|
adegan dalam serial Crash Landing on You |
Sejak Indihome membolehkan tayangan Netflix, saya menjadi penggemar drama Korea. Mulanya, saya terkesima saat nonton drama
Crash Landing on You (CLOY) yang diperankan Hyun Bin dan Son Ye Jin. Ini kisah tentang Kapten Ri, seorang perwira di Korea Utara yang jatuh cinta dengan konglomerat Korea Selatan.
Sejujurnya, saya bukan tipe penonton serial romansa. Tapi entah kenapa kisah ini bisa membuat saya terpaku sehari semalam sampai tuntas. Serial ini kemasannya keren,
chemistry tokohnya terbangun, juga pandai menyisipkan adegan yang bikin penonton histeris.
Selanjutnya, saya ketagihan menonton drama Korea lainnya. Setelah CLOY, saya lanjut menonton
Hotel de Luna. Saya suka kisah horor dan misteri yang dikemas dalam penampilan aktris cantik dan seksi. Lanjut ke serial
The King: Eternal Monarch yang aktornya Lee Min Ho. Ini kisah fantasi yang dikemas jadi lebih modern. Serial ini mengenai dua dunia paralel yang penduduknya saling melintasi.
BACA: Doraemon, Soft Power, dan Imajinasi
Selanjutnya, serial
Kingdom, membuat saya tak berkedip menontonnya Bahkan saya menahan kencing saat adegan para zombie menyerbu. Tuntas
Kingdom, saya nonton
Memories of Alhambra yang diperankan Hyun Bin. Kisah ini juga menarik sebab membahas bagaimana game berbasis
artificial intelligence dan
augmented reality bisa tampil di alam nyata.
Saya lanjut lagi menonton
Arthdal Chronicles yang diperankan Song Joong Ki. Niat nonton serial ini muncul gara-gara saya menjelaskan pada istri tentang ras manusia dahulu yang bukan cuma Sapiens tapi ada juga Neanderthal. Riset arkeologi menunjukkan bagaimana Neanderthal dibantai oleh Sapiens.
Eh, istri menyuruh saya nonton
Arthdal Chronicles. Katanya, di situ, ada cerita manusia Neanderthal yang menikah dengan Sapiens dan punya keturunan. Akhirnya saya kembali “terkancing” untuk nonton serial ini siang malam. Sineas Korea punya imajinasi hebat. Bahkan sekeping fakta arkeologi bisa dikembangkan jadi kisah fantasi.
Semalam saya menghabiskan serial
Vagabond yang dibintangi Lee Seung Gi dan idola saya yakni Bae Suzy. Serial ini sungguh berani sebab membahas bagaimana korupsi dan kejahatan yang dilakukan Presiden Korea. Kalau ini dibuat dalam versi negara sebelah, pasti akun medsos pembuatnya akan diserbu para
die hard, bahkan produser dan sutradaranya akan dicokok polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Saya jatuh cinta dengan penampilan Bae Suzy. Sejak menyaksikan dia di film
Architecture 101, saya yang merasa mirip Lee Min Ho berharap bisa memacarinya. Apa boleh buat, dia jauh di sana. Andaikan dia di sini dan tinggal dekat rumah, saya pasti akan memacarinya. Ciee....
|
Bae Suzy dalam Vagabond |
Di mata saya, ada beberapa hal yang bikin drama Korea itu menarik.
Pertama, kisahnya selalu tuntas. Kalau menonton drama Hollywood, kita mesti tabah mengikuti banyak season atau musim penayangan sebab dibuat berdasarkan pasar. Kalau banyak yang nonton, maka produsernya akan bikin serial berjilid-jilid. Drama Korea selalu tuntas. Kita hanya perlu menyaksikan sekitar 16 episode.
