Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Raim Laode, Komang, dan Suara-Suara Lirih dari Timur Indonesia

Raim Laode

Di satu kafe di kawasan Sudirman, Jakarta, saya mendengar lagu itu mengalun. Samar-samar terdengar kalimat: “Dan apabila tak bersamamu, Ku pastikan kujalani dunia tak seindah kemarin.”

Seorang kawan berbisik, “Kau tahu siapa yang nyanyi? Itu La Raim. Dia yang tulis dan nyanyikan lagu Komang.” Saya tersentak. “Raim Laode? Yang dulu pernah kita undang tampil standup?” Iya. Kawan itu mengiyakan.

Luar biasa. Anak muda yang tadinya hanya wara-wiri di Sulawesi Tenggara, kini telah menjadi pemusik ibukota. Anak muda yang tadinya hanya pandai melucu di acara standup comedy, kini telah melebarkan sayap ke dunia tarik suara.

Lebih dua bulan ini, saya mendengar lagu di berbagai kafe ibukota. Rupanya penyanyinya adalah Raim Laode, anak muda asal Wakatobi. Dia lebih dulu populer sebagai komika.

Dulu, saya dan kawan-kawan mengundangnya tampil membawakan standup di satu kegiatan di Baubau. Dia belum seterkenal sekarang. Dia malah cium tangan pada saya. Kini, banyak cewek siap antri hanya untuk selfie dengannya.

Dia sudah jauh di atas angin. Lagu-lagunya sudah viral dan diunduh jutaan orang Indonesia. Lagunya merajai tangga lagu di Spotify, disulih-ulang dalam berbagai versi, bahkan dinyanyikan di panggung Indonesian Idol.

Dia laris diundang sebagai bintang tamu di berbagai penyedia podcast. Mulai dari Anji Drive hingga Menteri Sandiaga Uno mengundang Raim demi berbagai inspirasi. Dia pun rutin mendapat undangan menyanyi di berbagai kota.

Yang menarik, Raim bukanlah produk dari sekolah-sekolah musik yang menjamur di berbagai kota. Bukan pula bakat yang mencuat dari satu ajang kompetisi. Dia juga tidak sedang dalam asuhan atau mentoring musisi ternama. Malah belum pernah bergabung dengan label perusahaan rekaman.

Saya bayangkan Raim menulis lirik di tengah hembusan angin laut Wakatobi. Mungkin saja ilham syairnya muncul saat tengah duduk di atas koli-koli atau sampan kecil di pesisir Pulau Wanci, atau saat memancing ikan di sekitar Pulau Kapota.

Dia tidak tumbuh dalam ekosistem dengan infrastruktur yang memadai. Sebagaimana pengakuannya pada Anji Drive, dia menulis lirik lagu dalam situasi penuh keterbatasan. Justru keterbatasan itulah yang membuatnya bisa rileks dan mengasah energi kreativitas hingga menulis lirik Komang, yang kata soerang kawan, bisa bikin orang lain jatuh cinta berkali-kali.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak anak muda Kepulauan Buton yang tampil ke pentas hiburan nasional. Sebelum Raim Laode, ada nama-nama seperti Fildan di pentas musik dangdut, Waode Heni di ranah musik pop, juga Ari Kriting yang sukses di pentas komedi, lagu menjadi aktor papan atas.

Mereka tumbuh dari nol, dari ekosistem kreatif di daerah Mereka tidak perlu meniru-niru logat Jakarta, tetapi memakai akses khas Buton dan Wakatobi, yang familiar di timur Indonesia, lalu menjadi identitasnya. Mereka tampil apa adanya, sesuatu yang kemudian membuat mereka punya karakter lokal yang kuat.

Keping Inspirasi

Yang menarik, inspirasi kreatif itu muncul dari realitas di sekelilingnya. Sebagai komika, Ari Kriting dan Raim Laode tampil dengan tema-tema segar khas Indonesia timur. Mereka menyoal jalan rusak, listrik yang sering mati, ketiadaan sinyal, hingga stereotype orang Jakarta terhadap orang timur.

Ya, Raim sering menyampaikan kritik atau sindiran pada orang-orang Jakarta dalam melihat orang Timur. Dia menjadikan dirinya sebagai bahan olok-olok, sembari menyelipkan pesan-pesan cerdas di baliknya.

Sering dia membahas kulit gelap, yang dipandang rendah oleh masyarakat di belahan barat yang berkulit lebih terang. Dalam satu penampilan di StandUp, dia pernah bilang: “Kamu akan diolok karena kurang putih. Tapi ada kelebihanmu yakni lebih hitam. Susah dapat cewek karena cewek kota tidak mau dengan pemuda berkulit redup.”

Ini sindiran telak bagi bangsa kita yang puluhan tahun dijajah oleh mereka yang berkulit terang, lalu memandang pemilik kulit terang sebagai pemilik kasta lebih tinggi.

Lihat saja bagaimana pihak korporasi memanfaatkan anggapan terhadap kulit terang itu dengan meluncurkan berbagai produk pemutih. Lihat saja layar kaca kita yang didominasi mereka yang terang. Sementara kulit gelap identik dengan kampungan, dianggap selalu bekerja di bawah terik matahari, dipandang hina.

Namun, kritik terbaik yang dilancarkan Raim adalah betapa timpangnya pembangunan antara Indonesia barat dan timur. Dia banyak memakai ilustrasi dan eufimisme sederhana. Misalnya bagaimana ATM di Wakatobi yang menjadi penanda kemajuan.

“Wakatobi, geografis keras, panas. Satu rumah satu matahari. Pembangunan sudah pesat. Sudah ada mesin ATM dgn AC di dalam. Ini bagus. Pemerintah mencanangkan program mendukung masyarakat berteduh dari kepanasan,” katanya.

Dia juga balik mengolok-olok orang Jakarta, yang di tahun 2020 pernah mengalami listrik padam hingga tujuh jam. Saat itu, semua orang mengeluh dan melampiaskan kekesalan di berbagai kanal media sosial.

Dengan cerdas, Raim menanggapinya: “Orang Jakarta terlalu lemah. Waktu mati lampu, semua mengeluh. 7 jam saja. Semua update status. Di kampungku, tujuh abad lampu belum hidup. Saya standup belum tentu mamaku nonton karena mati lampu. Percuma terkenal di sini, mamaku tidak tahu. Listrik menyala, belum tentu update status. Jaringan tetap mati.”

Dengan tema lawakan yang segar ini, dia hendak menyampaikan problem di timur yang selama ini terabaikan. Kita terlalu sibuk menyoroti padamnya listrik di kota, padahal di timur, orang mengalami kenyataan itu dengan lebih parah. Mereka biasa saja. Justru pemerintah seharusnya malu dan harus mengatasi kelangkaan infrastruktur ini.

Dia juga menyoroti problem ketiadaan lapangan kerja di pulau-pulau sehingga anak muda tidak punya profesi lain, selain menjadi nelayan. “Karena di pesisir, profesi hanya dua nelayan dan tangkap ikan. Kami susah dekat cewek. Apalagi kalau pakai gombalan bapak kami. Kita mau kerja apa lagi kalau bukan nelayan,” katanya.

Saya ingat pertemuan dengan beberapa stakeholder kelautan dan perikanan. Banyak data dipaparkan tentang kian jarangnya anak muda yang berprofesi sebagai nelayan. Tidak ada regenerasi di sektor ini, sebab seorang nelayan pun tidak ingin anaknya menjalani profesi yang sama dengannya.

Ada reproduksi sosial yang keliru, di mana profesi nelayan dianggap tidak keren bagi anak muda. Beda halnya dengan profesi sebagai pegawai negeri atau karyawan bank. Anak-anak nelayan memilih profesi lain untuk mobilitas status, termasuk memilih profesi komedian, youtuber, atau kreator konten.

Berkat Raim Laode, dan juga komedian lain seperti Ari Kriting, kita bisa memahami suara-suara lirih di pinggiran republik kita yang selama ini terabaikan. Kita jadi tahu bagaimana perasaan anak-anak muda di Wakatobi di tengah gencarnya publikasi kawasan itu sebagai surga bawah laut.

Kita menemukan representasi dari mereka yang jauh di sana, yang merupakan potret bangsa kita, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kita menerima suara itu sebagai pertanda begitu banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di rumah republik kita.

Sebulan silam, saya berkunjung ke Wakatobi. Sayang, saya tidak sempat jumpa Raim di sana. Namun ada banyak kenyataan di sekitar, yang persis seperti sering disuarakan Raim.

Dari banyak kawan di sana, saya dengar kabar dia lebih banyak di Jakarta. Semoga saja adrenalin kreativitasnya tetap berpijak di kampung halamannya, tetap menggali isu-isu di sekitar rumahnya, tetap bersuara tentang berbagai kenyamanan dan ketidaknyamanan.

Semoga dia tetap timur, di manapun dia berada.



Menjadi Kaya ala NAPOLEON HILL


Baru saya sadari kalau sekian tahun belajar ilmu sosial, lebih banyak membahas masyarakat marginal, terpinggirkan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota. Sangat jarang membahas bagaimana memahami mereka yang kaya raya, crazy rich, dan oligarki.

Pernah, dalam satu simposium ilmu sosial, saya mendengar para pemakalah yang membahas konflik di berbagai pelosok Indonesia. Hampir semua konflik itu disebabkan oleh orang kaya yang bekerja sama dengan aparat negara, lalu menyingirkan rakyat kecil.

Saat itu, saya sempat bertanya, “Kalau problemnya terletak pada orang kaya, kenapa kita jarang membicarakan mereka? Bukankah penting untuk memahami bagaimana prilaku mereka, kebiasaan, serta apa yang mereka inginkan?” 

