Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mengapa DI's Way?




Di akhir pekan, saya berjumpa dengan beberapa jurnalis senior di Jakarta. Saya sangat menikmati topik-topik yang dibahas. Mulai dari politisi hingga beberapa selebriti. Hingga akhirnya, kami tiba pada topik menarik itu. Mengenai Dahlan Iskan (DI).

Kisah tentang kehebatan DI hingga menjadi raja media amat sering saya dengar. Namun, saya terkejut saat senior itu bercerita tentang nasib media besar yang didirikan DI di Surabaya kini terancam kolaps.

Tak hanya itu, DI mempercepat kolapsnya media besar itu dengan membuat harian DI’s Way. Hah?

“Kawan-kawan menyebut sedang ada Perang Barathayudha di sana. Harian DI’s Way yang didirikan DI itu hanya akan mempercepat prosesnya,” kata kawan senior itu.

Kawan itu lalu mengurai argumentasi. Media yang didirikan DI itu memamg menjadi sebesar kerajaan, namun tidak mewariskan sistem permainan kolektif. Banyak pengiklan besar, khususnya kalangan pebisnis Tionghoa yang loyal hanya kepada DI, bukan pada media. Di industri media, iklan adalah darah yang menjaga sirkulasi semua proses.

“Kita kan tahu, kalau nama2 seperti Hermawan Kertajaya hingga Tung Desem Waringin dahulu dibesarkan oleh DI,” katanya. Dia benar. Saya menyimak.

Ketika DI’s Way berdiri, maka kue iklan dari pengusaha besar itu akan pindah. DI adalah jaminan mutu. Dia adalah ikon yang tahu cara paling cepat menarik pembaca sebanyak-banyaknya, termasuk pengiklan baru.

Tapi, bukankah bisnis koran itu sudah jadul saat gempuran online terjadi terus-menerus?

Rupanya DI terus memikirkan itu saat pandemi Covid. Dia akhirnya menemukan cara agar informasi di media itu tidak akan bisa disedot oleh Google dan Facebook. Bersama timnya, dia menemukan cara agar konten tidak beredar di Google.

Dengan cara itu, konten bisa orisinil. Pembaca, yang sudah jatuh cinta dengan gaya DI, tidak punya pilihan selain membeli medianya. Saya belum tahu bagaimana teknisnya. Tapi, saya anggap idenya bagus. Jika konten ingin eksklusif, maka jauhkan dari jangkauan Google.

Bisnis media memang harus lebih kreatif menghadapi pembaca yang beralih ke smartphone. Di luar negeri, media tidak lagi hidup dari sponsor. Ada media yang meminta pembacanya untuk memberikan donasi jika ingin membaca karya jurnalistik berkualitas yang lahir dari tradisi verifikasi serra liputan mendalam.

Saya rasa, jurnalisme harus diselamatkan. Biar kita tidak selalu tersesat dalam rimba raya pertarungan para buzzer politik dan influencer. Insiatif DI pantas dicoba. Apalagi, DI bilang, dia ingin berterimakasih pada tradisi jurnalistik dan mempertahankannya, meskipun dia tahu itu tidak mudah.

Cuma, saya agak ragu mengingat usianya yang sudah 70 tahun. Saya bayangkan, dia tidak segesit dahulu dalam membaca trend. Namun, dia punya pengalaman membesarkan sesuatu hingga menjadi kerajaan bisnis. Pengalamannya mahal.

Saya menyukai pertemuan kemarin. Saya malah baru tahu kalau DI sudah meninggalkan media itu beberapa tahun terakhir. Pantasan, dia menjadi blogger yang rutin menulis setiap hari, jam 4 subuh. Dia punya stamina khas jurnalis yang sanggup menata kata setiap hari.

Saya pembaca setia DI’s Way. Temanya beragam. Saya sering terganggu dengan gaya menulis DI yang agak “berantakan.” Kalimatnya sering tidak terstruktur. Tapi, gaya seperti itu justru bisa menentang arus.

Kemampuan berkomunikasinya selevel dewa. DI mengubah hal yang serius menjadi ringan, sehingga bisa dipahami siapa pun, termasuk mereka yang tidak pernah sekolah. DI adalah maestro yang bisa menggaet pembaca baru untuk menjadi fansnya. Tulisannya potensial jadi viral dan dibagikan di mana-mana.

DI adalah ikon. Dia sekaligus monumen. Dia seorang penulis hebat, juga pebisnis hebat. “Goenawan Mohammad (GM) memang piawai dalam menulis, tapi tidak punya talenta sehebat DI dalam bisnis,” kata kawan senior ini.

Saya melihat senja di ufuk sana. Di balik awan jingga itu, ada matahari yang akan terus bersinar.


Drama Korea, Soft Power, dan Imajinasi Masa Depan

crash landing on you
adegan dalam serial Crash Landing on You

Sejak Indihome membolehkan tayangan Netflix, saya menjadi penggemar drama Korea. Mulanya, saya terkesima saat nonton drama Crash Landing on You (CLOY) yang diperankan Hyun Bin dan Son Ye Jin. Ini kisah tentang Kapten Ri, seorang perwira di Korea Utara yang jatuh cinta dengan konglomerat Korea Selatan.

Sejujurnya, saya bukan tipe penonton serial romansa. Tapi entah kenapa kisah ini bisa membuat saya terpaku sehari semalam sampai tuntas. Serial ini kemasannya keren, chemistry tokohnya terbangun, juga pandai menyisipkan adegan yang bikin penonton histeris.

Selanjutnya, saya ketagihan menonton drama Korea lainnya. Setelah CLOY, saya lanjut menonton Hotel de Luna. Saya suka kisah horor dan misteri yang dikemas dalam penampilan aktris cantik dan seksi. Lanjut ke serial The King: Eternal Monarch yang aktornya Lee Min Ho. Ini kisah fantasi yang dikemas jadi lebih modern. Serial ini mengenai dua dunia paralel yang penduduknya saling melintasi.

BACA: Doraemon, Soft Power, dan Imajinasi

Selanjutnya, serial Kingdom, membuat saya tak berkedip menontonnya Bahkan saya menahan kencing saat adegan para zombie menyerbu. Tuntas Kingdom, saya nonton Memories of Alhambra yang diperankan Hyun Bin. Kisah ini juga menarik sebab membahas bagaimana game berbasis artificial intelligence dan augmented reality bisa tampil di alam nyata.

Saya lanjut lagi menonton Arthdal Chronicles yang diperankan Song Joong Ki. Niat nonton serial ini muncul gara-gara saya menjelaskan pada istri tentang ras manusia dahulu yang bukan cuma Sapiens tapi ada juga Neanderthal. Riset arkeologi menunjukkan bagaimana Neanderthal dibantai oleh Sapiens.

Eh, istri menyuruh saya nonton Arthdal Chronicles. Katanya, di situ, ada cerita manusia Neanderthal yang menikah dengan Sapiens dan punya keturunan. Akhirnya saya kembali “terkancing” untuk nonton serial ini siang malam. Sineas Korea punya imajinasi hebat. Bahkan sekeping fakta arkeologi bisa dikembangkan jadi kisah fantasi.

