AKHIR pekan silam, berita paling
menggemparkan adalah operasi penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Utama
(IBU) yang berisi 1.161 ton beras merek Manyuss dan Cap Ayam Jago di Bekasi.
Hampir semua media memberitakan peristiwa itu. Penggerebekan ini heboh sebab
melibatkan beberapa pejabat tinggi yakni Kapolri Jenderal Tito Karnavian,
Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Ketua KPPU Syarkawi Rauf.
Sepintas, konferensi pers yang
menghadirkan tiga pejabat negara itu terkesan agak lebay. Publik menyimpan banyak
pertanyaan. Mengapa harus dilakukan tiga orang pejabat tinggi? Mengapa tidak
menyerahkan operasi penggerebekan itu pada pejabat setingkat kapolresta? Hingga beberapa hari berikutnya, terjadi perang informasi di media sosial, yang semakin memojokkan pemerintah.
Publik akan berspekulasi kalau penggerebekan ini punya skala yang luas dan –boleh jadi—merugikan negara hingga ratusan triliun. Beberapa hari setelah penggerebekan, gema dari operasi itu terasa sayup-sayup. Saya melihat bahwa ada arus besar opini dan wacana yang memberikan counter atas apa yang terjadi. Malah, situasinya berbalik. Saat komisaris dan petinggi perusahaan itu bicara, saat banyak suara sumbang yang berseliweran di media sosial, saat banyak para peselancar di Facebook, Twitter, dan WhatsApp bersuara, situasinya mulai berubah.
Publik akan berspekulasi kalau penggerebekan ini punya skala yang luas dan –boleh jadi—merugikan negara hingga ratusan triliun. Beberapa hari setelah penggerebekan, gema dari operasi itu terasa sayup-sayup. Saya melihat bahwa ada arus besar opini dan wacana yang memberikan counter atas apa yang terjadi. Malah, situasinya berbalik. Saat komisaris dan petinggi perusahaan itu bicara, saat banyak suara sumbang yang berseliweran di media sosial, saat banyak para peselancar di Facebook, Twitter, dan WhatsApp bersuara, situasinya mulai berubah.
Yang saya perhatikan di media mainstream
seperti Kompas, isu beras ini ibarat “panas-panas tahi ayam.” Pada mulanya ada
kehebohan karena ada indikasi kerugian negara hingga triliunan. Berikutnya,
tensi isu itu memudar, bahkan mulai menghilang. Hari ini, saya memantau Kompas,
isu terbaru yang diangkat adalah perlunya mengakhiri polemik perberasan. Isu
ini lebih makro sebab mengangkat problem struktural yang terjadi terkait mata
rantai distribusi beras.
Sejak dulu, problem struktural memang
harus didiskusikan. Hanya saja, isu ini harus diletakkan sebagai target besar
yang menjadi tujuan, dengan cara menjadikan penggerebekan itu sebagai pintu
masuk. Bagaimana mungkin kita sampai pada hal-hal besar kalau pintu masuknya
sampai sekarang masih sumir dan seakan lenyap dari wacana publik?
Sebagai warga biasa, saya penasaran untuk
tahu lebih banyak, apakah wacana mengenai kerugian negara hingga triliun rupiah
itu memang ada ataukah hanya sekadar pernyataan lepas di satu acara konferensi
pers? Bisakah kita sebagai warga mendapat satu demi satu kepingan fakta lalu
dikemas dengan sederhana sehingga mudah dipahami siapa saja?
Di media sosial, perdebatan tentang isu
ini terus menggelinding bak bola salju. Saya tak terlalu mengikuti wacana beras
ini secara mendalam. Namun mengamati berbagai postingan di Twitter, saya
menemukan sekurang-kurangnya ada beberapa isu yang terus-menerus direproduksi.
Pertama, banyak netizen mengungkap soal
inkonsistensi. Kapolri Tito menyebut adanya beras subsidi yang dikemas seolah
barang premium. Ada modus penipuan, dengan cara menjual kembali beras yang
telah disubsidi oleh pemerintah sehingga perusahaan mendapat keuntungan
berlipat-lipat. Tapi di sisi lain, pernyataan Kapolri malah dibantah oleh
Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa yang mengatakan bahwa beras di PT IBU
bukan beras subsidi. Hingga semalam, Bareskrim telah memeriksa 21 orang, namun
belum juga ada tersangka. Kalau kerugiannya sampai triliun, mengapa belum ada
tersangka?
Kedua, ada pula suara sumbang netizen yang
mempersoalkan sikap penindakan atas PT IBU yang membeli beras dengan harga
murah, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi. Bukankah ini praktik yang
memang ada di hampir semua komoditas? Mengapa tak sekalian menyoal Starbucks
yang menjual mahal kopi yang dijual petani dengan harga murah?
Ketiga, berkembang isu mengenai persaingan
dagang. Perusahaan Cina tidak punya akses ke impor beras sehingga dibuatkan
konspirasi agar perusahaan pribumi tersingkir. Menurut saya ini terlampau jauh.
Percaya kabar ini sama dengan percaya berita yang menyebutkan Cina akan segera
menyerang Indonesia. Ini sih produk para nyinyiers di media sosial.