Begitulah. Kesan saya selama ini, orang kaya selalu culas, jahat, dan mendapat kekayaan dengan cara merampok. Mereka, yang sering disebut kapitalis adalah musuh perjuangan, mereka adalah kaum yang menindas, dan harus dilawan.

Namun setelah membaca buku karya Napoleon Hill yang berjudul Think and Grow Rich, saya pikir anggapan sebelumnya tidak selalu benar. 

Dalam buku yang pertama terbit tahun 1937 ini, Napoleon Hill mewawancarai lebih 500 orang kaya, lalu merumuskan prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka anut dan yakini hingga bisa menggapai kekayaan.

Memang tidak semua orang kaya itu baik, tapi tidak semua juga jahat. Mereka tidak berbeda dengan kaum kebanyakan. Mereka tak ada bedanya dengan kaum miskin.

Bedanya, orang-orang kaya selalu memiliki keyakinan kuat untuk menggapai impiannya. Mereka punya hasrat, melihat masa depan yang hendak digapai, lalu merumuskan langkah-langkah utuk menggapainya. 

Mereka pemimpi besar yang punya keyakinan kuat, lalu menjadikan keyakinan itu sebagai alam bawah sadar, yang memberinya kekuatan untuk melihat celah dan peluang. 

Hill menyebutnya keyakinan ini sebagai autosugesti. Pada mulanya, seseorang membayangkan dirinya punya kekayaan tertentu. Seseorang itu lalu mencatat dan mengulang-ngulang keinginannya itu sehingga tersimpan di alam bawah sadar lalu menjadi hasrat.

Hasrat itu lalu menjadi dorongan kuat baginya untuk bergerak. Dia menjadi lebih peka dengan berbagai peluang, membangun jaringan dengan mereka yang berhasrat sama, hingga mencapai titik kekayaan.

Bagi Hill, rumus klasik yang menyatakan kekayaan adalah hasil dari kerja keras dan kejujuran adalah rumus yang keliru. Kalau sekadar mendapat uang, maka kejujuran dan kerja keras itu penting. 

Tapi untuk menjadi kaya, maka butuh lebih dari itu. Kekayaan adalah hasil yang muncul dari keyakinan dan hasrat kuat, rencana-rencana yang dijalankan, serta membangun tim dengan master mind yang sama. Kekayaan adalah buah dari pikiran, tindakan, dan langkah-langkah terorganisir.

Hill lalu merumuskan 13 langkah untuk menjadi kaya. Di antaranya adalah keyakinan, hasrat, autosugesti, pengetahuan khusus, imajinasi, perencanaan terorganisasi, keputusan, kegigihan, mastermind, pikiran bawah sadar, hingga indra keenam.

Hill tidak percaya ada kekayaan yang jatuh dari langit. Dia juga tidak percaya ada yang disebut keberuntungan atau menang lotre. Menurutnya, keberuntungan dan kekayaan selalu dimulai dari keyakinan, diwujudkan melalui rencana pasti, dan dikejar dengan gigih.

Anda bisa beruntung jika Anda menyiapkan diri Anda untuk itu. Kekayaan akan datang ketika Anda siap menjemputnya, lalu mengubahnya menjadi rencana pasti dan tindakan teorganisir, serta memiliki pengetahuan khusus dan imajinasi.

Sayangnya, banyak orang tidak memilih untuk jadi kaya. Lebih banyak  orang ingin menjalani hidup biasa-biasa, tanpa mengejar hasrat dan ambisi. 

Banyak orang sering salah kaprah dan mengatakan, lebih miskin tapi bahagia. Padahal, kata seorang kawan, jika kaya dan miskin belum tentu bahagia, mending jadi orang kaya. 

Saat membaca buku ini, saya cukup skeptis dan tidak percaya. Saya pikir ini semacam pamflet agar banyak orang mau membeli buku ini. Namun di bagian pertengahan, saya menemukan bahasan menarik tentang “obstacle man” atau orang yang suka mencari rintangan dan kesalahan.

Kata Hill, mereka yang berpotensi kaya adalah mereka yang selalu melihat sisi positif atau peluang dari setiap gagasan. Sementara mereka yang gagal adalah mereka yang selalu melihat kesalahan atau celah negatif dari setiap gagasan, lalu mendebatnya hingga tak menjalankannya.

Di titik ini, saya sadar kalau saya adalah seorang Obstacle Man. Pantasan masih hidup apa adanya, masih jauh dari kekayaan. Saya sih merasa cukup bahagia. Tapi kata seorang kawan, andai kaya raya, pasti akan lebih bahagia. 

Entahlah.



Lima Salah Kaprah Caleg dan Politisi di Arena Perang Udara


Di satu ruangan relawan calon presiden, saya jumpa anak muda itu. Dia berbicara dengan penuh semangat 45. Rupanya namanya sudah terdaftar dalam daftar caleg. Dia bercerita tentang berbagai strategi tempur yang akan dipakai untuk pileg dan pilpres 2024. Dia akan menggempur ruang udara agar kian dikenal.

Saya memintanya menunjukkan aset digital yang dimiliki. Dia memperlihatkan akun media sosial yang dia kelola bersama tim. Baru melihat 10 postingan, saya sudah bisa memastikan kalau akunnya sepi dari pantauan netizen. Dia lemah di media sosial.

Postingannya tidak cukup mengenai sasaran. Ibarat menembak, dia tidak mengenai sasaran. Dia melangkah dalam sepi di tengah hingar-bingar massa yang berjejalan di semua kanal digital. Dia seolah berteriak, tapi orang lain mengabaikannya.

Dulu, pertarungan ide berlangsung di mimbar-mimbar kampanye, rapat terbuka, pengerahan massa, roadshow keliling daerah, baliho dan spanduk, serta aksi-aksi lapangan. Kini, teritori pertarungan akan banyak bergeser di internet, khususnya media sosial.

Di pileg dan pilpres 2024, hampir semua caleg sudah paham betapa dahsyatnya menguasai ruang udara. Tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk baliho dan alat peraga, cukup perbanyak konten, maka semua orang punya kesempatan untuk menyapa jutaan netizen. Namun tak semua orang paham bagaimana mengelola dan memenangkan media sosial.

Beberapa kalangan melansir data, pemilih terbesar adalah generasi milenial. Generasi ini tidak mau didikte di kampanye terbuka yang menghadirkan artis dangdut. Generasi ini lebih suka duduk di rumah atau warung kopi, dengan laptop dan gadget di tangan. Generasi ini lebih suka berselancar di media sosial dan memantau apa yang terjadi di situ. Ketika mereka menyukai satu figur di situ, maka mereka akan tetap memilih figur itu di dunia nyata.

Eric Schmidt, salah seorang bos Google, telah meramalkan fenomena ini. Katanya, dunia sekarang terbagi dua yakni dunia nyata dan dunia maya. Masing-masing dunia punya warga yang beraktivitas.

Kata Eric, ada kecenderungan semua pemilik rumah di dunia nyata ingin membangun rumah di dunia maya yang luas dan tak bertepi. Jika Anda tak punya website, rumah, avatar, atau akun di media sosial, maka Anda tidak eksis. Anda tidak dikenal.

Yang menarik, kata Eric Schmidt, semua perilaku di dunia nyata akan dipengaruhi oleh dinamika wacana di dunia maya. Dalam konteks politik, apa saja yang menjadi wacana di media sosial, pasti akan mempengaruhi wacana di dunia nyata. Itu sudah terjadi di banyak momen politik di tanah air.

Banyak politisi yang masih bertahan dengan pandangan lama. Mereka tidak membuka mata kalau media sosial bisa membawa pengaruh. Kini, saat Covid menyerang dan interaksi serba terbatas, mau tak mau mereka harus merambah media sosial. Mereka laksana orang yang baru berjalan dan tertatih-tatih di dunia baru ini.

Beberapa tim medsos hanya merekrut mantan jurnalis, tanpa membekali tim itu dengan kemampuan riset, membaca trending topic, serta strategi menyiapkan konten. Yang terjadi, akun-akun digital itu produktif, tetapi minim engagement atau interaksi dengan publik.

Salah Kaprah

Sejauh yang saya amati, ada banyak salah kaprah di kalangan politisi dalam melihat media sosial. Saya mencatat beberapa salah kaprah.

Pertama, banyak yang mengira aksi-aksi di media sosial adalah gratisan. Ini salah kaprah yang sering saya temui. Banyak orang yang habis-habisan di kampanye darat, sampai keluar miliaran, tapi giliran kampanye udara, budget-nya ingin gratisan.

Benar, media sosial memang gratis, namun saat Anda ingin ada target besar untuk menjangkau sebanyak mungkin orang di situ, maka Anda harus berani keluar biaya.

Jangkauan media sosial selalu terkait dengan aset digital. Kalau follower Anda cuma 1.000, maka postingan Anda akan terbatas jangkauannya. Makanya, seorang caleg harus berani keluar ulang untuk memperluas jangkauan, khususnya para penggiat medsos di daerah yang menjadi dapilnya.

Tak hanya itu, seorang caleg juga harus mempersiapkan tim profesional yang bekerja spartan untuk marketing. Tim ini akan mempersiapkan konten, merancang isu, mengenali tema-tema yang disukai netizen, lalu merancang konten yang kelak akan viral. Kerja-kerja ini bukan gratisan.

Kedua, banyak yang mengira popularitas di medsos akan sama dengan dunia nyata. Jika di dunia nyata dirinya seorang adalah tokoh di mana semua orang akan sopan dan hormat, maka dia berharap hal yang sama akan berlaku juga di dunia maya.

