bagaimana kita menghadapi epidemi hoaks atau fake news? Apakah nasionalisme dan agama masih relevan? Apa yang harus kita ajarkan pada anak-anak kita pada saat algoritma teknologi jauh lebih memahami segala hal tentang keingintahuan anak kita ketimbang kita sendiri?

Harari mendiskusikan beberapa topik-topik aktual yang ramai dibahas masyarakat dunia, mulai dari isu bangkitnya nasionalisme, yang dipicu oleh kebijakan politik Donald Trump dan Vladimir Putin. Isu lain adalah imigrasi, terorisme, perang, hingga disrupsi teknologi. 

Dalam banyak argumen, saya temukan beberapa dilema manusia modern. Misalnya, di saat manusia tengah merayakan kebebasan dan ideologi liberalisme, di sisi lain ada revolusi kembar dalam teknologi informasi dan bioteknologi yang membuat manusia kehilangan kebebasannya. Revolusi ini menyebabkan banyak orang kehilangan kebebasan, dan kesetaraan manusia. Pesatnya perkembangan artificial intelligence (kecerdasan buatan) akan merenggut dunia bisnis dan menghilangkan pekerjaan banyak orang. 

Selain itu, algoritma Big Data membuat kekuasaan terkonsentrasi pada sedikit orang yang kemudian mengendalikan dunia politik dan dunia sosial sehingga manusia lain tak lebih dari sekadar sasaran produk serta banjirnya informasi yang menyesatkan. 

Posisi buku ini lebih kritis dalam memandang teknologi, sebab menawarkan banyak kemudahan, termasuk prediksi tentang usia manusia yang seolah akan abadi dikarenakan kemajuan bioteknologi yang bisa memindai tubuh manusia dan mengetahui biometrik, lebih dari yang diketahui manusia atas tubuhnya. 

Tapi di sisi lain, buku ini agak pesimis melihat semakin melemahnya manusia berhadapan dengan kecerdasan buatan yang perlahan akan mengambil alih semua pekerjaan. Mesin digital akan melaksanakan semua pekerjaan, robot akan bekerja tanpa mengenal kata istirahat, dan teknologi Big Data akan selalu membuat keputusan terbaik di tengah ribuan arus informasi dan data yang mengalir.

Saya menyenangi argumentasi tentang siapa yang memiliki data akan memiliki masa depan. Dulu, pada era agrikultur, aset paling berharga adalah tanah. Di era modern, mesin dan pabrik menjadi lebih penting. Inilah yang menjadi titik analisis dari Karl Marx tentang kelas borjuis dan proletar. 

BACA: Nicholas Carr dan Era Bodoh di Internet 

Tapi di era sekarang, aset terpenting adalah data, menggeser tanah dan industri. Bahkan politik menjadi arena untuk merebut dan memperjuangkan kontrol atas data. Aktivitas manusia modern tak bisa lepas dari data. Bahkan ketika kita bepergian sekali pun, kita mempercayakan pada Google dan Waze untuk memandu perjalanan kita.

Jika melihat peta politik sekarang, maka pemenangnya adalah siapa yang bisa mengendalikan algoritma dan data sehingga bisa pesan-pesan bisa menjadi peluru yang ditembakkan pada masa yang tepat. Kita sudah melihat bagaimana kemenangan Trump yang diikuti skandal atas bocornya data Facebook ke Cambridge Analytica.

Tak cuma politik. Di dunia bisnis, semua orang tak berdaya berhadapan dengan kedigdayaan Google dan Facebook yang mengontrol semua lalu lintas data di situ. Dua perusahaan raksasa ini punya algoritma yang mengendalikan mana informasi yang dilihat orang-orang dan mana yang bukan. Ibarat pedagang, Google bisa memilih produk mana yang disimpan di etalase.

Persoalannya, banyak negara yang dituntut untuk melakukan nasionalisasi data sehingga mengurangi kekuatan perusahaan besar. Inilah kondisi yang bisa menyebabkan lahirnya kediktatoran digital. Politisi ibarat dirigen yang mengendalikan orkestra manusia melalui data. Ketika mereka men-tweet, tiba-tiba saja publik heboh. 

Ketika mereka memosting di media sosial, kerusuhan bisa terjadi. Bahkan ketika mereka memberi komentar, kebencian muncul di mana-mana. Inilah situasi kediktatoran digital di mana seseorang mengendalikan semua arus informasi, melakukan rekayasa, sehingga kita semua berada di era post-truth atau pasca-kebenaran. 

