Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Perang Medsos di Balik Isu Beras




AKHIR pekan silam, berita paling menggemparkan adalah operasi penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Utama (IBU) yang berisi 1.161 ton beras merek Manyuss dan Cap Ayam Jago di Bekasi. Hampir semua media memberitakan peristiwa itu. Penggerebekan ini heboh sebab melibatkan beberapa pejabat tinggi yakni Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Ketua KPPU Syarkawi Rauf.

Sepintas, konferensi pers yang menghadirkan tiga pejabat negara itu terkesan agak lebay. Publik menyimpan banyak pertanyaan. Mengapa harus dilakukan tiga orang pejabat tinggi? Mengapa tidak menyerahkan operasi penggerebekan itu pada pejabat setingkat kapolresta? Hingga beberapa hari berikutnya, terjadi perang informasi di media sosial, yang semakin memojokkan pemerintah.

Publik akan berspekulasi kalau penggerebekan ini punya skala yang luas dan –boleh jadi—merugikan negara hingga ratusan triliun. Beberapa hari setelah penggerebekan, gema dari operasi itu terasa sayup-sayup. Saya melihat bahwa ada arus besar opini dan wacana yang memberikan counter atas apa yang terjadi. Malah, situasinya berbalik. Saat komisaris dan petinggi perusahaan itu bicara, saat banyak suara sumbang yang berseliweran di media sosial, saat banyak para peselancar di Facebook, Twitter, dan WhatsApp bersuara, situasinya mulai berubah.

Yang saya perhatikan di media mainstream seperti Kompas, isu beras ini ibarat “panas-panas tahi ayam.” Pada mulanya ada kehebohan karena ada indikasi kerugian negara hingga triliunan. Berikutnya, tensi isu itu memudar, bahkan mulai menghilang. Hari ini, saya memantau Kompas, isu terbaru yang diangkat adalah perlunya mengakhiri polemik perberasan. Isu ini lebih makro sebab mengangkat problem struktural yang terjadi terkait mata rantai distribusi beras.

Sejak dulu, problem struktural memang harus didiskusikan. Hanya saja, isu ini harus diletakkan sebagai target besar yang menjadi tujuan, dengan cara menjadikan penggerebekan itu sebagai pintu masuk. Bagaimana mungkin kita sampai pada hal-hal besar kalau pintu masuknya sampai sekarang masih sumir dan seakan lenyap dari wacana publik?

Sebagai warga biasa, saya penasaran untuk tahu lebih banyak, apakah wacana mengenai kerugian negara hingga triliun rupiah itu memang ada ataukah hanya sekadar pernyataan lepas di satu acara konferensi pers? Bisakah kita sebagai warga mendapat satu demi satu kepingan fakta lalu dikemas dengan sederhana sehingga mudah dipahami siapa saja?

Di media sosial, perdebatan tentang isu ini terus menggelinding bak bola salju. Saya tak terlalu mengikuti wacana beras ini secara mendalam. Namun mengamati berbagai postingan di Twitter, saya menemukan sekurang-kurangnya ada beberapa isu yang terus-menerus direproduksi.

Pertama, banyak netizen mengungkap soal inkonsistensi. Kapolri Tito menyebut adanya beras subsidi yang dikemas seolah barang premium. Ada modus penipuan, dengan cara menjual kembali beras yang telah disubsidi oleh pemerintah sehingga perusahaan mendapat keuntungan berlipat-lipat. Tapi di sisi lain, pernyataan Kapolri malah dibantah oleh Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa yang mengatakan bahwa beras di PT IBU bukan beras subsidi. Hingga semalam, Bareskrim telah memeriksa 21 orang, namun belum juga ada tersangka. Kalau kerugiannya sampai triliun, mengapa belum ada tersangka?

Kedua, ada pula suara sumbang netizen yang mempersoalkan sikap penindakan atas PT IBU yang membeli beras dengan harga murah, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi. Bukankah ini praktik yang memang ada di hampir semua komoditas? Mengapa tak sekalian menyoal Starbucks yang menjual mahal kopi yang dijual petani dengan harga murah?

Ketiga, berkembang isu mengenai persaingan dagang. Perusahaan Cina tidak punya akses ke impor beras sehingga dibuatkan konspirasi agar perusahaan pribumi tersingkir. Menurut saya ini terlampau jauh. Percaya kabar ini sama dengan percaya berita yang menyebutkan Cina akan segera menyerang Indonesia. Ini sih produk para nyinyiers di media sosial.

***

SAYA tak ingin masuk terlampau jauh pada polemik mengenai beras ini. Saya tak terlalu paham isu ini, dan hingga kini tak banyak yang menyederhakan isu sehingga mudah dipahami. Saya melihat bahwa kian hari, posisi pemerintah malah menjadi bulan-bulanan dari isu yang terus digoreng oleh lawan politiknya. Melawan mafia beras membutuhkan perencanaan yang matang, serta barisan prajurit yang siap untuk melakukan conter atas bombardir informasi.