Pernah saya bertemu seorang politisi yang amat benci dengan media sosial. Dia kesal karena apa yang dibagikannya tidak ditanggapi orang lain, sementara orang biasa lainnya malah justru bisa jadi seleb medsos. Politisi ini kesal karena orang-orang menyapa dan memberi komentar yang dianggapnya merendahkan. Dia tak suka dipanggil Om atau Bro. Dianggapnya itu merendahkan.

Di media sosial, orang memang tak boleh baper. Kalau gampang marah, maka sebaiknya jangan masuk rimba media sosial. Di situ, semua orang bebas bicara dan komentar apa saja sepanjang itu masih dalam batasan etika netizen.

Politisi ini tidak paham kalau di media sosial, semua orang berposisi sama. Tak ada identitas yang pasti di situ. Tak ada istilah usia dan status sosial. Malah orang bisa memilih berbagai foto dan avatar, kemudian menyebut itu dirinya.

Orang bisa saja mengaku laki-laki atau perempuan. Semua orang punya ruang yang sama untuk saling sapa dan berinteraksi. Siapa yang paham interaksi medsos, akan lebih disukai banyak orang.

Jangan juga mengira popularitas Anda di dunia nyata akan berlaku sama di media sosial. Itu sih keliru besar. Di media sosial, semua orang sama.

Yang disukai adalah pihak yang bisa mencerahkan, memberi inspirasi, dan memperlakukan semua orang lain secara wajar dan berinteraksi. Anda tak bisa menuntut orang lain untuk menanggapi semua postingan Anda hanya karena Anda orang hebat di dunia nyata.

Ketiga, ada anggapan media sosial gampang dikuasai. Dipikirnya, cukup rajin posting, maka dirinya akan populer. Biarpun Anda bikin postingan sampai lebih dari sepuluh dalam satu hari, tidak ada jaminan Anda akan populer.

Belum tentu orang akan menyukai apa pun yang Anda bagikan. Di media sosial, semakin sering postingan Anda disukai dan dibagikan, maka popularitas Anda akan semakin besar. Demikian algoritma media sosial bekerja.

Jangan juga kaget melihat seorang “anak kemarin sore” tiba-tiba jadi seleb di media sosial. Padahal, postingannya biasa-biasa saja. Palingan hanya kegiatan sehari-hari. Kok bisa populer? Sebab anak kemarin sore itu tahu siapa pengikutnya di media sosial.

Dia kenali siapa pasarnya dan bisa menyediakan konten yang sesuai dengan kebutuhan pasarnya itu. Dia bisa membaca pasar, lalu menampilkan karakter dirinya sesuai dengan yang dibutuhkan pasar. Dia tahu cara memenangkan wacana di media sosial.

Kerja-kerja di media sosial tidaklah instan. Bahkan ketika kita membayar untuk sponsor dan iklan facebook, tetap saja tak ada jaminan apa yang kita tulis akan disukai dan dibagikan, jika kontennya memang tidak menarik. Artinya, hal terpenting untuk dikelola adalah konten. Semakin menarik, maka semakin besar potensi untuk disukai dan dibagikan.

Popularitas di media sosial juga tidak diukur dari berapa banyak posting. Bukan juga dari berapa banyak biaya yang kita keluarkan. Popularitas selalu terkait dengan seberapa jauh kita bisa menyentuh hati orang lain, seberapa dalam kita membuka wawasan, serta meninggalkan jejak di hati orang lain. Langkah ini jelas tidak mudah. Orang-orang butuh proses yang perlahan-lahan hingga akhirnya menjadi tetes air yang bisa menembus batu.

Keempat, ada anggapan semakin sering posting foto, maka semakin dikenal. Padahal itu tidak cukup. Mesti ada narasi, konsep, serta strategi. Memosting foto berulang-ulang akan membuat orang lain bosan. Dulu, ada capres yang begitu massif di stasiun televisi. Pada satu waktu, iklan ini tidak mengundang simpati, tetapi antipati sebab terlalu sering tampil sehingga publik bosan.

Pencitraan itu juga memosisikan seseorang seperti malaikat. Sejauh yang saya amati di media sosial, orang-orang lebih suka figur yang otentik dan apa adanya. Anda tak perlu menampilkan hal hebat. Cukup ide-ide atau gagasan biasa, tapi itu menggambarkan apa yang menjadi keresahan banyak orang.

Anda bisa menyederhanakan semua yang rumit-rumi sehingga dipahami orang, sehingga banyak orang yang tercerahkan. Sekali Anda mencerahkan orang lain, maka dia akan menjadi pengikut setia atas semua yang kamu bagikan.

Menurut riset yang dilakukan Alvara, generasi milenial dan pengguna media sosial tertarik pada beberapa hal: (1) Mereka peduli dengan masalah sosial, makanya muncul petisi online dan situs berbagi. (2) Generasi ini suka berbagi pengetahuan, keterampilan, dan wawasan lainnya. (3) Generasi ini punya solidaritas yang tinggi pada follower (pengikut). Mereka suka mengabarkan apa pun. Mereka suka saling sapa dan memberitahu apa yang telah dan sedang dilakukan.

Kelima, banyak politisi yang tanpa sadar hanya pemantul dari berbagai isu-isu negatif mengenai calon presiden atau politisi Jakarta. Artinya, politisi ini menjadikan media sosial hanya sebagai arena tempur di mana dirinya adalah prajurit.

Di satu kanal media sosial, saya menyaksikan seorang politisi yang sibuk menyebar berita yang isinya kejelekan atau fakta keburukan seorang calon presiden. Dia tidak berpikir strategis. Harusnya dia melihat semua orang berpotensi menjadi pemilihnya, siapapun presidennya. Dia harus memosisikan semua kalangan sebagai teman atau sahabat sehingga pemilihnya pun bisa beragam.

Lagian, ketika dia hanya sibuk menjelekkan satu calon, maka sudah pasti dia akan kehilangan suara dari pendukung kubu yang dijelek-jelekkannya itu. Belum tentu juga pencinta capresnya akan mendukung dirinya. Sebab tindakan menjelekkan orang lain tidak selalu mengundang simpati.

Kata Sun Tzu, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, maka ratusan pertempuran akan kamu menangkan.” Belajar dari Sun Tzu, seorang pakar strategi perang, jauh lebih baik jika kita mengenali kekuatan kita, apa saja yang kita miliki, kemudian mengenali musuh dan mengenali medan perang. Daripada fokus dengan medan perang orang lain, lebih baik kita fokus pada kekuatan apa yang kita miliki.

Jika saya dimintai masukan sama caleg itu, saya akan bilang padanya kalau arena pilpres bukanlah arena pertarungannya. Jika dia punya ide yang sama dengan capres, bolehlah ide itu memperkuat skema pemenangannya. Lebih baik dia fokus pada medan perang yang akan dia hadapi. Temukan di mana letak kekuatan, kemudian rencanakan strategi yang tepat untuk memaksimalkan semua kekuatan itu.

Daripada sibuk memikirkan arena tempur orang lain, lebih baik memikirkan arena tempur yang akan kita hadapi. Sebab orang lain menang, belum tentu kita kecipratan. Tapi jika diri kita yang menang, maka sudah pasti banyak hal yang bisa kita lakukan. Iya khan?

***

NAH, itu hanya segelintir hal yang saya amati. Menurut saya, setiap politisi harus melihat media sosial sebagai arena yang harus dimenangkan dengan citra yang positif. Tak ada guna menjadikannya sebagai arena perang dan menebar musuh di mana-mana. Lebih baik serap energi positif sehingga orang-orang akan merasakan gelombang dan manfaat yang sama.

Kalaupun politisi itu tidak punya waktu dan tidak tahu bagaimana memanfaatkannya, maka dia bisa bekerja dengan satu tim media sosial yang punya kecakapan sebagai intelligence assistant. Dalam buku Thomas L Friedman yang judulnya Thank You for Being Late, ada bab menarik mengenai bagaimana mengubah Artificial Intelligence (AI) menjadi Intelligence Assistant (IA)

Maksudnya, bagaimana mengubah kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi asisten cerdas (intelligence assistant). Di masa depan, profesi sebagai intelligence assistant akan makin marak. Di era kecerdasan buatan, seseorang butuh teman-teman atau asisten untuk berdiskusi yang bisa menopang sisi intelektual, memahami bahasa media sosial, dan mengembangkan aplikasi untuk merespon semua isu.

Dibutuhkan pemahaman mengenai bagaimana media sosial untuk memenangkan hati banyak orang. Dibutuhkan satu strategi sehingga popularitas akan tinggi sehingga membawa dampak pada elektabilitas. Kita sudah menyaksikan strategi itu berjalan di beberapa pemilihan kepala daerah.

Seorang teman politisi pernah bercerita bahwa di pilkada barusan, strategi jangka pendek seperti bagi-bagi sembako dan proyek malah gagal di banyak tempat. Kerja politik menjadi kerja jangka panjang, dengan menguatkan karakter yang dilakukan secara konsisten di media sosial. 

“Sekali seseorang suka sama satu orang, akan sulit mengubah pilihannya,” kata teman itu.

Nah, dia benar.



Wahai Para Caleg! Untuk Menang Kampanye Digital, Kuasai Teknik Bercerita


Tak semua paham bahwa sekadar memosting foto atau status bijak tak cukup. Bahkan rajin sebar link di WhatsApp dan Facebook juga tak cukup. Selalu sebar foto wajah tampan atau cantik serta nomor urut, tidak menjamin orang akan memilih. Bahkan menguasai big data, algoritma medsos dan semua profil pengguna juga tak cukup. Lantas, apa dong?

Kuasai teknik bercerita. Kuasai Digital Storytelling.

