Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mereka yang Lepas dari Sinisme


SEORANG murid di sebuah padepokan silat tiba-tiba bertanya pada sang guru. "Mengapa saya seringkali menjadi bahan olokan dari orang lain? Saya selalu berusaha melakukan sesuatu dengan energi terbaik. Mengapa saya harus dihina? Tak bisakah saya dilihat normal sebagaimana yang lainnya?"

Sang guru terdiam. Ia lalu memperhatikan sang murid dari ujung kaki ke ujung rambut. Tak ada yang aneh dengan sang murid. Semuanya tampak normal. Hanya saja, sang murid di hadapannya ini tampak berbeda. Ia lebih pintar dari yang lain. Ia lebih mengasah diri. Ia lebih sering bermeditasi ketimbang murid-murid lainnya.

Sang guru lalu membatin. Ia membayangkan murid-muridnya yang lain. Ia tahu bahwa selalu saja ada hasrat berkelompok dari mereka yang banyak, mereka yang ilmunya setaraf. Ketika ada sosok lain yang ingin mengasah diri, maka mereka lalu menghina, mengolok-olok, lalu menjatuhkan mental sosok yang ingin melesat jauh.

“Nak. Ketika mereka mengolokmu maka mereka tidak serius hendak mengolokmu. Kalian ibarat kumpulan kepiting dalam sebuah kolam. Ketika satu kepiting hendak keluar dari kolam yang pengap, maka kepiting lain akan berusaha untuk menjatuhkannya,” kata sang guru dengan tenang. Matanya menutup. Ia kembali bermeditasi.

Sang murid lalu merenung. Matanya ikut mengatup.

Dunia memang serupa kolam tempat para kepiting terjebak dalam kepengapan. Hanya mereka yang uniklah yang kemudian berhasil keluar kolam dan menjadi pribadi baru. Namun jalannya jelas tak mudah. Kepiting-kepiting lain akan menanam syak wasangka, ketidakpercayaan, serta rasa dengki yang dipelihara hingga berkarat. Kepiting lain tak akan pernah siap ketika ada satu kepiting yang menempuh jalan berbeda dan meraih kesuksesan.

Setiap ikhtiar untuk keluar dari kepengapan selalu tak mudah. Tantangan terberat adalah bagaimana mengatasi sikap sinis, tidak percaya, serta dengki yang sering muncul tanpa alasan jelas. Masyarakat sering tak siap ketika ada yang unggul, dan hendak meninggalkan barisan mereka yang berpikir seragam. Beragam muslihat seringkali keluar. Beragam duri ditebar demi menggagalkan proses keluar kolam yang sedang dilakukan seseorang.

Mengapa mereka mengolok? Sebab mereka tak sanggup melakukannya. Mereka tak ingin orang lain sukses melakukan sesuatu yang tak bisa mereka lakukan. Mereka lalu menebar duri bagi orang lain. Dipikirnya alam akan selalu diam menyaksikan segala yang buruk dipertontonkan. Disangkanya alam semesta akan memberikan apresiasi ketika semua orang berkumpul di barisan pengolok-olok. Namun, alam semesta tak pernah diam. Alam semesta menjadi saksi dari tingkah seseorang yang kelak akan dibalas dengan tindakan setimpal. Alam juga yang kelak memberikan posisi terhormat pada pribadi besar yang melalui setiap masalah dengan cara elegan.

Pribadi besar tak pernah melalui sesuatu dengan mudah. Pribadi itu lahir dari sinisme serta apatis orang lain, yang kemudian menempa dirinya menjadi seorang petarung handal. Semua rasa dengki adalah bagian dari latihan yang akan memperkokoh fisik dan ototnya untuk menghadapi derasnya terjangan sungai kehidupan. Mereka yang unggul adalah mereka yang lahir dari lautan yang bergejolak, penuh badai, dan kelak akan membawa diri mereka keluar hidup-hidup dan membawa demikian banyak kisah besar tentang kehidupan.

Sang murid kemudian tersenyum.

Matanya kemudian membuka. Ia lalu meninggalkan ruang semadi gurunya dengan penuh bahagia yang mekar di hatinya. Kali ini ia tak akan pernah kalah. Semua olokan itu akan dijadikannya sebagai bagian dari latihan demi proses menyempurna. Ia yakin kalau proses mengasah diri harus terus dilakukan, tanpa harus terpengaruh orang-orang sinis itu. Ia akan melesat, dan lebih jauh dari capaian siapapun.

Yup. Ia akan terus melesat.



Sensasi Jadi Headline (20)

BULAN ini, beberapa tulisanku terpilih sebagai headline di Kompasiana. Kedepannya, aku tak akan lagi memajang foto dari tulisan headline. Akhirnya kusadari bahwa tak penting tulisan itu jadi headline ataukah tidak. Yang jauh pebih penting adalah hasrat untul selalu berbagi pengetahuan dengan orang lain. 


