SEORANG murid di sebuah padepokan silat tiba-tiba
bertanya pada sang guru. "Mengapa saya seringkali menjadi bahan olokan dari
orang lain? Saya selalu berusaha melakukan sesuatu dengan energi terbaik.
Mengapa saya harus dihina? Tak bisakah saya dilihat normal sebagaimana yang
lainnya?"
Sang guru terdiam. Ia lalu memperhatikan
sang murid dari ujung kaki ke ujung rambut. Tak ada yang aneh dengan sang
murid. Semuanya tampak normal. Hanya saja, sang murid di hadapannya ini tampak
berbeda. Ia lebih pintar dari yang lain. Ia lebih mengasah diri. Ia lebih
sering bermeditasi ketimbang murid-murid lainnya.
Sang guru lalu membatin. Ia membayangkan
murid-muridnya yang lain. Ia tahu bahwa selalu saja ada hasrat berkelompok dari
mereka yang banyak, mereka yang ilmunya setaraf. Ketika ada sosok lain yang
ingin mengasah diri, maka mereka lalu menghina, mengolok-olok, lalu menjatuhkan
mental sosok yang ingin melesat jauh.
“Nak. Ketika mereka mengolokmu maka mereka
tidak serius hendak mengolokmu. Kalian ibarat kumpulan kepiting dalam sebuah kolam.
Ketika satu kepiting hendak keluar dari kolam yang pengap, maka kepiting lain
akan berusaha untuk menjatuhkannya,” kata sang guru dengan tenang. Matanya
menutup. Ia kembali bermeditasi.
Sang
murid lalu merenung. Matanya ikut mengatup.
Dunia memang serupa kolam tempat para
kepiting terjebak dalam kepengapan. Hanya mereka yang uniklah yang kemudian
berhasil keluar kolam dan menjadi pribadi baru. Namun jalannya jelas tak mudah.
Kepiting-kepiting lain akan menanam syak wasangka, ketidakpercayaan, serta rasa
dengki yang dipelihara hingga berkarat. Kepiting lain tak akan pernah siap
ketika ada satu kepiting yang menempuh jalan berbeda dan meraih kesuksesan.
Setiap ikhtiar untuk keluar dari
kepengapan selalu tak mudah. Tantangan terberat adalah bagaimana mengatasi
sikap sinis, tidak percaya, serta dengki yang sering muncul tanpa alasan jelas.
Masyarakat sering tak siap ketika ada yang unggul, dan hendak meninggalkan
barisan mereka yang berpikir seragam. Beragam muslihat seringkali keluar.
Beragam duri ditebar demi menggagalkan proses keluar kolam yang sedang
dilakukan seseorang.
Mengapa mereka mengolok? Sebab mereka tak
sanggup melakukannya. Mereka tak ingin orang lain sukses melakukan sesuatu yang
tak bisa mereka lakukan. Mereka lalu menebar duri bagi orang lain. Dipikirnya
alam akan selalu diam menyaksikan segala yang buruk dipertontonkan. Disangkanya
alam semesta akan memberikan apresiasi ketika semua orang berkumpul di barisan pengolok-olok.
Namun, alam semesta tak pernah diam. Alam semesta menjadi saksi dari tingkah
seseorang yang kelak akan dibalas dengan tindakan setimpal. Alam juga yang
kelak memberikan posisi terhormat pada pribadi besar yang melalui setiap
masalah dengan cara elegan.
Pribadi besar tak pernah melalui sesuatu
dengan mudah. Pribadi itu lahir dari sinisme serta apatis orang lain, yang
kemudian menempa dirinya menjadi seorang petarung handal. Semua rasa dengki
adalah bagian dari latihan yang akan memperkokoh fisik dan ototnya untuk
menghadapi derasnya terjangan sungai kehidupan. Mereka yang unggul adalah
mereka yang lahir dari lautan yang bergejolak, penuh badai, dan kelak akan
membawa diri mereka keluar hidup-hidup dan membawa demikian banyak kisah besar
tentang kehidupan.
Sang
murid kemudian tersenyum.
Matanya kemudian membuka. Ia lalu meninggalkan ruang semadi gurunya
dengan penuh bahagia yang mekar di hatinya. Kali ini ia tak akan pernah kalah.
Semua olokan itu akan dijadikannya sebagai bagian dari latihan demi proses
menyempurna. Ia yakin kalau proses mengasah diri harus terus dilakukan, tanpa
harus terpengaruh orang-orang sinis itu. Ia akan melesat, dan lebih jauh dari
capaian siapapun.
Yup. Ia akan terus melesat.