Semalam saya menghabiskan serial Vagabond yang dibintangi Lee Seung Gi dan idola saya yakni Bae Suzy.  Serial ini sungguh berani sebab membahas bagaimana korupsi dan kejahatan yang dilakukan Presiden Korea. Kalau ini dibuat dalam versi negara sebelah, pasti akun medsos pembuatnya akan diserbu para die hard, bahkan produser dan sutradaranya akan dicokok polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Saya jatuh cinta dengan penampilan Bae Suzy. Sejak menyaksikan dia di film Architecture 101, saya yang merasa mirip Lee Min Ho berharap bisa memacarinya. Apa boleh buat, dia jauh di sana. Andaikan dia di sini dan tinggal dekat rumah, saya pasti akan memacarinya. Ciee....

Bae Suzy dalam Vagabond

Di mata saya, ada beberapa hal yang bikin drama Korea itu menarik.

Pertama, kisahnya selalu tuntas. Kalau menonton drama Hollywood, kita mesti tabah mengikuti banyak season atau musim penayangan sebab dibuat berdasarkan pasar. Kalau banyak yang nonton, maka produsernya akan bikin serial berjilid-jilid. Drama Korea selalu tuntas. Kita hanya perlu menyaksikan sekitar 16 episode.

Kedua, kisah-kisah dalam drama Korea selalu kaya dan penuh imajinasi. Beda dengan negeri sono yang kisahnya menye-menye hanya seputar cinta dan rebutan warisan, drama Korea kaya dengan berbagai kisah, serta teknologi. Drama dikemas dengan sangat baik dan budget yang besar. Sering, syuting dilakukan di luar negeri dengan pemain asing, sehingga mendorong internasionalisasi Korea.

Ketiga, aktor dan aktris Korea selalu total dalam berakting. Mereka selalu bisa menjiwai peran dengan baik sehingga penonton bisa hanyut dalam aliran sungai cerita. Para sineasnya tahu bagaimana menjaga ritme kisah sehingga tidak membosankan, dan bisa dipahami siapa pun.

***  

Saya mencari penjelasan mengapa serial, film, musik, hingga kuliner Korea bisa mendunia. Sejak awal tahun 2000, dunia terpapar oleh satu demam baru yang disebut Korean Wave. Demam ini melanda seluruh negara Asia hingga Timur Tengah lalu Amerika Latin dan Afrika. Bahkan film Parasite yang dibuat Bong Joon-ho menjadi film asing pertama yang memenangkan Piala Oscar, yang sekian dekade menjadi lambang supremasi Amerika atas dunia.

Merek Korea, mulai dari Samsung, LG hingga Hyundai, telah menyebar ke seluruh dunia. Video lagu berjudul Gangnam Style yang dinyanyikan artis Korea bernama Psy, menjadi tayangan yang paling bayak ditonton di Amerika Serikat. Di saat ikon musik Amerika seperti Britney Spears ikut menirukan tarian Spy, dunia tengah menyaksikan penetrasi Korea di jantung hiburan dunia. Korea adalah masa depan.

Saya menemukan penjelasan tentang Korean Wave dalam buku berjudul The Birth of Korean Cool: How One Nation is Conquering the World through Popular Culture,  yang ditulis Euny Hong.  Di buku ini, saya temukan penjelasan bagaimana Korea membangkitkan kekuatan ekonomi melalui pijakan kuat pada budaya pop.

Hingga akhir tahun 1980-an, negara ini dipimpin oleh rezim militer. Warganya hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Warganya hidup dalam ketakutan akan perang dengan saudaranya di utara.

Tapi sejak tahun 1990-an, Korea mulai mengalami lonjakan ekonomi yang sangat tajam, hingga akhirnya negara itu dilanda krisis yang menghantam Asia di akhir tahun 1999, hingga harus berutang ke IMF. Utang inilah yang mengoyak harga diri mereka.

Bagi negeri itu, krisis adalah titik balik. Krisis menjadi momentum untuk mengembalikan harga diri bangsa. Presiden Kim Dae Jung lalu mengundang para Public Relation (PR) hebat Korea untuk merancang strategi bagaimana mengembalikan citra negeri itu yang terpuruk.

Rekomendasinya adalah sebanyak-banyaknya memproduksi budaya populer, lalu mengekspornya ke berbagai negara. Hanya melalui produk seperti film, serial drama, K-Pop, Video Game, hingga makanan cepat saji, Korea bisa kembali memulihkan harga dirinya. Industri lalu diperkuat, hingga akhirnya Korea berhasil membayar utang ke IMF tiga tahun setelahnya.

Pemerintah Korea memasang jaringan internet cepat dan infrastruktur teknologi informasi. Seluruh desa, sekolah, rumah, dipasang internet yang kecepatannya paling tinggi di dunia.  Pemerintah mengucurkan lebih dari 25 persen dari keseluruhan modal perusahaan di Korea, dan bantuan diplomasi untuk "menyelundupkan" musik dan drama Korea ke berbagai negara. Sedangkan perusahaan swasta juga melakukan investasi yang sangat berani.

Sebuah perusahaan musik Korea rela menghabiskan sampai tujuh tahun untuk menyiapkan bintang K-Pop, sekelas Girls Generation, untuk masa depan. Meskipun orang Korea merasa kecolongan karena yang pertama menembus dunia adalah Psy, penyanyi yang berwajah jelek, yang justru tidak melakukan operasi plastik.

Pemerintah membuat riset, lalu menyiapkan panduan bagi semua pelaku industri untuk memasuki pasar negara lain. Misalnya, pemerintah membuat panduan tentang negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Muslim. Bahwa serial drama jangan tayang saat waktu-waktu salat, kenali hal-hal yang tak dibolehkan, misalnya mengumbar aurat.

Hal ini bersesuaian dengan budaya Korea yang kental dengan etika Konfusianis, yang tidak membolehkan mereka untuk berciuman di depan publik. Etika Konfusianis juga dimunculkan dalam film, misalnya sikap menyayangi dan menghormati orang tua, hingga etika berpakaian yang tertutup dan tidak memperlihatkan bagian tubuh tertentu. Barangkali, hanya Korea yang membuat panduan bagaimana menguasai pasar di negara lain.

Kata Euny Hong: "Kalau bukan krisis itu, mungkin tak akan pernah ada Korean Wave". Sebelum krisis, dunia hiburan Korea tidak melakukan usaha agresif apa pun untuk menjual produknya di luar negeri. Namun, dalam keadaan terpojok, para pelaku industri hiburan memutuskan harus menjual film, pertunjukan televisi, dan musik mereka ke seluruh Asia.

BACA: Suatu Hari Bersama Penari Korea

Di tengah krisis, Korea melakukan pertaruhan gila dengan menjadikan industri teknologi informasi dan budaya populer sebagai prioritas ekonomi.

Gelombang budaya populer itu dikenal sebagai "Hallyu", menjadi sebuah fenomena yang menyedot perhatian seluruh dunia. Saat orang mendengarkan K-Pop, mereka membeli gaya hidup. Hallyu merupakan strategi ekonomi menjual gaya hidup. Di situ ada kombinasi antara budaya dan ekonomi. Hallyu lebih dari sekadar K-Pop, yang salah satu bintangnya adalah Girls Generation.