Hantu-Hantu Laut di Wakatobi


Jejak Makassar di Thailand


 Belajar Politik pada Angel Lelga


Profesor Kopi di Kota Bogor

Pelajaran KASIH dari Australia


Sophie Lester (7), bocah kecil yang menginspirasi

Di tanah kanguru itu, terselip kisah tentang imajinasi seorang anak, serta orang-orang dewasa yang menghargai imajinasi. Kisah itu tercermin pada surat-menyurat antara seorang anak kecil kepada lembaga ilmu pengetahuan Australia yang meminta agar dibuatkan naga. Tak disangka, kisah kasih itu tersebar luas hingga memikat hati banyak orang di mana-mana. Bahkan surat itu juga memikat hari seorang sutradara Hollywood.

***

EMBUN masih basah ketika gadis kecil itu mulai menulis surat. Sebelum berangkat sekolah, Sophie Lester (7), bocah manis asal Queensland, memberanikan diri untuk menulis kalimat demi kalimat yang demikian memikat. Ia menulis:

Hallo Ilmuwan tersayang

Namaku Sophie. Aku berumur 7 tahun. Ayahku bercerita tentang para ilmuwan di CSIRO. Apakah mungkin jika kalian membuat seekor naga untukku? Aku akan sangat menyukainya jika kalian sanggup. Tapi jika kalian tak sanggup, tak apa-apa. Aku akan menamainya Toothless jika betina, namun jika naga itu jantan, aku akan menamainya Stuart.

Aku akan menyimpannya di lapangan hijau di mana ada ruang yang cukup lebar. Aku akan memberinya ikan segar. Jika ia terluka, aku akan membalutnya sendiri. Aku akan bermain dengannya setiap minggu, ketika sekolah libur.

Salam cinta

Sophie Lester

Menurut ibunya, Sophie memang menginginkan sebuah naga sebagai hadiah untuk Natal. Sophie memang menggemari sosok naga dalam film How to Train Your Dragon. Makanya, ia ingin memberi nama naga itu Toothless, sosok naga dalam film animasi itu. Ia telah beberapa kali merengek pada orangtuanya untuk meminta naga. Dikarenakan orangtuanya merasa tidak sanggup memenuhinya, mereka lalu menyarankan sang anak untuk mengirim surat ke SCIRO, lembaga riset milik pemerintah Australia.

Surat itu pun sampai ke para ilmuwan CSIRO. Jika di banyak tempat, surat seorang anak dianggap sebagai lelucon yang tidak pernah diperhatikan, para ilmuwan CSIRO lalu membalas surat itu dengan kalimat yang juga menenteramkan hati.

Dear Sophie

Kami telah melakukan riset sejak tahun 1926, dan kami bangga atas apa yang telah kami capai. Kami mencapai banyak hal. Tapi kami lupa sesuatu. Kami belum pernah membuat naga. Selama lebih 87 tahun, kami belum pernah membuat naga ataupun telut naga. Kami pernah melihat naga jenggot timur melalui teleskop, juga pernah mengamati capung (dragonflies), dan pernah mengukur panas tubuhnya. Tapi kami belum pernah mengambil risiko untuk membuat naga sebagaimana terlihat dalam berbagai mitos, khususnya jenis yang mengeluarkan api.

Kami minta maaf.

Surat itu demikian simpatik. Para ilmuwan itu menghargai keinginan Sophie, lalu meminta maaf karena mereka tak sanggup memenuhinya. Melalui blognya, para ilmuwan itu berkata, “Kami tak bisa duduk diam. Kami telah berjanji pada Sophie untuk memenuhi keinginannya.” Tak hendak mengecewakan Sophie, para ilmuwan itu lalu membuat sebuah mainan naga berwarna biru dari bahan titanium di laboratorium mereka. Mainan itu diharapkan menjadi penawar agar Sophie tidak kecewa.

naga dari titanium yang dihadiahkan kepada Sophie
Sophie dan kakaknya

Apakah Sophie kecewa? Kata ibunya tidak. Anak itu malah sangat terinspirasi untuk jadi ilmuwan. “Semua teman-temannya juga berkeinginan kadi ilmuwan. Sophie bilang kalau mereka ingin bekerja di CSIRO sebab ilmuwan bisa melakukan banyak hal, “ kata ibunya kepada Canberra Times.

Surat menyurat itu menginspirasi banyak orang. Situs The Hufftington Post yang bermarkas di Amerika melaporkan bahwa berita tentang Sophie telah di-share hingga ribuan kali. Banyak orang yang tersentuh oleh pelajaran kasih tentang seorang anak yang memelihara imajinasinya, dan para ilmuwan yang merawat imajinasi sang anak.