***

Betapa membosankannya melihat baliho calon kepala daerah, juga calon anggota legislatif. Semua hanya menampilkan foto wajah tersenyum, yang sudah diedit biar kinclong, juga posisi tinju mengepal. Sesekali ada pesan-pesan siap berjuang.

Kita sering juga menyaksikan pose sedang melipat lengan panjang. Pesan yang ingin ditampilkan adalah kandidat ini siap bekerja. Kadang, kita lihat pose sedang mengacungkan jempol, atau pose lagi salam komando dengan pasangannya.

Sejatawan Yuval Noah Harari mencatat, sejak dulu, dunia kita penuh dengan cerita-cerita. Kesan tentang seseorang dibentuk oleh cerita-cerita yang sampai pada kita. Baliho itu menunjukkan pada kita bagaimana cerita hendak dibangun mengenai sosok itu.

Kita melihat slogan, misalnya: merakyat, peduli, mengabdi, atau saleh. Semuanya adalah cerita yang hendak dibangun. Di era digital, cerita-cerita itu juga bisa dengan cepat dibangun dan disebarkan. Di era ini, tak perlu mengeluarkan biaya mahal, cukup menyempatkan waktu untuk berbagi kabar di media sosial, maka pesan bisa cepat menyebar ke mana-mana.

Sayangnya, banyak politisi cenderung menggunakan strategi pesan yang sama. Kalau bukan berbagi pesan bijak, link berisi dakwah, atau foto diri disertai nomor urut dan logo partai. Hal-hal seperti ini memang wajar, namun bisa tidak efektif. Sebab jika tidak dikemas dengan baik, kesan yang muncul adalah menggurui.

Di media sosial, kita lebih sering melihat wajah tersenyum yang diiringi nomor urut dan kata-kata bijak. Sepertinya politisi kita kurang kreatif sehingga suka copy-paste apa yang dilakukan rekannya. Padahal harusnya buat pembedaan (diferensiasi).

Beberapa ahli komunikasi sudah memperingatkan bahwa pesan-pesan yang selalu disampaikan berulang memang berpotensi untuk disukai, tapi yang sering terjadi adalah munculnya rasa bosan dan muak. Demikian pula selalu mengulang-ulang pesan yang menampilkan wajah senyum. Ini juga bisa berujung pada rasa bosan.

Nasihat memang baik, tapi kalau terus-menerus dijejalkan ke telinga seseorang yang terjadi adalah penolakan. Apalagi jika pemberi nasihat itu diyakini sedang punya motif politik. Sama halnya dengan pernyataan bahwa senyum itu bagus, namun jika Anda bertemu seseorang yang tiba-tiba senyum, maka yakinlah orang itu adalah caleg atau bisa jadi calon kepala daerah.

Jika kata hendak dijadikan mantra yang bisa mengubah kesadaran orang, maka kata-kata harus masuk dengan strategi yang tepat. Salah satu strategi yang diterapkan dalam dunia pemasaran adalah menggunakan soft campaign. Gunakan kampanye yang tidak lantas menonjolkan diri secara berlebihan.

Nah, Anda mesti memahami teknik bercerita (storytelling) yang benar. Jika diamati, semua budaya dan peradaban selalu memiliki berbagai cerita-cerita yang kemudian memberikan makna bagi setiap generasi.

Storytelling sama tuanya dengan keberadaan manusia. Sebab manusia selalu ingin bercerita dengan sesamanya, berbagi kisah dan kegembiraan, serta mewariskan banyak kearifan. Semua manusia pasti menyenangi bercerita dengan sesamanya.

Di semua budaya, manusia suka berkumpul lalu bercakap-cakap dan membagikan informasi. Pengetahuan tentang bercerita ini sudah lama diterapkan dalam bisnis. Salah satu brand yang konsisten membangun cerita adalah Coca-Cola.

Sejak awal, iklan Coca-Cola tidak pernah menggurui khalayak. Selalu dimulai dengan cerita, kemudian diakhiri dengan pesan kuat yang bisa tertinggal di benak orang-orang yang menyaksikannya.

Jika Anda seorang politisi atau kepala daerah yang hendak memasarkan diri ke hadapan orang lain di era digital, apa yang harus dilakukan?

Pertama, rumuskan lebih dahulu apa konsep yang merupakan keunggulan Anda. Rumuskan, apa pesan yang mau ditampilkan. Apakah ingin tonjolkan pesan sebagai anak muda, punya kapasitas, ataukah kepedulian. Jadikan pesan itu sebagai narasi besar untuk kampanye di dunia digital.

Kedua, turunkan narasi besar itu dalam bentuk cerita-cerita sederhana yang menarik. Misalnya, ketika Anda merumuskan kekuatan Anda adalah peduli, maka buatlah berbagai cerita pendukung yang menunjukkan kepedulian.

Tak perlu cerita-cerita besar dengan berbagai teori dan bacaan canggih. Cukup tampilkan pengalaman Anda yang sederhana, misalnya bertemu sejumlah pencari kerja yang kesulitan mengakses informasi lapangan kerja. Berikan contoh pengalaman Anda ketika memulai karier atau wirausaha.

Jika Anda menampilkan diri sebagai sosok yang merakyat, berceritalah tentang pengalaman menjadi rakyat. Berikan optimisme bahwa di tengah rakyat itu ada kekuatan dan solidaritas yang jika dikelola bisa menjadi sesuatu yang hebat.

Ketiga, rumuskan strategi dalam membuat postingan. Beberapa postingan yang disukai adalah postingan yang sederhana, tidak menggurui, serta punya pesan penting.

Dalam buku Political Personal Branding yang ditulis Silih Agung Wasesa, disebutkan, beberapa jenis postingan yang disukai orang adalah mengenai harapan, cinta, perjuangan hidup, rasa tertindas, anak-anak, kemenangan, dan banyak lagi.

Anda bisa memilih satu topik kemudian dikaitkan dengan pengalaman Anda, setelah itu selipkan pesan-pesan penting kepada netizen. Setiap hari, evaluasi semua postingan. Dalam waktu tertentu, Anda sudah bisa paham mana yang disukai publik dan mana yang tidak.

Keempat, kembangkan aset digital. Semua akun di media sosial bisa menjadi aset digital. Yang perlu dilakukan adalah kumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya sehingga Anda punya sasaran yang bisa dipersuasi dengan postingan-postingan bermutu.

Agar mereka menjadi pengikut setia, cari tahu apa yang mereka sukai, kemudian buat postingan yang sesuai dengan hasil pengamatan Anda. Pahami dengan baik bahwa semua media sosial punya kekuatan dan arena bermain yang berbeda.

Twitter digunakan untuk hal-hal yang mesti cepat disampaikan. Instagram menekankan pada visualisasi yang menarik dipandang. Facebook untuk postingan yang agak panjang dan mendalam. Prinsip kerja media sosial adalah satu isu bisa dikembangkan untuk berbagai kanal. Yang berbeda adalah kemasan dan format penyajian.

Untuk Twitter, Anda mesti meringkas informasi itu lalu ditulis dalam kalimat pendek. Sementara Facebook bisa menjadi ruang untuk menulis lebih dalam sekaligus bisa memancing reaksi pembaca.

Kelima, gunakan strategi untuk memviralkan postingan. Sejauh yang saya amati, ada beberapa cara untuk memviralkan postingan. Yakni: menggunakan fasilitas Ads atau iklan yang disiapkan semua media sosial sehingga kita bisa menambah jangkauan postingan ke ribuan orang di wilayah yang dituju.

Cara lain adalah bekerja sama dengan para influencer atau para penggiat media sosial di berbagai wilayah. Anda bisa memetakan siapa pendukung Anda yang paling intens di media sosial dan punya banyak pengikut.

Kalau dirasa repot, minta semua relawan Anda untuk me-retweet atau meneruskan semua pesan-pesan yang disampaikan di akun pribadi. Dengan cara ini, jangkauan dari semua postingan bisa lebih luas sehingga banyak orang berpotensi melihat postingan itu.

Keenam, pertahankan interaksi dan dialog. Kekuatan media sosial adalah adanya interaksi dan saling jawab antar penggunanya. Ini yang tidak dimiliki oleh media-media arus utama. Media sosial memungkinkan kita untuk saling diskusi dan tukar pikiran. Hanya saja, diskusi ini harus dijaga agar selalu menyehatkan.

Anda mesti pandai-pandai memilah kapan mesti menanggapi dan kapan mesti diam. Sebab tidak semua orang di meida sosial berniat untuk diskusi. Banyak di antaranya yang malah ingin debat kusir dan memanas-manasi sesuatu. Di sini, dibutuhkan sat kearifan dan kejernihan untuk tidak larut dalam perdebatan tak berujung.

***

Di era digital, satu cerita harus didukung oleh banyak cerita-cerita lain. Cerita bahwa Anda seorang kandidat terbaik, mesti didukung dengan banyak cerita lain. Strategi mesti dirumuskan agar pesan kampanye bisa menyentuh sasaran sehingga lebih efektif.

Beberapa politisi sering melakukan survei tentang isu-isu apa yang paling hangat di masyarakat. Survei ini harusnya menjadi panduan untuk merancang pesan komunikasi yang efektif.

Namun, saya rasa, tidak mudah menurunkan satu isu ke dalam pesan-pesan sederhana. Seorang manajer kampanye mesti berpengalaman mengolah isu, lalu meraciknya menjadi sesuatu yang bisa diterima semua kalangan. Pilkada seharusnya menjadi arena untuk mengolah visi-misi untuk orang banyak, menjadi baris pesan-pesan yang mudah dicerna semua kalangan.