Yang saya pantau, dari perang wacana di media sosial, pemerintah tidak punya “jenderal” dan amunisi memadai untuk melakukan counter atas semua isu. Saat pemerintah tidak membuka fakta demi fakta, maka yang dianggap kebenaran adalah semua rumor di media sosial. Dikarenakan tak ada fakta, publik dengan mudahnya menerima apapun yang disodorkan sebagai kebenaran. Di titik ini berlaku kalimat Hitler: “Kebenaran adalah kebohongan yang terus diulang-ulang.”

Kemarin, saya melihat postingan Menteri Amran Sulaiman yang beredar melalui banyak jejaring. Idealnya, Menteri Amran punya kanal khusus di media sosial, sebagaimana Facebook Fanpage milik Jokowi, yang bisa memberikan updating atas segala pernyataan serta diskusi di kementeriannya. Tak hanya dirinya, lembaganya pun sebaiknya mengkoordinir satu kanal media, yang secara rutin mereproduksi isu demi isu. Pengelolaan informasi harus dibuat dengan rapi sehingga segala counter isu bisa dengan segera disampaikan publik. Pengelolaan informasi ini bukan sesuatu yang sulit, sebab bisa direncanakan, serta dilatihkan kepada lingkar utamanya.

Pada titik ini, saya menilai bahwa setiap instansi pemerintah harus membangun satu kelompok think tank yang strategis, tak hanya piawai diajak diskusi dan memberikan rekomendasi, tapi juga sanggup menjalankan misi untuk menerjemahkan semua diskusi dalam bahasa awam yang dipahami rakyat biasa. Pemerintah tak bisa lagi duduk diam demi menjawab respon publik, tapi harus “jemput bola,” mengurai apa-apa yang terjadi, ikut berkontribusi pada dialog dengan netizen dalam media sosial sebagai public sphere yang demokratis, meminjam istilah dari Jurgen Habermas.

Saya teringat pada tulisan Eric Schmidt, CEO Google, yang mengatakan bahwa di era ini, hampir semua lembaga harus mempersenjatai diri dengan tim media sosial yang bisa memetakan apa saja tindakan pihak lain, serta wacana apa yang harus diperkuat. Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana memperkuat jejaring media sosial, lalu menggunakannya secara efektif untuk mengirimkan pesan.

Dalam buku The New Digital Age, Eric Schmidt mengatakan dunia saat ini terbagi dua. Ada yang disebut dunia nyata, dan ada yang disebut dunia maya. Hampir semua lembaga yang memiliki rumah ataupun kantor di dunia nyata perlahan akan membangun rumah pula di dunia maya. Tanpa berinteraksi di dunia maya, anda tidak eksis. Sayangnya, banyak lembaga hanya memperkuat divisi IT yang bertanggungjawab untuk membangun web dan beragam platform lainnya.

Padahal, jantung dan nyawa dari setiap “ruang maya” itu adalah para creative content yang akan menjaga frontier informasi, membangun benteng untuk menangkal semua hoax, kemudian mengirim rudal informasi untuk mempengaruhi opini. Semua lembaga butuh lembaga sekelas Public Relation (PR) atau Humas yang tak sekadar bertahan, tapi juga proaktif dalam menyebar informasi.

Mengingat media sosial adalah arena peperangan, yang harus dipersiapkan adalah seorang “jenderal” senior yang punya kemampuan memetakan persoalan. Yang dibutuhkan dalah seorang pengendali informasi yang bisa menggali persepsi di media sosial, dan dengan cepat bisa mengirimkan wacana pembanding yang lalu disebarkan secara viral. Langkah ini perlu dilakukan demi menemukan keseimbangan informasi sehingga meminimalisir syak-wasangka atas kebijakan negara.

Saya rasa jika ingin kembali membangun dinamika informasi mengenai perberasan yang seimbang, maka suara-suara dari pemerintah, khususnya tiga lembaga tinggi yang melakukan konferensi pers, harus dimunculkan ke publik. Bentuk lingkar inti, kelola informasi, respon setiap isu dengan argumentasi, setelah itu cerahkan publik agar terhindari dari berbagai seliweran isu yang membuat mereka semaput. Di titik akhir, jelaskan kepada banyak pihak bahwa perlawanan kepada mafia beras bukan hal yang mudah, namun tetap harus dilakukan.



Bogor, 28 Juli 2017

Lelaki di Balik Sosok TAN MALAKA

Harry A Poeze

SEMALAM, Tan Malaka dibahas di satu televisi swasta. Semua orang melihat dedikasi dan perjuangan tak lelah Tan Malaka untuk Indonesia merdeka. Semua orang menyematkan gelar Bapak Republik pada sosok misterius yang serupa intelijen telah berpindah-pindah negara demi menggalang gerakan bawah tanah untuk negerinya. Semua sepakat bahwa Tan Malaka adalah figur unik, jauh dari kilatan cahaya, dan perannya nyaris dilupakan selama puluhan tahun rezim.