Surat itu juga terbaca oleh sutradara Hollywood, Chris Sanders, yang menyutradarai film How to Train Your Dragon. Ia lalu menelepon ibu Sophie dan menyampaikan kekagumannya atas surat itu. Ia juga meminta agar tim produksi film itu mendiskusikan gagasan sang anak tentang Toothless yang berjenis kelamin betina pada sekuel film itu. “Dia ingin tahu mengapa anak itu menganggap Toothless adalah betina” kata ibu Sophie.

***

KISAH ini membuatku tersentuh. Pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah ini adalah semua imajinasi anak, bahkan seliar apapun, mesti diapresiasi. Jangan pernah mengabaikannya, apalagi membentak lalu mengatakan anak itu bodoh. Sebab semua penemuan hebat selalu lahir dari imajinasi seorang anak, yang kemudian setapak demi setapak diwujudkan lewat kemajuan ilmu pengetahuan.

Aku teringat pada peristiwa yang kusaksikan minggu lalu. Di dekat rumahku, ada seorang anak yang bertanya pada orangtuanya tentang bisakah kita membuat tangga dan mendaki hingga ke langit. Orang tuanya tak tahu hendak menjawab apa. Ketika anak itu bertanya terus, ia lalu menampar anaknya sambil berkata, “Bodoh!”

surat Sophie yang menginspirasi

Apa yang kusaksikan itu sangat kontras dengan pengalaman bocah Australia itu. Bahwa kebudayaan kita seringkali menempatkan seorang anak pada posisi yang dianggap tidak tahu apa-apa. Kita sering tidak menyadari bahwa setiap rasa ingin tahu adalah tangga awal untuk melesat maju di ranah ilmu pengetahuan. Tanpa menyuburkan rasa ingin tahu serta menyiraminya dengan ilmu pengetahuan, tak akan pernah ada penemuan hebat dalam sejarah kita hari ini.

Aku teringat pada studi yang dilakukan Lise Gliot. Katanya, dalam kepala setiap anak terdapat lebih 10 triliun sel otak yang tumbuh. Satu ketidakpercayaan serta bentakan bisa membunuh lebih 1 miliar sel otak. Sebaiknya, satu pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 1 triliun sel otak, saat itu juga.

Kata Gliot, pada diri seorang anak yang masih dalam pertumbuhan otaknya yakni pada masa golden age (2-3 tahun pertama kehidupan), suara keras dan membentak yang keluar dari orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Sedangkan pada saat ibu sedang memberikan belaian lembut sambil menyusui, rangkaian otak akan terbentuk dengan amat indah.

Pernyataan Gliot selaras dengan ungkapan penulis Malcolm Galdwell bahwa sosok-sosok hebat sellau lahir dari kultur keluarga yang selalu memberikan dorongan dan motivasi. Di balik sosok hebat, ada pelajaran penting yang diberikan lingkungan sosial tentang bagaimana menumbuhkan semangat untuk bekerja dan berprestasi.

Pertanyaan kritis yang kemudian muncul adalah sudahkah kita memberikan apresiasi, dorongan besar, serta pelukan hangat kepada anak-anak di sekitar kita? Sudahkah kita mengasihi dan berusaha menjawab semua rasa ingin tahu yang mereka pancarkan dan memandang setiap pertanyaan mereka adalah dorongan besar untuk tumbuh dan kelak memberi warna bagi zaman?




Profesor Kopi di Kota Bogor


kopi Mandailing di kedai kopi Ranin, Bogor

SUASANA kedai itu berwarna merah. Di pintu masuk tertera tulisan Rumah Kopi Ranin. Di Kota Bogor, Jawa Barat, seorang sahabat mengajakku singgah ke kedai itu. Kupikir suasananya sama saja dengan kedai kopi yang menjamur di kota Makassar. Ternyata tidak. Kedai itu tak sekadar menawarkan kopi, namun juga kisah, sejarah, petualangan, serta kearifan lokal yang dipupuk hingga kini.

Terletak di Jalan Ahmad Sobana, kedai itu senantiasa membuka pintunya. Mereka yang datang bisa singgah untuk sekadar menyeruput kopi, lalu berbincang-bincang dengan banyak orang. Di kedai itu, semua orang punya posisi sama. Tak ada yang dominan. Semua orang bisa saling sapa, berkenalan, dan berbincang tentang hal yang remeh-temeh. Aku mencium aroma egalitarianisme yang kuat di situ.

Bersama kawan-kawan, aku duduk di sudut kedai. Seorang pria yang tampak tenang dan selalu tersenyum datang bergabung. Ia lalu menyodorkan menu serta mengajak kami dialog. Menu yang disodorkannya bukanlah menu biasa. Menu itu tak hanya menampilkan nama minuman serta harga. Tapi juga ada gambar, serta kisah-kisah di balik kopi itu. Ada narasi singkat tentang sejarah kopi yang unik.

