Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Menaklukan KEKALAHAN


Sir Alex Ferguson dan David Beckham

Sejarah itu akhirnya diulang kembali. Tahun 1999, Manchester United (MU) menang dramatis melawan Bayern Munchen di final Liga Champion di Barcelona. Saat pertandingan tersisa tiga detik, dalam posisi MU tertinggal 1 gol, keajaiban itu terjadi. MU mencetak dua gol ajaib melalui Teddy Sheringham dan Solksjaer.

Tiga hari lalu, Minggu (26/5/2019), dua kesebelasan ini bertanding kembali, dengan komposisi pemain yang sama dengan tahun 1999. Para penggemar MU menyaksikan David Beckham, Peter Schmeichel, Neville, Jaap Stam, Scholes, dan lainnya. Mereka berhadapan dengan bintang Bayern Munchen, di antaranya adalah Lothar Matheus, Carsten Jancker, dan Giovani Elber.

Pertandingan itu menjadi milik MU dengan skor 5-0. Di media sosial, orang-orang heboh membahas permainan para legenda yang masih apik. Beckham masih menampilkan umpan lambung yang akurat, serta gocekan sekelas dewa. Jaap Stam masih kokoh di depan gawang, dan dianggap lebih baik dari pemain MU saat ini.

Bagi pemain MU, itu adalah momen kegemilangan. Tapi bagi Bayern Muenchen, pertandingan itu adalah sesuatu yang akan memilukan dan memalukan. Mengapa pemain Bayern Munchen mau saja diajak mengenang pertandingan itu? 

Bukankah pertandingan itu adalah pertandingan paling memilukan dan membuat mereka terpuruk? Apa mereka tidak trauma dan dihantui atas kegagalan pertandingan penting itu?

Saya terkejut membaca pernyataan kiper MU, Peter Schmeichel. Menurut kiper asal Denmark ini, Bayern Munchen memang kalah. Tapi mereka punya respon hebat dalam menghadapi kekalahan itu. Mereka tidak meratap, namun menjadikannya sebagai tantangan untuk berbuat lebih hebat.

Setelah pertandingan itu, para pemain di dua klub itu tetap bersahabat. Bahkan semakin erat. Schmeichel mengaku sering mengajak kiper Bayern, Oliver Khan, untuk makan malam dan berbincang banyak. Kadang mereka saling mengolok dan tertawa mengingat peristiwa itu.

“Saya tidak terkejut sama sekali bahwa mantan pemain Bayern setuju untuk bertemu lagi,” tambah mantan kiper United itu. “Mereka sangat menghormati. Saya berada di kubu Denmark yang mengalahkan Jerman Barat di final Piala Eropa 1992.”

Schmeichel melanjutkan: “Orang-orang cenderung melihat kekalahan mereka di Barcelona sebagai momen hitam dalam sejarah Bayern. Namun mereka tidak menganggapnya begitu. Mereka melihatnya sebagai sebuah peluang untuk maju.”

Tahun 1999, Bayern Munchen memang kalah. Setahun berikutnya, tim asal Jerman itu sukses menembus semi final Liga Champion, kemudian menjadi juara setahun berikutnya. Ketika kalah, tim itu tidak lantas terpuruk dan jatuh, melainkan selalu bisa bangkit kembali demi menggapai kemenangan.

“Saya ingat Oliver berterima kasih kepada saya karena mengalahkan mereka dengan cara yang sangat aneh tetapi dia mengatakan itu membuat mereka menjadi pemain yang lebih baik. Mereka semua bereaksi dengan cara yang positif.”

Para pemain Bayern Munchen ini memahami filosofi penting di balik kekalahan. Bahwa kekalahan adalah hal manusiawi dan bisa terjadi pada siapa saja. Kekalahan adalah hal biasa dan normal. Semua orang bisa mengalaminya. 

BACA: Abraham yang Selalu Kalah

Yang luar biasa adalah respon dalam menghadapi kekalahan itu. Yang hebat adalah mereka yang bisa bangkit kembali, melihat kekalahan itu secara positif, dan mengubahnya menjadi kekuatan dalam diri untuk membangkitkan semua potensi terbaik demi menghadapi hidup dengan kepala tegak.

Para pemain Bayern Munchen tidak lantas baper dan tenggelam dalam sikap jumawa dan merasa tetap menang. Mereka menerima kekalahan itu sebagai satu fakta yang membuat mereka akan membenahi kembali apa yang terjadi, lalu menatap masa depan.

Oliver Khan, kiper Bayern Munchen, mengakui pertandingan itu menyakitkan. Tetapi dia berterimakasih atas kekalahan itu sebab bisa membangkitkan sisi terbaiknya yang selama ini terpendam. Tim itu kian menggila dan semakin berkelas sebab senantiasa belajar dari kekalahan.

Dengan kekuatan mental seperti itu, maka mereka selalu menjadi pemenang. Sebab gelar juara hanya sebatas torehan sejarah yang selalu dikenang. Gelar juara sejati adalah milik mereka yang bisa menyerap semua hal pahit di sekitarnya lalu diubah menjadi kekuatan positif yang membuat hari-harinya lebih manis.

Pertandingan itu telah lama berlalu. Ketika MU hendak mengulangnya dalam satu pertandingan bertujuan amal, para pemain Bayern tetap antusias untuk terlibat. Bagi mereka, pertandingan itu juga penting. 

Sebab pada momen kekalahan itu, mereka bisa bangkit, dan kembali ke arena dengan mental juara. Mereka bertransformasi menjadi para master kehidupan yang merespon kekalahan secara positif demi fundasi untuk masa depan.(*)



Mahasiswa BUTON di Kapal PELNI




Jelang mudik, Riza, seorang perantau di Jakarta mulai sibuk berburu tiket. Dia tak lagi berburu tiket pesawat. Dia kini berburu tiket kapal milik maskapai PT Pelni. Padahal, saya ingat persis beberapa tahun lalu, dia sudah berikrar tidak mau lagi naik kapal Pelni. 

“Masak puluhan tahun naik kapal terus. Hidup harus meningkat. Saatnya jadi penumpang pesawat,” katanya dulu. 

Tapi sejak harga tiket pesawat melambung, dirinya mengalami gejala Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK). Tanpa malu-malu, dia kembali berpaling ke kapal Pelni.

Saat saya bertemu dengannya, dia tidak mau terus terang mengakui harga tiket pesawat yang makin susah dijangkaunya. Dia menjawab diplomatis: “Yos, kita ini negara maritim. Harusnya kita bangga menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa,” katanya. Iya deh.

Bagi warga di kawasan timur Indonesia, kapal Pelni ibarat sahabat dekat yang menjadi saksi perjalanan hidup. Pelni menjadi saksi dari mobilitas penduduk yang mencari nafkah di timur Nusantara, juga menjadi sahabat para pelajar yang mencari nasib di kampus-kampus besar di barat Indonesia.

BACA: Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton

Bagi mahasiswa asal Sulawesi Tenggara yang kuliah di Makassar pada tahun 1990-an, kapal Pelni menjadi satu-satunya moda transportasi yang dinaiki untuk bolak-balik Makassar dan Baubau. Kapal menjadi arena bertemu bagi mahasiswa asal Buton, Baubau, Muna, Wakatobi, hingga Buton Utara. 

Ada pula mahasiswa yang punya visi bisnis. Dia akan membeli berkarung-karung wortel, kentang dan bunga kol di Pasar Terong Makassar. Karung itu lalu dititip di mobil yang menyeberang melalui Bajoe-Kolaka, lalu dipindahkan di kapal menuju Baubau. Rencananya, kawan itu akan menjual semua komoditas itu di Pasar Baubau sehingga ketika kembali ke Makassar, dia akan punya banyak ongkos. Dia akan pulang dengan menggunakan kapal Pelni ke Baubau. 

Saya masih ingat, saat-saat paling mendebarkan adalah saat naik kapal. Sebab ada ribuan orang yang hendak naik kapal, semuanya mesti melewati tangga dan pintu kecil di dek 4. Bisa Anda bayangkan betapa berjejalnya pintu masuk. Belum lagi harus siap untuk saling sikut dengan para buruh atau kuli panggul. Di Pelabuhan Mahassar, para kuli panggul dikenal ganas dan tidak kompromi. Bisa dimengerti sih sebab mereka harus cepat untuk berebut rejeki.

Pada beberapa momen pulang kampung, para mahasiswa Buton menyiapkan dengan serius. Ada yang lebih dahulu memanjangkan rambutnya, biar warga kampung kaget melihat dirinya yang gondrong. Di masa itu, gondrong identik dengan preman. Bagi mahasiswa, nampak seram itu keren. Ada juga yang berburu tas ransel ala pendaki gunung, lengkap dengan matras di atasnya. 

Fashion paling keren untuk mahasiswa di masa itu adalah fashion ala pencinta alam. Rasanya keren sekali kalau dianggap suka berpetualang dan naik gunung. Di akhir masa kuliah, fashion yang lagi happening adalah penampilan ala fotografer. Rasanya bangga kalau naik kapal sambil menenteng kamera. Padahal kemampuan motret masih amatiran. Masih sebatas motret acara ulang tahun.

Ada juga yang sengaja beli buku-buku tebal untuk ditenteng di kapal. Mungkin dia bayangkan gadis-gadis akan terkesima dengan kemampuan mengutip-ngutip berbagai istilah akademik. Di depan gadis-gadis, dia akan keluarkan istilah-istilah sulit, seperti paradigma, aksioma, atau revolusi sains. Disebutlah nama para filsuf dan pemikir, mulai dari Plato, Aristoteles, hingga Nietzsche dan Michel Foucault. 