Ibarat menu makan, Hallyu adalah paket komplet. Mulai dari drama, musik, promosi, iklan mobil, juga iklan telepon seluler dan teknologi terbaru. "Belum pernah ada yang mencoba membuat campuran terpadu yang mencakup semua hal, dari produk teknologi sampai musik, video, dan konten daring. Ini invasi di segala lini ke perbatasan asing." Hallyu diterjemahkan sebagai senjata yang mengguncang seluruh dunia.

Dalam hanya waktu puluhan tahun, Korea mengalami perubahan yang baru dicapai kebanyakan negara maju setelah ratusan tahun. K-Pop, drama, film, video game, dan makanan cepat saji Korea telah mendominasi wilayah budaya Asia, bahkan semakin moncer di Eropa dan Amerika.

Hallyu sama sekali bukan sesuatu yang jatuh dari langit, namun sesuatu yang dihadirkan melalui serangkaian kerja keras dan kebijakan negara yang menopang itu. Dia adalah kombinasi antara disiplin, kerja keras, persaingan, rasa malu, sekaligus kepercayaan konfusianisme yang secara kultural melekat dalam diri orang Korea.

ilustrasi Korean Wave

Pada titik ini, saya teringat pada konsep soft power yang diperkenalkan ilmuwan politik Harvard University, Joseph Nye. Menurutnya, soft power adalah kekuatan yang tak terlihat yang dimiliki sebuah negara melalui citranya ketimbang melalui kekuatannya. Hard Power adalah kekuatan militer dan paksaan ekonomi.

Soft Power adalah bagaimana Korea memaksa semua warga dunia menyaksikan serial drama dan film, lalu mengagumi ponsel merek Samsung dan LG, lalu melihat kecanggihan mobil Hyundai di serial itu. Hallyu bisa dikatakan sebagai soft power bangsa Korea yang disebarkan ke seluruh dunia.

Salah satu manifestasinya adalah pemaksaan standar tampan dan cantik sesuai standar Korea, yang lalu memicu penyebaran produk kosmetik, menjamurnya operasi plastik, serta larisnya aktor dan aktris Korea di mancanegara.

Hal yang mengejutkan saya adalah ambisi Korea untuk menyebarkan “hallyu” itu didorong oleh kebencian yang memiliki akar dalam sejarah. Ada "kemarahan" yang secara kultural oleh orang Korea disebut Han. Han itu semacam dendam yang membuat harga diri mereka seakan turun. Salah satu Han itu adalah kebencian terhadap Jepang.

Dendam tersebut telah berlangsung 600 tahun dan terakhir akibat Jepang menjajah Korea pada 1910 sampai 1945. Dalam hubungannya dengan gelombang Hallyu, sesungguhnya dorongan dan motivasi mereka muncul dari keinginan untuk mengalahkan Jepang dalam hal apa pun.

Akhir 1990-an, Samsung menetapkan raksasa elektronik Jepang, Sony, sebagai perusahaan yang harus dikalahkan. Pada masa itu, Samsung menjadi bahan tertawaan. Kini, Samsung sukses mengalahkan perusahaan Jepang itu di banyak lini. Samsung perlahan menjadi raksasa kelas dunia yang menantang Apple dan Microsoft, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat.

Jika Amerika fokus ke seluruh dunia, Korea hanya fokus ke sejumlah wilayah yang belum terjamah. Korea masuk ke negara dunia ketiga yang sedang tidur, demi memasukkan serial dan produk budaya populer mereka. Tak heran jika drama Korea “Jewel in the Place” menjadi serial paling laris di Iran, sampai-sampai memaksa orang Iran mengubah jam makan agar tidak berbenturan dengan jam tayang serial ini.

BACA: Penulis Korea yang Berbisik "Follow Your Passion"

Lebih mengejutkan ketika serial Korea berjudul Winter Sonata menjadi serial paling populer di Jepang, menumbangkan semua drama buatan Jepang, sekaligus mengubah persepsi orang Jepang yang melihat lelaki Korea sebagai lelaki paling ideal. Lelaki Korea memiliki kekuatan dan kharisma, namun di saat berbeda bisa pula menangis saat melihat sesuatu yang mengharukan.

Bayangkan, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi menyebut nama aktor Korea Bae Yong-joon (sosok dalam kisah Winter Sonata) sebagai simbol lelaki sempurna dalam kampanyenya. Bagi negara ginseng yang pernah dijajah negeri samurai, penyebutan tipe lelaki sempurna itu adalah simbol dari penetrasi di jantung bangsa yang pernah menjajah mereka.

***

Saya menyukai buku yang ditulis Euny Hong ini. Sebagai orang Korea, ia menyaksikan pasang surut negaranya, lalu tiba-tiba terkejut melihat negaranya telah berada pada titik yang jauh di depan negara-negara lain.

Di mata saya, kekuatan Korea adalah memiliki visi yang sama di kalangan warganya untuk melesat maju dan menjemput masa depan. Di negeri ini tak ada perang antar keyakinan, tak ada debat tentang siapa yang akan masuk surga dan siapa yang masuk neraka, tak ada perdebatan tentang agama dan etnis pemimpinnya. Negeri ini hanya fokus pada masa depan, sesuatu yang harus dimenangkan, melalui upaya menggempur negara lain dengan kekuatan budaya yang lalu melejitkan ekonomi.

Jangan terkejut jika di masa depan Korea akan semakin melesat. Bangsa itu telah memancangkan tekad kuat bahwa abad 21 adalah abadnya Korea, sebagaimana abad 20 milik Amerika Serikat. Korea membuat semi-konduktor, mobil, produk elektronik, satelit, teknologi yang canggih demi menatap masa depan.

Seorang pemilik usaha rekaman Jon-Young Park pernah ditanya, dari mana asalmu? Ia menjawab singkat, “Saya datang dari Korea. Saya dari masa depan.”


Membaca Kepunahan Keenam

 


Ini buku yang muram. Isinya adalah sejarah kekalahan dari spesies yang bukannya tidak bisa beradaptasi dengan bumi, tapi perlahan tersingkir dan punah oleh spesies manusia. Ini kisah tentang kian tingginya laju kepunahan berbagai hewan sejak era pertama bumi terbentuk.

Dulu, banyak spesies punah karena asteroid atau gunung meletus dalam skala besar. Kini, semua kepunahan itu disebabkan manusia, spesies yang merasa dirinya paling hebat sehingga merasa punya kuasa dewa untuk mengatur alam semesta.

Di bab-bab awal buku ini, saya membaca tentang punahnya spesies katak emas, badak Sumatra, hingga berbagai jenis hewan laut. Seperenam burung telah punah. Demikian pula sepertiga hiu, sepertiga moluska air tawar. Kepunahan terjadi di mana-mana, dengan laju yang kian mengkhawatirkan.

Kita memang tidak banyak melakukan refleksi diri. Saya ingat Bupati Subang yang di awal pandemi Covid memerintahkan stafnya untuk membasmi semua kelelawar. Padahal, kelelawar itu justru menampung virus Covid dalam tubuhnya. Ketika dia dibasmi, maka virus itu pindah ke tubuh manusia.