Selagi kami membaca menu serta sejarah singkat kopi, ia lalu bertanya tentang kopi yang kami sukai. Aku lalu bertanya tentang kopi dengan rasa unik di kafe itu. Lelaki itu lalu memintaku untuk mencoba kopi Wamena, Papua. Aku mengingat beberapa sahabatku asal Papua yang selalu rang gembira dengan banyolan khas Papua. Tanpa ragu, aku mengangguk. “Satu kopi Wamena,” teriak lelaki itu ke seorang penyeduh kopi yang berdiri tak jauh dari situ.

Sementara kawan di sebelahku lalu menggeleng. Ia tak hendak minum kopi. Mengapa? “Kalau minum kopi, saya bisa sakit mag,” katanya. Pria itu tersenyum. Ia lalu menjawab singkat, “Justru kopi adalah obat sakit mag. Tak percaya? Saya bisa buktikan.”

Ia lalu ke belakang, kemudian kembali dengan wadah kaca serupa gelas besar. Di atas wadah itu, ada saringan kain berwarna putih. Ia meracik kopi di gelas berbeda, kemudian menumpahkannya di atas saringan wadah. “Ini namanya kopi Mandailing, yang merupakan nama daerah di Sumatera Utara. Kopi ini cocok untuk mereka yang terkena sakit mag,” katanya.

Ia lalu mempersilakan sahabatku untuk meminumnya. Ternyata rasanya agak pahit. Ia lalu menyodorkan gula. Ketika temanku tak menyentuh gula dan terus meminum kopi, ia tersenyum lalu berkata, “Pilihanmu tepat. Rasa pahit adalah bagian dari kopi. Lewat rasa pahit itu, kita bisa tahu banyak hal, misalnya tentang kondisi tanaman kopi di daerah asalnya, hingga rasa kopi yang sesungguhnya.”

hmm..nikmatnya
suasana di dalam kafe
tampak luar

Ia lalu bercerita tentang Mandailing sebagai sebuah tempat di Sumatera Utara. Ia juga menjelaskan tentang jenis-jenis vegetasi tanaman, serta kondisi geografis mengapa kopi Mandailing memiliki rasa yang unik. Sebelum perang dunia kedua, Kopi Mandailing telah tersohor. Di luar negeri, kopi ini lebih dikenal dengan nama Mandheling Coffee. Kopi ini dijual dalam bentuk bubuk maupun biji. Sejarah mencatat bahwa Belanda membawa kopi ke wilayah Mandailing yang kemudian dijadikan sebagai pusat penanaman dan pengembangan kopi arabika.

***

PRIA itu bernama Tejo. Lengkapnya Tejo Pramono. Ia adalah salah satu pemilik Rumah Kopi Ranin. Melalui brosur, aku membaca kepanjangan Ranin sebagai “Rakyat Tani Indonesia.” Bersama sahabatnya Uji, ia mengelola kedai kopi tersebut dengan memelihara ide yang unik. Mereka tidak saja menyajikan kopi, namun juga pengetahuan tentang kopi, serta kekayaan sosial budaya yang menjadi lahan tempat kopi tumbuh.

Mereka adalah alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB). Jika Uji belajar di Teknologi Pangan, maka Tejo di Mekanisasi Pertanian. Keduanya dahulu tinggal di asrama yang sama. Ketika ada gagasan untuk membuat kedai kopi bersama, mereka sangat antusias. Mereka adalah penikmat kopi yang berusaha memahami segala hal tentang kopi.

Tejo sangat bersemangat ketika ditanya tentang teknik penyajian kopi. Katanya, kedai Ranin memang sengaja menggunakan alat manual. Kedai kopi ini berani melakukan inovasi dengan manual brewing untuk bersaing dengan kafe-kafe lain yang menggunakan mesin espresso sebagai alat untuk membuat milk base coffee. Justru dengan peralatan serba manual itu, kedai kopi ini menjadi unik. Yang ditawarkan adalah orisinalitas serta sensasi menikmati rasa kopi sebagaimana di tempat asalnya.

“Pengunjung di sini tak akan menemukan mesin espresso, karena kami tetap bertahan dengan cara seduh menuang air panas langsung atau manual brewing katanya. Aku lalu memperhatikan tempat penyajian kopi. Ternyata para penikmat kopi bisa memilih alat seduh favorit mereka yang tersedia di situ yakni french press, pour over, atau syphon dengan harga hingga belasan ribu rupiah per cangkir.

Yang membuatku tercengang adalah kopi yang disajikan di sini berasal dari banyak tempat di tanah air. Bahkan kopi Toraja dan kopi Enrekang juga ada di sini. Dahulu, kopi ini sering kubeli dari penduduk desa di kaki Gunung Bawakaraeng, puncak tertinggi Sulawesi Selatan, saat hendak mendaki, kemudian menghirup aroma kopi itu sambil memandangi lembah yang pemandangannya tak akan pernah kulupakan seumur hidup.