Ada juga yang sok-sok jadi aktivis. Ketika ketemu teman, langsung sibuk bahas topik ekonomi makro, pemerintah yang bobrok, hingga keluar teori-teori ekonometrik. Dia lalu menyebut kiprahnya di dunia aktivis dan intelektualitas. Tahu alasan mengeluarkan istilah rumit? Biar si cewek kagum dan bersedia dipacari. Yah, namanya juga usaha.

Ada pula mahasiswa yang membayangkan akan show di kapal. Seorang kawan bernama La Udi akan latihan vokal selama seminggu demi bisa tampil sempurna saat karaoke dengan lagu-lagu dangdut di kafetaria kapal. Sebab di kafetaria kapal, sering kali ada karaoke. 

Banyak mahasiswa menunggu di sana, memesan segelas kopi, lalu menyaksikan para biduan saling pamer kemampuan bernyanyi. La Udi membayangkan dirinya akan jadi bintang, mendapat tepuk tangan meriah, setelah itu dapat hadiah berupa tiket nonton film yang agak porno di dek dua.
Saya masih ingat, dahulu ada clubbing atau diskotik di kapal. Tepat jam 12 malam, pihak kapal mengumumkan akan ada diskotik yang buka di dek dua. Semua penumpang boleh datang, tapi disyaratkan memakai sepatu. Kembali, saya akan melihat La Udi yang menyemprot setengah botol parfum di badannya biar wangi. 

Nah, kemampuan joged akan diperlukan untuk membuat orang-orang kagum. Kalau soal joged, La Udi tak perlu diajari. Dia sudah pengalaman menghadiri pesta kande-kandea di banyak desa di kampung kami, mulai dari Tolandona hingga Wakoko. Di setiap acara adat itu, selalu ada acara joged untuk anak-anak muda. Setiap kali joged, pasti dia akan mendapat pacar baru. Duh! Bikin cemburu saja.

Ada pula yang mengasah skill bermain domino. Lama tempuh kapal Pelni selama 12 jam dari Makassar ke Baubau akan terasa singkat jika dilalui dengan bermain domino. Bagi kami, amat rugi membeli tiket kelas 1 hingga kelas 4. Sebab, waktu akan lebih banyak dihabiskan di kafetaria, tangga kapal, atau lorong-lorong kamar. Apa yang dilakukan di situ? Kalau bukan main domino, kami akan isi dengan berceloteh berbagai topik.

Saking seringnya naik kapal, saya mengenali semua tempat di kapal itu. Sepanjang kuliah, saya selalu menaiki kelas ekonomi. Saya terbiasa tidur di berbagai tempat. Pernah tidur di tangga, dekat dapur, lorong-lorong kamar kelas, hingga pernah pula menyewa kamar anak buah kapal (ABK). Malah, pernah saya tidur di sekoci. 

Saat berada di kapal, saya merasakan banyak hal yang berubah. Beberapa teman yang dahulu minder, tiba-tiba jadi lebih percaya diri. Kadang kami bahas teman yang dahulu juara kelas, tiba-tiba kehilangan kharismanya saat kuliah.

Saat bertemu teman-teman sekampung, topik paling disukai adalah tentang kiprah teman-teman cewek yang dahulu pernah menjadi idola dan agak angkuh di sekolah. Kuliah di kota-kota, membuat kawan sekampung bertemu dengan pergaulan yang lebih luas, sehingga menganggap kalau ada banyak cewek yang melebihi idola sekolah kami, namun justru jauh dari kesan angkuh. 

Kami juga membahas perkembangan teman-teman kami yang lama tak bertemu. Mulai dari La Albert yang berhenti kuliah karena menekuni aktivitas paranormal dan perdukunan, La Dora yang dicari preman karena menghamili keluarga preman itu, hingga La Komar yang di masa SMA dikenal malas, tiba-tiba menjadi aktivis yang muncul di banyak demonstrasi.

Pada beberapa kawan, momen mudik menjadi ajang uji nyali dan petualangan. Modusnya adalah tidak membeli tiket untuk menaiki kapal laut. Saya tahu persis kalau kawan itu punya uang, tapi dia sengaja tidak membeli tiket. Mungkin dia merasa keren saat menumpang kapal tanpa tiket, lalu menghindari kejaran satpam dan petugas tiket. 

Pernah pula dia tertangkap satpam. Bukannya malu, dia justru merasa bangga karena tertangkap. Dia pun membayar tiket. Setelah itu dia akan petantang-petenteng ke mana-mana lalu lempar senyum sana sini saat berita tentang dirinya tertangkap telah menyebar. Dia justru bangga karena tertangkap. Dasar!

Seorang kawan aktivis, punya kiat cerdik. Dia akan membuat negosiasi dengan pihak kapal Pelni. “Jumlah kami 10. Apakah kami bisa diberi 10 tiket dengan hanya membayar 6 tiket?” Kalau pihak Pelni setuju, maka dia akan merasa bangga setinggi langit. Misi untuk lobi telah sukses.

Pada masa itu, banyak teman sekampung yang jadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal. Mereka lalu mengajak rekan-rekannya ke ruang-ruang tersembunyi di kapal, biasanya ruang rapat. Di situ, beberapa bir dan konau (tuak khas Buton) dikeluarkan. Kami lalu party dan hepi-hepi.

BACA: KIsah Raja BUGIS di Pulau BUTON

Saking seringnya naik kapal, saya menghapal persis semua pengumuman di kapal itu. Misalnya, “ABK dek muka belakang.” Atau pengumuman tentang “Kapal serong kiri”. Ada tiga pengumuman yang paling ditunggu.

Pertama, pengumuman makan malam. Saya tak sabar untuk antre demi makanan yang diletakkan di atas kaleng dengan petak-petak ala narapidana. Kedua, pengumuman kalau diskotek sudah dibuka dan pengunjung diminta datang dengan memakai sepatu. Ketiga, pengumuman kalau sejam lagi kapal akan tiba di Pelabuhan Baubau.

Nah, pengumuman terakhir ini yang paling menyenangkan. Saya akan segera menuju anjungan atau geladak kapal. Saya menyaksikan kampung halaman yang terlihat di kejauhan. Yang pertama saya kenali adalah rumahnya La Ony yang nampak dari kejauhan, jembatan batu yang dipenuhi kapal layar, hingga akhirnya kerumunan penjemput yang menanti kedatangan kami, anak mahasiswa yang dahulu bengal, kini melanjutkan pendidikan demi masa depan. 

Di antara penjemput itu, selalu ada almarhum bapak yang akan tersenyum lebar dan menanti kedatangan saya dengan penuh bahagia.

Ah, postingan ini mulai sedih. Saya cukupkan sampai di sini.




Percakapan dengan LADA: Dari Swantoro Hingga Acemoglu




Di dapur-dapur rumah, kita lebih sering melihat lada atau merica sebagai bumbu yang menambah cita rasa masakan. Padahal, pada setiap bumbu itu terdapat hamparan kisah yang memikat. Mulai dari kedatangan kapal-kapal berbendera asing, hingga konflik antar kerajaan.

Saya baru saja selesai membaca buku tipis berjudul Perdagangan Lada Abad XVII yang ditulis P Swantoro, sejarawan dan jurnalis senior Kompas. Buku ini menarik sebab mengurai banyak cerita tentang lada yang di satu masa pernah menjadi komoditas senilai emas.

Dahulu, orang Eropa menggunakan lada untuk membumbui daging. Sebelumnya, orang hanya makan daging yang diasapi dan diberi garam. Pada masa orang Eropa belum berlayar ke Timur, hanya orang kaya yang yang bisa menggunakan rempah-rempah.

Saat pelayaran ke Timur terbuka, dan kapal-kapal yang didanai korporasi seperti VOC mulai hilir-mudik ke Timur, barulah lada menjadi komoditas mahal yang terkenal di seantero Eropa. Sebelumnya, para pedagang Cina sudah mencatat bahwa Nusantara adalah tempat penghasil lada terbaik yang mahal di pasaran dunia.

BACA: Lima Salah Kaprah tentang Indonesia Timur

Plinius, seorang penyair Romawi pada abad pertama Masehi, tercatat pernah menulis tentang lada. Katanya: “Butir-butir buah lada tidak menggiurkan. Satu-satunya yang diharapkan darinya adalah rasanya yang menusuk. Namun untuk merasakan itu, orang bersusah payah mendatangkannya. Jauh-jauh dari India.”

Pada masa itu, Plinius hanya tahu India. Namun pada abad ke-17, kebutuhan lada terbesar dunia dipasok oleh wilayah-wilayah di Nusantara. Lada menjadi komoditas penting ekspor dari banyak kerajaan di Nusantara.

Sebegitu mahalnya lada, sampai-sampai Paul Hermann dalam buku The Great Age of Discovery menjelaskan, lada pernah menjadi perjanjian bangsa Romawi. Paul Hermann mengatakan:

“Lada adalah alat tukar yang ideal. Ia berharga bagaikan emas. Biaya melintas, sewa pajak, bahkan denda pengadilan, dapat dibayar dengan lada. Lada bisa membeli tanah dan pulau, melunasi barang gadaian, serta membeli kewarganegaraan dan persenjataan yang lengkap. Wanita tercantik, kuda tergagah perhiasan terindah, karpet berharga, buku hewan langka. Semua bisa dimiliki dengan lada.”

Kita yang hidup di zaman ini mungkin tersenyum-senyum saat membaca tulisan ini. Bisa jadi kita akan terkejut saat membaca fakta sejarah mengenai Pulau Run, satu pulau kecil di Kepulauan Banda Maluku yang kaya rempah-rempah, pernah ditukar dengan wilayah yang kini menjadi Manhattan di New York.

Pada masa itu, Belanda menguasai Manhattan, sedangkan Inggris menguasai Pulau Run. Kedua negara ini sepakat menukar kedua pulau itu dalam satu perjanjian dagang yang direbut Traktat Breda. Manhattan yang luas ditukar dengan Pulau Run yang kecil tapi kaya rempah-rempah.