Kedua, kisah-kisah dalam drama Korea selalu kaya dan penuh imajinasi. Beda dengan negeri sono yang kisahnya menye-menye hanya seputar cinta dan rebutan warisan, drama Korea kaya dengan berbagai kisah, serta teknologi. Drama dikemas dengan sangat baik dan
budget yang besar. Sering, syuting dilakukan di luar negeri dengan pemain asing, sehingga mendorong internasionalisasi Korea.
Ketiga, aktor dan aktris Korea selalu total dalam berakting. Mereka selalu bisa menjiwai peran dengan baik sehingga penonton bisa hanyut dalam aliran sungai cerita. Para sineasnya tahu bagaimana menjaga ritme kisah sehingga tidak membosankan, dan bisa dipahami siapa pun.
***
Saya mencari penjelasan mengapa serial, film, musik, hingga kuliner Korea bisa mendunia. Sejak awal tahun 2000, dunia terpapar oleh satu demam baru yang disebut Korean Wave. Demam ini melanda seluruh negara Asia hingga Timur Tengah lalu Amerika Latin dan Afrika. Bahkan film
Parasite yang dibuat Bong Joon-ho menjadi film asing pertama yang memenangkan Piala Oscar, yang sekian dekade menjadi lambang supremasi Amerika atas dunia.
Merek Korea, mulai dari Samsung, LG hingga Hyundai, telah menyebar ke seluruh dunia. Video lagu berjudul Gangnam Style yang dinyanyikan artis Korea bernama Psy, menjadi tayangan yang paling bayak ditonton di Amerika Serikat. Di saat ikon musik Amerika seperti Britney Spears ikut menirukan tarian Spy, dunia tengah menyaksikan penetrasi Korea di jantung hiburan dunia. Korea adalah masa depan.
Saya menemukan penjelasan tentang Korean Wave dalam buku berjudul
The Birth of Korean Cool: How One Nation is Conquering the World through Popular Culture, yang ditulis Euny Hong. Di buku ini, saya temukan penjelasan bagaimana Korea membangkitkan kekuatan ekonomi melalui pijakan kuat pada budaya pop.
Hingga akhir tahun 1980-an, negara ini dipimpin oleh rezim militer. Warganya hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Warganya hidup dalam ketakutan akan perang dengan saudaranya di utara.
Tapi sejak tahun 1990-an, Korea mulai mengalami lonjakan ekonomi yang sangat tajam, hingga akhirnya negara itu dilanda krisis yang menghantam Asia di akhir tahun 1999, hingga harus berutang ke IMF. Utang inilah yang mengoyak harga diri mereka.
Bagi negeri itu, krisis adalah titik balik. Krisis menjadi momentum untuk mengembalikan harga diri bangsa. Presiden Kim Dae Jung lalu mengundang para Public Relation (PR) hebat Korea untuk merancang strategi bagaimana mengembalikan citra negeri itu yang terpuruk.
Rekomendasinya adalah sebanyak-banyaknya memproduksi budaya populer, lalu mengekspornya ke berbagai negara. Hanya melalui produk seperti film, serial drama, K-Pop, Video Game, hingga makanan cepat saji, Korea bisa kembali memulihkan harga dirinya. Industri lalu diperkuat, hingga akhirnya Korea berhasil membayar utang ke IMF tiga tahun setelahnya.
Pemerintah Korea memasang jaringan internet cepat dan infrastruktur teknologi informasi. Seluruh desa, sekolah, rumah, dipasang internet yang kecepatannya paling tinggi di dunia. Pemerintah mengucurkan lebih dari 25 persen dari keseluruhan modal perusahaan di Korea, dan bantuan diplomasi untuk "menyelundupkan" musik dan drama Korea ke berbagai negara. Sedangkan perusahaan swasta juga melakukan investasi yang sangat berani.
Sebuah perusahaan musik Korea rela menghabiskan sampai tujuh tahun untuk menyiapkan bintang K-Pop, sekelas Girls Generation, untuk masa depan. Meskipun orang Korea merasa kecolongan karena yang pertama menembus dunia adalah Psy, penyanyi yang berwajah jelek, yang justru tidak melakukan operasi plastik.