Di acara bincang-bincang itu, mata saya fokus pada Harry A Poeze. Saya melihat kerut-kerut di wajah Harry. Ia sudah tidak muda lagi. Kalimatnya dalam bahasa Indonesia nampak terbata-bata. Jika tak ada dirinya, barangkali Tan Malaka akan benar-benar tenggelam di lipatan sejarah. Harry Poeze adalah sejarawan Belanda yang telah menghabiskan waktu selama 40 tahun untuk meneliti sosok Tan Malaka. Peneliti ini menelusuri banyak negara, tenggelam dalam lautan teks untuk menyajikan satu potret utuh tentang siapa dan apa kontribusi Tan Malaka.

Hubungan antara peneliti dan sosok yang ditelitinya adalah hubungan yang lebih dari sekadar cinta. Peneliti menelusuri segala hal tentang sosok itu, menempatkan dirinya dalam satu setting sejarah, juga berusaha memahami kegembiraan, keinginan, hasrat, obsesi, hingga segala kesedihan dan kemarahan. Dia juga harus bisa melihat setting sejarah mengapa sosok yang hendak ditulisnya memberikan respon tertentu.

Dengan cara yang sama kita bisa memahami hubungan antara Peter Carey dengan sosok Pangeran Diponegoro, Rudolf Mrazek dengan Sjahrir, Cindy Adams dengan Soekarno, ataupun Greg Barton dengan Gus Dur. Para peneliti dan sosok yang ditelitinya boleh saja terpaut jarak sejarah, tapi mereka dipertemukan oleh rasa sejarah yang sama. Peneliti mencebutkan dirinya dalam gelora kehidupan seorang sosok demi memahami segala situasi pada masa itu, serta hal-hal yang mempengaruhi perjalanan hidup seorang sosok tertentu.

Harry Poeze mengakui dirinya telah 40 tahun mengalami perasaan “jatuh cinta” pada sosok Tan Malaka. Ia mulai menulis tentang Tan Malaka sejak masih menjadi mahasiswa ilmu politik di Universitas Amsterdam. Ia mengikuti kelas yang diasuh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan pengkaji Indonesia. Ia juga tertarik saat membaca buku tebal yang dibuat Ruth McVey berjudul The Rise of Indonesian Communist Party. Ia tertarik karena nama Tan Malaka terkesan misterius, penuh teka-teki, namun selalu ditemukan dalam berbagai narasi perjuangan merebut kemerdekaan.

Harry lalu menulis skripsi tentang Tan Malaka semasa hidup di Belanda, pada 1913-1919, dan saat diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada tahun 1922. Skripsinya telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Harry tak berhenti di sini. Dia melakukan riset untuk tesis dan disertasi mengenai Tan Malaka. Disertasinya mengenai Tan Malaka belum pernah saya baca. Tapi melihat disertasi yang diterbitkan dalam beberapa buku tebal itu, serta melihat buku-bukunya yang lain, membuat saya yakin kalau isinya diolah dari kerja intelektual yang sangat serius.

Demi Tan Malaka, Harry bertualang ke banyak negeri dan mengumpulkan arsip. Negeri-negeri itu pernah dijelajahi Tan Malaka. Harry juga ke Jerman, Perancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina, hingga Indonesia. Harry menelusuri jejak Tan Malaka sebagai aktivis politik lintas negara, yang punya banyak nama alias di berbagai negara.

Selain menyajikan biografi Tan Malaka sebanyak 3.000 lembar, Harry punya ribuan koleksi arsip mengenai sosok itu. Di antaranya adalah arsip dari Rusia, yang berisikan surat-menyurat Tan Malaka. Harry berhasil memecahkan kode-kode khusus yang digunakan Tan Malaka saat berkomunikasi dengan banyak rekan aktivis. Melalui Harry, kita jadi tahu bahwa selama ini Tan Malaka berkomunikasi dalam berbagai bahasa.

Pada Harry Poeze, kita bisa belajar tentang konsistensi dan kuriositas. Bahwa kerja-kerja intelektual adalah kerja yang terus berkesinambungan. Sekali seseorang menulis satu topik, maka sebaiknya ia harus memperdalam dan mengasah pengetahuannya tentang topik itu di sepanjang karier intelektualnya. Sungguh beda dengan banyak intelektual kita yang suka mengamati segala hal, tapi lupa memperdalam pengetahuannya tentang satu hal. Pada Harry, kita menemukan teladan bahwa pengetahuan harus terus diperdalam dan dikembangkan. Harry Poeze melakukannya sejak menulis skripsi, tesis, hingga disertasi.

Publikasi Harry Poeze tentang Tan Malaka terbilang banyak dan tebal-tebal. Saat ini, akan susah membahas nama Tan Malaka, tanpa menyebut riset dan publikasi Harry Poeze. Berkat Harry, Tan Malaka “ditemukan” kembali dan diangkat kiprahnya dalam pentas sejarah kita. Berkat Harry, jejak-jejak Tan Malaka bisa diabadikan, sehingga ditampilkan kembali dalam lembaran sejarah, yang nyaris hilang selama puluhan tahun. Berkat Harry, ingatan atas sosok Tan Malaka bisa dilestarikan dan diwariskan untuk anak cucu mendatang.