Sebagaimana rempah-rempah lainnya, lada juga punya harga yang sama mahalnya. Bau harum lada telah memicu kedatangan VOC sebagai satu perusahaan paling besar di zamannya. Melihat nilai lada yang begitu fantastis, VOC berniat untuk seorang diri mengeruk semua keuntungan. 

Demi mendapatkan monopoli lada, kepentingan VOC berbenturan dengan kerajaan-kerajaan yang sudah lebih dahulu memonopoli bisnis lada. Di antara kerajaan ini pun sering konflik demi menguasai perdagangan lada. 

VOC berkonflik dengan Kesultanan Aceh saat memperebutkan lada di Sumatera Barat. Keduanya berebut pengaruh pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Barat, di antaranya Pariaman.

Saya tertarik dengan tuturan penulis buku ini mengenai posisi kerajaan besar di Nusantara yang lebih banyak merangkap sebagai pedagang besar. Kuasa pemerintahan digunakan juga untuk mengembangkan dagang, yang membawa keuntungan besar, lalu membuat raja kaya-raya.

Konflik antara kerajaan dengan VOC selalu terkait dengan dagang, komoditas yang mahal di pasaran dunia, serta jalur perdagangan. Sebagai perusahaan, VOC mendapatkan otoritas untuk melakukan perjanjian dengan kerajaan, membangun aliansi, serta terlibat peperangan, demi memperluas monopoli serta mendapatkan keuntungan lebih.

Buku yang ditulis P Swantoro ini bisa menjadi peta awal untuk memahami peta dagang serta konflik beberapa kerajaan dengan VOC. Sayangnya, buku ini terlampau tipis. Padahal saya sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kelanjutan dampak perdagangan lada dan rempah-rempah lainnya di Nusantara.
Dahulu, ketika belajar tentang rempah-rempah sebagai komoditas yang senilai emas, saya punya pertanyaan, mengapa komoditas itu tidak membuat kita kaya-raya lalu kapal-kapal kita hilir mudik dan menjajah Eropa? Mengapa kita yang ditakdirkan untuk dijajah bangsa Eropa, padahal komoditas itu harusnya membuat kita kaya raya?

Saya menemukan jawabannya dalam buku Why Nations Fail yang ditulis Daron Acemoglu dan James A Robinson pada tahun 2013. Dalam satu bab di buku ini, Acemoglu membahas apa yang terjadi di Maluku. 

Dia membahas Maluku demi menyajikan satu sketsa buram tentang bagaimana satu wilayah yang dikenal kaya-raya, namun berubah menjadi miskin akibat datangnya bangsa Eropa.

Sebelum bangsa asing datang, Maluku pernah berjaya ketika komoditas di Maluku menjadi  komoditas yang paling laku di pasaran internasional. Sayang, kerajaan-kerajaan di Maluku gagal membangun satu sistem politik yang inklusif. 

Acemoglu memaparkan institusi politik-ekonomi yang menjadi penentu makmur tidaknya satu negara. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. 

Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal. 

Ekstraktif mengandalkan pada upaya memeras, mengeruk, menyadap, dan menghisap kekayaan satu lapisan demi memperkaya lapisan lainnya. Inklusif adalah menciptakan pasar yang berkeadilan, memberi kebebasan bagi rakyat untuk memilih pekerjaan, serta arena persaingan yang adil bagi siapa saja. 

Sayang sekali, lada dan rempah-rempah yang kaya itu gagal dikelola menjadi kekuatan yang membuat kerajaan kita makmur. Pada masa itu, banyak kerajaan yang malah tidak berdaya ketika VOC datang melemparkan receh pada raja-raja, setelah itu memgambil semua komoditas, lalu menjualnya dengan harga tinggi di pasar dunia.

Kini, kita mengenang lada dan rempah-rempah sebagai sesuatu yang pernah berjaya di pasar dunia, namun memberi luka yang perih dalam sejarah kita. Luka itu berupa konflik, situasi terjajah, serta kekalahan bertubi-tubi dalam politik memecah belah yang dimainkan penjajah.

Dalam banyak hal, lada memberikan kita alarm pada situasi kita hari ini yang bisa terjebak dalam lubang sejarah yang sama.



ABRAHAM yang Selalu Kalah




Andaikan Abraham Lincoln (1809-1865) tidak kuat, mungkin dia sudah akan berakhir di rumah sakit jiwa. Kalah berkali-kali dalam kehidupannya benar-benar menjadi pukulan telak. Tapi dia tidak ingin terpuruk. Dia tetap maju, meskipun kalah terus.

Para sejarawan menyebut dirinya adalah sosok paling banyak menderita kekalahan. Dia lahir di tengah keluarga miskin. Masa kecilnya hidup melarat, tapi dia sudah terobsesi untuk jadi politisi. Sayang, dia tidak punya cukup uang. Dia juga tidak terkenal. Dia pun mulai berbisnis. Dia gagal dan terpaksa harus membayar utang selama bertahun-tahun.

Dia bangkit dan mencoba lagi. Tahun 1831, dia berhasil menjadi anggota legislatif. Dirinya semakin yakin kalau takdirnya di dunia politik. Abraham percaya bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukannya di dunia politik.

Semasa di legislatif, dia mengenal seorang perempuan, yang kemudian menjadi tunangannya. Perempuan ini membantu menyusun strategi politik untuknya. Sungguh menyedihkan, tunangan itu meninggal dunia karena penyakit. Abraham mengalami depresi hingga terkapar di tempat tidur selama berbulan-bulan. Dia divonis menderita neurasthenia, penyakit saraf lemah.

Tahun 1838, dia pulih. Kenekatannya kembali datang. Dia mencalonkan diri sebagai Speaker of State Legislature. Gagal. Tahun 1843, dia mencalonkan diri sebagai anggota kongres. Gagal lagi. Tapi dia bukan orang yang mudah patah. Dia selalu menantang dirinya: “Mengapa harus gagal?” 

Tahun 1846, kembali mencalonkan diri sebagai anggota kongres. Kali ini dia berhasil. Dua tahun bekerja, dia ingin terpilih lagi. Dia pikir dirinya cukup menonjol sebagai anggota kongres. Ternyata dia gagal. Ia kehilangan sejumlah besar uang untuk pemilihan tersebut, Lincoln melamar pekerjaan sebagai land officer, tapi ditolak.

Pemerintah negara bagian mengembalikan surat lamarannya dengan penjelasan bahwa "Untuk menjadi pejabat negara dituntut kandidat yang punya bakat dan kecerdasan yang luar biasa, dan permohonan Anda gagal memenuhi tuntutan ini."

Pada tahun 1854, dia mencalonkan diri sebagai anggota Senat, kembali gagal. Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri untuk menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat. Namun, kalah. Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali sebagai anggota Senat, dan gagal lagi.

Abraham telah mencoba 11 kali, tapi hanya berhasil 2 kali, namun, ia tak pernah menyerah untuk mewujudkan keinginannya, ia selalu menjadi sosok orang yang menjalani hidupnya sesuai keinginannya sendiri, dan tidak diombang-ambingkan oleh nasib.

Dan ternyata benar, ia memang ditakdirkan untuk menjadi orang hebat. Pada tahun 1860, akhirnya dia terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-16. Mulailah dia membuat sejarah. Dia dikenal sebagai presiden yang menghapus perbudakan, mengatasi civil war, serta meletakkan landasan kuat bagi demokrasi di Amerika Serikat. 

Dia menjadi presiden paling besar dan paling dikenang di negara itu.

Jika saja mentalnya rapuh, mungkin dia sudah lama terpuruk karena kegagalan bertubi-tubi. Salah satu kutipannya yang terkenal adalah: “The best way to predict the future is to create it.” Cara terbaik untuk menebak masa depan adalah dengan mewujudkannya. 

Untuk mencapai puncak, Anda harus punya konsistensi dan keberanian untuk terus mencoba. Anda tak pernah tahu sudah sampai di titik mana. Tapi ketika Anda berhenti, maka Anda bisa kehilangan peluang. 

JIka berhenti di tengah, maka Anda bisa kehilangan kesempatan emas sebagaimana pernah dialami seorang penggali berlian. Saat sudah jauh menggali, tiba-tiba ada rasa putus asa dan merasa gagal. Dia berhenti. Saat itulah datang orang lain, yang baru sekali mengayunkan linggis, langsung menemukan berlian. Penggali itu mundur pada saat dirinya sedikit lagi berhasil.

Jadilah seperti Abraham yang tak berhenti mencoba. Bahkan tetes air pun bisa melubangi batu sebab konsisten dan tak berhenti. Saat Lincoln mencapai tujuan, dia berujar, “Ternyata saya baru sadar kalau saya ditakdirkan menjadi presiden.” 

Belajar dari Abraham, orang hebat bukanlah orang yang bisa menggapai puncak karier tertinggi dalam kehidupannya. Bukan orang yang dengan mudah berada di puncak. Orang hebat adalah orang yang berkali-kali jatuh, tetapi berkali-kali pula selalu berhasil bangkit kembali.

Kehebatan tidak terletak pada jalan lurus mencapai puncak. Tapi pada kekuatan untuk selalu bangkit dan memaknai kekalahan sebagai duri-duri dan tantangan yang akan membuat seseorang berdiri, meskipun tertatih, lalu kembali mengejar impiannya.



Cerita tentang PEIN AKATSUKI (2)


salah satu co-working space di Jakarta

Saya mengenal seorang anak muda di satu kelompok relawan capres. Namanya Giovanni. Biasa dipanggil Gio. Usianya belum 20 tahun. Dia seorang graphic designer. Hidupnya mengingatkan saya pada kampret dalam artian sebenarnya. Dia tidur di siang hari, malam hari sibuk di depan laptop.