Pemerintah membuat riset, lalu menyiapkan panduan bagi semua pelaku industri untuk memasuki pasar negara lain. Misalnya, pemerintah membuat panduan tentang negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Muslim. Bahwa serial drama jangan tayang saat waktu-waktu salat, kenali hal-hal yang tak dibolehkan, misalnya mengumbar aurat.
Hal ini bersesuaian dengan budaya Korea yang kental dengan etika Konfusianis, yang tidak membolehkan mereka untuk berciuman di depan publik. Etika Konfusianis juga dimunculkan dalam film, misalnya sikap menyayangi dan menghormati orang tua, hingga etika berpakaian yang tertutup dan tidak memperlihatkan bagian tubuh tertentu. Barangkali, hanya Korea yang membuat panduan bagaimana menguasai pasar di negara lain.
Kata Euny Hong: "Kalau bukan krisis itu, mungkin tak akan pernah ada Korean Wave". Sebelum krisis, dunia hiburan Korea tidak melakukan usaha agresif apa pun untuk menjual produknya di luar negeri. Namun, dalam keadaan terpojok, para pelaku industri hiburan memutuskan harus menjual film, pertunjukan televisi, dan musik mereka ke seluruh Asia.
BACA: Suatu Hari Bersama Penari Korea
Di tengah krisis, Korea melakukan pertaruhan gila dengan menjadikan industri teknologi informasi dan budaya populer sebagai prioritas ekonomi.
Gelombang budaya populer itu dikenal sebagai "Hallyu", menjadi sebuah fenomena yang menyedot perhatian seluruh dunia. Saat orang mendengarkan K-Pop, mereka membeli gaya hidup. Hallyu merupakan strategi ekonomi menjual gaya hidup. Di situ ada kombinasi antara budaya dan ekonomi. Hallyu lebih dari sekadar K-Pop, yang salah satu bintangnya adalah Girls Generation.
Ibarat menu makan, Hallyu adalah paket komplet. Mulai dari drama, musik, promosi, iklan mobil, juga iklan telepon seluler dan teknologi terbaru. "Belum pernah ada yang mencoba membuat campuran terpadu yang mencakup semua hal, dari produk teknologi sampai musik, video, dan konten daring. Ini invasi di segala lini ke perbatasan asing." Hallyu diterjemahkan sebagai senjata yang mengguncang seluruh dunia.
Dalam hanya waktu puluhan tahun, Korea mengalami perubahan yang baru dicapai kebanyakan negara maju setelah ratusan tahun. K-Pop, drama, film, video game, dan makanan cepat saji Korea telah mendominasi wilayah budaya Asia, bahkan semakin moncer di Eropa dan Amerika.
Hallyu sama sekali bukan sesuatu yang jatuh dari langit, namun sesuatu yang dihadirkan melalui serangkaian kerja keras dan kebijakan negara yang menopang itu. Dia adalah kombinasi antara disiplin, kerja keras, persaingan, rasa malu, sekaligus kepercayaan konfusianisme yang secara kultural melekat dalam diri orang Korea.
|
ilustrasi Korean Wave |
Pada titik ini, saya teringat pada konsep
soft power yang diperkenalkan ilmuwan politik Harvard University, Joseph Nye. Menurutnya,
soft power adalah kekuatan yang tak terlihat yang dimiliki sebuah negara melalui citranya ketimbang melalui kekuatannya.
Hard Power adalah kekuatan militer dan paksaan ekonomi.
Soft Power adalah bagaimana Korea memaksa semua warga dunia menyaksikan serial drama dan film, lalu mengagumi ponsel merek Samsung dan LG, lalu melihat kecanggihan mobil Hyundai di serial itu. Hallyu bisa dikatakan sebagai soft power bangsa Korea yang disebarkan ke seluruh dunia.
