Sir Alex Ferguson dan David Beckham |
Sejarah itu akhirnya diulang kembali. Tahun 1999, Manchester United (MU) menang dramatis melawan Bayern Munchen di final Liga Champion di Barcelona. Saat pertandingan tersisa tiga detik, dalam posisi MU tertinggal 1 gol, keajaiban itu terjadi. MU mencetak dua gol ajaib melalui Teddy Sheringham dan Solksjaer.
Tiga hari lalu, Minggu (26/5/2019), dua kesebelasan ini bertanding kembali, dengan komposisi pemain yang sama dengan tahun 1999. Para penggemar MU menyaksikan David Beckham, Peter Schmeichel, Neville, Jaap Stam, Scholes, dan lainnya. Mereka berhadapan dengan bintang Bayern Munchen, di antaranya adalah Lothar Matheus, Carsten Jancker, dan Giovani Elber.
Pertandingan itu menjadi milik MU dengan skor 5-0. Di media sosial, orang-orang heboh membahas permainan para legenda yang masih apik. Beckham masih menampilkan umpan lambung yang akurat, serta gocekan sekelas dewa. Jaap Stam masih kokoh di depan gawang, dan dianggap lebih baik dari pemain MU saat ini.
Bagi pemain MU, itu adalah momen kegemilangan. Tapi bagi Bayern Muenchen, pertandingan itu adalah sesuatu yang akan memilukan dan memalukan. Mengapa pemain Bayern Munchen mau saja diajak mengenang pertandingan itu?
Bukankah pertandingan itu adalah pertandingan paling memilukan dan membuat mereka terpuruk? Apa mereka tidak trauma dan dihantui atas kegagalan pertandingan penting itu?
Saya terkejut membaca pernyataan kiper MU, Peter Schmeichel. Menurut kiper asal Denmark ini, Bayern Munchen memang kalah. Tapi mereka punya respon hebat dalam menghadapi kekalahan itu. Mereka tidak meratap, namun menjadikannya sebagai tantangan untuk berbuat lebih hebat.
Setelah pertandingan itu, para pemain di dua klub itu tetap bersahabat. Bahkan semakin erat. Schmeichel mengaku sering mengajak kiper Bayern, Oliver Khan, untuk makan malam dan berbincang banyak. Kadang mereka saling mengolok dan tertawa mengingat peristiwa itu.
“Saya tidak terkejut sama sekali bahwa mantan pemain Bayern setuju untuk bertemu lagi,” tambah mantan kiper United itu. “Mereka sangat menghormati. Saya berada di kubu Denmark yang mengalahkan Jerman Barat di final Piala Eropa 1992.”
Schmeichel melanjutkan: “Orang-orang cenderung melihat kekalahan mereka di Barcelona sebagai momen hitam dalam sejarah Bayern. Namun mereka tidak menganggapnya begitu. Mereka melihatnya sebagai sebuah peluang untuk maju.”
Tahun 1999, Bayern Munchen memang kalah. Setahun berikutnya, tim asal Jerman itu sukses menembus semi final Liga Champion, kemudian menjadi juara setahun berikutnya. Ketika kalah, tim itu tidak lantas terpuruk dan jatuh, melainkan selalu bisa bangkit kembali demi menggapai kemenangan.
“Saya ingat Oliver berterima kasih kepada saya karena mengalahkan mereka dengan cara yang sangat aneh tetapi dia mengatakan itu membuat mereka menjadi pemain yang lebih baik. Mereka semua bereaksi dengan cara yang positif.”
Para pemain Bayern Munchen ini memahami filosofi penting di balik kekalahan. Bahwa kekalahan adalah hal manusiawi dan bisa terjadi pada siapa saja. Kekalahan adalah hal biasa dan normal. Semua orang bisa mengalaminya.
BACA: Abraham yang Selalu Kalah
Yang luar biasa adalah respon dalam menghadapi kekalahan itu. Yang hebat adalah mereka yang bisa bangkit kembali, melihat kekalahan itu secara positif, dan mengubahnya menjadi kekuatan dalam diri untuk membangkitkan semua potensi terbaik demi menghadapi hidup dengan kepala tegak.
Para pemain Bayern Munchen tidak lantas baper dan tenggelam dalam sikap jumawa dan merasa tetap menang. Mereka menerima kekalahan itu sebagai satu fakta yang membuat mereka akan membenahi kembali apa yang terjadi, lalu menatap masa depan.
Oliver Khan, kiper Bayern Munchen, mengakui pertandingan itu menyakitkan. Tetapi dia berterimakasih atas kekalahan itu sebab bisa membangkitkan sisi terbaiknya yang selama ini terpendam. Tim itu kian menggila dan semakin berkelas sebab senantiasa belajar dari kekalahan.
Dengan kekuatan mental seperti itu, maka mereka selalu menjadi pemenang. Sebab gelar juara hanya sebatas torehan sejarah yang selalu dikenang. Gelar juara sejati adalah milik mereka yang bisa menyerap semua hal pahit di sekitarnya lalu diubah menjadi kekuatan positif yang membuat hari-harinya lebih manis.
Pertandingan itu telah lama berlalu. Ketika MU hendak mengulangnya dalam satu pertandingan bertujuan amal, para pemain Bayern tetap antusias untuk terlibat. Bagi mereka, pertandingan itu juga penting.
Sebab pada momen kekalahan itu, mereka bisa bangkit, dan kembali ke arena dengan mental juara. Mereka bertransformasi menjadi para master kehidupan yang merespon kekalahan secara positif demi fundasi untuk masa depan.(*)