Jika pesan-pesan itu dikemas dengan baik dan dikerjakan dengan konsisten, maka bisa menjadi kekuatan dahsyat. Kita membaca banyak publikasi mengenai media sosial yang memicu revolusi di banyak negara, bisa membuat rejim tumbang, dan bisa membuat perubahan besar.

Dalam konteks pemilihan langsung, tantangannya adalah bagaimana membumikan, bagaimana menyederhanakan, bagaimana memahami publik. Itu sudah.



Tak Ada yang Lebih Baik dari Mahfud MD


Di hadapan anggota DPR RI, Mahfud MD tampil trengginas. Dia meladeni semua ajakan debat dan ancaman-ancaman. Sesekali dia mengeluarkan dalil dalam bahasa Arab. Saat mejelaskan hukum, ia juga mengutip dalil dalam bahasa latin.

Mahfud MD adalah sosok paling otentik di republik ini. Dia tak peduli pencitraan. Dia tak pernah memikirkan algoritma media sosial yang memaksa seseorang untuk hanya berbicara hal popular. Dia genuine dan melihat substansi dari setiap argumetasi.

Tak ada yang sebaik Mahfud dalam menghadapi para pendebat. Dia kenyang asam garam perdebatan, sejak masih aktif di PII hingga HMI. Di organisasi HMI, dia tak sekadar bertemu jodoh, tapi juga memperkaya pengetahuannya melalui interaksi dengan pemikir Islam.

Sejak Gus Dur menyebut anggota dewan seperti Taman Kanak-Kanak, kita tak pernah lagi mendengar ada orang yang berani mendebat anggota dewan. Mahfud memecah kebuntuan yang sekian lama terjadi di negara ini. Dia tampil tenang, tetap fokus pada substansi, dan mengejar semua argumentasi yang dilempar kepadanya.

Bahkan dibandingkan para calon presiden yang akan berlaga di tahun 2024, Mahfud tetap masih lebih baik, dalam hal wawasan, pengetahuan, rekam jejak, dan keberanian menghadapi semua risiko dan masalah.

Kekurangan Mahfud adalah dia terlalu orisinal. Dia tak punya tim khusus yang mengelola media sosial, serta strategi untuk menaikkan branding dan pencitraannya sebagai pemimpin masa depan.

Dia pun tak punya tim-tim kecil di semua partai, yang setiap saat bisa melobi dan meyakinkan semua pengurus partai kalau dirinya adalah sosok terbaik yang bisa membawa bangsa ini lebih baik.

Dia seakan alpa kalau untuk menjadi pemimpin negeri ini, minimal dua hal yang perlu dimilikinya. Pertama, punya tim yang khusus mengemas branding dan memperkuat posisinya di benak masyarakat Indonesia. Kedua, punya tim pelobi di partai politik yang bisa menggaransi satu tiket untuk dirinya maju di pilpres.

Mahfud adalah tipe samurai yang berpedang sendirian. Dia seorang intelektual yang menerabas berbagai belukar masalah. Dia tak segan-segan menebas siapapun yang dianggapnya bersalah, meskipun itu adalah pejabat negara dan anggota dewan. Di titik ini, dia punya banyak musuh.

Di jajaran kabinet Jokowi, Mahfud adalah pekerja keras yang tak bisa diam dan melihat orkestrasi politik. Padahal, bisa saja dia duduk manis sembari menikmati betapa manisnya kursi kekuasaan. Namun dia tetap tak segan untuk mengotori tangan. Dia bekerja dan memperkuat pemerintahan dengan cara mengungkap saiapa saja mereka yang mempermainkan hukum dan aturan.

Dia muncul sebagai suara pemerintah dalam banyak kasus besar. Mulai kasus Ferdy Sambo hingga kasus hilangnya potensi keuangan negara hingga triliunan. Mahfud seakan memegang sapu kotor di dalam pemerintahan. Dia terus bekerja, meskipun banyak yang mencaci.

Manusia seperti Mahfud langka di negeri ini. Dia bukan capres yang hanya ikut apa kata partai politik lalu mengorbankan impian banyak anak muda. Dia juga bukan capres yang berkunjung ke daerah selalu menaiki mobil kap terbuka lalu menyebar senyum dan terentang dalam kampanye.

Dalam posisi seorang diri, dia rawan menjadi sasaran tembak banyak kelompok. Dia tahu persis semua langkah yang dipilihnya. Saat diancam seorang anggota dewan akan diperkarakan, dia malah mengancam balik dengan argumentasi yang kokoh.

Sikapnya yang berani membuka banyak hal itu adalah ciri seorang intelektual. Dia tidak bermumah di menara gading, tetapi memilih berumah di menara api, yang menyebar cahaya terang ke mana-mana.

Sebagai intelektual, dia tidak selalu disukai banyak orang. Sebab tugas intelektual adalah membuka wawasan dan mencerahkan publik. Dalam proses membuka wawasan itu, tentunya banyak pihak yang tidak nyaman, khususnya mereka yang ikut bermain dalam sirkuit pencarian cuan di sela-sela rambu hukum negeri ini.

Jalan Panjang

Dia lahir di Sampang, Madura, Jawa Timur, pada, 13 Mei 1957. Sejak belia, dia sudah karib dengan kultur pesantren. Dia belajar di pondok pesantren Somber Lagah di Desa Tegangser Laok.

Pondok Pesantren Somber Lagah diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiyai keluaran Pondok Pesantren Temporejo atau Temporan. Pondok pesantren itu sekarang diberi nama Pondok Pesantren al-Mardhiyyah, memakai nama pendirinya, Kiai Mardhiyyan, yang wafat pertengahan 1980-an.

Mahfud menyerap dua sisi pendidikan, yakni pendidikan berbasis pesantren dan sekolah umum. Dia pun terus bersekolah hingga meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada. Dia pun meniti karier akademisi hingga menjadi guru besar.

Sejak mahasiswa, dia sudah menjadi organisatoris dan penulis handal. Tulisannya tersebar di banyak media. Dia pun berjejaring dengan para aktivis HMI dan pengurus PBNU yang saat itu dipegang Gus Dur.

Saat Gus Dur menjadi presiden, Mahfud masuk ke kancah kekuasaan. Dia diminta Gus Dur menjadi Menteri Pertahanan. Setelah itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM pada 2001.

Periode 2004-2009, Mahfud MD menjadi anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sempat pula menjadi ketua Badan Legislasi (Baleg). Namun, pada 2008 Mahfud terpilih menjadi hakim konstitusi.

Dia pun memimpi Mahkamah Konstitusi pada 2008-2013. Di posisi apapun, dia selalu kritis dan tampil beda. Dia tak hanya mencerahkan publik dengan tampil di media, tapi juga membuat semua lembaga yang dipegangnya kian berdaya.

Kini dia menjabat sebagai Menko Polhukam dan perlahan membuka banyak borok dan permainan di negeri ini.

Kekuatan Mahfud

Indonesia butuh sosok genuine seperti Mahfud yang tak hanya bisa bersilang kata dalam berbagai forum wacana, tetapi juga bisa menunjukkan kerja-kerja nyata. Keberanian Mahfud seharusnya menjadi mercu suar yang dituju semua anak bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri terdepan.

Kekuatan Mahfud adalah kelenturannya untuk bergaul dengan semua kalangan. Dia adalah ulama sekaligus praktisi yang memahami substansi serta punya visi kuat untuk bangsa. Dia mewakili generasi Muslim terdidik, tetapi tetap punya akar kuat dalam tradisi pesantren dan keulamaan.

Jika masuk arena capres, Mahfud akan memberi warna baru. Bukan hanya menawarkan rekam jejak, tapi juga memberi harapan akan Indonesia yang berkeadilan, Indonesia bebas korupsi, dan Indonesia yang menjadi rumah bagi semua kalangan.

Mahfud tak pernah menyatakan dirinya siap memasuki arena capres. Dia hanya bekerja-bekerja.

Akan tetapi, kita sebagai anak bangsa yang ingin melihat Indonesia lebih baik, tentunya patut memberi ruang baginya. Gagasan besarnya mesti diuji dalam kancah pemilihan langsung, di mana rakyat yang akan jadi penentunya.

Namun, dengan melihat realitas politik biaya tinggi, serta banyaknya pencari rente di berbagai momen pemilihan, apakah dirinya sanggup untuk tetap kukuh dalam situasi itu?

Dilema-dilema ini pernah dialami Bung Hatta, salah satu politisi terbaik yang lahir dari rahim republik ini. Berhadapan dengan tarik-menarik kekuasaan, Hatta memilih untuk menepi. Dia menjadi seorang guru yang berbagi ilmu sembari menjauh dari hiruk-pikuk politik.

Apakah Mahfud akan memilih jalan Bung Hatta ataukah tampil menjadi samurai dalam arena perang yang disesaki berbagai pencari rente?

Sejarah yang akan mencatatnya. Namun sebagai anak bangsa, kita menaruh banyak harapan pada sosok Mahfud.



Di Tik Tok, Gibran Jauh Kalahkan Ganjar, Prabowo, dan Anies


Di akun Twitter, Gibran Rakabuming Raka tiba-tiba membagikan postingan mengenai survei di Tik Tok. Tajuknya adalah “Vote Tokoh Favorit Kalian dengan Support.” Hasil survei itu disiarkan secara live di Tik Tok.

Dalam survei itu, putra Presiden Jokowi itu mendapatkan 46 persen dukungan Hal itu menjadikan Gibran sebagai tokoh favorit dari warganet dalam survei TikTok itu. Posisi kedua berhasil ditempati Mahfud MD yang meraih 42 persen dukungan. Sementara itu, tiga nama lainnya mendapatkan dukungan yang jauh lebih sedikit dari Gibran dan Mahfud.