Salah satu manifestasinya adalah pemaksaan standar tampan dan cantik sesuai standar Korea, yang lalu memicu penyebaran produk kosmetik, menjamurnya operasi plastik, serta larisnya aktor dan aktris Korea di mancanegara.
Hal yang mengejutkan saya adalah ambisi Korea untuk menyebarkan “hallyu” itu didorong oleh kebencian yang memiliki akar dalam sejarah. Ada "kemarahan" yang secara kultural oleh orang Korea disebut Han. Han itu semacam dendam yang membuat harga diri mereka seakan turun. Salah satu Han itu adalah kebencian terhadap Jepang.
Dendam tersebut telah berlangsung 600 tahun dan terakhir akibat Jepang menjajah Korea pada 1910 sampai 1945. Dalam hubungannya dengan gelombang Hallyu, sesungguhnya dorongan dan motivasi mereka muncul dari keinginan untuk mengalahkan Jepang dalam hal apa pun.
Akhir 1990-an, Samsung menetapkan raksasa elektronik Jepang, Sony, sebagai perusahaan yang harus dikalahkan. Pada masa itu, Samsung menjadi bahan tertawaan. Kini, Samsung sukses mengalahkan perusahaan Jepang itu di banyak lini. Samsung perlahan menjadi raksasa kelas dunia yang menantang Apple dan Microsoft, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat.
Jika Amerika fokus ke seluruh dunia, Korea hanya fokus ke sejumlah wilayah yang belum terjamah. Korea masuk ke negara dunia ketiga yang sedang tidur, demi memasukkan serial dan produk budaya populer mereka. Tak heran jika drama Korea
“Jewel in the Place” menjadi serial paling laris di Iran, sampai-sampai memaksa orang Iran mengubah jam makan agar tidak berbenturan dengan jam tayang serial ini.
BACA: Penulis Korea yang Berbisik "Follow Your Passion"
Lebih mengejutkan ketika serial Korea berjudul
Winter Sonata menjadi serial paling populer di Jepang, menumbangkan semua drama buatan Jepang, sekaligus mengubah persepsi orang Jepang yang melihat lelaki Korea sebagai lelaki paling ideal. Lelaki Korea memiliki kekuatan dan kharisma, namun di saat berbeda bisa pula menangis saat melihat sesuatu yang mengharukan.
Bayangkan, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi menyebut nama aktor Korea Bae Yong-joon (sosok dalam kisah
Winter Sonata) sebagai simbol lelaki sempurna dalam kampanyenya. Bagi negara ginseng yang pernah dijajah negeri samurai, penyebutan tipe lelaki sempurna itu adalah simbol dari penetrasi di jantung bangsa yang pernah menjajah mereka.
***
Saya menyukai buku yang ditulis Euny Hong ini. Sebagai orang Korea, ia menyaksikan pasang surut negaranya, lalu tiba-tiba terkejut melihat negaranya telah berada pada titik yang jauh di depan negara-negara lain.
Di mata saya, kekuatan Korea adalah memiliki visi yang sama di kalangan warganya untuk melesat maju dan menjemput masa depan. Di negeri ini tak ada perang antar keyakinan, tak ada debat tentang siapa yang akan masuk surga dan siapa yang masuk neraka, tak ada perdebatan tentang agama dan etnis pemimpinnya. Negeri ini hanya fokus pada masa depan, sesuatu yang harus dimenangkan, melalui upaya menggempur negara lain dengan kekuatan budaya yang lalu melejitkan ekonomi.
Jangan terkejut jika di masa depan Korea akan semakin melesat. Bangsa itu telah memancangkan tekad kuat bahwa abad 21 adalah abadnya Korea, sebagaimana abad 20 milik Amerika Serikat. Korea membuat semi-konduktor, mobil, produk elektronik, satelit, teknologi yang canggih demi menatap masa depan.
Seorang pemilik usaha rekaman Jon-Young Park pernah ditanya, dari mana asalmu? Ia menjawab singkat, “Saya datang dari Korea. Saya dari masa depan.”