Penjelasan Harari tentang post-truth juga menarik. Beberapa ahli mendefinisikan ini terjadi pasa masa sekarang ketika terjadi limpahan informasi. Harari menilai sejak awal kemunculan manusia, maka manusia sudah berada di era post-truth. Sebab kekuatan manusia selalu bergantung pada penciptaan dan keyakinan pada fiksi.

Dalam buku Sapiens dan Homo Deus, dia juga sudah menjelaskan, yang membedakan spesies kita dengan hewan adalah kemampuan kita untuk membuat fiksi yang memungkinkan kita untuk bekerja dalam skala kolektif yang besar. Fiksi akan selalu ada di sekitar kita di setiap zaman. Dulu orang percaya pada dewa, iblis, setan, hingga malaikat. Keyakinan itu lalu memandu manusia menjalani kehidupan. Kini, orang juga percaya pada fiksi seperti uang, negara, korporasi, pengadilan, hingga Google dan Facebook.

BACA: Pokemon Go, Game, dan Kecerdasan Generasi Internet

Bagian yang provokatif adalah ketika dia mengatakan bahwa “Ketika orang percaya pada satu berita bohong, maka itu dinamakan hoaks. Namun ketika orang percaya pada cerita yang dibuat-buat selama beribu-ribu tahun, maka itu adalah agama.” 

Saya melihat pernyataan itu sebagai teka-teki ilmiah yang menarik untuk didiskusikan. Dia memberikan banyak argumentasi atas pendapatnya. Meskipun dia menilai agama mengajarkan fiksi yang penuh berita dibuat-buat, tapi dia tidak mengingkari fungsi agama yang bisa menyatukan manusia lintas negara dan ras, serta bisa menggerakkan peradaban.

Dia memberi contoh beberapa katedral yang menjulang. Meskipun menurutnya bersumber dari fiksi, tapi bangunan berbentuk katedral dan ribuan lahirnya bisa muncul sebab manusia meyakini fiksi itu sebagai realitas.

Overall, saya menyukai pembahasan Harari yang sangat luas. Tak cuma bahas sejarah, tapi juga banyak aspek, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga agama. Beberapa pertanyaan di sini membuat saya tertegun. 

Apakah kita masih punya kebebasan ketika big data selalu mengawasi kita? Apakah kita masih jadi manusia yang punya kebebasan ketika artificial intelligence bisa memahami kita dengan amat baik lebih dari pemahaman kita pada diri sendiri? Bagaimana menghadapi kediktatoran digital yang sekarang sudah mulai muncul di lapangan politik dan bisnis? 

Pertanyaan ini memang tak mudah dijawab. Seperti kata Harari, terhadap banyak persoalan global, seperti perubahan iklim, krisis ekologi, dan disrupsi teknologi, maka manusia harus menghadapinya secara bersama-sama. Manusia harus kembali membangun cerita-cerita kolektif yang bisa menyatukan semua bangsa sehingga semua sumber daya bisa dikerahkan untuk mengatasi berbagai soal itu. 



Sayangnya, saya tak begitu menyukai bab terakhir atau semacam kesimpulan buku ini. Harari menekankan pada pentingnya meditasi untuk melihat kembali perjalanan manusia di tengah jutaan informasi yang mengalir setiap saat. Sepanjang buku, kita dijejali dengan berbagai fakta, serta kekhawatiran, tiba-tiba saja di akhir buku, yang kita temukan adalah argumentasi klasik seperti halnya agama.

Kita seakan berlari dan mendaki satu gunung untuk menemukan semacam firdaus, tapi ternyata yang kita temukan bukan apa-apa. Kita hanya menemukan satu gundukan tanah, yang memberi kita keluasan pandang untuk melihat kembali apa-apa yang sudah dilalui. 

Bagian ini mengingatkan saya pada bab awal buku Thank You for Being Late yang ditulis Thomas L Friedman yang berterimakasih pada temannya yang terlambat datang ketika janjian sehingga dia ada waktu untuk merenungi banyak aspek yang berlarian di kehidupannya.

BACA: Empat Buku Thomas L Friedman

Mungkin demikian halnya di era serba digital ini. Yang hilang ataupun perlahan dikooptasi mesin adalah kesadaran kita sebagai spesies. Yang hilang adalah perenungan dan kontemplasi atas apa yang sudah dilalui, sebab semua mesin dan perangkat artificial intelligence jelas tak punya kesadaran. Mereka hanya bisa memproses informasi dan memberikan rekomendasi, namun tak bisa diajak bicara mengenai eksistensi manusia dan apa dilema moral dari setiap perubahan.