Berkat Harry pula, gelombang penerbitan karya-karya Tan Malaka mulai marak. Saya asih ingat persis bagaimana menemukan buku Madilog atau Materialisme, Dialektika, dan Logika semasa mahasiswa. Buku ini disebut sosiolog Ignas Kleden, sebagai salah satu buku terbaik yang pernah dibuat orang Indonesia. Melalui banyak buku Tan Malaka, kita mendapat gambaran bahwa sosok ini tak sekadar aktivis, dia juga intelektual yang menuliskan semua jejak pemikirannya secara utuh.

Generasi mendatang boleh tidak sepakat dengan strategi perjuangan Tan Malaka, sebagaimana keyakinan yang dipilih sejumlah orang di masa kini. Namun mereka harus terlebih dahulu mendapatkan informasi lengkap tentang siapa sosok ini dan apa saja yang dilakukannya. Jika tak punya informasi, telusurilah dengan intensitas seperti yang dimiliki Harry.  Apa yang kita sebut sejarah, selalu terkait rezim dan dinamika masyarakat. Rezim bisa saja menghapus peran seseorang, sebab pemikirannya berbeda dengan ideologi dominan. Berkat para peneliti dan sejarawan, seseorang bisa diabadikan sehingga generasi mendatang bisa menemui gambaran yang utuh tentang masa silam.

Selain dinamika intelektual, ikhtiar Harry juga menghadirkan wajah kemanusiaan. Sebagai orang Belanda, yang nenek moyangnya adalah kompeni, Harry justru keluar dari bayang-bayang masa silam. Dia tidak hendak menyajikan fakta yang berisi sanjungan pada kompeni, tapi bisa melihat masa silam secara utuh sebagai dinamika manusia. Ia memilih Tan Malaka sebab bisa memahami bagaimana ide-ide dan hasrat besar sosok ini untuk kemerdekaan bangsanya. Dia menyajikan sejarah apa adanya, bukan sesuatu yang hitam-putih, melainkan pergulatan manusia untuk menggapai cita-cita dan idealismenya.

Di puncak perjalanan intelektualnya, Harry berhasil menemukan lokasi kuburan Tan Malaka di Selopanggung, Kediri. Ia mewawancarai banyak orang tentang eksekusi Tan Malaka. Ia juga bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk melakukan tes DNA demi membuktikan itu kuburan Tan Malaka. Dalam usia sepuh, Harry masih memiliki obsesi agar Tan Malaka dimakamkan kembali secara layak sebagai pahlawan di taman makam pahlawan. “Saya masih menunggu keputusan pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata, sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” katanya kepada Tirto.

Kerja intelektual dan kerja kemanusiaan laksana sisi koin yang saling melengkapi. Kerja Harry mencari Tan Malaka berujung pada kerja kemanusiaan yang hendak mengembalikan harkat dan martabat seseorang yang hendak dihapus dalam sejarah. Saya membayangkan, jika Tan Malaka bangkit kembali dari kuburnya, mungkin ia akan mencari Harry dan mengucapkan terimakasih karena telah merawat legacy atau warisannya.

Berkat Harry Poeze, suara Bapak Republik itu melintasi zaman dan terus nyaring. Persis seperti kalimat Tan Malaka: “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih nyaring daripada di atas bumi!”



Bogor, 13 Juli 2017

BACA JUGA:





Suatu Hari Bersama ANDI CAKKA (1)


Bupati Luwu, Andi Mudzakkar

DUA pekan terakhir, nama Andi Mudzakkar menjadi headline beberapa media di Sulawesi Selatan. Dia diberhentikan dari posisi ketua umum partai politik berlambang beringin di Luwu, wilayah yang dipimpinnya. Tak sekadar diberhentikan, ia juga disebut sebagai “tumor di tubuh partai.”

Saya tak hendak masuk dalam debat politik tentang Andi Cakka. Saya ingin berbagi pengalaman saat bertemu dengannya selama dua kali di Belopa, Luwu. Terdapat banyak narasi dan kisah menarik untuk menjelaskan siapa sosok Andi Cakka dan apa pengaruhnya di wilayah yang disebut Bumi Sawerigading itu.

***

BAPAK tua itu duduk di sudut kursi di depan rumah pribadi Bupati Luwu, Andi Mudzakkar, di Jalan Sabe, Belopa. Hari itu, saya datang ke rumah jabatan Bupati Luwu untuk berdiskusi tentang satu topik dengan Sang Bupati. Bapak tua itu datang lebih awal dari saya. Ruang tunggu itu berupa halaman depan yag diatapi dengan kain.