Tak hanya Toraja dan Enrekang. Di situ ada juga kopi dari Bener Meriah, Gayo, Kotanopan Mandheling, Baraka (Enrekang, Sulsel), Kintamani (Bali), Java Preangr, Humbang Hasundutan Linthong, Kepahyang (Bengkulu), Java Preanger, Kalibendho (Banyuwangi), Toraja (Sulsel), hingga Wamena (Papua).

Tejo, sang profesor kopi

Kata Tejo, niat untuk mengumpulkan berbagai kopi eksotik itu sama sekali bukan untuk bisnis. Dalam perbincangan itu, ia menyebut sesuatu yang lebih substansial ketimbang sekadar kelangsungan rumah kopi. Ia memiliki obsesi untuk membantu kehidupan petani kopi. Ia ingin mengangkat suara-suara mereka yang selama ini terabaikan sehingga kelak bisa didengarkan banyak orang. Bagiku, Tejo bukan saja profesor yang paham seluk-beluk kopi, namun juga memelihara idealisme untuk melihat petani lebih sejahtera dan tidak terjebak dalam kemiskinan yang disebabkan oleh mata rantai perdagangan kopi yang tak adil.

Tejo mengingatkanku pada lelaki bernama Chris Pine, pemilik Donkey Cafe, di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Setahun silam, Chris mengajariku tentang bagaimana mengembangkan sebuah rumah kopi yang didirikan di atas gagasan tentang perdagangan yang adil serta memihak bagi kepentingan petani kopi di berbagai negara. Gerakan yang digagas Chris didukung oleh banyak lembaga sosial, yang secara berjejaring sama-sama menolak kapitalisasi kopi yang harganya ditentukan secara semena-mena oleh lembaga eksportir kopi internasional.

***

“Bung, silakan dicicipi kopinya,” kalimat Tejo membuyarkan lamunanku. Di hadapanku ada kopi Wamena yang baunya amat harum menggoda. Aku melihat asap mengepul di kopi itu. Tiba-tiba saja, ingatan tentang alam Papua langsung memenuhi kesadaranku. Kopi ini ibarat portal yang membawaku untuk menelusuri indahnya Papua, hutan-hutan lebat, serta fauna yang memenuhi bumi di kawasan timur Nusantara itu. Aku lalu mengangkat cangkir itu, merasakan aromanya, lalu mendekatkannya ke bibirku.

Srrupp...!



Butuh Studi Kritis Atas Buton


seorang gadis Buton

DALAM setiap diskusi, anak muda itu selalu bercerita tentang tanah Buton yang akan menaklukan dunia. Ia mengutip ajaran nenek moyang Buton bahwa pada masanya kelak akan ada banyak bendera asing yang berkibar di tanah ini, akan ada rahasia-rahasia yang terbuka di tanah ini, akan ada satu mukjizat yang jatuh dari langit tentang betapa hebatnya tanah Buton.

Dua bulan terakhir ini, aku kerap berinteraksi dengan para mahasiswa di Kota Baubau. Kami serng bertemu dan mendiskusikan banyak hal. Kepada mereka, kukisahkan tentang beberapa pandangan baru dalam teori sosial yang pernah kubaca. Mereka menyenangi diskusi tentang banyak topik. Kesukaan mereka adalah ketika diskusi tentang budaya, khususnya budaya Buton. Ketika membahas budaya, mata mereka akan berbinar-binar. Mereka akan sanggup diskusi hingga berjam-jam demi membahas banyak hal tentang budaya.

Hanya saja....

Kulihat mereka terjebak pada pandangan bahwa kebudayaan Buton yang paling unggul. Mereka benar-benar percaya bahwa kebudayaannya adalah nomor satu dan menjadi kunci-kunci pembuka rahasia dunia. Mereka meyakini sesuatu yang tidak punya data valid dalam berbagai teks sejarah. Mereka suka mengutip kalimat seorang orientalis yang pernah berkata bahwa sistem pemerintahan Kesultanan Buton adalah sistem terbaik di dunia. Mereka amat setuju dengan kalimat seorang antropolog bahwa orang Buton salah satu manusia jenius di dunia.

Sebenarnya hal ini tidak masalah. Bukankah tanpa harapan-harapan mengenai masa depan manusia hari ini tak akan sanggup membangun masa kini yang gemilang? Bukankah tanpa visi masa depan, yang digali dari khasanah masa silam, manusia hari ini tak akan sanggup menentukan arah dan gerak peradaban?