Sebagaimana saya katakan di awal, buku ini buat ketagihan. Ibarat es krim, kita tak puas mencicipinya. Sesuai membaca buku ini, saya rajin menonton banyak presentasi dan diskusi Harari di banyak lembaga, termasuk di kantor Google yang dihadiri banyak insinyur pengembang kecerdasan buatan. Seperti biasa, saya selalu terkesima melihatnya.





Musisi Jenius yang Menyayangi Kucing




KISAH Freddy Mercury dalam film Bohemian Rhapsody bukan saja menjadi nostalgia pada lagu-lagu Queen yang pernah menyihir dunia, melainkan menjadi gerbang untuk menelusuri sisi paling manusiawi dari seorang Freddy. 

Biarpun dia seorang Parsi yang berasal dari keluarga penganut Zoroaster, tapi dirinya kemudian menjadi ikon Inggris. Dia seorang pencinta kucing yang saat konser di negeri lain sering menelepon hanya untuk mendengar suara kucingnya. 

Dia seorang yang rapuh dan selalu bergerak meninggalkan zona nyamannya. Dia seorang yang tunduk pada alkohol dan pergaulan bebas sesama jenis. Tapi dia seorang sosok jenius di dunia musik yang suaranya selalu melekat di benak jutaan penggemarnya. 

Lelaki bergigi tonggos ini juga seorang pencinta yang gagal, yang hanya bisa mengenang kekasihnya melalui lagu “Love of My Life.” Dia menyebut berkat adanya ekstra empat gigi seri itu, suaranya bisa melengking hingga mencapai empat oktaf.

Apa pun itu, dia adalah sosok penting yang membawa musik rock ke arah baru yang amat menghibur. Dia menggabung berbagai genre, termasuk memasukkan unsur musik opera, paduan suara, diksi yang tidak umum, hingga nada-nada dan standar musik yang ingin digapainya.

Saya menonton film ini dengan perasaan yang penuh nostalgik. Banyak lagu Queen yang sangat familiar dan menjadi abadi di lintasan sejarah. Lagu-lagunya unik dan tidak biasa. Saya tak terkejut jika lagu-lagunya akan selalu dinyanyikan generasi setelahnya.

Sepanjang film, saya beberapa kali bersenandung lagu Queen yang saya sukai. Tak cuma Bohemian Rhapsody, tapi juga We are the Champion, We Will Rock You, Radio Gaga, hingga lagu-lagu romantis seperti Somebody to Love, Crazy Little Thing Called Love, dan Love of My Life.

Saya tak ingin mengulas aspek sinematografi dan akting pemainnya. Juga tak ingin membahas cerita. Saya percaya bahwa akan sulit menyajikan satu kisah yang memuat semua aspek kehidupan seseorang. 

Jujur, pemain film ini sangat mirip dengan aslinya. Bahkan gestur dari pemeran Freddy Mercury ini membuat hati dipenuhi rasa rindu pada penyanyi hebat itu. Sempat saya berpikir bahwa Brian May ikut main di film ini dan berperan sebagai dirinya. Kaget juga pas lihat di Youtube, ternyata orangnya sudah tua.

Yang paling nikmat dari film ini bukan cuma lagunya, tapi kisah perjalanan dan satu lanskap sosial tempat seseorang tumbuh dan menjulang tinggi. Setiap orang punya  bakat hebat yang hanya bisa tampil jika berada pada kondisi yang tepat. 

Freddy bersama Delilah, kucing setianya

Saya teringat kolumnis Malcolm Gladwell. Dalam buku Outliers, dia menjelaskan, kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Gladwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan. Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek menjadi yang tertinggi di hutan bukan semata-mata karena dia paling gigih. 

Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Jika teori ini diterapkan untuk seorang Freddy Mercury, maka kita akan melihat kasus yang unik. Dia tumbuh di tengah keluarga yang terlalu mengekang. Orang tuanya bersikap konservatif yang menginginkan anaknya agar disiplin dan menjadi orang Parsi yang baik.  Dia seorang pemberontak yang bengal dan memilih meninggalkan rumah. Bahkan dia menanggalkan nama Farroukh karena menggantinya dengan Freddy.

Hingga suatu hari, bertemulah dia dengan dua mahasiswa serius yang sedang merintis grup band. Mahasiswa itu adalah Brian May, seorang gitaris yang juga sedang belajar astrofisika hingga tingkat PhD. Satunya lagi adalah Roger Taylor yang tengah belajar kedokteran gigi.