Elizabeth Kolbert menulis kepunahan itu serupa membuat catatan perjalanan, dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu laboratorium ke laboratorium lain. Alam semesta digambarkan sebagai sejarah perebutan ruang demi keseimbangan. Tapi manusia memasuki arena dan membawa ideologi penaklukan. Hewan liar tersingkir. Semua hutan dirambah dan menjadi perkebunan.

Kini, kita manusia menerima karma saat virus-virus ganas pindah dari hewan ke tubuh kita. Hari ini Covid menyerang, besok-besok berbagai jenis virus yang dahulu nyaman di tubuh hewan liar akan menyerang kita semua. Saat itu, kita kembali menjadi manusia sebagai makhluk biologi yang juga rentan sebagaimana hewan lain.

Dengan menggunakan perspektif dari para ahli geologi, botani, biologi laut, buku ini kaya data dan kisah-kisah penjelajahan ilmiah dari mereka yang berusaha menyelamatkan spesies dan keanekaragaman. Amat wajar jika buku ini memenangkan Pulitzer.

Seusai membaca beberapa bab, saya sempat tertegun. Benar kata Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tapi tidak pernah cukup untuk segelintir manusia yang serakah. Kita lahir dalam setting sejarah di mana kita ingin sekaya-kayanya, sehebat-hebatnya, semakmur-makmurnya, lalu mulailah kita menguasai lahan dan menyingkirkan semua makhluk di dalamnya.

Seorang teman yang mengutip kitab berkata, manusia adalah penguasa di alam. Iya benar. Tapi itu bukan alasan untuk serakus-rakusnya menguasai alam dan tidak menyisakan ruang hidup untuk hewan lain. Hasrat itu membunuh kita semua.



Digital Storytelling untuk Menang PILKADA




Tak semua paham bahwa sekadar memosting foto atau status bijak tak cukup. Bahkan rajin sebar link di WhatsApp dan Facebook juga tak cukup. Selalu sebar foto wajah tampan atau cantik serta nomor urut, tidak menjamin orang akan memilih. Bahkan menguasai big data, algoritma medsos dan semua profil pengguna juga tak cukup. Lantas, apa dong?

Kuasai teknik bercerita.

***

Betapa membosankannya melihat baliho calon kepala daerah. Semua hanya menampilkan foto wajah tersenyum, yang sudah diedit biar kinclong, juga posisi tinju mengepal. Sesekali ada pesan-pesan siap berjuang.

Kita sering juga menyaksikan pose sedang melipat lengan panjang. Pesan yang ingin ditampilkan adalah kandidat ini siap bekerja. Kadang, kita lihat pose sedang mengacungkan jempol, atau pose lagi salam komando dengan pasangannya.

Sejak dulu, dunia politik kita penuh dengan cerita-cerita. Kesan tentang seseorang dibentuk oleh cerita-cerita yang sampai pada kita. Baliho itu menunjukkan pada kita bagaimana cerita hendak dibangun mengenai sosok itu.

Kita melihat slogan, misalnya: merakyat, peduli, mengabdi, atau saleh. Semuanya adalah cerita yang hendak dibangun. Di era digital, cerita-cerita itu juga bisa dengan cepat dibangun dan disebarkan. Di era ini, tak perlu mengeluarkan biaya mahal, cukup menyempatkan waktu untuk berbagi kabar di media sosial, maka pesan bisa cepat menyebar ke mana-mana.

Sayangnya, banyak politisi cenderung menggunakan strategi pesan yang sama. Kalau bukan berbagi pesan bijak, link berisi dakwah, atau foto diri disertai nomor urut dan logo partai. Hal-hal seperti ini memang wajar, namun bisa tidak efektif. Sebab jika tidak dikemas dengan baik, kesan yang muncul adalah menggurui.

Di media sosial, kita lebih sering melihat wajah tersenyum yang diiringi nomor urut dan kata-kata bijak. Sepertinya kandidat kepala daerah kita kurang kreatif sehingga suka copy-paste apa yang dilakukan rekannya. Padahal harusnya buat pembedaan (diferensiasi).

Beberapa ahli komunikasi sudah memperingatkan bahwa pesan-pesan yang selalu disampaikan berulang memang berpotensi untuk disukai, tapi yang sering terjadi adalah munculnya rasa bosan dan muak. Demikian pula selalu mengulang-ulang pesan yang menampilkan wajah senyum. Ini juga bisa berujung pada rasa bosan.

Nasihat memang baik, tapi kalau terus-menerus dijejalkan ke telinga seseorang yang terjadi adalah penolakan. Apalagi jika pemberi nasihat itu diyakini sedang punya motif politik. Sama halnya dengan pernyataan bahwa senyum itu bagus, namun jika Anda bertemu seseorang yang tiba-tiba senyum, maka yakinlah orang itu adalah caleg atau bisa jadi calon kepala daerah.

Jika kata hendak dijadikan mantra yang bisa mengubah kesadaran orang, maka kata-kata harus masuk dengan strategi yang tepat. Salah satu strategi yang diterapkan dalam dunia pemasaran adalah menggunakan soft campaign. Gunakan kampanye yang tidak lantas menonjolkan diri secara berlebihan.

BACA: Perang Robot untuk Menang Pilkada

Nah, Anda mesti memahami teknik bercerita (storytelling) yang benar. Jika diamati, semua budaya dan peradaban selalu memiliki berbagai cerita-cerita yang kemudian memberikan makna bagi setiap generasi.

Storytelling sama tuanya dengan keberadaan manusia. Sebab manusia selalu ingin bercerita dengan sesamanya, berbagi kisah dan kegembiraan, serta mewariskan banyak kearifan. Semua manusia pasti menyenangi bercerita dengan sesamanya.

Di semua budaya, manusia suka berkumpul lalu bercakap-cakap dan membagikan informasi. Pengetahuan tentang bercerita ini sudah lama diterapkan dalam bisnis. Salah satu brand yang konsisten membangun cerita adalah Coca-Cola.

Sejak awal, iklan Coca-Cola tidak pernah menggurui khalayak. Selalu dimulai dengan cerita, kemudian diakhiri dengan pesan kuat yang bisa tertinggal di benak orang-orang yang menyaksikannya.

Jika Anda seorang politisi atau kepala daerah yang hendak memasarkan diri ke hadapan orang lain di era digital, apa yang harus dilakukan?

Pertama, rumuskan lebih dahulu apa konsep yang merupakan keunggulan Anda. Kalau kandidat Anda ingin menampilkan pesan dirinya adalah anak muda, punya kapasitas, serta kepedulian, jadikanlah itu sebagai tagline. Jadikan sebagai narasi besar untuk kampanye di dunia digital.

Kedua, turunkan narasi besar itu dalam bentuk cerita-cerita sederhana yang menarik. Misalnya, ketika Anda merumuskan kekuatan Anda adalah peduli, maka buatlah berbagai cerita pendukung yang menunjukkan kepedulian.

Tak perlu cerita-cerita besar dengan berbagai teori dan bacaan canggih. Cukup tampilkan pengalaman Anda yang sederhana, misalnya bertemu sejumlah pencari kerja yang kesulitan mengakses informasi lapangan kerja. Berikan contoh pengalaman Anda ketika memulai karier atau wirausaha.