Hanya saja, pemikiran ini bisa menempatkan mereka dalam satu tempurung yang selalu menganggap realitas sosial sebagaimana apa yang mereka saksikan. Ketika suatu saat mereka keluar dari tempurung itu, maka terkejutlah mereka ketika mengetahui bahwa di tempat lain, apa yang mereka yakini justru dilihat kecil, atau malah tidak dikenali sama sekali.

Yang kurasakan setiap kali berdiskusi adalah cengkeraman yang sangat kuat dari pemikiran yang selalu meromantisir atau mengidealisasi sesuatu. Berpikir dalam term seperti itu membuat seseorang kehilangan daya kritis, seringkali gagap ketika disodorkan data-data dan cuplikan realitas, atau malah serngkali tak percaya ketika diajak berpikir realistis dengan melihat berbagai indikator di masa kini.

Dalam banyak diskusi dengan anak-anak muda itu, saya lebih suka mendengarkan. Sesekali saya mengajukan beberapa pertanyaan kritis mengenai apa yang harus dilakukan untuk bisa memimpin dunia, atau di manakah posisi manusia Buton di tengah percaturan politik dan intelektual, baik di ranah global maupun di ranah lokal. Apakah orang lain mengenali kita? Ataukah cerita kehebatan diri kita adalah sesuatu yang kita reproduksi sendiri, kemudian kita ulang-ulang?

Aku teringat pada tulisan Tania Murray Li tentang elemen nostalgik yang sering mengaburkan pandangan peneliti. Kata Li, semua peneliti seringkali meromantisir masyarakat yang ditelitinya sehingga menganggap segala yang dilihatnya sebagai hal yang eksotik dan ideal. Celakanya, seringkali, daya-daya kritis kerap tumpul sehingga analisis yang muncul justru amat kering dari fakta-fakta obyektif.

Jika Li menyampaikannya dalam konteks penelitian, maka aku melihat ujaran itu juga hidup dalam satu masyarakat. Seringkali kebudayaan menghadirkan rasa bangga yang berlipat-lipat sehingga penganut satu kebudayaan menganggap kebudayaannya sebagai yang terhebat, teragung, dan kelak akan memimpin dunia.

Makanya, pandangan-pandangan kritis sangat diperlukan demi tetap menjaga agar sebuah pemikiran tetap membumi dan tidak keasyikan tinggal di langit imajinasi. Yang perlu dilakukan adalah melakukan pengayaan pengetahuan. Beberapa kali aku menyarankan mereka untuk membaca beberapa catatan metodologis tentang sejarah. Mereka mesti memahami studi-studi kritis yang kelak akan bisa membuat mereka melihat sisi lain dari setiap reproduksi pengetahuan.

Memahami konsep berpikir serta logika dalam melihat sejarah akan selalu membuat mereka lebih hati-hati dalam membuat setiap pernyataan. Belajar metodologi juga membuat mereka akan lebih kreatif dalam mencari berbagai sumber-sumber pengetahuan baru untuk didialogkan dengan pengetahuan yang sebelumnya telah mereka ketahui.

Mereka yang muda itu adalah mereka yang sedang belajar memahami satu bentang kenyataan. Aku yakin kelak mereka akan menemukan sendiri langkah-langkah kakinya di jalan lurus ilmu pengetahuan. Kelak mereka akan mewarnai zamannya dengan berbagai pemikiran-pemikiran baru. Semoga mereka menjadi intelektual masa depan.



Belajar Politik pada ANGEL LELGA


Angel Lelga (foto: tribunnews.com)

DI acara Mata Najwa, artis Angel Lelga beberapa kali terdiam dan tak tahu hendak menjawab apa. Ia tergagap ketika pembaca acara mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut substansi syariat Islam serta dunia politik yang akan dimasukinya. Sang presenter, Najwa Shihab, seakan tidak mempedulikan kegugupan Angel. Najwa seakan menegaskan kecerdasannya, serta menunjukkan kebodohan Angel. Ia menghujani Angel dengan pertanyaan yang tak sanggup dijawabnya.

Angel Lelga, perempuan yang pernah menikah dengan raja dangdut Rhoma Irama, laksana pesakitan di acara tersebut. Pihak televisi menghadirkannya bukan untuk didengarkan visi-visinya, namun untuk dijadikan lelucon dan olok-olok. Terbukti, tayangan itu sontak disaksikan banyak orang. Ia juga sukses dijadikan bahan lelucon tentang politik kita.

Nyaris sepekan, publik menyaksikan kegugupan bintang film Pocong Anak Perawan di acara tersebut. Video wawancara Angel lalu di-upload di media sosial, kemudian menjadi bahan tertawaan banyak orang. Di satu situs, saya melihat komentar seorang warga, “Ngakak liat Angel sampai guling-guling.” Ada pula yang berkomentar bahwa Angel lebih pas untuk jualan tas ketimbang menjadi anggota legislatif. Tak hanya masyarakat awam, beberapa akademisi ikut pula dalam aksi menertawakan Angel. Pengamat psikologi sosial, Hamdi Muluk berkomentar, “Ini menghina kita, menghina demokrasi," ujarnya di Jakarta. "Kita dihinakan Angel Lelga,” lanjutnya.