Mulanya saya duduk di dekat bapak tua itu. Saat saya sapa, ia menjawab seperlunya. Kesan saya, dia tak terlalu fasih berbahasa Indonesia. Ini hal lazim di banyak daerah yang saya kunjungi. Bapak tua itu mengaku sebagai petani coklat yang sengaja datang bertemu bupati untuk satu keperluan. Sayang, saya tak lama menggali informasi. Seorang kawan yang menjabat sebagai petinggi di satu instansi di Luwu mengajak saya pindah ke meja lain.

Saya menyaksikan sekeliling. Tak jauh dari situ, terdapat satu meja yang dikitari beberapa orang. Saya baru pertama datang ke rumah itu. Saya pun belum pernah bertatap muka secara langsung dengan Bupati Luwu, yang akrab disapa Andi Cakka. Pada seorang kawan, saya berbisik, manakah gerangan sosok yang disebut Andi Cakka. Saat teman menunjuk sosok, saya nyaris tak percaya.

Sosok itu tak menampilkan kesan sebagai seorang bupati atau kepala daerah. Di banyak tempat yang saya kunjungi, seorang kepala daerah selalu menjadi sosok yang didengarkan. Semua pihak yang bertemu kepala daerah akan duduk takzim dan mendengarkan semua petuah ataupun pernyataan kepala daerah. Tapi kepala daerah ini duduk sama rendah dengan yang lain, menjadi pihak yang lebih banyak mendengar, serta ikut tertawa ngakak saat ada hal-hal lucu.

Penampilan Andi Cakka sederhana, tak ada sesuatu yang mencolok. Pakaiannya sama dengan pakaian yang dikenakan oleh warga biasa lainnya. Ia juga tak sedikitpun menampilkan kesan sebagai seorang pejabat yang harus dilayani dan dihormati, lebih dari warga biasa.

Saya hanya duduk memperhatikan. Tak lama kemudian, Andi Cakka berdiri. Dia lalu mendatangi kursi Bapak Tua itu. Ia lebih banyak mendengarkan sembari mengangguk-angguk. Bapak itu bercerita banyak hal sembari memegang tangan bupati. Setelah itu, mereka sama-sama tersenyum. Setelah berjabat tangan, pembicaraan berakhir.

Saya tak begitu penasaran dengan topik yang mereka bahas. Saya terkesan dengan gaya komunikasi politik Andi Cakka yang memosisikan orang lain sebagai subyek, dan dirinya dalam posisi mendengarkan. Dari seorang kawan, saya mendapat informasi kalau dirinya tidak pernah menerapkan standar keprotokoleran yang ketat di rumahnya. Ia bebas ditemui siapapun pada waktu manapun. Di banyak daerah, menemui seorang kepala daerah bukanlah perkara gampang. Seringkali publik harus berhadapan dengan tembok tebal aparat pamong praja yang menanyai banyak hal, sebelum mendapatkan akses bertemu dengan bupati.

Saat akhirnya mendapat kesempatan berbicara dengannya, saya tetap terkesan. Pada saat itu, kami membahas sosok Sawerigading. Andi Cakka berkisah tentang wilayah yang dipimpinnya itu kerap disebut Bumi Sawerigading. Penamaan itu memiliki latar historis yang kuat. Nama Sawerigading juga melambangkan visi yang kuat, obsesi, dan berbagai harapan tentang masa depan wilayah itu. Nama Sawerigading adalah perlambang dari idealitas seorang manusia yang berpetualang ke banyak lokasi demi menggapai apa yang menjadi impiannya. “Sawerigading itu adalah spirit bagi kami orang Luwu,” kata Andi Cakka.

Dalam epos I La Galigo, Sawerigading adalah putra Luwu yang memutuskan untuk berpetualang ke negeri Cina demi menemukan cinta sejatinya, yang ternyata di kemudian hari adalah saudaranya sendiri. Dalam pengelanaan itu, ia melalui banyak pertempuran dan petualangan di banyak lokasi, yang telah menempa dirinya menjadi sosok yang kuat dan sakti. Kisah Sawerigading ini telah menginspirasi banyak peneliti dari seluruh dunia untuk mengungkap banyak pesan-pesan yang tersirat di balik kisah hebat ini. Tak heran jika kisah ini disebut sebagai kanon sastra dunia.

pemandangan di satu pegunungan di Luwu

Bagi generasi masa kini, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana menemukan berbagai mutiara berharga yang bisa menjadi pelajaran untuk mengatasi tantangan hari ini. Di era leburnya berbagai pranata dan sistem tradisional, kisah-kisah itu seyogyanya menjadi panduan dalam menemukan kearifan dan kebijaksanaan untuk dibumikan dalam berbagai program pembangunan.

Andi Cakka mengakui kalau upaya membumikan berbagai visi tentang Sawerigading itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Upaya itu membutuhkan kerja keras, visi yang kuat, serta konsistensi dalam mengawal semua proses perencanaan, implementasi, dan pengawasan pembangunan. Hal itu hanya bisa terlaksana ketika ada konsistensi untuk menyerap semangat Sawerigading lalu membumikannya dalam hal-hal kecil dalam wujud pembangunan.