***
SAYA tak ingin masuk terlampau jauh pada polemik mengenai
beras ini. Saya tak terlalu paham isu ini, dan hingga kini tak banyak yang
menyederhakan isu sehingga mudah dipahami. Saya melihat bahwa kian hari, posisi
pemerintah malah menjadi bulan-bulanan dari isu yang terus digoreng oleh lawan
politiknya. Melawan mafia beras membutuhkan perencanaan yang matang, serta
barisan prajurit yang siap untuk melakukan conter atas bombardir informasi.
Yang saya pantau, dari perang wacana di
media sosial, pemerintah tidak punya “jenderal” dan amunisi memadai untuk
melakukan counter atas semua isu. Saat pemerintah tidak membuka fakta demi
fakta, maka yang dianggap kebenaran adalah semua rumor di media sosial. Dikarenakan
tak ada fakta, publik dengan mudahnya menerima apapun yang disodorkan sebagai
kebenaran. Di titik ini berlaku kalimat Hitler: “Kebenaran adalah kebohongan
yang terus diulang-ulang.”
Kemarin, saya melihat postingan Menteri
Amran Sulaiman yang beredar melalui banyak jejaring. Idealnya, Menteri Amran punya
kanal khusus di media sosial, sebagaimana Facebook Fanpage milik Jokowi, yang
bisa memberikan updating atas segala
pernyataan serta diskusi di kementeriannya. Tak hanya dirinya, lembaganya pun
sebaiknya mengkoordinir satu kanal media, yang secara rutin mereproduksi isu
demi isu. Pengelolaan informasi harus dibuat dengan rapi sehingga segala counter isu bisa dengan segera disampaikan
publik. Pengelolaan informasi ini bukan sesuatu yang sulit, sebab bisa
direncanakan, serta dilatihkan kepada lingkar utamanya.
Pada titik ini, saya menilai bahwa setiap
instansi pemerintah harus membangun satu kelompok think tank yang strategis, tak hanya piawai diajak diskusi dan
memberikan rekomendasi, tapi juga sanggup menjalankan misi untuk menerjemahkan
semua diskusi dalam bahasa awam yang dipahami rakyat biasa. Pemerintah tak bisa
lagi duduk diam demi menjawab respon publik, tapi harus “jemput bola,” mengurai
apa-apa yang terjadi, ikut berkontribusi pada dialog dengan netizen dalam media
sosial sebagai public sphere yang
demokratis, meminjam istilah dari Jurgen Habermas.
Saya teringat pada tulisan Eric Schmidt,
CEO Google, yang mengatakan bahwa di era ini, hampir semua lembaga harus
mempersenjatai diri dengan tim media sosial yang bisa memetakan apa saja
tindakan pihak lain, serta wacana apa yang harus diperkuat. Tantangan besar
yang dihadapi adalah bagaimana memperkuat jejaring media sosial, lalu
menggunakannya secara efektif untuk mengirimkan pesan.
Dalam buku The New Digital Age, Eric Schmidt mengatakan dunia saat ini terbagi
dua. Ada yang disebut dunia nyata, dan ada yang disebut dunia maya. Hampir
semua lembaga yang memiliki rumah ataupun kantor di dunia nyata perlahan akan
membangun rumah pula di dunia maya. Tanpa berinteraksi di dunia maya, anda
tidak eksis. Sayangnya, banyak lembaga hanya memperkuat divisi IT yang
bertanggungjawab untuk membangun web dan beragam platform lainnya.
Padahal, jantung dan nyawa dari setiap
“ruang maya” itu adalah para creative
content yang akan menjaga frontier informasi, membangun benteng untuk
menangkal semua hoax, kemudian mengirim rudal informasi untuk mempengaruhi
opini. Semua lembaga butuh lembaga sekelas Public Relation (PR) atau Humas yang
tak sekadar bertahan, tapi juga proaktif dalam menyebar informasi.
Mengingat media sosial adalah arena
peperangan, yang harus dipersiapkan adalah seorang “jenderal” senior yang punya
kemampuan memetakan persoalan. Yang dibutuhkan dalah seorang pengendali
informasi yang bisa menggali persepsi di media sosial, dan dengan cepat bisa
mengirimkan wacana pembanding yang lalu disebarkan secara viral. Langkah ini
perlu dilakukan demi menemukan keseimbangan informasi sehingga meminimalisir syak-wasangka atas kebijakan negara.
Saya rasa jika ingin kembali membangun
dinamika informasi mengenai perberasan yang seimbang, maka suara-suara dari
pemerintah, khususnya tiga lembaga tinggi yang melakukan konferensi pers, harus
dimunculkan ke publik. Bentuk lingkar inti, kelola informasi, respon setiap isu
dengan argumentasi, setelah itu cerahkan publik agar terhindari dari berbagai
seliweran isu yang membuat mereka semaput. Di titik akhir, jelaskan kepada
banyak pihak bahwa perlawanan kepada mafia beras bukan hal yang mudah, namun
tetap harus dilakukan.
Bogor, 28 Juli 2017