Jika Anda menampilkan diri sebagai sosok yang merakyat, berceritalah tentang pengalaman menjadi rakyat. Berikan optimisme bahwa di tengah rakyat itu ada kekuatan dan solidaritas yang jika dikelola bisa menjadi sesuatu yang hebat.

Ketiga, rumuskan strategi dalam membuat postingan. Beberapa postingan yang disukai adalah postingan yang sederhana, tidak menggurui, serta punya pesan penting.

Dalam buku Political Personal Branding yang ditulis Silih Agung Wasesa, disebutkan, beberapa jenis postingan yang disukai orang adalah mengenai harapan, cinta, perjuangan hidup, rasa tertindas, anak-anak, kemenangan, dan banyak lagi.

Anda bisa memilih satu topik kemudian dikaitkan dengan pengalaman Anda, setelah itu selipkan pesan-pesan penting kepada netizen. Setiap hari, evaluasi semua postingan. Dalam waktu tertentu, Anda sudah bisa paham mana yang disukai publik dan mana yang tidak.

Keempat, kembangkan aset digital. Semua akun di media sosial bisa menjadi aset digital. Yang perlu dilakukan adalah kumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya sehingga Anda punya sasaran yang bisa dipersuasi dengan postingan-postingan bermutu.

BACA: Membangun Laskar Media Sosial di Era 4.0

Agar mereka menjadi pengikut setia, cari tahu apa yang mereka sukai, kemudian buat postingan yang sesuai dengan hasil pengamatan Anda. Pahami dengan baik bahwa semua media sosial punya kekuatan dan arena bermain yang berbeda.

Twitter digunakan untuk hal-hal yang mesti cepat disampaikan. Instagram menekankan pada visualisasi yang menarik dipandang. Facebook untuk postingan yang agak panjang dan mendalam. Prinsip kerja media sosial adalah satu isu bisa dikembangkan untuk berbagai kanal. Yang berbeda adalah kemasan dan format penyajian.

Untuk Twitter, Anda mesti meringkas informasi itu lalu ditulis dalam kalimat pendek. Sementara Facebook bisa menjadi ruang untuk menulis lebih dalam sekaligus bisa memancing reaksi pembaca.

Kelima, gunakan strategi untuk memviralkan postingan. Sejauh yang saya amati, ada beberapa cara untuk memviralkan postingan. Yakni: menggunakan fasilitas Ads atau iklan yang disiapkan semua media sosial sehingga kita bisa menambah jangkauan postingan ke ribuan orang di wilayah yang dituju.



Cara lain adalah bekerja sama dengan para influencer atau para penggiat media sosial di berbagai wilayah. Anda bisa memetakan siapa pendukung Anda yang paling intens di media sosial dan punya banyak pengikut.

Kalau dirasa repot, minta semua relawan Anda untuk me-retweet atau meneruskan semua pesan-pesan yang disampaikan di akun pribadi. Dengan cara ini, jangkauan dari semua postingan bisa lebih luas sehingga banyak orang berpotensi melihat postingan itu.

Keenam, pertahankan interaksi dan dialog. Kekuatan media sosial adalah adanya interaksi dan saling jawab antar penggunanya. Ini yang tidak dimiliki oleh media-media arus utama. Media sosial memungkinkan kita untuk saling diskusi dan tukar pikiran. Hanya saja, diskusi ini harus dijaga agar selalu menyehatkan.

Anda mesti pandai-pandai memilah kapan mesti menanggapi dan kapan mesti diam. Sebab tidak semua orang di meida sosial berniat untuk diskusi. Banyak di antaranya yang malah ingin debat kusir dan memanas-manasi sesuatu. Di sini, dibutuhkan sat kearifan dan kejernihan untuk tidak larut dalam perdebatan tak berujung.

***

Di era digital, satu cerita harus didukung oleh banyak cerita-cerita lain. Cerita bahwa Anda seorang kandidat terbaik, mesti didukung dengan banyak cerita lain. Strategi mesti dirumuskan agar pesan kampanye bisa menyentuh sasaran sehingga lebih efektif.

Beberapa kandidat kepala daerah sering melakukan survei tentang isu-isu apa yang paling hangat di masyarakat. Survei ini harusnya menjadi panduan untuk merancang pesan komunikasi yang efektif.

Namun, saya rasa, tidak mudah menurunkan satu isu ke dalam pesan-pesan sederhana. Seorang manajer kampanye mesti berpengalaman mengolah isu, lalu meraciknya menjadi sesuatu yang bisa diterima semua kalangan. Pilkada seharusnya menjadi arena untuk mengolah visi-misi untuk orang banyak, menjadi baris pesan-pesan yang mudah dicerna semua kalangan.

Jika pesan-pesan itu dikemas dengan baik dan dikerjakan dengan konsisten, maka bisa menjadi kekuatan dahsyat. Kita membaca banyak publikasi mengenai media sosial yang memicu revolusi di banyak negara, bisa membuat rejim tumbang, dan bisa membuat perubahan besar.

Dalam konteks pilkada, tantangannya adalah bagaimana membumikan, bagaimana menyederhanakan, bagaimana memahami publik. Itu sudah.



CANDU yang Menopang Republik



Kening pria asal Bukittinggi itu mengerut. Dia, Muhammad Hatta, adalah wakil presiden dari Indonesia yang belum lama diproklamasikan. Dia harus memikirkan bagaimana membiayai semua kebutuhan negara yang masih muda itu.

Alumnus sekolah ekonomi di Rotterdam itu tahu persis bahwa Indonesia belum siap untuk membiayai dirinya. Di masa perjuangan, dia pernah berdebat tentang kapan Indonesia merdeka dengan rekannya Sukarno. Hatta menilai Indonesia belum siap, namun Sukarno tegas mengatakan, kalau menunggu siap, maka sampai kiamat Indonesia tidak merdeka.

Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah berdiri sebagai bangsa. Sebagai pemimpin, dia tidak mungkin menikmati singgasana kekuasaan. Negeri yang saat itu masih puing-puing harus bangkit. Republik muda itu harus siap setiap saat bertempur untuk mempertahankan kemerdekaan.

Ekonomi harus dibangun dari nol. Sementara kebutuhan makin mendesak untuk membeli senjata, membiayai aparat negara, juga membangun. Senjata yang dipakai para pejuang adalah senjata rampasan. Indonesia mesti membeli banyak senjata jika tidak ingin anugerah besar bernama kemerdekaan itu direnggut.

BACA: Sesobek Refleksi di Rumah Bung Hatta

Negara baru tak punya sumber keuangan. Padahal, harus membiayai banyak hal. Pada masa itu, pertanian dan perkebunan tidak bisa diandalkan karena sebagian besar pabrik pengolahan telah hancur di masa Jepang. Selain itu, logistik pertanian telah habis untuk membiayai logistik serdadu Jepang. Jika pun ada cadangan, maka pemerintah tidak bisa menjualnya karena blokade yang dilakukan pemerintah Belanda.