Berbeda dengan Freddy, dua rekannya ini berasal dari keluarga mapan. Brian May tak cuma intelektual, tapi juga lahir dari ayah yang keluaran Teknik Elektro. Demikian juga dengan Roger. 

Berasal dari kelas sosial yang lapis bawah itu tidak membuat Freddy minder. Percaya dirinya tinggi. Dia mendatangi Brian dan meyakinkannya untuk sama-sama membentuk band. Sejarah grup musik Queen bermula di sini.

Freddy menjadi pemimpin dan menentukan arah grup band itu. Dia mencipta lagu, menentukan aransemen yang tepat, hingga rajin mengamati apa yang diinginkan para pencinta musik. Bersama rekannya, dia menemukan chemistry untuk jadi bintang besar, bahkan legenda.

Saya selalu suka melihat penampilannya di kanal Youtube. Ketika bernyanyi, dia selalu larut dengan apa yang dinyanyikannya. Penghayatan dan vokalnya setingkat dewa-dewa.  Gesturnya seperti para sufi yang sedang bermeditasi dan larut dengan aktivitas itu. 

BACA: Iwan Fals: Voice of Rebellion

Selain itu, gerak tubuhnya juga penuh energi. Dia menjadikan panggung sebagai arena ekspresi yang mengeluarkan semua potensi terbaiknya. Pantas saja jika penampilan Queen di panggung selalu ditahbiskan sebagai penampilan terbaik di abad ini.

Dalam beberapa referensi yang saya baca, aslinya Freddy adalah seorang pemalu. Dia pendiam dan tak banyak cakap. Ketika sedang berada di rumah, dia lebih sibuk bersama kucingnya Delilah. Tapi saat berada di panggung, dia menjadi figur berbeda. Dia akan penuh energi, menari, dan bertingkah dengan lepas. Dia menjadi magnet di tengah penampilan rekannya yang biasa saja. 

Saya yakin kawan-kawannya inilah yang menjadi lahan gembur bagi pertumbuhan potensinya. Dalam setiap perdebatan saat latihan, dia menguji setiap argumentasi hingga menemukan adonan rasa musik yang pas dan mudah diterima siapa pun. Dalam setiap latihan, mereka akan berdebat dan bertengkar demi menemukan komposisi yang tepat.

Saya teringat teori Gladwell yang lain yakni “hukum 11.000 jam.” Gladwell menyebut kesuksesan The Beatles adalah berkat latihan spartan selama 11.000 jam. Dia menyebut periode ketika The Beatles manggung di berbagai kafe hingga keliling kampus dan kota. Menurutnya, kesuksesan itu didapatkan dari kerja keras serta disiplin selama bertahun-tahun.

salah satu adegan film

Nah, kisah Queen juga bisa dilihat dari sisi ini. Selama bertahun-tahun, Freddy manggung di berbagai kampus, hingga akhirnya tur ke berbagai kota. Bermula dari rekaman satu album, grup vokal ini kian besar dan diundang ke mana-mana. Sepanjang perjalanan itu, mereka selalu bereksperimen pada berbagai genre musik sehingga menemukan komposisi yang pas.

Freddy juga seorang pebisnis yang visioner. Dijualnya mobil tua yang dipakai band itu agar bisa menyewa studio rekaman. Hingga akhirnya seorang produser datang dan hendak memodali mereka. Saat seorang produser bertanya, apa keunikan Queen, grup yang dibentuknya, Freddy menjawab, “We belong to them.” Maksudnya, Queen akan mengikuti selera pasar. 

Pada masa itu, Freddy sudah memahami marketing. Jika ingin laku, maka kenali pasar dan seleranya. Dalam satu adegan film, dia mengolok Brian May yang seorang doktor di bidang astrofisika, tapi hanya menghasilkan tulisan yang dibaca sangat sedikit orang di bidang itu.

Tapi Freddy memang manusia unik. Dia tak ingin sekadar mengikuti apa keinginan pasar. Dia punya obsesi lebih dari itu. Dia ingin membentuk selera pasar. Dia punya idealisme musik yang ingin menggabung banyak genre, melakukan eksplorasi dan eksperimen, hingga membuat jenis musik yang belum pernah dibuat band rock mana pun. Dia punya cita rasa musik yang perlu diaktualkan demi membuat sejarah.

Lagu Bohemian Rhapsody mewakili semua ambisi Freddy untuk membuat sesuatu yang beda. Dia berani menggabung unsur pop, rock, hingga opera dalam satu aransemen. Dia juga berani membuat lagu yang berdurasi enam menit, padahal di masa itu, rata-rata lagu sepanjang tiga menit.