Hari-harinya bergerak antara mendesain sesuatu dan juga bermain game. Dia seorang pencandu game yang sudah mencapai level maniak. Dia juga sering wara-wiri di Instagram. Dalam hati, sempat terbersit tanya, apa anak muda ini tidak memikirkan masa depannya?

Suatu hari, dia menyerahkan kartu namanya kepada saya. Rupanya dia menjadi graphic designer panggilan. Dia menerima order dari mana pun. Dia mengerjakan semua hal mengenai desain. Dia juga mendesain semua bahan presentasi power point. Di tangannya, semua bahan presentasi jadi indah dipandang.

Dia tak ingin jadi pekerja terikat, maksudnya, dia tak ingin setiap hari datang ke satu kantor. Tapi, pemakai jasanya mesti mengontrak dirinya selama sebulan atau lebih. Berapa honornya sebulan? Dia menyebut angka 4 juta rupiah. Dengan membayar sebesar itu, dia siap menerima order selama sebulan.

BACA: Cerita tentang PEIN AKATSUKI (1)

Tapi, untuk standar Jakarta, angka 4 juta itu kan kecil? Saya bertanya. Dia tersenyum mendengarnya. Dia bilang, saat ini dia punya 10 klien. Jika satu klien tarifnya adalah 4 juta, maka untuk 10 klien, dia bisa mendapat income 40 juta rupiah, jumlah yang cukup besar untuk seorang anak muda yang setiap hari kerjanya cuma nongkrong.

Tapi mengerjakan jasa desain untuk 10 klien kan pasti repot? Dia bilang, dia punya dua orang asisten. Masing-masing standby di Bandung. Kalau dia membayar asisten lima juta rupiah, dia masih punya 30 juta rupiah kan? Tetap saja besar untuk ukuran kelas menengah kota.

Belakangan ini, saya bertemu banyak anak muda mandiri seperti Gio. Mereka adalah para pelaku freelancer economy yang mendapat manfaat dari disrupsi teknologi. Mereka menjalani profesi yang sesuai hobinya. 

Mereka generasi yang tidak tertarik untuk kerja di perusahaan-perusahaan besar. Mereka jauh lebih suka membuat perusahaan kecil, yang kantornya berpindah-pindah dari kafe ke kafe, tidak terikat jam kerja, serta selalu tertantang untuk membuat sesuatu yang baru. Banyak pekerjaan yang justru dikerjakan di kamar kos-kosan.

Mereka tidak pernah setia pada satu bos, melainkan suka berpindah-pindah, sebelum akhirnya menjadi bos. Bagi mereka, bekerja itu adalah bermain. Ketika seorang bos datang dan menerapkan banyak aturan, maka mereka akan memilih keluar baik-baik dan mencari ruang bermain yang baru.

Salah satu ciri generasi ini adalah adanya rasa percaya diri yang tinggi. Saat meeting dengan mereka, dengan santainya mereka bisa memotong pembicaraan dan menyampaikan idenya. Mereka selalu ingin mewarnai sesuatu, selalu membawa gagasan nyeleneh, dan juga penuh semangat.

Jika saya menekuni profesi seperti Gio, saya bayangkan betapa sulitnya saya menjelaskan profesi ini pada ibu saya di kampung. Ibu saya hanya mengenal beberapa profesi yakni pegawai negeri, paramedis, tentara atau polisi, dan pedagang. Bagaimana menjelaskan profesi seseorang yang setiap hari hanya menghasilkan gambar-gambar karikatur?

Gio sudah mengenal dunia enterpreneur di usia yang masih sangat belia. Namanya boleh tidak populer. Dia tidak dikenal. Tapi dia adalah otak di balik desain sejumlah tokoh-tokoh besar yang berkampanye di ruang publik dan media sosial. Perlahan, dia mulai direkomendasikan banyak orang.

Saya teringat pada Pein Akatsuki, sosok yang pernah saya bahas di postingan sebelumnya. Berkat dirinya, banyak orang, termasuk saya, yang terbantu oleh jasa subtitle gratis di banyak situs penyedia film gratis. Pein Akatsuki sengaja bersembunyi di balik nama samaran itu, tapi dirinya eksis dan bekerja secara lepas dari balik dinding sebuah kantor di Tebet.

Pein Akatsuki dan kawan-kawannya terinspirasi pada Google, yang menggratiskan semua layanan, tapi secara perlahan mereka bisa menangguk banyak untung di situ. Anda jadi penggemar setianya, dan tanpa sadar telah menguatkan branding-nya. Pantas saja, belakangan, selalu ada iklan terselip di terjemahan yang mereka buat. 

Bisa jadi, kita pernah bertemu dirinya di satu coworking space yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Coworking space menjadi ruang kerja bersama di mana banyak orang bisa bertemu, lalu berkolaborasi untuk membicarakan beberapa pekerjaan kreatif. Orang kota tak lagi butuh kantor. Mereka hanya butuh ruang yang nyaman untuk bermain, juga sesekali bekerja.

Saya teringat foto demonstrasi seorang anak ITB yang memegang spanduk bertuliskan “Direbut asing. Direbut robot. Mau kerja di mana coba?” Jika saja poster itu diperlihatkan pada Gio dan Pein Akatsuki, pasti mereka akan tersenyum-senyum.

Jaman sudah berubah Nak.



Kisah Betawi Miliuner




Biasanya, saya sangat selektif ketika ada ajakan untuk menulis buku. Tapi mendengar cerita tentang lelaki bernama Afrial Tabrani ini, saya langsung tertarik dan menyanggupi. Kisah hidupnya menarik, seperti roller coaster, seperti kisah “from zero to hero.”

Dulu, pria Betawi yang cuma lulusan SMA ini seorang kondektur bus trayek 213, jurusan Grogol-Kampung Melayu. Saya pernah lihat beberapa fotonya semasa kondektur. Kini, dia menjadi seseorang yang berpenghasilan 300 juta rupiah sebulan. Bahkan sering kali melampaui angka itu. Dalam setahun, dia bisa meraup income sampai miliaran. 

Mulanya saya tak percaya. Saya malah menduga mobil Mercedes dua pintu yang dipakainya adalah pinjaman. Apalagi dia sendiri mengaku tampangnya seperti sopir. 

Pernah, ketika memarkir mobil mercy-nya di satu warung bakso, pemiik warung bertanya, "Bang, majikanmu kerja apa sih?"

Andai tidak mengenalnya, saya pun akan mengira dirinya seorang sopir. Setelah berkunjung ke rumahnya di Alam Sutera dan melihat beberapa asetnya, saya tahu dia berkata benar. Malah, dia menunjukkan slip gajinya.

Tahu apa pekerjaannya? Dia mengelola bisnis berjejaring. Dia menjadi agen satu produk yang menggabungkan asuransi dan tabungan cerdas. Produknya adalah asuransi CAR yang dimiliki grup BCA, tapi dikembangkan dengan berjejaring ala Multi Level Marketing (MLM) yang dinamakan 3iNetwork.

Banyak orang yang alergi dengan skema MLM. Ada pula yang tidak begitu suka ketika diberitahu tentang “uang bekerja untuk kita.” Sering pula kita menjauh saat diberitahu potensi pendapatan agen asuransi dan MLM. Kita pikir semuanya adalah fatamorgana dan ada unsur tipu-tipu.

Semasa kuliah, saya teringat seorang kawan yang aktif di MLM sering melakukan “prospek.” Banyak orang menjauh. Saya justru senang diprospek. Karena pihak yang prospek akan berusaha menghibur dan meyakinkan saya. Di masa itu, saya hanya anggap sebagai lucu-lucuan. 

Tapi Afrial justru menemukan tantangan. Mulanya dia meyakinkan seorang satpam, setelah itu mulai mencari kaki-kaki yang lain. Dengan gaya kocak dan penuh humor, dia rajin menyapa dan meyakinkan banyak orang. 

Jalan yang ditempuhnya memang terjal. Apalagi image orang-orang tentang MLM lebih banyak negatif. “Kalau tiba-tiba ada yang senyum, atau tiba-tiba disapa teman lama, selalu muncul curiga, jangan-jangan MLM.” 

Afrial tidak patah arang. Dia tahu bahwa lebih mudah sinis, ketimbang mengapresiasi. Dia jalan terus. Pelan-pelan dia mulai punya pengikut. Hanya dalam waktu dua tahun, dia sudah mencapai posisi crown, dengan potensi pendapatan 300 juta sebulan. 

Saya lihat kekuatan Afrial bukan pada mimpi-mimpi dan harapan. Tapi dia justru menyediakan dirinya untuk mendampingi, membantu orang lain, dan selalu bersedia untuk datang, kapan pun dibutuhkan. 

Dia mengingatkan saya pada Marketing 3.0, di mana pemasar tidak lagi sekadar menawarkan produk, tetapi lebih menekankan pada sentuhan emosional sehingga pemasar dan calon konsumen menjadi sahabat dekat yang saling membantu.

Saya mengenal beberapa senior yang bekerja sebagai dirjen atau direktur perusahaan besar di Jakarta. Mereka menjadi manusia super sibuk yang waktunya selalu padat. Bahkan untuk sekadar ngopi dengan mereka, itu bisa jadi anugerah besar. Mereka berkorban waktu untuk hal-hal sederhana sehingga sering kali keluarga dikorbankan.

Tapi Afrial Tabrani justru berbeda. Setelah “uang bekerja untuknya”, dia lebih banyak bersantai. Dia suka berwisata ke luar negeri. Dia berkunjung ke banyak destinasi wisata dunia, dari Eropa hingga Asia. Dia melakukan itu bersama istri dan anak-anaknya.

Saat di Paris dan memasuki butik-butik mahal, dia suka mengenang dirinya dahulu yang mesti berjuang keras sebagai kondektur bus demi sesuap nasi. Saat berada di Roma, Italia, dia sengaja memakai baju merah khas Betawi dan berpose di situ. Dia hendak berkata: ”Nih, gue anak Betawi yang dulunya kondektur, sekarang bisa keliling dunia.”