Di tengah masa revolusi yang sulit itu, penyelamat Indonesia bukanlah ekspor komoditas pertanian dan perkebunan. Bukan pula tambang. Melainkan perdagangan candu. Di bawah koordinasi Wakil Presiden Mohammad Hatta, Indonesia menyelundupkan barang haram yang kini disebut narkoba itu untuk mendapatkan dana segar demi membiayai revolusi.

Diperkirakan, candu pertama kalinya tiba di Nusantara dibawa oleh para pedagang Arab. Di masa kolonial, candu sudah menjadi komoditas strategis yang cepat meraup uang. VOC sudah menjadikan opium sebagai komoditas utama perdagangan, selain kopi dan gula. Ada penelitian yang menyebutkan 15% pemasukan VOC berasal dari perdagangan opium.

Tanaman untuk candu yakni bunga opium (poppy), yang dalam bahasa latin disebut Papaver Somniferum tidak tumbuh di Nusantara. Namun tanaman itu didatangkan VOC dari luar, kemudian diolah lagi. Orang Jawa ditengarai sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda.

Di masa itu, opium atau candu identik dengan gaya hidup kelas atas. Para bangsawan sering berpesta opium. Bahkan opium juga merambah hingga masyarakat desa. Ada yang menyebutkan, setiap kali petani panen, mereka akan pesta opium. Namun beberapa sejarawan mengatakan, konsumen terbesar candu adalah orang Tionghoa, kemudian bangsawan pribumi, lalu orang Eropa.

Bukan hanya bangsawan, tapi juga prajurit. Kalau tidak salah, Peter Carey mencatat, salah satu sebab pasukan Pangeran Diponegoro kalah adalah terlambatnya pasokan candu yang digunakan untuk meningkatkan semangat para prajurit.

Di masa kolonial, rumah candu berdiri di banyak kota. Sebagaimana dicatat sejarawan James R Rush, peredaran candu tidak bisa dikontrol sehingga diperkirakan satu dari 20 orang Jawa adalah pencandu. Banyak yang malas bekerja dan hanya datang ke rumah candu.

Kita bisa melihatnya pada sosok Herman Mellema, suami Nyai Ontosoroh dalam roman Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Herman Mellema setiap hari digambarkan menghabiskan waktu di rumah candu kepunyaan Babah Ah Cong dan ditemani oleh para geisha cantik.


Candu di Masa Revolusi

Di masa perjuangan, candu menjadi komoditas penting yang digunakan para pejuang. Mungkin kita tak percaya dengan fakta-fakta ini. Namun jika membaca catatan Robert B. Cribb berjudul Opium and the Indonesian Revolution, kita akan terenyak. Kata Cribb, saat menghadapi militer Belanda, para pejuang republik sangat membutuhkan dana yang banyak.

Sebagai jalan keluarnya, mereka lantas melelang habis stok candu, sisa-sisa peninggalan pemerintah Hindia Belanda. “Itu ternyata sangat membantu pembiayaan revolusi mereka,” ungkap Cribb dalam tulisan yang dimuat oleh jurnal Modern Asia Studies edisi 22 (April 1988).

Sejarawan UGM, Julianto Ibrahim, menemukan arsip mengenai beberapa surat permintaan dari Menteri Keuangan, Mr AA Maramis kepada Kepala Kepolisian Negara Soekanto agar membantu memperdagangkan candu untuk dana perjuangan.  Dana besar dibutuhkan untuk membiayai delegasi Indonesia keluar negeri, membiayai delegasi Indonesia di Jakarta, dan memberi gaji kepada pegawai-pegawai RI.

BACA: Lelaki di Balik Sosok Tan Malaka

Menteri Keuangan juga meminta kepolisian mengizinkan para pejabat kantor regi candu yang membawa lisensi dari Kementerian Keuangan untuk menjual candu keluar negeri, menukarkan candu dengan emas, dan menukarkan candu dengan mata uang asing

Dalam buku berjudul Opium dan Revolusi, Julianto Ibrahim mencatat, demi mengelola perdagangan candu, pemerintah membentuk kantor-kantor regi candu di beberapa kota yang dianggap strategis. Di antaranya Kediri, Surakarta, dan Yogyakarta.

Mengacu pada data yang dihimpun oleh mata-mata Belanda NRFIS, kantor itu mulai aktif pada pertengahan atau akhir tahun 1947. Selain itu, tempat kedudukan kantor-kantor candu tersebut juga tidak dapat diketahui secara pasti.

Yang menarik, kantor candu ini berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan. Selain itu, Kantor Wakil Presiden juga dapat secara langsung meminta disediakan candu yang dibutuhkan.



Hal itu bisa dilihat dari perintah Wakil Presiden Muhammad Hatta agar kantor candu menyediakan keperluan gaji dan keperluan sehari-hari pasukan dari Divisi Siliwangi (Djogdja Documenten no.248, ANRI, Jakarta). Sementara itu, kementerian-kementerian lain apabila membutuhkan candu harus menghubungi atau mendapat izin dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan, atau kantor Wakil Presiden.

Tahun 1947, Perdana Menteri Amir Syarifuddin memerintahkan penyelundupan candu ke Singapura. Namun, penyelundupan semakin intens setelah diperintahkan Muhammad Hatta pada Februari 1948.  Perintah ini lalu dijalankan semua kantor regi cadu, yang menyelundupkan candu di bawah kawalan angkatan perang, sebab harus melewati blokade Belanda. Penyelundupan itu dibantu oleh perwakilan Indonesia di luar negeri.

Hasil penjualan candu kemudian dipakai untuk membeli senjata yang akan dipakai para pejuang. Julianto Ibrahim pernah mencatat tentang kapal Meriam Bee yang menyelundupkan sejata dari Singapura dan membawa 1.800 pucuk senjata, enam meriam anti aircraft Oerlikon, alat perlengkapan dapur, dan perlengkapan seragam militer.

Setiba Indonesia, Presiden Soekarno menawarkan pembayaran barang-barang tersebut dengan tiga kemungkinan, yaitu pembayaran dengan gula pasir, pembayaran dengan perhiasan, atau pembayaran dengan candu.  Artinya, candu sudah menjadi alat tukar.

Di hari-hari belakangan, candu atau opium menjadi barang haram yang selalu dilaknat dan dikampanyekan agar dijauhi. Candu dianggap merusak generasi. Candu adalah barang haram yang harus dijauhi dan dienyahkan sejauh mungkin. Padahal, republik ini diselamatkan oleh candu. Berkat candu, Indonesia bisa tegak dan berwibawa hingga hari ini.

Pada candu, kita banyak berhutang.



Sepenggal Kisah Wali Nusantara



Dari berbagai penjuru, para ulama berdatangan ke Nusantara demi membawa ajaran kebaikan sejak abad ke-13. Mereka menghadapi ganasnya ombak dan keterasingan di wilayah baru. Mereka membawa ajaran dan teladan untuk dikabarkan pada masyarakat yang berbeda keyakinan.

Perlahan, ajaran dan teladan itu memesona masyarakat sehingga menjadikan mereka sebagai legenda. Bahkan setelah bertahun-tahun mereka meninggal, pengaruh mereka masih sangat kuat. Makamnya tetap dikunjungi. Doa-doa selalu mengalir untuk para wali itu.