Lagu itu mendapat penolakan para produser sebab diyakini akan ditolak oleh radio yang mensyaratkan durasi tiga menit. Lagu itu juga dianggap tidak punya genre yang jelas. Ada unsur pop, musik opera, hingga rock yang kental. Saya ketawa geli saat produser memprotes banyak istilah-istilah yang tidak dimengertinya di lagu itu, misalnya “scaramous” dan “bismillah.” 

Freddy tak bergeming. Baginya, musik adalah soal citra rasa dan selera tinggi yang menunjukkan kelas pendengarnya. Baginya, musik yang ditawarkan Queen adalah musik berkelas yang bisa dinikmati sebagaimana opera yang megah. 

Ketika satu radio berani memutar lagu itu, sejarah pun berubah. Dalam waktu singkat, lagu itu dikenal dan menyebar ke mana-mana. Queen semakin sukses dan dikenal. Personelnya mulai kaya-raya. Mereka merajai panggung hingga membuat Freddy lupa diri.

Setelah menjadi kaya, persoalan tak lantas selesai. Freddy mulai egois dan meninggalkan temannya. Orientasi seksualnya mulai berubah. Pasangannya pergi dan membiarkan Freddy tenggelam dalam hidup yang serba urakan. Penyakit HIV perlahan menggerogoti tubuhnya.

Klimaks dari film ini adalah ketika Freddy kembali bersama rekan-rekannya dan ingin tampil dalam konser Live Aid pada tahun 1985 yang hendak memberikan bantuan bagi warga miskin di Afrika. Bagi para pengamat musik, inilah konser terbesar dalam sejarah yang disebut menjadi panggung terbaik Queen. Di konser yang dihadiri semua penyanyi rock dan pop papan atas, Queen menjadi grup band paling atraktif yang paling disukai semua orang.

Dalam versi film, Freddy memberitahu rekannya kalau dirinya telah diserang AIDS sebelum konser. Padahal dalam versi sesungguhnya, dia diketahui menderita AIDS dua tahun setelah konser legendaris yang seolah menjadi milik Queen itu.

Kisah Freddy Mercury ini bisa dilihat sebagai tragedi seorang manusia. Bermula dari warga kelas bawah yang mencari ruang bermain, hingga menjadi legenda di dunia musik. Bermula dari figur yang pemalu, lalu menjadi penyanyi dengan aksi panggung memukau.

Tapi kisahnya juga memiliki sisi gelap. Beberapa orang yang berlatar kelas bawah kemudian sukses sering mengalami dilema saat di puncak karier. Di dunia sepakbola, Maradona adalah sosok yang punya banyak kontroversi saat berada di puncak karier. 

Saya menduga itu adalah bawaan dari sikap yang selalu menolak kemapanan. Berilah karakter seperti Freddy satu tantangan, maka semangatnya akan meluap-luap untuk membatasinya. Tapi berilah dia kemapanan, saat itu dia akan kehilangan dirinya, larut dalam gaya hidup, serta kehilangan banyak teman.

salah satu aksi panggung Freddy yang ikonik

Hal-hal seperti ini yang membuat kisah satu tokoh menjadi sangat manusiawi. Freddy bukan seorang Superman yang selalu kuat menghadapi apa pun. Dalam banyak sisi, dia seorang rapuh yang harus berjuang untuk keluar dari belitan masalah yang muncul dari sikap percaya diri terlampau berlebihan sehingga menjadi egoisme akut.

Pada akhirnya, dia seperti anak kecil yang merengek mencari mainan baru, dan ketika mendapatkannya dia lupa sekelilingnya. Hingga suatu saat, dia menyadari bahwa bukan mainan itu yang paling penting, melainkan orang-orang terkasih yang selama ini menjadi embun yang membasahi jiwanya. 

Ketika ditinggalkan banyak orang, di situlah dia menjadi dirinya sendiri. Dia merenung dan memikirkan betapa banyaknya hal penting yang selama ini dia abaikan. 

Saya menyukai adegan ketika dia sendirian di satu ruangan dan memikirkan banyak hal yang meninggalkannya sendiri. Sayup-sayup terdengar petikan lembut gitar Brian May, serta suara Freddy yang mengalun pelan:

Love of my life, 
you’ve hurt me 
You’ve broken my heart 
and now you leave me 
Love of my life can’t you see 
Bring it back, bring it back 
Don’t take it away from me  
because you don’t know 
what it means to me