Prabowo di posisi ketiga, mendapatkan 8 persen dukungan atau 114 suara. Disusul Anies dengan 4 persen dukungan, atau 58 suara dari warganet. Mirisnya, di posisi kelima, Ganjar harus puas dengan nol persen dukungan, atau disebut hanya meraih 5 suara.

Hasil itu pun tampak disambut oleh Gibran. Pemimpin yang akrab disapa 'Mas Wali' ini mengaku merasa lumayan melihat hasil itu. "Lumayan," tulis putra Presiden Jokowi ini, seperti nampak di Twitter, Jumat (31/3).

Tentunya, survei di Tik Tok tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Survei itu hanya merangkum suara-suara mereka yang saat itu online di Tik Tok dan mau berpartisipasi. Apalagi, Gibran belum cukup umur untuk maju di ajang pilpres 2024, yang mensyaratkan calon presiden harus berusia 40 tahun.

Namun, survei itu menggambarkan pesan kuat tentang suara-suara kaum muda, yang menjadi warga asli dari platform media sosial Tik Tok. Survei itu bisa dilihat sebagai penanda zaman, di mana media sosial Tik Tok kian merajai platform media sosial, dan mulai menjadi rujukan untuk memahami dinamika pemikiran anak muda.

Data We Are Social menyebutkan, pengguna TikTok di dunia diperkirakan mencapai 1,05 miliar pada Januari 2023. Jumlah tersebut meningkat 18,8 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya.

Pengguna TikTok paling banyak berasal dari Amerika Serikat. Tercatat ada 113,25 juta pengguna TikTok yang berasal dari Negeri Paman Sam pada awal tahun ini. Saking populernya Tik Tok di Amerika Serikat membuat pemerintah AS khawatir sehingga muncul rumor kalau Tik Tok menjadi alat intelijen dari pemerintah Cina.

Indonesia menyusul di urutan kedua dengan jumlah pengguna sebanyak 109,90 juta pengguna. Jumlah pengguna aktif di Indonesia kian besar seiring dengan pandemi. Laporan dari beberapa lembaga riset menyebutkan, pengguna Tik Tok bukan lagi generasi milenial, tetapi banyak Generasi X dan baby Boomer yang mulai merambah Tik Tok.

Di urutan selanjutnya adalah Brasil dan Meksiko dengan masing-masing pengguna sebanyak 82,21 juta dan 57,52 juta. Sebanyak 54,86 juta pengguna TikTok berasal dari Rusia. Ada pula 49,86 juta pengguna platform media sosial tersebut yang berasal dari Vietnam.

Laporan Business of Apps, menyebutkan, sampai 2021 pengguna TikTok di seluruh dunia didominasi oleh kelompok usia 20-29 tahun, dengan proporsi mencapai 35%. Kemudian pengguna dari kelompok usia 10-19 tahun berada di urutan kedua dengan proporsi 28% secara global. Ada juga 18% pengguna TikTok yang berusia 30-39 tahun, 16,3% berusia 40-49 tahun, dan 2,7% berusia di atas 49 tahun.

Kita bisa melihat betapa besarnya power yang dimiliki Tik Tok dalam memahami percaturan politik, baik di Indonesia maupun negara lain. Bahkan Tik Tok menjadi alat perlawanan dan ekspresi kaum muda melalui kemampuannya menyebarkan berbagai konten receh secara cepat dan massif.

Tik Tok mengingatkan saya pada fenomena New Power yang digambarkan Timms & Heimans (2018) sebagai pergeseran kuasa, dari kuasa yang basisnya formal ke kuasa yang ditandai oleh kerumunan, histeria, dan konten receh.

Masih segar di ingatan kita bagaimana pengguna Tik Tok dan penyuka K-Pop bisa mempermalukan kampanye Preiden Donald Trump saat kampanye di Tulsa, Amerika Serikat.

Pengguna Tik Tok mendaftar ratusan ribu tiket untuk kampanye demi untuk lelucon (prank). Akun resmi kampanye Trump @TeamTrump mem-posting twit yang meminta pendukung untuk mendaftar tiket gratis menggunakan ponsel. Ribuan pengguna Tik Tok dan K-Pop ramai mendaftar, tetapi kemudian tidak muncul.

Kekuatan Tik Tok adalah algoritma unik yang mendukung konten berdasarkan interaksi, ketertarikan dan eksplorasi pengguna sehingga bisa lebih viral. Algoritma Tik Tok membuat audiensi di Indonesia hingga luar Asia Tenggara untuk ikut aktif di konten tertentu, melalui berbagai interaksi dan likes melalui for you page (fyp).

Di Indonesia, kaum muda pengguna Tiktok secara strategis memakai media sosial ini untuk menyatakan sikap protes terhadap undang-undang yang kontroversial UU Cipta Kerja. Ada banyak video konten yang dikemas secara receh, dan disukai hingga jutaan orang, serta diomentari audiens lintas negara.

Dengan kekuatan seperti itu, Tik Tok harus menjadi senjata utama bagi setiap kandidat capres. Tik Tok adalah kekuatan pengubah, yang bisa menggelembungkan satu isu dengan cepat, juga bisa menenggelamkan seseorang dengan cepat.

***

Pilpres tahun 2009 adalah awal mula kampanye melalui Facebook dan Twitter. Tahun 2014 , Facebook masih tetap berjaya, namun perlahan Instagram mulai menguat. Tahun 2019, Instagram mulai menggeser Facebook. Kini, tahun 2024 adalah eranya Tik Tok merajai semua platform media sosial.

Bagaimana menjelaskan posisi Gibran Rakabuming yang jauh meninggakan Ganjar, Prabowo, Anies, dan Mahfud dalam survei di Tik Tok?

Pertama, Gibran adalah sosok pemimpin yang paling diinginkan anak-anak muda pengguna Tik Tok Gibran mewakili karakter pekerja, serta berani berpihak pada keinginan anak muda. Itu terlihat dari polemik mengenai Piala Dunia U-20 di mana Gibran terus menyampaikan konsistensi agar ajang itu digelar, dan berani mengabaikan suara partai.

Kedua, para pengguna Tik Tok adalah mereka yang pilihan politiknya dipengaruh oleh isu-isu terkini dan viral. Saat Ganjar menyampaikan sikap menolak perhelatan Piala Dunia U-20 yang didalamnya ada Israel, maka dia seakan “menggali lubang sendiri” untuk menjadi bahan bully-an dan kritik dari para pengguna Tik Tok.

Dengan pola yang sama, kita bisa memahami bagaimana popularitas Mahfud kian meroket di Tik Tok. Dia menajdi oase dari lambannya penegakan hukum di negeri ini. Dia menampilkan sikap tegas terhadap korupsi sekaligus membuka sesuatu yang selama ini disembunyikan.

Ketiga, jika tidak ada strategi untuk masuk ke Tik Tok, maka sosok Prabowo, Anies, dan Ganjar hanya akan menjadi Old Power yag tidak relevan dengan dinamika anak muda. Mereka gagal membaca apa yang diinginkan anak muda, serta bagaimana merebut perhatian mereka. Kampanye mereka terkesan tua dan pasti akan ditinggalkan oleh laju zaman.

Kedepannya, semua politisi dan calon presiden mesti merumuskan strategi media sosial yang lebih tepat. Tidak lagi hanya mengandalkan konte serius, tetapi ulai mengemas semua hal serius dalam bahasa sederhana dan tepat sasaran.

Sebelum merumuskan strategi konten, perlu memahami big data untuk mengetahui apa aspirasi yang paling diinginkan audience sehingga pesan bisa dikemas lebih tepat dan menyentuh sasaran.

Di Indonesia, semua ajang politik selalu diikuti trend media sosial. Pilpres tahun 2009 adalah awal mula kampanye melalui Facebook dan Twitter. Tahun 2014 , Facebook masih tetap berjaya, namun perlahan Instagram mulai menguat. Tahun 2019, Instagram mulai menggeser Facebook.

Kini, tahun 2024 adalah eranya Tik Tok merajai semua platform media sosial. Suka atau tidak suka, zaman sedang bergeser ke sana. Demi meraih suara kaum muda, perlu memetakan strategi, merumuskan storytelling yang tepat, serta menguasai belantara network society untuk memenangkan persaingan.

Saya teringat catatan sosiolog Manuel Castells dalam buku Network Society. Dia menyebut tentang sosok The Planners, yang digambarkan sebagai sejumlah orang yang mengendalikan informasi.. Para Planner merancang alur permainan, mengamati tindakan manusia lainnya melalui algoritma, lalu merancang satu permainan di mana orang-orang serupa pion yang satu demi satu berkelahi dan dikorbankan demi mengejar angan-angan kesejahteraan.

Kini, kita menyaksikan kerja The Planners yang menentukan suka atau tidaknya kita terhadap setiap politisi, capres, maupun caleg. Semuanya terjadi di arena media sosial, termasuk Tik Tok. Apa sebagai warga kita tetap punya kebebasan? Ataukah kita hanya pion yang menunggu trending dan viral?



Di Malaysia, Media dan Netizen Ramai Bahas Indonesia vs Argentina

Headline Utusan Malaysia

PERTANDINGAN Indonesia vs Argentina semalam tidak hanya ramai di bahas di semua jejaring media sosial tanah air, tetapi juga dibahas para penggemar bola di berbagai negara. 

Bahkan di Malaysia, pertandingan itu menjadi amunisi netizen untuk mengolok-olok federasi sepak bola, membahas cemburu atas keberhasilan Indonesia mendatangkan juara Piala Dunia, juga membahas Asnawi Mangkualam yang sukses mengunci pemain Argentina.