Pertanyaan kritis yang muncul di benak saya adalah mengapa harus Angel yang dihakimi seperti itu? Mengapa tak menghakimi politisi kita yang selalu tampil di media massa dan rajin memberikan komentar ‘asbun’? Ketika mendengar seorang presiden yang selalu curhat, atau rektor yang gelarnya lebih panjang dari pikirannya, apakah para pengamat juga akan ikut-ikut menertawakannya?

Mereka yang menertawakan Angel seolah-olah mengamini pendapat bahwa ruang legislatif kita diisi oleh orang-orang hebat yang komentarnya terukur. Mereka beranggapan bahwa parlemen kita diisi banyak orang-orang yang memikirkan kemaslahatan ornag banyak, dan senantiasa menggelar diskusi konstruktif. Orang-orang tak membuka mata lebih lebar. Bahwa gedung parlemen ibarat sebuah pasar yang di dalamnya ada banyak orang dengan berbagai kepentingan. Dari ratusan anggota dewan, berapa banyakkah mereka yang hebat dan memiliki komentar cerdas itu?

Angel Lelga menunjukkan pada kita betapa jauhnya teks-teks ilmu politik dengan praktik politik yang ada di masyarakat kita. Dalam berbagai teks akademik, politik adalah arena untuk merangkum suara publik, kemudian mengejawantahkannya dalam kebijakan yang memihak orang banyak. Namun melalui Angel, kita jadi tahu betapa panjangnya jalan untuk menggapai dunia ideal ilmu politik. Angel menjadi representasi dari mereka yang hendak masuk ke dunia politik. Ia adalah satu dari barisan orang yang berbondong-bondong hendak masuk parlemen. Di dunia politik beredar anggapan bahwa kecerdasan adalah nomor paling kesekian Yang penting adalah bagaimana mendapatkan massa sebanyak-banyaknya. Partai politik kita berusaha mengumpulkan massa sebanyak mungkin. Segala strategi ditempuh demi mendapatkan angka pemilih signifikan yang kemudian melesatkan kader partai ke gedung dewan.

Angel telah membantu kita untuk memetakan bahwa dunia politik kita laksana sebuh gerbong yang diisi oleh berbagai kalangan. Partai politik tidak pernah serius menyeleksi siapapun yang hendak membawa nama partainya. Partai kita hanya berpikir bagaimana meraup suara sebanyak mungkin, kemudian berhasil memasukkan sebanyak mungkin orang ke dalam gedung parlemen.

Diskusi tentang ideologi dan visi partai tidaklah penting. Diskusi itu hanya untuk sebagian orang yang kelak jadi juru bicara partai. Sungguh ironis, sebagaimana saya saksikan di banyak daerah, banyak partai Islam yang menggelar kampanye dengan membagikan minuman keras. Mereka tak peduli bahwa tindakan itu justru menciderai partai. Yang penting, suara bisa diraih, kemudian banyak anggota masuk parlemen, dan setelah itu bisa bermain dalam penentuan proyek. Politik kita menjadi ruang untuk tarik-menarik kepentingan, dan posisi kader partai seperti Angel Lelga hanya untuk melicinkan jalan bagi partai untuk menapak ke tangga kuasa.

Angel Lelga (foto: lovelytoday.com)
Siapa bilang Angel sendirian? Di ruang-ruang parlemen dan birokrasi kita, bisa ditemukan banyak yang serupa Angel di sana. Hampir setiap hari, kita menyaksikan debat remeh-temeh di ruang parlemen. Kita menyaksikan opera sabun partai politik yang kader-kadernya saling berebut jabatan atau mengincar posisi penting di pemerintahan. Dunia politik kita laksana panggung tempat segala pertarungan ditampilkan dalam skenario ala sinetron.

Di banyak daerah, para kepala daerah justru sibuk membangun dinasti politik. Mereka membangun kekayaan yang berlipat-lipat, dengan menilep uang proyek dan anggaran belanja daerah, yang seharusnya dialokasikan untuk orang banyak. Para kepala daerah membangun kerajaan, yang diisi oleh orang-orang loyal kepadanya. Kapasitas dan kemampuan menjadi tidak penting. Ada banyak cerita tentang mereka yang berkualitas, namun akhirnya terbuang karena dianggap bukan bagian dari tim sukses atau tim pemenangan. Dalam dunia politik lokal, kontribusi bagi kemenangan seorang calon adalah jaminan bagi napas yang lebih panjang di pemerintahan atau birokrasi. Bagi penguasaha, itu juga jaminan bagi napas keberlanjutan proyek-proyek di daerah.