Saya selalu menikmati saat-saat berjumpa dengannya. Di media sosialnya, dia juga kerap berbagi hal-hal yang ringan, tapi sarat makna. Postingannya sering bikin iri. Saat orang lain bekerja dan menembus kemacetan, eh dia malah leyeh-leyeh di hotel.

Dia juga pernah bilang: “Kata orang, jadi kaya itu ujian. Jadi miskin juga ujian. Mending gue milih kaya dong.”

Kini, draft buku berjudul “Betawi Miliuner” sudah saya rampungkan. Saya belum tahu apakah buku ini akan dipasarkan di toko buku atau tidak. Kontrak saya sebatas membuat draft. 

Yang saya nikmati dari proses menulis buku semi biografi adalah kesempatan untuk belajar dan menelusuri sesuatu sampai detail. Pada Afrial, saya tidak belajar cara menjadi kaya. Saya belajar bagaimana melihat hidup sebagai arena untuk bekerja sekeras-kerasnya, lalu menikmatinya sepuas-puasnya.



Cahaya Hati Seorang Ibu




Anak kecil itu bernama Tommy. Di Amerika Serikat tahun 1850, dia dikenal sebagai anak yang bodoh dan tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Dia selalu gelisah. Pikirannya selalu melompat-lompat dan cepat berpindah dari satu topik ke topik lain.

Pihak sekolah mulai kewalahan menangani Tommy. Kepala sekolah mengundang guru-guru untuk diskusi. Rapor Tommy dibahas. Nilainya selalu buruk dan mengecewakan. Pihak sekolah berniat mengeluarkan anak itu karena dianggap tidak bisa mengikuti pelajaran.

Tapi pihak sekolah tidak ingin mengatakan hal sebenarnya. Tommy dipanggil, kemudian diberi sepucuk surat yang harus diberikan kepada ibunya. Tommy pulang dengan gembira dan bergegas menemui ibunya.

Sang ibu menerima surat itu lalu membacanya. Dia berurai air mata. “Apa isinya Bu?” tanya Tommy dengan penuh rasa penasaran. Ibunya menyeka air mata, kemudian membaca surat itu dengan suara keras.

“Putra Anda seorang jenius. Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya dan tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya. Agar anda mendidiknya sendiri.”.

Ibu meminta Tommy untuk tidak perlu ke sekolah. “Kamu anak yang spesial Nak,” katanya berulang-ulang. Ibu menjadi guru yang mengajari Tommy setiap hari. Ibu merancang jam belajar seperti jam bermain. Mereka membahas banyak buku, jalan-jalan, serta sesekali berpetualang.

Tanpa kurikulum seperti halnya sekolah-sekolah, Ibu mulai mengenalkan Tommy dengan bacaan sains untuk orang dewasa. Tommy pun tumbuh dengan kecerdasan yang melampaui anak seusianya. Ibu menjadi sahabat sekaligus guru yang menjawab semua ketidaktahuan Tommy.

Saat keingintahuan mulai tumbuh, mulailah Tommy bereksperimen. Di usia 12 tahun, dia sudah punya laboratorium kimia kecil di ruang bawah tanah rumahnya. Tommy mulai membuat telegraf yang sudah bisa berfungsi. Dia pun mulai mandiri.

Saat usia 32 tahun, dia bukan lagi Tommy yang bodoh. Namanya harum sebagai penemu hebat yang dikenal seluruh warga Amerika Serikat. Beberapa tahun setelahnya, dia tercatat sebagai penemu paling produktif yang memegang rekor 1.093 paten atas namanya. Sayang, saat itu ibunya telah lama meninggal.

Beberapa penelitiannya antara lain: mendeteksi pesawat terbang, menghancurkan periskop dengan senjata mesin, mendeteksi kapal selam, menghentikan torpedo dengan jaring, menaikkan kekuatan torpedo, kapal kamuflase, dan masih banyak lagi. 

Salah satu karyanya yang monumental adalah penemuan lampu pijar yang mengubah sejarah dan peradaban. Berkat penemuannya itu, dunia menjadi terang benderang. Dia pun kini lebih dikenal sebagai THOMAS ALVA EDISON, seorang penemu hebat dalam sejarah.

Di puncak popularitasnya, Tommy rindu dengan ibunya yang hebat itu. Dalam posisi sebagai pemilik perusahaan General Electric, salah satu perusahaan teknologi paling sukses dalam sejarah, Tommy pulang ke rumah ibunya. 

Saat membuka laci, dia terkejut melihat surat yang pernah dibawanya ke rumah. Dia tersentak saat membaca surat itu:

“PUTRA ANDA ANAK YANG BODOH. KAMI TIDAK MENGIZINKAN PUTRA ANDA BERSEKOLAH LAGI.”

Tommy terdiam sesaat, kemudian menangis tersedu-sedu. Dia membayangkan ibunya yang luar biasa dan serupa mata air tak pernah berhenti menyirami dirinya dengan kasih sayang. 

Jika saja ibunya mengikuti apa kata pihak sekolah, dia tak akan mungkin mencapai posisi seperti sekarang. Mungkin dia akan menjadi seorang preman jalanan yang dicap bodoh oleh dunia sekitarnya.

Tapi ibunya adalah seorang ibu yang luar biasa, yang bisa melihat ada pijar cahaya dalam dirinya. Ibunya menjadi matahari yang menuntun langkahnya untuk menemukan potensi diri. Ibunya menjadi tanah gembur yang menumbuhkan semua potensi itu.

Keyakinan dan kepercayaan ibunya menjadi kekuatan bagi Tommy. Dunia boleh tidak menerimanya, tapi cahaya seorang ibu akan menjadi pelita terang yang memberinya kemampuan untuk terus menggapai mimpinya. Ibunya telah mengubah dirinya menjadi sosok luar biasa dan pengubah sejarah.

Seusai menangis, Tommy lalu membuat catatan: “Saya Thomas Alva Edison adalah seorang anak yang bodoh, yang karena seorang ibu luar biasa, mampu menjadi seseorang yang bermakna.”



Argentina di Final Champion


Mauricio Pochettino

Akhirnya, ada juga orang Argentina yang tampil di final liga Champion. Bukan Lionel Messi, salah satu pesepakbola terbaik di abad 21. Bukan pula Sergio Aguero, menantu Diego Maradona yang jadi bintang di Manchester City. Bukan pula Higuain yang bermain di Chelsea.

Dia adalah Mauricio Pochettino, pelatih Tottenham Hotspurs. Dia memang bukan pemain. Tapi percayalah, namanya lebih menggema dari siapapun di tim itu. Bahkan namanya akan lebih dikenal dibanding Lucas Moura, pencetak tiga gol di gawang Ajax.

Berkat Pochettino, permainan Spurs menggila. Ketika timnya tertinggal agregat 3-0, dia tak mau mengendurkan serangan. Spurs tak mau menyerah pada takdir. Saat Ajax mulai main aman karena merasa di atas angin, Spurs tetap pantang menyerah dan terus-menerus menggempur.

Paruh terakhir babak kedua, serangan Spurs laksana air bah mengalir. Pochettino tak henti berteriak di pinggir lapangan. Dia tahu, suara paraunya akan ditenggelamkan oleh siulan dan teriakan para penonton di stadion milik Ajax itu.

BACA: Ballon d'Or Bukan untuk Cristiano Ronaldo

Tapi dia merasa perlu melakukannya demi membakar semangat tim, agar tim menjelma menjadi singa lapar yang mengaum dan mengoyak lawan. Racikan strategi serta motivasi itu berhasil. Lucas Moura mencetak dua gol secara beruntun. Terakhir, dia menceploskan gol ketiga saat pertandingan semenit lagi akan berakhir. Maka sorak-sorai membahana. 

Di akhir pertandingan, Lucas Moura datang memeluk pelatihnya. Momen ini menjadi dramatis. Lucas, pemain yang dibuang dari klub PSG karena kedatangan Neymar, malah menjadi pemain paling bersinar. 

Bola memang menunjukkan rigoritas kuasanya. Bukan awal yang menentukan semuanya, tapi akhir. Tim yang tampil di final bukanlah tim yang penuh bintang dan berbiaya mahal. Melainkan tim yang paling solid, paling bekerjasama, dan paling kompak.

Bola membalikkan banyak prediksi. Kemarin, Barcelona diperkirakan akan melumat Liverpool. Sampai-sampai, Luiz Suarez sesumbar tidak akan melakukan selebrasi gol di Anfield. Ternyata, terjadi comeback yang mengejutkan. Hari ini, Spurs menampilkan hal yang sama. 

Sebagaimana Liverpool, kekuatan Spurs terletak pada permainan kolektif yang rapi dan kerjasama apik. Spurs tak mengandalkan nama-nama besar. Bahkan striker-nya yang paling hebat yakni Harry Kane hanya bisa menyaksikan dari tribun penonton. Spurs mengandalkan kerja sama dan tidak bergantung pada satu atau dua pemain.

Kekuatan Spurs adalah motivasi hebat dan semangat pantang menyerah. Sebelum peluit akhir berbunyi, Spurs tetap menjadi petarung yang haus kemenangan. Mereka menjadi singa lapar yang terus mengaum dan menerjang.

Di tepian lapangan itu, Pocchettino menjadi magnet. Semua orang tahu bahwa sebelum kedatangannya, Spurs hanyalah tim semenjana. Berkat tangan dinginnya, Spurs menjadi kekuatan baru, serta bersiap akan menorehkan sejarah sebagai kontestan di partai final Liga Champion Eropa.