Utusan Malaysia menurunkan berita bertajuk: “Skuad Garuda tewas 0-2 kepada juara dunia, Argentina.” Media itu membahas tidak hadirnya Lionel Messi serta tekad kuat timnas Garuda saat menghadapi Argentina. 

Skuad Argentina bergelut untuk menewaskan Indonesia dalam aksi perlawanan persahabatan yang berlangsung di Stadium Gelora Bung Karno, Jakarta hari ini yang berkesudahan memihak juara dunia itu dengan kemenangan 2-0.

Biarpun tanpa kelibat penyerang prolifik, Lionel Messi, Angel Di Maria serta Nicolas Otamendi dalam senarai pasukan Argentina, Stadium Gelora Bung Karno, tetap padat dengan kehadiran lebih 60,000 penyokong tuan rumah.

Indonesia pula tekad mahu menjadikan perlawanan ini sebagai persiapan untuk menghadapi Kejohanan Piala Asia yang bakal diadakan Januari 2024 apabila diletakkan bersama Jepun, Iraq dan Vietnam dalam kumpulan D.


Media lainnya Free Malaysia Today menurunkan berita dengan tajuk: “Argentina cap Asian tour with 2-0 win over Indonesia.” Media berbahasa Inggris ini menyebut tim Amerika Latin itu melawan tim yang penuh semangat karena didukung 45.000 suporter yang selalu bersorak. 

Media itu menulis: “The South Americans dominated an at-times scrappy match against a spirited Indonesia team who were energised by a rapturous crowd of 56,000 which cheered every pass, throw and foray into the Argentine half.”

Sejauh yang saya lihat, media-media mainstream cukup netral dalam memberitakan pertandingan itu. Namun di media-media sosial, banyak netizen Malaysia yang juga mengamati pertandingan itu.

Seorang netizen memuji performa Asnawi Mangkualam yang sukses mencuri perhatian banyak orang. Dia mengatakan Asnawi Mangkualam pantas bermain di Liga Eropa, bukan Liga Malaysia. “Meski hanya pertandingan persahabatan, dia bermain seperti harimau. Sangat agresif dan bekerja keras, terutama dengan intersepsi dan tekelnya.”


Netizen lain, memuji permainan Indonesia yang sukses menyulitkan permainan Argentina. Dia mengatakan:  “Indo walaupun kalah. Nampak dorg tak struggle nk kawal tempo Argentina. Argentina pulak nmpk bermasalah dgn high pressing & long throw-in Indo. Haha. Nampak mcm Indo boleh pergi jauh jgk dlm Piala Asia Qatar nnti. Most of player nmpk compose & boleh build-up play.”

Banyak pula netizen yang menjadikan pertandingan itu sebagai amunisi untuk mengkritik keras federasi sepak bola negaranya. Mereka membandingkan dengan negaranya, yang dalam pertandingan uji coba hanya sanggup mendatangkan Kepulauan Solomon dan Papua New Guinea.

Seorang netizen mengatakan: “Saya lebih memilih dikalahkan 10-0 oleh Argentina, daripada menang 10-0 melawan Kepulauan Solomon dan PNG.”

Namun, Presiden Federasi Asosiasi Sepakbola Malaysia (FAM) Hamidin Mohd Amin menegaskan Malaysia belum saatnya menghadapi Argentina seperti yang dilakukan Timnas Indonesia. Hamidin menjelaskan pelatih timnas Malaysia Kim Pan Gon juga melihat laga melawan Argentina atau Brasil belum realistis dan tak mau hanya menggelar pertandingan untuk mencari popularitas.

"Brasil ingin bertarung [lawan Malaysia waktu di Dewan FIFA] tetapi saya tidak mau karena ini bukan waktunya. Saya bisa melakukannya jika saya ingin menunjukkan popularitas tetapi ini bukan waktunya dan Pan Gon tidak mau," ucap Hamidin, Rabu (31/5) malam, dikutip dari Berita Harian.



Pernyataan ini lalu dibalas dengan sengit para netizen. Mereka membandingkan dengan Indonesia yang sukses mendatangkan Argentina. 

Demikianlah, lain ladang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Sebagai anak bangsa kita bangga melihat permainan timnas yang terus berkembang. Biarpun berhadapan dengan nama-nama besar di barisan pemenang Piala Dunia, timnas kita bisa berdiri tegak dan mengangkat wajah.

Mereka memang kalah, tetapi telah menunjukkan mental bertanding yang luar biasa. Mereka menjadi Garuda perkasa yag terus menyerang hingga peluit akhir dibunyikan. Mereka membawa spirit kita sebagai bangsa petarung yang tak kenal lelah.

Kita Garuda, Kita Bangga.







Di Jenggot Surya Paloh, Kader Nasdem Menggantungkan Nasib

SYL dan SP

Mendung tengah menggelayut di gedung Nasdem Tower, Jakarta. Selama sepekan terakhir, aktivitas di kantor itu sepi, seakan tidak ada kejadian besar. Padahal, partai itu tengah berada di tubir sejarah. 

Setelah Johny G Plate menjadi tersangka, kini dalam waktu dekat, Syahrul Yasin Limpo (SYL) akan menyusul. 

Mengacu pada informasi di beberapa media, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyusun fakta demi fakta untuk membawa SYL ke meja hukum. SYL akan dituduh menerima upeti dari pejabat eselon yang dipakai untuk perjalanan dinas, juga untuk menempati posisi tertentu di kementerian.

Situasi ini menjadi dilema bagi partai. Di satu sisi, partai ini bergabung dalam Koalisi Perubahan, yang berikhtiar untuk membawa Indonesia ke era yang lebih baik. Partai mengusung semangat perubahan atau koreksi pada pemerintahan. Namun di sisi lain, kasus korupsi demi korupsi perlahan menjerat kader partai ini sehingga membuat slogan perubahan itu terasa kosong.

Bagaimana mungkin partai ini hendak mengusung slogan perubahan kalau nilai korupsi kadernya dalam proyek BTS mencapai angka 8 triliun rupiah? Bisakah bicara perubahan kalau kadernya terjebak pada mentalitas “pungut setoran” di kementerian? Masih bisakah partai ini dipercaya menjadi ‘ketua kelas’ di Koalisi Perubahan?

Pertanyaan yang juga mencuat adalah jika korupsi adalah kejahatan sistemik yang bisa dilakukan semua pejabat negeri ini, mengapa pedang hukum seakan fokus menebas Partai Nasdem? 

Memang, korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas hingga akar-akarnya. Namun, sebagaimana dicatat Tempo, ada banyak kasus korupsi yang jauh lebih merugikan negara, ketimbang apa yangdilakukan SYL. Di antaranya adalah penyediaan vaksin penyakit kuku dan mulut (PMK) tanpa tender senilai 2,6 triliun. Kemeneterian langsung menunjuk lima perusahaan yang tidak berpengalaman, hanya karena kedekatan.

Nasdem akan terancam mengalami nasib sebagaimana PKS di tahun 2014 yang perlahan mengempis karena kasus korupsi sapi. Demikian pula PPP di Pemilu 2019, yang perlahan tergerus suaranya karena kasus korupsi yang melibatkan ketua umumnya.

Jika Nasdem tetap berada di pemerintahan, maka partai itu akan sirna tersaput angin perubahan. Kosa kata perubahan itu akan menjadi belati yang menikam diri sendiri. Publik kita tidak mau memilih partai yang terindikasi korupsi. Target untuk melejit dan mencapai pemilih dua digit akan menjadi nyanyian pengantar tidur, tanpa sempat mewujud dalam realitas.

Di titik ini, Surya Paloh harus mengambil sikap. Dia tidak perlu lagi berwajah manis dan menyatakan Nasdem adalah bagian dari koalisi. Partai harus tegas menyebut rangkaian peristiwa demi peristiwa ini sebagai by design dari kekuasaan karena partainya memiih pemimpin yang berbeda dari keinginan penguasa.

Partai membutuhkan satu narasi baru yang bisa menjadi wacana tanding dari pedang tajam penegak hukum. Narasi baru itu adalah adanya tebang pilih serta pedang hukum yang hanya menebas ke titik tertentu. Kepercayaan rakyat mesti dibangun kembali agar partai tetap punya marwah di tengah turbulensi politik menjelang tahun pemilu.

Berhadapan dengan banteng KPK membuat partai harus lebih cerdik.Sebagai matador, partai harus pandai memilih langkah yang tepat untuk menghadapi KPK. Berhadapan vis a vis bukanlah solusi. Partai bisa dituduh melindungi koruptor. Untuk itu, partai harus mengambil jalan memutar sembari membangun wacana kalau ini bukan soal penegakan hukum, namun ini soal kriminalisasi ataupun tebah pilih.

Surya Paloh yang kini lebih banyak di Pulau Kaliage tengah gundah gulana. Selama hampir sepuluh tahun, dia dan partainya nyaman di kursi penguasa. Bahkan lima tahun awal, partainya mengendalikan Kejaksaan Agung dan ikut mengendalikan pedang hukum. Kini, pedang yang sama perlahan akan mengancam mereka. Pedang itu menjadi bumerang yang berbalik.

Kali ini, Surya Paloh tak bisa berdiam diri lagi. Ribuan kader di seluruh daerah sedang menunggu sikapnya, apakah membiarkan partainya tenggelam atau segera bangkit dan menyiapkan perlawanan. Ribuan kader menggantungkan nasibnya di jenggot Surya Paloh. 

Saat pilar-pilar partai, yang menjadi simbol dari penerjemahan visi partai untuk rakyat, dirubuhkan, maka dirinya harus segera mengambil sikap.