Mengapa harus menertawakan Angel ketika di mana-mana kita menemukan sosok sepertinya di gedung-gedung dewan dan kantor-kantor birokrasi di daerah? Mengapa kita tak menertawakan semua orang yang jelas-jelas menumpuk kekayaan kemudian menjadi rakyat sebagai perah yang setiap saat dibohongi demi memperbesar pundi-pundi kekayaan pribadi?

Dunia politik kita menjadi dunia yang serba dangkal sebab mereka yang bertarung di dalamnya bukanlah mereka yang memiliki naluri dan jiwa pengabdian bagi kepentingan orang banyak. Politik menjadi arena yang mempertontonkan banalitas di mana kelihaian dan kemampuan meraih simpati publik adalah jantung utama bagi proses menuju ruang parlemen. Ketika politik menjadi arena untuk meneguhkan kepentingan, maka para pemain politik akan menjadi pion-pion pengejar kepentingan itu.

Mengapa harus menertawakan Angel ketika kita tak siap memasuki arena politik dan hanya memilih menjadi pemerhati? Mereka yang menertawakan Angel adalah mereka yang menganggap diri lebih pandai dalam hal politik. Jika demikian halnya, maka mengapa pula kita tak ramai-ramai masuk ke dunia politik? Di saat orang-orang baik menjauhi politik, maka parlemen kita akan diisi dengan para pedagang yang menjual kecap demi satu kursi parlemen. Di saat orang cerdas menjauhi politik, jangan salahkan ketika parlemen dipenuhi banyak orang asal bunyi, berusaha nampak cerdas, sembari merahasiakan segala permainan politik di belakang layar.

Wajah lugu Angel Lelga adalah wajah kita semua. Ia adalah puncak dari gunung es dunia politik kita yang sesungguhnya. Jauh lebih baik jika energi kritik kita arahkan pada para politisi busuk, sistem politik kita yang amburadul, serta pada mereka-mereka yang mencari rente pada dunia ini. Angel hanyalah sosok kecil dari lusinan pemain besar yang tak tersentuh oleh kritik kita, para pelanggar HAM, para pengusaha hitam, atau militer haus kuasa. Maka kepada Angel, selayaknya kita bercermin dan melihat potret politik kita yang sejati.




Setiap Karya Punya Takdir Masing-Masing


foto yang dipajang di facebook

SEORANG sahabat membeli bukuku di satu toko buku di Jakarta. Ia lalu memotret buku itu, kemudian meng-upload-nya di facebook. Ia memberi kabar kepada dunia bahwa ia telah memiliki buku itu. Sayang, buku itu tak ditandatangani. Tapi ia merasa amat senang.

Sebagai penulis, hatiku langsung mekar. Lebih mekar lagi tatkala membuka jejaring sosial, dan ada banyak orang yang meminta agar buku tersebut ditandatangani. Ketika menyadari bahwa buku tersebut telah masuk ke ruang publik, aku merasa deg-degan. Aku membayangkan akan menerima berbagai respond publik, mulai dari reaksi suka, marah, ataupun benci dengan apa yang kutuliskan.

Sekian detik berikutnya, aku langsung sadar bahwa ketika sebuah buku telah terbit, maka ‘sang pengarang telah mati.’ Karya itu bukan lagi milik seorang pengarang, melainkan milik publik. Publik berhak memberikan penilaian, apakah suka ataukah tidak suka dengan apa yang dituliskan dalam buku itu. Mereka bebas-bebas saja hendak menghakimi ataukah menempatkan buku ke jajaran buku yang menginspirasinya.

Benar kata Dewiq, seorang pengarang lagu. Bahwa sebuah karya punya takdir masing-masing. Ada karya tulis yang disukai orang, namun ada pula yang bernasib sial sebab tak dilirik sedikitpun. Bagiku, respon publik tak seberaps penting, sebab respon publik bisa pula direkayasa.

Yang paling penting adalah bagaimana seseorang mengasah diri dan kapasitasnya, serta menjadikan buku yang ditulisnya sebagai saksi hidup atas segala upaya untuk menemukan dirinya. Karya itu menjadi rekaman tentang diri seseorang pada satu waktu, pada satu konteks. Karya itu menjadi tangga-tangga untuk mencapai penyempurnaan, sebuah derajat di mana seseorang akan mengolah setiap kata demi mengayakan batinnya, lalu menggemburkannya dengan segala tetes kebaikan.
 
bunga yang sedang mekaran

Ketika merenungi kenyataan ini, batinku tiba-tiba saja siap menghadapi beragam kemungkinan. Aku menerima dengan ikhlas, apapun kesan orang lain atas buku itu, apakah baik ataukah buruk. Toh, itu cuma konsep. Yang pasti, semua karya memiliki takdirnya masing-masing.