Lelaki yang lahir dari keluarga buruh tani di Santa Fe, Argentina itu, paham benar apa makna kerja keras. Di masa kecil, dia hidup miskin sehingga menempa dirinya menjadi seorang pekerja. Dia percaya pada kekuatan mimpi yang kelak bisa membawanya merengkuh semua impian.

Kariernya sebagai pemain tidak terlalu mentereng, meskipun pernah menjadi pemain tim nasional Argentina. Dia lalu banting stir menjadi pelatih dan menangani tim-tim kecil. Hingga akhirnya dia direkrut oleh Spurs.
Spurs cukup jeli melihat kekuatan Pochettino sejak lama. Pochettino laksana Arsene Wenger, mantan pelatih Arsenal, yang selalu mengutamakan pemain muda. Pochettino ibarat seorang koki yang bisa mengolah masakan menjadi lezat dengan bahan-bahan dari sekitar rumah.

Dia tidak seagresif Pep Guardiola yang di setiap musim transfer akan sibuk mencari pemain terbaik, dengan biaya semahal apapun. Malah, Spurs dikenal sebagai tim paling kalem yang tidak pernah belanja pemain saat musim transfer. Spurs memilih untuk membesarkan pemain yang ada. 

Dalam tiga musim terakhir, Tottenham Hotspurs bersama barisan “the young guns” mampu duduk di posisi tiga besar dan selalu lolos ke Liga Champions. Malah, pemain Spurs menjadi pemain terbanyak di timnas Inggris. Di titik ini, Pocchettino harusnya dapat penghargaan dari asosiasi sepakbola Inggris.
Duel di final Champion akan menampilkan dua tim yang sama-sama tidak diunggulkan. Tidak ada yang menyangka mereka bisa membalikkan prediksi dan kini tampil di final. Meskipun sama-sama dari Inggris, karakter pemainan mereka sangat berbeda.

Pelatih Liverpool, Jurgen Klopp, pernah mengibaratkan permainan timnya seperti musik heavy metal. Permainannya cadas dan keras serta penuh perjuangan, sebagaimana pekerja dan buruh pabrik di Liverpool. 

Sementara tim yang diasuh Pochettino laksana angsa yang menari di tengah irama permainan orkestra yang anggun. Iramanya kadang tenang, tapi sesekali bisa tampil dengan nada-nada menyayat. 

Para penonton akan sama-sama menyanyikan lagu “Football’s coming home,” sebuah lagu yang menggambarkan kerinduan Inggris untuk kejayaan di era sepakbola modern:

Three lions on a shirt,
Jules Rimet still gleaming
Thirty years of hurt,
Never stopped me dreaming


Puasa di Era "Filter Bubble"




Masih bisakah kita semua menjalankan puasa di tengah suhu politik yang belum ada tanda-tanda mendingin? Masih bisakah kita menjaga kemurnian ibadah kita dan menjaga setiap jemari kita untuk tidak menyebar kebohongan yang serupa virus dan hanya akan merusak puasa kita?

Masih bisakah kita sibuk meneriakkan sesuatu yang kita anggap sebagai kebenaran, padahal pihak lain menyebutnya hoaks?

Kita sedang berada di era post-truth, pasca kebenaran. Kita menganggap sesuatu sebagai benar hanya ketika bersesuaian dengan apa yang terlanjur kita anggap benar. Terlanjur kita mengisi kepala kita dengan informasi dari berbagai situs yang laksana cendawan bertebaran di internet.

Sejak kita mengenal media sosial, kita sudah menyerahkan leher kita pada algoritma media yang maha kuasa. Kita secara suka rela masuk dalam satu dunia yang bersesuaian pandangan dengan kita. Ketika menemui informasi yang kita setujui, kita meng-klik tanda “like.” 

Seiring waktu, media sosial mengenali apa saja informasi yang kita sukai. Media sosial lalu menghubungkan kita hanya dengan orang yang berpandangan sama dengan kita. Media sosial menjauhkan kita dari gagasan yang tidak bersesuaian dengan pendapat kita.

Para ahli menyebutnya “filter bubble.” Kita hidup dalam satu dunia yang sudah disaring. Jangan kira media sosial ini netral. Kita pelan-pelan menyaring siapa pun yang jadi teman kita di sini. 

Semua orang punya kriteria siapa yang diajak berkawan di sini. Saya pun secara berkala akan menghapus orang-orang yang suka melempar makian dan hinaan kepada orang lain di media sosial. 

Media sosial menampilkan sisi lain diri seseorang. Ada banyak orang yang menjadikan media sosial sebagai arena untuk mempropagandakan satu kebenaran. Berkat “filter bubble” tadi, seseorang akan menemukan banyak hal yang dia setujui pandanganya. 

Saat nuraninya disentuh bahwa ada kejahatan yang sedang terjadi, maka dirinya pun ingin berontak. Dalam nurani yang gelisah karena sekeping informasi yang entah dari mana sumbernya, seseorang itu dengan mudah akan menyebar informasi itu ke mana-mana. 

Dia tak lagi memverifikasi informasi. Dia hanya percaya pada apa yang dia yakini benar. Semua informasi itu langsung disebar ke berbagai kanal media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp. 

Benar dan salah adalah soal belakangan. Kalau pun ada salah, maka dia bisa memilih diam atau minta maaf. Persoalan dianggap selesai.

Di media sosial, banyak orang bisa menjadi bengis dan suka main keroyokan. Saat fitnah itu tertuju pada diri seseorang yang dekat dengan kita, barulah kita sadar betapa kejamnya penghakiman pada seseorang yang belum tentu benar.

Namun, bisakah kita menjaga jemari, pikiran, dan lisan kita saat sedang menjalankan puasa? Bisakah kita hanya menahan napas dan menjaga aliran darah agar amarah tidak meledak saat membaca sekeping informasi yang isinya tentang kejahatan dan kebejatan seseorang yang belum tentu benar?

Kata seorang kawan, kita perlu meletakkan semacam alarm yang mengingatkan bahwa kita sedang puasa. Kita perlu semacam “filter bubble” lain agar kita lebih kritis untuk menolak semua informasi yang isinya desas-desus. Puasa harusnya melatih mental kita untuk lebih tangguh dan tidak ikut-ikut menebar bohong. 

Lantas, di era post-truth ini, apakah tidak ada lagi yang namanya kebenaran untuk kita bagikan ke orang lain? Tentu saja, kebenaran akan selalu ada. Akan tetapi dia butuh dikenali secara utuh.

Seorang kawan yang saya anggap bijaksana punya kiat sendiri untuk mengenali kebenaran. Saat informasi dibacanya, dia akan selalu menahan diri untuk tidak mebagikannya. Ditimbang-timbangnya seberapa benar informasi itu. Dia menjaga diri untuk tidak sembarang membagikannya.

Dia akan melihat apakah informasi itu mencerahkan, membahagiakan, serta membuat mata lebih jernih dalam memandang kenyataan. Jika informasi itu berguna, dalam artian memberi makna dan serupa air jernih yang membasahi kalbunya, barulah dia membagikannya.

Jika informasi itu berisi ajakan kebaikan dan seruan untuk refleksi dan melihat sisi lain dari diri yang mungkin berlumur dosa, atau berisikan kisah-kisah dan pelajaran serta hikmah-hikmah, barulah dia akan meletakkan tanda “Like” di situ, kemudian secara suka rela membagikannya.

Dengan cara itu, dia ingin agar nurani seisi dunia ikut basah dan menghadirkan satu tekad kuat untuk menjadi lebih baik. 

Dengan cara itu, dia menjaga puasanya.



Bahaya Positive Thinking




Dalam banyak aktivitas, kita selalu mendapat nasihat untuk selalu berpikir positif. Kita diajarkan untuk positive thinking ketika sedang melakukan satu pekerjaan besar. Bagi yang pernah membaca buku The Secret, pasti paham kuatnya mantra tentang berpikir positif.

Dalam buku Filosofi Teras, saya temukan pendapat para psikolog yang justru mengkritik positive thinking. Malah, positive thinking mulai dilihat sebagai masalah.

Dalam beberapa eksperimen, seseorang yang menerapkan positive thinking seringkali mendapatkan hasil yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak menerapkannya. 

Positive thinking dianggap menipu pikiran kita, beranggapan seolah-olah kita sudah mencapai yang diinginkan, sehingga melemahkan ketekunan dan keuletan kita untuk berusaha. Kita kehilangan daya juang karena dicekoki mantra positive thinking sehingga kita merasa cepat puas.

Beberapa psikolog merekomendasikan “mental contrasting” yaitu menggabungkan positive thinking (membayangkan hasil positif) dengan memikirkan hambatan apa saja yang bisa ditemui. 

Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang melakukan “mental contrasting” memiliki capaian yang lebih hebat ketimbang mereka yang memikirkan hal positif, atau mereka yang hanya membayangkan hal negatif saja.

Di buku ini, saya temukan artikel menarik di Newsweek berjudul The Tyranny of Positive Thinking Can Threaten Your Health and Happiness. Positive thinking bisa menyebabkan perasaan gagal, juga perasaan depresi. Anda merasa sedih ketika gagal, tiba-tiba Anda didera lagi rasa bersalah karena tidak bisa berpikir positif. 

Misalnya, Anda tidak lulus ujian, sehingga merasa terpuruk. Tiba-tiba Anda merasa bersalah lagi karena tidak bisa bahagia. Kata psikolog, ini sama dengan dua kali dihantam palu godam yang bisa membuat Anda depresi.

Seorang psikolog mengatakan, beberapa orang justru memberi respon lebih baik pada hal negatif, sikap yang disebutnya “pesimisme defensif.” Maksudnya, dengan memikirkan sesuatu akan berjalan tidak sesuai rencana, maka seseorang bisa mengurangi kekhawatiran dan sering kali sanggup mengantisipasi semua tantangan.