Saya terkesima saat membaca buku yang diolah dari liputan Tempo mengenai para wali penuh kharisma ini. Mereka datang pada waktu yang hampir bersamaan, kemudian ajarannya menyebar di seluruh penjuru Nusantara. Di masa itu, mereka saling berjejaring dan menyebarkan ajaran ke banyak wilayah.

Saya membayangkan mesti ada penjelasan mengapa kharisma mereka demikian memancar, bahkan hingga lebih seratus tahun kematiannya. Di zaman itu, pasti mereka berhadapan dengan hoaks dan juga bully. Bahkan intrik politik selalu bisa membuat mereka tersingkir dan tenggelam di lipatan sejarah.

Namun mereka tetap eksis dan merawat warisannya untuk generasi mendatang. Mereka tidak sekadar menjadi guru, tetapi juga menjadi embun yang membasahi hati orang banyak. Mereka menjadi pohon rindang yang daun, ranting, dan dahannya menjadi peneduh bagi satu komunitas.

Di buku ini, saya membaca kisah sebelas ulama di seluruh Nusantara, mulai dari Aceh, Banten, Madura, hingga tanah Makassar. Mereka menyebar agama tidak dengan pendekatan mengkafirkan sana sini, tetapi hidup bersama komunitas, memberikan teladan melalui tindak-tanduk dan pancaran intelektualitas. Juga melalui kearifan dan welas asih dalam menghadapi banyak orang yang berbeda-beda pandangan.

Di antara sebelas kisah di sini, saya terkesima membaca ulama Aceh bernama Syekh Abdurrauf Al Singkili. Sejarawan Azyumardi Azra menyebutkan dia lahir tahun 1615. Nenek moyang pria yang lebih populer disapa Syiah Kuala berasal dari Persia. Dia belajar selama 19 tahun di Timur Tengah.

Mulanya dia menetap di Pantai Kuala Krueng, Aceh. Kawasan ini dahulu pusat perdagangan dan tempat enetap bangsa asing. Dia pun mulai menyebarkan ajaran agama.

Dia menyebarkan agama dengan cara yang tidak biasa. Syiah Kuala menyamar menjadi orang biasa, yang mengunjungi lokasi prostitusi di Aceh. Saya membayangkan, di zaman itu pasti banyak orang yang nyinyir. Tapi dia tidak ingin berada di zona nyaman masjid. Dia menjadi orang sakti atau tabib yang bisa menyembuhkan siapa pun di lokasi prostitusi.

Ketenarannya mulai terkerek. Pendekatannya berhasil mengubah lanskap sosial budaya masyarakat Aceh. Tatanan masyarakat yang jauh dari ajaran Islam mulai hilang. Popularitasnya terdengar oleh Sultanah Safiatuddin Syah, perempuan yang menjadi Sultan Aceh. Dia diundang ke istana.

Syiah Kuala diangkat menjadi kadhi atau pemimpin ulama kesultanan. Jabatan ini adalah jabatan tinggi di Aceh yang menganut pemerintahan dua kamar, yakni politik dan agama. Dia produktif melahirkan produk hukum dan berbagai produk karya tulis.

Di zaman sekarang, banyak orang, termasuk ulama, yang sibuk mempertanyakan kepemimpinan perempuan. Di zaman itu pun demikian. Syiah Kuala harus menghadapi penentangan kalangan ulama yang mempertanyakan mengapa harus dipimpin perempuan. Beberapa keputusannya pun disoal.

Dia menjawab semua tudingan dengan melahirkan kitab berjudul Mir’atutullah, sebuah maha karya yang tak hanya beredar di Aceh, tetapi seluruh Nusantara, hingga mancanegara. Dia juga menulis kitab tafsir dalam bahasa Melayu, Tarjuman al-Mustafid, yang terbit di Malaysia, Singapura, India, dan Timur Tengah. Karyanya diterima luas karena menerjemahkan ayat secara sederhana.

Dia tak gamblang membahas kepemimpinan perempuan. Namun menurut Azyumardi Azra, dia sangat berhati-hati memilih diksi. Ketika membahas syarat hakim, dia menghindari penerjemahan “zakar” sebagai laki-laki. Politik bahasa ini dianggap Azyumardi Azra sebagai bentuk toleransi Syiah Kuala pada kepemimpinan perempuan.

Dia mengabdi selama empat periode kepemimpinan sultanah. Pada masanya, Aceh dirundung konflik. Banyak kerajaan hendak memisahkan diri. Puncaknya, terjadi konflik antara sesama umat Islam yakni penganut tarekat Syekh Nuruddin ar-Raniri yang menganut paham Wahdatus Syuhud dan pengikut Syekh Hamzah Fansuri yang membawa paham Wahdatul Wujud.

Pengikut Ar Raniri menuduh pengikut Fansuri sesat dan menyimpang. Karya Hamzah Fansuri dibakar. Pengikutnya banyak dibunuh. Tapi Syiah Kuala malah mendudukkan semua pihak dalam satu perundingan. Dia mendamaikan semua mazhab pemikiran itu. Dia meminta semua orang, khususnya pengikut Ar Ranini, agar tidak mudah melabel orang lain sebagai sesat.

Peneliti Oman Faturrahman menyebut Syiah Kuala menggunakan kata-kata yang umum dan samar dalam mengemas kritik. Sikap itu justru relevan untuk masyarakat Aceh saat itu. Syiah Kuala menunjukkan sopan santun dan toleransi tingkat tinggi dalam menghadapi siapa pun. Itulah warisannya yang menjadikan dirinya legenda di semua aliran yang ada di Aceh serta Nusantara.

Kini, di atas gapura makamnya yang selalu dikunjungi orang-orang di Aceh, terdapat tulisan: “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala.” Aturan adat bersumber dari pemimpin, penerapan hukum ada pada Syiah Kuala.”



Jangan Salahkan ANJI



Baru beberapa jam tayang, postingan itu heboh. Penyanyi Erdian Aji Prihartono alias Anji membuat postingan berupa talkshow dengan Hadi Pranoto, seseorang yang mengaku profesor doktor di bidang mikrobiologi, yang mengaku telah menemukan obat Covid sejak Mei. Di Twitter, Anji menjadi trending topic.

Banyak pakar bereaksi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah. Anji menjadi bulan-bulanan. Ada netizen yang mengklarifikasi. Tapi jauh lebih banyak yang menghujat. Puncaknya adalah Youtube menghapus postingan Anji setelah ditonton ratusan ribu orang.

Si Anji itu tidak salah. Dia hanya mengekspresikan apa yang dia dengar dan dianggap benar. Dia punya hasrat berbagi melalui kanal Youtube. Cuma, dia bodoh. Pengetahuannya cuma sampai di situ. Dia tidak punya disiplin verifikasi yang kuat. Dia tidak tahu bagaimana seharusnya melakukan cek dan ricek atas informasi.

Tugas verifikasi itu harus dikerjakan oleh para ilmuwan kita, para akademisi kita. Namun, banyak akademisi kita larut menjadi netizen yang hanya bisa menghujat. Seharusnya mereka bisa memisah terang dari gelap, mencerahkan publik. Bahwa ada publik yang sebodoh Anji, itu biasa saja. Tidak semua orang bisa kuliah sampai doktor. 