Jika dahulu Sawerigading bisa berkelana hingga tujuh samudera, maka kisah itu harus diserap demi menemukan mutiara-mutiara pesan untuk dibumikan ke masa kini. Jika dahulu Luwu pernah menjadi pusat peraaban dan kemajuan, maka di masa kini, Luwu juga harus memainkan peran yang sama. Luwu harus menjadi generator pertumbuhan yang memberikan energi bagi wilayah lain di sekitarnya. Di tangan Andi Cakka, Luwu diharapkan bisa berlari dengan cepat, menjemut banyak peluang, lalu menjadi mercu-suar bagi daerah-daerah di sekitarnya.

“Sejarah Luwu memang panjang. Tapi Luwu sendiri ibarat remaja yang sedang tumbuh. Dahulu, nama Luwu adalah payung bagi semua wilayah. Setelah pemekaran daerah, Luwu mekar menjadi empat wilayah. Luwu ibarat bayi yang kembali lahir, meskipun dengan nama yang sudah telanjur menyejarah,” katanya.

Dahulu, Luwu berdiri sendiri dengan wilayah luas yang terbentang dari Masamba hingga Malili. Selanjutnya, Luwu dimekarkan menjadi daerah-daerah strategis yakni Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo. Pemekaran itu terjadi pada tahun 1999-2003, saat wilayah itu dipimpin oleh Dr Kamrul Kasim.

Kabupaten Luwu memindahkan pusat pemerintahan dari kota Palopo ke kota Belopa, sejak tahun 2006, seiring ditetapkannya Belopa sebagai Ibukota Kabupaten Luwu berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 80 Tahun 2005, dan diresmikan menjadi ibu kota sejak 13 Februari 2006. Pada periode 2004-2009 Luwu dipimpin oleh Bupati H.M. Basmin Mattayang kemudian dilakukan pemilihan Kepala Daerah langsung pertama di daerah itu dan memilih Ir. H. Andi Mudzakkar sebagai bupati terpilih periode 2009-2014. Sejarah Andi Cakka sebagai pemimpin Luwu dimulai sejak tahun 2009.

***

SEBAGAI kepala daerah yang pertama terpilih secara langsung di Luwu, Andi Cakka bukanlah orang baru di mata masyarakat. Ia adalah putra tokoh pejuang kharismatik Abdul Qahhar Mudzakkar. Ayahnya adalah pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Kahar adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu. Di masa lalu, Qahhar tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan Presiden Soekarno sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Qahhar dianggap sebagai pembangkang dan pemberontak.

Namun di mata masyarakat Luwu, Qahhar adalah sosok kharismatis yang menginginkan agar syariat Islam menjadi payung bagi kehidupan masyarakat. Simpati dan penghormatan kepada Qahhar dan keluarganya masih terasa hingga kini. Buktinya, beberapa keturunan Qahhar menjadi sosok penting di dunia politik. Selain Andi Cakka, putra Qahhar lainnya yang menjadi politisi adalah Ir. Abdul Azis Qahhar (Anggota DPR RI) dan Ir. Buhari Kahar (mantan anggota DPRD Provinsi Sulsel).

Andi Cakka tak sekadar mewarisi kharisma ayahnya. Ia punya niat baik untuk membangun wilayah itu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagai kepala daerah yang terpilih berdasarkan pemilihan langsung, ia lalu merancang beberapa strategi pembangunan. Ia menguatkan sektor yang memang sejak lama menjadi sandaran kehidupan orang Luwu. Ia menguatkan pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan, serta membangun infrastruktur. Namun, sejauh manakah capaian pembangunan yang dilakukan Andi Cakka? Apa yang sudah diberikannya untuk Luwu?

“Saya tidak ingin berbicara keberhasilan. Tapi lihat saja data-data tentang Luwu. Lihat, apa saja yang berubah di masa kepemimpinan saya,” katanya.

Dia tak ingin sesumbar. Dia tak ingin seperti kepala daerah lain yang selalu melebih-lebihkan kenyataan, demi menunjukkan prestasi dan keberhasilan. Andi Cakka menyilahkan orang-orang untuk datang ke Luwu lalu menyaksikan apa saja yang sudah dikerjakannya. “Biasanya kepala daerah hanya menonjolkan hal-hal baik saja. Padahal, bisa jadi kenyataan tidak seperti itu. Saya tidak ingin terjebak pada pencitraan,” katanya.

Di ranah politik, pencitraan memang hal yang lazim terjadi. Sepanjang pencitraan itu ditopang dengan data dan informasi yang benar, maka pencitraan itu bisa menjadi bentuk komunikasi yang positif kepada publik. Namun yang banyak terjadi adalah pencitraan yang dibangun dari informasi yang keliru, sehingga melahirkan semacam kesadaran palsu di masyarakat. Pencitraan tanpa data dan fakta hanya berujung pada pembodohan publik, sesuatu yang bisa menjadi kontra-produktif bagi upaya-upaya pencerdasan.