Saya tak selalu sepakat dengan para psikolog ini. Seringkali perasaan cemas atas sesuatu yang belum terjadi bisa menjadi masalah baru. Kita sering kali berhalusinasi tentang sesuatu yang buruk, padahal hal itu sendiri belum terjadi. Kita depresi untuk sesuatu yang masih mengawang-awang.

Saya teringat seorang kawan yang positive thinking-nya sudah sampai level akut. Ketika ada cewek yang tersenyum, dia langsung meyakini cewek itu naksir padanya. Dia akan kembangkan semua analisis betapa dia digilai oleh cewek. Tapi ketika penolakan datang, dia seperti dihantam palu godam. Dia terpuruk.

Saya datang menghiburnya, dengan satu kalimat sakti: “Beruntung kamu tidak jadian dengannya. Cewek itu bodoh. Dia hanya mau sama pangeran bodoh di istana pasir. Dia tidak siap menjadi kekasih pendekar. Dia tidak siap mengikuti jalan pedang.” 

Niat saya sekadar menghibur. Ternyata dia bisa bangkit berkat kalimat itu. Dia mengiyakan kata-kata saya. Selanjutnya, dia kembali jadi figur yang percaya diri.

Buku Filosofi teras ini tidak menawarkan satu solusi final. Buku ini menggali kearifan Yunani dan Romawi kuno untuk diterapkan di masa kini. Yang ditawarkan adalah upaya untuk mengendalikan semua hal negatif dengan cara mengubah cara pandang kita, yakni melihat hal negatif itu sebagai sesuatu yang normal dan kita berdamai dengannya.

Artinya, kita mengakui bahwa sesuatu itu negatif, tapi kita tidak lantas tenggelam di situ. Kita punya kemampuan untuk mengubah hal negatif itu menjadi kekuatan positif sehingga ke depannya kita akan lebih tangguh dan kuat. 

Pandangan ini mirip dengan ajaran Buddha yang mengatakan: “Diri adalah apa yang kita pikirkan.” Jika kita menganggap diri kita positif dan bernilai, maka semesta pun akan berkonspirasi untuk membantu kita menggapai pandangan itu.

Terkait positive thinking, saya teringat satu lirik dalam lagu soundtrack Asian Games di Jakarta lalu, yang kalau tak salah dinyanyikan Via Vallen. Dia bilang: “Give your best, and let God do the rest.” Berikan yang terbaik, selanjutnya biarkan Tuhan menilai.

Kerjakan yang terbaik, setelah itu jangan pasrah begitu saja. Jika gagal evaluasi, dan terus tingkatkan. Sebab hasil tak pernah mengkhianati proses. 

Kalau pun hasil berkhianat, berarti dia tak siap mengikuti jalan pedang. Dia tak siap mengikuti jalan pendekar. Iya kan?



Tujuh Teori tentang Merapatnya AHY ke Jokowi


Saat AHY menemui Presiden Jokowi

Dengan menggunakan mobil berpelat B 2024 AHY, putra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menemui Presiden Jokowi di Istana Negara, Kamis (3/5/2019). Di hadapan panglima tertinggi, dia memberikan penghormatan, kemudian tersenyum lebar. Keduanya duduk dan berbincang.

Jika pertemuan ini dilakukan setahun silam, tentunya tak ada yang istimewa. Tapi pertemuan itu justru dilakukan pada masa-masa penghitungan suara hasil Pemilu yang hasilnya sudah diprediksi lembaga survei, masa di mana koalisi di mana partainya AHY bergabung masih mengklaim menang berdasarkan penghitungan internal.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) datang sebagai tokoh partai yang bertemu presiden. Pertemuan itu langsung menimbulkan beragam spekulasi. Apakah mungkin Partai Demokrat akan pindah haluan ketika hasil real count memenangkan Jokowi?

Politik kita memang sarat dengan simbol-simbol. Para elite politik kita terbiasa memainkan gestur yang kemudian bisa ditafsir dari berbagai sisi. Politik kita juga penuh dengan metafor yang bisa diurai untuk memahami makna-makna.

Apa makna dan pesan politik yang bisa disibak dari pertemuan itu? Marilah kita memahaminya dalam beberapa argumentasi.

Pertama, gestur atau bahasa tubuh. Konten pembicaraan AHY dan Jokowi bisa jadi datar-datar saja. Mereka hanya bicara hal-hal normatif tentang kebangsaan. Tapi perhatikan gestur yang ditampilkan saat berbicara. 

Posisi AHY sedikit membungkuk saat bertemu Jokowi bisa dilihat sebagai penghormatan, juga ketundukan. Posisi Jokowi yang tangannya mengembang dan terbuka bisa pula dilihat sebagai penerimaan.

Posisi tangan AHY ditangkupkan, dan diletakkan di tengah paha. Badan sedikit membungkuk. Ini gestur ketika seorang kawula bertemu pimpinan. Sedangkan Jokowi dalam posisi santai, tangannya terbuka, serta gerak tubuh yang bebas. Jokowi hendak memberi pesan kalau saya yang dalam posisi pengendali irama politik.

Kedua, simbol. Saat datang menemui Jokowi, AHY memakai mobil dengan pelat 2024 AHY. Pelat itu seakan-akan pesan kalau tahun 2024 atau lima tahun mendatang adalah tahunnya AHY. Dengan membawa mobil itu ke istana, AHY dan jajaran Partai Demokrat membawa pesan simbolik tentang target-target mereka.

Simbol ini tidak hanya ditujukan kepada Jokowi, tetapi juga untuk semua politisi, termasuk di koalisinya. Pihak Demokrat tahu, jangankan menang, kalah sekalipun Prabowo akan maju tahun 2024. Mereka menampilkan simbol kalau kebersamaan di koalisi itu hanya sampai di sini saja.

Ketiga, pesan. Media mencatat beberapa pernyataan AHY seusai pertemuan itu. Dia mengatakan: "Yang jelas semangatnya kita ingin melihat Indonesia ke depan semakin baik dan kita juga harus terus bisa menyumbangkan pikiran dan gagasan. “

Dia juga bilang: “Tidak harus selalu berbicara tentang komunikasi politik secara pragmatis, tetapi juga ada hal-hal besar lain dan kita juga harus bisa membangun semangat untuk mewujudkan Indonesia semakin baik ke depan.”

Pernyataan pamungkasnya cukup menohok dan bisa mengagetkan rekan koalisinya. AHY berkata: "Nah mudah-mudahan paling akhir nanti, 22 Mei, kita bisa menerima apa pun hasil yang akan dijelaskan oleh KPU."  

Saya sangat yakin AHY paham situasi. Saat ini, penghitungan real count KPU sudah mencapai angka 62 persen. Belum ada tanda-tanda Prabowo-Sandi akan bisa mengalahkan Jokowi. 

Di kalangan pendukung Prabowo, masih banyak yang berkeyakinan kalau mereka akan menang. Namun, banyak pula yang sudah “buang handuk”, khususnya partai politik. Sebagian pendukung Prabowo menyerukan delegitimasi KPU serta permintaan agar ada diskualifikasi pada Jokowi-Amin. Ini juga tanda-tanda kekalahan.

Pernyataan AHY itu menunjukkan posisinya dan partainya yang lebih mendukung sikap pemerintah yakni menerima prosedur demokrasi yang sedang berjalan. Mereka tak mungkin ikut dalam aksi delegitimasi pada penyelenggara negara yakni KPU serta jalur konstitusi.

Keempat, sikap politik. Setiap kali SBY ataupun AHY mengeluarkan sikap, maka semua influencer di tubuh Partai Demokrat akan meneruskannya dalam berbagai pesan ke bawah. 

Sungguh menarik melihat postingan semua petinggi Demokrat yang tiba-tiba mendingin sejak pertemuan itu. Perhatikan cuitan sejumlah pihak seperti Andi Arief, Rachland Nashidik, dan Ferdinand Hutahaean, Hinca Panjaitan.

Andi Arief mengatakan: “Tugas Partai Demokrat dalam Koalisi Adil Makmur adalah: 1. Memenangkan Capres-Cawapres, 2. Memberikan saran dan Cara agar menang, 3. Jika tidak menang, memberi saran dan cara agar tak mempertinggi tempat jatuh 4. Melaporkan pada rakyat perkembangannya dengan fakta yang benar.”

Point ketiga pasti akan memicu reaksi dari koalisi Prabowo. Di saat semua koalisi masih yakin menang dengan segala perhitungan internal, tiba-tiba Andi Arief memberi pesan jika tidak menang dan cara agar tak mempertinggi tempat jatuh.” Apakah dia sudah meramalkan Prabowo akan jatuh?

Ferdinand Hutahean malah sudah memberikan pernyataan sikap partai. Bahwa setelah 22 Mei 2019, Demokrat akan membuka berbagai kemungkinan. Jika Prabowo menang, Demokrat akan tetap bersamanya. 

"Jika KPU menetapkan Jokowi sebagai pemenang, maka Partai Demokrat mandiri dan bebas serta berdaulat menentukan sikap politiknya apakah kemudian akan bergabung dengan Jokowi atau tidak," katanya.

Kelima, latar sejarah. Sejak dulu, DNA politik SBY tidak pernah bertemu dengan DNA politik Prabowo. Keduanya memulai karier di militer, tapi keduanya punya takdir politik berbeda. SBY sukses menjadi presiden untuk dua periode, sementara Prabowo belum kesampaian. SBY penuh perhitungan dan kalkulasi, Prabowo sering terburu-buru.

Ketidaksesuaian itu sudah tampak di beberapa pilkada. Puncaknya adalah dalam penentuan capres. SBY tahu bahwa Megawati tidak akan memberi ruang bagi partainya di koalisi Jokowi, sehingga mau tak mau merapat ke Prabowo. 