Tapi kan menjadi bodoh di negeri ini tak apa-apa. Anda tak melanggar hukum apa pun. Bodoh pada tingkatan ekstrem yaitu gila lebih tak apa-apa lagi. Dalam agama, orang gila tidak berdosa. Dia bebas ke mana-mana tanpa terikat aturan dunia. Bahkan saat orang gila telanjang bulat sekali pun, orang akan memaklumi. Dia kan gila.

Maka betapa lucunya menyaksikan banyak orang hebat dan pakar di medsos yang kebakaran jenggot gara-gara postingan Anji. Di bidang musik, Anji adalah maestro. Tapi di bidang medis dan dunia talkshow, Anji itu bukan siapa-siapa. Kenapa pula semua orang begitu serius menanggapi postingan seseorang yang tidak berpengetahuan dan tiba-tiba bahas obat Covid?

Kalau menganggap postingan itu ngawur, abaikan saja. Semakin kita peduli, maka semakin heboh pernyataan itu. Lagian, platform Youtube adalah hiburan. Harus diakui, rekaman wawancara Anji di Youtube itu cukup menghibur. Dia ingin meniru para Youtuber lain yang buat konten heboh sehingga ditonton para audiens di mana-mana. Biarkan saja.

Tapi kan malah aneh jika kita ikut heboh dan memaksa agar Youtube mencabut video itu. Bukankah sejak dulu Youtube punya reputasi menyimpan segala jenis video heboh, mulai dari bokep, hoaks, konten bohong, sampai konten prank penuh kengawuran? Apakah kita juga akan jadi polisi dan memaksa Youtube untuk menghapus semuanya? Betapa kurang kerjaannya kita semua.

Mungkin saja ada yang berkata bahwa video Anji itu bisa berbahaya sebab banyak orang yang bisa tersesat. Ya, salahkan orang-orang kenapa percaya. Anji kan bukan media yang menjalankan tugas memberikan informasi bebas dan akurat. Sudah tahu Anji itu bukan dokter atau medis. Kenapa percaya? 

Ucapkan terima kasih pada Anji, karena dia mengajari kita beberapa hal penting sebagai penanda zaman ini.

Pertama, kita hidup di era post-truth. Kata Tom Nichols, ini adalah era “the death of expertise” atau matinya kepakaran. Seorang dokter yang membahas obat bisa dikatai tolol oleh netizen yang merasa dirinya maha benar. Jelas-jelas korban Covid berjatuhan di mana-mana, masih saja menganggapnya sebagai konspirasi. 

Di pasar-pasar tradisional, kita sering bertemu penjual obat yang sibuk memasarkan obat dengan khasiat bisa menyembuhkan segala penyakit. Kita santai saja membeli obatnya, kemudian kecele saat obat itu ternyata tidak berkhasiat. 

Palingan kita berkata “b...sat”, “s..tan”, “an..ng” setelah itu kembali melanjutkan kehidupan seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa. Jika suatu saat ketemu penjual obat itu, kita biasa saja. Mau protes kan malu sendiri.

Pelajaran buat kita adalah saatnya kembali menekuni sains. Saatnya mengecek semua informasi. Percayalah pada otoritas pengetahuan. Soal penyakit, percayalah pada dokter, bukan dukun. Soal ekonomi, percayalah pada ahli ekonomi, bukan netizen. Soal Covid, percayalah pada peneliti virus, bukan pada seseorang penyanyi.

Kedua, Anji adalah potret masyarakat kita yang amat mudah percaya dengan klaim profesor doktor dan pakar di bidang tertentu. Lihat saja di banyak tempat, di banyak kantor instansi, ketika Anda mengaku profesor, maka semua orang akan menganggap Anda pintar. Anda tiba-tiba saja dianggap punya pengetahuan sekualitas dewa. 

Saat seseorang bernama Hadi Pranoto mengaku profesor doktor dan pakar mikrobiologi, Anji percaya saja. Malah membuat sesi wawancara. Belakangan, klaim Hadi Pranoto dipertanyakan. Tak ada yang mengenalnya. Semua orang mengecek Google Scholar. Dia bukan siapa-siapa. Media mencatat, dia panitia keramaian yang menghadirkan Rhoma Irama, di mana penonton mengabaikan protokol covid.

Anji itu tak sendirian. Akui sajalah, masyarakat kita memang mudah silau dan kagum dengan orang bergelar profesor doktor. 

Pernah saya berurusan dengan birokrasi di satu daerah. Saat saya datang, semua orang cuek. Saya diabaikan. Saat seorang kawan menyapa Pak Doktor, kemudian kawan lain menyapa Pak Prof, semua orang di ruangan itu langsung menoleh. Malah ada yang membungkuk. 

Begitu dikira profesor, sengawur apa pun omongan saya, orang percaya. Masyarakat kita lebih suka memandang gelar ketimbang substansi pembicaraan. Padahal saya bukan profesor. Saya hanya seorang provokator.

Meskipun saya lebih banyak tidak percaya Rocky Gerung, tapi saya setuju dengan pernyataannya: “Ijazah adalah tanda bahwa Anda pernah sekolah, bukan tanda Anda bisa berpikir.” 

Ketiga, talkshow kita sejak dulu kehilangan substansi. Tak perlu ribut dengan wawancara yang diadakan Anji. Setiap hari kita sebagai penonton dibombardir dengan kehadiran sosok seperti Ali Ngabalin, Rizal Ramli, Ruhut Sitompul, juga para politisi yang suka bertengkar di layar kaca saat siaran langsung, dan begitu jeda iklan bisa saling rangkul dan ketawa-ketawa. 



Kita pun harusnya mempertanyakan substansi dari pernyataan para pejabat publik kita. Dua hari lalu, New York Times menerbitkan artikel berjudul “In Indonesia, False Virus Cures Pushed by Those Who Should Know Better.” Di artikel itu dibahas tentang Menteri Pertanian yang mempromosikan kalung anti covid, Gubernur Bali yang bilang obat Civid adalah arak bali, juga Presiden Jokowi yang seperti Donald Trump pernah memandang enteng wabah ini.

Mereka dibandingkan dengan Gubernur Nairobi di Kenya yang juga merekomendasikan arak sebagai obat. Mereka semua menjadi contoh dari pejabat yang seharusnya lebih tahu sebab dikelilingi para ahli malah ikut-ikutan menyebar informasi palsu.

Mereka memenuhi ruang publik kita dengan informasi, yang belum pernah terverifikasi. Semestinya, pernyataan seorang pejabat dikeluarkan setelah dipertimbangkan dengan matang, setelah didiskusikan dengan para ahli dan pakar. Sebab semua kebijakan dan pernyataan harus terukur, harus punya basis ilmiah, sehingga publik pun tidak menerimanya begitu saja. 

Nah, di titik ini, kadar kesalahan Anji sama saja dengan pejabat publik kita. Daripada sibuk menghujatnya, mending kita bernyanyi:

"Sampai habis nyawaku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?
Katakan "Yes I do"