PULUHAN tahun silam, Bung Hatta pernah menyebut korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah. Ibarat kanker, korupsi sudah berada pada stadium ketiga, stadium ketika sesama koruptor saling memangsa.
Sekian puluh tahun perjalanan bangsa Indonesia, korupsi tak juga hilang dari pusaran birokrasi dan pemerintahan. Kekhawatiran Hatta tak juga teratasi seiring dengan masih hadirnya praktek korupsi di berbagai level organisasi.
Parahnya, korupsi telah menjelma menjadi satu culture (kebudayaan) yang menjadi pengabsah prilaku ini. Sebagai budaya, korupsi seakan diterima tanpa reserve sebagai pola atau struktur yang berlaku dalam pemerintahan. Jadilah korupsi sebagai sesuatu yang terlembagakan.
Ditabuhnya genderang reformasi telah membersitkan satu harapan baru akan masa depan negeri tanpa korupsi. Sayangnya, gerak maju bangsa di era reformasi tak juga mampu memangkas habis korupsi. Malah, struktur melembaga itu terus terwariskan dari rezim satu pada rezim yang lain.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla mengumbar banyak janji untuk memberantas korupsi. Payung hukum pemberantasan korupsi langsung diteken berupa Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang kemudian melahirkan lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga ini langsung menggebrak. Sejumlah kasus korupsi langsung dibawa ke persidangan dan divonis. Jika tahun 2004 tidak ada kejutan dalam hal penanganan kasus korupsi, maka tahun 2005 adalah musim semi bagi kasus pemberantasan korupsi.
Berbagai aksi KPK membuat publik terkejut. Awal April 2005, publik sempat tercengang dengan tertangkapnya anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana Wira Kusumah yang berbuntut dengan diungkapnya berbagai praktik korupsi di tubuh KPU.
Selang beberapa waktu kemudian, pengacara Abdullah Puteh, Teuku Syaifuddin Popon, dan dua panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ditangkap KPK karena terlibat dalam aksi menyuap menerima suap untuk memperlancar perkara Puteh.
Meskipun, banyak pihak menuding kalau kinerja yang tampak masih pada penindakan hukum sedangkan kinerja kementerian belum terlihat.
Namun, aksi itu dinilai banyak kalangan sebagai musim semi di tengah ilim gersangnya penegakan hukum.
KPK pun kembali menunjukkan aksinya ketika menangkap pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso, dan lima pegawai Mahkamah Agung (MA) yang terlibat dari transaksi pemberian dan penerimaan uang senilai Rp 6 miliar.
Buntut dari penangkapan keenam orang ini, KPK menggeledah ruangan tiga hakim agung, termasuk ruangan Ketua MA Bagir Manan.
Tujuannya mencari alat bukti yang bisa memberi petunjuk baru adanya dugaan keterlibatan dari para hakim agung yang menangani perkara kasasi Probosutedjo. Terakhir, ketiga hakim agung termasuk Ketua MA diperiksa KPK.
Para hakim pun berteriak menolak cara-cara penggeledahan KPK. Teriakan para hakim disambut dengan kritikan keras dari kelompok antikorupsi yang meminta Mahkamah Agung tidak bersikap resisten jika berkomitmen untuk mereformasi peradilan.
Sayangnya, komitmen KPK tidak banyak didukung lembaga eksekutif dan legislatif yang masih setengah hati. Ini terlihat belum adanya kemauan mereformasi sistem birokrasi dan peradilan. KPK menilai masih ada penyekat-penyekat yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas mengakui itu. Dalam satu wawancaranya, ia mengatakan, komitmen dari lembaga lain sangatlah lemah sehingga KPK terkesan jalan sendirian.
Padahal, sebagai satu struktur yang melembaga, korupsi perlu didekati lewat berbagai angle dan melibatkan seluruh stake holder, tidak sekadar KPK.
Keterlibatan para pejabat negara, seperti pejabat direktorat jenderal (ditjen) anggaran departemen keuangan, DPR, dan auditor BPK dalam pencairan anggaran dengan praktik memberikan uang "jasa" hanya dipandang sebagai kesalahan oknum belaka.
Tidak ada upaya sedikit pun dari eksekutif untuk memperbaiki kesalahan sistem yang ada, baik
sistem birokrasi maupun sistem keuangan negara.
Tak hanya itu, KPK juga dituding pilih kasih sebab hanya menuntaskan kasus-kasus korupsi seperti KPU dan MA. Sementara sejumlah kasus korupsi "kakap" misalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) justru terlewati dan tidak tersentuh.