SBY ingin menang, makanya mengajukan duet Anies-AHY demi kemenangan. Namun Prabowo berpikir lain. Dia berpikir untuk tetap mengendalikan koalisi sekaligus mengamankan suara Gerindra sehingga dirinya tetap ngotot maju dan memilih Sandiaga Uno sebagai wakil. 

SBY dan Demokrat tak punya banyak pilihan selain menerima. Meskipun petinggi Demokrat Andi Arief sibuk memojokkan Prabowo dengan sebutan jenderal kardus. Tapi bukan berarti Demokrat akan selalu mengikuti apa saja kehendak koalisi.



Keenam, visi keberagaman. Sejak awal, Demokrat selalu mengkritik kedekatan koalisi Prabowo dengan kelompok pendukung 212 yang menepatkan Habib Rizieq sebagai tokoh sentral. Betapa tidak Habib Rizieq pernah dipenjarakan pada era SBY. Rizieq juga bermain dua kali di pilkada DKI, dan terakhir tidak mendukung AHY.

Kelompok 212 tidak merekomendasikan nama AHY dalam ijtimak ulama. Sikap ini banyak dikritik para petinggi Demokrat. Terakhir, kampanye akbar Prabowo yang didukung kelompok 212 di GBK diprotes oleh SBY sebagai kampanye yang tidak menghargai pluralitas dan keberagaman.

Semua protes Demokrat ini menunjukkan betapa mereka setengah hati di koalisi ini. Mereka pun tahu kalau koalisi ini tidak akan menang, makanya mereka mesti segera mencari exit plan paling efektif untuk segera keluar koalisi, yakni menemui Presiden Jokowi.

Ketujuh, matematika politik. Niat besar SBY dan Partai Demokrat adalah bagaimana menaikkan AHY sebagai presiden. Jika saja Prabowo menang, maka tahun 2024 akan maju kembali. Setelah itu, Sandiaga yang akan maju. Jika Demokrat mengikuti skenario ini, kapan mereka bisa menaikkan AHY?

Tidak mengejutkan jika diam-diam partai ini mendukung Jokowi. Dari sisi matematika atau hitung-hitung politik, Demokrat jauh lebih untung jika Jokowi yang naik. Sebab lima tahun mendatang, Jokowi sudah tidak mungkin maju. Demikian pula pasangannya Ma’ruf Amin.

Lima tahun mendatang, politik menjadi arena terbuka yang tidak bertuan. Inilah momen emas yang ditunggu semua partai politik agar mereka bisa merangsak maju untuk memasuki arena. Inilah momen tepat untuk mengajukan kader masing-masing untuk bertarung di arena politik  demi menggapai kursi presiden.

Jika AHY diharapkan naik pada tahun 2024, maka dia harus punya panggung politik agar publik bisa melihat rekam jejak dan prestasinya. Kelemahan AHY selama ini adalah dirinya ibarat buah yang belum matang, namun dipaksa masuk arena. 

Dengan mendapatkan panggung, AHY bisa menunjukkan visi, ketegasan, serta kerja-kerja yang akan diapresiasi publik, yang akan menaikkan elektabilitasnya. Jika Jokowi menang, pilihan paling realistis dan tepat adalah segera bergabung, kemudian mendapat panggung, setelah itu meninggalkan jejak kerja.

Jika semuanya berjalan baik, maka modal politik AHY akan semakin moncer di pemilihan mendatang. Dia punya kans besar untuk menang Pemilu sebab memiliki dukungan partai politik, rekam jejak yang baik, serta sumber daya finansial yang kuat. 

Sebagai publik, kita sedang menyaksikan satu pesan kuat. Bahwa politik bukanlah satu arena untuk memperjuangkan sesuatu hingga titik darah penghabisan. Politik adalah seni untuk memenangkan pertarungan, seni untuk bersiasat, dan seni untuk meyakinkan publik. 

Dalam proses itu, mundur sesaat dan mengevaluasi strategi akan jauh lebih baik daripada mengamuk, marah-marah, lalu menjadikan diri sebagai sasaran tembak dari berbagai lini.(*)





Kisah SOEWARDI




Orang-orang merayakan hari pendidikan dengan upacara bendera, yang penuh sambutan-sambutan kepala daerah dan pejabat. Yang terlupa adalah hari pendidikan ini mengacu pada hari lahir seorang manusia yang hidup pada masa pergolakan. 

Nama aslinya Soewardi Soerjaningrat. Belakangan dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Dia terlahir sebagai seorang bangsawan. Tapi ide-idenya melanglangbuana. Di usia 24 tahun, dia menjadikan kata-kata jauh lebih bertenaga. 

Esai berjudul Seandainya Saya Seorang Belanda (Als ik een Nederlander was) yang ditulisnya dalam bahasa Belanda telah menjadi esai legendaris yang pernah menggedor keangkuhan rezim pada satu masa. 

Demi mengkritik orang Belanda, dia tak mengerahkan satu batalyon pasukan lalu bertempur hingga titik darah penghabisan. Ia cukup membuat satu esai di koran De Express yang dimiliki oleh Douwes Dekker pada tanggal 9 Juni 1913.

Saya tak pernah bosan membaca esai itu. Dia mengkritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis pada tahun 1913. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda akan membuat perayaan besar-besaran di tanah jajahan. 

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya,” tulis Soewardi. 

Esai itu menjadi sejarah. Esai itu menjadi alat perlawanan yang dahsyat dari seorang bumiputera yang dianggap hina dan terbelakang, lalu tiba-tiba menulis satu esai yang penuh dengan pedang menghujam. Esai itu menjadikan Soewardi sebagai seorang tokoh pergerakan yang penanya harus diborgol. 

Dalam buku An Age of Motion yang ditulis Takashi Shiraishi, saya terkejut membaca cara pemerintah kolonial Belanda menghukum Soewardi. Dia tidak dihukum kerja paksa untuk membangun jalan dan bendungan. Dia tidak dipenjara di lapas. 

Pemerintah kolonial Belanda malah mengasingkannya ke Belanda sehingga dia bisa leluasa bersekolah dan mendapat sertifikat Europeesche Akte. Menurut saya, inilah bentuk hukuman yang paling manusiawi dan hebat. 

Artinya, pemerintah kolonial Belanda tidak sejahat yang dibahas guru-guru sekolah. Masak, hukuman bagi seseorang yang mengkritik keras adalah dikirim ke Belanda untuk disekolahkan.

Di masa kini, Anda harus melewati saringan ketat dalam semua tes beasiswa agar bisa ke Belanda. Tanya pada peraih beasiswa Stuned dan LPDP. Anak muda jaman now harus berkompetisi ketat untuk satu tiket belajar ke Belanda. Soewardi hanya menulis satu esai menohok, maka dirinya dapat beasiswa. Enak banget.

Kisah Soewardi mengingatkan saya pada Kartini. Banyak orang protes karena Kartini dianggap tukang curhat yang kemudian jadi pahlawan. Orang-orang mengabaikan fakta kalau Kartini adalah seorang penulis perempuan produktif yang di masa itu sudah menulis pikirannya dalam bahasa Belanda, dan dimuat dalam media berbahasa Belanda. 

Kartini mengubah pandangan orang Belanda bahwa seorang pribumi bisa menjadi cerdas sepanjang diberi kesempatan. Berkat Kartini, sudut pandang orang Belanda berubah, kemudian mendorong kebijakan politik etis, yang di kemudian hari telah melahirkan satu barisan cendekiawan yang kelak melahirkan satu bangsa bernama Indonesia.

Jika tak ada para penulis hebat seperti Kartini, Soewardi, hingga Tjipto Mangoenkoesoemo, tak bakal lahir generasi seperti Sukarno dan Hatta. 

Berkat generasi sekolahan seperti Sukarno dan Hatta, yang terinspirasi dari ide-ide generasi Kartini, Indonesia akhirnya lahir saat diproklamasikan. Suka atau tidak suka, Republik Indonesia dilahirkan para generasi yang belajar di sekolah bikinan Belanda, dengan kurikulum ala Belanda.

Makanya, tokoh seperti Soewardi menyerap inspirasi dari orang barat. Dia nasionalis, tapi dia tidak benci Belanda. Malah dia selalu memakai jas ala orang Belanda, yang dipadukan dengan blangkon, kemudian diganti jadi songkok. 

Dia mendirikan organisasi modern yang diberi nama Belanda yakni: Indische Partij. Ketika di Belanda, dia menyukai pemikiran dari sejumlah tokoh pendidikan barat dan timur seperti Maria Montessori, Froebel, John Dewey, serta Rabindranath Tagore. 

Berbagai aliran pendidikan tersebut diolah dan dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri. Ketika pulang ke tanah air, dia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.

Lantas, di jaman now, apa yang bisa kita serap di hari kelahiran Soewardi? 

Pertama, buatlah tulisan yang menggugah. Jangan sekadar nyinyir dan posting yang isinya semua puja-puji pada capres idolamu, kemudian komentar pedas pada yang mengkritiknya. Jangan juga dengan mudah bilang kafir pada siapa saja yang beda denganmu. Kalau tak setuju dengan idenya, keluarkan idemu. 

Kedua, tetap gunakan nalar kritis dan serap pengetahuan dari mana saja. Jangan mudah benci dan terprovokasi sesuatu. Ambil hal baik dari mana pun, termasuk itu dari penjajah ataupun dari bangsa lain. 

Ketiga, tetaplah menjadi orang Indonesia. Soewardi belajar dalam bahasa Belanda, menyerap ilmu-ilmu barat, tapi dia tetap seorang Jawa yang menyerap kearifan budayanya. Dia meletakkan falsafah pendidikan yang diserapnya dari budaya Jawa. 

Untuk Indonesia modern, dia meletakkan landasan berpikir yang penting yakni sintesis antara lokal, nasional, dan glonal. Dia mendialogkan itu, menyerap hal baik, demi memperkuat fundasi keindonesiaan.