Langkahnya terbilang unik dan tidak biasa. Di bidang peningkatan SDM dan kesejahteraan, Andi Cakka membuat beberapa kebijakan. Di antaranya adalah mewajibkan semua pegawai memiliki kebun, yang diharapkan bisa menjadi sandaran perekonomian. Barangkali hanya Andi Cakka, satu-satunya bupati di Indonesia yang membuat kebijakan agar pegawainya harus memiliki kebun.

Menurutnya, gaji pegawai negeri sangat terbatas, sehingga pegawai mesti memiliki tambahan penghasilan lain. Mengingat wilayah Luwu yang sangat luas, maka para pegawai diharapkan bisa memanfaatkan lahan luas itu dengan cara mengelolanya menjadi sektor produktif.

"Kalau kita andalkan gaji PNS, mana cukup. Contohnya, gaji 4 juta rupiah, kasi makan diri sendiri, istri dan dua anak itu belum cukup. Apalagi SK-nya sudah digadaikan untuk ambil uang DP rumah. Sangat tak memungkinkan," katanya. Makanya, PNS mesti punya pemasukan lain supaya tak memikirkan macam-macam APBD. "Tapi saya larang mereka tanam merica dan cokelat. Bisa-bisa mereka tak masuk kantor karena tanaman ini sangat manja, setiap hari kita mesti tengok," katanya.

Bupati Luwu dua periode ini sedang menggalakkan gerakan Ayo Berkebun. "PNS di Luwu harus menjadi contoh gerakan ini," katanya. Bahkan, warga Luwu wajib untuk berkebun. Ia mengatur soal perkebunan lewat peraturan desa.

Inovasi Membangun dari Pinggiran telah dilakukan Andi Cakka, sebelum menjadi kebijakan pemerintah pusat. Beberapa stafnya menuturkan bahwa pada periode-periode awal kepemimpinannya, ia fokus untuk membangun Luwu dari pedesaan, dengan cara membangun banyak infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat desa. Infrastruktur itu bisa dilihat dari terbangunnya jalan-jalan desa, meningkatnya rasio elektrifikasi atau tersambungnya listrik di desa-desa, hingga menyiapkan semua infrastruktur di bidang pertanian.

Upaya memperkuat otonomi desa itu diawali dengan rekognisi atas segala konsep kearifan lokal, yang nantinya akan diwadahi dalam kelembagaan pemerintah desa. Di Luwu, penerapannya aturan ini sudah banyak dilakukan. Di antaranya melalui lahirnya beberapa perdes yang mengakomodasi kearifan lokal. “Di sini, ada desa yang memberlakukan aturan berupa larangan menebang pohon mangrove, larangan untuk menangkap penyu, serta larangan untuk membom ikan. Kami selalu menghargai semua inisiatif lokal seperti itu,” kata Andi Cakka.

Inovasi lain yang dilakukannya adalah menguatkan sektor pertanian. Mengingat tradisi pertanian yang sudah lama mendarahdaging, tidak mengherankan jika sektor ini telah membersitkan banyak harapan. Dari seluruh luas lahan yang ada di Kabupaten Luwu, sebanyak 52,01 persen digunakan untuk usaha pertanian. Sedangkan sisanya digunakan untuk lahan bangunan, halaman, padang rumput serta lahan yang sementara tidak digunakan. 

Saat ini, Luwu adalah salah satu pilar penting bagi swasembada pangan di Sulawesi Selatan, serta skala yang lebih luas, yakni Indonesia. Dengan luas panen hingga 63.023 hektar, maka Luwu memproduksi padi hingga 318.472 ton dalam setahun.  Selain padi, Luwu juga memproduksi jagung hingga 11.620 ton dengan luas panen 2.232 hektar. Selain itu, kedelai dengan produksi 40 ton, pada luas panen 140 hektar.

cengkeh di Luwu

Selain pertanian, komoditas andalan lain di Luwu adalah perkebunan. Siapapun yang memasuki wilayah ini bisa menyaksikan langsung betapa banyaknya komoditas perkebunan yang bernilai tinggi, seperti kopi, kakao, dan kelapa. Data BPS (2016) menunjukkan produksi tanaman perkebunan yang paling besar adalah coklat, sebesar 27.000 ton, pada areal seluas 34.185 hektar. Selanjutnya adalah pala sebesar 21.788 ton, pada areal luas 469,75 hektar. Setelah itu cengkeh 9.006 ton, pada lahan seluas 16.609,75.

Besarnya komoditas perkebunan ini juga tak bisa dilepaskan dari beberapa inovasi yang dilakukan Andi Cakka. Ia memberikan contoh dengan cara berkebun, sehingga masyarakat mengikuti jejaknya. Selain dari mewajibkan para pegawai negeri sipil (PNS) untuk memiliki kebun, ia juga sempat mewajibkan pasangan yang baru menikah agar memiliki kebun sehingga bisa menambah penghasilan.