Dia harus berani menyatakan partainya keluar dari koalisi pemerintahan, sembari menyiapkan taktik baru untuk memasuki gelanggang politik menjelang pemilihan umum. Dia tak bisa lagi menganggap korupsi dua menterinya sebagai perbuatan pribadi yang memperkaya diri sendiri. Dia harus tegas menyatakan itu sebagai kriminialisasi, sembari tetap mengarahkan kemudi partai agar tidak karam.

Jika Otto van Bismarck mengatakan, “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari pilihan terbaik berikutnya.

Maka Surya Paloh harus mengelola politik sebagai the art of risk management. Dia harus pandai mengelola risiko demi risiko sembari menentukan arah perubahan lalu perlahan menggapainya. Politik adalah jalan berliku, dan politisi adalah mereka yang mengutip Tan Malaka mengalami: “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk.”

Bisakah?



Tarung HMI, GMNI dan PMII di Pilpres 2024


Tiga kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2024 adalah alumni lembaga ekstra kampus, yakni HMI, GMNI, dan PMII. Mereka menyerap pelajaran, inspirasi, mata air pengkaderan, dan jaringan dari organisasi luar kampus.

Mereka percaya diri karena ada jaringan anak muda dan jaringan alumni di seluruh Indonesia yang siap ikut berperang bersama mereka. Siapa yang akan jadi pemenang? 

***

TUMBUH di era Orde Baru, tak membuat Anies Rasyid Baswedan menjadi mahasiswa biasa. Dia memilih aktif di berbagai lembaga kemahasiswaan, mulai senat mahasiswa hingga lembaga luar kampus.

Di masa itu, organisasi ekstra kampus tumbuh dalam pengawasan ketat pemerintah. Beberapa lembaga kemahasiswaan menolak tunduk pada penguasa. Mereka terus bergerilya di kampus-kampus, melaksanakan pengkaderan, hingga tampil terdepan saat berdemonstrasi.

Saat tampil dalam Syawalan Nasional Alumni HMI MPO di Menara Bidakara Jakarta, beberapa tahun silam, Anies bercerita banyak tentang keaktifannya di HMI MPO.

Saat menjadi mahasiswa, HMI yang didapatinya telah terbelah karena intervensi Orde Baru, dan HMI MPO adalah bagian yang tak diinginkan, dimusuhi negara.

Pengkaderannya sering dibubarkan oleh militer, personelnya dikejar-kejar, dan bahkan dalam event nasional seperti kongres pun harus bersembunyi di pelosok daerah dan tanpa listrik.

“Saya beruntung bisa menjadi bagian dari HMI (MPO) ini, kenapa? Jika orientasinya kekuasaan, kira-kira pilih yang mana tahun 1992, pilih yang mana kalau tujuannya kekuasaan?”   

Di HMI, dia mengasah kepekaan sosial, serta perlawanan kepada rezim. Sebagaimana aktivis HMI lainnya, kekuasaan hadir untuk mengabdi pada bangsa dan negara, sekaligus memanusiakan manusia Indonesia. 

Saat kekuasaan menjadi alat untuk menindas dan memperkuat satu kelompok, anak muda harus tampil ke depan untuk melawannya.

“Masa itu adalah masa di mana pengalaman mengambil posisi bahwa tidak semuanya tentang kekuasaan, tapi ini tentang pilihan perjuangan. Ini bukan apa kata orang hari ini, tapi apa kata sejarawan di masa depan.”

***

LAIN lagi dengan Ganjar Pranowo. Dia menjalani masa kecil di keluarga yang miskin. Ayahnya seorang polisi yang hidup sederhana. Orang tuanya membiayai Ganjar dan lima saudaranya dari bisnis jual bensin eceran. Itu pula profesi yang dilakoni Ganjar semasa kecil hingga remaja.

“Dulu waktu pulang sekolah saya disuruh kulakan bensin eceran. Dulu ya diejek, malu, bahkan waktu mahasiswa pernah hampir putus kuliah. Tapi hari ini kita jadi bangga banget rasanya,” ungkap Ganjar sambil tertawa.

Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Ganjar aktif di berbagai organisasi kampus. Dia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) karena menemukan banyak kesamaan gagasan dengan Bung Karno.

Semasa mahasiswa, dia rajin berdemonstrasi. Di antara cerita yang sering diulanginya adalah saat dia harus mendemo Rektor UGM Prof Kusnadi.

Dia dan teman-temannya malah diajak ngobrol oleh sang rektor. "Saat itu pak Koesnadi, beliau malah bilang 'ngobrol sini, daripada demo-demo'. Jadinya kami ngobrol banyak," ceritanya.

GMNI menjadi kawah candradimuka bagi mahasiswa yang ingin membumikan ajaran marhaenisme. Wadah pergerakan ini terbentuk atas peleburan tiga gerakan mahasiswa yang memiliki asas Marhaenisme.

Ketiganya adalah Gerakan Mahasiswa Marhaenis yang berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka yang berpusat di Surabaya, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) yang berpusat di Jakarta.

Ganjar dekat dengan Megawati Sukarnoputri. Di tahun 1992, saat masih mahasiswa, Megawati memintanya untuk masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati pula yang memintanya untuk maju sebagai calon legislatif.

Saat itu Ganjar merasa deg-degan luar biasa. Dia tidak percaya diri. Namun permintaan Megawati itu dilaksanakannya dengan sungguh-sungguh, hingga dirinya sukses melenggang ke parlemen.

Dia memasuki babakan baru dalam hidupnya, yakni sebagai aktivis yang punya ruang besar di parlemen untuk berbuat banyak kepada bangsa dan negara. Dia berkesempatan untuk membumikan ajaran Marhaenisme dari Bung Karno di dalam parlemen.

DI kalangan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), nama Muhaimin Iskandar sangat harum. Di berbagai Pelatihan Kader Dasar (PKD), namanya disebut sebagai sosok yang melahirkan paradigma kritis transformatif yang kemudian diadopsi PMII.

Pria yang sering disapa Cak Imin ataupun Gus Muhaimin itu dikenal sebagai salah satu saksi sejarah tumbangnya Soeharto sebagai simbol rezim Orde Baru yang gagal mengkooptasi kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar Cipasung tahun 1994. Di muktamar ini, Gus Dur terpilih sebagai ketua umum, sedang posisi Rois Am diamanahkan kepada KH. Moh. Ilyas Ruhiat.

Dia menjadi saksi sejarah yang merasakan langsung bagaimana suasana mencekam tekanan rezim Suharto. Saat itu, dia masih menjabat sebagai Ketua Umum PMII, yang bersama Gus Dur melakukan perlawanan pada Orde Baru.

Di kalangan aktivis PMII, Cak Imin dikenal sebagai sosok yang anti-mainstream. Paradigma Kritis Tranformatif yang digagas Cak imin di PMII menjadi karakter dan warna pergerakan. Pendekatan kritis itu amat berguna saat hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan.

Seorang kader PMII dituntut untuk kritis dalam memandang realitas, hingga pada ranah aksi, serta menentukan solusi terbaik. Tak mengejutkan saat sejumlah tokoh, termasuk Eros Jarot, menyebut Cak Imin sebagai "anak nakal” karena sikap kritisnya terhadap berbagai hal.

Dia memiliki banyak inisiatif. Di antaranya adalah menjadikan May Day sebagai hari libur nasional, semasa menjadi Menteri Tenaga Kerja. Dia pula yang menjadi inisiator atas Hari Santri Nasional, Nusantara Mengaji, Liga Santri Nusantara (LSN), Liga Desa Nusantara (LDN, Liga Pekerja Indonesia (LPI), Pasar Murah, dan Satgas TKI.

Tiga Pelajaran Penting

Dari tiga sosok yang belatar dari tiga organisasi ekstra kampus itu, kita bisa memetik banyak pelajaran penting. Di antaranya adalah:

Pertama, mata air kepemimpinan nasional masih bersumber dari rahim lembaga ekstra kampus yang konsisten menggelar pengkaderan hingga memiliki jejaring alumni yang luas.

Di era sekarang, kepemimpinan selalu ditentukan seberapa jauh networking atau jaringan yang dibangun seseorang. Lembaga ekstra kampus menjadi buhul yang mengikat para aktivis di berbagai kota, serta membentuk kesadaran untuk berkiprah di level nasional, berkontestasi dengan kader dari berbagai lembaga lain, lalu berjuang bersama untuk merebut posisi strategis.

Kedua, aktivis organisasi memiliki daya lentur yang hebat saat berhadapan dengan kekuasaan. Mereka juga terbiasa berkolaborasi dengan berbagai kalangan masyarakat sipil, sehingga kelak akan lebih luwes dalam perjalanan menuju tangga kekuasaan.

Di zaman ketika organisasi intra kampus hanya membuat mahasiswa jago kandang, organisasi luar kampus mejadi wadah yang mempersatukan banyak pihak, memberi sentuhan ideologi dan pergerakan, hingga memberikan sentuhan intelektualitas.

Di titik ini, seorang aktivis lebih memiliki daya dorong dalam membumikan gagasan-gagasannya.

Ketiga, idealisme di organisasi sedikit banyaknya akan memengaruhi pandangan dan visi seseorang saat memimpin.

Pengalaman beorganisasi akan menjadi jendela untuk memahami satu sosok lebih mendalam. Sebab organisasi akan menempa pemikiran, membukakan jaringan, serta menjadi lingkar inti pertemanan yang kelak membawa seseorang menjadi tokoh politik.

Lantas, dari ketiga tokoh itu, siapa yang akan sukses menjadi presiden? Masih terlalu dini untuk menjawabnya. Semuanya terletak pada kemampuan berjejaring, penguasaan medan pertarungan, hingga strategi merebut kemenangan.

Kita akan menjadi saksi sejarah dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.