Lantas, jika tak ada reformasi kelembagaan dan penataan sistem, apakah negeri tanpa korupsi akan menjadi mimpi di siang hari? Semuanya berpulang pada upaya tegas dari pemerintah untuk meletakkan pondasi yang kukuh di tahun 2006.(yusran darmawan)
Sekian puluh tahun perjalanan bangsa Indonesia, korupsi tak juga hilang dari pusaran birokrasi dan pemerintahan. Kekhawatiran Hatta tak juga teratasi seiring dengan masih hadirnya praktek korupsi di berbagai level organisasi.
Parahnya, korupsi telah menjelma menjadi satu culture (kebudayaan) yang menjadi pengabsah prilaku ini. Sebagai budaya, korupsi seakan diterima tanpa reserve sebagai pola atau struktur yang berlaku dalam pemerintahan. Jadilah korupsi sebagai sesuatu yang terlembagakan.
Ditabuhnya genderang reformasi telah membersitkan satu harapan baru akan masa depan negeri tanpa korupsi. Sayangnya, gerak maju bangsa di era reformasi tak juga mampu memangkas habis korupsi. Malah, struktur melembaga itu terus terwariskan dari rezim satu pada rezim yang lain.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla mengumbar banyak janji untuk memberantas korupsi. Payung hukum pemberantasan korupsi langsung diteken berupa Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang kemudian melahirkan lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga ini langsung menggebrak. Sejumlah kasus korupsi langsung dibawa ke persidangan dan divonis. Jika tahun 2004 tidak ada kejutan dalam hal penanganan kasus korupsi, maka tahun 2005 adalah musim semi bagi kasus pemberantasan korupsi.
Berbagai aksi KPK membuat publik terkejut. Awal April 2005, publik sempat tercengang dengan tertangkapnya anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana Wira Kusumah yang berbuntut dengan diungkapnya berbagai praktik korupsi di tubuh KPU.
Selang beberapa waktu kemudian, pengacara Abdullah Puteh, Teuku Syaifuddin Popon, dan dua panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ditangkap KPK karena terlibat dalam aksi menyuap menerima suap untuk memperlancar perkara Puteh.
Meskipun, banyak pihak menuding kalau kinerja yang tampak masih pada penindakan hukum sedangkan kinerja kementerian belum terlihat.
Namun, aksi itu dinilai banyak kalangan sebagai musim semi di tengah ilim gersangnya penegakan hukum.
KPK pun kembali menunjukkan aksinya ketika menangkap pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso, dan lima pegawai Mahkamah Agung (MA) yang terlibat dari transaksi pemberian dan penerimaan uang senilai Rp 6 miliar.
Buntut dari penangkapan keenam orang ini, KPK menggeledah ruangan tiga hakim agung, termasuk ruangan Ketua MA Bagir Manan.
Tujuannya mencari alat bukti yang bisa memberi petunjuk baru adanya dugaan keterlibatan dari para hakim agung yang menangani perkara kasasi Probosutedjo. Terakhir, ketiga hakim agung termasuk Ketua MA diperiksa KPK.
Para hakim pun berteriak menolak cara-cara penggeledahan KPK. Teriakan para hakim disambut dengan kritikan keras dari kelompok antikorupsi yang meminta Mahkamah Agung tidak bersikap resisten jika berkomitmen untuk mereformasi peradilan.
Sayangnya, komitmen KPK tidak banyak didukung lembaga eksekutif dan legislatif yang masih setengah hati. Ini terlihat belum adanya kemauan mereformasi sistem birokrasi dan peradilan. KPK menilai masih ada penyekat-penyekat yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas mengakui itu. Dalam satu wawancaranya, ia mengatakan, komitmen dari lembaga lain sangatlah lemah sehingga KPK terkesan jalan sendirian.
Padahal, sebagai satu struktur yang melembaga, korupsi perlu didekati lewat berbagai angle dan melibatkan seluruh stake holder, tidak sekadar KPK.
Keterlibatan para pejabat negara, seperti pejabat direktorat jenderal (ditjen) anggaran departemen keuangan, DPR, dan auditor BPK dalam pencairan anggaran dengan praktik memberikan uang "jasa" hanya dipandang sebagai kesalahan oknum belaka.
Tidak ada upaya sedikit pun dari eksekutif untuk memperbaiki kesalahan sistem yang ada, baik
sistem birokrasi maupun sistem keuangan negara.
Tak hanya itu, KPK juga dituding pilih kasih sebab hanya menuntaskan kasus-kasus korupsi seperti KPU dan MA. Sementara sejumlah kasus korupsi "kakap" misalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) justru terlewati dan tidak tersentuh.
Lantas, jika tak ada reformasi kelembagaan dan penataan sistem, apakah negeri tanpa korupsi akan menjadi mimpi di siang hari? Semuanya berpulang pada upaya tegas dari pemerintah untuk meletakkan pondasi yang kukuh di tahun 2006.(yusran darmawan)