“Saya pernah meminta satu kepala desa bersama warganya agar membuat perdes, yang isinya, setiap calon pengantin mesti memiliki kebun. Bagi yang di pegunungan, kewajibannya adalah menanam 300 batang kopi. Bagi yang di pesisir, kewajibannya adalah menanam 300 pohon mangrove,” katanya.

Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan (Sulsel) merilis angka produksi coklat (kakao) tahun 2015 yang berjumlah 140.317 ton. Di mana, produksi paling banyak ada di Kabupaten Luwu berjumlah 27.640 ton. Kemudian, Luwu Utara (Lutra) 22.160 ton, dan Kabupaten Bone 14.308 ton. Luwu menjadi bagian rencana pemerintah untuk menjadi produsen kakao terbesar di dunia. Untuk sektor pengolahan kakao, Kabupaten Luwu telah ditetapkan sebagai pusat pengembangan olahan kakao dengan skala UKM.

***

MATAHARI tak lama lagi beranjak tenggelam di Luwu saat Andi Cakka keluar dengan kendaraan bermotor. Ia terburu-buru sebab ingin segera menghadiri pernikahan di Palopo. Ia memutuskan untuk mengendarai motor jenis trail. Saat melalui beberapa jalan desa, banyak orang yang melambai. Di beberapa tempat, anak-anak kecil berteriak: “Cakka..! Cakka..!!” Ia tersenyum dan melambaikan tangan. Ia terus melanjutkan perjalanan hingga tiba di tujuan sejam jam kemudian.

Di belakang Andi Cakka, beberapa anggota Satpol Pamong Praja menyusul. Mereka sama tahu kalau bupati itu seringkali menerabas keprotokoleran.  Mereka tak pernah melarangnya. Mereka mengikuti ke mana ia bergerak.

Hari itu, ia sedang menelusuri beberapa desa menuju lahan perkebunan. Ia hanya melintas saja. Tapi di mata warganya, kedatangannya menjadi perbincangan. Beberapa orang mengatakan bahwa jika bupati saja ikut berkebun, mengapa kita harus malu untuk berkebun?

Andi Cakka memang sedang memberikan teladan kepada mereka. “Masyarakat kita sudah cerdas. Mereka sudah tidak mau diceramahi. Mereka juga tidak nyaman kalau kita memerintah-merintah. Kita harus memberikan contoh nyata kepada mereka,” katanya. Ia menjelaskan bagaimana kesadaran politik kini menjadi milik semua anggota masyarakat. Perubahan sistem politik membuat masyarakat lebih kritis.

Ia bukanlah tipe bupati yang tinggal di perkotaan, lalu menjalankan agenda perkotaan. Ia adalah pemimpin yang berdiam di himpunan desa-desa yang luas dengan berbagai karakteristik. Ia tak mungkin bersikap individual dan memaksa orang lain mengikuti karakternya. Ia mesti mengalir dan mengikuti bagaimana gerak masyarakat luas, lalu berbuat sesuatu di situ.

Lelaki ini tak pernah memasang jarak. Banyak yang berkisah kalau di pagi hari, rumahnya akan ramai dengan siapapun yang datang untuk bercerita apa saja. Sebagai kepala daerah, ia membuka diri untuk bertemu siapapun. Malah ia menjemput bola dengan cara mendatangi warganya.

Jauh sebelum istilah blusukan populer sebagai salah satu metode bagi soerang pemimpin yang hendak bertemu langsung dengan konstituennya, Andi Cakka telah lama melakukannya. Ia sering terlihat menaiki kendaraan bermotor lalu menembus desa-desa di pegunungan sana. Malah, di sepanjang jalan, seringkali anak-anak akan berteriak melambai sembari memanggil namanya Cakka.

Ia memiliki tipe kepemimpinan yang bersedia mendengarkan apapun yang dikatakan masyarakat. Ia tidak canggung saat turun ke pedesaan dan berbaur dengan banyak orang. Ia menganggap tindakan itu sebagai amanah yag harus ditunaikannya. Dalam proses interaksi itu, ia juga harus menunjukkan nilai-nilai ideal berupa kejujuran dan siap mendengarkan masyarakat. Jika ia tidak mengamalkan itu, ia bisa diabaikan oleh masyarakat.

***

TERDAPAT banyak kisah menarik tentang Andi Cakka. Dalam kunjungan selama beberapa kali di Luwu, saya menyimpan banyak catatan tentangnya.  Tadinya, catatan itu hendak dibukukan dan dibagikan kepada khalayak luas. Dikarenakan satu dan lain hal, niat itu belum bisa terlaksana.

Tulisan ini hanya pembuka dari sejumlah catatan tentang sosoknya. Mudah-mudahan saya punya energi untuk berbagi hal-hal baik dan menginspirasi tentang sosok bernama Andi Cakka ini.


To Be Continued.....


Bogor, 11 Juli 2017



BACA JUGA: